BAHAN KULIAH SAKRAMENTOLOGI
OLEH: PINO
JEBARUS, S. FIL
NIDN: 0809068002
PRODI TEOLOGI STKIP ST. PAULUS RUTENG
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
TUJUAN PERKULIAHAN
SAKRAMENTOLOGI
Konsili Vatikan II menyebut Gereja “persekutuan iman, harapan dan
cinta” (LG 8), “persekutuan persaudaraan orang yang menerima Yesus dengan iman
dan cinta kasih” (GS. 32). Karena itu, Roh Kuduslah yang menciptakan
persekutuan umat beriman dengan menghimpun mereka dalam Kristus, sebagai
prinsip kesatuan Gereja (Konferensi Wali Gereja Indonesia, 1996 : 392).
Konsili juga mengajarkan bahwa Gereja dibentuk karena perpaduan
unsur manusiawi dan ilahi (LG 8). Kesatuan Gereja bukan hanya karya Roh Kudus,
melainkan juga hasil komunikasi antarmanusia, khususnya perwujudan komunikasi
iman di antara para anggota Gereja. Komunikasi iman mengandaikan pengungkapan
iman sebagai sarana komunikasi.
Selain komunikasi iman, salah satu tugas Gereja juga adalah tugas
pengudusan dalam perayaan. Karya pengudusan itu terwujud dalam
sakramen-sakramen. Sakramen menjadi tanda komunikasi iman manusia dengan Sang
Pencipta, dan antara sesama manusia. Karena itu, Hakekat dan pembagian
sakramen-sakramen harus dikenal oleh seluruh umat. Dan dalam konteks dunia
pendidikan, hakekat dan pembagian sakramen-sakramen terungkap dalam
SAKRAMENTOLOGI.
Mempelajari SAKRAMENTOLOGI menjadi tuntutan mutlak bagi mahasiswa/I
Program Studi Pendidikan Teologi pada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STKIP) St. Paulus Ruteng, sebab tujuan perkuliahan SAKRAMENTOLOGI adalah :
ü Mengetahui dan mempelajari arti sakramen dalam rangka karya
penyelamatan;
ü Memperdalam iman penerima sakramen;
ü Mempelajari kekhasan tiap sakramen dalam Gereja.
1.2.
SISTEMATIKA PERKULIAHAN
I.
Pendahuluan
II.
Hakekat dan Sejarah Sakramen
Pada Umumnya
III.
Sakramentologi Sekarang
IV.
Sakramentologi Khusus
V.
Penutup
BAB II
HAKEKAT dan SEJARAH SAKRAMEN PADA UMUMNYA
2.1.
Hakekat Sakramen Pada
Umumnya
Sakramen-sakramen yang kita kenal sekarang dimulai dalam sejarah
Gereja sebagai praktek, dan tidak lahir sebagai teori yang kemudian
dilaksanakan. Sejak awal hidup Gereja, terdapat ritus-ritus. Ritus-ritus
tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk pelaksanaan hidup Gereja, dan
dianggap penting dan mutlak untuk hidup gereja. Ritus-ritus awal itu antara lain ritus
pembabtisan dan pemecahan roti (ekaristi). Sebagian besar unsur Ritus itu
diambil dari kelompok agama lain, khususnya Agama Yahudi. Tetapi, bagi kita,
tidaklah begitu penting apa yang diambil alih dan apa yang diciptakan baru oleh
Gereja Perdana. Yang penting adalah bahwa arti dan isi ritus-ritus itu bersifat
khas Kristiani sejak awal mula.
Kekhasan itu terletak pada keyakinan Gereja bahwa
ritus-ritus itu membuat sesuatu yang sama sekali baru dalam dunia. Misalnya, dalam
praktek pembabtisan, Gereja mengambil alih ritus yang sudah lama dikenal di
luar Gereja. Yang baru adalah melalui ritus yang secara lahiriah sudah populer
itu, Gereja mengambil bagian dalam Karya Keselamatan Yesus Kristus melalui
wafat dan kebangkitanNya dari alam maut.
Demikian halnya dengan praktek Ekaristi. Praktek
itu sudah diambil alih oleh Gereja perdana untuk suatu maksud dan isi tertentu.
Dengan merayakan Ekaristi,
Gereja Perdana ingin memberitakan kematian Tuhan sampai kedatanganNya kembali
(Bdk. 1 Kor. 11: 26).
Karya keselamatan dalam diri Yesus Kristus itu
adalah perbuatan keselamatan Allah yang harus diimani, diwartakan, dan
dilaksanakan antara lain melalui upacara-upacara tertentu. Allah dalam karya
keselamatan itu, antara lain telah menciptakan Gereja. Gereja sebagai hasil
karya penyelamatan Allah, melalui cara penghayatan hidupnya bertugas untuk
menyampaikan hidup baru itu kepada dunia yang belum percaya kepada Yesus Kristus.
Tugas-tugas itu terlaksana antara lain dalam perbuatan-perbuatan yang kemudian
disebut sakramen-sakramen.
Jadi, secara ringkas dapat dikatakan bahwa isi dan
arti Gereja, yaitu rahasia penyelamatan Allah yang terlaksana dalam diri Yesus
dari Nazareth itu mesti dilaksanakan di dalam Gereja itu sendiri, antara lain
melalui ritus-ritus. Ritus atau upacara-upacara itu merupakan sarana yang
dengannya rahasia penyelamatan Allah disampaikan kepada manusia sepanjang
sejarah dan selanjutnya dikenal sebagai sakramen. Sebagai Istilah teknis
dalam teologi Kristen modern dan dalam arti luas, Sakramen berarti tanda
lahiriah yang ditetapkan Kristus dan yang menunjukkan rahmat batin yang
diberikan kepada si penerima dalam melaksanakan tanda suci itu.
Tradisi Kristiani di Timur menamakan tanda-tanda
keselamatan yang dilayani dalam Gereja itu dengan sebutan mustèrion.
Tradisi di Barat menyebutnya dengan sacramentum. Kedua sebutan ini sudah
mempunyai arti tertentu dalam budaya klasik Yunani dan Latin yang pra-Kristiani.
Para pengarang Kristiani lama-kelamaan mengambil bagian alih arti itu, dan
menyesuaikannya. Dan untuk perkembangan ajaran tentang sakramen di Barat,
pentinglah bahwa kata Yunani mustèrion diterjemahkan dengan kata sacramentum.[1]
Rahasia kehendak Allah yang sejak kekal
merencanakan keselamatan bagi manusia dan telah diwahyukan dalam Kristus
hendaknya senantiasa diwartakan dalam Gereja. Inilah yang mendasari dan yang mengartikan segala
sesuatu yang bersifat ”sakramen”. Kristus, ”misteri Allah”itu merupakan
sakramen asal, dan Gereja yang dihidupkan oleh Roh Kudus itu merupakan sakramen
dasar.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka paham Kristiani
mendefinisikan sakramen sebagai tanda dan sarana yang oleh Kristus ditetapkan
untuk mendatangkan rahmat yang dikhususkan
bagi tiap-tiap situasi kehidupan, dan yang secara demikian melanjutkan
perbuatan penyelamatan Allah melalui Kristus dalam Roh Kudus demi manusia dan dunia.
2.2.
Sejarah Sakramen
2.2.1. Pemakaian Kata Mustèrion dalam
Kitab Suci
Perkataan ”misteri”dalam perbendaharaan kata-kata
teologis sebetulnya sama artinya dengan kata ”sakramen”. Kedua kata ini berarti
”rahasia”. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman, isi istilah ini pun mengalami
perkembangan.
Dalam Kitab Suci, kata ”misteri”dipakai untuk
menunjukkan rencana Allah menyelamatkan manusia, dan juga karya keselamatan itu
sendiri sebagai pelaksanaan rencana tersebut. Dalam Gereja Purba, kata
”misteri”juga dipakai untuk mengacu kepada upacara liturgi yang mengungkapkan
dan menghadirkan karya Allah yang menyelamatkan. Dan dalam perkembangan Teologi
selanjutnya, kata ”misteri”dan juga ”sakramen”tetap dipakai untuk karya Allah
yang mewahyukan diri dalam bentuk manusiawi. Meskipun demikian, ada perbedaan
penekanan antara kedua kata tersebut, di mana kata ”misteri”menekankan segi
tersembunyi ilahi, tak tampak, sedangkan kata ”sakramen”menonjolkan segi
pengungkapan, insani, dan tampak.
Secara etimologis, kata sakramen dalam bahasa
Indonesia berasal dari kata Latin Sacramentum. Kata Latin Sacramentum
berakar pada kata sacr, sacer yang berarti kudus, suci, lingkungan
orang kudus atau bidang yang suci. Kata ini kemudian berkembang menjadi sacrare
atau yang lebih sering consecrare yang menjelaskan bahwa seseorang
atau suatu benda secara hukum dan untuk selamanya dipindahkan dari bidang hukum
insani ke bidang hukum ilahi, yang mengakibatkan bahwa yang bersangkutan
digolongkan sebagai sacrum. Kata ”sakramen”mempunyai arti triganda,
yaitu :
a) dalam arti aktif (hal/ sarana yang
menyucikan/ menahbiskan).
b) dalam arti pasif (hal/ sarana yang
disucikan/ ditahbiskan).
c) perbuatan menyucikan/ menahbiskan.
Sementara itu, dalam budaya Latin pra-Kristiani, sacramentum
mempunyai dua arti, yaitu :
1) Dalam kalangan militer, sacramentum
mempunyai arti sumpah bendera yang diucapkan oleh para prajurit di hadapan
otoritas yang berwewenang sebagai bukti loyalitasnya pada saat seseorang secara
resmi diterima dalam kalangan tentara. Sambil bersumpah, ia memohon kepada para
dewa untuk merahmatinya. Dengan bersumpah, maka seseorang diangkat ke dalam
wilayah dewa/ i, sehingga tentara seperti itu disebut militia sollemnis et
sacrata atau ”tentara yang agung dan suci” dan milites sacrati atau ”prajurit yang disucikan”.
2) Arti kedua adalah jumlah uang yang oleh
kedua belah pihak yang terlibat perkara harus diletakkan sebagai jaminan pada pontifex
(imam besar). Pihak yang memenangkan perkara akan mendapatkan kembali uangnya,
sementara pihak yang kalah tidak akan mendapatkan lagi uangnya, tetapi uang
tersebut akan dipakai untuk membiayai ibadat yang resmi
Setelah masuk dalam alam pikiran Kristiani, kata sacramentum
mula-mula dipakai secara sangat umum bagi kenyataan-kenyataan suci yang khusus,
misalnya menyebut Kitab Suci, iman kepercayaan, misteri-misteri keselamatan dan
iman, sarana-sarana keselamatan, dan upacara ibadat. Baru di kemudian hari kata
sacramentum dipakai dalam arti sarana-sarana keselamatan yang secara
tegas dan agak eksklusif disebut ”ketujuh sakramen”.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, kata Ibrani yang
sesuai dengan kata Yunani mustèrion adalah Sôd dan juga kata Aram
Raz. Istilah pertama Sôd
berarti ”lingkungan sahabat”(Ayb 19 : 19) dan juga ”pertemuan yang agak
intim”(Mzm 89 : 8). Kata Sôd memiliki arti religius, yaitu rencana Allah
yang rahasia dan yang hanya diwahyukan kepada sahabat karibNya.
Kata Aram Raz hanya terdapat dalam Kitab
Daniel saja, dan kata ini memiliki arti ”rahasia eskatologis”, yaitu :
Ø Untuk menunjukkan rahasia Ilahi yang hanya
diketahui oleh Allah dan oleh mereka yang diberitahu Allah
Ø Mengenai apa yang terjadi di kemudian
hari, terutama pada akhir zaman
Ø Diwahyukan dalam tanda yang hanya dapat
ditafsirkan dan diterangkan oleh orang yang diberi penerangan oleh Allah (Dan
2)
Sementara itu, dalam Kitab Perjanjian Baru,
istilah ”misteri”terdapat dalam Kitab Wahyu, Injil sinoptik, dan terutama
surat-surat St. Paulus. Kitab Wahyu memakainya dalam arti yang serupa dengan
arti ”rahasia”dalam Kitab Daniel. Injil sinoptik berbicara tentang ”rahasia
Kerajaan Allah”(Mrk 4 : 11; Mat 13 : 11; Luk 8 : 10), dan dengan istilah ini,
Penginjil mau menegaskan bahwa Kerajaan Allah sudah mulai tampak dalam perkataan dan perbuatan Yesus. Sedangkan dalam
Surat-Surat Paulus dipakai kata ”misteri” sesuai dengan penggunaannya dalam
kitab-kitab perjanjian lama, tetapi ditegaskan bahwa berkat peristiwa Paskah,
maka Kerajaan Allah terlaksana dalam diri Sang Kristus. Dengan kata lain, kata ”misteri” yang dipakai
dalam surat-surat St. Paulus memiliki arti sebagai berikut, yaitu :
Ø Seluruh karya keselamatan Allah, baik pada
taraf perencanaan yang tersembunyi maupun pada taraf pelaksanaannya berlangsung
dalam Kristus
Ø Kristus sendiri, baik sebagai Firman yang
akan menjelma, maupun sebagai Firman yang telah menjelma (Verbum Incarnandum
dan Verbum Incarnatum).
Ø Kesatuan Kristus dengan Gereja (Ef 5 : 32)
Berdasarkan ketiga arti tersebut di atas, maka
dapat dijelaskan bahwa Gereja hanya dapat disebut ”misteri”dalam hubungan
dengan ”misteri Allah”, yaitu Kristus (Kol 2 : 2). Dalam Gereja, dipertandakan
dan dilaksanakan (dalam bentuk manusiawi) karya Allah Bapa yang menyelamatkan
dunia dengan perantaraan Yesus Kristus, dalam Roh Kudus.
2.2.2. Sakramen, Perjanjian Lama, dan Dunia
Hellenis
Titik sambung bagi paham sakramen sebagaimana
dikembangkan kemudian terdapat dalam 1 Kor 10 : 1 – 11, di mana peristiwa
penyelamatan dari Perjanjian Lama oleh Paulus secara tipologis dihubungkan
dengan Pembabtisan dan Ekaristi. Kedua upacara ini sudah menyatu dengan hidup
Gereja Purba. Dengan menghubungkannya dengan kejadian-kejadian penyelamatan
pada zaman Perjanjian Pertama, maka Paulus memperlihatkan bahwa upacara Babtis
dan Ekaristi pun merupakan tanda dan sarana lahiriah- duniawi yang bermanfaat
bagi keselamatan abadi.
Menurut banyak ahli ilmu sejarah agama-agama,
pemikiran sakramental tidak berakar dalam agama Yahudi, tetapi dalam
Hellenismus yang kafir, di mana mustèrion (bentuk jamaknya : mustèria)
dipakai dalam budaya Klasik- Yunani untuk menunjukkan upacara, ibadat kepada
dewa-dewi, padahal Perjanjian Lama justru selalu mengingatkan umat Israel agar
jangan sampai ikut menyembah berhala seperti yang dilakukan oleh bangsa-bangsa
yang tidak mengenal Allah.
Meskipun demikian, kata mustèrion sebenarnya
juga memiliki arti religius, dan karena itu, menurut R. OTTO, Perjamuan Malam
Terakhir adalah sebuah tindakan simbolis yang memiliki kedalaman makna dan
realitas yang lebih besar daripada hanya sekedar sebagai sebuah perjamuan
biasa. Sementara itu, SCHNACKENBURG mengakui bahwa baik pencucian dan aktus
pembenaman yang sudah lazim dalam gerakan-gerakan pembabtisan Yahudi serta
aktus Perjamuan itu merupakan aktus-aktus yang berisikan makna keselamatan (Sudarminta,
2002 : 35- 46).
2.2.3. Perjanjian Baru dan Umat Kristen Perdana
Teologi Katolik memang berpegang teguh pada dogma
Konsili Trente bahwa sakramen-sakramen telah ditetapkan oleh Yesus sendiri.
Perbuatan Yesus tidak terbatas pada pewartaan Kerajaan Allah. Ia pun tidak
hanya menuntut agar orang percaya, bertobat, dan mengikuti Dia agar dapat
menerima Kerajaan itu. Tetapi, lebih dari itu, Yesus mengungkapkan dalam
tanda-tanda lahiriah keselamatan yang datang dalam diri Yesus sendiri.
JOSEF FINKENZELLER menjelaskan bahwa bukan hanya tanda-tanda
mukjizat yang menampakkan zaman keselamatan, melainkan juga tanda-tanda yang
tersedia dalam sejarah agama-agama dan khususnya dalam Perjanjian Lama yang
kemudian dipakai oleh Yesus dan yang selanjutnya menugaskan para muridNya untuk
memakainya dalam melaksanakan keselamatan.
Dalam injil Sinoptik dilukiskan
perbuatan-perbuatan sakramental Yesus seperti penumpangan tangan dan
pengurapan. Penumpangan tangan, di pandang dari sejarah agama-agama, merupakan
tanda penyerahan roh, tanda kekuatan dan pelimpahan wewenang. Dan salah satu
contoh yang dilukiskan oleh injil Sinoptik adalah kisah pemberkatan terhadap
anak-anak yang dilakukan Yesus (Mrk 10 : 16 dst) dan kisah tentang penyembuhan
terhadap orang sakit (Mrk 8 : 22 – 23; Luk 4 : 40 – 41; 13 : 13). Sementara
itu, pengurapan, dalam sejarah agama-agama, merupakan ungkapan kesejahteraan,
kegembiraan dan suasana pesta serta tanda penghormatan, tetapi juga mempunyai
arti pengorbanan dan anti roh jahat (Luk 10 : 34). Selain itu, pengurapan
dipakai juga dalam tindakan pelantikan (menjadi imam dan raja) dan dalam
kaitannya dengan serah terima tugas sebagai nabi. Dan Yesus sendiri membiarkan
diriNya diurapi (Mat 24 : 6 dst; Luk 7 : 36 dst). Yesus juga menugaskan para
muridNya agar tanda-tanda ini dipakai dalam kegiatan menyembuhkan orang sakit
(Mrk 6 : 13).
Berbeda dengan apa yang dilukiskan dalam Injil
Sinoptik, maka dalam hubungan dengan sakramen-sakramen, ada
penafsiran-penafsiran yang berbeda terhadap Injil Yohanes. Menurut RUDOLF
BULTMANN, Injil Yohanes hanya memandang iman saja sebagai sarana keselamatan,
dan karena itu tidak ada ritus-ritus yang ditambahkan pada iman untuk
memperoleh keselamatan. Menurut BULTMANN, teks-teks seperti Yoh 3 : 5 tentang
Pembabtisan atau Yoh 6 : 51 – 58 tentang Roti Hidup bukanlah teks-teks yang
menunjukkan adanya sakramen, melainkan teks-teks yang ditambahkan oleh seorang
redaktur dari kalangan jemaat. BULTMANN menegaskan bahwa teks Yoh 6 tentang
Roti Hidup tidak boleh diartikan secara ekaristis, sebab teks ini hanya mau
menggambarkan tentang Perjamuan Malam Terakhir.
Sementara itu, OSCAR CULLMANN dan FRANZ MUSSNER
yang bertolak belakang dengan Rudolf Bultmann menjelaskan bahwa keempat injil
itu bersifat kultis dan sakramental. Misalnya, kisah tentang Perkawinan di Kana
(Yoh 2 : 1 – 11) diartikan Cullmann secara sakramental. Teks lain yang
diartikan secara sakramental adalah :
Ø kisah tentang Penyucian Bait Allah (Yoh 2
: 12 – 22)
Ø kisah tentang Percakapan dengan Nikodemus
(Yoh 3 : 1 – 21) dengan sendirinya dihubungkan dengan pembabtisan
Ø kisah tentang Penyembuhan orang sakit di
kolam Betesda (Yoh 5 : 1 – 19)
Ø dalam Yoh 6 tentang Perbanyakan Roti dapat
diartikan secara ekaristis
Ø kisah Pembasuhan Kaki (Yoh 13 : 1 – 21)
dihubungkan dengan Pembabtisan dan Ekaristi.
Pemahaman seperti di atas juga dijelaskan dan
ditegaskan oleh SCHNACKENBURG secara terperinci. Menurutnya :
Ø Kisah tentang Percakapan dengan Nikodemus
dalam Yoh 3 ditafsirkannya dalam arti Pembabtisan
Ø Kisah tentang Roti Hidup dalam Yoh 6 : 52
– 58 harus dimengerti secara ekaristis
Ø Kisah tentang Prajurit yang menikam
lambung Yesus dengan tombak dalam Yoh 19 : 34 menjelaskan tentang penjelmaan
serta wafat Kristus di kayu salib serta memiliki asal-usul dan kekuatannya
dalam kematian Yesus yang berdarah.
Ø Yoh 22 : 22 dan seterusnya berbicara
tentang Pengampunan dosa secara sakramental
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka
dapatlah dikatakan bahwa
sekurang-kurangnya Pembabtisan dan Ekaristi sudah ada pada masa Gereja
purba dan bahwa keduanya dipandang secara soteriologis sebagai ”sarana
keselamatan”(I Kor 10 : 1 – 22; Ef 5 : 21 – 33).
2.2.4. Sacramentum Pada Zaman Patristika
2.2.4.1.
Para Bapa Gereja Berbahasa Yunani
a.
IGNATIUS DARI ANTIOKHIA : berbicara tentang ”misteri yang berseru dengan nyaring”(mustèria kraugès),
maksudnya ialah menunjuk kepada peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus, serta
keselamatan sebagai akibatnya yang dihadirkan dalam Gereja.
b.
Yustinus Martir : Misteri
berarti fakta-fakta keselamatan yang mendasar, khususnya berkaitan dengan
kelahiran dan salib Kristus. Selain itu, Yustinus Martir juga menganalogikan
kata ”misteri” dengan arti ”perumpamaan, simbol, tipe”.
c.
Ireneus : Ireneus
menggunakan kata ”misteri” dalam rangka ajaran, yaitu tentang rahasia
kebenaran-kebenaran wahyu, rahasia-rahasia dalam arti kenyataan tersembunyi,
jalan rahasia keselamatan Allah yang dilihat oleh para nabi, karunia karismatis
orang Kristiani, dan kebangkitan orang-orang benar.
d.
Klemens dari Aleksandria : menurutnya, mustèrion
berkaitan dengan pengetahuan iman Kristiani. Oleh karena itu, dengan
sendirinya kebenaran-kebenaran agama Kristiani dipahami sebagai misteri pula.
Kristuslah Sang Mystagog. Lebih lanjut Klemens menjelaskan bahwa ”misteri”
menunjuk kepada sistem ajaran Kristiani sebagai keseluruhan.
e.
Origenes : menganalogikan ”misteri”dengan ”simbol”.
Karena itu, ia memandang arti harafiah dari Kitab Suci sebagai suatu simbol
semata-mata.
f.
Athanasius : memakai kata ”misteri”dalam arti
dogmatis-teoretis dan dalam arti liturgis. Dalam arti dogmatis-teoretis, yang
disebut ”misteri”adalah fakta-fakta dan kebenaran-kebenaran wahyu pada umumnya
dan penjelmaan Anak Allah pada khususnya. Sedangkan dalam arti liturgis, ia
menyebutkan kata ”misteri”untuk Ekaristi, Perkawinan dan Pembabtisan. Selain itu, ia juga memakai kata
”misteri”dalam arti rahasia penebusan dan keseluruhannya.
g.
Yohanes Krisostomus : mengartikan
”misteri”sebagai apa yang tidak dikenal dan yang tersembunyi. Isi misteri
adalah tindakan ilahi berupa penebusan yang oleh Kristus tidak hanya dilakukan,
tetapi juga diajarkan. Maka, ”misteri”berarti peristiwa keselamatan dan ajaran
keselamatan. Krisostomus menyebut pembukaan lambung Yesus sebagai suatu misteri
yang tak terkatakan (Yoh 19 : 34) dan memandang darah dan air yang mengalir
dari lambung Yesus sebagai gambar Sakramen Ekaristi dan Pembabtisan. Selain
itu, Krisostomus menyebut sakramen-sakramen dengan kata ta mustèria,
dalam arti sebagai tempat perjumpaan antara Allah Yang Maharahim dan Mahakuasa
dengan manusia yang telah ditebus.
2.2.4.2.
Para Bapa Gereja Berbahasa Latin
2.2.4.2.1. Arti Sakramen menurut Tertullianus
Tertullianus tidak hanya mengenal dengan baik arti
sakramentum, tetapi juga menjadi saksi klasik tentang terjemahan Kitab
Suci di Afrika yang menterjemahkan kata Yunani mustèrion dengan kata
Latin Sacramentum. Ia menerapkan kata sacramentum pada upacara
Baptis dan juga pada Ekaristi. Selain itu, Tertullianus mengemukakan beberapa
arti dari sacramentum, yakni arti yang bersifat Sejarah Keselamatan,
yaitu :
1) Sacramentum dalam arti simbol dan alegoria. Nama Yosua,
pengganti Musa, misalnya, merupakan sacramentum karena mengacu kepada
Yesus (Yehosua) sejauh terdapat analogia antara perutusan kedua orang itu.
Begitu pula kayu yang dipikul Isak ke tempat pengorbanan, itu juga merupakan sacramentum
sejauh menunjuk kepada kayu yang dipanggul Yesus pada bahuNya ke gunung
kalvari. Selain itu, anak yang dilahirkan bagi Abraham dari istri yang merdeka
itu menunjuk kepada alegoria kenabian kepada martabat orang Kristiani, sama
seperti anak yang dilahirkan dari hamba perempuan menggambarkan perbudakan kaum
Yahudi.
2) Sacramentum sebagai penyelenggaraan keselamatan. Sacramentum menandakan rahasia rencana keselamatan Karya
Ilahi yang kemudian diwahyukan di dalam Kristus.
3) Sacramentum sebagai isi dan pengakuan iman kepercayaan.
4) Sacramentum searti dengan veritas (kebenaran), regula
veritatis (pedoman kebenaran), dan saluratis disciplina (ajaran yang
menyelamatkan).
Selain itu, Tertullianus memberikan arti sacramentum
dalam arti yang sakramental sungguh-sungguh. Menurut Tertullianus, arti
etimologis yang aktif dari kata sacramentum adalah menyucikan,
menahbiskan.
Tertullianus menjelaskan beberapa sakramen,
misalnya Sakramen Baptis. Melalui pembaptisan, seorang katekumen menjadi
prajurit Kristus (miles christi) dan menerima kewajiban iman Kristiani.
Air baptis memiliki daya pemberi hidup, karena Allah berkarya di dalamnya.
Dengan demikian, pembaptisan merupakan ”sakramen bahagia” (felix sacramentum),
sebab berkat sakramen ini dibersihkanlah semua kesalahan yang telah diperbuat
seseorang untuk menuju hidup kekal.
Selain pembaptisan, Ekaristi juga memainkan
peranan penting dan disebut Tertullianus bersama dengan Pembaptisan. Ketika Kristus menyebut roti itu sebagai
tubuh-Nya, maka dengan demikian tidak dikatakan bahwa Kristus mempunyai tubuh
yang dapat dibuat dari roti, tetapi bahwa roti itu merupakan gambar tubuh-Nya (figura
corporis mei – gambar tubuh-Ku).
Selain itu juga, perkawinan disebut Tertullianus
sebagai sacramentum. Alasannya, karena dalam Ef. 5 : 32, kata mustèrion
diterjemahkan dengan kata sacramentum, dan dalam perkawinan dilihatnya
gambar rahasia tentang ”pesta perkawinan rohani Gereja dan Kristus” (spirituales
nuptiae ecclesia et Christi).
2.2.4.2.2. Sakramen pada Siprianus dan Ambrosius
Siprianus menyebutkan kata sacramentum
dalam arti janji baptis dan pengakuan iman dalam rangka pembaptisan.
Menurutnya, hanya dalam Gereja Katolik-lah terdapat pembaptisan yang benar. Sacramentum
menjadi searti dengan iman. Orang yang tidak mengenal Allah harus dibaptis demi
iman sejati akan Trinitas. Ambrosius menyebut Pembaptisan, Krisma, dan Ekaristi
sebagai sacramenta. Pembaptisan dipahami sebagai ritus inisiasi
Kristiani, dan kurban Ekaristi adalah misteri Kristiani yang paling luhur dan
kudus, pusat seluruh liturgi.
Siprianus mengenal sacramentum dalam arti
rahasia, tetapi lebih kerap mengartikannya secara kiasan. Menurutnya, kata sacramentum berarti tanda atau
benda atau peristiwa yang menandakan benda lain atau peristiwa lain di masa
lampau atau masa depan. Pembabtisan, Krisma, dan Ekaristi disebutnya sebagai sacramenta.
2.2.4.2.3.
Sakramen Pada Agustinus
Agustinus memakai kata sakramen dalam arti
luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, kata sacramentum menunjuk
pada Inkarnasi. Sedangkan dalama arti sempit, Agustinus menggunakan kata sacramentum
dalam arti sakramen-sakramen Gereja, khususnya upacara Baptis dan Ekaristi. Dan
sakramen disebut sebagai tanda suci atau signum sacrum.
Agustinus juga menjelaskan
tentang TANDA. Ia membedakan 2 jenis, tanda, yakni:
a.
Tanda
alamiah (signa naturalia), yakni tanda yang tanpa sengaja dan tanpa
ingin menandakan sesuatu yang lain, tetapi kodratnya sendiri memperkenalkan
sesuatu yang lain, misalnya asap menunjukkan adanya api, jejak kaki mengacu
kepada hewan atau orang yang telah berlalu, atau roman muku seseorang yang
marah atau sedih memperlihatkan perasaan hatinya tanpa orang yang bersangkutan
ingin memperlihatkannya.
b.
Tanda
konvensional (signa data), yakni tanda yang diberikan oleh makhluk hidup
satu sama lain untuk menunjukkan gerakan hatinya, perasaannya, dan
bermacam-macam pengetahuan. Seseorang yang memberi tanda konvensional berarti
bahwa ia memindahkan apa yang ada di dalam jiwanya sendiri ke jiwa orang lain.
Di antara tanda yang dipakai manusia untuk saling memberitahukan perasaannya,
ada yang termasuk indra penglihatan, tetapi kebanyakan termasuk pendengaran,
terutama kata-kata. Dengan perkataannya, manusia mengungkapkan pikiran yang mau
diberitahukan olehnya. Karena itu, perkataanlah tanda yang paling unggul.
Menurut Agustinus,
sakramen adalah tanda, yaitu tanda suci (signum sacrum). Sakramen adalah
tanda dari realitas tersembunyi. Roh Kudus menghantar kita melalui hal-hal
kelihatan kepada kenyataan-kenyataan tak kelihatan. Jadi, sakramen itu adalah
tanda dan sekaligus kenyataan kudus tersembunyi yang ditandakan.
Menurut Agustinus, sakramen
memiliki struktur yang tersusun dari elementum dan verbum (unsur/
bahan dan perkataan). Perkataan adalah tanda terpenting untuk mengungkapkan
pikiran manusia. Dan sakramen-sakramen adalah kata-kata yang kelihatan.
Perkataanlah yang mengangkat elementum kepada cara berada yang
sakramental. Akan tetapi, perkataan itu bukanlah perkataan biasa, melainkan
”perkataan iman” (verbum fidei), yang diresapi oleh daya kerja Roh Kudus
yang hidup di dalam gereja.
Agustinus memandang
penjelmaan Sang Logos sebagai tanda paling hebat yang dianugerahkan
Allah kepada manusia, dan semua signa yang lain dalam agama Kristiani
mengacu kepada tanda terbesar ini.
2.3. SAKRAMENTOLOGI SEKARANG
2.3.1. Pengantar
Magisterium Gereja (wewenang mengajar)
telah merumuskan ajaran resmi tentang Sakramen, khususnya pada Konsili Trente.
Akan tetapi, dewasa ini, keputusan Trente harus dihayati dalam terang
pernyataan-pernyataan Konsili Vatikan II, khususnya tentang Gereja sebagai
sakramen.[2]
2.3.2. Pernyataan Magisterium Gereja tentang
Sakramen
Selain oleh Agustinus, teologi Gereja
tentang sakramen amat dipengaruhi oleh Thomas Aquinas yang mengembangkan ajaran Agustinus tentang
Sakramen. Kedua teolog besar inilah yang paling berpengaruh terhadap perumusan
ajaran resmi Gereja di kemudian hari.
2.3.2.1. Persiapan dalam Teologi Thomas Aquinas
Thomas Aquinas memandang sakramen sebagai
”bejana-bejana rahmat” (Vasa Gratiae), di mana sakramen merupakan sarana
pedagogi eklesial. Thomas Aquinas dipengaruhi oleh seorang teolog, yaitu Petrus
Lombardus, di mana Petrus Lombardus untuk pertama kali menyebutkan jumlah
tujuh sakramen sebagaimana yang dikenal sekarang, dan bahwa sakramen
diartikannya sebagai ”bentuk kelihatan dari rahmat tak kelihatan”. Thomas
Aquinas memberikan definisi tentang sakramen sebagai tanda dan sebab,
yaitu sebab instrumental (causa instrumentalis) yang digerakkan oleh
Allah sebagai sebab utama (causa pricipalis).
Sakramen terdiri dari DUA
KOMPONEN, yaitu ”materi” dan ”bentuk”. Materi adalah suatu unsur
jasmani, seperti air, atau suatu perbuatan yang menandakan, misalnya pengakuan
dosa. Sedangkan bentuk adalah
suatu perkataan, seperti kata-kata yang diucapkan pada waktu konsekrasi atau
absolusi. Selain itu, Thomas Aquinas juga menggunakan ajaran Petrus Lombardus
yang dalam pelayanan sakramental membedakan antara opus operantis dan opus
operantum. OPUS OPERANTIS atau disebut juga ex opere operantis secara
harafiah berarti menurut yang melaksanakan sakramen, yakni pelayan atau
penerima sakramen, sedangkan OPUS OPERANTUM atau disebut juga ex opere
operato berarti menurut ritus atau perayaan yang dilaksanakan.
Sakramen ini menghasilkan
rahmat ex opere operato, artinya berdasarkan pekerjaan yang dilakukan,
dan bukan ex opere operantis, yaitu berdasarkan pihak insani yang
melakukannya. Karena itu, ada dua hal yang menjadi tekanan utama tentang
sakramen, yaitu :
a) Sakramen itu pertama-tama adalah perbuatan
Allah. Allah adalah ”sebab” atau pelaku yang utama. Perbuatan Allah tidak dapat
dihancurkan oleh siapa atau apa pun. Daya sakramen atau sahnya sakramen tidak
bergantung pada keadaan moral atau iman kepercayaan dari pemberi atau penerima
sakramen, tetapi bergantung pada kuasa Allah;
b) Terdapat tuntutan minimal yang harus
dipenuhi oleh manusia yang memberi atau yang menerima sakramen, yaitu bahwa
bagi si pemberi, cukuplah bahwa ia mempunyai maksud untuk melakukan apa yang
mau dilakukan oleh Gereja, sedangkan bagi si penerima, cukuplah bahwa ia tidak menutup
diri terhadap tawaran Allah dengan menolaknya atau dengan menjadi acuh tak acuh
terhadap tawaran Allah itu.
2.3.2.2.
Konsili Trente (tahun 1545- 1563)
Pada tahun 1547, pada waktu sidangnya yang
ketujuh, Konsili menetapkan 13 kanon ajaran Gereja Katolik tentang sakramen. Konsili
menjelaskan beberapa hal, yakni:
1.
Konsili
mempertahankan prinsip ex opere operato dengan menekankan bahwa
pembenaran manusia oleh Allah dan penyampaian rahmat Allah kepadanya terjadi
dengan jalan sakramen;
2.
Konsili
juga menegaskan bahwa prinsip ex opere operato jangan diartikan
seakan-akan sakramen itu menghasilkan buahnya secara otomatis, tetapi pada
kenyataannya penyampaian rahmat pada hakekatnya bergantung juga pada sikap hati
si penerima sakramen (sebagai syarat, bukan sebagai penyebab) atau bergantung
pada iman kepercayaan yang membuka diri bagi rahmat sakramen dan mempercayakan
diri kepadanya;
3.
Konsili
menegaskan tentang tiga sakramen, yakni sakramen pembaptisan, sakramen krisma
dan sakramen tahbisan bahwa dalam tiga sakramen ini dicetakkan ke dalam jiwa
manusia suatu meterai, yaitu suatu tanda yang rohani dan tak terhancurkan,
dan oleh karena itu ketiga sakramen itu tidak dapat diulang. METERAI (character)
ini memperlihatkan bahwa orang yang dibabtis dikuatkan dalam iman dan yang
ditahbiskan itu secara tetap berkarya di dalam Allah.
Mengingat sakramen merupakan sarana keselamatan
yang pada hakekatnya ditetapkan oleh Kristus dan yang dipercayakan kepada
Gereja, maka atas nama Gereja seseorang hanya dapat menerimakan sakramen
berdasarkan kuasa yang diperolehnya dari Kristus atau Gereja, dan supaya
sakramen itu diterimakan secara sah dan efektif, maka perlu juga bahwa sakramen
itu dilaksanakan secara tepat menurut ”materi” dan ”bentuk”, serta maksud yang
benar.
2.3.2.3.
Konsili Vatikan II (tahun 1962- 1965)
Konsili Vatikan II menonjolkan arti fundamental
dari Pembaptisan dan Ekaristi, bahwa Kristuslah pelaku utama sakramen. Ia hadir
dalam kurban misa, baik dalam pribadi imam yang melayani, maupun dan terutama
dalam rupa ekaristi. Ia pun hadir dengan daya kekuatanNya dalam
sakramen-sakramenNya begitu rupa, sehingga bila seseorang membaptis, maka
Kristuslah yang membaptis.
Semua tindakan sakramental dilihat dalam konteks
sabda Allah, khususnya pewartaan, dan dipahami sebagai perwujudan corak Gereja
sebagai umat Allah yang dalam perjalanan menuju akhir zaman. Karena itu,
Konsili Vatikan Ii menekankan actuosa participatio, yaitu keikutsertaan
secara aktif.
Sakramen juga perlu dipandang dalam rangka Gereja
seluruhnya yang merangkum segalanya sebagai ”tanda dan sarana kesatuan mesra
dengan Allah maupun kesatuan segenap umat manusia”. Sakramen adalah pelaksanaan
hidup Gereja, dan Gereja menjadi misteri justru karena berasal dari Kristus
sebagai kepala Gereja. Gereja sendiri merupakan sakramen dasar yang
mengaktualisasikan diri dalam sakramen-sakramen. Pengaktualisasian diri itu
menyangkut Gereja dalam tugas imamat dan rajawinya yang dikuduskan dan disusun
secara organis oleh Allah melalui Kristus dan di dalam RohNya.
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa semua sakramen
dilandasi dan dimaknai oleh rencana keselamatan Allah yang abadi dan rahasia,
yang di dalam Kristus secara eskatologis diwahyukan, dan secara eklesial selalu
diwartakan. Segala sesuatu yang bersifat meterai, tanda, bahasa tubuh,
dan sebagainya dinilai sebagai unsur-unsur yang dikehendaki oleh Allah sebagai
bagian dari ibadat penyelamatan.
2.3.2.4.
Katekismus Gereja Katolik (1992)
Katekismus Gereja Katolik, yang diresmikan oleh
Paus Yohanes Paulus II pada Hari Ulang Tahun Konsili Vatikan II yang ke-30 pada
tanggal 11 Oktober 1992, merangkum sakramentologi umum dalam lima butir,
di mana sakramen dipahami sebagai :
a) Sakramen Kristus. Ssakramen-sakramen ditetapkan oleh Tuhan kita
Yesus Kristus yang mengacu kepada perkataan dan perbuatan Yesus yang sudah
bersifat menyelamatkan, mengantisipasi misteri paskahNya, dan memberitahukan
serta mempersiapkan sakramen-sakramen Gereja yang didasarkan pada
misteri-misteri hidup Kristus.
b) Sakramen Gereja. Sakramen adalah sakramen Gereja dalam arti
rangkap, yaitu ”melalui gereja” dan ”untuk gereja”. Melalui gereja
karena Gerejalah sakramen tindakan Kristus yang berkarya di dalam Gereja berkat
diutusnya Roh Kudus, sedangkan untuk gereja, karena sakramenlah yang
membentuk Gereja, sejauh sakramen memperkenalkan dan menyampaikan kepada
manusia misteri persekutuan dengan Allah yang adalah kasih, satu dalam tiga
pribadi. Gereja merupakan ”satu pribadi yang mistik”, dan dalam
sakramen-sakramennya Gereja bertindak sebagai persekutuan
c) Sakramen iman kepercayaan. Disebut sakramen iman karena ia
menumbuhkan, menguatkan, serta mengungkapkan iman melalui kata-kata dan
perbuatan. Dengan merayakan sakramen, maka Gereja mengakui iman yang
diterimanya dari para rasul. Karena itu, muncul pepatah ”lex orandi, lex
credendi” yang berarti ”hukum doa adalah hukum iman”. Gereja percaya
sebagaimana gereja berdoa. Sakramen mengungkapkan dan mengembangkan kesatuan
iman dalam gereja, sehingga lex orandi menjadi salah satu kriteria
hakiki bagi dialog yang menyelamatkan antara umat kristiani dan Allah.
d) Sakramen keselamatan. Disebut sakramen keselamatan karena pada
dasarnya sakramen dianugerahkan Allah kepada umat demi keselamatan umat itu
sendiri. Dengan merayakan sakramen secara pantas dalam iman kepercayaan, maka
sakramen menyampaikan rahmat yang ditandakannya. Karena itu, sakramen itu
berhasil, berdaya guna, dan menjadi efektif karena Kristus sendirilah yang
sedang berkarya di dalamnya. Yesus bertindak di dalam sakramen-sakramen untuk
memberikan rahmat yang ditandakan oleh setiap sakramen.
e) Sakramen hidup kekal. Disebut sakramen hidup abadi karena di
dalam sakramen itu Gereja mendapat bagian dalam hidup kekal.
2.4.
SAKRAMENTOLOGI UMUM
2.4.1. Titik Tolak Sakramentologi Umum
Seorang teolog bernama RAPHAEL SCHULTE membahas
titik tolak Sakramentologi yang secara teologis dapat dipertanggungjawabkan,
yaitu bahwa :
1) Ketujuh perbuatan keselamatan di dalam Gereja
dipandang sebagai pelaksanaan eklesial. Semua sakramen merupakan pelaksanaan
diri Gereja. Sakramen-sakramen itu bersifat konstitutif, artinya di dalam
sakramen-sakramen itu Gereja mewujudkan hakekatnya sendiri sebagai kehadiran
yang eskatologis, historis, dan sosial.
2) Gereja, melalui sakramen-sakramen,
melaksanakan dirinya menuju kepada Allah (Bapa) dalam perwujudan diri
yang hidup dan yang menjawab dengan penuh rasa percaya diri.
3) Sakramen dan keselamatan yang disampaikan
kepada umat dengan dan dalam rahmat dilihat sebagai perwujudan yang selalu
terlaksana ”hari ini”. Dalam hidup ini, manusia dan dunia telah mendapat bagian
secara eskatologis dan tak terbatalkan. Dengan demikian, kehidupan ini
berlangsung ” antara ” Allah dan manusia ” melalui ” sakramen-sakramen
sebagai simbol-simbol yang real, personal dan aktual.
2.4.2. Corak Dasar Sakramen : Suatu Visi Teologis
Gereja sebagai umat Allah dan tubuh Yesus Kristus
yang dijiwai Roh Kudus dipahami sebagai sakramen dasar. Dengan demikian, bagi
Gereja dan bagi sakramen-sakramen, Yesus Kristuslah pengantara yang memenuhi
kehendak Bapa. Gereja dan sakramen-sakramen telah ditetapkan dari dalam
kehendak Bapa. Karena itu, Gereja dan sakramen-sakramen baru didirikan secara
sah seluruhnya dan berefektif setelah Yesus Kristus melaksanakan dan
menyelesaikan karya keselamatan ilahi, dan dari pihak Bapa, Gereja dan sakramen
diterima Bapa setelah kebangkitan dan diutusnya Roh Kudus.
Sakramen-sakramen memiliki dua dimensi. Di satu
pihak, sakramen-sakramen merupakan pelaksanaan hidup eklesial di dunia ini. Di
lain pihak, sakramen-sakramen memperlihatkan corak eskatologisnya,
sekaligus menunjukkan kepenuhan rahmat yang dianugerahkan dalam sakramen, serta
mengambil bagian dan memberi bagian dalam pengharapan kristiani-eskatologis.
2.4.3
Sakramen-Sakramen Gereja dalam Teologi
Teologi Kristiani dewasa ini biasa membedakan
penyebutan antara sakramen dengan sakramen-sakramen. Bila
berbicara mengenai sakramen berarti berbicara tentang Yesus Kristus
sebagai sakramen induk dan pokok, atau berbicara tentang Gereja sebagai
sakramen dasar. Sedangkan bila orang berbicara tentang sakramen-sakramen, maka
itu dimaksudkan dengan ketujuh sakramen.
Teologi Kristiani melihat bahwa ketujuh sakramen
itu masuk dalam bagian pembicaraan mengenai sakramen. Sakramen-sakramen atau
ketujuh sakramen menjadi sub atau diletakkan di bawah pembicaraan tentang
sakramentalitas pada umumnya. Dan teologi yang merefleksikan sakramen atau sakramen-sakramen
Gereja ialah sakramentologi. SAKRAMENTOLOGI adalah teologi sakramen. Teologi
ini termasuk dalam teologi sistematik atau teologi dogmatik.
2.4.4
Tiga Ciri Utama Teologi Sakramen
Teologi sakramen diwarnai oleh tiga ciri utama,
yakni interpretasi baru terhadap simbol sakramen-sakramen, hubungan tidak
terpisahkan antara sabda dan sakramen, serta berorientasi pada praksis.
2.4.4.1
Interpretasi Baru terhadap Makna Simbol Sakramen-Sakramen
Warisan diskusi teologis tentang sakramen-sakramen
dalam Gereja Katolik sesudah Konsili Trente pada abad XVI adalah tendensi
polemis dengan Gereja Reformasi. Pada umumnya, Gereja Reformasi memandang
sakramen-sakramen hanya sebagai tanda dan tidak mengakui sifat daya
guna sakramen. Sedangkan Gereja Katolik lebih menekankan daya guna.
Berkat interaksi ekumenis dan penggalian tradisi
teologis Patristik serta pola pikir yang antropologis pada abad ini, pemikiran
simbolis seolah-olah menjadi kata kunci dalam sakramentologi. Suatu refleksi
antropologis terhadap simbol meneguhkan eksistensi dan perlunya
sakramen-sakramen dan mengapa sakramen selalu berkaitan dengan simbol. Manusia
sebagai pribadi yang utuh selalu menampilkan, mengungkapkan, dan melaksanakan
dirinya dengan aneka isyarat, tanda dan simbol.
Dalam hubungannya dengan sakramen, simbol tidak
sekedar ungkapan diri manusia. Justru dengan sakramen pertama-tama dimaksudkan
pernyataan dan ungkapan diri Allah sendiri dalam bentuk yang kelihatan dan
manusiawi. Itulah Yesus Kristus yang adalah sakramen Allah. Kini, dalam rangka
sejarah dunia, Gereja menjadi simbol Yesus Kristus sendiri. Dalam dan melalui
Gereja, Yesus Kristus (melalui Roh Kudus) hadir dan melaksanakan karya
penyelamatan-Nya bagi dunia. Pelaksanaan penyelamatan itu terjadi dan
berlangsung secara konkret bagi kehidupan sehari-hari melalui perayaan
sakramen-sakramen. Sakramen-sakramen menggunakan aneka simbol untuk
mengungkapkan dan melaksanakan atau menghadirkan apa yang tidak kelihata, yakni
misteri penebusan Kristus.
2.4.4.2
Hubungan tidak terpisahkan antara Sabda dan Sakramen
Pada masa pra-Vatikan II, terdapat slogan yang
amat populer, yakni bahwa Gereja Katolik
itu adalah Gereja Sakramen, sedangkan Gereja Reformasi adalah Gereja
Sabda. Pada saat ini, slogan itu telah ditinggalkan dan tidak dipakai lagi, sebab
gerakan ekumenis telah semakin mendekatkan masing-masing pihak dan membuat
masing-masing pihak merefleksikan kembali teologi dan ajarannya secara seimbang
di mana kedua pihak sama-sama menjadikan Kitab Suci sebagai sumber dan dasar
seluruh refleksi teologisnya.
Di dalam Kitab Suci terdapat banyak teks yang
menunjukkan bahwa Sabda Allah itu juga berdaya guna dan efektif (bdk. Kej 1
: 3. 6. 9. 11. 14. 20. 24. 26. 29; Yes 48 : 13; Yes 55 : 10 – 11; Mzm 33 : 9;
Rm 4 : 17). Dalam 1 Kor 11 : 26 bahkan ditunjukkan bahwa perayaan ekaristi
sudah merupakan pewartaan. Pewartaan di sini bukan sekedar suatu ajaran,
melainkan Sabda yang menghadirkan kekuatan Allah dan berdaya guna. Dengan
demikian, sesungguhnya hubungan Sabda dan Sakramen sudah disinyalir di dalam Kitab
Suci.
Agustinus menjelaskan hubungan sabda dan sakramen dengan
mengatakan bahwa SABDA adalah sacramentum audibile (tanda yang didengar)
dan SAKRAMEN adalah verbum visibile (sabda yang kelihatan). Jadi,
sakramen bersifat ”sabda atau pewartaan”, dan sabda juga bersifat sakramental.
Melalui refleksinya atas hubungan sabda dan
sakramen, Karl Rahner merumuskan kembali makna dan hakekat sakramen pada
umumnya. Rahner memahami hakekat sakramen dari sudut sabda. Sakramen merupakan
peristiwa Sabda Allah yang paling radikal dan paling intensif dalam Gereja,
atau tingkatan tertinggi dari sabda rahmat Allah yang terjadi secara kelihatan
dalam Gereja.
2.4.4.3
Berorientasi pada Praksis
Perubahan pola pikir antropologis dalam filsafat
dan teologi abad ini berdampak pada tuntutan dan orientasi teologi pada
praksis. Orientasi teologi dewasa ini adalah bagaimana sakramen-sakramen
mempunyai makna bagi hidup dan perjuangan konkret manusia dewasa ini.
2.4.5
Macam-Macam Model Teologi Sakramen
Teologi Sakramen memiliki beberapa macam model,
yakni sakramen sebagai medan perjumpaan, sakramen sebagai realisasi simbolis,
sakramen bagi situasi dasar dan konkret manusia, sakramen sebagai peristiwa
komunikasi, dan sakramen sebagai pesta peristiwa keselamatan.
2.4.5.1
Sakramen sebagai Medan Perjumpaan
Odo Casel melihat sakramen-sakramen sebagai perayaan karya
keselamatan Allah dalam Kristus. Dalam perayaan sakramen-sakramen itu, hadirlah
sendiri misteri penebusan Kristus. Perayaan sakramen-sakramen dipandang sebagai
”penghadiran” misteri penebusan Kristus dalam bentuk tanda.
Selanjutnya, muncul arus teologi sakramen yang
lebih suka menggunakan istilah ”perjumpaan” daripada ”penghadiran”. Otto
Semmelroth menggunakan istilah ”perjumpaan” bagi sakramen. Dalam
sakramen-sakramen, manusia menanggapi tawaran dialog keselamatan Allah dalam
Kristus. Sementara itu Edward Schillebeeckx melihat Kristus sebagai
sakramen Allah atau sebagai perjumpaan personal dengan Allah. Sakramen-sakramen
menjadi dialog antara Allah dan manusia atau Gereja. Dalam pemikiran inilah
sakramen-sakramen dipandang sebagai medan perjumpaan antara Allah dan manusia
melalui Yesus Kristus yang berlangsung dalam bentuk tanda atau simbol.
Sakramen-sakramen ada dalam relasinya dengan Kristus dan Gereja. Ketujuh sakramen
menjadi medan pertemuan manusia dengan Kristus dalam Gereja-Nya.
2.4.5.2
Sakramen sebagai Realisasi Simbolis
Filsafat dan teologi Kristiani bukan hanya
merefleksikan makna daya guna simbol, melainkan juga menghubungkan simbol
dengan perwujudan dan pelaksanaan diri, eksistensi, dan pengenalan manusia.
Manusia ada dan tercipta dengan memuat makna dan arti hidup. Manusia mempunyai
makna ontologis.
Filsuf seperti Ernst Cassirer, Alfred North
Whitehead dan ahli musik Susanne K. Langer merenungkan makna simbol
dalam pemikiran, ritus dan seni. Mereka sependapat bahwa manusia bukan hanya
memahami diri dan dunianya secara diskursif saja (rasional), melainkan juga
menurut suatu transformasi simbolis sebagaimana tampak dalam sejarah religi.
Manusia selalu memahami hidupnya melalui dunia
simbol. Manusia sendiri adalah simbol induk dari semua simbol dan lambang yang
ada. Di sinilah sakramen-sakramen mendapat legitimasi dan tempatnya dalam hidup
manusia. Sakramen-sakramen dipandang sebagai simbol-simbol yang melaluinya
terjadi pengungkapan dan pelaksanaan dari relasi Allah dan manusia.
2.4.5.3
Sakramen bagi Situasi Dasar dan Konkret Manusia
Sakramen-sakramen dipandang sebagai tahap paling
konkret di mana keselamatan Allah dalam Kristus itu dapat dialami. Sakramen-sakramen
berhubungan dengan kehidupan konkret. Peristiwa-peristiwa dasar dan penting
yang dialami oleh setiap insan di dunia ini didampingi dan disertai oleh
sakramen-sakramen Gereja. Sakramen-sakramen Gereja mau menunjukkan kepada umat
manusia bahwa Tuhan sebenarnya senantiasa hadir dan menyertai setiap orang
dalam perjalanan hidupnya. Melalui sakramen-sakramen Gereja, Tuhan
mengaruniakan keselamatan kepada umat manusia menurut dimensi situasi hidupnya
yang konkret.
2.4.5.4
Sakramen sebagai Peristiwa Komunikasi
Suatu pengembangan pemahaman akan sakramen sebagai
peristiwa komunikasi dilakukan oleh banyak teolog, seperti Franz Schupp, A.
Ganoczy, dan Peter Hűnermann. Model pemahaman ini bertumpu pada teori
komunikasi dan mengembangkan pengertian sakramen-sakramen menurut model
komunikasi itu.
Menurut ketiganya, dalam
proses komunikasi terdapat
tiga pihak, yaitu pemberi, penerima dan mediumnya. Di sana kedua partner
bertindak dalam komunikasi sekaligus sebagai pemberi dan penerima dengan
menggunakan medium. Dalam rangka sakramen, Allah menjadi sumber dan yang
menganugerahi keselamatan dan pengudusan melalui sakramen kepada manusia.
Tetapi, di sana manusia bukan sekedar partner penerima yang pasif, melainkan
tetap sebagai subyek yang menanggapi pemberian itu dengan bebas. Karena itu,
perayaan sakramen-sakramen pertama-tama adalah suatu peristiwa komunikasi dari
pihak-pihak yang berjumpa, yakni Allah dan umat-Nya, dengan menggunakan
sakramen-sakramen sebagai mediumnya.
2.4.5.5
Sakramen sebagai Pesta Peristiwa Keselamatan
Sakramen-sakramen dapat dipandang sebagai suatu
perayaan atau pesta peristiwa keselamatan. Dalam sakramen-sakramen itu, yang
menjadi alasan dan isi perayaan atau pesta itu adalah peristiwa keselamatan
Allah dalam Kristus. Sebagai pesta dan
perayaan, sakramen-sakramen memuat beberapa unsur pesta dan perayaan. Di
situ ada alasan berkumpul, penggunaan aneka simbol dan tanda, daya guna yang
diperoleh dari pesta itu, tuan rumah dan undangan, persaudaraan dan dialog di
antara mereka yang hadir. Demikian pula dengan sakramen-sakramen.
Sakramen-sakramen dirayakan dengan suatu maksud,
yaitu menghadirkan dan mengenangkan peristiwa keselamatan Allah dalam Yesus
Kristus. Di sini umat beriman dipanggil dan dikumpulkan oleh Kristus sendiri.
Perayaan itu dilangsungkan dengan tanda atau simbol dan di sana dihadirkan
sekaligus apa yang dilambangkan itu.
2.4.6
Sakramentali
Istilah sakramentali muncul pada abad XII, yakni
pada tulisan Petrus Lombardus bersamaan dengan pembakuan istilah sakramen bagi
ketujuh ritus Gereja. Konsili Vatikan II merumuskan arti sakramentali sebagai
tanda-tanda suci yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen. Sakramentali
itu menandakan kurnia-kurnia, terutama yang bersifat rohani dan yang diperoleh
berkat doa permohonan Gereja.
Perbedaan dasar sakramentali dengan sakramen ialah
bahwa sakramentali pertama-tama adalah doa permohonan Gereja, agar Allah
memberkati dan menguduskan orang atau benda tertentu. Dengan kata lain, daya
guna sakramentali itu terjadi menurut ex opere operantis atau berkat
tindakan/ karya Gereja, yaitu karena Gereja memohon, sedangkan daya guna sakramen
itu terjadi secara ex opere operato yaitu berkat tindakan atau karya
Kristus. Dalam sakramen, Kristuslah yang mengubah dan menguduskan orang itu dan
karya Kristus itu tidak berhubungan dengan moral si pelayan. Hal ini nampak
dalam berbagai upacara sakramentali, misalnya pemberkatan air suci, pemberkatan
dengan tanda salib pada dahi anak-anak merupakan upacara atau pemberkatan dalam
rangka menuju atau mengenangkan atau menghadirkan sakramen baptis; pemberkatan
roti atau doa sebelum dan sesudah makan mengingatkan kita pada ekaristi; berbagai
doa untuk orang sakit bagi sakramen pengurapan orang sakit; upacara pertunangan
bagi sakramen perkawinan; upacara tobat bagi sakramen tobat; selain itu, ada
macam-macam sakramentali, seperti aneka ibadat dan pemberkatan atau juga
prosesi.
BAB
III
SAKRAMENTOLOGI
KHUSUS
(Ketujuh
Sakramen Masing-Masing)
3.1.
JUMLAH SAKRAMEN-SAKRAMEN
GEREJA
3.1.1
Pengantar
Jumlah tujuh sakramen memang diajarkan oleh Gereja untuk pertama
kalinya dalam Konsili Lyon II (1274), lalu Konsili Florenz (1439). Ajaran ini
ditegaskan kembali oleh Konsili Trente pada tahun 1547. Konsili Trente
menetapkan ketujuh sakramen dalam Gereja Katolik, yaitu sakramen permandian,
sakramen krisma, sakramen ekaristi, sakramen tobat, sakramen pengurapan orang
sakit, sakramen tahbisan dan sakramen perkawinan. Sakramen-sakramen itu
menyentuh seluruh fase dan saat penting dalam kehidupan orang kristiani. Karena
itu, terdapat kemiripan tertentu antara fase kehidupan alamiah dengan kehidupan
rohani.
Ketujuh sakramen itu dikelompokkan atas 3 (tiga), yaitu (1) sakramen-sakramen
inisiasi kristiani (sakramen permandian, sakramen krisma dan sakramen ekaristi);
(2) sakramen-sakramen Penyembuhan (sakramen tobat dan sakramen pengurapan orang
sakit); serta (3) sakramen-sakramen pelayanan untuk persekutuan (sakramen
tahbisan dan sakramen perkawinan).
3.1.2
Sejarah Jumlah Tujuh
Sakramen
·
Gereja perdana belum mengenal
jumlah tujuh sakramen sebagaimana yang dikenal sekarang. Tetapi, tentu saja
Gereja perdana telah mengenal dan mempraktekkan macam-macam perayaan dan
upacara untuk merayakan imannya kepada Yesus Kristus;
·
Hingga zaman Patristik, Gereja
belum mendefinisikan tujuh sakramen. Tetapi, bapa-bapa Gereja sering juga
menggunakan istilah “sakramen” menurut pengertian kultis atau ibadat, yaitu tindakan-tindakan
simbolis suci dan keramat. Akibatnya, upacara-upacara yang kecil, seperti
membuat tanda salib, membacakan Kitab Suci, pendarasan syahadat dalam baptisan,
pesta-pesta liturgis, dan sebagainya disebut sebagai sakramen;
·
Hingga abad pertengahan, ada
macam-macam hal yang disebut sebagai sakramen. Pada abad X, Gereja Barat
menyebut sakramen-sakramen untuk baptisan dan ekaristi, lalu juga aneka macam
upacara pengurapan dengan minyak, seperti baptisan, krisma, tahbisan imam,
pemberkatan raja, dan pemberkatan rahib.
·
Sakramen tobat atau
rekonsiliasi, tahbisan, dan pengurapan orang sakit sudah dikenal sejak zaman
Patristik;
·
Antara abad IX – XI, sakramen
krisma definitif terpisah dari baptisan;
·
Pada awal abad XII, perkawinan
diakui oleh Gereja sebagai sakramen, meskipun ritusnya sudah dikenal sejak abad
V. Pada awal zaman Skolastik, jumlah sakramen menjadi sangat bervariasi, dari
lima, dua belas, dan bahkan ada yang menghitung sampai tiga puluh buah
sakramen.
·
Pada abad XII,
sakramen-sakramen didefinisikan kembali, soal daya guna diperdalam, dan ditetapkanlah
tujuh sakramen Gereja;
·
Jumlah tujuh sakramen diterima
dan ditetapkan oleh Gereja secara resmi sejak Konsili Lyon II pada tahun 1274.
Akhirnya, Konsili Trente pada tahun 1547 menegaskan kembali ajaran Gereja yang
terdahulu mengenai jumlah tujuh sakramen. Jumlah tujuh sakramen ini ternyata
juga diakui oleh Gereja Timur (Ortodoks).
3.1.3
Penjelasan atas Jumlah
Tujuh Sakramen
3.1.3.1
Penjelasan Klasik
Yang dimaksud dengan penjelasan klasik adalah penjelasan para teolog
Skolastik atas jumlah tujuh sakramen. Umumnya, mereka menggunakan aneka alegori
dalam menjelaskan jumlah tujuh ini.
Aleksander dari Hales († 1245) berpangkal
dari teks 2 Raj 5 : 10 : “Elisa menyuruh seorang suruhan kepadanya
mengatakan: "Pergilah mandi tujuh kali dalam sungai Yordan, maka tubuhmu
akan pulih kembali, sehingga engkau menjadi tahir." Dari sini
Aleksander memandang tujuh sakramen sebagai tujuh macam luka karena dosa dan
tujuh macam sarana penyembuhannya. Aleksander juga menerangkan tujuh angka ini
dengan cara lain, yakni mengaitkan tujuh angka itu dengan :
·
tiga macam keutamaan
teologis (iman, harapan dan kasih)
·
empat macam keutamaan
cardinal (kebijaksanaan, keadilan, kesederhanaan,
dan ketekunan atau keberanian). Dalam hal ini, baptisan sesuai dengan iman,
minyak suci dengan harapan, ekaristi dengan kasih, tahbisan dengan
kebijaksanaan, tobat dengan keadilan, perkawinan dengan kesederhanaan, dan
penguatan dengan keberanian atau ketekunan.
Bonaventura († 1274) memikirkan ketujuh
sakramen sebagai rahmat yang perlu dan harus diterima bagi para pejuang
Kerajaan Allah. Sakramen-sakramen itu menopang pejuang itu dalam aneka tahap
pertempuran:
·
Baptisan merekrut para pejuang
dan melengkapi mereka dengan senjata,
·
penguatan mengobarkan semangat
mereka,
·
Ekaristi memberikan kekuatan
untuk melawan dosa-dosa ringan,
·
tobat memberikan kekuatan untuk
melawan dosa-dosa berat,
·
minyak suci memberikan kekuatan
bagi mereka yang terluka dalam pertempuran,
·
tahbisan menghasilkan
pejuang-pejuang baru,
·
dan perkawinan menyediakan
pembaruan tetap para pejuang.
Thomas Aquinas († 1274) berpangkal dari
pemahaman sakramennya. Baginya, sakramen diadakan Tuhan untuk menyempurnakan
dan menyembuhkan jiwa manusia. Thomas melihat sakramen-sakramen dalam rangka
pertumbuhan dan kehidupan manusia yang setiap kali perlu disempurnakan dan
disembuhkan. Baginya :
·
baptisan diperlukan bagi
kelahiran kembali dari jiwa,
·
penguatan bagi pemberian
pertumbuhan dan kekuatan dengan Roh Kudus,
·
Ekaristi bagi kekuatan dan
makanan jiwa,
·
tobat bagi penyehatan kembali
jiwa yang sakit,
·
minyak suci bagi kesembuhan dan
kekuatan bagi pengampunan dosa dan persiapan manusia bagi kemuliaan
eskatologis.
Sedangkan dua
sakramen lainnya dilihatnya dalam dimensi sosial, yakni :
·
tahbisan bagi kepemimpinan dan
pelayanan Gereja
·
perkawinan dikaitkan dengan
kebutuhan pelipatgandaan dan perkembangan warga Gereja.
Selain itu, jumlah tujuh berarti perjumpaan Allah dan dunia yang
dirayakan dalam sakramen-sakramen. Dengan demikian, cara penafsiran angka tujuh
ini begitu kreatif.
Injil Matius (Mat 13) menyebut adanya tujuh perumpamaan tentang
Kerajaan Allah, Kitab Wahyu menyebut tujuh umat di Asia Kecil.
Gereja Timur mempunyai penafsiran sendiri atas jumlah tujuh
sakramen. Para Teolog Gereja Timur menghubungkan tujuh sakramen itu dengan :
·
tujuh bintang (Wahyu 1 : 16)
·
tujuh kaki dian (Why 1 : 12)
·
tujuh tiang kebijaksanaan (Ams
9 : 1-3)
·
tujuh karunia Roh Kudus (Yes 11
: 2)
Teologi Gereja Timur juga memandang tujuh sakramen sebagai
sakramen-sakramen yang menunjuk pada tujuh karisma eskatologis, yakni :
·
tahbisan untuk pengetahuan
sempurna (perfecta scientia)
·
tobat untuk kedamaian (pax)
·
perkawinan untuk kepuasan (satietas)
·
Ekaristi untuk keabadian (immortalitas)
·
Baptisan untuk kelincahan atau
ketangkasan (agilitas)
·
Pengurapan minyak suci untuk
kecermatan atau kearifan (subtilitas)
·
Penguatan untuk kebenaran
kemuliaan (veritas gloriosa)
3.1.3.2
Pandangan Teologi Modern
Teologi dewasa ini cenderung untuk tidak menyibukkan diri dengan
angka tujuh sakramen-sakramen Gereja. Orang tidak lagi mendiskusikan angka
tujuh sebagai angka keramat. Maka, pemutlakan angka tujuh bukan lagi menjadi
interese teologis. Teologi modern lebih cenderung untuk kembali ke makna
sakramentalitas biblis. Teologi sakramen modern memandang sakramen-sakramen
dalam terang Yesus Kristus sebagai sakramen induk atau pokok dan tempat
sakramen-sakramen itu dalam hakekat Gereja sebagai misteri. Jumlah tujuh sakramen
dilihat dalam konteks sejarah keselamatan Allah. Dalam hal ini, sejarah
keselamatan Allah itulah yang menjadi pangkal tolak pembahasan mengenai tujuh
sakramen Gereja. Jumlah tujuh sakramen dibicarakan dalam konteks bagaimana
karya penyelamatan Allah melalui Kristus dan sekarang dinyatakan dalam Gereja
itu sampai kepada masing-masing orang menurut situasi dan kehidupan konkretnya.
Edward Schillebeeckx melihat ketujuh
sakramen sebagai “tujuh saat” atau “tujuh peristiwa” utama hidup manusia. Pada
peristiwa tersebut tampaklah dalam tanda Allah sendirilah yang secara pribadi
membantu manusia dalam perjuangan dan suka duka hidupnya. Karl Rahner berpangkal
dari sakramentalitas Gereja sebagai tanda kehadiran Yesus Kristus yang adalah
sakramen induk. Bagi Rahner, ketujuh sakramen merupakan aktualisasi pelaksanaan diri Gereja sendiri sebagai
sakramen dasar yang menghadirkan Kristus, Sang Sakramen induk dalam situasi
dasar kehidupan manusia.
3.1.4
Pelayan, Penerima dan
Simbol Sakramen
3.1.4.1
Pelayan Sakramen
Peranan pelayan sakramen sangat ditekankan dalam teologi sakramen
klasik. Konsili Firenze menyatakan bahwa sakramen-sakramen dilaksanakan menurut
tiga unsur pokok, yaitu material sacramenti, forma sacramenti, dan pelayan
sakramen.
Bila pernyataan itu diperhatikan dengan teliti, maka di sana pihak
penerima sakramen tidak disinggung. Keabsahan penerimaan sakramen ditentukan
oleh pelayan sakramen dan ketepatan yang menjadi materi dan formanya.
Mengapa unsur penerima sakramen yang sebenarnya juga menentukan
penerimaan sakramen tidak disebut dan tidak memainkan peranan dalam teologi
sakramen klasik? Ada beberapa sebab yang menjadi alasannya, yakni :
v Pengertian sakramen yang instrumentalistis. Orang melihat sakramen
lebih sebagai saluran atau alat untuk penyaluran rahmat Allah. Maka, alat dapat
bekerja baik kalau yang melayaninya telah menggunakan alat itu sesuai prosedur.
v Pemikiran feodalistis. Segala berkat dan hadiah datang dari atas. Si
penerima tinggal menerima saja. Maka, yang penting dalam proses itu adalah si
pelayan.
v Penekanan segi kristologis. Pelayan sakramen selalu dilihat sebagai in persona Christi (dalam pribadi
Kristus), sebagai pelayan Kristus. Di sini unsur manusiawi pelayan dan penerima
hanya sekedar menjadi latar belakang. Yang ditonjolkan adalah peranan Kristus.
Teologi sekarang cenderung membahas daya guna sakramen sebagai hasil
dari interaksi pelayan, penerima dan medium sakramen yang berupa symbol dan
tindakan simbolisnya. Penerimaan sakramen adalah perayaan perjumpaan, suatu
peristiwa. Di pihak pelayan, Kristus sendiri dan bersama Gereja bertindak
sebagai pelayan sakramen. Gereja di sini diwakili dalam oleh pelayan resmi
(kaum tertahbis) sebab perayaan itu memang perayaan resmi yang mengungkapkan
dan melaksanakan diri Gereja sendiri. Pihak penerima juga bukan sekedar wadah
kosong yang mati. Si penerima sakramen adalah subyek atau orang beriman yang
hidup dan warga Gereja yang menjumpai dan menanggapi panggilan Allah secara
pribadi dan bebas dalam kebersamaan Gereja. Si penerima juga ikut menentukan
kualitas perjumpaan sakramen ini.
3.1.4.2
Penerima Sakramen
Perayaan sakramen bersifat dialogis. Bukan hanya pelayan, tetapi
juga pihak penerima yang menentukan terjadinya perayaan sakramen.
Sakramen-sakramen sebagai tindakan Kristus dan Gereja-Nya berdaya guna bukan
melulu pertama-tama karena iman si penerima saja. Meskipun si penerima belum
begitu sadar akan apa yang terjadi dalam penerimaan sakramen, namun sakramen itu
tetap dipandang valid atau sah. Mengapa ? karena sakramen-sakramen merupakan
dialog perjumpaan antara Kristus dan seluruh Gereja. Meskipun demikian,
sakramen-sakramen tetap merupakan sakramen iman yang berarti bahwa
sakramen-sakramen hendaknya dirayakan dengan iman atau mengandaikan iman si
penerima.
3.1.4.3
Simbol Sakramen
Paham sakramen sebagai peristiwa perjumpaan dan komunikasi menunjuk
faktor pelayan, penerima dan mediumnya sebagai satu kesatuan. Simbol sakramen
yang dimaksud di sini adalah materi dan forma. Yohanes Dun Scotus membuat
pembedaan dalam hal materi sakramen, yakni :
·
Materia remota : unsur-unsur tanda yang berasal dari alam, seperti air, minyak, roti,
anggur, dan sebagainya.
·
Materia proxima : unsur-unsur tanda yang berupa tindakan manusiawi yang menyertai material
remota.
Penerimaan sakramen tidak hanya berlangsung dengan pemberian suatu
unsur material (material remota) yang dilakukan dengan unsur tindakan
simbolis dari pelayan (material proxima), tetapi juga disertai dengan “kata-kata
konsekratoris” yang biasa disebut dengan forma. Pembedaan antara materi
dan forma sudah ada sejak zaman Skolastik awal.
3.1.5
Tabel Daftar Syarat
untuk Penerimaan Sakramen yang Sah dilihat dari Sudur Pelayan dan Penerima
Sakramen
SAKRAMEN
|
PELAYAN
|
PENERIMA
|
Baptisan
|
Pelayan biasa (baptisan meriah) ialah uskup, imam
dan diakon. Dalam kasus darurat : siapa saja asal memiliki wewenang
dari Uskup
|
Setiap orang yang belum pernah dibaptis
|
Penguatan/ Krisma
|
Pelayan biasa : Uskup. Pelayan luar biasa adalah
imam yang telah mendapat kuasa dari uskup atau ordinaris setempat
|
Orang yang sudah dibaptis dan yang belum pernah
menerima penguatan ad liceitatem : hidup dalam rahmat
|
Ekaristi
|
Uskup dan imam :
·
Pelayan
penerimaan komuni yang biasa : uskup, imam dan diakon
·
Pelayan
penerimaan komuni yang luar biasa : siapa saja yang secara resmi diberi kuasa
oleh Gereja
|
Setiap orang yang dibaptis, hidup dalam rahmat dan
tidak dalam halangan Gereja (untuk komuni).
|
Tobat/ Rekonsiliasi
|
Uskup dan imam yang selain ditahbiskan secara sah
juga memiliki kuasa yurisdiksi untuk menerimakan sakramen rekonsiliasi
|
Orang yang sudah dibaptis yang jatuh dalam dosa. Ia
harus sudah dapat menggunakan akal budi, mempunyai rasa sesal, tobat dan mau
melakukan denda dosa
|
Pengurapan Orang Sakit
|
Uskup dan imam, juga umat beriman lainnya (dalam
situasi darurat), asalkan sudah tersedia minyak pengurapan
|
Orang yang sudah dibaptis, yang sedang menderita
sakit dan kemungkinan dalam bahaya kematian
|
Perkawinan
|
Uskup dan imam
|
Laki-laki dan perempuan yang telah dibaptis dan
bebas halangan
|
Tahbisan
|
Uskup. Pada tahbisan uskup perlu seorang uskup
pentahbis utama yang didampingi oleh dua uskup lain
|
Seorang laki-laki yang sudah dibabptis dan bebas
halangan.
ad liceitatem : hidup dalam rahmat, seperti selesai studi
filsafat-teologi yang dituntut, memiliki iman yang utuh, motivasi yang jujur,
nama dan hidup yang baik, aneka keutamaan yang sesuai dengan tahbisan yang
akan diterimanya.
|
3.1.6
Tabel Daftar Inti Tata
Perayaan Sakramen menurut Ritus Gereja Katolik Roma
SAKRAMEN
|
MATERIA SACRAMENTI
|
FORMA SACRAMENTI
|
Baptisan
|
Penuangan dengan air pada dahi
|
“ N…aku membaptis kamu dalam nama Bapa dan Putra dan
Roh Kudus” (U : Amin)
|
Penguatan/ Krisma
|
Penumpangan tangan dan pengurapan minyak krisma pada
dahi
|
“ N…terimalah tanda karunia Roh Kudus “ (U : Amin)
|
Ekaristi
|
Konsekrasi atas roti dan anggur dan
penerimaan komuni
|
Seluruh Doa Syukur Agung
|
Tobat/ Rekonsiliasi
|
Ungkapan dan pernyataan sesal, tobat dan pengakuan
dosa, penguluran tangan dan berkat tanda salib oleh Bapa Pengakuan atas
kepala penitent saat absolusi
|
“ Allah, Bapa yang berbelas kasih telah mendamaikan
dunia dengan Diri-Nya melalui wafat dan kebangkitan Putera-Nya dan telah
mengutus Roh Kudus bagi pengampunan dosa. Melalui pelayanan Gereja Ia
menganugerahkan kepada Saudara pengampunan dan damai. Dan dengan ini aku
melepaskan Saudara dari segala dosa, dalam nama † Bapa dan Putera dan Roh
Kudus “
( U : Amin)
|
Pengurapan Orang Sakit
|
Pengurapan dengan minyak pada dahi dan kedua telapak
tangan. Bisa juga dalam situasi yang tidak mendukung, minyak diurapi pada
dahi saja, dan jika itu pun tidak mungkin lalu pada salah satu anggota badan
yang cocok
|
“ Semoga dengan pengurapan suci ini Allah yang
Maharahim menolong saudara dengan rahmat Roh Kudus” (U : Amin)
“ Semoga Ia membebaskan saudara dari dosa,
menganugerahkan keselamatan dan berkenan menabahkan hati Saudara” (U : Amin)
|
Perkawinan
|
Pernyataan Janji Nikah
|
“ Di hadapan imam dan para saksi, saya…….menyatakan
dengan tulus ikhlas bahwa … yang hadir di sini sejak saat ini menjadi istri/
suami saya. Saya berjanji akan tetap setia kepadanya dalam untung dan malang,
dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikianlah janji
saya demi Allah dan Injil suci ini…”
|
Tahbisan
|
Penumpangan tangan oleh Uskup
|
Doa tahbisan yang panjang. Masing-masing tingkatan
tahbisan memiliki rumusan doa tahbisan sendiri.
|
3.2.
SAKRAMEN-SAKRAMEN
INISIASI KRISTEN
3.2.1.
Pengantar
3.2.1.1
Arti Inisiasi
Kata inisiasi berasal dari kata bahasa Latin inire atau
initiare yang berarti memasuki, masuk atau bergabung ke dalam suatu
kelompok atau memasukkan atau menerima seseorang ke dalam suatu kelompok.
Selanjutnya, kata benda initiation berarti dimasukkannya atau
diterimanya seseorang ke dalam suatu kelompok. Dari istilahnya sendiri, tampak
bahwa inisiasi mencakup dua gerakan, yaitu (1) seseorang yang masuk atau
bergabung ke suatu kelompok dan (2) kelompok tersebut menerima orang tersebut
ke dalamnya. Jadi, dalam proses inisiasi berlangsunglah dua gerakan, yaitu
saling masuk dan saling menerima.
3.2.1.2
Sejarah Inisiasi dalam
Gereja
Tulisan-tulisan Kitab Suci Perjanjian Baru tidak mengenal istilah
atau konsep inisiasi. Meskipun demikian, inisiasi sebagai praktek dan
gagasan sesungguhnya sudah dimiliki oleh Gereja Perdana. Artinya, Perjanjian
Baru telah mempraktekkan upacara tertentu bagi penerimaan seseorang ke dalam
Gereja, yaitu pembaptisan, penumpangan tangan dan ekaristi. Perjanjian Baru
menampilkan gambaran yang tidak seragam, misalnya :
a)
Kis. 8 : 17 dan 19 : 5 – 6
menunjuk praktek baptisan yang dihubuungkan langsung dengan penumpangan tangan
sebagai tanda permohonan pencurahan Roh Kudus.
·
Kis 8 : 17 : “Kemudian keduanya
(Petrus dan Yohanes) menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka menerima
Roh Kudus “
·
Kis 19 : 5 – 6 : “Ketika mereka
mendengar hal itu, mereka memberi diri mereka dibaptis dalam nama Tuhan Yesus.
Ketika Paulus menumpangkan tangan di atas mereka, turunlah Roh Kudus ke atas
mereka, dan mulailah mereka berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat”.
b)
Ibr 6 : 2 menampilkan suatu
urutan logis inisiasi, di mana baptisan dan penumpangan tangan disebut
berurutan. “ … yaitu ajaran tentang pelbagai pembaptisan, penumpangan tangan,
kebangkitan orang-orang mati dan hukuman kekal “.
Pada teks-teks lain, pembaptisan dan penumpangan tangan bagi
pencurahan Roh Kudus tidak dipandang sebagai dua hal. Misalnya :
a)
Kis 2 : 38 : “ Jawab Petrus
kepada mereka : ‘ Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu
dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan
menerima karunia Roh Kudus”. Di sini, karunia Roh Kudus langsung akan diberikan
apabila orang menerima pembaptisan dalam
nama Tuhan Yesus, dan tidak usah melalui penumpangan tangan seperti dalam Kis
19 : 5 - 6
b)
Kis 10 : 44 – 48 pada waktu
Petrus mempertobatkan Kornelius dan seisi rumahnya di Kaisarea. Mereka dibaptis
dalam nama Tuhan Yesus dan dengan demikian juga menerima karunia Roh Kudus.
Pada teks ini juga penumpangan tangan sebagai tanda pencurahan Roh Kudus tidak
ada.
Berdasarkan apa yang ditampilkan dalam teks-teks di atas, timbul
pertanyaan : apakah teks-teks itu tidak sama? Berdasarkan teks-teks itu dapat
disimpulkan bahwa praktek inisiasi dalam Gereja Perdana ternyata tidak sama dan
tidak seragam.
Pada abad-abad pertama, Gereja mulai sibuk dengan perjumpaannya
dengan dunia dan kultur Yunani dan Romawi. Akibat interaksi tersebut,
pelan-pelan unsur-unsur budaya dan peristilahan Yunani- Romawi masuk ke dalam
khazanah praktek inisiasi kristiani. Demikian pula dengan istilah inisiasi mulai
diterima dan digunakan dalam praktek dan teologi Gereja. Pada abad III dan IV,
unsure-unsur inisiasi mendapat bentuk baru dengan adanya tahap-tahap inisiasi.
Suatu refleksi atas hubungan intern baptisa, krisma dan ekaristi dibuat
oleh CYRILLUS dari Yerusalem. Pada abad-abad pertama itu, ketiga sakramen
inisiasi masih diberikan bersama-sama, baik kepada orang dewasa maupun
kanak-kanak. Mulai abad IV, di Barat ada tendensi bahwa praktek upacara
penumpangan tangan atau krisma dipisahkan dari pembaptisan dann hanya
diterimakan oleh Uskup. Tendensi ini dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu :
1)
Praksis baptisan bayi yang
semakin umum yang berhubungan dengan keyakinan Gereja mengenai adanya dosa
asal. Akibat makin umumnya praktek baptisan bayi itu, maka makin dirasakan pula
perlunya memisahkan baptisan dan krisma. Sebab, dengan menerimakan krisma,
uskup masih mendapatkan kesempatan berjumpa dengan umatnya yang dibaptis sejak
bayi itu. Sementara itu, penerimaan baptisan semakin menjadi tugas imam dan
diakon.
2)
Praktek baptisan untuk orang-orang
yang sakit. Mereka yang sakit saat dibaptis mesti datang ke uskup sesudah
sembuh untuk menerima penumpangan tangan dan pengurapan minyak krisma.
3)
Penerimaan orang-orang yang
bertobat dari kelompok bidaah. Karena baptisan mereka dipandang sudah sah atau
valid, maka krisma menemukan relevansinya sebagai perayaan penerimaan mereka
secara resmi ke pangkuan Gereja
4)
Mengingat warga Gereja semakin
banyak dan tersebar dalam aneka tempat dan wilayah, krisma atau penumpangan
tangan semakin menjadi previlegi uskup, agar uskup mengenal umat dan
wilayahnya. Dengan demikian, semakin umumlah kebiasaan bahwa imam bertugas
membaptis dan uskup menumpangkan tangan atau menerimakan krisma.
Memasuki abad pertengahan, praktek inisiasi antara Gereja Barat dan
Gereja Timur mengalami perbedaan. Gereja Timur terus mempertahankan praktek
kuno dalam inisiasi, yakni tetap mempertahankan kesatuan baptisan, krisma dan
ekaristi. Sedangkan Gereja Barat cenderung mengembangkan perayaan penumpangan
tangan atau krisma sebagai upacara tersendiri. Antara abad IX – XI, pemisahan
baptisan dan krisma itu mencapai puncaknya. Pada abad XII, baptisan dan krisma
sudah dipandang secara lazim sebagai dua sakramen tersendiri.
Pada umumnya, Gereja sekarang memandang baptisan, krisma dan
ekaristi sebagai yang pertama sebagaimana dikatakan dalam Kitab Hukum
Kanonik1983 (Kan. 842 § 2). Demikianlah teologi dan liturgy Gereja memandang
sakramen baptisan, krisma dan ekaristi sebagai satu kesatuan sakramen inisiasi.
3.2.1.3
Teologi Inisiasi
Sakramen-sakramen inisiasi memiliki kesatuan hubungan sebagai
sakramen-sakramen yang menandai kehidupan dan perkembangan hidup manusia sejak
lahir, tumbuh, dan berkembang karena terpenuhinya seluruh kebutuhan
manusiawinya.
Makna sakramen-sakramen inisiasi itu menunjuk pada kesatuan
perutusan trinitaris, yaitu perutusan yang berlangsung dalam diri Allah
Tritunggal. Perutusan trinitaris terdiri atas dua macam perutusan, yakni (1)
perutusan Putera oleh Bapa dalam Roh Kudus, dan (2) perutusan Roh Kudus oleh
Bapa dan Putra. Yang menyatukan kedua perutusan itu adalah Allah Bapa yang
menjadi sumber dan asal-usul serta tujuan perutusan Putra dan Roh Kudus.
3.2.1.4
Sakramen Inisiasi
Sakramen inisiasi meletakkan dasar bagi seluruh hidup kristiani.
Dengan pembabtisan, mulailah hidup baru, yaitu partisipasi manusia pada hidup
kasih-mengasihi antara Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dalam sakramen krisma,
manusia diteguhkan dan dikuatkan dalam hidup baru, hidup ilahi. Dan dalam
ekaristi, murid Kristus mengambil bagian di dalam santapan rohani sebagai bekal
menuju kehidupan abadi.
Inisiasi Kristen mengikuti suatu pola yang memiliki 3 (tiga) tahap,
yaitu :
1)
Dari “simpatisan” menjadi
“katekumen” (orang yang lagi mempersiapkan diri untuk menjadi calon babtis)
2)
Dari “katekumen” menjadi “calon
babtis”
3)
Dari “calon babtis” menjadi
“babtisan baru”.
Dengan demikian,
inisiasi Kristen mendapat susunan sebagai berikut :
a)
Masa pra-katekumenat : untuk
para simpatisan
1)
Tahap pertama : Upacara
pelantikan menjadi katekumen
b)
Masa katekumenat untuk para
katekumen
2) Tahap kedua : Upacara
pemilihan sebagai calon babtis
c)
Masa persiapan terakhir untuk
para calon babtis yang terpilih
3) Tahap ketiga : Upacara
sakramen-sakramen inisiasi
d) Masa pendalaman iman untuk
para babtisan baru.
3.2.2.
DESKRIPSI
3.2.2.1.
SAKRAMEN PEMBABTISAN
3.2.2.1.1.
Pembabtisan dalam Sejarah
a.
Pembabtisan dalam
Kitab Suci
Kata baptisan berasal dari kata bahasa Yunani baptizwin (kata
bendanya baptisma) yang berarti membenamkan, atau menenggelamkan ke
dalam air, entah seluruhnya atau sebagiannya. Kata-kata Yunani baptizein,
baptisma ini biasa digunakan dalam Perjanjian Baru.
Pembabtisan bukanlah “penemuan” Tuhan Yesus. Upacara pembabtisan
berakar dalam adapt-istiadat orang Yahudi. Agama Yahudi mengenal macam-macam
upacara permandian atau penyucian untuk membersihkan orang dari dosa atau dari
kenajisan, sehingga ia boleh mengikuti ritus-ritus agama (bdk. Im 15 : 5. 8.
10. 13. 18. 22; 16 : 4. 24, dst).
Pada zaman Yesus, di kalangan Yahudi terdapat semacam inisiasi
dengan upacara permandian sebagai pengenangan akan bangsa Yahudi yang melintasi
Laut Merah. Dalam kerangka ini, muncul gerakan Yohanes Pembabtis yang membaptis
orang sebagai tanda pertobatan (Mat 3 : 11). Gereja mengambil alih
upacara perbaptisan dari Yohanes.[3]
Pembabtisan Kristen bukan hanya tanda pertobatan (seperti pada
Yohanes Pembabtis), melainkan tobat dalam kepercayaan akan Yesus. Yang diterima
bukan hanya pengampunan dosa, melainkan juga “karunia Roh Kudus” (bdk. Rm 8 :
16). Pembabtisan bukan hanya permohonan akan belas kasihan Allah, melainkan
ungkapan iman akan Yesus Kristus, Juru Selamat manusia (bdk. Tit 1 : 4).
Yohanes Pembabtis membabtis orang dalam sungai Yordan, dan
murid-murid Yesus pun demikian. Jadi, tempat pembabtisannya adalah sungai atau
kolam. Tetapi, ketika umat Kristen mulai berkembang di kota-kota di mana secara
geografis umat kesulitan untuk mencapai sungai-sungai, maka mereka membangun
kolam-kolam dalam gereja untuk pembabtisan. Ritus pembabtisan dalam kitab suci, yaitu
menenggelamkan orang ke dalam air, tetap dilakukan. Ritus pembabtisannya adalah:
1.
Seseorang ditenggelamkan ke dalam air;
2.
Ketika orang yang bersangkutan berada di dalam
air, maka pemimpin ritus memberikan pertanyaan kepada orang itu, di mana
pertanyaannya juga masih bergema sampai sekarang yang biasa ditanyakan pada
upacara malam paskah, yaitu :
“percayakah saudara akan Allah Bapa yang
maha kuasa, pencipta langit dan bumi ? Percayakah saudara akan Yesus Kristus,
PuteraNya yang tunggal, Tuhan kita, yang dilahirkan oleh Perawan Maria; yang
menderita sengsara, wafat dan dimakamkan; yang bangkit dari antara orang mati,
dan naik ke surga duduk di sisi kanan Bapa yang mahakuasa ?
Percayakah saudara akan Roh Kudus, Gereja
Katolik yang kudus, persekutuan para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan
dan kehidupan kekal ? “
3.
Sesudah setiap pertanyaan diajukan, maka
seseorang yang berada di dalam kolam hendaknya menjawab : “Ya, saya percaya”.
4.
Sesudah pertanyaan itu dijawab, maka orang
tersebut ditenggelamkan lagi ke dalam air sebanyak tiga kali.
Karena itu, sakramen pembaptisan
dengan jelas menjadi “sakramen iman” dengan pokoknya adalah pengakuan iman
Gereja atau syahadat.
Menurut St. Paulus, mengambil bagian dalam wafat dan kebangkitan
Kristus merupakan pokok sakramen pembaptisan (bdk. Rm 6 : 4), atau dengan kata
lain “Yang dibabtis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus” (bdk. Gal 3 : 27).
Dengan pembabtisan seseorang sungguh secara total dipersatukan dengan Kristus.
Pembaptisan dalam Kitab Suci menekankan hidup yang baru, dan bukan
hanya pengampunan dosa. Unsur pembersihan diri dari noda dosa tentu tetap ada,
tetapi yang lebih penting adalah kesatuan dengan Kristus sebagai Anak Allah.
Selain itu, di dalam 1 Kor 12 : 13 dijelaskan unsure lain dari pembabtisan,
yaitu bahwa dengan pembabtisan seseorang tidak hanya menerima karunia Roh
Kudus, tetapi juga menjadi anggota tubuh Kristus, yaitu Gereja. Karena itu, di
dalam Kristus dan oleh pembabtisan, maka segala perbedaan dan pertentangan
antara suku atau kelas social akan terhapus. Pembaptisan tidak hanya melahirkan
seorang manusia baru, tetapi umat manusia yang baru.
Pembaptisan dalam Perjanjian Baru memiliki beberapa makna teologis,
seperti :
1)
Baptisan sebagai tanda iman.
Ini berarti bahwa di satu pihak baptisan itu mengadaikan iman dan di lain pihak
iman dari orang yang dibaptis itu harus dihidupi dan dikembangkan dalam seluruh
hidupnya.
2)
Baptisan sebagai penyerupaan
pada Yesus Kristus. Artinya, dengan baptisan kita menjadi serupa dengan Yesus
Kristus. Dengan baptisan, kita berpartisipasi dan mengambil bagian dalam
seluruh hidup dan nasib Yesus Kristus.
3)
Baptisan sebagai pengampunan
dosa.
4)
Baptisan mengaruniakan Roh
Kudus. Melalui baptisan, kita menerima karunia Roh Kudus.
5)
Baptisan mempersatukan kita ke
dalam satu tubuh : Gereja.
6)
Baptisan sebagai karunia hidup
baru.
b.
Pembabtisan dalam
Tradisi Gereja
Gereja sejak awal menyadari bahwa jalan
iman dan hidup sebagai murid merupakan suatu proses pertumbuhan yang
berlangsung lama dan membutuhkan bantuan structural. Artinya, baik orang sudah
dibaptis maupun yang belum dibaptis dan ingin dibaptis perlu mendapat pelajaran
dan bimbingan mengenai iman Gereja. Proses inisiasi diadakan oleh Gereja bagi
mereka yang ingin bergabung. Namun, bagaimana praktek inisiasi dijalankan dalam
Gereja perdana belumlah seragam. Yang jelas, praktek liturgy jemaat perdana
belumlah amat kompleks.
Selanjutnya, ajaran dan praktek baptisan pada zaman Bapa-Bapa
Gereja masih terus mengembangkan seluruh warisan pemahman biblis terhadap
baptisan. Santu Yustinus Martir mengungkapkan bahwa baptisan itu
mengandaikan keputusan iman. Baptisan dilaksanakan dalam tempat permandian dan
saat dibaptis diserukan nama Allah Tritunggal. Selain itu, Santu Irenius
dari Lyon yang adalah orang pertama yang menyampaikan dasar teologis baptisan
bayi, melihat perlunya pembaptisan untuk memperoleh keselamatan dalam Yesus
Kristus. Lebih lanjut Cyrillus dari Yerusalem membuat suatu katekese
mistagogis dan menjelaskan bahwa para baptisan baru memperoleh karunia Roh
Kudus, pengampunan dosa, karunia sebagai anak-anak Allah, dan dipersatukan
dengan peristiwa penderitaan Kristus. Dan Santu Ambrosius dari Milan banyak
membahas masalah kemestian baptisan untuk keselamatan dengan mengakui baptisan
darah.
Pada awal abad III, sudah mulai
terbentuk model tahapan dalam seluruh proses inisiasi Kristiani. Dalam tradition
apostolica-nya, HIPOLITUS melaporkan tahap-tahap itu, yakni :
·
Orang-orang yang menjadi Kristiani
harus menjalani masa katekumenat yang berlangsung selama 3 tahun. Selama waktu
itu, ada katekese dan pelajaran agama yang kemudian disudahi dengan suatu
upacara doa dan penumpangan tangan.
·
Beberapa minggu sebelum masa
Paskah merupakan masa persiapan intensif untuk persiapan baptisan. Pada masa
ini, para katekumen dipilih sebagai orang-orang terpilih, terpilih sebagai
orang yang dipanggil dan dipilih Tuhan untuk mempersiapkan diri masuk ke jemaat
keselamatan. Dalam masa ini ada ujian tingkah laku. Mereka juga diikutsertakan
dalam ibadat sabda dan aneka kegiatan liturgis lainnya.
·
Perayaan dan penerimaan
sakramen-sakramen inisiasi dilangsungkan bersama-sama dalam perayaan liturgy
pada malam paskah
·
Pada masa Paskah, warga Gereja
yang baru itu menjalani masa mistagogi, yakni masa untuk memperdalam,
memantapkan dan menghayati iman akan misteri Kristus, serta membiasakan diri
pada kebiasaan dan tradisi hidup Gereja. Dalam masa ini, juga masih diberi
penjelasan makna dan konsekuensi sakramen-sakramen inisiasi.
Tahapan-tahapan di atas terus berlangsung hingga abad V.
Pada abad IV – V, ada pergeseran
perhatian. Pertama, fokus perhatian teologis bergeser dari penerima
baptisan ke masalah pelayan baptisan. Problemnya muncul karena ada kelompok
bidaah, seperti DONATISME yang menolak keabsahan baptisan yang diberikan oleh
orang-orang berdosa. Gereja menanggapinya dengan menegaskan bahwa baptisan
mereka itu sah atau valid, sebab yang membaptis adalah Kristus sendiri. Kedua,
diskusi yang amat ramai ialah masalah perlunya baptisan berhubungan dengan
dosa asal. Agustinus berhadapan dengan kelompok PELAGIANISME yang menolak
adanya dosa asal. Bertolak dari baptisan bayi, Agustinus berupaya membuktikan
bahwa dosa asal itu memang ada dan keselamatan manusia melulu tergantung pada
Allah saja.
Abad Pertengahan diwarnai oleh dominasi
pandangan teologi Skolastik. Bahkan pengaruh Skolastik berkembang hingga abad
XX. Pada awal abad pertengahan muncul tokoh seperti Hrabanus Maurus (780
– 856) yang memikirkan baptisan sebagai peralihan ke suatu wilayah kerajaan
baru. Tokoh lain yang muncul pada zaman ini adalah Petrus Lombardus yang
membuat sistematisasi teologi baptisan, seperti apa artinya baptisan, manakah
bentuk-bentuknya, kapan dan untuk apa baptisan itu diadakan.
Konsili Firenze pada tahun 1439
menyampaikan ajarannya mengenai sakramen baptisan yang hingga kini tetap bergema.
Konsili menghubungkan diri dengan ajaran Thomas Aquinas. Konsili memandang
baptisan sebagai pintu gerbang kepada kehidupan rohani, sebab dengan baptisan
itu kita menjadi anggota Kristus dan ditambahkan ke tubuh Gereja.
Konsili Vatikan II memiliki pandangan yang cukup jelas mengenai
sakramen baptisan. Baptisan dan krisma dipandang sebagai bagian tak terpisahkan
dari inisiasi kristiani yang bersama dengan ekaristi menjadi sakramen-sakramen
inisiasi yang utuh.
c.
Pembabtisan
Sekarang
Pembabtisan
sekarang berlangsung sebagai berikut :
“Pemimpin upacara mengajak calon babtis
untuk mengakui imannya (dengan tiga pertanyaan tersebut di atas). Kalau
pembabtisan dilakukan dengan menenggelamkan seseorang ke dalam air, maka
hendaknya diperhatikan soal kesopanan. Kalau pembabtisan dilakukan dengan
menuangkan air, maka pemimpin upacara mengambil air dari bejana pembabtisan dan
menuangkannya tiga kali atas kepala calon, sambil mengucapkan rumus pembabtisan
‘ ……..(pemimpin menyebut nama calon babtis),
aku membabtis engkau † demi nam Bapa dan Putra dan Roh Kudus “ .
Sementara itu, calon babtis dipegang oleh
wali babtis. Lalu, pemimpin upacara mengurapi ubun-ubun setiap babtisan baru
dengan minyak krisma tanpa mengatakan apa-apa “.
Konsili Vatikan II, dalam Sacrosanctum Consillium artikel 6
berbicara tentang arti pembabtisan, bahwa melalui pembabtisan, seseorang
dimasukkan ke dalam misteri Kristus, di mana mereka mati, dikuburkan dan
dibangkitkan bersama Dia; Mereka menerima Roh pengangkatan menjadi anak Allah.
3.2.2.1.2.
Makna Sakramen
Pembabtisan
Sakramen pembabtisan merupakan suatu realitas yang berisikan :
Ø Pengampunan dosa asal serta semua dosa pribadi maupun hukuman dosa
Ø Kelahiran dalam hidup baru yang membuat manusia menjadi ciptaan baru
(bdk. 2 Kor 5 : 17), yaitu :
·
Menjadi anak angkat Allah, yang
“boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2 Ptr 1 : 4)
·
Menjadi anggota Kristus (bdk. 1
Kor 6 : 15; 12 : 27), dan ahli waris bersama dengan Dia (Rm 8 : 17)
·
Menjadi kenisah Roh Kudus
Ø Penerimaan menjadi anggota Gereja, tubuh Kristus yang mistik.
Allah Tritunggal menganugerahkan rahmat pengudusan kepada seseorang
yang dibabtis, yaitu rahmat pembenaran yang memungkinkan dia untuk :
Ø Percaya kepada Allah, berharap padaNya, dan mengasihiNya
Ø Hidup di bawah bimbingan Roh Kudus dan berbuat baik sesuai dengan
karunia Roh
Ø Berkembang dalam kebaikan berkat keutamaan moral.
St. Gregorius dari Nazians menjelaskan beberapa makna sakramen
pembabtisan, yaitu :
Ø Sakramen pembabtisan sebagai sebuah pemberian, karena
sakramen ini diterimakan kepada orang-orang yang tidak memiliki apa-apa.
Ø Sakramen pembabtisan adalah suatu rahmat, karena diberikan justru
kepada orang-orang yang bersalah, yang memiliki dosa.
Ø Aktus pembabtisan seperti pembenaman berarti dosa manusia
dikuburkan dalam air. Air membersihkan manusia dari dosa-dosa.
Ø Sakramen pembabtisan berarti penyucian.
Ø Sakramen pembabtisan adalah sebuah meterai, karena melindungi
dan menjamin umat sebagai milik Allah.
3.2.2.1.3.
Pembabtisan Kanak-Kanak
- Sejarah Baptisan Bayi
Dalam Kitab Suci, tidak ada berita tentang pembabtisan
kanak-kanak, meskipun dalam Kisah Para Rasul 16 : 33 dikisahkan tentang kepala
penjara Filipi “memberi diri dibabtis, ia dan keluarganya” (bdk. Kis 16
: 15; 18 : 8) yang bisa ditafsirkan kalau bisa terjadi di antara seluruh
anggota keluarga itu terdapat anak-anak. Dari kitab suci, hal itu tidak jelas,
dan tetap tidak jelas sampai akhir abad ke-2.
Pada tahun 250 M, actus membabtis anak sudah
menjadi kebiasaan di Afrika Utara, tetapi dalam arti pembabtisan terhadap
anak-anak itu tetap dilakukan bersama dengan pembabtisan orang dewasa.
Selanjutnya, pada zaman St. Agustinus, yaitu pada tahun 354- 430, pembabtisan
bayi sudah menjadi kebiasaan umum di wilayah itu, dan kemudian menjadi
kebiasaan umum, karena pada waktu itu
jarang ditemukan orang dewasa yang dibabtis, sebab semua keluarga sudah menjadi
Kristen. Selain itu, hal mendasar yang menyebabkan pembabtisan anak-anak
menjadi kebiasaan umum pada zaman St. Agustinus adalah ajaran mengenai dosa
asal yang mengajarkan bahwa anak-anak juga memiliki warisan dosan asal, dan
jika anak-anak tidak dibabtis, maka mereka tidak akan memperoleh keselamatan.
Pada zaman sekarang, pembabtisan kanak-kanak
adalah sebuah ritus resmi dalam gereja katolik. Alasan mendasar adalah bahwa anak-anak
dibabtis dalam iman Gereja yang diakui oleh orang tua dan wali babtis serta
semua umat yang menyaksikan. Mereka dibabtis sebagai seorang anak, dan bukan
sebagai seorang dewasa yang mandiri, dan karena itu, sakramen ini mendapat arti
sepenuhnya, kalan kanak-kanak yang dibabtis dalam iman Gereja itu kemudian
dididik pula dalam iman (Konferensi Wali Gereja Indonesia, 1996 : 425).
Pembabtisan kanak-kanak sebetulnya berarti penerimaan seluruh
anggota keluarga ke dalam lingkungan gereja. Hal ini dapat dilihat dalam
ritus penerimaan sakramen pembabtisan, di mana pada saat anak akan dibabtis,
orang tuanya akan ditanyai : “maukah saudara supaya anak ini dipersatukan
dengan Yesus Kristus dan diterima sebagai anggota umat Allah ?” pertanyaan ini
sebenarnya bukan ditujukan kepada orang tua demi anak yang akan dibabtis,
melainkan bahwa pertanyaan ini menggambarkan keterlibatan seluruh anggota
keluarga dan umat yang hadir dalam upacara tersebut. Karena itu, dalam
pembabtisan kanak-kanak, iman dan tanggung jawab orang tua tidak bisa
dilepaspisahkan dari seluruh rangkaian upacara.
Dalam upacara
pembabtisan kanak-kanak, orang tua lebih dipentingkan dari pada tugas wali
babtis. Wali babtis sebenarnya lebih berfungsi dalam kerangka pembabtisan orang
dewasa. Dalam pembabtisan orang dewasa yang biasa dibuat pada zaman dulu,
terdapat dua “pembantu” calon babtis, yaitu penjamin dan wali babtis.
Penjamin harus tahu watak dan kelakuan, iman dan niat simpatisan
atau katekumen. Ia ikut memberikan jaminan kepada Gereja bahwa simpatisan itu
pantas dilantik menjadi katekumen dan selanjutnya dipilih sebagai calon babtis.
Fungsi penjamin itu selesai sebelum upacara “pemilihan”. Sedangkan wali
babtis mendampingi katekumen pada hari pemilihan, pada waktu
perayaan sakramen-sakramen inisiasi dan pada masa mistagogi, yaitu masa
pendalaman iman, dan wali babtis berfungsi untuk menunjukkan jalan kepada
babtisan baru itu supaya menerapkan injil dalam hidupnya sendiri dan dalam
hubungannya dengan masyarakat. Ia harus memberi kesaksian dan menjaga
perkembangan hidup kristianinya. Karena itu, untuk pembabtisan kanak-kanak,
fungsi “penjami” tidak diperlukan lagi, dan fungsi “wali babtis” lebih dipegang
oleh orang tua.
b. Argumentasi yang Menolak Baptisan Bayi
Argument-argumen
dari kelompok yang menolak yang baptisan bayi adalah :
·
Iman
dipahami sebagai tindakan pengakuan dan persetujuan yang secara tegas bersifat
pribadi dan personal, bahwa iman itu urusan pribadi dan bukan orang lain.
Dengan demikian, bayi belum bisa membuat persetujuan dan pengakuan secara
pribadi dan personal
·
Iman
dipahami sebagai tanggapan dan penerimaan pribadi terhadap suatu pewartaan yang
mestinya terjadi sebelumnya. Model klasiknya ada dalam Kis 2 : 14 – 40. Di situ
iman dan baptisan baru diadakan sesudah orang mendengarkan pewartaan Injil
(oleh Petrus) lalu menanggapinya dengan iman dan menyediakan diri dibaptis.
Dalam baptisan bayi, hal ini tidak terjadi, karena bayi langsung dibaptis dan
nyatanya tidak mungkin memberikan pewartaan kepada bayi.
·
Iman
dipahami sebagai tindakan manusia yang mengandaikan kebebasan dan tanggung
jawab pribadi. Iman sebagai upaya dan usaha manusia untuk menjawab Allah.
Dengan demikian, bayi belum mampu bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi.
Bayi belum bisa menggunakan kebebasannya, sehingga apapun yang terjadi padanya
tidak bisa dipertanggungjawabkannya.
c. Argumentasi yang Setuju dengan Baptisan
Bayi
Kelompok yang
setuju dengan baptisan bayi menjawab keberatan dari orang-orang yang menolak
praktek baptisan bayi. Argument-argumennya adalah :
·
Iman
tidak bisa disempitkan hanya pada masalah pribadi, sebab menurut struktur dasar
eksistensi manusia, manusia tidak bisa melepaskan diri dari kebersamaan dan
komunitas. Semua pengetahuan, cara pikir, proses kehidupan, bahasa, pakaian,
kesehatan, dan sebagainya tidak pernah terlepas dari realitas kebenaran.
Demikian pula dengan iman, iman itu bukan hanya soal pribadi, melainkan juga
masalah kebersamaan dan komunitas.
·
Model
iman itu tidak hanya hasil pewartaan atau khotbah. Masih ada model iman yang
lain, misalnya seperti dalam Rm 6 : 1 – 14; 1 Kor 10 : 1 – 13; 1 Kor 6 : 1- 11;
1 Ptr 3 : 13- 22. Di situ iman dipandang sebagai proses yang tidak sekali jadi,
tetapi suatu proses yang terus-menerus. Iman justru diharapkan dapat tumbuh
terus sesudah orang dibaptis. Maka, dalam realitas beriman, bukan hanya iman
yang membawa orang kepada baptisan, melainkan juga baptisan dapat membawa orang
kepada iman.
·
Iman
itu merupakan karunia Allah, dan bukan sekedar usaha dan tindakan manusia.
Memang benar manusia harus bertanggung jawab dan memutuskan secara bebas.
Tetapi, iman itu sesungguhnya merupakan suatu kurnia dan bukan jasa atau
sekedar soal keputusan pribadi. Iman juga sesuatu yang harus dimohon dan
ditambahkan oleh Tuhan sendiri.
d. Jawaban Teologis dalam Gereja Katolik
Pada umumnya
teologi katolik membela dan mempertahankan baptisan bayi dengan alasan :
·
Penebusan
dan keselamatan itu merupakan karunia. Pengampunan dan penebusan benar-benar
merupakan karunia Allah yang senantiasa ditawarkan kepada siapa saja, juga
kepada mereka yang lemah dan kecil, seperti para bayi itu. Iman itu merupakan
sikap dan tanggapan manusia sebagai ungkapan keterbukaan terhadap karunia itu.
Justru ungkapan keterbukaan itu paling tampak dalam baptisan bayi. Baptisan
bayi mengungkapkan dengan baik ketergantungan manusia pada Allah.
·
Beriman
berarti bersama dengan orang lain. Iman itu terikat dan berhubungan dengan
kebersamaan dan komunitas. Iman yang diimani bukanlah iman pribadi, melainkan
iman Gereja sebagaimana diwartakan oleh Gereja.
·
Beriman
bukanlah suatu peristiwa yang sekali jadi, melainkan merupakan proses
pertumbuhan yang terus-menerus. Orang harus selalu tumbuh secara terus-menerus
dalam iman, demikian pula dalam baptisan bayi. Dengan baptisan itu, seorang
anak dipersiapkan dalam suatu proses pertumbuhan iman yang diharapkan terus
berkembang. Perkembangan iman anak akhirnya juga bergantung pada lingkungan dan
kebersamaan.
3.2.2.1.4
Pokok-Pokok
Liturgi dan Pastoral Baptisan
Pada umumnya ada 4 (empat) masa pembinaan
dan 3 (tiga) tahap upacara dalam proses inisiasi dewasa. Keempat tahap itu
adalah :
·
Masa
Prakatekumenat untuk para
simpatisan. Lamanya masa ini tidak menentu, tergantung kesiapan calon untuk
memasuki masa katekumenat. Yang terpenting, simpatisan merasa mantap menjadi
orang kristiani.
·
Masa
katekumenat untuk para
katekumen. Masa ini menjadi masa pembinaan intensif melalui pengajaran agama.
Lama masa ini tergantung juga pada kesiapan katekumen. Umumnya lama masa
katekumenat berkisar antara satu hingga beberapa tahun.
·
Masa
persiapan terakhir untuk
para calon baptis. Para calon baptis dipersiapkan secara intensif untuk
penerimaan sakramen inisiasi, misalnya dengan upacara-upacara penyucian,
rekoleksi atau ret-ret. Masa ini biasanya berlangsung selama masa prapaskah.
·
Masa
mistagogi untuk para
baptisan baru. Para baptisan baru dimantapkan kembali dalam imannya dan dibawa
masuk ke dalam lingkungan umat beriman dengan segala adat dan kebiasaannya.
Umumnya masa ini berlangsung pada masa Paskah dan diakhiri pada Hari Raya
Pentekosta.
Sedangkan ketiga tahap upacara dalam proses
inisiasi adalah :
·
Tahap
I : Upacara pelantikan menjadi katekumen. Upacara ini mengakhiri masa
prakatekumenat dan mengawali masa katekumenat
·
Tahap
II : upacara pemilihan sebagai calon baptis atau pengukuhan katekumen terpilih.
Masa ini mengakhiri masa katekumenat. Biasanya diadakan sekitar awal masa
prapaskah
·
Tahap
III : Perayaan sakramen-sakramen inisiasi. Inilah puncak seluruh proses
inisiasi. Paling ideal upacaranya dirayakan paa Malam Paskah.
3.2.2.1.5
Nama
Baptis
Pada saat baptisan, orang biasanya memiliki
nama baptis. Memang nama baptis ini sendiri tidak termasuk syarat demi sah atau
validnya baptisan. Meskipun demikian, tradisi penggunaan nama baptis bagi orang
yang dibaptis merupakan tradisi yang baik dan pantas dilanjutkan. Tradisi
penggunaan nama orang kudus bagi orang yang dibaptis sudah ada sejak abad-abad
pertama di Gereja Timur. Pada abad IV nama orang kudus biasa digunakan juga
pada kanak-kanak yang dibaptis. Baru pada abad XIII praktek ini tersebar di
Gereja Barat. Ketika menghadapi kelompok reformasi yang menentang penghormatan
kepada orang-orang kudus, Gereja Katolik semakin menekankan penghormatan orang
kudus itu. Pada umumnya, harus dikatakan bahwa penggunaan nama orang kudus
sebagai napa baptis memiliki tiga makna, yaitu :
a) Agar keutamaan, kesucian dan keteladanan
orang suci itu terpancar pada orang atau anak yang dibaptis.
b) Agar orang suci itu membantu orang yang
dibaptis melalui doa dan relasi khususnya dengan orang tersebut, sehingga orang
itu dapat hidup pantas bagi Allah.
c) Nama baptisan juga merupakan symbol hidup
baru yang diterimanya melalui baptisan.
3.2.2.2.
SAKRAMEN KRISMA
3.2.2.2.1.
Sejarah Singkat Sakramen
Krisma
Para nabi telah mewartakan bahwa atas dasar perutusan keselamatanNya,
maka Roh Allah akan tinggal di atas Mesias yang dinantikan. Roh Kudus turun ke atas Yesus ketika Ia
dibabtis oleh Yohanes. Hal ini menjadi tanda bahwa Yesuslah penyelamat yang
dinanti-nantikan. Dia-lah Mesias, Putera Allah, dan karena Yesus dikandung oleh
Roh Kudus, maka seluruh hidup dan perutusanNya berlangsung dalam persekutuan
sempurna dengan Roh Kudus yang diberikan kepadaNya “dengan tidak terbatas”.
Kepenuhan Roh juga diberikan kepada seluruh umat mesianis. Berulang
kali Yesus menjanjikan curahan Roh dan Ia memenuhi janjiNya itu untuk pertama
kalinya pada hari Paskah dan secara nyata pada hari Pentekosta yang kemudian
karena kepenuhan Roh itu, maka para rasul mulai mewartakan “perbuatan-perbuatan
besar yang dikerjakan oleh Allah”. Curahan Roh Kudus itu adalah tanda untuk
saat mesianis, dan siapa yang percaya akan dibabtis dan menerima karunia Roh
Kudus. Para rasul membabtis dan mencurahkan Roh Kudus kepada semua babtisan
baru dengan aktus peletakkan tangan. Karena itu, di dalam tradisi katolik,
peletakkan tangan yang dibuat oleh para rasul itu dipandang sebagai awal
lahirnya sakramen penguatan atau krisma (bdk. Kis 8 : 14- 17
tentang Petrus dan Yohanes yang meletakkan tangan atas orang yang baru dibabtis
oleh Filipus, atau Kis 19 : 1- 7 tentang Paulus yang meletakkan tangan atas
orang yang hanya menerima pembabtisan Yohanes, pembabtisan dengan air).
Sakramen ini biasa disebut dengan penguatan atau krisma. Penguatan
merupakan terjemahan kata Latin confirmatio yang menunjuk kepada peneguhan
pembabtisan, sedangkan krisma berasal dari kata Yunani chrisma, krima
yang berarti pengurapan atau kata kerjanya chrio, chriein yang
berarti mengurapi. Karena itu, tradisi Helenis menyebutkan sakramen itu dengan
nama Khrismasi, yaitu urapan dengan krisma, atau dengan sebutan myron,
yang juga berarti krisma.
Penguatan atau krisma resmi dipandang sebagai sakramen tersendiri
oleh Gereja pada abad XII, ketika Konsili Lyon II (1274) mengajarkan jumlah
tujuh sakramen.
3.2.2.2.2.
Penguatan dalam Kitab
Suci
Pada Gereja Perdana, sebagaimana tampak dalam tulisan-tulisan
Perjanjian Baru, dan juga pada Gereja abad-abad pertama, perayaan inisiasi
Gereja masih merupakan suatu kesatuan. Pada masa Gereja Perdana, suatu ritus
tersendiri sebagaimana yang dikenal sebagai sakramen penguatan atau krisma
seperti sekarang belum terbentuk. Karunia Roh Kudus yang menjadi saripati yang
dirayakan dalam sakramen penguatan lebih dikaitkan dan dimasukkan dalam konteks
peristiwa pembaptisan. Meskipun demikian, munculnya sakramen penguatan dalam
sejarah Gereja bukanlah karangan dan rekaan Gereja sendiri, melainkan memiliki
akar dan hubungan yang kuat dalam praksis Gereja perdana dan bahkan kehidupan
Yesus sendiri.
Terdapat dua data dari tulisan Perjanjian Baru yang pada masa
kemudian menjadi semacam dasar teologi dan liturgy penguatan atau krisma. Kedua
data itu adalah :
1)
Perjanjian Baru menghubungkan
penerimaan karunia Roh Kudus dengan pengurapan minyak. Karunia Roh yang
dihubungkan dengan tindakan penguatan ini sebenarnya sudah ada sejak Perjanjian
Lama (bdk. 1 Sam 16 : 13; Yes 61 : 1). Yesus sendiri diurapi dan
pengurapan ini menjadi tanda bahwa Roh Allah tinggal pada-Nya (bdk. Luk 4 :
18; Kis 4 : 27; 10 : 38). Jika orang Kristen diurapi, maka itu berarti ia
mengambil bagian dalam pengurapan Roh Allah pada diri Yesus Kristus. Dan dalam
rangka partisipasi pada pengurapan Roh pada Yesus inilah orang-orang kristiani
diurapi dengan Roh Kudus (bdk. 2 Kor 1 : 21- 22; 1 Yoh 2 : 20- 27).
2)
Perjanjian Baru juga mengenal
tindakan penumpangan tangan yang dihubungkan dengan pencurahan Roh Kudus
(bdk. Kis 8 : 14- 17; 19 : 1- 7). Dalam sejarah, teks ini dipandang
sebagai asal-usul skaramen penguatan. Teks ini juga memberi kesan bahwa
baptisan belum menganugerahkan Roh Kudus dan baru dengan penumpangan tangan
terjadi pencurahan Roh Kudus.
Dari dua data Perjanjian Baru ini dapat disimpulkan bahwa ritus
inisiasi pada mulanya merupakan satu kesatuan sebagaimana dipraktekkan dalam
baptisan. Dalam baptisan itu, sekaligus dirayakan pencurahan Roh Kudus sendiri.
Namun, dalam proses perkembangan yang masih dalam rangka Perjanjian Baru,
mulailah praktek penumpangan tangan menurut arti juga sebagai penyampaian
karunia Roh Kudus. Kemudian pelan-pelan sesudah Perjanjian Baru tumbuhlah aneka
tambahan ritus, seperti pengurapan minyak, penumpangan tangan, penandaan tanda
salib pada dahi, dan sebagainya.
3.2.2.2.3.
Arti Sakramen Krisma
Sakramen krisma memperkaya umat beriman dengan daya kekuatan Roh
Kudus yang istimewah. Keistimewahan itu ditunjuk dengan pengkhususan Roh
Kudus, yang pada hari Pentekosta diutus Tuhan kepada para rasul. Pembabtisan
dan Krisma mesti dibedakan, walau keduanya memiliki hubungan satu sama lain.
Pembedaan keduanya adalah berdasarkan peristiwa paskah dan pentekosta.
Pada hari Paskah, Allah membangkitkan Kristus dari antara orang mati
dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di surga (bdk. Ef 1 : 20). Kemudian,
pada hari pentekosta, Kristus mencurahkan Roh Kudus kepada para rasul (bdk.
Kis 2 : 33) dengan tujuan agar “kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, kamu
akan menjadi saksiKu di Yerusalem, di seluruh Yudea dan Samaria, dan sampai ke
ujung bumi “ (bdk. Kis 1 : 8). Karena itu, PASKAH berarti Yesus dengan
kemanusiaanNya masuk ke dalam kemuliaan ilahi, sedangkan PENTEKOSTA
berarti Roh Kudus, “yang keluar dari Bapa” (Yoh. 15 : 27), diutus ke
dalam dunia.
Konsili Vatikan II, dalam Lumen Gentium artikel 11 menjelaskan bahwa
pembabtisan adalah “pintu” untuk “masuk menjadi anggota umat Allah”, dan
Krisma mewajibkan orang “menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi
Kristus yang sejati”. Dengan demikian, sakramen pembabtisan mengarah ke
dalam, dan sakramen krisma mengarah ke luar. Inisiasi merupakan
proses “masuk kemudian diutus”.
Pada zaman Tertullianus (160- 220) berkembang terus arti Pentekosta
sebagai saat Gereja mendapat perutusannya dari Tuhan yang mulia, dan sakramen
pembabtisan serta krisma baru mulai dikenal sejak abad ketiga, namun kesadaran
akan perbedaan antara Paska dan Pentekosta sudah ada dalam Kitab Suci (bdk.
Yoh 7 : 39 “ Roh belum datang karena Yesus belum dimuliakan”). Sementara
itu, proses menghubungkan dua tahap dalam proses kelahiran Gereja (Paskah dan
Pentekosta) dengan proses inisiasi, baru terjadi dalam perkembangan tradisi
Gereja.
Nama “sakramen penguatan” tidak berhubungan dengan upacara
liturgisnya, tetapi menunjuk kepada isi dan artinya, yaitu dikuatkan untuk
tampil sebagai saksi Kristus, baik dengan perkataan maupun (terutama)
dengan corak kehidupan. Sakramen Krisma menjadi tanda kematangan seseorang
kristiani dan memberikan kekuatan kepadanya untuk memenuhi tanggung jawabnya
sebagai pewarta injil dalam kehidupan nyata.
3.2.2.2.4.
Perayaan Sakramen Krisma
Kitab Suci tidak menyebutkan secara eksplisit saat diadakannya
perayaan penerimaan sakramen Krisma. Tetapi, kiranya menjadi jelas bahwa Kitab
Suci telah mengungkapkan peranan Yesus yang mengadakan sakramen ini dengan
janjiNya untuk mengutus Roh Kudus yang kemudian Roh itu turun atas para rasul
pada hari Pentekosta, dan selanjutnya para rasul sungguh melayani sakramen ini
segera sesudah peristiwa pentekosta itu. Karena itu, secara implicit dapat
dijelaskan bahwa perayaan penerimaan Sakramen Krisma diadakan setelah hari raya
Pentekosta.
Tradisi Gereja Timur mengadakan perayaan penerimaan sakramen krisma
yang disatukan dengan perayaan penerimaan sakramen babtis, sedangkan dalam
tradisi Gereja Barat atau Latin (Roma), terdapat dua ritus tersendiri untuk
babtis dan krisma. Meskipun demikian, untuk mengungkapkan hubungan erat antara
Babtis dan Krisma yang pada dasarnya merupakan kesatuan, maka perayaan Sakramen
Krisma dimulai dengan pembaharuan janji babtis dan dengan pengakuan iman
dari para calon krisma.
Ritus selanjutnya adalah Uskup membentangkan tangannya ke
atas calon krisma yang merupakan tanda pemberian Roh Kudus. Dengan tangan
terentang, Uskup memohonkan dicurahkannya Roh. Sesudah itu, menyusul unsure
hakiki sakramen krisma, yaitu pengurapan dahi dengan minyak krisma[4]
yang terjadi dengan penumpangan tangan disertai kata-kata : “Terimalah Meterai
Roh Kudus, karunia Allah”.
Sakramen Krisma memberikan cap rohani yang tak terhapuskan dalam
jiwa orang kristiani, sehingga sakramen ini hanya dapat diterima satu kali
saja. Meterai berarti :
ü Lambang diri pribadi (Kej 38 : 18; Kid 8 : 6)
ü Tanda kuasa (Kej 41: 42)
ü Dan tanda hak milik atas sesuatu (Ul 32: 34)
Meterai Roh
Kudus itu menunjukkan bahwa orang kristiani itu seluruhnya adalah milik Kristus
dan untuk selamanya mengabdi kepadaNya, dan juga mengacu kepada perlindungan
ilahi dalam pencobaan mendatang yang besar dan eskatologis (Why 7:2- 3; 9: 4;
Yeh 9: 4- 6).
3.2.2.2.5.
Tanda Sakramen Krisma
Tradisi Latin menunjukkan bahwa tanda sakramen krisma adalah penumpangan
tangan dan pengurapan dengan minyak krisma. Penumpangan tangan
berarti pemberian kedewasaan yang penuh dan sempurna, suatu pemberian kekuatan
yang khusus, sedangkan pengurapan[5] dengan
minyak krisma berarti pemberian tanda meterai Roh Kudus. Meterai Roh Kudus ini
berarti bahwa seseorang sepenuhnya menjadi milik Kristus, ditempatkan dalam
pelayananNya untuk selamanya dan menerima karunia-karunia Roh, yaitu hikmat
kebijaksanaan, pengertian, penghiburan, keberanian, pengenalan akan Allah,
kesalehan dan takut akan Allah (Allah sebagai misterium tremendum et
fascinas : Allah itu menakutkan sekaligus mempesona).
3.2.2.2.6.
Makna Sakramen Krisma
Sakramen Penguatan menyebabkan curahan Roh Kudus dalam kelimpahan,
sebagaimana yang dialami para Rasul pada hari Pentekosta. Karena itu, sakramen
penguatan menghasilkan pertumbuhan dan pendalaman rahmat pembabtisan.
Sakramen krisma memiliki makna, antara lain :
- Menjadikan seseorang sebagai sungguh-sungguh anak Allah dan berkata “Abba, Ya Bapa”
- Menyatukan seseorang dengan Kristus
- Menambah karunia Roh Kudus di dalam diri
- Mengikat seseorang lebih sempurna kepada Gereja
- Menganugerahkan kekuatan khusus, sehingga seseorang dapat menjadi saksi-saksi Kristus yang sejati dalam menyebarluaskan dan membela iman dengan perkataan dan perbuatan
- Mengakui nama Kristus dengan lebih berani
- Membuat seseorang tidak akan malu karena “salib”.
3.2.2.2.7
Tiga Dimensi Sakramen
Penguatan
Terdapat tiga dimensi sakramen penguatan, yaitu (1) dimensi
antropologis : sesuai dengan kebutuhan dasar manusia, (2) dimensi sacramental-
eklesiologis : partisipasi dalam tugas gereja, dan (3) dimensi kristologis :
saksi Kristus.
1.
Dimensi Antropologis :
sesuai dengan Kebutuhan Dasar Manusia
Materi sakramen penguatan adalah minyak. Ternyata minyak itu
merupakan simbolisasi yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Minyak
digunakan untuk macam-macam keperluan. Minyak digunakan untuk kesehatan atau
kesembuhan. Minyak juga digunakan untuk kekuatan dan kelenturan tubuh. Selain
itu, simbolisasi penumpangan tangan juga biasa dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Kalau seseorang menepuk bahu orang lain, itu berarti bahwa ia
menyapa atau memberi dorongan. Penumpangan tangan itu bemakna sebagai pemberian
restu, pengalihan dan penerimaan tugas dan tanggung jawab tertentu.
2.
Dimensi Sakramental-
Eklesiologis : Partisipasi dalam Tugas Gereja
Penguatan atau krisma bukan hanya memberikan kekuatan dalam melawan
kuasa kejahatan, melainkan juga melantik dan memampukan seseorang untuk memikul
tugas dan tanggung jawab Gereja. Dengan penguatan atau krisma, orang yang telah
memperoleh penyelamatan melalui baptisan diutus untuk mewartakan apa yang
dialami itu bagi dunia. (Kis 2)
3.
Dimensi Kristologis :
Saksi Kristus
Kalau sakramen penguatan atau krisma disebut sakramen Roh Kudus, ini
tidak berarti bahwa dalam baptisan Roh Kudus itu belum dicurahkan. Gereja
selalu memahami bahwa dalam baptisan Roh Kudus sudah dicurahkan (Kis 2 :
38). Jika demikian, apa bedanya dengan Roh Kudus yang dianugerahkan pada
sakramen krisma ? Perbedaannya sebenarnya bukan terletak pada Roh Kudusnya. Roh
Kudus yang sama hadir dalam kedua sakramen, bahkan juga pada semua sakramen.
Yang berbeda hanya pada fungsi atau peranan Roh Kudus dalam masing-masing
sakramen. Roh Kudus dalam baptisan lebih berfungsi menguduskan seseorang,
mengampuni dosa orang, membuat orang tersebut menjadi anak Allah dan
mempersekutukan dia dengan Allah melalui Kristus dan dengan semua warga Gereja.
Sedangkan Roh Kudus dalam krisma lebih pada memampukan seseorang untuk menjadi
saksi Kristus serta secara penuh berpartisipasi dalam satu-satunya imamat
perjanjian baru, yakni imamat Kristus.
3.2.2.3.
SAKRAMEN EKARISTI
3.2.2.3.1.
Dasar Biblis dari
Perayaan Ekaristi
1.
Paulus
Dokumen Paulus memberitakan Yesus yang memberkati roti sebelum makan
lalu membagikannya kepada para rasul dan sesudahnya Yesus pun memberkati piala.
Teks paling tua nampaknya dari Paulus. Surat Paulus kepada jemaat di Korintus
ditulis sekitar tahun 55, namun sejak tahun 50 ia mewartakan injil secara
lisan.
Dalam 1 Korintus 11: 20, keterpecahan umat menjadi alasan bagi
Paulus untuk berbicara tentang Ekaristi. Bagi Paulus, umat Kristen hidup karena
korban hidup Yesus. Hakekat umat Kristen adalah melaksanakan sikap Yesus itu
yang sudah mengorbankan diri. Paulus menekankan bahwa barangsiapa tidak hidup
dalam sikap Kristus Yesus, tidak mengakui tubuh Tuhan dalam Ekaristi, maka bagi
orang itu, Ekaristi menjadi tanda ketidakselamatan dan bukannya sarana
keselamatan (bdk. 1 Kor 11: 29- 30).
Menurut Paulus, tubuh Kristus dalam Ekaristi harus diterima seturut
sikap Yesus ketika Ia memberikan tubuhNya itu, yaitu sikap pengorbanan demi
kepentingan sesama. Sebab itu, tubuh Yesus dalam Ekaristi membangun tubuh
Kristus yang lain, yaitu Gereja sendiri (bdk. 1 Kor 10: 16- 17) dan
mempersatukan banyak anggota menjadi satu kesatuan baru.
Paulus melihat Ekaristi dipakai untuk mengatasi persoalan umat di
Korintus. Bagi Paulus, penyembahan berhala tidak perlu (bdk. 1 Kor 10: 14-
22), karena cawan pengucapan syukur yang atasnya kita ucapkan syukur adalah
tanda persatuan kita dengan darah Kristus, dan roti yang dipecah-pecahkan
adalah tanda persekutuan umat dengan tubuh Kristus.
2.
Lukas
Lukas berpendapat bahwa tindakan Yesus yang memberikan diri
sangatlah diutamakan, dan bukannya roti dan anggur, bukan pula kenyataan bahwa
para murid mengambil dan makan. Hal ini sangat jelas dalam
seluruh warta Lukas, di mana ajakan ambil makan tidak ada dalam teks
Lukas. Sebab itu, ajakan untuk
mengulangi perjamuan terakhir demi kenangan akan Yesus merupakan suatu ajakan
untuk meneladani sikap Yesus, yaitu menyerahkan diri demi keselamatan
manusia yang dibuat Yesus secara simbolik dalam bentuk roti dan anggur pada
perjamuan terakhir, dan secara konkret-riil pada kayu salib ketika ia menderita
kematian sebagai korban silih dosa manusia.
Luk 22: 24- 28 menegaskan bahwa para pemimpin umat Kristen tidak
boleh memerintah sama seperti para pembesar duniawi, melainkan bahwa mereka
harus menjalankan tugas dalam semangat pelayanan sama seperti Yesus sendiri.
Selain itu, dalam Luk 22: 21- 23, dinyatakan tentang seorang murid yang akan
menyerahkan Yesus. Teks ini mau menyatakan bahwa pengambilan bagian di dalam
Ekaristi belum dengan sendirinya menjamin keselamatan.
Kitab suci menempatkan Ekaristi pada tempat sentral di dalam hidup
Gereja. Ekaristi harus dirayakan dalam semangat Yesus sebagaimana jelas dalam
perjamuan terakhir. Ekaristi merupakan sarana penyelamatan yang memberikan
pengampunan dosa dan jaminan akan pengambilan bagian dalam kerajaan Allah.
3.
Yohanes
Dalam injil Yohanes, tidak ada pemberitaan tentang roti dan anggur
sebagai tubuh dan darah Kristus atau tentang perjamuan perpisahan Yesus dengan
para muridNya. Namun, di pihak lain, dalam Yohanes 6 terdapat pemberitaan
tentang “roti dari surga”. Roti itu diberikan Bapa lewat PutraNya : “Mereka
diberiNya makan roti dari surga” (bdk. Yoh 6 : 31). Pemberitaan Yohanes
itu dibagi atas dua, yaitu :
a)
Pemberitaan dalam
Yohanes 6 : 32- 51b
Focus
pemberitaan dalam teks ini adalah tema tentang “roti surgawi”. Roti surgawi
adalah roti yang dapat memberikan hidup abadi, dan Yesus dalam eksistensi-Nya
yang konkret badaniah adalah roti yang benar-benar turun dari surga, dan
manusia dituntut untuk menerima Dia dalam iman sebagai roti yang menghidupkan.
Lebih lanjut, Yoh 6 : 51c menutup pewahyuan diri Yesus sebagai roti surgawi dan
membuka penjelasan tentang ekaristi, di mana dikatakan bahwa Yesus akan
memberikan satu roti, yakni dagingnya untuk hidup dunia.
b)
Pemberitaan dalam
Yohanes 6: 51c- 63
Focus dari teks
ini adalah tentang Roti surgawi yang dilaksanakan secara sacramental dalam
Ekaristi. Jika ketiga injil sinoptik menggunakan kata soma (tubuh), maka
Yohanes menggunakan kata Sarx (daging), yang berarti seluruh pribadi
Yesus. Sarx menekankan aspek badaniah Yesus, yaitu Yesus dalam
eksistensi konkret yang lahir sebagai seorang manusia dan wafat di kayu salib.
Bagi Yohanes, Dia itulah sebagai “roti surgawi”.
Menurut 1 Yohanes 5 : 8, ada tiga hal penting yang berperan dan yang
memberi kesaksian di bumi, yaitu air, darah, dan Roh. Ketiganya
diperlukan demi keselamatan umat manusia. Sementara itu, di dalam Yohanes 19
dinyatakan “air dan darah mengalir dari lambung Kristus yang terluka di salib”.
Hal ini menunjukkan atau melambangkan hidup Gereja yang diperoleh lewat
permandian (air), disejahterakan oleh ekaristi (darah) dan memiliki kekuatan
manusia baru yang diberikan oleh Allah (Roh).
J. A. Grassi membuat struktur kitab
untuk injil Yohanes, yaitu :
- 2 : 1- 22 tentang Pesta Nikah di Kana
- 4: 46- 54 tentang Pembangkitan anak pegawai istana yang hampir mati
- 5: 1- 16 tentang penyembuhan pada hari Sabbath di Betesda
- 6: 1- 71 tentang perbanyakan roti dan wejangan roti kehidupan
c. 9 : 1- 41 tentang seorang
buta yang disembuhkan pada hari Sabbath
b. 11: 1- 41 tentang
pembangkitan Lazarus
a. 19 : 25- 38 tentang “Saat” Yesus, mengalirnya darah dan air dari
lambungNya
J. A Grassi berpendapat bahwa
mukjizat dan wejangan tentang roti itu berada pada tempat sentral, di antara
tanda-tanda lain yang mewahyukan Yesus sebagai utusan Bapa. Dengan ini Grassi
menunjukkan tempat sentral dari Ekaristi dalam iman dan hidup Gereja (Wilmington,
1988 : 254).
Yohanes memiliki teologi Ekaristi
yang sangat dalam, namun ia tidak merekam penetapan Ekaristi pada malam
perjamuan terakhir sebagaimana yang dikisahkan oleh ketiga penginjil sinoptik.
Bagi Yohanes, ekaristi itu mengalir dari kata dan perbuatan Yesus selama masa
perutusanNya.
4. Markus
Markus
memiliki pendapat yang berbeda dengan Paulus. Menurut Markus, situasi Ekaristi
adalah kesalahan dan pengkhianatan. Ekaristi berarti rekonsiliasi, dan
hal ini nampak pada waktu Yesus mengorbankan diriNya sendiri kepada murid-muridNya
ketika perjamuan malam terakhir. Yesus mengetahui pengkhianatan yang akan
dilakukan oleh Yudas, namun Ia tidak menarik diriNya dari mereka, bahkan Yesus
menjanjikan suatu reuni, persatuan kembali. Dengan ini Markus menekankan tema
perdamaian setelah pertikaian atau perpecahan itu terjadi. Bagi Markus,
ekaristi berarti keterbukaan untuk sharing sebagai sarana yang mempersatukan
orang-orang yang bertobat dari berbagai bangsa dan agama yang berbeda.
5. Mateus
Mateus
berpendapat bahwa ekaristi berarti penyembuhan dan pengampunan. Mateus
menampilkan cerita perjamuan malam terakhir yang dimulai dengan cerita
persiapan yang menggambarkan ketaatan dari orang Kristen sebagai murid. Yesus
memberi perintah dan para murid melaksanakan perintah itu dengan penuh
ketaatan. Murid-murid yang beriman menampakkan pengertian mereka terhadap
identitas Yesus dengan memanggil Dia sebagai “Tuhan”, lebih daripada “Rabbi”
atau Guru. Actus para murid yang memakan dan minum dari roti dan anggur
dimengerti secara sacramental, yaitu sebagai jawaban para murid atas perintah
Tuhan, di mana Yesus berkata : “Minumlah Piala…”. Kata-kata Yesus ini memiliki
makna simbolik, yaitu sebagai perintah dan penetapan untuk mentaati Yesus dan
mengambil bagian dalam hidup dan perutusanNya yang menyelamatkan.
Yesus menjadi manusia sebagai bukti keinginan Allah untuk hidup dan
tinggal di tengah umatNya, dan akan tinggal bersama GerejaNya sampai akhir
zaman. Dia hadir secara istimewah dalam ekaristi. Yesus berkata : “minum piala
ini bersama Aku, dan Aku akan meminumnya bersama dengan kamu mulai sekarang
dalam Kerajaan BapakKu” (bdk. Mat 14 : 13- 21; 15: 21- 28; 26 : 17- 29).
3.2.2.3.2.
Sejarah Sakramen
Ekaristi
3.2.2.3.2.1.
Ekaristi pada Zaman Para
Rasul
Pentekosta adalah moment transformasi hidup. Para rasul mulai
memperlihatkan diri di depan public. Mereka tampil sebagai pengkhotbah ulung di
hadapan massa dan memproklamasikan Yesus Kristus sebagai satu-satunya
penyelamat. Para rasul taat pada instruksi Tuhan, yaitu “Lakukanlah ini sebagai
kenangan akan Daku”. Tetapi, bagaimana persisnya melaksanakan mandat Tuhan ini
dalam praktek sepenuhnya tergantung kepada mereka, dan kenangan bersama Yesus
kemudian menjadi semacam satu forma ritus.
Pengalaman para rasul sebagai pemimpin keluarga mendorong mereka
untuk tampil memimpin perjamuan paskah dan perjamuan malam pada hari Sabbath.
Kemudian, pada tahun-tahun sesudahnya, pengalaman para rasul itu menjadi sumber
liturgy yang mengalami penambahan dan perkembangan dalam perjalanan abad
sejarah. Para rasul memulai ekaristi sambil mempertahankan hubungannya dengan
liturgi orang Yahudi di Kenisah.
Kisah Para Rasul 2 : 46 menunjukkan dua bentuk liturgi yang dibuat
oleh jemaat perdana, yaitu (1) liturgi di kenisah secara bersama-sama, dan (2)
liturgi di rumah di mana mereka memecahkan roti dan dibagikan kepada seluruh
anggota keluarga. Hanya seorang Yahudi sejati yang boleh berpartisipasi dalam
liturgy orang Yahudi, sedangkan seorang bukan Yahudi tidak diperbolehkan untuk
berpartisipasi dalam liturgy.
Litrugi pemecahan roti di rumah dianggap sebagai “kurban”, di mana
merekan mengenangkan kembali Anak Domba Allah yang telah mengurbankan diriNya
sendiri untuk kemuliaan Bapa dan keselamatan manusia. Liturgy kurban di rumah
dianggap sebagai ikut berpartisipasi dalam kurban Yesus di salib.
Paulus dan Lukas memberi kesaksian bahwa perayaan liturgy orang Kristen
perdana terjadi pada hari pertama dalam minggu, yaitu pada hari Minggu (bdk.
1 Kor 16 : 12; Kis 20 : 17), sedangkan perayaan liturgy orang Yahudi
terjadi pada hari Sabbath, yaitu hari Sabtu.
Ritus “pemecahan roti” telah dibuat orang Kristen sejak awalnya
dengan mengulangi kata-kata dan tindakan Yesus ketika Ia mengubah roti dan
anggur menjadi tubuh dan darahNya. Paulus berpendapat bahwa kebiasaan itu sudah
hidup dalam tradisi Kristen sejak tahun 56.
3.2.2.3.2.2.
Ekaristi dalam Zaman
Bapa-Bapa Gereja
I.
Dokumen Didache
Pada masa penganiayaan terdapat satu dokumen penting yang disebut Didache.
Didache berarti doktrin atau instruksi. Dokumen ini ditemukan di Anthiokia
pada tahun 1873. Banyak ahli berpendapat bahwa dokumen itu ditulis antara tahun
100-180 dan mengacu kepada litrugi jemaat perdana, karena pada beberapa bagian
dalam dokumen itu disebutkan kata “ekaristi” dan “ucapan syukur”, sehingga
orang menganggap didache sebagai bukti bagaimana orang Kristen perdana
merayakan misa.
Penyelidikan terakhir berpendapat bahwa didache merupakan
semacam satu doa yang diinspirasi oleh doa Yahudi yang sering diucapkan pada
perjamuan agape Kristen sebagai persiapan ekaristi. Agape dan doa berkat ini
hanya untuk orang Kristen yang sudah dibabtis. Dengan demikian, DIDACHE
dipahami sebagai satu doa persiapan, sebelum orang merayakan apa yang sekarang
dikenal sebagai “misa di rumah”.
Liturgy orang Yahudi biasa dimulai dengan “berkat atas piala”.
Didache memberikan satu contoh doa atas piala pertama, yaitu :
“Kami bersyukur
kepadaMu, Bapa kami, atas anggur kudus dari David hambaMu, yang Engkau
perkenalkan kepada kami lewat Yesus hambaMu, kepadaMu kemuliaan sepanjang
segala masa”.
Doa pada awal
perjamuan ini diakhiri dengan :
“ Seperti roti yang dipecah-pecahkan ini
tersebar di sekeliling bukit, dan dikumpulkan menjadi satu, maka biarkanlah
GerejaMu dikumpulkan bersama dari segala ujung bumi ke dalam kerajaanMu; sebab
Engkaulah yang mulia dan berkuasa lewat Yesus Kristus sepanjang masa”.
Setelah doa awal
perjamuan ini, upacara selanjutnya adalah “perjamuan agape” dan sesudah
“perjamuan agape” ini terdapat doa “pengucapan terima kasih”, yaitu:
“kami mengucapkan terima kasih kepadaMu,
Bapa yang kudus, sebab Engkau telah menjadi tabernakel di dalam hati kami, dan
karena pengetahuan dan iman yang tak dapat mati yang Engkau perkenalkan kepada
kami lewat Yesus hambaMu; kepadaMu kemuliaan sepanjang segala masa”.
2. St. Klemens dari Roma
Klemens
adalah paus Roma. Ia menetapkan syarat dasar untuk merayakan litrugi secara
layak, yaitu dalam satu persatuan dengan uskup dan imam-imamnya. Para uskup dan
para imam berperan sebagai pemimpin upacara (liturgy ekaristi). Ekaristi
hendaknya dirayakan dalam satu persatuan mesra antara umat dan pemimpin, yaitu
imam tertahbis yang sah.
3. St. Ignatius Martir
Ignatius
adalah uskup Anthioki yang kemudian menjadi martir pada tahun 107. Dalam surat-suratnya, Ignatius menegaskan
kembali pokok-pokok yang sudah ditegaskan oleh Paus Klemens, yaitu perlunya
kesatuan antara umat dengan Uskup dan para imam. Kepada umat di Efesus,
misalnya, Ignatius menulis :
“Hendaknya diperhatikan untuk sering datang
dan mengucapkan syukur kepada Allah, dan memberikan kemuliaan kepadanya (bab
13)”.
Selain itu,
kepada umat di Magnesia, Ignatius menulis :
“Saya mengajak saudara untuk melakukan
segalanya dengan satu keharmonisan ilahi, yakni ketika Uskup saudara memimpin
di tempat Allah, dan imam-imam saudara di tempat yang diperuntukkan kepada
sidang para rasul……. Hendaknya kamu semua berkumpul bersama seperti dalam satu
kenisah Allah, dalam satu altar, dalam satu Yesus Kristus….. (bab 6 dan 7)”.
Kepada umat di
Smyrna, Ignatius menulis :
“ Hendaknya jangan ada orang yang melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan Gereja tanpa Uskup. Hendaknya diyakini bahwa
sebuah ekaristi yang benar adalah yang dirayakan secara baik oleh Uskup, maupun
oleh orang yang telah dipercayakan untuk merayakannya (bab 8)”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sama
seperti Klemens, Ignatius Martir juga menekankan soal legitimasinya sebuah
perayaan jika perayaan itu dipimpin oleh Uskup atau imam yang sah.
4.
St. Yustinus Martir
Pada tahun 150, terdapat satu sumber histories, yaitu satu dokumen
yang ditulis oleh Yustinus Martir yang ditujukan kepada Kaiser Kafir di
Apologia, yaitu Kaiser Antonius Pius (138- 161). Dokumen itu menjelaskan kepada
Kaiser tentang apa yang dilakukan oleh umat Kristen. Isi dokumen itu adalah :
“ Pada hari yang dinamakan hari matahari,
semua orang yang tinggal di kota-kota atau daerah sekitarnya berkumpul di satu
tempat yang sama. Tulisan-tulisan para rasul dan kitab-kitab nabi dibacakan,
sejauh waktu memungkinkannya. Setelah pembaca selesai membacakannya, pemimpin
memberi satu wejangan di mana ia menasehati dan mendorong semua orang yang
hadir untuk mengikuti ajaran dan contoh yang baik dari bacaan-bacaan itu.
Sesudah itu, kami semua berdiri
bersama-sama dan melambungkan doa ke surga untuk kami sendiri…dan untuk semua
orang lain di seluruh dunia, supaya kami menjadi layak…juga dalam pekerjaan
kami sebagai….manusia yang baik dan supaya menjadi layak sebagai pelaksana
perintah-perintah, supaya dengan demikian kami mendapat keselamatan abadi..
Sesudah kami menyelesaikan doa-doa, kami
saling memberikan salam dengan ciuman…lalu, kepada pemimpin dibawakanlah roti
dan satu cawan dengan campuran air dan anggur. Ia mengambilnya, melambungkan
pujian dan syukur kepada Bapa semesta alam atas nama Putera dan Roh Kudus dan
menyampaikan ucapan terima kasih (Yunani : “eukharistia”), karena kami
dianggap layak menerima anugerah-anugerah ini dariNya.
Sesudah doa dan ucapan terima kasih itu
selesai, seluruh umat yang hadir lalu mengatakan : Amin.
Setelah pemimpin menyelesaikan ucapan
terima kasih dan seluruh umat menerimanya dengan suara bulat, maka para diakon
(sebagaimana mereka disebut oleh kami) membagi-bagikan roti yang telah
diberkati dengan penuh syukur kepada setiap orang yang hadir dan anggur yang telah dicampur air untuk
dinikmati dan membawakannya juga untuk mereka yang tidak hadir”.
Berdasarkan teks tersebut, maka sangat jelas nampak adanya tata
perayaan ekaristi, yaitu :
Ø Komunitas bersatu dan perayaan dilakukan
Ø Sabda Tuhan disatukan dalam perayaan ekaristi
Ø Refleksi lebih jauh tentang sabda dalam homili
Ø Dilaksankan doa universal dan salam damai
Ø Doa ekaristi
Ø Komuni atas tubuh dan darah Tuhan, di mana seluruh komunitas
disatukan termasuk mereka yang sakit.
3.2.2.3.2.3.
Ekaristi pada Abad
Pertengahan
Pada abad pertengahan, pandangan Neo-Platonisme sangat
berkembang, di mana aliran ini memiliki cirri-ciri pemikiran, antara lain :
- Seluruh dunia dipandang sebagai gambaran atau lambang. Realitas sesungguhnya adalah idea yang tidak kelihatan, sedangkan realitas yang dapat dilihat hanya merupakan gambaran atau bayangan dari realitas yang tak kelihatan itu.
- Dunia itu bertingkat atau berlapis. Pada puncak dunia terdapat roh murni dan absolute, yaitu idea kebaikan yang absolute yang merupakan asal dunia. Dunia merupakan suatu lambang yang menggambarkan realitas yang lebih luhur dan sungguh mengungkapkan diri secara nyata dalam realitas yang lebih rendah.
Pandangan neo-platonisme
ini kemudian dipakai untuk menjelaskan ekaristi. Pandangan ini memiliki
hubungannya dengan Ekaristi. Tuhan yang dimuliakan merupakan realitas murni
yang tak kelihatan. Ia mengungkapkan diri di dalam perayaan ekaristi yang
kelihatan bagi manusia, sehingga manusia bisa memandang dan mendekati Dia.
Kristus adalah tuan perjamuan dan
melalui daya Roh-Nya Ia menjadikan seluruh perayaan umat itu sebagai suatu
pengungkapkan diriNya, suatu gambar diriNya, di dalamnya daya keselamatanNya
hadir. Pemimpin upacara yang diangkat melalui penumpangan tangan merupakan
suatu “gambar” Kristus di dalam umat. Apa yang dilakukan Kristus demi keselamatan
manusia menjadi nyata dan terungkap di dalam perayaan ekaristi. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa roti dan anggur merupakan gambar dari tubuh dan darah
Kristus. Realitas tubuh dan darah Kristus terjangkau bagi manusia di dalam roti
dan anggur itu.
Pada abad pertengahan ini, ada
beberapa tokoh penting yang menjelaskan tentang ekaristi, yaitu :
a)
Siprianus dari Cartago. Ekaristi dipandang sebagai peneguhan bagi suatu hidup kristiani yang
konsekuen, dan peneguhan bagi kemartiran. Ia memberikan penekanan tentang
persiapan etis setiap orang Kristen untuk menerima sakramen ekaristi itu.
Menurutnya, sakramen yang diterima dengan baik berdasarkan suatu keputusan
batin yang serius dan dilaksanakan dalam hidup akan mempersatukan orang dengan
Gereja, dan melalui Gereja seseorang dapat menuju kepada Kristus. Ekaristi
adalah saat di mana Kristus mempersembahkan tubuh dan darahNya. Ekaristi adalah
suatu kurban baru, di mana Kristus secara baru mempersembahkan tubuh dan
darahNya.
b)
Ambrosius. Ekaristi dianggap sebagai “saat pengalihan”, di mana pada waktu
perayaan ekaristi, hakekat (natura) dari roti dan anggur diubah menjadi
tubuh dan darah Kristus. Alasannya adalah bahwa Allah yang mahakuasa yang
sanggup menciptakan segalanya dari ketiadaan, juga sanggup untuk mengubah
hakekat sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dengan demikian, di dalam perayaan
ekaristi, Allah mengubah hakekat roti dan anggur menjadi tubuh dan darah
Kristus.
c)
Agustinus. Ia hidup di dalam alam pikiran neo-platonisme dan ia memakai
gagasan “realitas gambaran” untuk menjelaskan hakekat ekaristi. Menurutnya,
ekaristi adalah “gambaran dari Kristus yang paripurna”. Ekaristi adalah
pelaksanaan eklesial
d)
Thomas Aquinas. Ia menegaskan bahwa di dalam sakramen ekaristi tubuh dan darah
Kristus hadir secara benar atau riil, dan bukan hanya sebagai satu gambar atau
tanda. Thomas Aquinas menjelaskan beberapa hal, yaitu :
·
Sakramen ekaristi memiliki materi
dan forma. Materi dari sakramen ekaristi adalah roti dan anggur,
sedangkan forma-nya adalah kata-kata Yesus yang diucakan oleh seorang imam,
yaitu : “Inilah Tubuh-Ku” dan “Inilah Darah-Ku”.
·
Dalam konsekrasi, substansi
dari roti dan anggur diubah menjadi substansi tubuh dan darah Kristus
·
Setiap orang yang menyambut
tubuh Kristus, entah itu orang baik atau orang jahat, sungguh menerima tubuh
Kristus, tetapi yang jahat menerimanya bukan demi keselamatan, melainkan demi
penghakiman.
3.2.2.3.2.4.
Ekaristi pada Zaman
Reformasi (abad XVI)
Tokoh terkemuka pada zaman reformasi adalah MARTIN LUTHER KING.
Luther berpendapat bahwa misa merupakan suatu karya amal dan suatu kurban. Ia
memberikan penilaian terhadap cara dan praktek misa pada waktu itu. Luther
berpendapat bahwa misa cumalah tahyul, sebab pada masa itu imam-imam
memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan misa sebagai kesempatan untuk
memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Ia juga berpendapat bahwa misa hanya
dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk berpropaganda. Hal ini sangat nampak
ketika imam-imam berkotbah seperti : “dengan misa, orang tidak akan menjadi
tua”, atau “dengan misa orang tidak akan pernah mengalami sakit”, atau dengan
misa, maka anggota keluarga yang ada di api penyucian akan dibebaskan”.
Luther hidup di zaman kebiasaan gereja waktu itu yang memandang misa
sebagai kurban. Misa dijadikan kesempatan bagi umat untuk memperoleh pahala di
depan Tuhan. Luther berpendapat bahwa hal itu melawan prinsip utama agama
Kristen yang mengajarkan bahwa umat diselamatkan oleh karena iman, dan bukan
karena perbuatan. Pendapatnya ini terangkum dalam prinsipnya yang terkenal,
yaitu “Sola Fides” (hanya Iman).
Luther menegaskan kembali ajaran dari Surat Ibrani yang berbicara
tentang Ekaristi, bahwa Yesus Kristus mempersembahkan diriNya satu kali untuk
selama-lamanya dan dengan demikian menggenapi segala kurban dan sekaligus
membatalkan segala kurban lain. Karena itu, menurut Luther, tidak ada lagi
kurban lain, yang ada hanya kenangan atau peringatan akan kurban Yesus itu.
3.2.2.3.2.5.
Konsili Trente (tahun 1545- 1563)
Konsili Trente disebut juga konsili ”kontra-reformasi”.
Konsili ini memberikan jawaban dan penjelasan atas 3 permasalaha besar yang
dimunculkan oleh para reformatores, yaitu (1) tentang perubahan roti dan anggur
menjadi tubuh dan darah Kristus, (2) tentang apakah umat menyambut satu rupa
ataukah dua rupa, dan (3) tentang ekaristi sebagai kurban.
Permasalahan pertama dijawabi dan dijelaskan oleh
Konsili Trente dengan mengemukakan beberapa poin penting, yaitu :
- Kristus tinggal dalam hosti kudus, kehadiranNya sungguh riil, meskipun misa sudah selesai dirayakan.
- Perubahan substansi roti dan anggur ke substansi benar tubuh dan darah Tuhan disebut sebagai peristiwa Transsubstansia. Kristus hadir dalam setiap bagiannya, entah roti maupun anggur saja.
- Buah pertama dari ekaristi adalah pengampunan atas dosa-dosa.
- Sakramen yang tidak habis disantap atau dibagikan harus disimpan lagi di tabernakel yang kemudian bisa dibagi-bagikan lagi pada kesempatan lain atau kepada orang yang sakit
- Misa tidak cukup dihadapai hanya dengan iman saja, tetapi dibutuhkan persiapan hati, apalagi jika orang yang akan menyambut sakramen itu berada dalam keadaan dosa besar.
Selanjutnya, Konsili memberikan penjelasan atas permasalahan kedua,
yaitu:
- Sambut dalam dua rupa yaitu menerima semua bentuk (roti dan anggur), tidak perlu, sebab baik hanya dalam roti atau hanya dalam anggur saja, Kristus tetap hadir pada setiap bagiannya.
- Di dalam setiap rupa dan di dalam setiap bagiannya, Kristus selalu hadir dalam keseluruhannya, sehingga actus pemecahan roti tidak berarti membagi-bagi Kristus.
Pada akhirnya, Konsili memberikan jawaban untuk persoalan ketiga
dengan menjelaskan sifat kurban ekaristi. Konsili menjelaskan
bahwa dalam kurban misa dan dalam kurban di salib, bahan persembahan yang sama,
yaitu tubuh Kristus, dipersembahkan oleh pribadi yang sama, yaitu Kristus
sendiri. Ajaran konsili ini mau menentang ajaran Luther yang memandang ekaristi
hanya sebagai perjamuan biasa, dan bukan sebagai kurban, sebab menurutnya hanya
ada satu kurban, yaitu kurban salib Kristus, dan karena itu tidak ada kurban
lain. Konsili juga menjelaskan bahwa Kristus mempersembahkan diri sekali
lagi dalam setiap misa, sebagaimana dulu Ia mempersembahkan diri di salib,
hanya caranya berbeda. Maka, terjadi pengulangan kurban, di mana setiap kali
seorang imam merayakan misa, artinya saat itu Kristus sekali lagi
mempersembahkan diri secara baru kepada Bapa, dan bukan persembahan yang hanya
satu kali diadakan untuk selamanya.
Hal lain yang dijelaskan oleh Konsili adalah bahwa sifat kurban
dari misa berakar di dalam kenyataan bahwa Kristus mempersembahkan diri
dalam roti dan anggur. Kurban kelihatan ini juga menghadirkan kurban salib.
Perkataan : “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku (Luk 22: 19; 1 Kor 11:
24)” diakui sebagai penetapan oleh Kristus agar rasul-rasul menjadi imam untuk
mempersembahkan tubuh dan darahNya. Karena itu, kurban misa bukanlah sekedar
persembahan puji dan syukur, bukan pula sekedar kenangan akan kurban salib,
melainkan :
- Benar-benar sebagai satu kurban perdamaian, di mana kegunaannya bukan seja untuk mereka yang menerima komuni, melainkan juga untuk semua yang hidup maupun yang sudah mati;
- Sebagai pengampunan atas dosa atau membebaskan diri dari setiap siksaan dosa.
- Kurban misa adalah satu dan sama dengan kurban Kristus di salib.
3.2.2.3.2.6.
Konsili Vatikan II
(1962- 1965)
Konsili Vatikan II melahirkan dokumen penting yang berbicara tentang
Ekaristi, yaitu Konstitusi SACROSANCTUM CONCILLIUM. Konstitusi ini memberikan
rumusan yang sangat dogmatis tentang ekaristis, yaitu :
“ dalam perjamuan terakhir, pada malam Ia
diserahkan, Penyelamat kita mengadakan kurban ekaristi tubuh dan darahNya,
untuk melangsungkan kurban salib selama peredaran abad sampai Ia datang
kembali. Dengan demikian, Ia mempercayakan kepada Gereja, mempelaiNya yang
tercinta pengenangan akan wafat dan kebangkitanNya; sakramen kasih saying,
tanda kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah, di mana Kristus disantap,
jiwa dipenuhi rahmat, dan diberikan jaminan kemuliaan kelak (SC 47)”.
Bertolak dari rumusan yang bersifat dogmatis itu, maka Konsili
Vatikan II, dalam Konstitusi “Sacrosanctum Concillium” menjelaskan beberapa
pokok penting tentang Ekaristi, yaitu :
1)
Pengenangan. Ekaristi adalah kenangan akan Paskah Kristus. Dalam “Doa Syukur
Agung”, sesudah kata-kata penetapan, ditemukan sebuah doa yang dinamakan
ANAMNESE atau pengenangan. Anamnese tidak hanya berarti mengenangkan
kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, tetapi juga berarti
mewartakan karya-karya agung yang telah dilakukan Allah untuk manusia (bdk.
Kel 13: 3).
2)
Kurban. Lumen Gentium 28 menyatakan bahwa para imam, dalam ekaristi atau Synaxis
(pertemuan), memaklumkan misteri Kristus, mempersatukan doa kaum beriman, dan
dalam kurban misa dihadirkan serta diterapkan satu-satunya kurban Perjanjian
Baru, yakni kurban Kristus yang mempersembahkan diri satu kali sebagai kurban
tak bernoda kepada Bapa. Ekaristi adalah ucapan syukur atau kurban pujian,
karena dengan merayakan ekaristi Gereja memuliakan Allah atas nama seluruh
ciptaan.
3)
Kehadiran Kristus. Kristus hadir dalam kurban misa, baik dalam pribadi pelayan, maupun
terutama dalam rupa ekaristi. Ekaristi berarti Kristus bersatu dengan
GerejaNya. Ekaristi juga berarti Kristus yang hadir dalam umatNya yang berdoa.
Seorang imam berbicara dan bertindak atas nama dan dalam pribadi Kristus demi
kepentingan umat. Selain itu, Kristus juga hadir dalam Sabda Kitab Suci, sebab
Kitab Suci adalah Sabda Tuhan.
4)
Tanda Kesatuan (aspek
eklesial). Ekaristi membangun gereja. Siapa yang
menerima ekaristi akan disatukan lebih erat dengan Kristus. Kristus menyatukan
dia dengan semua umat beriman lainnya menjadi satu tubuh, yaitu Gereja. Dalam
Ekaristi, Gereja lahir, hidup dan menampakkan dirinya atas cara yang paling
konkret. Ekaristi merangkum aspek yang tidak kelihatan (misteri), maupun aspek
kelihatan dari identitas Gereja itu sendiri.
5)
Sakramen. Ekaristi adalah sakramen keselamatan, karena ekaristi memberikan
inspirasi kepada kehidupan umat beriman.
6)
Jaminan Kemuliaan yang
akan datang. Ekaristi adalah jaminan yang paling
aman dan tanda yang paling jelas bahwa harapan besar akan surga baru dan dunia baru, di mana terdapat
keadilan, akan terpenuhi.
3.2.2.3.3.
PENAMAAN UNTUK SAKRAMEN
EKARISTI
Sakramen Ekaristi memiliki banyak nama. Penamaan yang bervariasi itu
sesungguhnya mau menekankan aspek-aspek tertentu dan menunjukkan kekayaan
sakramen ekaristi itu sendiri. Nama- nama sakramen ekaristi itu, adalah :
1)
Ekaristi disebut
Gratiarum Actio. Ekaristi adalah ucapan terima
kasih kepada Allah.
2)
Ekaristi disebut “Coena
Dominica” (bdk. 1 Kor 11: 20). Ekaristi adalah
perjamuan Tuhan
3)
Ekaristi disebut
“Fractio Panis”. Ekaristi adalah pemecahan roti,
karena ritus yang khas pada perjamuan Yahudi ini digunakan juga oleh Yesus pada
waktu perjamuan terakhir.
4)
Ekaristi disebut “Sacra
Synaxis”. Ekaristi berarti perhimpunan ekaristi,
karena ekaristi dirayakan dalam perhimpunan umat beriman (congregation
fidelium), di mana Gereja dinyatakan secara kelihatan.
5)
Ekaristi disebut
“memoriale atau anamnesis”. Ekaristi adalah
kenangan, karena perjamuan itu dibuat sebagai kenangan akan kesengsaraan dan
kebangkitan Tuhan.
6)
Ekaristi disebut “
Sacrificium Eucharisticum” atau “Sacrificium Missae”. Ekaristi adalah kurban kudus, karena ia menghadirkan kurban tunggal
Kristus. Ekaristi juga mencakup penyerahan diri Gereja.
7)
Ekaristi disebut juga
Liturgi Kudus dan Ilahi, karena seluruh liturgy
Gereja berpusat dalam perayaan sakramen ini dan paling jelas terungkap di
dalamnya.
8)
Ekaristi disebut juga
“Communio”, karena di dalam sakramen ini umat
menyatukan diri dengan Kristus, mengambil bagian dalam tubuh dan darahNya.
9)
Ekaristi disebut juga
Misa Kudus, karena liturgy berakhir dengan
pengutusan umat beriman (missio), supaya mereka melaksanakan kehendak Allah
dalam kehidupan sehari-hari.
Dari istilah-istilah yang ada tersebut, pada umumnya ada dua nama
yang paling popular dan banyak digunakan, yakni perayaan ekaristi dan misa
kudus.
Istilah EKARISTI berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang
berarti puji syukur. Kata eucharistia merupakan terjemahan Yunani untuk
bahasa Yahudi birkat yang dalam perjamuan Yahudi merupakan doa puji
syukur sekaligus permohonan atas karya penyelamatan Allah. Istilah perayaan
ekaristi merupakan istilah yang sangat bagus untuk digunakan. Istilah ini
mau menekankan makna ekaristi sebagai puji syukur atas karya penyelamatan Allah
melalui Yesus Kristus. Istilah ini lebih menekankan segi isi dari apa yang
dirayakan.
Sedangkan istilah misa digunakan untuk menunjuk seluruh
perayaan ekaristi dengan mau menekankan aspek perutusan untuk melayani Tuhan
dan sesama serta mewartakan kabar baik kepada segala bangsa. Maka, istilah misa
menghubungkan dengan erat antara perayaan atau pengungkapan iman dengan
perwujudan iman dalam hidup sehari-hari.
Beberapa Masalah
Pastoral- Liturgis Ekaristi
Ada banyak persoalan liturgis dan pastoral dalam ekaristi. Tetapi,
dalam pembahasan ini hanya dikemukana dua persoalan, yakni :
1)
Masalah Penerimaan
Komuni
a)
Praktek Penerimaan Komuni
dengan “hosti suci lama”
Dalam kenyataan yang sering terjadi, sering ditemui praktek yang
menerimakan komuni dari hosti suci atau sakramen maha kudus yang sudah disimpan
dalam tabernakel. Dalam hal ini, pada waktu komuni umat tidak diberi hosti yang
baru dikonsekrir saat Doa Syukur Agung (DSA), tetapi dari hosti suci yang
disimpan di tabernakel. Sementara saat DSA, imam hanya memberkati hosti besar
saja, sedangkan umat menerima hosti yang disimpan dalam tabernakel yang tentu
saja merupakan hosti yang sudah diberkati dalam ekaristi sebelumnya. Biasanya
hal ini terjadi karena alasan praktis, supaya koster atau petugas tidak usah
selalu menyiapkan hosti baru dan menghitung hosti baru sesuai jumlah umat yang
datang karena jumlah umat yang datang tidak tentu. Tetapi, praktek ini bukanlah
praktek yang baik dan ideal. Ada tiga pertimbangannya, yaitu :
·
Dari segi teologis- liturgis
komuni bermakna pertama-tama sebagai ungkapan
partisipasi dalam karya penyelamatan Allah yang dikenangkan dan didoakan dalam
DSA pada misa yang bersangkutan. Makna kedua adalah sebagai penerimaan atas
tubuh dan darah Kristus. Dengan demikian, penerimaan komuni dari hosti suci
yang disimpan memang sesuai dengan makna kedua, tetapi makna yang pertama dan
utama tidak terpenuhi. Dalam hal ini, simbolisasi hubungan komuni dan DSA
sebagai satu kesatuan liturgy Ekaristi tidak terlaksana dengan baik.
·
Dari sisi sejarah praktek
penyimpanan Sakramen Mahakudus. Sakramen Maha Kudus
atau hosti suci sesungguhnya disimpan untuk pengiriman komuni bagi orang-orang
yang sakit, lanjut usia, atau yang di penjara. Oleh karena itu, praktek
memberkati hosti sebanyak-banyaknya dalam suatu misa, kemudian menyimpannya
dalam tabernakel untuk dibagikan pada saat komuni pada misa berikutnya,
tentulah bukanlah praktek perayaan ekaristi yang baik.
b)
Penerimaan komuni di luar
perayaan ekaristi
Penyimpanan hosti suci untuk diterimakan dalam suatu perayaan ibadat
yang non-ekaristi tetaplah mungkin, namun sekali lagi bukan dalam rangka misa
kudus yang lain. Ada beberapa pertimbangan berkaitan dengan praktek ini :
·
Dari prinsip
teologis-liturgis : penerimaan komuni selalu harus
dilihat dalam kesatuan dengan perayaan ekaristi. Sebab, komuni merupakan bagian
tidak terpisahkan dari perayaan ekaristi. Penerimaan komuni selalu merupakan
tanggapan dan ungkapan umat beriman dalam mengambil bagian dalam Misteri Paskah
yang dikenangkan dan dihadirkan dalam perayaan ekaristi, khususnya dalam DSA.
Dari segi ini, maka penerimaan komuni di luar perayaan ekaristi tidaklah ideal.
Meskipun demikian, masih ada pertimbangan kedua.
·
Dari segi prinsip pastoral
atau penggembalaan umat. Sudah sejak abad-abad
pertama, Gereja mengenal praktek mengirim komuni kepada orang-orang sakit atau
cacat yang tidak dapat hadir mengikuti perayaan ekaristi. Dalam hal ini, tentu
saja pertimbangan pastoral yang diperhatikan. Pada umumnya, pengiriman komuni
bagi orang-orang sakit dilaksanakan sesudah perayaan ekaristi dan Sakramen Maha
Kudus yang dibagikan itu adalah Tubuh Tuhan yang dikonsekrir dalam misa itu.
Sejak abad XVIII, praktek penerimaan komuni di luar perayaan ekaristi tersebar
luas, dengan akibatnya komuni dilepaskan dari perayaan ekaristi. Sejak abad XX,
dan terutama sejak Konsili Vatikan II, penerimaan komuni selalu dilihat dalam
suatu kesatuan dengan Perayaan Ekaristi. Namun, penerimaan komuni di luar
perayaan ekaristi tetap dimungkinkan dan diperbolehkan dengan alasan pastoral,
misalnya tidak ada imam yang memimpin misa pada hari Minggu itu. Pemimpin liturgy
sabda di luar perayaan ekaristi harus senantiasa mengingatkan umat akan
kesatuan yang tak terpisahkan antara perayaan ekaristi dengan penerimaan
komuni.
2)
Masalah Komuni
antar-Gereja
Orang-orang beriman kristiani boleh menerima sakramen tobat,
ekaristi dan pengurapan orang sakit dari pelayan-pelayan non-katolik sejauh
dalam Gereja mereka ada sakramen-sakramen yang sah. Praktek ini berlaku jika
keadaannya mendesak, seperti berada di dalam penjara, di medan perang, dan
sebagainya. Selain itu, pelayan-pelayan katolik dapat menerimakan
sakramen-sakramen tobat, ekaristi dan pengurapan orang sakit kepada warga
Gereja Timur atau Gereja-Gereja lain, jika :
·
Mereka meminta dengan sukarela
·
Mereka memahami dan mengimani
sakramen-sakramen tersebut
·
Berdisposisi baik, tidak dalam
dosa berat
·
Memajukan semangat ekumenis dan
keuntungan pastoral
·
Mereka tidak dapat menghadap
kepada pelayan-pelayan mereka sendiri.
3.3.
SAKRAMEN-SAKRAMEN
PENYEMBUHAN
3.3.1.
SAKRAMEN TOBAT
3.3.1.1.
Nama dan Arti Sakramen
Tobat
Sakramen Tobat disebut juga rekonsiliasi (Dister, 2004 :
369) atau sakramen pemulihan, pengakuan, dan perdamaian. Sakramen ini
sangat diperlukan, meski seseorang telah dibabtis, karena kehidupan baru yang
diterima dalam inisiasi Kristen tidak menghilangkan kecenderungan pada dosa.
Kecenderungan (concupisensi) ini tinggal dalam diri orang yang telah
dibabtis, supaya dengan bantuan rahmat Tuhan mereka mampu membuktikan kekuatan
mereka dalam perjuangannya untuk kembali kepada kekudusan dan kehidupan abadi.
Gereja memiliki sakramen tobat atau rekonsiliasi sebagai sakramen
penyembuhan. Sakramen ini mau menjawabi kerinduan manusia untuk memperbaharui
relasi dirinya dengan Allah yang putus dan rusak karena dosa dan kelalaian.
Dalam sakramen tobat, seseorang menemukan kembali kebersamaan dengan Allah dan
sesama. Sakramen ini melambangkan dan menghadirkan karya penyelamatan dan
penyembuhan yang dilakukan Allah melalui Kristus, PuteraNya.
Sakramen ini disebut dengan “rekonsiliasi”, meskipun dalam dokumen
resmi Gereja, yaitu dalam Konstitusi Sacrosanctum Concillium 72
digunakan istilah Sakramen Tobat. Teologi dan liturgy sakramen Tobat dewasa ini
kembali membiasakan diri dengan istilah reconciliation, yang mana
istilah ini lazim digunakan oleh Gereja pada abad-abad pertama. Istilah
“rekonsiliasi” merangkum sekaligus : inisiatif Allah yang lebih dahulu
menawarkan perdamaian kepada umatNya (perdamaian dengan Allah), perdamaian
manusia dengan sesamanya dan dengan seluruh alam ciptaan lainnya. Karena itu,
“penyembuhan” memiliki makna penemuan kembali kehidupan damai pada hati orang
yang bertobat dan yang telah menerima pengampunan dosa. Kedua istilah itu dapat
digunakan bersama.
3.3.1.2.
Rekonsiliasi atau Tobat
dan Kitab Suci
3.3.1.2.1.
Rekonsiliasi atau Tobat
dalam Kitab Suci Perjanjian Lama
Kitab Suci Perjanjian Lama mengenal praktek pertobatan, baik menurut
segi ritual kultis, maupun menurut aspek batiniah dan sikap hidup atau
perbuatannya. Perjanjian Lama biasanya menghubungkan bencana dan penderitaan
sebagai akibat adanya dosa. Konteks dosa itu pertama-tama adalah seluruh umat,
dan bukan orang per orang, sebagaimana yang nampak dalam tulisan nabi Yeremia (bdk.
Yer 2 : 13- 19), yaitu : “sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat : mereka
meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, umat menggali kolam bagi mereka
sendiri ….Kejahatanmu akan menghajar engkau”.
Kitab Suci Perjanjian Lama menggambarkan bentuk-bentuk pertobatan,
yaitu:
ü Pertobatan yang diungkapkan dalam bentuk upacara kultis, seperti
berkumpul untuk mengaku dosa (Ezr 13; Neh 9: 36- 37)
ü Berpuasa (Neh 9: 1; Yl 1: 14)
ü Mengenakan kain kabung (Neh 9 : 1; Yl 1 : 13)
ü Duduk di atas abu atau menaburkan abu di atas kepala (Yer 6 : 26;
Yun 3: 6)
ü Menyampaikan korban bakaran (Im 16 : 1- 19)
Meskipun terdapat macam-macam bentuk doa,
namun tradisi para Nabi menekankan bahwa yang paling penting dan utama dari
pertobatan adalah pertobatan batin, pertobatan hati dan sikap yang tampak dalam
dimensi hidup social, sebagaimana dijelaskan dalam Yesaya 58 : 6- 7 : “58:6
Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu
kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang
teraniaya dan mematahkan setiap kuk, 58:7 supaya engkau memecah-mecah
rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya
rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia
pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!”.
Pertobatan
adalah karunia Allah. Allah menganugerahkan hati yang murni dan yang baru,
sehingga orang mau bertobat (Mzm 51 : 12; Yer 31 : 33).
3.3.1.2.2.
Rekonsiliasi atau Tobat
dalam Kitab Suci Perjanjian Baru
Kitab Suci Perjanjian Baru
menghubungkan pengalaman dosa itu dengan penyembuhan (bdk. Mrk 2: 1- 12).
Penyembuhan bagi Yesus mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk penyembuhan
atas dosa, yakni pengampunan dosa. Injil Markus 2: 10 menegaskan bahwa Yesus
memiliki kuasa untuk mengampuni dosa, dan kuasa itu diberikan Yesus kepada
Gereja : “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya
diampuni dan jikalu kamu menyatakan dosa orang tetap ada, maka dosanya tetap
ada” (bdk. Yoh 20 : 22- 23).
Proses pertobatan dan pemberian
pengampunan dosa dalam Gereja diberikan secara beraneka ragam. Pengampunan dosa
yang hanya berasal dari Tuhan sendiri menuntut pertobatan dalam penyesalan (Luk
15: 11- 14). Selain itu, pertobatan menuntut pengakuan dosa (bdk. Yoh 1:
8- 10), dan pertobatan menuntut usaha aktif untuk mengatasi dosa dan memberi
silih atas dosa berupa memberi sedekah (Mat 6: 2- 6), melakukan puasa (Mat
6 : 16- 18) dan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani (1 Tim
1 : 18).
3.3.1.3.
Sakramen Tobat
(Rekonsiliasi) dalam Praksis dan Ajaran Gereja
Perjalanan sejarah sakramen tobat
dalam Gereja Barat sungguh sarat dengan perubahan yang sangat mencolok, lebih
dari sakramen-sakramen yang lain. Dari perjalanan sejarah itu, terjadi suatu
perubahan praktek pertobatan dari model tobat public pada zaman Patristik
kepada tobat pribadi dalam model suatu pengakuan dosa pribadi yang dikenal
sejak abad VI hingga sekarang.
a.
Rekonsiliasi
Jemaat menurut Model Tobat Publik pada Zaman Patristik
Dari kesaksian Surat Klemens
(tahun 93- 97) diungkapkan model pertobatan dengan pengakuan dosa. Demikian
pula pada pertengahan pertama abad II, Didache menyatakan bahwa
pengakuan dosa dan pengampunan dosa menjadi pengandaian seseorang boleh ikut
perayaan ekaristi. Barulah pada akhir abad II, ditemukan kesaksian yang jelas
dari Tertullianus yang menyebut tobat public. Tobat public ini
diperuntukkan bagi warga Gereja yang melakukan dosa berart, seperti murtad,
membunuh dan berzinah. Tobat public ini hanya bisa dilaksanakan sekali saja seumur
hidup. Tahap-tahap tobat public ialah :
- Pengakuan dosa public di hadapan jemaat yang dipimpi oleh Uskup. Sesudah pengakuan itu, uskup menumpangkan tangan pada orang yang bertobat itu. Orang itu diberi pakaian pertobatan dan ia harus pergi dan dikucilkan dari jemaat dengan tidak boleh mengikuti perayaan ekaristi lagi.
- Masa tobat yang berlangsung selama beberapa tahun sesuai dengan perintah uskup dengan melakukan perbuatan tertentu sebagai wujud pertobatan, seperti berpuasa, beramal, ambil bagian dalam kegiatan sosial, latihan rohani atau doa, tidak melakukan hubungan suami-isteri, dan sebagainya.
- Upacara rekonsiliasi diadakan (biasanya pada hari Kamis Putih) apabila masa tobat itu telah selesai dan denda dosanya telah dilaksanakan. Upacara itu ditandai dengan penumpangan tangan oleh uskup yang memohon pengampunan dosa berkat karunia Roh Kudus atas diri orang yang bertobat itu. Suasana saat ini diliputi kegembiraan yang luar biasa dengan tangisan oleh jemaat yang tersentuh. Selanjutnya, orang tersebut diperkenankan kembali memasuki altar untuk merayakan ekaristi bersama seluruh jemaat.
b.
Tobat Pribadi
Sejak Abad VI
Praktek yang berat dan menuntut
disiplin tinggi dari tobat public semakin dihindari orang. Mengingat tobat
public hanya boleh dilakukan sekali seumur hidup, maka orang cenderung
menggeser pelaksanaan tobat public itu pada masa tua atau mendekati kematian.
Akibatnya, secara keseluruhan dalam praktek hidup Gereja, terjadi suatu
kekosongan praktek tobat. Bertolak dari alasan inilah, maka sejak abad VI,
mulailah suatu praksis baru dalam kehidupan Gereja Barat yang berasal dari para
rahib Irlandia. Itulah praktek tobat pribadi yang berupa pengakuan dosa pribadi
di hadapan seorang bapa pengakuan. Praktek tobat pribadi ini dengan cepat
diterima oleh umat beriman di Gereja Barat dan cepat meluas pula. Alasannya
tentu saja karena praktek tobat pribadi terasa lebih ringan dan mudah, yakni dapat
diulang-ulang dan dilakukan secara pribadi saja, yakni di hadapan seorang imam.
Secara teologis-liturgis, ada pergeseran. Jika dalam tobat
public peran seluruh umat beriman begitu jelas, maka pada tobat pribadi peran
imam sebagai bapa pengakuan menjadi lebih penting sementara peran umat beriman
menghilang. Selain itu, dari segi unsure-unsurnya, pada tobat
public, unsure pentingnya adalah pelaksanaan wujud tobat dalam
perbuatan-perbuatan denda dosa selama masa tobat dan tindakan umat beriman.
Sedangkan dalam tobat pribadi, unsure penting adalah pengakuan dosanya. Pada
mulanya, susunan tobat pribadi masih menggunakan tahap-tahap seperti tobat
public, yaitu :
·
Pengakuan dosa di hadapan
seorang imam
·
Masa tobat untuk menjalankan
denda dosa
·
Absolusi dari iman yang
menandai rekonsiliasi orang yang berdosa itu dengan Gereja yang diwakili oleh
imam itu.
Akan tetapi, dalam perkembangan
waktu, terjadi kesulitan bagi pertemuan yang kedua kali antara imam dengan
penitennya. Banyak penitent yang tidak datang lagi ke imam yang dulu
mendengarkan pengakuannya. Maka, dibuatlah model baru, di mana absolusi
langsung diberikan oleh imam yang mendengarkan pengakuan itu dan barulah sang
penitent melaksanakan denda dosa (penitensi) sebagaimana yang dinyatakan oleh
imam itu. Dengan demikian, pada tobat pribadi terjadilah susunan yang berbeda.
Kini tahap-tahapnya adalah :
·
Pengakuan dosa
·
Absolusi oleh imam
·
Masa tobat melaksanakan denda
dosa.
Tobat pribadi yang berasal dari para
rahib Irlandia ini pada mulanya ditentang secara resmi oleh Gereja (Sinode
Toledo pada tahun 589). Pada pembaruan Karolus Agung abad VIII, ada usaha
kompromi, yakni tobat pribadi untuk dosa-dosa pribadi dan tobat public untuk
dosa-dosa public. Akan tetapi, tobat pribadi ini terus popular dan diterima
secara meluas. Mulai tahun 800, tobat pribadi praktis sudah mendominasi Gereja
Barat. Akhirnya, pada abad XIII tobat pribadi diterima dan diajarkan dengan
resmi oleh Gereja melalui Konsili Lateran IV (1215).
c.
Teologi Skolastik
mengenai Sakramen Tobat
Sakramen tobat pada zaman Skolastik
masuk sebagai salah satu dari ketujuh sakramen. Model tobat pribadi sudah
diterima secara umum. Tobat pribadi untuk dosa-dosa berat diwajibkan. Terdapat
beberapa tokoh yang berbicara tentang Sakramen Tobat, seperti :
·
Petrus Lombardus adalah salah satu tokoh Skolastik awal yang merefleksikan secara
teologis praksis tobat pribadi itu. Tekanan teologi Skolastik mengenai sakramen
tobat pada umumnya adalah cirri pengadilan dari sakramen tobat. Maka, soal
pokok yang didiskusikan adalah masalah kuasa imam untuk memberikan absolusi
atau pelepasan dari dosa. Dimensi eklesial sakramen tobat pada masa Skolastik
praktis menghilang dan tidak dibicarakan lagi. Persoalan mengenai kuasa imam
untuk memberikan absolusi berkaitan dengan masalah kapan dan bagaimana Allah
mengampuni dosa, lalu di mana kedudukan pernyataan absolusi dari imam itu. Para
teolog Skolastik awal memikirkan bahwa absolusi imam bersifat deklaratif. Artinya,
rahmah Allah sendirilah yang mengampuni dosa orang. Pernyataan absolusi imam
hanya bersifat menyatakan secara eksplisit apa yang telah dikerjakan oleh Allah
itu dan menyatakan bahwa orang itu sudah bersih dari dosa.
·
Thomas Aquinas berpendapat bahwa pengampunan dosa dari Allah itu berdaya dan
efektif karena interaksi antara pertobatan orang yang berdosa itu dan absolusi
yang dinyatakan oleh imam. maka, menurutnya, absolusi bersifat kausativ, yaitu
ikut menyebabkan turunnya rahmat pengampunan dosa dari Allah.
Selain itu, teologi Skolastik juga
sibuk dengan masalah penyesalan sebagai syarat penerimaan sakramen tobat.
Apakah orang harus mempunyai pertobatan atau penyesalan sempurna (contrition)
atau cukup pertobatan/ penyesalan yang tidak sempurna (attrition) untuk
dapat menerima pengampunan dosa ? Pembedaan jenis pertobatan atau penyesalan
ini terletak pada motif atau alasan. Bila orang bertobat karena digerakkan oleh
cinta Tuhan dan sungguh ingin mencintai Tuhan dengan meninggalkan dosa-dosanya,
maka orang itu mempunyai pertobatan sempurna. Namun, apabila pertobatannya itu
hanya digerakkan oleh rasa takut akan neraka dan hukuman dosa saja, maka
pertobatannya itu tidak sempurna. Yohanes Dun Scotus memandang ada dua
jalan pengampunan dosa, yakni :
·
Pengampunan dosa melalui
absolusi sacramental pada sakramen tobat
·
Pengampunan dosa yang diberikan
di luar perayaan sacramental berdasarkan pertobatan yang sempurna.
Bagi Scotus, yang terpenting dalam
sakramen tobat adalah absolusi imam, sedangkan pengakuan dosa, penyesalan, dan
penitensi hanyalah pengandaian saja.
d.
Ajaran Resmi
Gereja pada Abad Pertengahan mengenai Sakramen Tobat
Ajaran resmi Gereja pada abad
pertengahan mengenai Sakramen Tobat tampak dalam ajaran-ajaran beberapa Konsili
berikut, seperti :
·
Konsili Lateran IV (1215) mewajibkan semua umat beriman untuk mengaku dosa di hadapan imam
sedikitnya sekali setahun dan untuk berusaha melaksanakan penitensi.
·
Konsili Florenz memandang tindakan penitent (penyesalan, pengakuan, dan melaksanakan
penitensi) sebagai semacam materia sakramen tobat, sedangkan formanya adalah
kata-kata absolusi dari imam, lalu pelepasan dari dosa merupakan rahmat
sakramennya.
·
Konsili Trente (1551) menegaskan ajaran Gereja menghadapi gerakan Gereja Reformasi. Martin
Luther menolak tobat sebagai sakramen, meskipun ia menghargai pengakuan dosa
sebagai pelayanan persaudaraan yang baik agar orang percaya kepada pengampunan
Allah. Tetapi, Luther menolak sifat pengadilan atau penghakiman sakramen tobat
dan sifat kewajiban bahwa orang harus mengaku dosa di hadapan imam. Calvin, salah
satu tokoh Gereja Reformasi sama sekali menolak sakramen tobat. Karena itu,
Konsili Trente mengeluarkan beberapa ajaran pokok mengenai sakramen tobat,
yakni :
Ø
Sakramen Tobat ditetapkan oleh
Kristus sendiri dan dapat diulang
Ø
Gereja mempunyai kuasa untuk
melepaskan dan mengampuni dosa
Ø
Pengakuan Sakramental di
hadapan imam sesuai dengan perintah Kristus dan ditetapkan oleh hukum Ilahi
Ø
Menurut hukum Ilahi, pengakuan
pribadi atas dosa berat adalah keharusan
Ø
Semua orang kristiani wajib
mengaku dosa sekali setahun.
Ø
Absolusi sacramental imam
merupakan tindakan penghakiman yang berdaya guna dan bukan sekedar pernyataan
yang bersifat nasehat
Ø
Hanya imam yang mempunyai kuasa
untuk mengikat dan melepaskan dosa.
Dari ajaran-ajaran Trente ini
tampaklah bahwa dimensi eklesial sama sekali tidak terasa dan tidak disebut.
Ajaran Trente ini terus menguasai kehidupan Gereja selama berabad-abad sesudah
Trente hingga akhirnya diperbaharui oleh Konsili Vatikan II pada abad XX.
e.
Sakramen Tobat
dalam Semangat Konsili Vatikan II
·
Dengan aneka gerakan pembaruan
teologi dan liturgy dalam Gereja pada pertengahan pertama abad XX, sakramen
tobat kembali direnungkan secara baru. KV II, dalam Lumen Gentium (LG)
11 menyatakan kembali dimensi eklesial dari sakramen tobat itu.
·
Mengenai tata perayaannya, para
Bapa Konsili Vatikan II mendesak untuk peninjauan kembali upacara dan rumusan
sakramen tobat (SC 72). Atas kehendak Konsili Vatikan II itu, disusunlah
buku perayaan sakramen tobat yang baru yang disebut Ordo Paenitentiae
(1973).
·
Pada pedoman umum tata cara
tobat yang baru ini, dimensi eklesial kembali ditampakkan. Dimensi ini tampak,
misalnya pada rumusan absolusi baru yang diucapkan oleh imam yang memuat
kata-kata :
“melalui pelayanan Gereja, Ia
menganugerahkan kepada Saudara pengampunan dan damai. Maka, dengan ini aku
melepaskan saudara dari segala dosa… “.
·
Selain itu, dimensi perayaan
juga ditekankan, sehingga segi dan suasana penghakiman atau pengadilan bisa
dinetralisir. Di samping itu juga, suatu pemberian absolusi umum dimungkinkan.
·
Menurut Ordo Paenitentiae, ada
3 (tiga) kemungkinan perayaan sakramen rekonsiliasi :
Ø
Tata perayaan rekonsiliasi
perorangan/ pribadi
Ø
Tata perayaan rekonsiliasi
beberapa orang dan dilanjutkan pengakuan dosa dan absolusi pribadi (ibadat
tobat bersama dilanjutkan dengan pengakuan pribadi)
Ø
Tata perayaan rekonsiliasi
jemaat dengan pengakuan dan absolusi umum. Untuk memberikan absolusi umum, imam harus mendapat izin dari
uskup.
3.3.1.4.
Makna Sakramen Tobat
atau Rekonsiliasi
Sakramen Tobat memiliki makna
perdamaian, yaitu :
a)
Sakramen tobat mendamaikan
manusia dengan Allah, sehingga manusia hidup dalam rahmat. Dengan mengutus
Yesus Kristus, PuteraNya, maka Allah mewartakan perdamaian bagi manusia. Wafat
dan kebangkitan Yesus Kristus mendamaikan
manusia dengan Allah.
b)
Sakramen Tobat juga mendamaikan
kembali hubungan umat dengan Gereja. Dosa menyebabkan putusnya hubungan manusia
dengan Allah, dan juga dengan sesamanya, khususnya dengan seluruh warga Gereja.
Dosa seseorang selalu berdampak pada keseluruhan komunitas beriman. Karena itu,
suatu perdamaian kembali mestinya juga diadakan dalam kebersamaan. Dengan
demikian, Sakramen Tobat mendamaikan seseorang dengan Gereja dalam
totalitasnya.
c)
Sakramen Tobat berarti
rekonsiliasi dengan semua makhluk dan alam lingkungan. Sakramen Tobat memiliki
dimensi teologis, bahwa semua makhluk adalah ciptaan Tuhan, dan dimensi
ekologis. Sakramen Tobat mengingatkan manusia bahwa perdamaian juga mesti
merangkum seluruh tata relasi dengan alam lingkungan. Tobat mestinya melahirkan
kesadaran akan sikap yang ramah kepada lingkungan.
3.3.1.5.
Idulgensi
Idulgensi berasal dari kata bahasa Latin “indulgentia” yang secara harafiah
berarti kemurahan. Idulgensi berarti kemurahan dari Allah yang dianugerahkan
kepada seseorang melalui Gereja. Idulgensi berarti juga penghapusan hukuman
sementara sebagai akibat dari dosa.
Pelaku utama dalam sakramen tobat
adalah Allah sendiri, sebab hanya Allah-lah yang mengampuni dosa. Kristus
menghendaki supaya gereka secara keseluruhan menjadi tanda dan sarana
pengampunan dan perdamaian. Karena itu, pelaksanaan kuasa absolusi dipercayakan
Allah kepada jabatan apostolic, yaitu para rasul serta para pengganti mereka,
yaitu para uskup.
3.3.1.6.
Kerangka Dasar Sakramen
Tobat
Kerangka dasar sakramen tobat tetap
sama sepanjang sejarah keselamatan, meski susunan dan upacara sakramen ini
sering mengalami banyak perubahan. Kerangka dasar itu mencakup dua unsure
hakiki, yaitu :
1)
Kegiatan manusia yang bertobat
di bawah kuasa Roh Kudus, yakni penyesalan, pengakuan dan penitensi;
2)
Kegiatan Allah oleh pelayanan
Gereja, yakni mengampuni dosa dan mengerjakan perdamaian bagi para pendosa
berkat paskah PuteraNya dan berkat anugerah Roh-Nya.
Gereja menentukan jenis dan cara
penitensi, berdoa untuk pendosa, dan menjalankan penitensi bersama dengannya.
Kegiatan penitensi bersifat triganda. Ketiga sifat kegiatan penitensi
adalah bahwa (1) dalam hati ada penyesalan, (2) dalam mulut ada pengakuan, dan
(3) dalam tindakan ada penyilihan atau “penitensi”.
Konsili Trente menegaskan bahwa penyesalan
berarti kesedihan jiwa dan kejijikan terhadap dosa yang telah dilakukan,
dan niat untuk tidak berdosa lagi. Konsili membedakan dua macam penyesalan,
yaitu :
v
CONTRITIO, yang berarti
penyesalan sempurna, penyesalan yang berdasarkan pada cinta kepada Allah yang
dicintai melebihi segala sesuatu.
v
ATTRITIO, yaitu penyesalan yang
tidak sempurna, penyesalan yang berdasarkan renungan mengenai kejijikan dosa
atau karena rasa takut akan hukuman abadi yang mengancam pendosa.
Pengakuan sudah membebaskan orangnya sendiri dan merintis perdamaiannya dengan
orang lain. Melalui pengakuan itu, orang melihat dengan jujur dosa-dosanya dan
menerima tanggung jawab atas dosa. Dengan demikian, ia membuka diri kembali
untuk Allah dan untuk persekutuan Gereja, sehingga dimungkinkanlah masa depan
yang baru. Pengakuan di depan imam merupakan bagian hakiki dari sakramen tobat.
Penyilihan atau penitensi sangat
diperlukan. Konsili Trente menjelaskan bahwa absolusi memang menghapus dosa,
tetapi tidak mengatasi semua ketidakadilan yang disebabkan oleh dosa. Karena
itu, pendosa yang karena rahmat Allah sudah mengangkat diri dari dosa masih
harus mendapat kesehatan rohani yang penuh. Ia harus “membuat silih” untuk
dosa-dosanya dengan cara tertentu. Silih atau penitensi dapat berupa doa,
derma, karya amal, pelayanan terhadap sesama, pantang, berkurban, dan terutama
menerima dengan sabar salib yang harus dipikul.
Pemberi Sakramen Tobat adalah para
uskup dan rekan kerjanya, yaitu para imam. Mereka menerimakan sakramen tobat
kepada umat berdasarkan penugasan oleh Kristus kepada rasul-rasulNya. Berkat
sakramen Tahbisan, maka para uskup dan para imam telah menerima wewenang untuk
mengampuni segala dosa, dan dengan menerimakan sakramen tobat, maka para imam
memberi pelayanan caturganda, yaitu :
1)
Pelayanan gembala baik yang
mencari domba yang hilang
2)
Pelayanan orang Samaria yang
murah hati, yang membalut luka-luka
3)
Pelayanan sang bapa yang
menantikan anak yang hilang dan menerimanya dengan penuh kasih saying setelah
ia kembali
4)
Pelayanan hakim yang benar
Karena itu, imam adalah tanda dan sarana
cinta Allah yang penuh belas kasihan kepada orang berdosa, dan sebagai pelayan
pengampunan Allah, maka imam hendaknya menyadari apa yang perlu untuk
memberikan pelayanan ini secara optimal, yaitu :
·
Mempersatukan diri dengan niat
dan cinta Kristus
·
Mengetahui dengan pasti
bagaiman seorang kristiani harus hidup
·
Mempunyai pengalaman dalam
masalah-masalah manusiawi
·
Menghormati orang yang telah
“jatuh”
·
Memegang teguh tugas Gereja
untuk mengajar
·
Membimbing penitent dengan
sabar menuju penyembuhan dan kematangan
·
Mendoakan penitent dan membuat
silih
·
Menyerahkan penitent kepada
kerahiman Allah.
Perayaan Sakramen Tobat sebagai kegiatan
liturgy terdiri dari :
- Salam dan berkat imam
- Pembacaan Sabda Allah untuk menerangi hati nurani dan membangkitkan penyesalan
- Ajakan untuk menyesal
- Pengakuan dosa secara perorangan di depan imam
- Penyampaian dan penerimaan penitensi
- Pemberian pengampunan dosa (absolusi)
- Pujian sebagai tanda terima kasih
- Pengutusan dengan berkat imam.
3.3.2.
SAKRAMEN PENGURAPAN
ORANG SAKIT
3.3.2.1.
Sejarah Sakramen Orang
Sakit
3.3.2.1.1.
Kitab Suci
Sejarah perkembangan sakramen
pengurapan orang sakit dibicarakan juga di dalam kitab suci, khususnya kitab
suci perjanjian baru. Ketiga injil sinoptik dan kitab Yakobus secara khusus
berbicara tentang pengurapan orang sakit.
a)
Ketiga Injil Sinoptik :
St. Mateus menceritakan karya Yesus,
di mana Yesus berkeliling dari satu kota ke kota yang lain, dari satu dusun ke
dusun yang lain untuk mewartakan injil dan menyembuhkan orang-orang yang
menderita segala penyakit dan cacat fisik (bdk. Mat 9 : 35), sementara
Lukas menyebutkan bahwa Yesus memanggil murid-muridNya, memberi mereka kuasa,
dan mengutus mereka untuk mengusir roh-roh jahat, serta menyembuhkan segala
penyakit (bdk. Luk 9 ; 1), sedangkan St. Markus mengisahkan karya
penyembuhan itu secara berbeda, di mana hanya Markus sendiri yang menceritakan
bahwa pengikut-pengikut Yesus mengoles minyak zaitun pada orang sakit dan
menyembuhkan mereka (bdk. Mrk 6 : 13).
b)
Kitab Yakobus
Kitab Yakobus, khususnya di dalam
Yak 5 : 14- 15 secara luas berbicara tentang pengurapan orang sakit, dengan
beberapa pokok penafsiran, yaitu :
Ø
Ayat 14a berbicara tentang si
penderita atau orang sakit, bahwa yang dimaksudkan dengan orang sakit di sini
adalah orang yang menderita sakit yang cukup berat, dan dalam beberapa hal
berada dalam bahaya mati (bdk Yoh 4 : 46- 47; Kis 9 : 37).
Ø
Ayat 14 secara umumnya
berbicara tentang peranan pemimpin jemaat (penatua atau presbyteroi).
Gereja perdana menganggap para penatua atau presbyteroi ini sebagai
orang yang memiliki kuasa atau hak untuk bertindak, yaitu mendoakan orang yang
sakit dan mengoleskannya dengan minyak dalam nama Tuhan. [6]
Ø
Ayat 15 berbicara tentang :
ü
doa yang disampaikan dengan
penuh iman. Ayat ini berhubungan erat dengan Mrk 6 : 13 : “….dan mereka
mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan
menyembuhkan mereka “ . Ayat ini
menjelaskan bahwa kesembuhan itu terjadi bukan saja karena kekuatan minyak,
melainkan juga dengan doa yang disampaikan kepada Tuhan dengan penuh iman yang
teguh.
ü
Ayat 15 menyebutkan “…akan
menyelamatkan…”. Ungkapan menyelamatkan
harus diterima dalam arti luas, yaitu (1) penyembuhan dan pemulihan
kesehatan, (2) pembebasan dari kuasa dosa dan setan, dan (3) tanda kehadiran
Kerajaan Allah.
ü
Ayat 15 juga menyebutkan : “
…dan Tuhan membangunkan dia…”. Kitab suci Vulgata menterjemahkan
ungkapan ini dengan kata Latin Alleviabit, yang berarti meringankan
penderitaan si sakit. Karena itu, ayat ini menegaskan aspek pemulihan
kesehatan atau penyembuhan jasmaniah.
ü
Dan pada akhirnya ayat ini juga
menyebutkan : “ … dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan
diampuni…”. Ayat ini menegaskan tujuan pengurapan orang sakit bukan saja
penyembuhan jasmaniah, melainkan juga pengampunan dosa. Pengurapan orang sakit
bisa membawa penyembuhan rohani, jika si sakit bertobat atas dosa-dosanya.
3.3.2.1.2.
Tahun 100- 800 : Gereja
Perdana
Pada masa gereja perdana terdapat
tulisan-tulisan yang menjelaskan praktek mendoakan dan mengurapi orang sakit
dengan menggunakan minyak zaitun, dan pada dasarnya, perkembangan praktek upacara
pengurapan orang sakit bersumber pada naskah-naskah liturgy purba, dan pada
teks-teks dari bapa-bapa gereja.
a)
Naskah-Naskah Liturgi
1)
Traditio Apostolica St. Hyppolytus : buku ini ditulis oleh Hyppolytus pada tahun 215 dan
dalam buku ini ia mencatat bahwa orang sakit diurapi dengan minyak zaitun yang
sudah diberkati dengan doa khusus.
2)
Euchologia Serapion dari Thmuis : buku ini ditulis pada tahun 350 M yang menjelaskan
tentang pemberkatan minyak orang sakit dan artinya. Buku ini menjelaskan bahwa
tujuan atau maksud pengurapan orang sakit adalah memberikan pemulihan kesehatan
badan, pengampunan dosa, bantuan untuk mengalahkan kejahatan, dan rahmat
ketabahan.
b)
Tulisan Bapa-Bapa Gereja
1)
Surat Paus Innosentius I (415 M) kepada uskup Decentius : isinya adalah penjelasan
Paus tentang Surat Yakobus pasal 5. Paus menjelaskan bahwa surat itu
benar-benar berbicara tentang orang Kristen yang sakit. Paus juga menjelaskan
beberapa hal, yaitu bahwa (1) minyak orang sakit diberkati oleh uskup, (2) Imam
bukan satu-satunya pelayan sakramen orang sakit, dan (3) sakramen tidak boleh
diberikan kepada para pendosa yang belum berdamai dengan Gereja lewat pengakuan
dosa.
2)
Komentar Santo Beda (735 M) tentang Surat St. Yakobus . Santo Beda menulis
komentar yang isinya berupa penegasan kembali dan kesaksiannya tentang
pengurapan orang sakit. Ia menjelaskan bahwa :
·
Di dalam injil dikisahkan bahwa
para rasul mengurapi orang sakit dengan minyak, dan bahkan hingga saat ini
Gereja tetap mengikuti kebiasaan itu, yakni orang sakit diurapi oleh
pemimpin-pemimpin jemaat dengan minyak yang sudah diberkati oleh Uskup, dan
menjadi sembuh berkat doa
·
Bukan hanya pemimpin-pemimpin
jemaat, melainkan juga semua orang beriman dapat mengurapi orang sakit
·
Minyak itu hanya diberkati oleh
Uskup
3)
Pada tahun 1942, Antoine
Chavasse menerbitkan hasil studinya yang sangat
menentukan tentang sakramen orang sakit dalam Gereja Latin, dan berdasarkan
hasil studinya itu, ia menyimpulkan :
v
Unsure yang paling utama dalam
pengurapan orang sakit adalah minyak zaitun yang sudah diberkati, di mana
pemberkatan itu bersifat epiclesis
(mohon bantuan Roh Kudus) dan terjadi dalam Doa Syukur Agung, sehingga
minyak itu mendapat kekuatan ilahi
v
Siapa saja orang beriman boleh
mengurapi orang sakit, yaitu uskup, imam, diakon, atau awam.
v
Sebelum abad IX, tidak terdapat
suatu upacara liturgy tertentu, tak ada juga rumus doa, atau tugas mengurapi
orang sakit dengan minyak; yang ada hanyalah rumus pemberkatan minyak
v
Pengurapan orang sakit bukan
merupakan persiapan untuk menghadapi kematian, melainkan sebagai tanda
peneguhan
3.3.2.1.3. Kaiser Karel Agung
Karel Agung membuat pembaharuan
tentang upacara pengurapan orang sakit, di mana kaum awam tidak lagi memberikan
pengurapan orang sakit. Sakramen orang sakit diberikan oleh imam yang telah
ditahbiskan, dan pemberkatan minyak orang sakit dilaksanakan dalam liturgy
pecan suci. Pada masa Karel Agung, untuk pertama kalinya disebutkan “Upacara
Pengurapan Orang Sakit”, dan penerimaan sakramen pengurapan orang sakit
diterimakan bersama dengan sakramen pengakuan dan viaticum (komuni bekal
suci).
3.3.2.1.4.
Awal Zaman Skolastik dan
Petrus Lombardus
a.
Awal Zaman Skolastik
Pada abad XIII, sakramen orang sakit
tidak lagi dilihat sebagai sarana pemulihan kesehatan badan, tetapi sebagai
sarana pengampunan dosa. Pada zaman ini, sakramen hanya diberikan kepada
orang-orang dewasa yang secara sadar atau tidak sadar melakukan hal-hal yang
disebut dosa. Sakramen tidak diberikan kepada anak-anak kecil, sebab perbuatan
dan tindakan anak-anak sejahat apa pun tidak disebut sebagai dosa, karena
mereka belum mengerti secara pasti tentang apa arti dan dampak dari
tindakannya.
Selain itu, pada zaman ini, muncul
tokoh baru yang memberikan pandangannya tentang tujuan pemberian sakramen
pengurapan orang sakit, yaitu HUGO dari SAN VIKTOR yang berpendapat bahwa
penyembuhan rohani merupakan satu-satunya tujuan dari pengurapan orang sakit.
Karena itu, sakramen orang sakit merupakan persiapan bagi si sakit untuk
masuk surga. Hugo berpendapat bahwa sebagaimana sakramen pembabtisan
diperuntukkan bagi orang yang akan memasuki dunia dan memberi mereka cap
Kristus, demikian pula dengan sakramen pengurapan orang sakit, bahwasanya
sakramen orang sakit diberikan kepada orang-orang yang akan meninggalkan dunia
ini, sehingga mereka dimungkinkan untuk memandang wajah Allah.
b.
Petrus Lombardus (1150
M)
Petrus
Lombardus adalah orang pertama yang menggunakan istilah “pengurapan terakhir” (extrema
Unctio) yang menggantikan istilah “pengurapan orang sakit” atau “pengurapan
suci”. Karena itu, sakramen ini diberikan kepada orang-orang yang secara
pemeriksaan medis tidak memiliki kemungkinan untuk mengalami kesembuhan lagi
atau yang akan meninggal dunia.
3.3.2.1.5.
Konsili Trente (1545)
Konsili
Trente menegaskan bahwa Sakramen Orang Sakit diberikan kepada orang-orang yang
sedang mengalami sakit berat. Konsili menandaskan bahwa sakramen ini bertujuan
untuk memberikan rahmat Roh Kudus kepada yang menderita, menghapus dosa dan
hukuman atas dosa, memberikan penghiburan bagi orang yang sakit, dan menganugerahkan
penyembuhan badaniah. Beberapa ajaran Trente mengenai sakramen pengurapan orang
sakit adalah :
·
Sakramen perminyakan teakhir
adalah sungguh-sungguh sakramen yang ditetapkan oleh Kristus dan disampaikan
oleh Santo Yakobus Rasul
·
Sakramen ini menganugerahkan
rahmat dan memberikan pengampunan dosa
·
Pelayan sakramen perminyakan
terakhir hanyalah imam.
3.3.2.1.6.
Konsili Vatikan II
Konstitusi
Liturgi artikel 73 dari Konsili Vatikan II menghendaki agar sakramen pengurapan
terakhir ini dikembalikan pada fungsinya yang semula, yaitu sebagai sakramen
untuk orang yang sakit berat dan yang sudah lanjut usianya, dan bukan untuk
orang yang akan meninggal dunia.
3.3.2.2.
Perayaan Sakramen
Pengurapan Orang Sakit
Perayaan
Sakramen Pengurapan Orang Sakit dapat diwujudkan melalui 2 (dua) upacara, yaitu
(a) upacara kunjungan dan komuni orang sakit, dan (b) upacara pengurapan orang
sakit.
3.3.2.2.1
Upacara Kunjungan dan
Komuni Orang Sakit
Upacara
kunjungan dan komuni orang sakit terdiri dari beberapa unsure atau susunan
upacaya, yaitu :
a)
Percikan dengan air
berkat : ritus ini merupakan sarana pertemuan
manusia dengan Allah, dan memiliki arti memberikan peneguhan persatuan antara
seluruh umat yang hadir dengan Kristus.
b)
Sakramen Pengampunan : upacara mengunjungi orang sakit merangkum juga upacara pengampunan
dosa-dosa di masa lalu.
c)
Pembacaan, Doa dan
Litani : bagian upacara ini berarti bahwa pewartaan
Kitab Suci dapat dipandang sebagai pesan Allah yang khusus kepada orang yang
sakit dan bagi umat yang hadir. Sabda Allah menantang mereka untuk memberi
tanggapan dalam iman. “Mendengarkan Sabda Allah” bermakma memberikan kesadaran
kepada umat bahwa segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini berasal dari
Tuhan. Sabda Allah yang mewahyukan diri merupakan suatu pesan keselamatan.
d)
Ekaristi atau Komuni
Orang Sakit : ekaristi merupakan sakramen
penyembuhan, rekonsiliasi dan keselamatan yang tak terbatas. Semua orang yang
sakit bersatu dengan seluruh jemaat beriman dan dengan Kristus. Karena itu,
sakramen ini menyatakan iman akan Tuhan yang mau membangkitkan orang sakit,
sebagaimana Kristus sendiri telah bangkit pada hari minggu paskah.
e)
Penumpangan tangan : merupakan suatu tata gerak yang mengungkapkan berkat. Penumpangan
tangan merupakan suatu komunikasi kekuatan Roh Kudus yang diberikan kepada
seseorang yang sakit. Melalui ritus ini, maka Roh Kudus diundang, dimintakan
kuasaNya dan diakui sebagai pemberi kuasa atau penyembuhan dalam bentuk berkat
yang istimewah.
3.3.2.2.2 Upacara Pengurapan
Orang Sakit
Perayaan
Liturgi Orang Sakit terutama terdiri dari penumpangan tangan oleh imam, doa
yang disampaikan dengan penuh iman, dan pengurapan orang sakit dengan minyak
yang sudah diberkati. Karena itu, ada 3 (tiga) elemen penting yang membentuk
upacara pengurapan orang sakit, yaitu :
a)
Penumpangan Tangan
b)
Doa yang disampaikan
dengan penuh iman
c)
Pengurapan dengan minyak
yang sudah diberkati
3.3.2.2.2
Makna Sakramen
Pengurapan Orang Sakit
Sakramen Pengurapan Orang Sakit
memiliki beberapa makna penting, yaitu sebagai :
a)
Partisipasi dalam penderitaan
dan wafat Kristus, serta menjadi kuat untuk mempersatukan diri lebih erat lagi
dengan Kristus.
b)
Sarana penyembuhan jasmani dan
rohani
c)
Perayaan umat
d)
Perayaan iman, karena
memberikan ketabahan dan penghiburan bagi si sakit dan bagi seluruh umat yang
hadir
e)
Sarana kehadiran karya Allah
yang memberikan rahmat Roh Kudus untuk memperteguh kepercayaan si sakit kepada
Allah, agar si sakit tetap tabah dalam penderitaan, memperoleh rahmat
pengampunan atas dosa dan membangun tobat secara Kristen.
3.4
SAKRAMEN-SAKRAMEN PELAYANAN UNTUK PERSEKUTUAN
3.4.1.
SAKRAMEN TAHBISAN
3.4.1.1.
Sakramen Tahbisan Dalam
Tata Keselamatan
Tahbisan berasal dari kata bahasa
Latin ordinatio yang memiliki kata dasar ordo. Ordinatio berarti
penggabungan di dalam satu ordo. Penggabungan ke dalam salah satu golongan
Gereja terjadi dalam satu ritus yang dinamakan ordination yaitu satu
tindakan liturgis dan religius yang dapat merupakan satu tahbisan, satu
pemberkatan atau satu sakramen.
Sakramen tahbisan disebut juga
sakramen imamat. Istilah dalam bahasa Latin yang sudah popular sejak zaman
Skolastik adalah sacramentum ordinis yang lebih menekankan aspek jabatan
dari satu tahbisan, sedangkan istilah imamat lebih mengungkapkan tugas-tugas
menguduskan seperti pelayanan ekaristi, pemberian absolusi melalui sakramen
tobat, dan sebagainya. Istilah tahbisan lebih menekankan aspek peristiwa penuh
rahmat yang mengubah dan menguduskan seseorang menjadi pemimpin Gereja. Maka,
istilah “sakramen tahbisan” umumnya lebih bisa merangkum keseluruhan tugas
pemimpin Gereja.
Kitab Keluaran (bdk Kel 19 : 6) menjelaskan
bahwa umat terpilih dijadikan oleh Allah sebagai “kerajaan imam dan bangsa yang
kudus”. Namun, dari kedua belas suku Israel Allah telah memilih suku Lewi dan
memisahkannya untuk pelayanan liturgi.
Imam-imam pertama Perjanjian Lama
ditahbiskan dalam ritus khusus. Mereka “ditetapkan bagi manusia dalam hubungan
mereka dengan Allah supaya mereka dapat mempersembahkan persembahan dan kurban
untuk penebusan atas dosa-dosa (bdk Ibr 5 : 1). Namun, imamat ini yang
diciptakan untuk mewartakan Sabda Allah dan untuk membangun persekutuan dengan
Allah melalui kurban dan doa tidak mampu mendatangkan keselamatan. Kurban itu
harus diulangi terus menerus dan tidak dapat mengakibatkan pengudusan secara
definitif. Rahmat pengudusan lahir karena kurban Kristus. Kurban Kristus itu
unik dan dilaksanakan sekali lagi untuk selamanya dalam perayaan ekaristi.
Kristus, Sang Imam Agung dan
Perantara satu-satunya telah membuat GerejaNya menjadi satu kerajaan dan
“menjadi imam-imam bagi Allah, BapaNya” (Why 1 : 6). Dengan demikian, seluruh
persekutuan umat beriman adalah imam. Orang beriman sebagai orang yang dibabtis
melaksanakan imamatnya dengan cara berpartisipasi dalam tri-tugas Yesus sebagai
imam, raja dan nabi. Keikutsertaan itu disebut “imamat bersama kaum beriman”.
Imamat jabatan berbeda dari imamat
bersama umat beriman menurut hakekatnya. Imamat jabatan memberikan wewenang
khusus kepada seseorang untuk melayani umat beriman. Pelayan yang ditahbiskan
itu melaksanakan pelayanannya untuk umat Allah melalui kegiatan mengajar,
ibadat-liturgi dan melalui bimbingan pastoral.
Yesus mendirikan Sakramen Tahbisan
ketika Ia mengadakan perjamuan terakhir bersama murid-muridNya. Yesus
memberikan kuasa kepada murid-murid untuk melaksanakan ekaristi (bdk Luk 22:
19). Ketika Yesus bangkit, Ia memberikan kuasa kepada para murid untuk
mengampuni dosa (bdk Yoh 20 : 21- 23). Sebelum naik ke surga Yesus
memberikan tugas misi kepada para muridNya (bdk Mat 28 : 18- 21). Dan
dalam kitab Timotius disebutkan bahwa para rasul menahbiskan Paulus dan
Barnabas sebagai uskup, dengan doa dan penumpangan tangan (bdk 2 Tim 1 : 6).
3.4.1.2.
Tahbisan dalam Praksis
dan Ajaran Gereja
3.4.1.2.1
Zaman Patristik
Kepemimpinan Gereja pada abad
pertama dan kedua umumnya ditandai dengan semakin kuatnya tendensi penyeragaman
dan institusionalisasi struktur kepemimpinan. Pada abad-abad pertama ini, peran
kelompok nabi dan guru yang karismatis menghilang atau surut. Suatu refleksi
mengenai tahbisan berkurang. Surat dari Klemens (thn 93- 97)
mengungkapkan masih terbukanya struktur kepemimpinan jemaat, adanya usaha
analogi dengan kepemimpinan Perjanjian Lama dan adanya petunjuk bagi penyatuan
peran pemimpin jemaat sebagai pemimpin liturgy.
Santu Ignatius dari Antiokia mengungkapkan adanya pembentukan struktur kepemimpinan Gereja yang
kurang lebih terjadi di mana-mana, yaitu suatu struktur hierarki yang ditopang
oleh tiga tugas pelayanan, yaitu uskup, imam dan diakon. Sejak abad II,
tingkatan kepemimpinan uskup, imam dan diakon mulai diterima dan diakui dalam
Gereja, bahkan tidak hanya di Barat, tetapi juga pada Gereja Timur.
Santu Irenius dari Lyon memandang perlu adanya succesio apolostolica dalam
kepemimpinan Gereja. Succesio apolostolica berarti penggantian atau
penerusan rasuli, di mana para pemimpin Gereja memiliki kesinambungan yang
jelas dan tegas dari para rasul. Pada abad II, di Gereja Timur, berkembanglah
gambaran hierarki seperti uskup, penatua dan diakon sebagai tingkatan yang
berakar dalam tata surgawi. Pandangan ini dikembangkan oleh Klemens dari
Aleksandria.
Tertullianus (160- 220) memperkenalkan istilah ordination atau penahbisan.
Kata ini sebenarnya suatu istilah yang menunjuk pada pengangkatan seseorang ke
dalam suatu status atau kedudukan (ordo). Cyprianus berbicara tentang clericus
atau klerus yang berarti orang yang berpartisipasi pada Allah dalam cara
yang khusus atas dasar kedudukan atau statusnya.
Dengan Edict Milan (313), orang-orang
Kristen memperoleh kebebasan untuk hidup dan berkembang di seluruh kekaiseran
Romawi. Akibatnya, sangat hebat bagi perjalanan sejarah hidup Gereja. Masuknya
Gereja ke dalam kekaiseran Romawi mengubah banyak hal dalam praktek hidup
Gereja dan para pemimpinnya. Kini para pemimpin Gereja, seperti uskup dan imam
memperoleh penghormatan dan tempat yang tinggi. Secara teologis, hal ini juga
mempengaruhi cara pandang orang terhadap tahbisan dan jabatan kepemimpinan
Gereja. Hal ini tampak dari beberapa pemikiran dari beberapa tokoh, seperti :
·
Gregorius dari Nyssa (335-
394). Ia memahami tahbisan imam sebagai saat di
mana seseorang diubah ke status dan martabat baru yang lebih baik dan diberi
kemampuan yang lebih sesuai dengan kehormatan jabatan imam itu.
·
Theodorus dari Mopsuestia
(350- 428). Ia memandang tahbisan imam hanyalah
suatu pelimpahan tugas pelayanan dan bukan pengangkatan seseorang ke martabat
yang lebih tinggi.
·
Agustinus (354- 430). Ia menyumbangkan teologi sakramen tahbisan dengan membandingkannya
dengan baptisan. Berhadapan dengan aliran donatisme, ia mengajarkan sifat
meterai yang tak dapat dihapus dari sakramen tahbisan.
Mengenai segi tata perayaan
pentahbisan pemimpin jemaat, Hipolitus dari Roma memberikan keterangan
yang lebih jelas. Menurutnya, inti pokok perayaan pentahbisan uskup, imam dan
diakon adalah penumpangan tangan dan doa, di mana doa tersebut memuat rumusan
sesuai dengan tingkatan tahbisannya. Ia juga memberikan beberapa catatan
mengenai masing-masing tingkatan tahbisan, yakni :
·
Uskup dipilih oleh seluruh umat
beriman dan ditahbiskan melalui penumpangan tangan oleh uskup-uskup tetangga.
Penumpangan tangan mengungkapkan permohonan akan turunnya Roh Kudus atas calon
uskup, lalu dilanjutkan dengan doa tahbisan. Dari doa tersebut terungkap
tugas-tugas uskup, seperti memimpin umat, memohonkan rahmat bagi umat, memimpin
ekaristi, mendapat kuasa untuk menahbiskan, melepaskan dosa orang, dan
melepaskan belenggu orang.
·
Imam ditahbiskan oleh uskup.
Bersama para imam, uskup menumpangkan tangan ke atas kepala calon. Uskup
mendoakan doa tahbisan. Imam adalah pembantu dan penasehat uskup, ia membantu
uskup dalam pembaptisan, ikut bersama uskup mengucapkan doa ekaristi, mewakili
uskup memimpin ekaristi, dan mengajar umat.
·
Diakon ditahbiskan oleh uskup
melalui penumpangan tangannya dan doa tahbisan. Hanya uskup yang menumpangkan
tangan ke atas calon diakon sebab ia ditahbiskan untuk membantu uskup, terutama
di bidang pelayanan orang-orang sakit pada jemaat.
3.4.1.2.2
Abad Pertengahan
Pada abad ini, praksis kepemimpinan
Gereja mengalami perkembangan yang berbeda dengan praktek Gereja pada abad-abad
pertama. Perkembangan atau perubahan yang terjadi itu, antara lain :
1)
Terjadi suatu pergeseran
eklesiologis dari masa Patristik ke abad pertengahan yang mempengaruhi teologi
tahbisan. Pada masa Patristik, pembedaan yang terjadi adalah antara umat
beriman kristiani dan umat lain yang non-kristiani. Pada abad pertengahan,
semua orang di wilayah kekaiseran Romawi praktis sudah menjadi Kristen. Maka,
pembedaan yang terjadi tidak lagi antara orang Kristen dan non-kristen, tetapi
antara pejabat atau pemimpin Gereja dan umat biasaa atau awam. Semakin hari
semakin jelas dan tegas jarak antara hierarki dengan awam. Keduanya semakin
dipisahkan. Hal ini tampak dalam ritus pentahbisan pula. Uskup diurapi dengan
minyak krisma pada kepalanya, ia dimasukan ke jabatan kepemimpinan jemaat,
kepadanya diberikan tongkat dan cincin sebagai lambang kedudukannya yang tinggi
dan luhur. Imam diurapi dengan minyak pada tangannya, dan kepadanya diberikan
alat-alat misa seperti patena dan piala sebagai symbol wewenang imam untuk
memimpin ekaristi.
2)
Yang menjadi pusat dan pokok
dalam sakramen tahbisan bukan jabatan uskup, tetapi justru jabatan imam. Pada
abad pertengahan, tahbisan dan jabatan uskup tidak dipandang sebagai sakramen.
Jabatan uskup memang tinggi dan mengatasi imam-imam, tetapi hanya dalam hal
kuasa yurisdiksi-administratifnya, dan bukan dalam arti teologis imamatnya atau
tahbisannya.
3)
Terjadi diskusi mengenai
sakramentalitas tingkatan tahbisan yang berbeda. Hal ini tampak dalam pandangan
beberapa tokoh Skolastik, seperti :
a)
Petrus Lombardus (1095-
1160). Ia menghitung tingkatan sakramen tahbisan
sampai tujuh sesuai dengan tujuh karunia Roh Kudus. Ketujuh tingkatan itu,
yaitu :
·
Ostiar : penjaga pintu
·
Lector
·
Eksorsis (pengusir setan)
·
Akolit
·
Subdiakon
·
Diakon
·
Imam
Tahbisan uskup tidak dipandang
sebagai tingkatan sakramen tahbisan.
b)
Thomas Aquinas. Ia melanjutkan gagasan tujuh tingkatan sakramen tahbisan dan ia
memandang bahwa ketujuh tingkatan itu bersifat sacramental, dengan Ekaristi
sebagai kriterium dan titik pandangnya.
Yang menarik sekaligus aneh dari
dari pandangan Thomas serta para teolog Skolastik adalah bagaimana penyerahan
piala dan patena dipandang sebagai materia pokok dari sakramen tahbisan.
Ternyata pandangan mereka ini diterima dan dilanjutkan oleh KONSILI FLORENZ.
Berhadapan dengan pemikiran dari
tokoh-tokoh Skolastik, Gereja pada masa ini memberikan beberapa ajaran
resminya. Ajaran resmi Gereja pertama-tama menanggapi pertanyaan-pertanyaan
khusus dalam sakramen tahbisan, tetapi kemudian berupa usaha untuk memahami
makna dan praksis sakramen tahbisan pada umumnya. Beberapa ajaran Gereja itu,
antara lain :
a)
Paus Bonifasius IX (1389-
1404) dalam buku Sacrae Religionis pernah
membolehkan seorang imam biasa untuk menjadi pelayan sakramen tahbisan pada
tingkatan rendah, seperti ostiar, lector, eksorsis dan akolit, dan bahkan untuk
tahbisan subdiakon, diakon dan juga imam. Namun, tiga tahun kemudian, izin ini
ditarik kembali karena munculnya berbagai persoalan yang merepotkan.
b)
Konsili Florenz (1439) mengajarkan bahwa materia sakramen tahbisan adalah penyerahan
alat-alat liturgy sesuai dengan tingkatan tahbisan. Formanya adalah rumusan doa
tahbisan. Pelayan biasa untuk menerimakan sakramen tahbisan adalah uskup dan
rahmat sakramennya adalah karunia rahmat sesuai dengan tugas pelayanan
jabatannya.
c)
Konsili Trente (1563) mengadakan siding untuk menanggapi ajaran kaum reformator. Martin
Luther menolak dengan tegas sakramentalitas sakramen tahbisan. Ia melihat
imamat lebih sebagai jabatan pelayanan pewartaan dan seorang pemimpin jemaat
hanya dipilih atau diangkat berdasarkan persetujuan seluruh jemaat. Konsili
Trente menyebut sakramen tahbisan dengan istilah sakramen imamat. Dengan
istilah “imamat”, ditekankan segi kultis-imam dari tugas pelayanan kepemimpinan
Gereja. Beberapa poin pokok ajaran Konsili Trente adalah :
1)
Imamat sunggu-sungguh sakramen
yang terdapat dalam Perjanjian Baru dan dengan sakramen ini, imam memiliki
kuasa untuk mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Tuhan dan untuk
mengampuni dosa.
2)
Sakramen Imamat benar-benar
ditetapkan oleh Kristus sendiri
3)
Sakramen Imamat memberikan
meterai yang tak terhapuskan
4)
Dalam Gereja Katolik, ada
tingkatan hierarki, seturut ketentuan ilahi, yang terdiri atas para uskup, imam
dan diakon.
5)
Kedudukan para uskup ada di
muka para imam, dan uskup memiliki kuasa untuk memberikan sakramen penguatan
dan penahbisan.
3.4.1.2.3
Sesudah Konsili Trente
hingga Abad XX
Teologi Katolik sesudah Trente tidak
memperhatikan ajaran Trente itu menurut konteksnya. Akibatnya, teologi katolik
melanjutkan refleksi mengenai sakramen tahbisan dari sisi kultisnya saja, yakni
imam sebagai orang yang memiliki kuasa untuk membuat konsekrasi dan melepaskan
dosa, sedangkan segi tugas pewartaan dari imam kurang diperhatikan.
Pada abad XX terjadi suatu gerakan
pembaruan teologi dan liturgy. Ada banyak tokoh teolog abad XX yang
memperbaharui teologi imamat atau tahbisan. Beberapa tokoh itu, antara lain :
1.
Yves Congar (1904- 1994). Ia menekankan kepemimpinan Gereja sebagai tugas pelayanan kepada
umat Allah. Tujuan tugas imamat adalah menghadirkan dan menyampaikan hidup
ilahi.
2.
Karl Rahner (1904- 1984). Ia menempatkan sakramen tahbisan dalam rangka eklesiologi, yakni
menjadi pengungkapan dan pelaksanaan Gereja sendiri.
3.
Paus Pius XII (1939- 1958) :
·
Melalui ensiklik Mediaotor
Dei (1947), Ia meneguhkan gerakan pembaruan liturgy sambil memberikan
catatan-catatannya. Ia mengatakan bahwa imamat umum umat beriman di satu pihak
diakui, tetapi ia masih sangat menekankan keunggulan imamat jabatan. Hanya para
imam sejati yang dapat mewakili pribadi Kristus dalam arti yang sebenarnya.
·
Melalui Surat Apostoliknya, Paus
memperbarui inti perayaan sakramen tahbisan, yaitu pada penumpangan tangan dan
doa tahbisan.
4.
Konsili Vatikan II membuat suatu pembaruan paham teologi sakramen tahbisan yang sangat
penting. Penyempitan-penyempitan yang terjadi sejak abad pertengahan
dikembalikan lagi ke semangat dan tradisi Kitab Suci dan tradisi para Bapa
Gereja. Beberapa ajaran Konsili Vatikan II mengenai sakramen tahbisan ialah:
a)
Imamat umum kaum beriman
diakui, diterima dan diteguhkan dengan resmi. Apa yang diperjuangkan oleh Luther
mengenai imamat umum ini diakui oleh Vatikan II. Konsili ini mengembalikan
seluruh makna imamat pada imamat Yesus Kristus, sebagai satu-satunya imamat
Perjanjian Baru.
b)
Konsili mengajarkan seluruh
segi tugas kepemimpinan Gereja. Tugas pelayanan kepemimpinan Gereja yang
dilaksanakan oleh orang-orang yang menerima tahbisan suci merupakan partisipasi
dalam tiga tugas Yesus, yakni mengajar (sebagai nabi), menggembalakan (sebagai
raja/ gembala) dan menguduskan (sebagai imam). [7]
c)
Dimensi eklesial atau
kolegialitas para uskup dalam kesatuan dengan uskup Roma ditekankan (bdk. LG
21; CD 4).
d)
Tahbisan uskup merupakan
kepenuhan sakramen imamat (LG 21). Dengan demikian, paham lama yang
tidak menempatkan tahbisan uskup sebagai sakramen dilampaui.
e)
Tahbisan imam memang bukan
puncak imamat, tetapi para imam ditahbiskan menurut citra Kristus Sang Imam
Agung untuk menunaikan tiga tugas Kristus. Hanya saja, para imam menjalankan
imamatnya dalam ketergantungannya dengan para uskup.
f)
Tahbisan diakon tidak lagi
hanya dipandang sebagai sekedar tahap untuk menerima tahbisan imamat, tetapi
untuk pelayanan.
3.4.1.3.
Pengertian Sakramen
Tahbisan
Tahbisan merupakan sakramen
perutusan yang dipercayakan oleh Kristus kepada murid-muridNya dan dilanjutkan
oleh Gereja sampai akhir zaman. Tahbisan adalah sakramen pelayanan apostolic
untuk menggembalakan Gereja dengan sabda dan rahmat Allah. Dengan sakramen imamat
menurut ketetapan Ilahi maka beberapa orang beriman diangkat menjadi
pelayan-pelayan rohani dengan ditandai oleh meterai yang tak terhapuskan, yakni
dikuduskan dan ditugaskan untuk menggembalakan umat Allah dengan melaksanakan
tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin.
Menerima tahbisan suci hanyalah
menerima rahmat dan karunia Allah. Akan tetapi, dari dirinya sendiri tahbisan
suci itu tetaplah anugerah Allah dan sama sekali tidak mengandalkan
keunggulan-keunggulan dan jasa pribadi orang yang ditahbiskan. Dari pihak yang
ditahbiskan diperlukan sikap penyerahan diri secara total dan utuh kepada Yesus
Kristus dan Gereja. Bentuk penyerahan diri yang paling jelas terwujud dalam
penghayatan nasehat-nasehat injili, yakni ketaatan, kemiskinan dan kemurnian.
Dengan tahbisan, maka seorang imam
diberi kuasa untuk mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus,
mempersembahkan kurban Kristus kepada Allah. Dengan tahbisan, seseorang menjadi
pemimpin dalam Gereja, bukan hanya dalam perayaan ekaristi atau dalam pelayanan
sakramen lainnya, melainkan dalam seluruh kehidupan dan kegiatan Gereja.
Tahbisan mencakup 3 (tiga) jenjang,
yaitu : tahbisan uskup (episkopat), tahbisan imam (presbiterat) dan tahbisan
diaken (diakonat).
a)
Tahbisan Uskup (episkopat)
Tahbisan uskup merupakan kepenuhan
sakramen tahbisan. Dengan tahbisan uskup, maka diterimakanlah kepenuhan
sakramen imamat yang biasanya disebut imamat tertinggi atau keseluruhan
pelayanan suci (bdk LG 21). Konsili Vatikan II menetapkan bahwa setiap
uskup, meskipun memiliki kuasa hanya pada satu Gereja setempat, namun
perhatiannya harus diarahkan kepada seluruh Gereja. Mereka harus melindungi
uman dan berusaha agar peraturan Gereja ditaati, mengorbankan cinta terhadap
seluruh tubuh Kristus.
Untuk menjadi seorang uskup, maka
seorang imam harus menerima tahbisan uskup. Ada pun tuntutan bagi seorang imam
(calon uskup) yang hendak menjadi uskup adalah :
- Unggul dalam iman, memiliki semangat merasul, dan bijaksana dalam mengambil keputusan
- Usia minimal 35 tahun
- Sekurang-kurangnya sudah 5 tahun ditahbiskan menjadi imam.
Seorang uskup, di dalam
keuskupannya, memiliki beberapa tugas, yakni :
- Tugas pewartaan
- Menguduskan umatnya (seturut martabat imamatnya)
- Memimpin umatnya (tugas kegembalaan).
b)
Tahbisan Imam
(presbiterat)
Imam adalah rekan sekerja uskup.
Sebelum tahbisan imam, calon telah menerima tahbisan diakon dan telah
melaksanakan tugasnya sebagai seorang diakon sekurang-kurangnya selama 6 (enam)
bulan. Berdasarkan sakramen tahbisan mereka ditahbiskan menurut citra Kristus,
Sang Imam Agung yang abadi untuk mewartakan injil serta menggembalakan umat
beriman dan merayakan perayaan ekaristi. Karena itu, seorang imam memiliki
beberapan tugas, yakni :
- Mewakili Kristus dan menampakkannya kepada semua orang yang ingin bertemu dengan Dia melalui perayaan ekaristi
- Menolang umat beriman untuk dapat merayakan ekaristi secara benar dengan cara mewartakan kabar gembira dalam pelajaran di sekolah-sekolah, melalui kotbah atau juga dengan memberikan nasehat dan bimbingan.
c)
Tahbisan Diaken
(diakonat)
Tahbisan diakon merupakan bagian
dari jenjang tahbisan. Tahbisan diakon adalah tahbisan yang lebih rendah pada
tingkat hierarkis. Diakon ditahbiskan oleh uskup dan memiliki tugas :
·
Melayani umat Allah dalam
pelayanan liturgi sabda
·
Membantu imam dan uskup dalam
tugas-tugas yang sesuai dengan tahbisan diakonatnya yang memiliki kekhasan
yakni untuk melayani. Diakon adalah seorang pelayan.
Seorang diakon ditahbiskan untuk jabatan
pelayanan, yakni membantu uskup lebih-lebih dalam pelayanan karya amal. Seorang
diakon boleh membantu seorang imam atau Uskup dalam misa, berkotbah, membagikan
komuni suci, membabtis dan menjadi saksi dalam perkawinan dan memimpin upacara
kematian.
3.4.1.4.
Perayaan dan Pemberi
Sakramen Tahbisan
Perayaan sakramen tahbisan mempunyai
ritus hakiki yang sama pada ketiga jenjangnya. Uskup meletakkan tangannya atas
kepala orang yang ditahbis dan memohonkan kepada Tuhan dalam doa tahbisan (yang
disesuaikan dengan jenjang yang bersangkutan) curahan Roh Kudus atas si calon dan anugerah-anugerah rahmat yang khusus.
Kristus adalah pelaku utama dalam
sakramen tahbisan (sebagaimana juga pada sakramen lainnya). Kristus bertindak
melalui petugas Gereja , yakni melalui para uskup yang memiliki wewenang penuh.
Sebagai pengganti para rasul, para uskup melanjutkan karya Kristus dalam hal
memilih, memanggil dan mengutus orang untuk menjadi gembala umatNya.
3.4.1.5.
Makna (buah-buah)
Sakramen Tahbisan
Sakramen tahbisan memiliki makna
sebagai :
·
Meterai yang tidak terhapus;
oleh rahmat khusus dari Roh Kudus sakramen ini membuat penerima serupa dengan
Kristus supaya ia dapat menjadi alat Kristus untuk melayani GerejaNya. Tahbisan
memberi kuasa kepadanya untuk bertindak sebagai wakil Kristus. Tahbisan
diberikan satu kali untuk selamanya. Ia memberi tanda rohani yang tidak
terhapus dan tidak diulangi atau dikembalikan
·
Rahmat Roh Kudus; oleh rahmat
khusus dari Roh Kudus sakramen ini membuat penerima serupa dengan Kristus,
Imam, Guru dan Gembala yang harus ia layani. Seorang uskup terutama mendapat
rahmat kekuatan sehingga ia dapat memimpin Gereja dengan teguh dan bijaksana.
Kepada para diakon rahmat sacramental memberi kekuatan untuk “mengabdikan diri
kepada umat Allah dalam pelayanan liturgy, dalam Sabda dan amal kasih, dalam
persekutuan dengan uskup dan para imam”.
3.4.2.
SAKRAMEN PERKAWINAN
3.4.2.1.
Definisi Perkawinan
Kanon 1055 # 1 tidak memberi
definisi tetapi deskripsi tentang perkawinan. Kanon ini menekankan dua hal penting. Pertama, perkawinan adalah
suatu perjanjian. Perjanjian adalah dasar untuk membentuk kebersamaan hidup
antara seorang pria dan wanita. Istilah yang digunakan untuk menyebutkan kata
“perjanjian” adalah FOEDUS. Foedus adalah term bibles yang digunakan dalam
Gaudium Et Spes no. 47-52 yang
menggambarkan perjanjian antara Yahwe dengan Israel dan antara Kristus dengan
Gereja-Nya. Dengan demikian, konsep perkawinan ini tidak hanya mempunyai makna
kodrati tetapi juga memiliki makna personal dan sacramental. Kedua, perkawinan
adalah suatu realitas permanent karena merupakan suatu kebersamaan seluruh
hidup.
Kanon 1055 # 2 menjelaskan bahwa perkawinan
adalah sebuah kontrak (bdk Kanon 1097 # 2). Term kontrak tetap digunakan
untuk memperlihatkan hakekat perkawinan sebagai lembaga kodrati yang diangkat
ke martabat sakramen. Tradisi Gereja mengenal dua teori kontrak yaitu contractus
reale dan contractus consensuale. Contractus reale menyata pada saat
actus coniugalis. Sedangkan contractus consensuale dijalankan pada saat
kedua mempelai menyatakan kesepakatan atau consensus untuk membentuk satu
kebersamaan hidup.
Definisi tentang perkawinan dapat
dijelaskan dalam pemikiran beberapa tokoh berikut:
- Menurut Yustinianus : perkawinan adalah persatuan antara seorang pria dan seorang wanita yang mencakup cara hidup pribadi.
- Modestinus : perkawinan adalah persekutuan dan kebersamaan seluruh hidup antara seorang pria dan seorang wanita berdasarkan hukum Ilahi dan manusiawi.
- Thomas Sanchez : perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikat cara hidup pribadi dan bebas dari halangan-halangan.
- Petrus Lombardus : perkawinan adalah persekutuan nikah antara seorang pria dan seorang wanita yang mencakup cara hidup pribadi dan tidak terikat halangan. Ia mengembangkan suatu teologi perkawinan. Ia mengajarkan bahwa perkawinan itu suatu sakramen. Sebagai sakramen, perkawinan menjadi tanda dari hubungan Kristus dan Gereja. Perkawinan itu dikehendaki Allah, bahkan sudah didirikan Allah sejak manusia masih di Firdaus dan belum berdoa (bdk. Kej 2 : 24).
- Hugo di St. Vistore : perkawinan adalah consensus nikah antara dua pribadi yang layak menurut hukum.
- De Smet : perkawinan adalah suatu kontrak antara seorang pria dan wanita yang mau bersatu dan mau menjalin hubungan seksual yang intim, pribadi dan stabil.
- F.X. Wernz dan P. Vidal : mengemukakan dua arti perkawinan yaitu perkawinan sebagai matrimonium in fieri yang berarti kontrak legitim dan pribadi antara seorang pria dan wanita yang terarah kepada keturunan dan pendidikan anak dan matrimonium in facto esse yaitu perkawinan sebagai persekutuan legitim dan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita yang terarah kepada prokreasi dan pendidikan anak.
3.4.2.2.
Sakramentalitas
Perkawinan
Diskusi mengenai sakramentalitas
perkawinan sudah berawal sejak zaman Patristik. Bapa-bapa Gereja pada umumnya
menyadari karakter ilahi dari perkawinan. Perkawinan dipahami sebagai figure
persekutuan Yahwe dengan Israel dan antara Kristus dengan GerejaNya (Mat 19 :
4-6; I Kor 6 : 12- 20; Ef 5 : 21- 32). St. Agustinus, dalam kaitannya dengan bonum
sacramentum memandang relasi suami dan isteri sebagai symbol perkawinan
atau persekutuan antara Kristus dan GerejaNya.
Sakramentalitas perkawinan juga
menjadi topic yang dibicarakan pada zaman Skolastik. Dengan berdasarkan pada Ef
5 : 32 para penganut Skolastik melihat persekutuan Kristus dan Gereja sebagai
model relasi suami dan isteri. Menurut mereka ada dua tahap yang berbeda dari
perkawinan yaitu consensus sebagai elemen konstitutif dan konsumasi atau
actus coniugalis sebagai elemen integral dari perkawinan sempurna. Meskipun
demikian, para teolog Skolastik tidak sepakat dalam menentukan rahmat
sacramental perkawinan. Menurut mereka, perkawinan tidak mempunyai kekuatan
memberikan rahmat. Bagi mereka, perkawinan adalah remedium concupiscentiae
yaitu sebagai obat dari nafsu dan perkawinan sebagai suatu status hidup yang
lebih rendah dari status hidup keperawanan para religius.
Konsili FIRENZE (1439- 1445), tanpa
mengabaikan ajaran-ajaran para teolog sebelumnya tentang sakramen perkawinan,
menetapkan bahwa sakramen ketujuh adalah sakramen perkawinan. Perkawinan adalah
tanda persekutuan Kristus dan Gereja. Meskipun demikian konsili ini tidak
menyinggung tentang rahmat sacramental dari perkawinan.
Rahmat sacramental dari perkawinan
baru dibicarakan dalam Konsili TRENTE (1545-1563). Dalam doctrina de
sacramento matrimonii Konsili Trente menegaskan bahwa perkawinan sungguh
merupakan salah satu sakramen perjanjian baru yang menggambarkan persatuan
cinta antara Kristus dan Gereja. Perkawinan menyebabkan rahmat yang berdaya
guna untuk menyempurnakan cinta kodrati, memperkuat kesatuan yang tak
terceraikan dan menyucikan kedua mempelai.
Refleksi yang lebih mendalam tentang
sakramentalitas perkawinan terdapat dalam ensiklik Casti Connubii (31
Desember 1930). Dalam ensiklik itu Paus Pius XI menekankan bahwa perjanjian
nikah di antara orang-orang yang sudah dibabtis mempunyai makna sacramental.
Perkawinan adalah representasi persekutuan nikah antara Kristus dan Gereja. Makna
sacramental itu secara penuh dan sempurna diaktualisasikan dalam perkawinan ratum
et consummatum. Ensiklik ini menekankan kembali doktrin Trente bahwa
sakramen perkawinan menyalurkan rahmat special yaitu menyempurnakan cinta
kodrati, memperkuat kesatuan yang tak terceraikan dan menyucikan kedua
mempelai.
Konsili Vatikan II memiliki ajaran
yang berbeda dengan ajaran sebelumnya. Doktrin Vatikan II tidak lagi melihat
perkawinan sebagai kontrak tetapi sebagai foedus atau perjanjian. FOEDUS
lebih jelas mengungkapkan realitas perkawinan sebagai lambang persekutuan cinta
antara Kristus dan Gereja, sebagaimana Kristus sendiri mencintai Gereja dan
memberikan diriNya untuk Gereja. Demikian
pula halnya dengan perkawinan. Melalui pemberian diri yang timbal balik maka
suami dan isteri saling mencintai dengan kesetiaan abadi. Melalui perjanjian
cinta, suami dan isteri berpartisipasi dalam cinta Kristus dan Gereja.
Perjanjian cinta itu diekspresikan dalam tindakah khas perkawinan yaitu actus
coniugalis.
Dalam ensiklik Familiaris
Consortio (22 November 1981) Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa
perkawinan adalah sarana penyucian suami isteri. Perkawinan kristiani yang pada
dasarnya menyalurkan rahmat tidak hanya membuat suami isteri diteguhkan dan
disucikan tetapi sekaligus mendorong mereka untuk mengekspresikan nilai-nilai
khas kristiani dalam kehidupan setiap hari (bdk FC no 56 dan 94).
Martabat sacramental perkawinan
kristiani dan daya gunanya menurunkan lima konsekuensi yuridis-praktis yaitu :
1)
Perkawinan antara dua orang
yang sudah dibabtis adalah perkawinan sacramental. Ini berarti bahwaorang telah
dibabtis tidak harus yang beragama katolik karena persyaratan utamanya adalah
babtisan Kristus.
2)
Perkawinan sah antara dua orang
yang tidak dibabtis atau seorang daripadanya sudah dibabtis menjadi perkawinan
sacramental pada saat mereka menerima babtisan. Dengan demikian, perkawinan
mereka itu menjadi perkawinan sacramental hanya karena babtisan.
3)
Perkawinan yang terjadi antara
seorang yang sudah dibabtis dengan seorang yang belum atau tidak dibabtis bukan
merupakan perkawinan sacramental.
3.4.2.3.
Tujuan Perkawinan
St. Agustinus menggunakan term bona
matrimonii untuk menjelaskan tujuan perkawinan dan sifat hakikinya.
Menurutnya ada 3 bona matrimonii yaitu (1) bonum prolis yang
berkaitan kelahiran dan pendidikan anak, (2) bonum fidei yang menyata
dalam term monogamy, dan (3) bonum sacramenti yang terungkap dalam sifat
tak terceraikan.
Kanon 1055 # 1 menyebutkan bahwa
dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah kepada kesejahteraan suami isteri (bonum
coniuguum serta kelahiran dan pendidikan anak (generation education
prolis atau bonum prolis). Istilah bonum coniuguum menampilkan
aspek personal dari perkawinan. Kanon ini tidak menggunakan term tujuan.
Meskipun demikian, kanon ini mengatakan bahwa perkawinan terarah kepada
kesejahteraan suami-isteri serta terarah kepada prokreasi dan pendidikan anak.
3.4.2.4.
Sifat Hakiki Perkawinan
Kanon 1056
menjelaskan bahwa sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terceraikan
yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekuatan khusus atas dasar sakramen.
Monogamy atau unitas
berarti perkawinan yang terjadi
antara seorang pria dan wanita. Unitas bertentangan dengan poligami (poliandri
dan poligini). Unitas berarti kesetiaan seumur hidup. Sedangkan ketakceraian
atau indissolubilitas berarti
ikatan abadi atau ikatan yang tak terputuskan. Indisolubilitas mempunyai dua
bentuk yaitu (1) indissolubilitas intrinsik berarti suatu ikatan perkawinan
tidak bisa diputus oleh kemauan suami isteri yang telah menyatakan consensus
yang tidak dapat ditarik kembali dan (2) indissolubilitas ekstrinsik berarti
ikatan perkawinan tidak bisa diputus oleh kuasa manusia seperti instansi
tertentu.
3.4.2.5.
Tipe-Tipe Perkawinan
Tipe-tipe
perkawinan dibahas dalam Kanon 1061. Kanon ini menyebutkan beberapa tipe
perkawinan seperti perkawinan ratum tantum, perkawinan ratum et consummatum,
perkawinan putatif, perkawinan kanonik dan perkawinan sipil, perkawinan public
dan perkawinan rahasia, perkawinan morganatic, perkawinan clandestin, dan
perkawinan legitimum.
Pertama, Kanon 1061 # 1 menjelaskan tentang tipe perkawinan ratum tantum. Perkawinan
ratum tantum adalah perkawinan yang sah, yang terjadi antara dua orang yang
telah dibabtis dan belum disempurnakan dengan persetubuhan. Untuk membuktikan
bahwa perkawinan itu belum disempurnakan dengan persetubuhan maka terdapat tiga
cara untuk membuktikannya yaitu (1) dengan membuktikan bahwa suami dan isteri
itu tidak memiliki kesempatan untuk melakukan persetubuhan, (2) pembuktian
melalui argument fisik di mana bukti ini diperoleh melalui kesaksian dari ahli
medis apakah sudah terjadi persetubuhan atau tidak, dan (3) melalui argumentasi
moral melalui sumpah suami isteri dan saksi-saksi.
Kedua, Kanon 1061 # 2
menjelaskan tentang perkawinan ratum et consummatum. Perkawinan ratum et
consummatum adalah perkawinan yang sah yang terjadi antara dua orang yang telah
dibabtis yang telah disempurnakan dengan persetubuhan. Konstitusi Pastoral Gaudium
et Spes no. 49 memperkenalkan suatu unsure baru yakni persetubuhan yang
dijalankan secara manusiawi (humano modo) yang pada sendirinya terbuku
kepada kelahiran anak. Dengan demikian, suatu perkawinan dianggap consummatum
kalau suami dan isteri sudah hidup bersama dan melakukan persetubuhan secara
manusiawi yakni sungguh diinginkan, tanpa paksaan, dengan sadar dan penuh
tanggun jawab dan muncul dari rasa saling mencintai satu sama lain.
Ketiga, Kanon 1061 # 3
berbicara tentang perkawinan putatif. Perkawinan putatif adalah perkawinan yang
secara obyektif tidak sah tetapi sudah dirayakan dengan itikad baik
sekurang-kurangnya oleh satu pihak namun ketidakabsahannya tidak diketahui. Perkawinan
ini disebut tidak sah atau invalid karena ada cacad yang menghambat
validitasnya. Sifat putatif dari suatu perkawinan akan berhenti ketika kedua
mempelai menerima kepastian tentang nullitas atau ketidaksahan
perkawinan terdahulu. Jika sudah ada kepastian tentang nullitas maka ada
dua kemungkinan yang bisa muncul yaitu (1) mengesahkan perkawinan itu dengan
peneguhan biasa (convalidatio simplex Kan. 1156-1160) atau dengan penyembuhan
pada akar (sanatio in radice Kan. 1161- 1165) dan (2) membubarkannya sesuai
dengan prosedur yang berlaku (kalau tidak ada itikad baik). Selain itu,
anak-anak yang lahir dari perkawinan putatif dianggap anak-anak sah (Kan. 1137)
dan anak-anak yang tidak sah akan disahkan oleh perkawinan yang baru (Kan.
1139).
Keempat, Kanon 1059, 1108 dan
1117 berbicara tentang perkawinan Kanonik dan perkawinan sipil. Perkawinan
kanonik adalah perkawinan yang diatur menurut legislasi kanonik (Kan.1059).
Perkawinan ini berbeda dengan perkawinan sacramental sebab orang-orang yang
terikat oleh keharusan mengikuti tata peneguhan kanonik adalah orang-orang yang
tidak atau belum dibabtis yang mengontrak perkawinan dengan pihak yang sudah
dibabtis (Kan. 1117). Sedangkan perkawinan sipil adalah perkawinan yang terjadi
antara orang-orang yang tidak terikat kepada forma canonica katolik dan
dirayakan di hadapan pembesar sipil. Undang-Undang Perkawinan RI No. 1 tahun
1974 pasal 2 ayat 1 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan. Kemudian ayat 2 menegaskan
bahwa perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Karena
itu, berdasarkan undang-undang ini tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agama dan kepercayaan. Berdasarkan undang-undang tersebut maka
dapat dijelaskan bahwa di Indonesia tidak ada perkawinan sipil tetapi
perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaan yang kemudian harus dicatat
atau diregistrasikan di kantor Catatan Sipil.
Kelima, Kanon 1130-1133
berbicara tentang perkawinan public dan perkawinan rahasia. Suatu
perkawinan mendapat kualifikasi public bila dirayakan coram ecclesia
yakni di hadapan representan public gereja dan palam berarti terbuka dan
disaksikan banyak orang. Sedangkan perkawinan rahasia adalah perkawinan yang
dirayakan coram ecclesia tetapi non palam. Perkawinan rahasia
atau occultum adalah perkawinan
tanpa public atau dalam arti sempit berarti perkawinan batiniah di hadapan
pejabat resmi gereja dengan dua orang saksi yang disertai dengan kewajiban
untuk menyimpan rahasia perkawinan itu. Gereja mengizinkan perkawinan rahasia
dengan beberapa alasan seperti :
- Adanya ancaman hukuman terhadap perkawinan antara kulit putih dan kulit hitam
- Adanya ancaman penculikan atau perampasan hak-hak tertentu menurut adapt kampong atau suku tertentu jika perkawinan itu berlangsung secara public
- Adanya reaksi masyarakat tertentu atas perkawinan yang tidak disetujui misalnya antara bangsawan dan rakyat jelata.
Keenam, perkawinan morganatic. Istilah
morganatic berasal dari dua kata bahasa Jerman yakni morgen (pagi-pagi)
dan gabe (hadiah). Tipe perkawinan ini lebih dikenal dalam hukum Jerman
lalu menyebar ke banyak bangsa tetapi tidak diakui oleh Gereja. Perkawinan
morganatic berarti perkawinan antara seorang laki-laki dari kelas sosial yang
tinggi dengan seorang wanita dari kondisi sosial yang rendah. Isteri dan
anak-anak yang lahir dari perkawinan ini tidak akan menerima martabat sipil
atau warisan suami atau bapak mereka.
Ketujuh, perkawinan clandestine. Perkawinan clandestine
(gelap) adalah perkawinan yang dilangsungkan tanpa intervensi kuasa gereja dan
tata peneguhan kanonik. Perkawinan ini
selalu dilarang oleh Gereja dan Konsili Trente menganggapnya sebagai perkawinan
tidak sah.
Kedelapan, perkawinan legitimum. Perkawinan ini
disebut dalam Kodeks Lama yakni Kanon 1015 # 3.
Menurut kodeks lama, perkawinan ini adalah perkawinan iuxta legem
atau perkawinan berdasarkan hukum.
3.4.2.6.
Halangan Perkawinan
Umumnya dan Dispensasi (Kan. 1073-1082)
Kodeks lama membedakan dua katergori
halangan perkawinan yakni impedimentum dirimens (halangan yang
menggagalkan ) dan impedimentum impediens (halangan yang melarang). Kodeks
baru menghapus kategori yang kedua dan hanya berbicara tentang kategori
pertama.
Kanon 1073 menjelaskan bahwa
halangan yang menggagalkan membuat seseorang tidak mampu menikah secara sah. Impedimentum
dirimens dikategorikan ke dalam lex inhabilitans yakni undang-undang yang menjadikan seseorang
tidak sanggup melakukan tindakan yuridis.
Halangan perkawinan dapat dibagi
atas tiga kelompok yakni :
a)
Halangan berdasarkan bukti
(Kan. 1074). Pembuktian itu berdasarkan surat babtis, surat perkawinan, dan
dokumen tahbisan.
b)
Halangan berdasarkan
asal-usulnya (Kan. 1075). Halangan perkawinan yang berasal dari hukum kodrat
dan hukum positif gereja. Yang termasuk halangan dari hukum kodrat adalah :
·
Impotensi (Kan. 1084)
·
Ikatan perkawinan (Kan. 1085)
·
Hubungan darah garis lurus dan
garis menyimpang tingkat kedua (kan. 1091 # 1-2)
Sedangkan yang termasuk dalam
halangan perkawinan berdasarkan hukum
positf gereja adalah :
·
Halangan usia (Kan. 1083)
·
Disparitas cultus (Kan. 1090)
·
Tahbisan suci (kan. 1087)
·
Kaul (Kan. 1088)
·
Penculikan (Kan. 1089)
·
Pembunuhan (Kan. 1090)
·
Hubungan darah garis menyamping
tingkat ketiga dan keempat serta kelayakan public (kan. 1093)
·
Hubungan semenda (kan. 1092)
yaitu perkawinan antara suami dengan orang yang mempunyai hubungan darah dengan
isterinya atau antara isteri dengan orang yang mempunyai hubungan darah dengan
suaminya.
·
Adopsi (kan. 1094)
3.4.2.7.
Efek-Efek Perkawinan
(Kan. 1134-1140)
Pada umumnya terdapat 4 efek dari
perkawinan yakni (1) ikatan abadi dan eksklusif, (2) kesamaan hak dan kewajiban
suami isteri, (3) tanggung jawab orang tua terhadap anak dan (4) legitimasi
anak.
Kanon 1134 menjelaskan bahwa efek
dari perkawinan itu adalah bersifat abadi-eksklusif dan sacramental. Suatu
perkawinan itu bersifat abadi, tetap, unik dan sacramental sebab perkawinan itu
adalah pelaksanaan dari kehendak Allah. Allahlah yang menciptakan persatuan
hidup dan cinta kasih suami isteri dan melengkapi dengan hukumNya.
Kanon 1135 menegaskan bahwa suami
dan isteri memiliki kewajiban dan hak yang sama mengenai hal-hal yang
menyangkut persekutuan hidup perkawinan. Melalui consensus perkawinan, suami dan isteri saling memberi
dan menyerahkan diri secara total. Hal ini menimbulkan kesamaan hak dan
kewajiban mendasar. Ekspresi cinta dan karakter boleh berbeda menurut kultur
dan kepribadian tetapi selalu ada beberapa elemen mendasar yang sama seperti
hak dan kewajiban membangun komunitas hidup dan relasi cinta personal dan juga
hak untuk berpisah tanpa kehilangan ikatan perkawinan.
Kanon 1136 mengemukakan tanggung
jawab orang tua terhadap anak. Orang tua mempunyai kewajiban sangat berat dan
hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak baik fisik, sosial
dan cultural maupun moral dan religius. Kanon ini menekankan hak primer dan
kewajiban orang tua untuk mendidik anak sebagai mahkota dari cintanya. Hak dan
kewajiban untuk mendidik anak merupakan akibat dari perkawinan yang terarah
kepada kelahiran. Pendidikan itu bersifat integral.
Kanon 1137-1140 berbicara tentang
legitimasi anak. Dalam kanon 1137 dijelaskan bahwa anak adalah sah apabila
dikandung atau dilahirkan dari perkawinan yang sah atau putatif. Secara ideal,
seorang anak disebut anak sah jika konsepsi dan kelahirannya terjadi dalam
perkawinan. Akan tetapi kadang-kadang kenyataannya berbicara lain. Ada anak
yang konsepsinya dalam perkawinan tetapi kelahirannya terjadi di luar
perkawinan. Misalnya suami sudah meninggal atau ikatan perkawinan putus. Untuk
hal seperti ini maka legislasi kanonik memberikan tuntutan minimal yaitu
sekurang-kurangnya satu moment terjadi dalam perkawinan (entah konsepsi atau
pun kelahirannya). Selain itu, seorang anak disebut sah jika suatu perkawinan
mendapat kualifikasi sah yaitu perkawinan yang bebas dari halangan yang
menggagalkan. Sedangkan seorang anak disebut sebagai anak tidak sah apabila
anak itu dikandung dan dilahirkan dari hubungan gelap (hasil incest atau
hubungan pelacuran) sebab konsepsi dan kelahirannya terjadi di luar perkawinan.
3.4.2.8.
Pastoral dan Persiapan
Perkawinan
3.4.2.8.1.
Motif dan Bentuk
Persiapan Perkawinan
Kodeks baru mempunyai perhatian
special terhadap pastoral dan persiapan soiritual dan liturgis bagi orang-orang
yang akan menikah. Pada umumnya ada beberapa motif persiapan perkawinan yakni :
- Untuk membantu setiap orang beriman kristiani agar berkembang dan hidup dalam semangat dan kesempurnaan kristiani (Kanon 1063)
- Karena setiap orang beriman mempunyai hak fundamental untuk menikah (Kanon 1058) dan menerima bantuan spiritual dari Gereja melalui pewartaan Sabda dan sakramen (Kanon 213)
- Agar kedua mempelai bisa menerima sakramen secara sah dan halal (Kanon 1068) dan setia memelihara perjanjian perkawinan dan kesucian hidup berkeluarga (Kanon 1063, 4˚.
Kanon 1063 menjelaskan tentang
bentuk-bentuk persiapan perkawinan. Terdapat empat bentuk persiapan perkawinan
yakni :
a)
Pewartaan kategorial
(Kanon 1063, 1˚). Pewartaan ini hendaknya dimulai sejak dini
dalam keluarga agar anak-anak perlahan-lahan diarahkan untuk memilih dan
menentukan status hidup tertentu (berkeluarga atau hidup selibat). Bentuk
pewartaannya adalah kotbah dan katekese sesuai dengan kategori usia. Isi
pewartaan adalah tentang makna perkawinan kristiani dan tugas-tugas
suami-isteri serta tanggung jawab sebagai orang tua.
b)
Persiapan pribadi (Kanon
1063, 2˚) : persiapan pribadi sangat perlu agar
kedua mempelai sungguh menyadari kesucian status hidup baru dan bisa merayakan
perkawinan dengan sikap batin yang baik. Persiapan pribadi mencakup usaha :
v
Mengikuti kursus persiapan
perkawinan
v
Membekali diri dengan pengetahuan
tentang seksualitas dan hidup berkeluarga
v
Mengontrol kesehatan fisik
v
Sedapat mungkin berusaha untuk
dapat menerima sakramen penguatan, tobat dan ekaristi sebelum perkawinan (Kanon
1065).
c)
Perayaan Liturgi (Kanon
1063, 3˚) : perayaan liturgy terutama ekaristi itu
penting karena merupakan sumber dan puncak kehidupan kristiani. Ekaristi adalah
sakramen kasih saying, tanda kesatuan, ikatan cinta. Dalam liturgy perkawinan
kedua mempelai mengambil bagian dalam misteri persatuan dan cinta antara Kristus
dan GerejaNya. Karena itu, pernikahan hendaknya dilangsungkan dalam misa yaitu
sesudah pembacaan injil dan homili dan sebelum doa umat.
d)
Pendampingan pasca nikah
(Kanon 1063, 4˚) : para suami-isteri hendaknya
terus dibantu, didukung dan didampingi agar mereka tetap setia pada perjanjian
dan tugas yang lahir dari perjanjian itu. Suami-isteri hendaknya disadarkan
terus bahwa dengan menerima sakramen nikah mereka menerima tugas mengemban misi
gereja dan membangun kerajaan Allah dalam keluarga. Mereka mewujudkan misi ini
dengan menjaga keluhuran perkawinan, memajukan karya karitatif terhadap orang
miskin.
3.4.2.8.2.
Agen Persiapan Patoral
Perkawinan
Dalam persiapan pastoral perkawinan
terdapat beberapa pihak yang hadir sebagai agen dalam mempersiapkan perkawinan
itu. Pihak-pihak itu adalah :
a)
Konferensi Waligereja (kanon
1067) yang bertugas untuk menetapkan norma-norma mengenai penyelidikan status
liber dan pengumuman nikah
b)
Ordinaris wilayah (Kanon 1064)
yang bertugas menata dan mencari metode pastoral yang tepat dalam mendampingi
kaum muda agar mereka mampu memilih cara hidup tertentu
c)
Pastor paroki (kanon 1070)
sebagai penanggung jawab utama dari pendampingan pastoral suami-isteri. Seorang
pastor hendaknya :
·
Berusaha menyiapkan setiap umat
yang datang meminta pelayanan sacramental dan tetap mengindahkan norma-norma
yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwewenang.
·
Berusaha mengenal, mengunjungi
dan mengambil bagian dalam keprihatinan, kecemasan dan kedukaan
keluarga-keluarga serta menghibur mereka dalam nama Tuhan
·
Melibatkan para klerus,
biarawan-biarawati serta kaum kristiani awam dalam berkatekese
·
Menghantar pasangan agar mereka
bisa menerima sakramen dengan baik
·
Meneguhkan perkawinan umat yang
mempunyai domisili atau kuasa domisili di wilayah parokinya atau mendelegasikan
wewenang itu kepada pastor lain bila dia berhalangan.
·
Membuat penyelidikan kanonik.
d)
Umat beriman (Kanon 1069).
Setiap umat beriman yang mengetahui halangan yang mengikat mempelai tertentu
wajib menyampaikannya kepada pastor paroki atau ordinaris wilayah sebelum
perayaan perkawinan dilangsungkan. Moment yang paling tepat untuk menyampaikan
hal itu adalah selama pengumuman kanonik. Pengumuman kanonik dibuat di paroki
tempat kedua mempelai sungguh dikenal.
BAB IV
PENUTUP
Ketujuh sakramen merupakan liturgy dalam arti yang paling padat.
Liturgy merupakan doa Gereja dalam kesatuan denga Kristus. Dalam perayaan
liturgy yang paling resmi yakni dalam sakramen-sakramen, Kristus diimani
kehadiranNya secara istimewa. St. Agustinus menyebut sakramen sebagai rahmat
yang tak kelihatan dalam bentuk yang kelihatan. Rahmat adalah kasih Allah
kepada manusia. Disebut rahmat karena dari pihak manusia tidak ada apa-apa yang
dapat dipandang sebagai dasar atau “hak” untuk kasih Allah itu. Rahmat adalah misteri
kasih pribadi Allah yang mengatasi segala pikiran dan angan-angan manusia.
Rahmat berarti manusia diterima sebagai anak dan dibuat “serupa dengan gambaran
Anak-Nya” yaitu Yesus Kristus. Rahmat adalah iman.
Berdasarkan
pemikiran seperi di atas maka dapat dijelaskan bahwa sakramen adalah tanda
kehadiran Allah. Sakramen adalah rahmat yang mengangkat martabat manusia
menjadi yang lebih berkenan pada Allah. Kiranya tulisan ini dapat menjadi
masukan berharga bagi siapa saja yang membacanya khususnya bagi umat beriman.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhi, Wibowo F. X. Sakramen
Rekonsiliasi. Yogyakarta : Kanisius, 1993
Dister, Nico Syukur. Teologi
Sistematika 2- Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta: Kanisius, 2004
Gittowiratmo, St. Gereja Dalam
Perubahan. Ende : Nusa Indah, 1992
----------------------. Seputar
Dewan Paroki. Yogyakarta : Kanisius, 2003
Kirchberger, George. Gereja Yesus
Kristus Sakramen Roh Kudus. Ende : Nusa Indah, 1987
Konferensi Waligereja Indonesia. Kitab
Hukum Kanonik. Jakarta: Obor, 1995
Konferensi Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik- Buku Informasi
dan Referensi. Yogyakarta : Kanisius, 1996
Martusudjita, E. Sakramen-Sakramen
Gereja. Yogyakarta : Kanisius, 2003
Sudarminta, J. “Sains dan Masalah Ketuhanan”, dalam Diskursus
: Jurnal Filsafat dan Teologi – Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2002
Tasar, Frans. Liturgi
Orang Sakit. Ledalero: LPBAJ, 1994
TUGAS
1.
Pembagian 7 kelompok
2.
Setiap kelompok membahas setiap sakramen secara teoretis,
menyusun TPE atau teks ibadat penerimaan setiap sakramen dan mempraktekkannya.
3.
Tugas ini untuk menggantikan 3 ulangan.
[1] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematis 2-Ekonomis Keselamatan, Yogyakarta: Kanisius,
2004, p. 313
[2] Ibid.,
pp. 358-417
[3] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta: Kanisius,
1996, p. 421
[4] Minyak Krisma diberkati oleh Uskup dalam
Misa Krisma yang dibuat secara khusus paa pagi hari Kamis Putih di
gereja Katedral, yang dihadiri oleh para imam dan wakil umat dari seluruh
keuskupan. Minyak Krisma adalah campuran minyak zaitun atau minyak dari
tumbuh-tumbuhan dengan suatu bahan pengharum yang disebut balsam.
[5] Aktus Pengurapan biasa dibuat juga
untuk katekumen, orang sakit dan calon imam yang akan ditahbiskan menjadi imam.
Pengurapan dengan minyak katekumen sebelum pembabtisan berarti pembersihan dan
penguatan; pengurapan orang sakit berarti penyembuhan dan penguatan; pengurapan
para waktu tahbisan adalah tanda konsekrasi.
[6] Presbyteroii adalah orang yang
mengambil bagian dalam kuasa para rasul, orang yang memiliki kedudukan resmi
dalam persekutuan umat beriman. Santo Petrus melihat presbyteroi sebagai
gembala-gembala yang bertanggung jawab kepada jemaat (1 Ptr 5: 1- 2), sedangkan
Santo Yakobus menyebutkan presbyteori hanya untuk para pemimpin jemaat,
tidak termasuk Uskup.
[7] Bandingkan Lumen Gentium 21. 28
No comments:
Post a Comment