Thursday, January 24, 2013

BAHAN KULIAH LOGIKA
STKIP ST. PAULUS RUTENG
OLEH: CHRISPINUS HERMANTO JEBARUS, S. FIL



BAB I
PENDAHULUAN


Logika berhubungan dengan pengetahuan, berhubungan dengan bahasa. Logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berpikir, aturan-aturan mana yang harus dihormati supaya-supaya pernyataan-pernyataan itu dinilai sah. Logika tidak mengajar apa pun tentang manusia atau tentang dunia. Logika merupakan suatu teknik atau “seni” yang mementingkan segi formal, bentuk dari pengetahuan.
Sebagai cabang dari filsafat maka dalam pembagian filsafat, logika dikategorikan ke dalam filsafat tentang pengetahuan bersama epistemology dan kritik ilmu-ilmu (Hamersma, 1981 : 14). Epistemology adalah pengetahuan tentang pengetahuan sedangkan kritik ilmu-ilmu berbicara tentang pembagian ilmu-ilmu, tentang metode ilmu-ilmu, tentang dasar kepastian dan tentang jenis-jenis keterangan yang diberikan.
Logika adalah ilmu pengetahuan mengenai penyimpulan yang lurus. Karena itu, suatu argumentasi dinilai benar jika kesimpulannya dibuat berdasarkan  langkah-langkah yang betul tetapi tidak selalu berhubungan dengan unsur kebenaran.
Penyimpulan  yang lurus dapat dibuat berdasarkan argumentasi-argumentasi yang ada dalam suatu pernyataan. Argumentasi itu terdiri dari 3 (tiga) kalimat. Kalimat A dan kalimat B disebut PREMIS, sedangkan kalimat C disebut KONKLUSI atau kesimpulan. Kalimat A disebut premis mayor, dan kalimat B disebut premis minor. Setiap kalimat terdiri dari subyek dan predikat. Subyek itu dapat bersifat tunggal (binatang), majemuk (binatang bersayap), tertentu (manusia), tidak tentu (bukan manusia), hal-hal konkret (udara lembab) atau abstrak (kelembaban), dan lain sebagainya. Logika menyelidiki syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya kesimpulan yang ditarik dari premis-premis dapat disebut sah.

Contoh Logika :
            Premis Mayor : Semua orang Yogyakarta senang makan ayam
            Premis Minor : Andi seorang penduduk Yogyakarta
            Konklusi    : Andi senang makan ayam


            Berdasarkan contoh tersebut di atas, maka dapatlah dijelaskan bahwa konklusi “Andi senang makan ayam” adalah hal yang benar, dan karena itu pernyataan itu sah,  sebab kesimpulan itu sesuai dengan kedua premis yang ada, di mana semua orang Yogyakarta itu senang memakan daging ayam, maka tidak heran jika Andi yang adalah warga Yogyakarta  juga senang memakan daging ayam. Konklusi itu adalah benar, dalam arti “sah” dan tidak berhubungan dengan kebenaran, apakah memang benar Andi suka memakan daging ayam atau tidak?. Inilah yang disebut sebagai LOGIKA.



























BAB II
DASAR-DASAR LOGIKA

2.1      Pengertian Logika
2.1.1        Pengertian Umum dan Secara Etimologis

Kata logika menurut kamus berarti cabang ilmu pengetahuan yang mengamati tentang prinsip-prinsip pemikiran deduktif dan induktif. Kata logika menurut istilahnya berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Maka untuk memahami apakah logika itu haruslah mempunyai pengertian yang jelas tentang penalaran. Penalaran adalah suatu bentuk pemikirann yang meliputi tiga unsur, yaitu konsep pernyataan dan penalaran.
Secara etimologis, Logika berasal dari kata bahasa Latin “logos” yang berarti perkataan atau sabda. Istilah lain yang digunakan sebagai gantinya adalah “mantiq”, yang merupakan kata Arab yang diambil dari kata kerja “nathaqa” yang berarati berkata atau berucap. Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar ungkapan serupa: ‘alasannya tidak logis’, ‘argumentasi logis’, ‘kabar itu tidak logis’. Yang dimaksud dengan logis adalah masuk akal, dan tidak logis adalah sebaliknya.
Dalam buku Logicand Language of Education mantiq disebut sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berfikir benar”.  Sedangkan dalam kamus Munjid disebut sebagai hukum yang memelihara hati nurani dari kesalahan dalam berfikir. Sedangkan Irving. M. Copi menyatakan, “logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.”
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa perkataan logika adalah berasal dari kata sifat “logike” (bahasa Yunani) yang berhubungan dengan kata benda logos, yang artinya pikiran atau kata sebagai pernyataan dari pikiran itu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa. Jadi logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu mantiq atau logika adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia ke arah berfikir secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar dari berfikir secara keliru yang menghasilkan kesimpulan salah. Hal ini tentunya disebabkan oleh alasan bahwa dalam berfikir, manusia tidak selalu benar serta acapkali terjerumus dalam sikap skeptis dan terjebak dalam kesalahan berfikir dengan tanpa terasa.
Atau sederhananya, ilmu ini bisa disebut pula sebagai studi sistematik tentang struktur proposisi dan syarat-syarat umum mengenai penalaran yang shahih dengan menggunakan metode yang mengesampingkan isi atau bahan proposisi dan hanya membahas bentuk logisnya saja.
Penyelesaian masalah logis diperoleh dengan ilmu pengetahuan yang memandang pemikiran (logos) dan karena itu disebut ilmu pengetahuan rasional atau logika. Logika adalah ilmu tentang pemikiran atau ilmu pengetahuan tentang karya-karya akal budi (ratio) untuk menuju yang benar (Sommer, 1982 : 2-3).
Logika disebut ilmu pengetahuan karena merupakan keseluruhan dari hal-hal yang diketahui dan dibuktikan dengan prinsip-prinsip seperti pada semua ilmu lain. Selain itu, logika berisi karya-karya akal budi. Yang termasuk dalam karya-karya akal budi adalah pengertian, putusan dan pemikiran. Inilah yang menjadi sasaran dari logika atau merupakan obyek material dari logika. Dengan kata lain, obyek material dari logika adalah berpikir. Objek material logika adalah berfikir. Yang dimaksud berpikir di sini adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir, manusia mengolah dan mengerjakan pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan mengolah dan mengerjakannya ia dapat memperoleh kebenaran. Pengolahan dan pengerjaan ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan, serta menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lainnya. Selain itu, logika menyajikan hukum-hukum agar akal budi memperoleh yang benar. Dengan kata lain obyek formal dari logika adalah aturan yang harus diperhatikan pada karya-karya akal budi.
Pengertian lain dari logika adalah ilmu berpikir yang tepat. Maka hakekat logika dapat pula disebut sebagai teknik berpikir. Sebagai ilmu berpikir yang tepat maka tujuannya adalah untuk memperjelas isi atau komprehensi serta luasnya atau extensi dari sesuatu pengertian atau istilah dengan menggunakan definisi-definisi yang tajam. Logika memiliki hubungan dengan penggunaan perkataan-perkataan atau bahasa. Tanpa perkataan, tanpa bahasa maka tidak ada pikiran-pikiran karena setidaknya ditinjau dari sudut logis, kata pemikiran harus disamakan dengan pembicaraan dalam hati sanubari.
Secara singkat logika dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan dan kemampuan untuk berpikir lurus. Ilmu pengetahuan sendiri adalah kumpulan pengetahuan tentang pokok tertentu. Kumpulan ini merupakan suatu kesatuan yang sistematis serta memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Penjelasan ini terjadi dengan menunjukkan sebab musababnya.
Logika juga termasuk dalam ilmu pengetahuan yang dijelaskan di atas. Kajian ilmu logika adalah azas-azas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Agar dapat berpikir seperti itu, logika menyelidiki, merumuskan, serta menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati. Hal ini menunjukkan bahwa logika bukanlah sebatas teori, melainkan juga merupakan suatu keterampilan untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam praktek. Ini sebabnya logika disebut filsafat yang praktis.
Logika merupakan cabang filsafat yang bersifat praktis berpangkal pada penalaran, dan sekaligus juga sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu. Dengan fungsi sebagai dasar filsafat dan sarana ilmu maka logika merupakan "jembatan penghubung" antara filsafat dan ilmu. Secara terminologis, logika didefinisikan sebagai Teori tentang penyimpulan yang sah. Penyimpulan pada dasarnya bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian ditarik suatu kesimpulan. Penyimpulan yang sah artinya sesuai dengan pertimbangan akal dan runtut sehingga dapat dilacak kembali yang sekaligus juga benar, yang berarti dituntut kebenaran bentuk sesuai dengan isi.

2.1.2        Pengertian menurut Para Ahli

Pemahaman tentang logika juga diutarakan oleh para ahli. Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang arti logika.
Menurut Drs.H. Mundiri, Logika, dalam bahasa Latin berasal dari kata ‘Logos’ yang berarti perkataan atau sabda. Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.
Menurut Alex Lanur OFM, Logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan berpikir lurus ( tepat ). Logika merupakan ilmu pengetahuan atau asas yang menentukan pemikiran lurus, tepat dan sehat.
Menurut Anthon F.Susanto, Logika adalah filsafat yang mempelajari metode-metode, asas-asas, dan aturan-aturan yang harus dipenuhi untuk dapat berfikir secara lurus, benar dan jernih.
Menurut Partap Sing Mehra,MA. dan DRS. Jazir Burhan, Logika adalah ilnu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
Menurut Arif Sidaharta, Logika menunjuk pada cara berfikir atau cara hidup atau sikap hidup tertentu, yaitu yang masuk akal, wajar, berargumen, beralasan, dan memiliki rasio atau hubungan.
Menurut W. Poespoprodjo dan T. Gilarso, Logika berarti meneliti asas-asas atau hukum-hukum yang mengatur pemikiran manusia agar mencapai kebenaran.
Menurut Jean Hendrik Rapar, Logika adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan lewat bahasa.

2.2      Pembagian Logika

Menurut The Liang Gie, logika dapat dibagi menjadi 5 (lima) bagian, yakni (1) logika makna luas dan logika makna sempit, (2) Logika deduktif dan induktif, (3) Logika formal dan material, (4) logika murni dan terapan, dan (5) Logika falsafati dan matematik.
a)      Logika Makna Luas dan Sempit
Dalam arti sempit istilah tersebut dipakai searti dengan deduktif atau logika formal. Sedangkan dalam arti yang lebih luas pemakaiannya mencakup kesimpulan-kesimpulan dari berbagai bukti dan tentang bagaimana sistem penjelasan disusun dalam ilmu alam serta meliputi pula pembahasan mengenai logika itu sendiri.

b)      Logika Deduktif dan Induktif
Logika deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas pelajaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuknya saja. Sedangkan Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi.
c)      Logika Formal dan Material
Logika formal mempelajari asas aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus ditaati agar orang dapat berfikir dengan benar dan mencapai kebenaran. Sedangkan Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan praktis sesungguhnya. Logika material mempelajari sumber-sumber dan asalnya pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Dan sekarang, logika formal adalah ilmu yang mengandung kumpulan kaidah cara berfikir untuk mencapai kebenaran.

d)      Logika Murni dan Terapan
Logika murni merupakan suatu pengetahuan mengenai asas dan aturan logika yang berlaku umum pada semua segi dan bagian dari pernyataan-pernyataan dengan tanpa mempersoalkan arti khusus dalam suatu cabang ilmu dari istilah yang dipakai dalam pernyataan dimaksud. Logika terapan adalah pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu bidang-bidang filsafat dan juga dalam pembicaraan yang menggunakan bahasa sehari-hari.

e)       Logika Falsafati dan Matematik
Logika falsafati dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau bagian logika yang masih berhubungan sangat erat dengan pembahasan dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban dengan etika atau logika arti dengan metafisika. Adapun logika matematik merupakan bentuk dan lambang yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna ganda atau kekaburan yang terdapat dalam bahasa biasa.

            Selain itu, secara umum, logika juga dibedakan atas dua macam, yakni logika kodrati dan logika ilmiah.
a)      Logika Kodrati
Akal budi (pikiran) bekerja menurut hukum-hukum logika dengan cara spontan. Tetapi dalam hal-hal tertentu (biasanya dalam masalah yang sulit), akal budi manusia maupun seluruh diri manusia bisa dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subjektif. Selain itu, perkembangan pengetahuan manusia sendiri sangat terbatas. Hal-hal ini menyebabkan kesesatan dalam berpikir tidak terhindarkan. Walaupun sebenarnya dalam diri manusia sendiri juga ada kebutuhan untuk menghindari kesesatan tersebut. Untuk menghindari kesesatan itulah, dibutuhkan ilmu khusus yang merumuskan azaz-azaz yang harus ditepati dalam setiap pemikiran, yaitu logika ilmiah.

b)      Logika Ilmiah
Logika ini membantu logika kodratiah. Logika ilmiah memperhalus dan mempertajam akal budi, juga menolong agar akal budi bekerja lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah, dan lebih aman. Dengan demikian kesesatan dapat dihindarkan, atau minimal bisa dikurangi dengan kadar tertentu. Logika inilah yang dimaksud mempunyai hukum-hukum atau azaz-azaz yang harus ditepati.

2.3      Obyek Kajian Logika

Lapangan penyelidikan logika adalah manusia itu sendiri. Tetapi manusia disoroti dari sudut tertentu yakni budinya. Dalam hal ini logika adalah filsafat budi (manusia) yang mempelajari teknik berpikir untuk mengetahui bagaimana manusia berpikir dengan semestinya. Karena itu, obyek formal dari logika adalah mencari jawaban untuk pertanyaan “bagaimana manusia dapat berpikir dengan semestinya ? “.

2.4      Manfaat Logika

Logika memiliki beberapa manfaat, yakni
a)      membuat daya fikir akal tidak saja menjadi lebih tajam tetapi juga lebih menjadi berkembang melalui latihan-latihan berfikir dan menganalisis serta mengungkap permasalahan secara ilmiah.
b)     membuat seseorang menjadi mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada waktunya.
c)      membuat seseorang mampu membedakan--- ini merupakan manfaat yang paling asasi ilmu mantiq atau logika ---antara pikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan kesimpulan yang benar dan urut pikir yang salah yang dengan sendirinya akan menampilkan kesimpulan yang salah.

2.5      Kegunaan Logika

Logika memiliki beberapa kegunaan, seperti
a)      Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
b)     Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
c)      Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.
d)     Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis
e)      Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpikir, kekeliruan serta kesesatan.
f)       Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian.
g)     Apabila sudah mampu berpikir rasional, kritis, lurus, metodis dan analitis sebagaimana tersebut point 1 maka akan meningkatkan citra diri seseorang.

2.6      Tugas Logika

Berpikir bukanlah suatu aktivitas yang mudah. Orang dapat salah dalam berpikir tetapi itu bukanlah berarti bahwa pengetahuannya yang salah melainkan jalan pikirannya yang tidak lurus atau tidak menurut aturan. Misalnya kalau dikatakan bahwa seseorang yang berbelanja agak berlebihan serta tak menawar-nawar itu karena ia adalah orang Manggarai. Memang benar ia adalah orang Manggarai tetapi tidak benar kalau ia bertindak demikian karena ia adalah orang Manggarai sebab tidak semua orang Manggarai bertindak demikian. Maka, pernyataan bahwa seseorang berbelanja berlebihan dan tidak menawar-nawar karena ia adalah orang Manggarai disebut sebagai pernyataan yang palsu.
Aturan berpikir tidak boleh dilanggar dan menjadi suatu tugas ilmiah bagi logika untuk mencari aturan berpikir dan menemukan pelanggaran aturan atau penyelewengan  dari jalan berpikir yang lurus. Tugas logika adalah memberikan penerangan bagaimana orang seharusnya berpikir.

2.7      Bahasa Logika

Bahasa merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Dan khusus alat komunikasi ilmiah disebut dengan bahasa ilmiah, yaitu kalimat berita yang merupakan suatu pernyataan-pernyataan atau pendapat-pendapat. Bahasa sangat penting juga dalam pembentukan penalaran ilmiah karena penalaran ilmiah mempelajari bagaimana caranya mengadakan uraian yang tepat dan sesuai dengan pembuktian-pembuktian secara benar dan jelas. Bahasa secara umum dibedakan antara bahasa alami dan bahasa buatan. Bahasa alami ialah bahasa sehari-hari yang biasa digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas dasar pengaruh alam sekelilingnya. Bahasa alami dibedakan antara bahasa isyarat dan bahasa biasa. Sedangkan Bahasa buatan ialah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akal pikiran untuk maksud tertentu, yang dibedakan antara bahasa istilahi dan bahasa artifisial. Bahasa buatan inilah yang dimaksudkan sebagai bahasa ilmiah
Sebagai pernyataan pikiran atau perasaan dan juga sebagai alat komunikasi manusia, bahasa mempunyai 3 fungsi pokok, yakni fungsi ekspresif atau emotif, fungsi afektif atau praktis, dan fungsi simbolik dan logik. Khusus untuk logika dan juga untuk bahasa ilmiah yang harus diperhatikan adalah fungsi simbolik karena komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus logik terbebas dari unsur-unsur emotif.






BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA


3.1.            Pencetus Logika : Aristoteles
3.1.1        Sekilas tentang Aristoteles

Aristoteles lahir pada tahun 384 sM di Stageira yang berada di wilayah Macedonia yang terletak di sebelah utara Yunani. Ia berasal dari keluarga golongan menengah. Ia belajar di Akademika Plato, di mana ia mempelajari matematika, politik, etika, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya (Rapar, 1988 : 1-2).
Aristoteles adalah murid Plato, namun pemikirannya sering kali bertentangan dengan pemikiran Plato. Plato adalah filsuf idealis (yang lebih mementingkan ilmu pasti), sedangkan Aristoteles adalah filsuf realis yang memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan alam dengan menyelidiki dan mengumpulkan data-data konkret.
Perbedaan antara Plato dan Aristoteles tampak pada pandangan mereka tentang Metafisika, Manusia (Antropologi) dan tentang Politik serta Etika.

a.                   Pandangan tentang Metafisika

            Aristoteles melihat metafisika sebagai filsafat pertama, yakni ilmu yang berhubungan dengan kenyataan yang ada di balik kenyataan fisis. Menurut Aristoteles, setiap benda terdiri dari dua unsure, yaitu materi dan bentuk (forma).
            MATERI tidak pernah terlepas dari bentuk, tetapi materi selalu mempunyai bentuk atau sudah ada dalam bentuk yang lain, misalnya sebuah patung : materinya adalah kayu, pasir, dan sebagainya, sedangkan bentuknya bisa seperti kuda, pangeran, dan lain-lain. FORMA atau bentuk adalah prinsip yang menentukan. Dengan kata lain, materi adalah “potensi”, sedangkan bentuk atau forma adalah “aktus”. Contohnya adalah : kayu berada dalam potensi untuk menjadi meja atau kursi.
            Substansi yang sesungguhnya adalah forma atau bentuk. Perubahan yang terjadi di alam karena ada perubahan dari potensi ke aktus.

b.                   Pandangan tentang Manusia

Aristoteles memiliki pandangan yang seimbang tentang manusia. Manusia adalah suatu substansi yang terdiri dari materi dan bentuk. Materi yang dimiliki manusia adalah tubuh atau badan, sedangkan bentuk atau formanya adalah jiwa. Bentuk atau forma manusia, yaitu jiwa, tidak pernah lepas dari materi. Karena itu, pada saat manusia meninggal dunia, maka jiwanya pun akan ikut mati dan binasa.

c.                   Pandangan tentang Politik (Negara)

Menurut Aristoteles, manusia adalah zoon politikon, makhluk yang berpolitik. Negara merupakan suatu persekutuan hidup atau lebih tepat suatu persekutuan hidup politis (Rapar, 1988 : 1-2). Negara bukan hanya suatu instrument belaka. Negara adalah suatu persekutuan hidup yang menunjukkan adanya suatu hubungan yang bersifat organic antara warga Negara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan itu bersifat khusus, erat, akrab, dan lestari, sehingga tiap warga negara berkewajiban untuk menjaga dan memelihara keakraban hubungan itu dengan saling menghargai dan menghormati.
Negara memiliki tujuan yang mulia dan luhur. Tujuan yang paling tinggi, mulia dan luhur itu disebut kebaikan tertinggi (the highest good) bagi manusia. Karena itu, menurut Aristoteles, Negara ideal adalah Negara yang memanusiakan manusia. Manusia dimampukan untuk mencapai tingkat  pertumbuhan dan perkembangan yang semaksimal mungkin.
Aristoteles juga berbicara tentang kekuasaan dan hukum. Menurutnya, sumber kekuasaan adalah hukum (Huijbers, 1995 : 24). Hukum memiliki kewibawaan dan kedaulatan tertinggi. Pemerintahan yang baik terletak pada pengakuan para penguasa bahwa hukum memiliki kedaulatan tertinggi. Pengakuan itu harus menyata dalam penyelenggaraan kekuasaan yang didasarkan pada hukum. Dengan demikian, kedaulatan hukum menjadi bukti bahwa pemerintahan dalam Negara yang mengakui kedaulatan hukum itu adalah baik.



3.1.2        Ide Aristoteles tentang Logika

Logika merupakan sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir agar memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan. Logika itu membimbing dan menuntun seseorang supaya berpikir teliti.
Ilmu itu disusun mula-mula oleh Aristoteles (384-322 sM), seorang filsuf Yunani dan diberi gelar sebagai guru pertama di dunia sampai saat ini. Aristoteles berbicara tentang logika dan hasil karyanya terdiri atas lima buku di mana buku ketiga terbagi atas dua bagian sehingga semuanya terdiri atas enam bagian. Karya-karyanya itu kemudian disebut sebagai ORGANON dan ada pun keenam karyanya itu adalah (1) Categoriae  yang berisikan pembahasan tentang cara menguraikan sesuatu dari sepuluh aspek, (2) De Interpretatione yang berisikan pembahasan tentang bentuk-bentuk keterangan atau disebut juga dengan perihermenias, (3) Analytica Priora yang berisikan pembahasan tentang bentuk-bentuk susunan pikiran yang digunakan dalam berpikir, (4) Analytica Posteriora yang berisikan pembahasan tentang jenis-jenis bahan pikiran yang berkekuatan meyakinkan, (5) Topica yang berisikan pembahasan tentang jenis-jenis bahan pikiran yang berkekuatan sebagai pegangan dasar dan (6) Sophistici Elenchi yang berisikan pembahasan tentang pemukauan melalui bentuk pikiran maupun melalui bahan pikiran.

3.2.            Kaum Stoik dan Megaria [1]

Logika mencapai puncaknya pada tulisan-tulisan kaum Stoik dan kaum Megaria. Aliran Megaria itu dibangun mula-mula oleh Eclid , salah seorang murid Sokrates. Ia hidup pada abad ke-4 sM. Kaum Stoik dan kaum Megaria mengarahkan logika kepada pembahasan kata dan susunan kata sebagai penjelmaan pikiran.



3.3.            Sumbangan Porphyrius

Porphyrius adalah seorang murid Plotinus (205-270 M), pembangun aliran Neoplatonisme. [2] Porphyrius berjasa menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru itu disebut EISAGOGE yakni pengantar kepada Categorae. Bagian baru ini kemudian disebut sebagai klasifikasi.

3.4.            Masa Konsili Nicea

Konstantinus Agung adalah kaiser imperium Roma yang pertama-tama memeluk agama Kristen. Pada tahun 325 M, atas anjurannya maka dilangsungkannya Sidang Gereja sedunia yang pertama-tama yakni di Nicea yang kemudian dikenal dengan sebutan Konsili Nicea.
Konsili ini diadakan untuk menyelesaikan perbedaan pokok keyakinan di dalam agama Kristen yakni antara aliran Arianisme dan aliran Athanasianisme. Arianisme berkeyakinan bahwa Allah itu Maha Esa tanpa oknum (unitari faith) dan bahwa Yesus Kristus itu adalah manusia biasa tetapi menjabat sebagai Rasul Allah. Sedangkan Athanasianisme berkeyakinan bahwa Allah itu Maha Esa tetapi terdiri dari tiga oknum (trinity faith0 dan Yesus Kristus adalah Anak Allah yang menjelma di bumi.
Konsili Nicea memutuskan trinity faith sebagai keyakinan resmi dalam agama Kristen dan Arianisme dinyatakan sebagai ajarah bida’ah (Heresy). Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Kaisar Konstantinus Agung sendiri berbalik menganut unitary faith itu dan mengumumkannya sebagai keyakinan resmi dalam agama Kristen. Hal ini berkelanjutan sampai pada masa pemerintahan Kaisar Theodosius (379-395 M) yang berbalik mengumumkan trinity faith sebagai keyakinan resmi dalam agama Kristen.
Keputusan penting lainnya dari Konsili Nicea adalah menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Yunani di Athena dan Antiokia serta Roma dan melarang diadakannya pelajaran logika. Sejak ini berhentilah perkembangan alam pikiran di Barat dan masa ini kemudian disebut sebagai “Zaman Gelap” (Dark Ages).

3.5.            Logika pada Zaman Islam

Pada awal abad ke-7 masehi berkembang agama Islam di semenanjung Arabia dan menjelang abad ke-8 masehi wilayah kekuasaan Islam itu sudah membentang luas dari perbatasan Thian Shan di sebelah timur sampai perbatasan Pyrences di sebelah barat.
Pada masa ini, karya-karya Yunani dan karya-karya Sansekerta disalin ke dalam bahasa Arab dan logika diberi nama Ilmu Al Manthiq. Kata Manthiq itu berasal dari akar kata nathaqa yang berarti berpikir. Nathiqun berarti yang berpikir, manthuqun berarti yang dipikirdan dan manthiqun berarti alat berpikir.
Penyalinan istilah-istilah Yunani ke dalam bahasa Arab masih kacau dan belum ada keseragaman. Penyempurnaan terakhir dilakukan oleh Abu Mashar Al Farabi (873-950 M), seorang ahli pikir Islam terbesar dan istilah-istilah yang disempurnakan oleh Farabi tidak mengalami perubahan lagi sampai saat ini.

3.6.            Logika pada Masa Kemunduran Islam

Menjelang abad ke-14 masehi mulai muncul reaksi-reaksi terhadap pelajaran Logika dan perkembangan filsafat karena dipandang terlampau memuja akal di dalam mencari kebenaran sehingga melahirkan paham-paham yang dituduh kafir. Muhyeddin Al Nawawi (1233-1277 M) dan Ibnu Shilah (1181-1243) telah mengumumkan pernyataan bahwa “haram” mempelajari manthiq (logika). Sejak saat ini perkembangan alam pikiran dalam dunia Islam juga mulai terhenti. Meskipun demikian, pada waktu yang sama di Eropa lahir Era Kebangkitan (Renaissance) yang menerima kembali filsafat dan khususnya logika.

3.7.            Ars Vetus atau Logika Tua

Setelah mengalami zaman gelap maka di Eropa sejak abad ke-13 dan abad ke-14 mulai digali kembali pelajaran logika. Peter Abelard (1079-1142) adalah tokoh pertama yang menghidupkan kembali pelajaran logika pada perguruan yang dibangunnya di kota Paris. Pelajaran logika pada masa itu masih terbatas pada Categoriae, Eisagoge dan De Interpretatione saja. Tetapi karena kesungguhan Abelard menggali naskah-naskah tua maka akhirnya ditemukan juga naskah tentang Topica dan  Perihermenias. Himpunan naskah-naskah inilah yang disebut sebagai ARS VETUS atau “Logika Tua”.

3.8.            Ars Nova atau Logika Baru

Perkenalan dunia barat dengan Organon selengkapnya adalah sesudah proses penyalinan yang luas dari karya-karya ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin. Penyalinan-penyalinan yang luas itu membukakan mata dunia barat kembali akan alam pikiran Yunani tua melalui penafsiran alam pikiran Islam. Karena itu, himpunan salinan itu kemudian disebut sebagai ARS NOVA atau “Logika Baru”. Sejak saat ini literatur tentang logika berkembang sangat pesar di Barat. Petrus Hispanus yang kemudian menjadi Paus dengan panggilan Paus John XXI (1276-1277 M) menyusun pelajaran logika dalam bentuk sajak dan bukunya itu kemudian menjadi buku dasar bagi pelajaran logika sampai abad ke-17. Kumpulan sajak dari Petrus Hispanus mengenai logika itu disebut dengan nama SUMMULAE.

3.9.            Kemunduran Logika Kaum Skolastik
3.9.1        Sekilas tentang Kaum Skolastika

Kata Skolastika berasal dari kata bahasa Latin Scholasticus yang berarti guru. Dalam sejarah filsafafat, salah satu aliran filsafat yang terkenal adalah skolastika. Disebut skolastika karena pada zaman itu yaitu antara 400 M- 1500 M, filsafat mulai diajarkan pada sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang tetap dan yang bersifat internasional. Hal ini mulai berkembang subur pada masa pemerintahan KAREL AGUNG.
Ada dua metode yang diajarkan di sekolah-sekolah, yaitu pertama, LECTIO, yakni metode menyajikan bahan pengajaran dengan tiga tahap, yaitu :
Ø  Littera : penjelasan tentang kata-kata dan kalimat dari suatu teks
Ø  Sensus : tafsiran sederhana atas suatu teks sejauh teks itu jelas secara langsung
Ø  Sententia : penjelasan pribadi seorang guru atas teks.
Kedua, DISPUTATIO, yaitu semacam seminar, di mana suatu topic yang hangat dipilih, dipersoalkan, dan didiskusikan bersama antara siswa dengan guru.
a)      Tokoh-tokoh penting dari zaman skolastik adalah Albertus Magnus (1200- 1280), Thomas Aquino O.P. (1225- 1274), Bonaventura OFM (1217- 1274), Nicolaus Cussanus (1401- 1464) dan Yohanes Duns Scotus OFM (1266- 1308) dengan tema pokok dari ajaran mereka adalah tentang hubungan antara iman dan akal budi (fides et ratio), tentang adanya dan hakekat Tuhan, tentang antropologi, etika dan politik.

3.9.2        Logika pada Masa Skolastika

Menjelang penghujung abad ke-15 pengaruh logika kaum Skolastik mulai mengalami kemundurannya karena telah lebih banyak memperdebatkan hal-hal yang tidak berarti seperti perdebatan antara kaum nominalist dengan kaum realist yakni tentang permasalahan realitas itu apakah ada pada alam luar ataukah ada pada alam cita sehingga logika sudah kehilangan jiwanya yang dinamik. Logika semakin dirasakan sebagai sesuatu yang hampa, kosong untuk digunakan sebagai alat dalam mengembankan pengetahuan.
Francis Bacon (1561-1626) adalah filsuf pertama yang melancarkan serangan terhadap logika. Di dalam bukunya yang berjudul Novum Organon ia menganjurkan penggunaan sistem induksi. Anjuran Bacon mendapat dukungan dari berbagai kalangan sehingga kemudian perhatian lebih ditujukan pada penggunaan sistem induksi. Dengan ini lahirlah gerakan empirisme dan sejak saat ini berkembang penemuan-penemuan baru dalam bidang fisika.
Fr. Bacon merupakan peletak dasar EMPIRISME. Empirisme berasal dari kata Yunani “Empeira” yang berarti pengalaman inderawi. Empirisme mengajarkan bahwa pengalaman merupakan sumber utama pengetahuan, sehingga pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Menurutnya, pengetahuan yang baik dan benar adalah pengetahuan yang konkret, praktis dan bermanfaat bagi manusia. Empirisme kemudian dikembangkan oleh beberapa tokoh penting, yaitu John Locke (1632- 1704), George Berkeley (1665- 1753) dan David Hume (1711- 1776).
Ø  John Locke melihat manusia sebagai sebuah kertas kosong (as white a paper) yang harus diisi oleh pengalaman, baik pengalaman lahirian (sensation) maupun pengalaman refleksi (reflexion).
Ø  George Berkeley tidak mengakui adanya substansi-substansi material. Menurutnya, yang ada hanyalah cirri-ciri yang bisa diamati.
Ø  David Hume tidak menerima prinsip Causalitas, atau prinsip yang berdasarkan pada hubungan sebab-akibat. Menurutnya, segala sesuatu yang ada dalam kenyataan berproses mengikuti prinsip siklus, di mana sesuatu itu “ada” bukan karena ada “penyebabnya”, melainkan bahwa sesuatu itu “ada” karena memang harus ada.  Menurutnya, sebuah batu menjadi panas bukan karena disinari cahaya matahari, melainkan karena memang kalau pada siang hari sebuah batu harus panas, dan ketika malam batu itu harus dingin.

3.10.        Pertumbuhan dan Perkembangan Logika Simbolik

Pembaruan logika di Barat berikutnya disusun oleh beberapa penulis,  di antaranya adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan-pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis. Demikian juga Leonard Euler, seorang ahli matematika dan pencetus logika Swiss melakukan pembahasan tentang term-term dengan menggunakan lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan sebutan Circle-Euler.
John Stuart Mill pada tahun 1843 mempertemukan sistem induksi dengan sistem deduksi. Setiap pangkal-pikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi, kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian yang saling terpisah, tetapi sebetulnya saling membantu. Mill sendiri merumuskan metode-metode bagi sistem induksi, terkenal dengan sebutan Four Methods.

Logika Formal sesudah masa Mill lahirlah sekian banyak buku-buku baru dan ulasan-ulasan baru tentang logika. Dan sejak pertengahan abad ke-19 mulai lahir satu cabang baru yang disebut dengan Logika-Simbolik. Pelopor logika simbolik pada dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz.
Logika simbolik pertama dikembangkan oleh George Boole dan Augustus de Morgan. Boole secara sistematik dengan memakai simbol-simbol yang cukup luas dan metode analisis menurut matematika, dan Augustus De Morgan (1806-1871) merupakan seorang ahli matematika Inggris memberikan sumbangan besar kepada logika simbolik dengan pemikirannya tentang relasi dan negasi.
            Tokoh logika simbolik yang lain ialah John Venn (1834-1923).Ia berusaha menyempurnakan analisis logik dari Boole dengan merancang diagram lingkaran-lingkaran yang kini terkenal sebagai Diagram Venn (Venn's diagram) untuk menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya penyimpulan dari silogisme. Untuk melukiskan hubungan merangkum atau menyisihkan di antara subjek dan predikat yang masing-masing dianggap sebagai himpunan.
Perkembangan logika simbolik mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 dengan terbitnya 3 jilid karya tulis dua filsuf besar dari Inggris Alfred North Whitehead dan Bertrand Arthur William Russell berjudul Principia Mathematica (1910-1913) dengan jumlah 1992 halaman. Karya tulis Russell-Whitehead Principia Mathematica memberikan dorongan yang besar bagi pertumbuhan logika simbolik.
Di Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada perguruan-perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantren-pesantren Islam dan perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab. Pada masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang sesuai perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan teori himpunan.






BAB IV
DESKRIPSI MENGENAI ORGANON
(Karya Aristoteles)

4.1.            CATEGORIAE

Kategori berarti penguraian. Aristoteles memakai kata ini untuk suatu istilah dalam logika yaitu penguraian tentang sesuatu. Menurutnya, segala sesuatu di alam ini memiliki sepuluh aspek atau sepuluh kategori yakni sepuluh penguraian. Oleh karena itu, sikap pikiran yang paling pertama jika berhadapan dengan sesuatu adalah menyoroti sesuatu itu dari sepuluh aspek
Sepuluh aspek atau sepuluh kategori yang dimaksudkan Aristoteles dapat dijadikan soal atau dapat disebutkan dalam bentuk pertanyaan yaitu :
1)      Apakah Zatnya ?                                          : Zat
2)      Apakah sifatnya ?                                        : Sifat
3)      Berapa ?                                                         : Jumlah
4)      Dimana ?                                                       : Tempat
5)      Apabila ? Kapan ?                                        : Tempo
6)      Apa hubungannya ?                                    : Hubungan
7)      Apa kedudukannya ?                                  : Kedudukan
8)      Apa kepunyaannya ?                                  : Kepunyaan
9)      Apa tindakannya ?                                       : Tindakan
10)  Apa akibatnya ?                                           : Penderitaan

Sepuluh kategori ini merupakan alat berpikir yang dapat digunakan terhadap segala sesuatu sebab segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sepuluh aspek ini. Dari sepuluh kategori ini ada 1 substansi dan 9 aksidens. Substansi adalah pengertian yang menunjuk sesuatu yang ada pada dirinya sendiri. Misalnya manusia, binatang, pohon dan lain-lain. Substansi itu menunjuk pada inti dari satu hal sedangkan aksidens itu menunjuk pada sifat atau aspek dari hal tersebut.



4.1.1.      Zat, Sifat dan Jumlah

Menyoroti zat, sifat dan jumlah dari sesuatu berarti menyoroti sesuatu itu dari aspek-aspek yang paling asasi. Zat itu adalah tempat sifat berdiri dan Sifat itu adalah sesuatu yang berdiri di atas zat. Segala sesuatu di alam ini memiliki bentuk dan setiap bentuk itu merupakan susunan dan setiap susunan itu memiliki jumlah. Zat itu tidak harus sesuatu yang material tetapi bisa pula sesuatu yang abstrak, sesuatu konsepsi atau sesuatu pengertian.

4.1.2.      Tempat dan Tempo

Segala sesuatu di alam ini tidak dapat terbebas dari ikatan tempat dan ikatan tempo. Tempat itu senantiasa mengandung efek terhadap sesuatunya. Misalnya hewan di daerah kutub berbeda dengan hewan di daerah katulistiwa. Tempo pun mengandung efek terhadap sesuatunya. Musim kemarau dan musim hujan amat menentukan dan berpengaruh bagi tanaman.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa mengenali lokasi dan mengenali waktu dari sesuatu akan membantu untuk memperjelas sesuatu itu.

4.1.3.      Hubungan, Kedudukan dan Kepunyaan

Menyoroti hubungan sesuatu baik hubungan ke dalam maupun hubungan keluarnya akan semakin memperjelas sesuatu. Begitupun menyoroti kedudukan dari sesuatu yakni posisinya beserta kepunyaan yang dimilikinya. Misalkan anda menyelidiki hubungan anda arah ke dalam yakni dalam lingkungan rumah tangga dan hubungan arah ke luar yakni dalam masyarakat. Bagaimanakah posisi anda dalam rumah tangga dan di dalam masyarakat ? apakah yang anda miliki dalam keluarga dan apakah yang anda miliki dalam masyarakat ?



4.1.4.      Tindakan dan Penderitaan

Segala sesuatu di alam ini memiliki tindakan dan setiap tindakan mengandung akibat. Inilah yang dinamakan dengan penderitaan.

4.2.            DE INTERPRETATIONE

De Interpretatione berisikan pembahasan tentang bentuk-bentuk keterangan. Keterangan dapat diartikan sebagai kalimat yang berisikan pernyataan tentang sesuatu. Keterangan memiliki cirinya yakni (1) mungkin benar dan (2) mungkin palsu. Ciri inilah yang membedakannya dari setiap kalimat yang berisikan perintah atau larangan atau permohonan. Setiap keterangan yang mungkin benar dan mungkin palsu merupakan bahan pikiran bagi seseorang di dalam berpikir.
Setiap orang itu berpikir dan ingin menyatakan pikirannya. Di dalam mengungkapkan pikirannya itu ia pun menggunakan keterangan. Setiap keterangan apapun juga baik yang dibaca, didengar maupun yang diucapkan sendiri selalu terdiri dari tiga bentuk yakni (1) keterangan mengurai, (2) keterangan menduga dan (3) keterangan memisah.
Bentuk pertama adalah bentuk yang paling wajar dan paling umum digunakan. Bentuk itu disebut keterangan mengurai karena kandungan isinya adalah menguraikan dan menjelaskan. Sementara bentuk kedua sebetulnya terdiri atas dua buah keterangan mengurai tetapi dipadu menjadi sebuah keterangan oleh kata JIKA atau MAKA. Bentuk ini tidak menyatakan sesuatu yang telah atau sedang terjadi tetapi berisikan sesuatu dugaan (hipotesa)  dalam hubungan sebab-akibat (kausalitas). Sedangkan bentuk ketiga bersifat memisahkan dengan menggunakan kata ATAU.

4.3.            ANALYTICA PRIORA, ANALYTICA POSTERIORA dan TOPICA

Analytica Priora berisi pembahasan tentang bentuk-bentuk susunan pikiran yang digunakan dalam berpikir. Di dalam proses pemikiran ini setiap orang menempuh berbagai cara baik secara sadar maupun tidak sadar. Cara yang ditempuh dalam proses pemikiran inilah yang disebut dengan jalan pikiran.
Pada saat seseorang memperjelas titik hubungan antara kedua keterangan yakni keterangan yang pernah didengar dan yang sedang didengar dan kemudian menyimpulkan pendapat yang diungkapkan dalam sebuah keterangan yang baru maka sikap pikirannya saat itu telah bergerak dalam suatu rangka pikiran yang disebut sebagai susun pikiran. Sedangkan Analytica Posteriora berisikan pembahasan tentang jenis-jenis bahan pikiran yang berkekuatan meyakinkan.
Doktrin tentang SUSUN PIKIRAN terbagi atas dua yakni tentang bentuk pikiran dan bahan pikiran. Logika membahas segala persoalan dari sudut akal, mempertimbangkan setiap keterangan apapun agar dapat diterima oleh akal baik keterangan yang bersifat a posteriori yakni hasil pengamatan beserta penyelidikan yang dilakukan oleh panca indera maupun keterangan yang bersifat a priori yakni sesuatu yang abstrak dan sudah tidak tergantung pada tangkapan inderawi.
Setiap keterangan dijadikan bahan pikiran. Logika membagi bahan pikiran itu atas empat jenis yakni : Argumentum ad Judiciam, Argumentum ad verecundiam, Argumentum ad hominem dan Argumentum ad Ignoratium.

4.3.1.      Argumentum ad Judiciam

Argumentum ad Judiciam berisikan pernyataan-pernyataan yang meyakinkan karena memiliki pembuktian kuat sehingga melahirkan kepastian. Keterangan-keterangan yang termasuk dalam Argumentum ad Judiciam adalah :
1)      Keterangan yang mengandung pembuktian dalam dirinya sendiri.  Contohnya : “setiap benda memiliki keluasan” atau “dua kali dua itu empat”. Keterangan yang termasuk golongan ini disebut sebagai aksioma  atau pernyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Kebenaran pada setiap aksioma itu mudah ditangkap dengan membayangkan pengertiannya.
2)      Keterangan yang diperoleh melalui tangkapan inderawi. Contohnya : “api itu panas” atau “matahari itu bersinar” atau “musik itu merdu” atau “hidangan itu lezat” atau “bunga itu harum”. Semuanya merupakan pernyataan-pernyataan yang diperoleh melalui tangkapan inderawi. Seseorang yang cacad salah satu inderanya akan berkurang jumlah pengetahuan di dalam perbendaharaan ingatannya. Seorang yang buta dapat juga mengatakan bahwa “matahari itu memiliki sinar” tetapi pengetahuannya ini bukanlah pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi  melainkan karena ia mendengarkan keterangan dari orang lain.
3)      Keterangan yang diperoleh melalu getaran batin di dalam diri sendiri. Contohnya : “saya takut” atau “saya cemas” atau “saya marah” atau “saya benci”. Keterangan ini diyakini sepenuhnya oleh yang mengucapkannya karena berdasarkan getaran batinnya sendiri.
4)      Keterangan yang diperoleh melalui hasil pengamatan dan percobaan. Contohnya : “petani yang mulai tumbuh itu memerlukan air”. Pernyataan ini dialami sepenuhnya oleh para petani dan mereka sangat yakin akan kebenarannya.

4.3.2.      Argumentum ad verecundiam

Argumentum ad verecundiam  berisikan pernyataan-pernyataan yang diterima kebenarannya untuk menjadi pegangan sekalipun tidak meyakinkan sepenuhnya.
Verecundiam berasal dari kata verecundus yang berarti sikap rendah hati dan sikap malu-malu. Jika seorang ayah berbicara kepada anaknya atau seorang pemimpin berbicara kepada pengikutnya atau seorang guru berbicara kepada muridnya maka sikap pihak yang mendengar pembicaraan itu biasanya menerima pembicaraan itu dengan rendah hati. Bagi yang benar-benar rendah hati maka ia akan menganggap pembicaraan itu sebagai suatu kebenaran sedangkan bagi yang memiliki daya kritis di dalam dirinya maka sikap yang diambil adalah mengangkat muka dan menantang pembicaraan itu.
Karena itu Argumentum ad verecundiam bukan berbicara kepada pikiran seseorang untuk dipertimbangkan secara kritis, untuk dinilai secara teliti tetapi lebih banyak ditujukan kepada timbang-rasa seseorang dengan berdasarkan pada kedudukan si pembicara dalam pandangan si pendengar. Jika kedudukan si pembicara itu sendiri tidak begitu tinggi dalam pandangan si pendengar maka si pembicara akan berusaha mengukuhkan pembicaraannya dengan mengutip ucapan dari tokoh-tokoh lain yang disegani, dihormati oleh si pendengar. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kebenaran pembicaraan itu bukan terletak pada isi pembicaraannya melainkan pada kedudukan suatu pribadi.

Keterangan-keterangan yang termasuk dalam Argumentum ad verecundiam adalah :
1)      Keterangan yang berdasarkan pada pandangan umum. Setiap kelompok masyarakat memiliki pandangan-pandangan yang menjadi pegangan hidup setiap orang di dalam kelompok. Pandangan umum itu diterima kebenarannya. Tetapi, dengan itu orang akan kehilangan daya teliti  untuk melakukan koreksi atas isi pembicaraan atau isi pandangan umum itu. Karena itu, keterangan seperti ini tidak mengandung kekuatan yang meyakinkan meskipun oleh yang mendengarnya keterangan atau pandangan umum itu diterima sebagai suatu kebenaran. Tetapi, apa yang diterima sebagai suatu kebenaran oleh suatu kelompok masyarakat belum tentu benar dalam pandangan lain pada kelompok lain. Jadi, kebenaran setiap pandangan umum itu sangat relatif ditilik dari sudut ruang dan tempo.
2)      Keterangan yang senantiasa berdasarkan pada pendapat pihak yang berwenang seperti para ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing. Keterangan seperti ini memperoleh kekuatan dan pihak pendengar pun terpesona dengan keterangan seperti itu. Keterangan seperti ini biasa dipakai dalam pidato atau di dalam diskusi.
3)      Keterangan yang berdasarkan dugaan yang kuat meski bukti-bukti yang meyakinkan belum ada. Termasuk dalam kelompok seperti ini adalah hipotesa-hipotesa dalam berbagai lapangan ilmiah. Pembicaraan hanya berdasarkan dugaan meski pembuktiannya diperoleh pada waktu setelahnya.

4.3.3.      Argumentum ad hominem

Argumentum ad hominem  berisikan pernyataan-pernyataan yang demikian kuat menggugah perasaan seseorang tetapi bukan menggugah pemikirannya. Setiap keterangan yang termasuk dalam golongan argumen ini bukan berbicara kepada pikiran seseorang melainkan kepada prasangka seseorang.
Hominem berasal dari kata homuncio yang berarti anak kecil, kekanak-kanakan atau kelemahan. Jadi, setiap argumen ini ditujukan pada sudut terlemah dalam diri manusia yaitu prasangka-khayali dengan jalan menyentuhnya. Setiap keterangan yang termasuk dalam golongan argumen ini memiliki kekuatan membangkitkan daya khayal lawan bicara dan hal ini digunakan untuk menimbulkan kebencian atau kegairahannya. Kekuatannya itu terletak pada permainan berbagai fantasi yang ditimbulkan dalam ingatan lawan bicara.
Contohnya adalah “jika di depan anda terhidang sepiring bubur kuning yang kelihatannya lezat maka selera anda bangkit untuk memakannya. Tetapi ketika anda hendak memakannya tiba-tiba seorang yang lain berkata kalau bubur itu seperti berak bayi. Maka selera anda yang tengah bangkit itu niscaya tiba-tiba hilang”. Inilah suatu kekuatan dari argumen ini meskipun sebenarnya tidak ada hubungan antara berak bayi dengan bubur di piring itu.
Argumen ad hominem dapat juga digunakan untuk membangkitkan kegairahan orang. Misalnya dalam dunia advertensi atau periklanan. Selain itu, yang paling cakap menggunakan argumen ini adalah para ahli sastra di mana seorang pembaca bisa saja menangis, tertawa, tersenyum, marah, benci, kesal, sedih hanya karena kecakapan penanya menyentuh khayal pembacanya.

4.3.4.      Argumentum ad ignoratium

Argumentum ad Ignoratium berisikan pernyataan-pernyataan yang secara lahiriah kelihatan seakan-akan benar tetapi pada hakekatnya adalah palsu. Argumen ini ditujukan kepada sudut yang paling lemah dalam diri manusia yakni kebodohan. Jika sekumpulan orang tengah menghadapi sebuah lukisan harimau dalam sebuah pameran seni rupa dan seseorang tiba-tiba berkata “itu adalah harimau” maka yang lainnya pasti mengangguk saja. Tetapi, jika orang itu berkata “itu adalah harimau” sambil tangannya menujuk kepada lukisan maka yang lainnya baru menyadari bahwa mereka telah diperbodohi sebab yang ada dalam lukisan itu bukanlah harimau tetapi lukisan harimau.











BAB V
DASAR-DASAR PENALARAN

            Yang termasuk dalam pembahasan tentang dasar-dasar penalaran adalah putusan, pengertian, konsep dan term, prinsip-prinsip penalaran, analisis, klasifikasi (penggolongan) dan definisi, serta proposisi kategorik.

5.1.            PUTUSAN
5.1.1.      Pengertian

Manusia yang mempunyai “hasil tahu” disebut mempunyai pengetahuan. Ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ia bertindak semacam hakim. Hakim setelah mengadakan penyelidikan mengenai seorang terdakwa pada akhirnya ia akan menjatuhkan putusan terhadap terdakwa itu misalnya “orang itu bersalah”. Dalam hal ini hakim itu menyatakan atau mengatakan sesuatu tentang seseorang.
Hasil tahu manusia juga merupakan putusan. Putusan itu diutarakan dengan kata entah lisan maupun tertulis. Keseluruhan maksud dalam putusan yang diutarakan dengan kata atau rentetan kata itu disebut kalimat. Bahasa memang merupakan alat dan penjelmaan berpikir sehingga dengan demikian logika berhubungan erat dengan bahasa tetapi logika bukanlah bahasa. Hukum bahasa tidak persis sama dengan hukum logika.
Putusan mengakui sesuatu tentang sesuatu. Karena itu, harus ada dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Yang satu menjadi dasar yang dalam bahasa logika disebut sebagai SUBYEK dan yang lain merupakan “yang diakui hubungannya terhadap subyek” yaitu disebut PREDIKAT (Poedjawijatna, 1986 : 27-28). [3]  Kalau putusan itu diutarakan dengan kata (dalam tata bahasa disebut kalimat) maka kalimat itu terdiri dari dua bagian yang disebut subyek dan predikat. Dalam tata bahasa bisa terjadi hanya ada salah satu yaitu apakah subyek ataukah predikat. Misalnya “Gila”. Menurut tata bahasa, subyek tidak ada. Tetapi bagi logika tentu saja subyek yang ada misalnya “aku” sehingga disempurnakan “aku gila”. Karena itu, dalam logika kalau ada putusan maka harus ada dua hal yang saling berhubungan yakni subyek dan predikat apa itu dikatakan atau tidak.
5.1.2.      Kekuatan Putusan

Terdapat tiga kekuatan yang dimiliki oleh suatu putusan yakni kepastian, dugaan dan sangsi. Setiap putusan ada unsur kepastian, dugaan dan sangsi.
Suatu putusan disebut pasti jika putusan itu disertai dengan bukti-bukti sehingga orang dapat menjadi yakin tentang putusan itu. Berbeda dengan dugaan. Suatu putusan termasuk kategori dugaan jika putusan itu hanya berdasarkan pada beberapa faktor saja tanpa ada keyakinan dan pembuktian. Dugaan termasuk dalam putusan tetapi disebut sebagai putusan yang tidak pasti dan orang yang menduganya tidak mempunyai keyakinan. Sedangkan sangsi berarti keragu-raguan. Ini berarti bahwa seseorang tahu dan sadar bahwa alasannya tidak cukup kuat untuk membuat putusan sehingga ia tidak berani dan tidak mampu untuk membuat putusan tentang sesuatu. Orang tersebut sangsi terhadap kebenaran putusan.
Berdasarkan ketiga unsur di atas maka yang sebenarnya disebut putusan adalah kepastian. Dugaan dan sangsi dan bukanlah putusan yang sebenarnya. Karena itu, tidaklah mudah untuk membuat putusan sebab harus ada alasan-alasan yang kuat dan bisa meyakinkan orang lain.

5.1.3.      Macam-Macam Putusan

Putusan itu terdiri atas dua bagian yaitu subyek dan predikat. Berdasarkan hubungan subyek dan predika maka ada beberapa macam putusan.

a)                  Putusan analitik dan sintetik
Putusan analitik adalah putusan yang diperoleh berdasarkan analisa dan bukan berdasarkan pengalaman. Putusan ini disebut juga sebagai putusan a priori. Di dalam putusan ini subyek mengandung predikat dengan mutlak. Predikat bukan merupakan sesuatu yang baru bagi subyek melainkan sebagai suatu aspek dari subyek yang terdapat mutlak pada subyek. Dalam putusan analitik ini seseorang mengenal sesuatu dan menganalisa obyeknya dan demi penganalisaannya itu maka orang itu harus memiliki pengetahuan yang jelas tentang obyek tersebut. Jika orang melakukan analisa tentang pendidikan serta sampai pada kesimpulan yang sederhana bahwa “pendidikan itu harus memiliki anak didik” maka di sini berarti “pendidikan” adalah subyek dan “harus memiliki anak didik” adalah subyek. Dalam contoh ini subyek dan predikat berhubungan dengan mutlak sebab predikatnya sebetulnya sudah tercantum dalam subyek. Contoh lain adalah “keseluruhan itu lebih besar dari bagiannya” maka ini adalah putusan analitik. Sebab “keseluruhan” (subyek) mengandung predikat (lebih besar dari bagiannya) dengan mutlak. Karena itu, dalam putusan analitik predikat itu berlaku umum dan mutlak bagi subyek dan dengan itu putusan itu berlaku umum dan mutlak juga.
Tetapi, tidak semua putusan berlaku umum dan mutlak. Misalnya “tembok itu kuning”. “kuning” (predikat) hanya berlaku bagi tembok saja (subyek) karena tidak semua benda berwarna kuning. Jadi, putusan ini tidak berlaku umum dan mutlak. Dengan ini dapat dijelaskan bahwa predikat tidak mutlak terdapat pada subyek. Predikat menambah sesuatu yang baru bagi subyek. Karena itu, putusan ini disebut sebagai putusan sintetik. [4] Putusan sintetik diperoleh berdasarkan pengalaman yaitu berdasarkan indera. Karena itu, putusan ini disebut juga sebagai putusan aposteriori.

b)                  Putusan Positif dan Negatif
Putusan positif adalah putusan yang memberikan pengakuan atas hubungan subyek dan predikat. Misalnya “kekuasaan Allah itu Absolut”. Sedangkan putusan negatif  adalah putusan yang memberikan pengingkaran atas hubungan subyek dan predikat. Misalnya “kekuasaan Allah itu tidak terbatas”.
Pengakuan dan pengingkaran harus diberikan secara logis dan bukan menurut tata bahasa. Sebab menurut tata bahasa putusan negatif dapat dituangkan dalam bentuk putusan positif seperti “orang itu miskin” padahal kata “miskin” itu memiliki pengertian negatif yaitu “tidak kaya”. Maka, untuk logika haruslah “orang itu tidak kaya” dan bukan “orang itu miskin”.

c)                  Putusan Universal, partikular dan singular
Putusan universal adalah putusan yang berkaitan dengan segala hal dan bagian-bagiannya. Misalnya “manusia itu berbudi”. Ini adalah putusan universal sebab semua manusia itu berbudi entah yang miskin atau pun yang kaya. Sementara putusan partikular adalah putusan yang hanya berlaku untuk beberapa hal saja misalnya “umat Paroki Kumba rajin beribadat”. Maka putusan ini hanya berlaku untuk umat Kumba saja dan tidak menjelaskan tentang orang Manggarai yang rajin beribadat. Sedangkan putusan partikular adalah putusan yang hanya berlaku untuk suatu hal saja. Putusan ini bersifat individual. Misalnya “Si A rajin beribadat”. Maka putusan ini hanya mau menjelaskan tentang si A saja yang rajin beribadat.

5.2.            PENGERTIAN
5.2.1.      Sejarah Pengertian

Manusia memiliki pengertian. Untuk dapat mengetahui sesuatu atau untuk berilmu atau untuk bercakap-cakap manusia membutuhkan pengertian. Meskipun ada salah pengertian tetapi itulah pengertian. Ini membuktikan bahwa manusia tidak terpisah dari pengertian.
Pengertian itu sangat penting bagi manusia sehingga tidak heran jika dalam filsafat ada persoalan tentang pengertian itu yang dicoba jawab oleh para filsuf. Jawaban mereka tidak sama dan tidak sama benarnya. Meskipun demikian, bukanlah tugas logika untuk menunjuk jawaban mana yang benar. Dalam pembahasan ini, persoalan itu dikaji untuk melengkapi pengetahuan kita tentang pengertian.
Istilah yang dipakai dalam logika adalah pengertian. Kata “pengertian” berasal dari bentuk kata “mengerti” yang kata dasarnya adalah arti. Jadi, mengerti berarti mengambil arti sehingga pengertian sama artinya dengan arti atau bersinonim dengan “maksud”. Dalam bahasa logika, pengertian disebut sebagai IDEA. Kata ini mempunyai sejarah.
Plato (427-348), seorang ahli pikir Yunani menggunakan kata eidos yang arti sebenarnya berarti gambar yang kemudian dalam karya-karya Plato selanjutnya kata itu diterjemahkan sebagai maksud, arti dan pengertian. Selain itu, pada abad pertengahan terkenal istilah lain yaitu universale yang berarti umum karena pengertian itu berlaku umum. Istilah lain adalah conceptus yang berasal dari kata concipere yang bearti “menangkap” karena pengertian itu merupakan hasil tangkapan manusia dengan budinya. Nama lain adalah terminus yang berasal dari kata “terminus” yang berarti pangkal, batas. Kata ini kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan sebutan term.

5.2.2.      Arti dan Macam-Macam Pengertian

Pengertian bukanlah kata karena pertama-tama tidak semua putusan harus dikatakan. Selain itu, kata menunjuk beberapa arti misalnya kata “madu” bisa berarti dari lebah dan bisa berarti isteri kedua. Pengertian dapat diutarakan dengan bermacam-macam kata (sinonim) seperti terlalu, amat, sangat dan lain-lain. Kata tidak identik dengan pengertian. Kata hanyalah tanda yang menunjuk kepada pengertian. Kata menunjuk pada sesuatu tetapi bukan tentang yang konkret dengan segala sifatnya melainkan satu atau beberapa sifat saja. Misalnya dalam putusan “manusia itu beda dari kera”. Yang dimaksud dalam putusan ini adalah manusia pada umumnya dan bukan manusia tertentu sebab manusia tertentu lain dari manusia yang lain  pula. Yang ditunjuk oleh pengertian manusia dalam  putusan tersebut di atas ialah aspek dari kesungguhan, sifat itu memang sungguh-sungguh ada tetapi dipandang tersendiri, dipilih yang sama dalam sejenis itu (manusia) sehingga yang dimaksudkan adalah “kemanusiaan” dan kera itu menunjuk “kekeraan”. Jadi, nama jenis seperti “kemanusiaan” menunjuk kepada yang tidak konkret atau yang abstrak. Yang abstrak inilah yang disebut sebagai pengertian.
Yang sungguh ada merupakan yang konkret dengan segala sifatnya. Itulah sebabnya walaupun ada beberapa hal tetapi hal-hal itu berlainan di mana yang satu lain dari yang lain. Meskipun demikian, antara dua hal yang berlainan tetap ada kesamaan antara keduanya. Dan karena yang diperhatikan hanyalah tentang unsur-unsur yang sama maka sampailah orang kepada apa yang dinamakan dengan abstrak. Mengabstrakkan berarti mengambil sifat-sifat yang sama dan tidak menghiraukan sifat-sifat yang berbeda. Dengan pengabstrakan manusia mencapai pengertian yang abstrak itu dan dapat mengadakan putusan yang berlaku umum.
Pengabstrakan tidak sama derajatnya. Pengertian memang selalu abstrak tetapi pengertian “manusia” lebih abstrak dari pengertian “guru”. Artinya pengertian “manusia” lebih umum daripada pengertian “guru” sebab semua individu yang masuk dalam jenis manusia dapat dimasukkan kepada pengertian tentang manusia itu tetapi tidak mungkin semuanya itu dimasukkan kepada pengertian tentang guru.
Pengertian adalah hasil pengetahuan manusia mengenai aspek atau beberapa aspek realitas. Misalnya tentang pengertian ”manusia” yaitu sebagai sesuatu yang hidup, yang rasional, emosional, bekerja dan sebagainya. Jadi ada beberapa aspek yang diutarakan. Inilah pengertian. Dan pengertian terdiri atas beberap jenis atau beberapa macam yaitu pengertian universal, pengertian partikular, pengertian singular, pengertian positif dan pengertian negatif.
PENGERTIAN UNIVERSAL adalah pengertian yang menjelaskan tentang segala hal beserta bagian-bagiannya. Ini berarti bahwa dalam menghadapi realitas tertentu manusia hanya menghiraukan sifat atau aspek yang terdapat pada semua hal yang termasuk dalam realitas tersebut atau hanya memperhatikan sifat umum dari suatu realitas. Misalnya jika realitas yang ditunjuk adalah “manusia” maka pengertiannya hanya berkaitan dengan sifat-sifat umum yang ada pada semua manusia seperti “manusia adalah sesuatu yang memiliki akal budi”. Jadi, yang diperhatikan Cuma aspek yang sama yang ada pada semua manusia yaitu bahwa semua manusia memiliki akal budi. Kualitas “pintar” atau “kurang pintar” tidak diperhatikan.
PENGERTIAN PARTIKULAR adalah pengertian yang hanya menjelaskan sebagian saja dari suatu realitas. Pengertian ini tidak berlaku umum dan tidak mutlak. Misalnya jika seseorang berkata kepada seorang gadis Bali : “Kamu gadis Bali tidak dapat menari, mana bisa ?” Ini dimaksudkan bahwa mustahillah seorang gadis Bali tidak dapat menari sebab dalam pandangan umum masyarakat gadis Bali itu pasti dapat menari. Walaupun dikatakan bahwa gadis Bali “pasti” dapat menari tetapi keharusan dan kepastian ini tidak mutlak, kepastiannya tidak pasti sebab ada dan banyak juga gadis Bali yang tidak dapat menari. Jadi, pengertian seperti inilah yang disebut sebagai pengertian particular.
PENGERTIAN SINGULAR adalah pengertian yang hanya menjelaskan suatu individu tertentu saja. Misalnya “si A itu cantik”. Maka di sini pengertian yang dimaksudkan adalah kualitas cantik dari si A saja dan bukan untuk semua wanita atau hanya untuk sebagian wanita.
PENGERTIAN POSITIF adalah pengertian yang menunjuk kepada sesuatu secara positif. Misalnya “lukisan itu indah”. Maka yang dijelaskan dalam pengertiannya hanyalah tentang unsur “indah” yang dimiliki lukisan itu. Aspek positifnya ada pada kualitas “indah”. Sedangkan PENGERTIAN NEGATIF adalah pengertian yang menunjuk kepada sesuatu secara negatif. Misalnya “lukisan itu tidak indah”. Ini berarti bahwa ada pengingkaran terhadap dasar pengetahuan tentang indah. Yang membuat pengertian ini disebut pengertian negatif adalah kualitas “tidak indah” yang dimiliki oleh lukisan itu.
5.3    KONSEP DAN TERM
5.3.1        Deskripsi

Akal manusia apabila menangkap sesuatu terwujud dengan membuat konsep atau ide atau juga pengertian. Dengan demikian, buah atau hasil dari tangkapan akal disebut dengan istilah "konsep". Jadi ide dan konsep dalam logika adalah sama artinya. Konsep atau ide atau juga pengertian adalah bersifat kerohanian dan dapat diungkapkan ke dalam bentuk kata atau istilah atau juga beberapa kata. Ungkapan pengertian dalam bentuk kata atau istilah disebut dengan "term".
Term sebagai ungkapan konsep jika terdiri atas satu kata atau satu istilah maka term itu dinamakan term sederhana atau term simpel, dan jika terdiri atas beberapa kata maka term itu dinamakan term komposit atau term kompleks.
Setiap term mempunyai konotasi atau isi. Konotasi adalah keseluruhan arti yang dimaksudkan oleh suatu term, yaitu kesatuan antara unsur dasar atau term yang lebih luas dengan sifat pembeda yang bersama-sama membentuk suatu pengertian. Konotasi secara singkat dapat dinyatakan sebagai suatu uraian tentang pembatasan arti atau definisi sehingga konotasi term adalah suatu definisi karena menunjukkan genus (jenis) dengan sifat pembeda.
Setiap term mempunyai denotasi atau lingkungan. Denotasi adalah keseluruhan hal yang ditunjuk oleh term atau keseluruhan hal sejauh mana term itu dapat diterapkan. Denotasi atau lingkungan atau sering juga disebut dengan luas, adalah mencakup semua hal yang dapat ditunjuk atau lingkungan yang dimaksudkan oleh term.
Denotasi term ini menunjukkan adanya suatu himpunan karena sejumlah hal-hal yang ditunjuk itu menjadi satu kesatuan dengan ciri tertentu (sifat-sifat tertentu). Jadi, dengan adanya sifat-sifat yang diuraikan oleh konotasi (isi term) maka dapatlah dihimpun beberapa hal tertentu menjadi satu kesatuan. Dan dengan menunjukkan beberapa hal maka denotasi berhubungan dengan kuantitas.
Konotasi dan denotasi term, mempunyai hubungan yang erat tidak dapat terlepaskan, berbentuk hubungan berbalikan (dasar balik) jika yang satu bertambah maka yang lain akan berkurang, demikian sebaliknya. Dalam hal ini terdapat 4 kemungkinan sebagai berikut. (1) Makin bertambah konotasi makin berkurang denotasi. (2) Makin berkurang konotasi makin bertambah denotasi. (3) Makin bertambah denotasi makin berkurang konotasi. (4) Makin berkurang denotasi makin bertambah konotasi.
5.3.2        Pelbagai Macam Term


Term maupun konsep banyak sekali macam-macamnya demikian juga pembagiannya. Pembagian term dikelompokkan atas 4 macam, yakni pembagian term menurut konotasinya, pembagian term menurut denotasinya, pembagian term menurut cara beradanya sesuatu, dan pembagian term menurut cara menerangkan sesuatu.
Berdasarkan konotasi, term dibedakan atas term konkret dan term abstrak. Di samping itu keduanya ada yang berada dalam lingkungan hakikat, dan ada yang berada dalam lingkungan sifat. Hakikat konkret yaitu menunjuk ke-"hal"-nya suatu kenyataan yang berkualitas dan bereksistensi. Hakikat abstrak yaitu menyatakan suatu kualitas yang tidak bereksistensi atau tidak ada dalam ruang dan waktu. Sifat konkret yaitu menunjuk pen-"sifatan"-nya suatu kenyataan yang berkualitas dan bereksistensi. Sifat abstrak yaitu menyatakan pensifatan yang terlepas dari eksistensi atau tidak ada dalam ruang dan waktu.
Berdasarkan denotasi term, dapat dibedakan term umum dan term khusus. Term umum dibedakan atas 2 macam yaitu, (1) Universal, yaitu sifat umum yang berlaku dan di dalamnya tidak terbatas oleh ruang dan waktu; (2) Kolektif, yaitu sifat umum yang berlaku dan di dalamnya menunjuk suatu kelompok tertentu sebagai kesatuan. Term khusus juga dibedakan atas dua macam yaitu, (1) Partikular, yaitu sifat khusus yang berlaku hanya menunjuk sebagian tidak tertentu; (2) Singular, yaitu sifat khusus hanya menunjuk pada satu hal atau suatu himpunan yang mempunyai hanya satu anggota.
Berdasarkan cara beradanya sesuatu, maka Term yang paling luas adalah term "ada" atau term "yang ada". Term "ada" selanjutnya dibagi dalam 2 macam, yaitu ada yang tidak terbatas dan ada yang terbatas. Sesuatu yang ada (ada terbatas) pasti ada unsur hakikat dan unsur sifat atau menurut filsafat dinyatakan secara singkat terdiri atas substansi dan aksidensia. Substansi adalah hakikat sesuatu yang adanya terdapat di dalam diri sendiri sebagai pendukung sifat-sifat. Aksidensia merupakan kumpulan sifat zat, yang ada sembilan sifat, yaitu kuantitas, kualitas, aksi, pasi, relasi, ruang, waktu, posisi, keadaan.
Sedangkan berdasarkan cara menerangkan sesuatu, Term terdiri atas 5 macam, yaitu genus, spesies, diferensia, propium, dan aksiden. Genus ialah himpunan golongan-golongan yang menunjukkan hakikat yang berbeda bentuk tetapi terpadu oleh persamaan sifat. Spesies ialah himpunan sesuatu yang menunjukkan hakikat bersamaan baik bentuk maupun sifatnya sehingga dapat memisahkan sesuatu dari lain-lain golongan. Diferensia ialah sifat pembeda yang menunjukkan hakikat suatu golongan sehingga terwujud kelompok diri. Propium ialah sifat khusus sebagai predikat yang niscaya terlekat pada hakikat sesuatu diri sehingga dimiliki oleh seluruh anggota golongan. Sedangkan Aksiden ialah sifat kebetulan sebagai predikat yang tidak bertalian dengan hakikat sesuatu diri sehingga tidak dimiliki oleh seluruh anggota golongan.

5.4    PRINSIP-PRINSIP PENALARAN


Prinsip-prinsip penalaran atau aksioma penalaran merupakan dasar semua penalaran yang terdiri atas tiga prinsip yang kemudian di tambah satu sebagai pelengkap. Aksioma atau prinsip dasar dapat didefinisikan sebagai suatu pernyataan yang mengandung kebenaran universal yang kebenarannya itu sudah terbukti dengan sendirinya. Prinsip-prinsip penalaran yang dimaksudkan adalah (1) prinsip identitas, (2) prinsip nonkontradiksi, dan (3) prinsip eksklusi tertii, dan sebagai tambahan pelengkap prinsip identitas adalah prinsip cukup alasan.
Prinsip identitas menyatakan: "sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri". Sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain. Dalam suatu penalaran jika sesuatu hal diartikan sesuatu p tertentu maka selama penalaran itu masih berlangsung tidak boleh diartikan selain p, harus tetap sama dengan arti yang diberikan semula atau konsisten. Prinsip identitas menuntut sifat yang konsisten dalam suatu penalaran jika suatu himpunan beranggotakan sesuatu maka sampai kapan pun tetap himpunan tersebut beranggotakan sesuatu tersebut.
Prinsip nonkontradiksi menyatakan: "sesuatu tidak mungkin merupakan hal tertentu dan bukan hal tertentu dalam suatu kesatuan", Prinsip ini menyatakan juga bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin ada pada suatu benda dalam waktu dan tempat yang sama. Dalam penalaran himpunan prinsip nonkontradiksi sangat penting, yang dinyatakan bahwa sesuatu hal hanyalah menjadi anggota himpunan tertentu atau bukan anggota himpunan tersebut, tidak dapat menjadi anggota 2 himpunan yang berlawanan penuh. Prinsip nonkontradiksi memperkuat prinsip identitas, yaitu dalam sifat yang konsisten tidak ada kontradiksi di dalamnya.
Prinsip eksklusi tertii menyatakan bahwa "sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah". Prinsip eksklusi tertii menyatakan juga bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya sifat p atau non p. Demikian juga dalam penalaran himpunan dinyatakan bahwa di antara 2 himpunan yang berbalikan tidak ada sesuatu anggota berada di antaranya, tidak mungkin ada sesuatu di antara himpunan H dan himpunan non H sekaligus. Prinsip ketiga ini memperkuat prinsip identitas dan prinsip nonkontradiksi, yaitu dalam sifat yang konsisten tidak ada kontradiksi di dalamnya, dan jika ada kontradiksi maka tidak ada sesuatu di antaranya sehingga hanyalah salah satu yang diterima.
Prinsip cukup alasan menyatakan: "suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu mestilah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi". Prinsip cukup alasan ini dinyatakan sebagai tambahan bagi prinsip identitas karena secara tidak langsung menyatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak berubah, tetap sebagaimana benda itu sendiri jika terjadi suatu perubahan maka perubahan itu mestilah ada sesuatu yang mendahuluinya sebagai penyebab perubahan itu.

5.5.            ANALISIS, KLASIFIKASI (PENGGOLONGAN) DAN DEFINISI
5.5.1        Analisis atau Pembagian


Analisis merupakan proses mengurai sesuatu hal menjadi berbagai unsur yang terpisah untuk memahami sifat, hubungan, dan peranan masing-masing unsur. Analisis secara umum sering juga disebut dengan pembagian. Dalam logika, analisis atau pembagian berarti pemecah-belahan atau penguraian secara jelas berbeda ke bagian-bagian dari suatu keseluruhan. Bagian dan keseluruhan selalu berhubungan. Suatu keseluruhan adalah terdiri atas bagian-bagian.
Keseluruhan pada umumnya dibedakan atas keseluruhan logik dan keseluruhan realis. Keseluruhan logik merupakan keseluruhan yang dapat menjadi predikat masing-masing bagiannya, sedang keseluruhan realis merupakan keseluruhan yang tidak dapat dijadikan predikat masing-masing bagiannya. Jika keseluruhan dibedakan antara keseluruhan logik dan keseluruhan realis maka analisis dibedakan juga antara analisis logik dan analisis realis.
Analisis logik adalah pemecah-belahan sesuatu ke bagian-bagian yang membentuk keseluruhan atas dasar prinsip tertentu. Analisis logik selalu merupakan pembagian suatu himpunan ke dalam subhimpunan, yang dibedakan atas analisis universal dan analisis dikotomi. Analisis universal merupakan pemerincian suatu genus dibagi ke dalam semua spesiesnya atau pemecah-belahan term umum ke term-term khusus yang menyusunnya. Analisis dikotomi merupakan pemecah-belahan sesuatu dibedakan menjadi dua kelompok yang saling terpisah, yang satu merupakan term positif yang lain term negatif.
Analisis realis adalah pemecah-belahan berdasarkan atas susunan benda yang merupakan kesatuan dalam perwujudannya. Analisis realis dibedakan menjadi atas analisis esensial dan analisis aksidental. Analisis esensial merupakan pemecah-belahan sesuatu hal ke unsur dasar yang menyusunnya. Analisis aksidental merupakan pemecah-belahan sesuatu hal berdasarkan sifat-sifat yang menyertai perwujudannya.
Dalam analisis ada aturan-aturan tertentu yang menjadi petunjuk untuk mengadakan analisis secara ideal supaya hasilnya tidak menimbulkan kesalahan, yaitu analisis harus berjalan menurut sebuah asas tertentu, analisis harus lengkap dan tuntas, analisis harus jelas terpisah antarbagiannya.

5.5.2        Klasifikasi (Penggolongan)


Klasifikasi merupakan proses pengelompokan sifat, hubungan, maupun peranan masing-masing unsur yang terpisah dalam suatu keseluruhan untuk memahami sesuatu konsep universal. Klasifikasi bergerak dari barang-barang, kejadian-kejadian, fakta-fakta atau proses-proses alam kodrat individual yang beraneka ragam coraknya, menuju ke arah keseluruhan yang sistematik dan bersifat umum. Perbedaan antara klasifikasi dan analisis adalah sebagai berikut: Analisis lebih erat hubungannya dengan proses yang semata-mata bersifat formal, sedang klasifikasi lebih bersifat empirik serta induktif.
Pembedaan klasifikasi didasarkan atas sifat bahan-bahan yang akan digolong-golongkan disebut dengan klasifikasi kodrati, dan maksud yang dikandung oleh orang yang mengadakan penggolongan disebut dengan klasifikasi buatan, dan juga klasifikasi gabungan antara keduanya yang disebut dengan klasifikasi perantara atau klasifikasi diagnostik.
Klasifikasi kodrati ditentukan oleh susunan kodrati, sifat-sifat dan atribut-atribut yang dapat ditemukan dari bahan-bahan yang tengah diselidiki. Klasifikasi buatan ditentukan oleh sesuatu maksud yang praktis dari seseorang, seperti untuk mempermudah penanganannya dan untuk menghemat waktu serta tenaga. Klasifikasi diagnostik merupakan gabungan yang tidak sepenuhnya kodrati dan juga tidak sepenuhnya buatan.
Hukum-hukum klasifikasi atau penggolongan yang sama intinya dengan hukum-hukum analisis dapat ditentukan sebagai berikut: Klasifikasi atau penggolongan harus hanya ada satu asas tertentu. Suatu klasifikasi atau penggolongan harus sampai tuntas dan jelas. Unsur-unsur sebagai bagian untuk menyusun konsep universal harus jelas terpisah satu dengan yang lain

5.5.3        Defnisi (Penjelasan)
5.5.3.1              Pengertian

Definisi adalah suatu ucapan yang menerangkan inti dari sesuatu. Definisi menerangkan komprehensi suatu pengertian sedangkan apa yang didefinisikan atau definitum merupakan pengertian yang bukan kompleks. Misalnya :

DEFINITUM                                                 DEFINISI
   Manusia                  adalah                           makhluk berakal budi
(pengertian yang                              (pengertian yang kompleks)
Tidak kompleks)


Definisi merupakan unsur atau bagian dari ilmu pengetahuan yang merumuskan dengan singkat dan tepat mengenai objek atau masalah. Definisi sangat penting bagi seseorang yang menginginkan sanggup berpikir dengan baik. Pernyataan sebagai suatu bentuk definisi harus terdiri atas dua bagian, yaitu definiendum dan definiens. Dua bagian ini harus ada jika tidak bukanlah suatu definisi.


5.5.3.2              Macam-Macam Definisi

Definisi atau batasan arti banyak macamnya yang disesuaikan dengan berbagai langkah, lingkungan, sifat, dan tujuannya. Secara garis besar definisi dibedakan atas tiga macam, yakni definisi nominalis, definisi realis, dan definisi praktis.

a)      Definisi Nominalis
Definisi nominalis adalah penjelasan etimologis tentang suatu nama. Misalnya kata “filsafat” berasal dari kata bahasa Yunani yaitu dari kata philos yang berarti cinta, mencintai, cari, mencari, pencinta atau pencari dan sophia yang berarti hikmat atau pengetahuan. Filsafat dipahami sebagai ‘cinta akan hikmat atau cinta akan pengetahuan’.

b)      Definisi Realis
Definisi riil adalah penjelasan tentang suatu barang yang ditunjuk oleh nama itu. Definisi riil dapat dibagi atas definisi deskriptif dan definisi esensial. Definisi deskriptif ialah definisi yang menyebut semua ciri yang ada pada suatu barang atau suatu makhluk. Misalnya “manusia” didefinisikan sebagai makhluk yang berkaki dua, memiliki tangan, hidung, dapat berbicara dan sebagainya. Sedangkan definisi esensial ialah definisi yang memberikan ciri-ciri hakiki atau dasariah dari sesuatu. Misalnya “manusia” didefinisikan sebagai makhluk yang berakal budi. Definisi realis dapat dibagi atas dua, yakni definisi esensial dan definisi deskriptif.

a.      Definisi Esensial
Definisi esensial yakni penjelasan dengan cara menguraikan bagian-bagian dasar yang menyusun sesuatu hal, yang dapat dibedakan antara definisi analitik dan definisi konotatif. Definisi analitik yakni penjelasan dengan cara menunjukkan bagian-bagian sesuatu benda yang mewujudkan esensinya. Definisi konotatif yakni penjelasan dengan cara menunjukkan isi dari suatu term yang terdiri atas genus dan diferensia.

b.      Definisi Deskriptif
Definisi deskriptif yakni penjelasan dengan cara menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki oleh hal yang didefinisikan yang dibedakan atas dua hal, definisi aksidental dan definisi kausal. Definisi aksidental yakni penjelasan dengan cara menunjukkan jenis dari halnya dengan sifat-sifat khusus yang menyertai hal tersebut. Definisi kausal yakni penjelasan dengan cara menyatakan bagaimana sesuatu hal terjadi atau terwujud. Hal ini berarti juga memaparkan asal mula atau perkembangan dari hal-hal yang ditunjuk oleh suatu term.

c)      Definisi Praktis
Definisi praktis ialah penjelasan tentang sesuatu hal ditinjau dari segi kegunaan atau tujuan. Definisi praktis dapat  dibedakan atas 3 macam, yaitu definisi operasional, definisi fungsional, dan definisi persuasif. Definisi operasional yakni penjelasan suatu term dengan cara menegaskan langkah-langkah pengujian khusus yang harus dilaksanakan atau dengan metode pengukuran serta menunjukkan bagaimana hasil yang dapat diamati. Definisi fungsional yakni penjelasan sesuatu hal dengan cara menunjukkan kegunaan atau tujuannya. Definisi persuasif yakni penjelasan dengan cara merumuskan suatu pernyataan yang dapat mempengaruhi orang lain. Definisi persuasif pada hakikatnya merupakan alat untuk membujuk atau teknik untuk menganjurkan dilakukannya perbuatan tertentu.

5.5.3.3              Hukum- Hukum Definisi


Terdapat hukum-hukum yang dapat digunakan untuk “definitum” dan untuk “definisi”. Hukum-hukum untuk “definitum” (subyek) adalah :
  1. Definitum harus dapat diterangkan dengan pengertian-pengertian yang lebih sederhana.
  2. Definitum harus bersifat universal
Sedangkan hukum-hukum untuk “definisi” adalah :
  1. Definisi harus lebih jelas daripada definitum agar definitum dapat dimengerti dengan baik.
  2. Definisi harus pendek untuk menghindari ketidakjelasan kata jika definisinya terlalu panjang.
  3. Definisi harus sesuai dengan seluruh definitum dan hanya berkaitan dengan definitum
  4. Definisi harus dapat dibolak-balik. Misalnya “manusia adalah makhluk berakal budi” dapat dibalik “makhluk berakal budi adalah manusia”.
  5. Definisi tidak boleh memuat definitum sebab tujuannya adalah untuk menjelaskan definitum. Misalnya “manusia adalah manusia yang berpikir”. Dalam contoh ini definisi memuat definitum itu sendiri.

5.6          PROPOSISI KATEGORIK
5.6.1        Unsur Dasar Proposisi

Proposisi kategorik adalah suatu pernyataan yang terdiri atas hubungan 2 term sebagai subjek dan predikat serta dapat dinilai benar atau salah. Hubungan ini berbentuk pengiyaan atau pengingkaran. Proposisi kategorik terdiri atas empat unsur, dua di antaranya merupakan materi pokok proposisi, sedang 2 yang lain sebagai hal yang menyertainya. Empat unsur yang dimaksudkan adalah term sebagai subjek, term sebagai predikat, kopula, dan kuantor.
Term sebagai subjek adalah hal yang diterangkan dalam proposisi. Term sebagai predikat adalah hal yang menerangkan dalam proposisi. Kedua unsur sebagai subjek dan predikat inilah yang merupakan materi pokok proposisi kategorik. Kopula merupakan hal yang mengungkapkan adanya hubungan antara subjek dan predikat, dan kuantor merupakan pembilang yang menunjukkan lingkungan yang dimaksudkan oleh subjek.
Proposisi dalam logika dapat benar dapat juga salah, tidak dapat dinilai kedua-duanya. Dalam arti tidak dapat setengah benar atau setengah salah. Jika benar ya, benar dan jika salah ya, salah sehingga tegas perbedaan antara keduanya.
Benar salahnya suatu proposisi dihubungkan dengan hal yang dibicarakannya. Jika yang dibicarakan tentang benda-benda alamiah maka kebenarannya adalah harus sesuai dengan kenyataannya (mengikut teori korespondens), dan jika yang dibicarakan hal atas dasar persetujuan bersama maka kebenarannya harus sesuai dengan hasil persetujuan tersebut (mengikuti teori koherensi). Jadi, benar salahnya suatu proposisi itu dihubungkan dengan isinya.
Term sebagai subjek berhubungan dengan kuantitas proposisi. Subjek dibedakan antara subjek universal dan subjek partikular. Subjek universal adalah mencakup semua yang dimaksud oleh subjek, subjek partikular adalah hanya mencakup sebagian dari keseluruhan yang disebutkan oleh subjek. Subjek universal dalam pernyataan simbolik disertai dengan kuantor universal, dan subjek partikular dalam pernyataan simbolik disertai dengan kuantor eksistensial.
Term sebagai predikat selalu berhubungan dengan isinya, dan merupakan kualitas proposisi, yang dibedakan antara predikat afirmatif dan predikat negatif. Predikat afirmatif adalah sifat mengiyakan adanya hubungan predikat dengan subjek, predikat negatif adalah sifat mengingkari adanya hubungan predikat dengan subjek atau sifat meniadakan hubungan subjek dengan predikat.

5.6.2        Macam-Macam Proposisi

Proposisi kategorik merupakan pernyataan yang terdiri atas hubungan dua term sebagai subjek dan predikat, dan secara sederhana dibedakan atas empat macam, yaitu: proposisi universal afirmatif, proposisi universal negatif, proposisi partikular afirmatif, dan proposisi partikular negatif. Dari empat macam proposisi kategorik berdasarkan denotasi atau luas term yang dihubungkan, dapat dibedakan menjadi tujuh macam proposisi kategorik.
Proposisi universal afirmatif ialah pernyataan bersifat umum yang mengiyakan adanya hubungan subjek dengan predikat, dirumuskan berikut ini. "Semua S adalah P". Proposisi universal afirmatif, berdasarkan perbandingan luas term, dapat dibedakan atas dua macam, yakni universal afirmatif ekuivalen dan universal afirmatif implikasi.  Proposisi universal afirmatif ekuivalen ialah pernyataan umum X mengiyakan yang antara subjek dan predikat merupakan suatu persamaan, yakni semua anggota subjek adalah anggota predikat dan semua anggota predikat adalah anggota subjek. Misal: Semua manusia berbudaya. Sedangkan Proposisi universal afirmatif implikasi ialah pernyataan umum mengiyakan yang semua subjek merupakan bagian dari predikat, yakni semua anggota subjek menjadi himpunan bagian dari predikat. Misal: Setiap warga negara Indonesia ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Proposisi universal negatif ialah pernyataan bersifat umum yang mengingkari adanya hubungan subjek dengan predikat, dirumuskan: "semua S bukan P".
Sedangkan lawan dari kedua proposisi yang pertama adalah proposisi partikular affirmatif dan proposisi partikular negatif.
Keempat proposisi tersebut selanjutnya dapat dijelaskan dalam bentuk skema berikut :

A         : proposisi universal afirmatif
E          : proposisi universal negatif
I           : proposisi partikular afirmatif
O         : proposisi partikular negatif

Jika suatu silogisme terdiri atas proposisi-proposisi yang universal afirmatif (A) dan proposii universal negatif (E) maka silogisme itu terdiri dari proposisi-proposisi yang kontraris di mana kedua proposisi itu sama-sama bersifat umum tetapi yang membedakannya adalah bahwa proposisi yang satu adalah positif sedangkan yang lainnya adalah negatif.
Jika suatu silogisme terdiri atas proposisi-proposisi yang universal afirmatif (A) dan partikular negatif (O)maka silogisme itu terdiri atas proposisi-proposisi yang kontradiktoris di mana antara kedua proposisi saling bertolak belakang yaitu misalnya proposisi pertama itu umum dan positif sedangkan proposisi yang kedua adalah khusus dan negatif.
Selain itu, jika suatu silogisme terdiri atas proposisi-proposisi yang universal negatif (E)  dan partikular positif (I)  maka silogisme itu juga terdiri atas proposisi yang kontradiktoris.
Jika silogisme terdiri atas proposisi-proposii yang partikular positif (I) dan partikular negatif (O) maka silogisme itu terdiri atas proposisi-proposisi yang subkontratis. Sedangkan jika silogisme itu terdiri atas proposisi-proposisi yang universal afirmatif (A) dan partikular afirmatif (I) atau universal negatif (E) dan partikular negatif (O) maka silogisme itu terdiri atas proposisi-proposisi yang merupakan subalternatif.
SKEMA
             A                                                                                   E
Semua manusia                    Kontraris             Tidak ada manusia
adalah terpelajar                                                       yang terpelajar














 

sub-
alterna                                                                                                subalternatif
tif
            I                                                                                      O
Beberapa manusia               Kontraris                    Beberapa manusia
Adalah terpelajar                                                     bukan terpelajar

Sedangkan tanda panah silang yang berada di tengah skema adalah kontradiktoris.

5.7          TAMBAHAN : Penghubung Kalimat


Sering kali beberapa kalimat perlu digabungkan menjadi satu kalimat yang lebih panjang. Misalnya kalimat : ` 4 adalah bilangan genap dan 3 adalah bilangan ganjil ` merupakan gabungan dari 2 buah kalimat.  Di dalam logika dikenal 5 buah penghubung :

     Simbol                        Arti                             Bentuk

1     ~             Tidak / Not / Negasi                 Tidak .........
2     ^             Dan / And / Konjungsi           ….. dan ……
3     v                Atau / Or / Disjungsi             ….. atau ........
4     →                          Implikasi                      Jika ....... maka .......
5     ↔                     Bi – implikasi                 ......bila dan hanya bila ......

Dalam matematika digunakan huruf – huruf kecil seperti p, q, r, ... untuk menyatakan sub kalimat dan simbol – simbol penghubung untuk menyatakan penghubung kalimat.
Misalkan :

  • p menyatakan kalimat ` 4 adalah bilangan genap `
  • q menyatakan kalimat ` 3 adalah bilangan ganjil `

Maka kalimat :  4 adalah bilangan genap dan 3 adalah bilangan ganjil ` dapat dinyatakan dengan simbol p ^ q.

BAB VI
JALAN PIKIRAN ATAU SALURAN PIKIRAN


6.1.            Pengantar

Seseorang mengetahui sesuatu karena diberi tahu atau karena ia merenungkan sesuatu itu. Hasil pengetahuannya dicetuskan dalam putusan. Putusan itu memang merupakan tujuan dari semua tindakan manusia untuk “mengetahui” sesuatu. Tindakan untuk mencapai putusan ini sering merupakan rentetan tindakan, dari putusan satu orang beralih kepada putusan baru atau dapat dikatakan berdasarkan suatu putusan atau beberapa putusan akan dihasilkan suatu putusan baru sehingga putusan itu seakan-akan bergerak dari satu putusan ke putusan yang lain. Maka dapat dijelaskan bahwa tindakan manusia dari satu putusan kepada putusan lain itu disebut sebagai JALAN PIKIRAN atau SALURAN PIKIRAN. Dalam mencapai putusan manusia mesti menggunakan beberapa metode atau jalan  pikiran seperti evidensi, induksi, deduksi dan sillogisme.

6.2.            Evidensi
Evidensi adalah ciri pokok dan yang mutlak dari kebenaran. Suatu pengetahuan disebut pasti, sah dan benar jika memiliki evidensi atau pembuktian. Pembuktian berkaitan erat dengan realitas. Dengan demikian, suatu pengetahuan itu disebut benar dan sah juga apabila berkaitan dengan realitas. Kebenaran berarti kesesuaian antara pikiran dan realitas. Evidensi  adalah dasar atau asas dari kepastian dan yang dapat dirumuskan sebagai hal yang jelas di mana kebenaran menonjolkan dirinya kepada akal manusia.

6.3.            Induksi

Seseorang dapat mempunyai pengetahuan dari satu pengalaman saja yaitu tentang pengalaman yang satu itu. Pengetahuan khusus ini dapat juga tercapai berulangkali  dan kemudian dijadikan landasan oleh manusia untuk pengetahuan yang lebih luas wilayahnya sehingga berlaku umum. Jalan pikiran dari putusan yang khusus kepada putusan yang umum inilah yang disebut sebagai INDUKSI.
Induksi berarti putusan umum merupakan himpunan atau penjumlahan dari putusan khusus. Misalnya mahasiswa pada setiap tingkat di program teologi STKIP St. Paulus Ruteng adalah orang Manggarai. Maka dapat dibuat putusan umum bahwa semua mahasiswa program studi pendidikan teologi di STKIP St. Paulus adalah orang Manggarai.

6.4.            Deduksi

Deduksi berarti jalan pikiran dari putusan umum kepada putusan khusus. Jika sudah diketahui bahwa putusan umum yang menjadi titik tolak jalan pikiran itu adalah benar sehingga berlaku umum bagi semua bagiannya maka putusan khusus yang merupakan kesimpulannya akan muncul dengan sendirinya. Konklusi atau kesimpulan hanya merupakan penegasan dari yang telah disimpulkan pada putusan umum.
Misalnya jika putusan khususnya adalah “si A akan mati karena ia manusia” maka sebetulnya jalan pikirannya ialah dari yang umum yaitu “semua manusia akan mati” sehingga jelaslah sebagai seorang manusia maka si A pun akan mati. Jadi, kesimpulan bahwa “si A akan mati” adalah suatu putusan yang dicapai secara deduktif

6.5.            Sillogisme
6.5.1.      Pengertian Sillogisme

Sillogisme adalah pembuktian deduktif di mana kesimpulan dibuat berdasarkan dua putusan sebelumnya atau yang sudah ada. Putusan-putusan yang menjadi sumber putusan terakhir disebut sebagai premis. Premis yang wilayahnya umum disebut sebagai premis mayor dan premis yang wilayahnya tidak umum atau yang khusus disebut premis minor. Sedangkan putusan yang ditarik dari kedua premis itu disebut sebagai konklusi atau kesimpulan. Kedua premis itu sering juga disebut sebagai antesedens dan konklusi disebut juga sebagai konsekuens.


Contoh : Semua manusia akan mati (A)
                           Anton adalah manusia       (B)
                           Maka, Anton dapat mati    (C)

Berdasarkan contoh di atas, maka A adalah premis mayor, B adalah premis minor dan C adalah konklusi. A, B dan C disebut sebagai proposisi

6.5.2.      Hukum-Hukum Sillogisme

Silogisme memiliki beberapa hukum agar putusan-putusan itu benar-benar merupakan jalan pikiran. Hukum-hukum itu adalah :

1)      Jika salah satu dari premisnya berbentuk negatif maka kesimpulan harus negatif. Contoh :
Tidak ada manusia yang jadi malaikat
Semua filsuf adalah manusia
Maka, tidak ada filsuf yang jadi malaikat
2)      Jika salah satu premisnya adalah partikular maka kesimpulannya harus partikular. Contoh :
Semua manusia dapat mati
Beberapa ciptaan adalah manusia.
Maka, beberapa ciptaan dapat mati
3)      Jika salah satu premisnya adalah partikular dan negatif maka kesimpulannya harus partikular dan negatif. Contoh :
Semua manusia dapat mati
Beberapa ciptaan tidak dapat mati
Maka, beberapa ciptaan bukan manusia.
4)      Jika premis yang satu adalah negatif dan premis yang lainnya adalah partikular maka kesimpulannya adalah partikular dan negatif. Contoh :
Tidak ada manusia yang jadi malaikat
Beberapa ciptaan adalah manusia.
Maka, beberapa ciptaan bukan malaikat.
5)      Kalau kedua premisnya berbentuk negatif maka tidak ada kesimpulan.
6)      Jika salah satu premisnya afirmatif atau posifit dan yang lainnya negatif maka tidak terdapat kesimpulan. Contoh :
Beberapa manusia bukan filsuf
Beberapa filsuf adalah orang Italia.

6.5.3.      Sillogisme Hipotesis

Sillogisme Hipotesis adalah sillogisme yang premis mayornya berbentu proposisi hipotesis atau bersyarat. Proposisi hipotesis terdiri atas tiga macam yakni kondisional, konyunktif dan disyunktif.
Silogisme kondisional adalah sillogisme yang premis mayornya merupakan penilaian bersyarat dan biasanya ditunjukkan dengan kata jika. Contoh :
Jika Amat berusaha keras maka ia akan lulus ujian.
Ia berusaha keras
Oleh sebab itu ia akan lulus ujian.

Silogisme Konyunktif adalah silogisme yang mana di dalam premis mayor terdapat penilaian “menambahkan” dengan menggunakan kata sambung dan. Contoh :
Amat tidak membaca dan tidur serentak
Ia tidur
Oleh sebab itu ia tidak membaca.

Sedangkan sillogisme disyunktif adalah silogisme yang mana premis mayornya terdiri dari penilaian yang bersifat memisahkan atau membedakan. Biasanya ditunjukkan dengan kata atau. Contoh :
Amat adalah seorang pekerja atau seorang pemalas
Ia adalah seorang pekerja
Oleh sebab itu, ia tidak malas.



6.5.4.      Sillogisme yang kurang sempurna

Silogisme yang kurang sempurna adalah silogisme yang memiliki lebih atau kurang dari tiga proposisi atau putusan. Meskipun demikian, silogisme bisa menghasilkan kesimpulan yang tepat.
Sillogisme yang kurang sempurna terdiri atas 5 (lima) macam yakni enthymema, epicherema, polysillogisme, sorites dan dilemma.
ENTHYMEMA adalah sillogisme yang kurang sempurna di mana salah satu dari premis (mayor atau minor) diandaikan. Contoh :
Semua manusia dapat mati
Jadi, Petrus dapat mati
Berdasarkan contoh di atas maka premis yang diandaikan ada adalah premis minor.
EPICHEREMA ialah silogisme yang kurang sempurna di mana pada salah satu atau pada kedua premis sekaligus ditambah keterangan. Contoh :
Semua manusia dapat mati
Petrus dapat mati karena terdiri dari jiwa dan badan.
Jadi, Petrus dapat mati.
Berdasarkan contoh di atas “karena terdiri dari jiwa dan badan” merupakan keterangan yang ditambahkan pada premis minor. Epicherema sering digunakan dalam pidato untuk menghindarkan bentuk yang kaku dari sillogisme. Epicherema merupakan sarana gaya bahasa untuk ahli pidato.
POLYSILLOGISME adalah sillogisme yang kurang sempurna di mana kesimpulan sillogisme pertama menjadi premis mayor dari sillogisme yang lain. Contoh :
Mahkluk intelektif adalah makhluk spirituil
Manusia adalah makhluk intelektif
Jadi, manusia adalah makhluk spirituil.
Mahkluk spirituil tidak dapat mati.
Jadi, manusia tidak dapat mati.
Berdasarkan contoh di atas kesimpulan “manusia adalah makhluk spirituil” dijadikan sebagai premis mayor untuk silogisme berikutnya yaitu “makhluk spirituil tidak dapat mati”.
SORITES adalah silogisme yang kurang sempurna di mana predikat proposisi pertama menjadi subyek proposisi kedua, predikat proposisi kedua menjadi subyek proposisi ketiga dan seterusnya sampai subyek proposisi pertama dan predikat proposisi terakhir menghasilkan suatu kesimpulan. Contoh :
Yang baik hidupnya (S1) berlaku baik (P1).
Yang berlaku baik (P1 dan S2) memperoleh jasa (P2)
Yang memperoleh jasa-jasa (P2 dan S3) mendapat kebahagiaan (P3)
Jadi, yang baik hidupnya (S1) mendapat kebahagiaan (P3).
Berdasarkan contoh di atas sangatlah jelas bahwa sillogisme ini termasuk dalam Sorites. Sorites menghasilkan kesimpulan yang tepat akan tetapi seringkali sangat menyesatkan. Meskipun demikian, Sorites dapat diubah menjadi suatu sillogisme yang sempurna. Contoh :
Yang baik  hidupnya berlaku baik
Yang berlaku baik memperoleh jasa-jasa
Jadi, yang hidupnya baik memperoleh jasa-jasa
Yang hidupnya baik memperoleh jasa-jasa
Yang memperoleh jasa-jasa mendapat kebahagiaan
Jadi, yang baik hidupnya mendapat kebahagiaan.
Sedangkan DILEMMA ialah silogisme yang kurang sempurna di mana proposisinya dimulai dengan proposisi disyunktif  dan proposisi yang satu dipertentangkan dengan proposisi yang lainnya dengan menunjukkan pengandaian. Contoh :
Hidup manusia baik atau jahat (proposisi disyunktif)
Kalau baik (pengandaian), mengapa Tuhan mengambilnya dari kita ?
­Kalau jahat (pengandaian), mengapa Tuhan memberinya kepada kita ?
Jadi, dalam tiap-tiap pengandaian Tuhan bertindak salah.

6.6.            Kesalahan Berpikir

Ada beberapa hal yang mengakibatkan kesalahan berpikir dan ini sering tidak disadari oleh seseorang. Yang termasuk kesalahan berpikir antara lain adalah petitio principii, lingkaran salah (circulus vitiosus), pertukaran kata dengan pengertian, metabasis dan loncatan dari analogi kepada kesamaan.

6.6.1.      Petitio Principii

Petitio Principii adalah kesalahan yang diadakan di mana ada sesuatu yang dijadikan pangkal berpikir dan pangkal konklusi dan pangkal itu dianggap benar sedangkan belum tentu benar karena dibutuhkan pembuktian atas kebenarannya. Contoh : “ karena manusia itu merupakan ciptaan Allah maka ini berarti Allah itu ada”. Yang menjadi pangkal berpikir dan pangkal konklusi dari contoh di atas adalah konsep tentang manusia sebagai makhluk ciptaan Allah. Konsep ini dijadikan pangkal untuk menunjukkan kebenaran kalau Allah itu ada sebab manusia yang merupakan ciptaan  Allah itu benar-benar ada. Kalau  manusia benar-benar ada maka jelas Allah pun ada karena Ia yang menciptakan manusia. Atau dapat dijelaskan bahwa bukti bahwa Allah itu ada adalah karena manusia juga “ada”. Catatan kritisnya adalah benar bahwa manusia itu ada tetapi apa benar manusia itu adalah ciptaan ada ? inilah yang harus dibuktikan kebenarannya.

6.6.2.      Lingkaran Salah atau Circulus Vitiosus

Lingkaran Salah atau Circulus Vitiosus adalah kesalahan berpikir di mana orang hendak membuktikan sesuatu dengan bukti yang kebenarannya padahal harus dibuktikan dengan konklusi (yang harus timbul dari premis dan bukan melalui pembuktian realitas). Contoh : “ orang hendak menerangkan apa sebabnya keadaan ekonomi pada suatu daerah itu jelek”. Jawaban yang diberikannya adalah “keadaan jelek itu disebabkan karena pegawai tidak jujur”. Jika jawaban ini ditanyakan lagi seperti “apa sebabnya pegawai tidak jujur” lalu diberikan jawaban bahwa “pegawai tidak jujur karena keadaan ekonomi daerah jelek” maka inilah yang disebut sebagai lingkaran salah sebab jawaban terakhir yang diberikan justru kembali kepada pangkal persoalan yang harus dibuktikan. Maka hilanglah ujung pangkalnya.


6.6.3.      Pertukaran kata dengan pengertian

Pertukaran kata dengan pengertian adalah salah satu jenis kesalahan berpikir di mana kata dengan pengertian dipertukarkan sehingga jalan pikiran menjadi kacau. Contoh :
Si A mempunyai madu (benar, mungkin karena terbukti)
Si A mempunyai sesuatu yang manis.
Berdasarkan contoh di atas terdapat pertukaran kata dengan pengertian. Benar bahwa “madu itu manis” tetapi tidak semua yang manis itu adalah madu. Maka proposisi kedua bahwa “Si A mempunyai sesuatu yang manis” tidak berarti bahwa “Si A mempunyai madu”. Kesalahan terjadi karena kata “madu” diartikan
dengan “manis” padahal kata “manis” bukanlah arti dari “madu” melainkan sesuatu yang menunjuk kepada madu.

6.6.4.      Metabasis

Metabasis adalah kesalahan berpikir di mana jalan pikiran mengalami peralihan dasar. Contoh : dikatakan bahwa “orang itu adalah orang terpelajar sehingga ia adalah orang yang baik”. Hal ini mungkin saja benar tetapi kebenarannya bukan karena hasil jalan pikiran di mana “karena terpelajar maka ia pasti baik” tetapi bisa benar karena melalui evidensi atau pembuktian realitas. Sebab “terpelajar” itu adalah penilaian dalam bidang pengetahuan sedangkan “baik” itu adalah penilaian dalam bidang etika.

6.6.5.      Loncatan dari analogi kepada kesamaan

Loncatan dari analogi kepada kesamaan terjadi karena proposisi yang bersifat analogial (perbandingan atau kemiripan) dianggap benar-benar “sama atau seperti” dengan proposi lainnya. Contoh : “kalau diambil kesimpulan bahwa alam itu hidup karena mempunyai mata yakni “matahari” maka di sini terjadi loncatan dari persamaan kepada kesamaan. Meskipun “mata” dan “matahari” sama-sama berfungsi untuk menerangi tetapi keduanya berbeda. Mata itu adalah alat untuk melihat (dan melekat pada subyeknya) sedangkan matahari itu adalah sesuatu yang menerangi (dan tidak melekat pada subyeknya yaitu “alam). Karena itu, dapat dijelaskan bahwa alam itu hidup bukan karena ia mempunyai mata (matahari) seperti manusia yang mempunyai mata (dalam arti sebenarnya).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang kesalahan dalam berpikir ini maka dapat dijelaskan bahwa logika bertugas untuk memberi keterangan tentang apa saja yang diperlukan manusia dalam menggunakan dayanya untuk tahu supaya dengan secara logis (mengikuti semua aturan logika) akhirnya manusia dapat mencapai kebenaran. Dalam hal tahu maka logika merupakan jalan yang benar.



































BAB VII
PENUTUP


            Semua orang menggunakan pemikiran untuk meyakinkan orang lain mengenai suatu ucapan tetapi orang lain dapat diyakinkan kalau pemikiran-pemikiran itu benar-benar sah. Pemikiran-pemikiran yang sah merupakan syarat mutlak untuk semua orang yang hendak meyakinkan orang lain. Pemikiran itu sendiri terdiri dari banyak putusan yang dibagi dalam pengertian-pengertian. Pemikiran, putusan dan pengertian berasal dan berkembang dari akal budi dan berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pertanyaan yang dapat diajukan adalah “bagaimana harus diatur agar pemikiran itu memperoleh kebenaran ? “.
            Jawaban atas pertanyaan di atas dapat diperoleh melalui LOGIKA. Logika sebagai suatu ilmu pemikiran merupakan ilmu pengetahuan tentang karya-karya akal budi yang dapat digunakan untuk menuju yang benar. Sebagai suatu ilmu pengetahuan maka logika merupakan keseluruhan dari hal-hal yang diketahui dan dibuktikan dengan prinsip-prinsip seperti pada semua ilmu lainnya.
            Sasaran logika adalah karya-karya akal budi. Logika memandang karya-karya akal budi untuk mengaturnya. Logika menyajikan hukum-hukum sehingga akal budi dapat memperoleh yang benar. Logika memandang pengetahuan untuk mengaturnya. Dengan demikian, logika adalah pengetahuan rasional tetapi bukan karena pengetahuan itu diperoleh dari akal budi manusia (sebab jika dalam arti ini maka logika tidak ada bedanya dengan ilmu-ilmu lainnya sebab semua ilmu itu bersifat rasional) melainkan karena logika memandang akal budi itu dalam karya-karyanya untuk mengaturnya. Untuk mengatur pemikiran maka logika juga harus memandang pemikiran yang tidak betul dan tidak benar.
            Logika menjadi sangat penting karena ia membantu setiap orang untuk berpikir secara tepat dan benar. Tujuannya adalah berusaha mempertanggungjawabkan isi pikiran.


DAFTAR PUSTAKA


Hamersma, Harry. Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat. Yogyakarta : Kanisius, 1981.


Hutabarat, A. B. Logika. Jakarta : Erlangga, 1980.


Keraf, A. Sonny. Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Kanisius, 2001


Magnis Suseno, Frans. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta : Kanisius, 1992.


Poedjawijatna, I. R. Logika : Filsafat Berpikir. Jakarta : Bina Aksara, 1986.


Sou’yb, H. M. Joesoef. Logika-Hukum Berpikir Tepat. Jakarta : Pustaka Alhusna, 1983.


Sommer, M. Logika. Bandung : ALUMNI, 1982.

















      [1] Stoisme didirikan oleh Zeno di Athena pada tahun 300 sM. Sekolah ini mengajarkan bahwa jagat raya ditentukan oleh suatu kuasa yang disebut logos (rasio). Berdasarkan rationya manusia sanggup mengenal orde universal dalam jagat raya. Pengikut sekolah atau mazhab ini adalah Seneca dan Kaiser Marcus Aurelius dari Romawi.
      [2] Neoplatonisme adalah aliran yang mau menghidupkan kembali pemikiran Plato. Tokoh utamanya adalah Plotinus (204- 270M). Seluruh filsafat Plotinos berpusat pada Allah yang disebutnya dengan nama “Yang Satu”. Realitas seluruhnya mempunyai gerakan dua arah, yaitu dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.

            [3] Kata “subyek” berasal dari kata bahsa Latin yaitu subjectum yang berarti yang menjadi dasar sedangkan kata “predikat” berasal dari kata praedicatum yang berarti yang dikatakan.
            [4] Kata “sintetik” berasal dari kata sinthesa yang berarti kumpulan, susunan.

No comments:

Post a Comment