Thursday, January 31, 2013

bahan kuliah Sakramentologi


BAHAN KULIAH SAKRAMENTOLOGI
OLEH:  PINO JEBARUS, S. FIL
NIDN: 0809068002
PRODI TEOLOGI STKIP ST.  PAULUS RUTENG


BAB I
PENDAHULUAN


1.1.            TUJUAN PERKULIAHAN SAKRAMENTOLOGI

Konsili Vatikan II menyebut Gereja “persekutuan iman, harapan dan cinta” (LG 8), “persekutuan persaudaraan orang yang menerima Yesus dengan iman dan cinta kasih” (GS. 32). Karena itu, Roh Kuduslah yang menciptakan persekutuan umat beriman dengan menghimpun mereka dalam Kristus, sebagai prinsip kesatuan Gereja (Konferensi Wali Gereja Indonesia, 1996 : 392).
Konsili juga mengajarkan bahwa Gereja dibentuk karena perpaduan unsur manusiawi dan ilahi (LG 8). Kesatuan Gereja bukan hanya karya Roh Kudus, melainkan juga hasil komunikasi antarmanusia, khususnya perwujudan komunikasi iman di antara para anggota Gereja. Komunikasi iman mengandaikan pengungkapan iman sebagai sarana komunikasi.
Selain komunikasi iman, salah satu tugas Gereja juga adalah tugas pengudusan dalam perayaan. Karya pengudusan itu terwujud dalam sakramen-sakramen. Sakramen menjadi tanda komunikasi iman manusia dengan Sang Pencipta, dan antara sesama manusia. Karena itu, Hakekat dan pembagian sakramen-sakramen harus dikenal oleh seluruh umat. Dan dalam konteks dunia pendidikan, hakekat dan pembagian sakramen-sakramen terungkap dalam SAKRAMENTOLOGI.
Mempelajari SAKRAMENTOLOGI menjadi tuntutan mutlak bagi mahasiswa/I Program Studi Pendidikan Teologi pada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) St. Paulus Ruteng, sebab tujuan perkuliahan SAKRAMENTOLOGI adalah :
ü  Mengetahui dan mempelajari arti sakramen dalam rangka karya penyelamatan;
ü  Memperdalam iman penerima sakramen;
ü  Mempelajari kekhasan tiap sakramen dalam Gereja.

1.2.            SISTEMATIKA PERKULIAHAN

I.                   Pendahuluan
II.                Hakekat dan Sejarah Sakramen Pada Umumnya
III.             Sakramentologi Sekarang
IV.             Sakramentologi Khusus
V.                Penutup
















BAB II
HAKEKAT dan SEJARAH SAKRAMEN PADA UMUMNYA


2.1.            Hakekat Sakramen Pada Umumnya

Sakramen-sakramen yang kita kenal sekarang dimulai dalam sejarah Gereja sebagai praktek, dan tidak lahir sebagai teori yang kemudian dilaksanakan. Sejak awal hidup Gereja, terdapat ritus-ritus. Ritus-ritus tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk pelaksanaan hidup Gereja, dan dianggap penting dan mutlak untuk hidup gereja. Ritus-ritus awal itu antara lain ritus pembabtisan dan pemecahan roti (ekaristi). Sebagian besar unsur Ritus itu diambil dari kelompok agama lain, khususnya Agama Yahudi. Tetapi, bagi kita, tidaklah begitu penting apa yang diambil alih dan apa yang diciptakan baru oleh Gereja Perdana. Yang penting adalah bahwa arti dan isi ritus-ritus itu bersifat khas Kristiani sejak awal mula.
Kekhasan itu terletak pada keyakinan Gereja bahwa ritus-ritus itu membuat sesuatu yang sama sekali baru dalam dunia. Misalnya, dalam praktek pembabtisan, Gereja mengambil alih ritus yang sudah lama dikenal di luar Gereja. Yang baru adalah melalui ritus yang secara lahiriah sudah populer itu, Gereja mengambil bagian dalam Karya Keselamatan Yesus Kristus melalui wafat dan kebangkitanNya dari alam maut.
Demikian halnya dengan praktek Ekaristi. Praktek itu sudah diambil alih oleh Gereja perdana untuk suatu maksud dan isi tertentu. Dengan merayakan Ekaristi, Gereja Perdana ingin memberitakan kematian Tuhan sampai kedatanganNya kembali (Bdk. 1 Kor. 11: 26).
Karya keselamatan dalam diri Yesus Kristus itu adalah perbuatan keselamatan Allah yang harus diimani, diwartakan, dan dilaksanakan antara lain melalui upacara-upacara tertentu. Allah dalam karya keselamatan itu, antara lain telah menciptakan Gereja. Gereja sebagai hasil karya penyelamatan Allah, melalui cara penghayatan hidupnya bertugas untuk menyampaikan hidup baru itu kepada dunia yang belum percaya kepada Yesus Kristus. Tugas-tugas itu terlaksana antara lain dalam perbuatan-perbuatan yang kemudian disebut sakramen-sakramen.
Jadi, secara ringkas dapat dikatakan bahwa isi dan arti Gereja, yaitu rahasia penyelamatan Allah yang terlaksana dalam diri Yesus dari Nazareth itu mesti dilaksanakan di dalam Gereja itu sendiri, antara lain melalui ritus-ritus. Ritus atau upacara-upacara itu merupakan sarana yang dengannya rahasia penyelamatan Allah disampaikan kepada manusia sepanjang sejarah dan selanjutnya dikenal sebagai sakramen. Sebagai Istilah teknis dalam teologi Kristen modern dan dalam arti luas, Sakramen berarti tanda lahiriah yang ditetapkan Kristus dan yang menunjukkan rahmat batin yang diberikan kepada si penerima dalam melaksanakan tanda suci itu.
Tradisi Kristiani di Timur menamakan tanda-tanda keselamatan yang dilayani dalam Gereja itu dengan sebutan mustèrion. Tradisi di Barat menyebutnya dengan sacramentum. Kedua sebutan ini sudah mempunyai arti tertentu dalam budaya klasik Yunani dan Latin yang pra-Kristiani. Para pengarang Kristiani lama-kelamaan mengambil bagian alih arti itu, dan menyesuaikannya. Dan untuk perkembangan ajaran tentang sakramen di Barat, pentinglah bahwa kata Yunani mustèrion diterjemahkan dengan kata sacramentum.[1]
Rahasia kehendak Allah yang sejak kekal merencanakan keselamatan bagi manusia dan telah diwahyukan dalam Kristus hendaknya senantiasa diwartakan dalam Gereja. Inilah yang mendasari dan yang mengartikan segala sesuatu yang bersifat ”sakramen”. Kristus, ”misteri Allah”itu merupakan sakramen asal, dan Gereja yang dihidupkan oleh Roh Kudus itu merupakan sakramen dasar.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka paham Kristiani mendefinisikan sakramen sebagai tanda dan sarana yang oleh Kristus ditetapkan untuk mendatangkan rahmat yang dikhususkan  bagi tiap-tiap situasi kehidupan, dan yang secara demikian melanjutkan perbuatan penyelamatan Allah melalui Kristus dalam  Roh Kudus demi manusia dan dunia.

2.2.            Sejarah Sakramen  
2.2.1.      Pemakaian Kata Mustèrion dalam Kitab Suci

Perkataan ”misteri”dalam perbendaharaan kata-kata teologis sebetulnya sama artinya dengan kata ”sakramen”. Kedua kata ini berarti ”rahasia”. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman, isi istilah ini pun mengalami perkembangan.
Dalam Kitab Suci, kata ”misteri”dipakai untuk menunjukkan rencana Allah menyelamatkan manusia, dan juga karya keselamatan itu sendiri sebagai pelaksanaan rencana tersebut. Dalam Gereja Purba, kata ”misteri”juga dipakai untuk mengacu kepada upacara liturgi yang mengungkapkan dan menghadirkan karya Allah yang menyelamatkan. Dan dalam perkembangan Teologi selanjutnya, kata ”misteri”dan juga ”sakramen”tetap dipakai untuk karya Allah yang mewahyukan diri dalam bentuk manusiawi. Meskipun demikian, ada perbedaan penekanan antara kedua kata tersebut, di mana kata ”misteri”menekankan segi tersembunyi ilahi, tak tampak, sedangkan kata ”sakramen”menonjolkan segi pengungkapan, insani, dan tampak.
Secara etimologis, kata sakramen dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Latin Sacramentum. Kata Latin Sacramentum berakar pada kata sacr, sacer yang berarti kudus, suci, lingkungan orang kudus atau bidang yang suci. Kata ini kemudian berkembang menjadi sacrare atau yang lebih sering consecrare yang menjelaskan bahwa seseorang atau suatu benda secara hukum dan untuk selamanya dipindahkan dari bidang hukum insani ke bidang hukum ilahi, yang mengakibatkan bahwa yang bersangkutan digolongkan sebagai sacrum. Kata ”sakramen”mempunyai arti triganda, yaitu :

a)      dalam arti aktif (hal/ sarana yang menyucikan/ menahbiskan).
b)      dalam arti pasif (hal/ sarana yang disucikan/ ditahbiskan).
c)      perbuatan menyucikan/ menahbiskan.

Sementara itu, dalam budaya Latin pra-Kristiani, sacramentum mempunyai dua arti, yaitu :
1)      Dalam kalangan militer, sacramentum mempunyai arti sumpah bendera yang diucapkan oleh para prajurit di hadapan otoritas yang berwewenang sebagai bukti loyalitasnya pada saat seseorang secara resmi diterima dalam kalangan tentara. Sambil bersumpah, ia memohon kepada para dewa untuk merahmatinya. Dengan bersumpah, maka seseorang diangkat ke dalam wilayah dewa/ i, sehingga tentara seperti itu disebut militia sollemnis et sacrata atau ”tentara yang agung dan suci” dan milites sacrati  atau ”prajurit yang disucikan”.
2)      Arti kedua adalah jumlah uang yang oleh kedua belah pihak yang terlibat perkara harus diletakkan sebagai jaminan pada pontifex (imam besar). Pihak yang memenangkan perkara akan mendapatkan kembali uangnya, sementara pihak yang kalah tidak akan mendapatkan lagi uangnya, tetapi uang tersebut akan dipakai untuk membiayai ibadat yang resmi

Setelah masuk dalam alam pikiran Kristiani, kata sacramentum mula-mula dipakai secara sangat umum bagi kenyataan-kenyataan suci yang khusus, misalnya menyebut Kitab Suci, iman kepercayaan, misteri-misteri keselamatan dan iman, sarana-sarana keselamatan, dan upacara ibadat. Baru di kemudian hari kata sacramentum dipakai dalam arti sarana-sarana keselamatan yang secara tegas dan agak eksklusif disebut ”ketujuh sakramen”.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, kata Ibrani yang sesuai dengan kata Yunani mustèrion adalah Sôd dan juga kata Aram Raz. Istilah pertama Sôd berarti ”lingkungan sahabat”(Ayb 19 : 19) dan juga ”pertemuan yang agak intim”(Mzm 89 : 8). Kata Sôd memiliki arti religius, yaitu rencana Allah yang rahasia dan yang hanya diwahyukan kepada sahabat karibNya.
Kata Aram Raz hanya terdapat dalam Kitab Daniel saja, dan kata ini memiliki arti ”rahasia eskatologis”, yaitu :
Ø  Untuk menunjukkan rahasia Ilahi yang hanya diketahui oleh Allah dan oleh mereka yang diberitahu Allah
Ø  Mengenai apa yang terjadi di kemudian hari, terutama pada akhir zaman
Ø  Diwahyukan dalam tanda yang hanya dapat ditafsirkan dan diterangkan oleh orang yang diberi penerangan oleh Allah (Dan 2)

Sementara itu, dalam Kitab Perjanjian Baru, istilah ”misteri”terdapat dalam Kitab Wahyu, Injil sinoptik, dan terutama surat-surat St. Paulus. Kitab Wahyu memakainya dalam arti yang serupa dengan arti ”rahasia”dalam Kitab Daniel. Injil sinoptik berbicara tentang ”rahasia Kerajaan Allah”(Mrk 4 : 11; Mat 13 : 11; Luk 8 : 10), dan dengan istilah ini, Penginjil mau menegaskan bahwa Kerajaan Allah sudah mulai tampak dalam  perkataan dan perbuatan Yesus. Sedangkan dalam Surat-Surat Paulus dipakai kata ”misteri” sesuai dengan penggunaannya dalam kitab-kitab perjanjian lama, tetapi ditegaskan bahwa berkat peristiwa Paskah, maka Kerajaan Allah terlaksana dalam diri Sang Kristus. Dengan kata lain, kata ”misteri” yang dipakai dalam surat-surat St. Paulus memiliki arti sebagai berikut, yaitu :

Ø  Seluruh karya keselamatan Allah, baik pada taraf perencanaan yang tersembunyi maupun pada taraf pelaksanaannya berlangsung dalam Kristus
Ø  Kristus sendiri, baik sebagai Firman yang akan menjelma, maupun sebagai Firman yang telah menjelma (Verbum Incarnandum dan Verbum Incarnatum).
Ø  Kesatuan Kristus dengan Gereja (Ef 5 : 32)

Berdasarkan ketiga arti tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa Gereja hanya dapat disebut ”misteri”dalam hubungan dengan ”misteri Allah”, yaitu Kristus (Kol 2 : 2). Dalam Gereja, dipertandakan dan dilaksanakan (dalam bentuk manusiawi) karya Allah Bapa yang menyelamatkan dunia dengan perantaraan Yesus Kristus, dalam Roh Kudus.

2.2.2.      Sakramen, Perjanjian Lama, dan Dunia Hellenis

Titik sambung bagi paham sakramen sebagaimana dikembangkan kemudian terdapat dalam 1 Kor 10 : 1 – 11, di mana peristiwa penyelamatan dari Perjanjian Lama oleh Paulus secara tipologis dihubungkan dengan Pembabtisan dan Ekaristi. Kedua upacara ini sudah menyatu dengan hidup Gereja Purba. Dengan menghubungkannya dengan kejadian-kejadian penyelamatan pada zaman Perjanjian Pertama, maka Paulus memperlihatkan bahwa upacara Babtis dan Ekaristi pun merupakan tanda dan sarana lahiriah- duniawi yang bermanfaat bagi keselamatan abadi.
Menurut banyak ahli ilmu sejarah agama-agama, pemikiran sakramental tidak berakar dalam agama Yahudi, tetapi dalam Hellenismus yang kafir, di mana mustèrion (bentuk jamaknya : mustèria) dipakai dalam budaya Klasik- Yunani untuk menunjukkan upacara, ibadat kepada dewa-dewi, padahal Perjanjian Lama justru selalu mengingatkan umat Israel agar jangan sampai ikut menyembah berhala seperti yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.

Meskipun demikian, kata mustèrion sebenarnya juga memiliki arti religius, dan karena itu, menurut R. OTTO, Perjamuan Malam Terakhir adalah sebuah tindakan simbolis yang memiliki kedalaman makna dan realitas yang lebih besar daripada hanya sekedar sebagai sebuah perjamuan biasa. Sementara itu, SCHNACKENBURG mengakui bahwa baik pencucian dan aktus pembenaman yang sudah lazim dalam gerakan-gerakan pembabtisan Yahudi serta aktus Perjamuan itu merupakan aktus-aktus yang berisikan makna keselamatan (Sudarminta, 2002 : 35- 46).

2.2.3.      Perjanjian Baru dan Umat Kristen Perdana

Teologi Katolik memang berpegang teguh pada dogma Konsili Trente bahwa sakramen-sakramen telah ditetapkan oleh Yesus sendiri. Perbuatan Yesus tidak terbatas pada pewartaan Kerajaan Allah. Ia pun tidak hanya menuntut agar orang percaya, bertobat, dan mengikuti Dia agar dapat menerima Kerajaan itu. Tetapi, lebih dari itu, Yesus mengungkapkan dalam tanda-tanda lahiriah keselamatan yang datang dalam diri Yesus sendiri.
JOSEF FINKENZELLER menjelaskan bahwa bukan hanya tanda-tanda mukjizat yang menampakkan zaman keselamatan, melainkan juga tanda-tanda yang tersedia dalam sejarah agama-agama dan khususnya dalam Perjanjian Lama yang kemudian dipakai oleh Yesus dan yang selanjutnya menugaskan para muridNya untuk memakainya dalam melaksanakan keselamatan.
Dalam injil Sinoptik dilukiskan perbuatan-perbuatan sakramental Yesus seperti penumpangan tangan dan pengurapan. Penumpangan tangan, di pandang dari sejarah agama-agama, merupakan tanda penyerahan roh, tanda kekuatan dan pelimpahan wewenang. Dan salah satu contoh yang dilukiskan oleh injil Sinoptik adalah kisah pemberkatan terhadap anak-anak yang dilakukan Yesus (Mrk 10 : 16 dst) dan kisah tentang penyembuhan terhadap orang sakit (Mrk 8 : 22 – 23; Luk 4 : 40 – 41; 13 : 13). Sementara itu, pengurapan, dalam sejarah agama-agama, merupakan ungkapan kesejahteraan, kegembiraan dan suasana pesta serta tanda penghormatan, tetapi juga mempunyai arti pengorbanan dan anti roh jahat (Luk 10 : 34). Selain itu, pengurapan dipakai juga dalam tindakan pelantikan (menjadi imam dan raja) dan dalam kaitannya dengan serah terima tugas sebagai nabi. Dan Yesus sendiri membiarkan diriNya diurapi (Mat 24 : 6 dst; Luk 7 : 36 dst). Yesus juga menugaskan para muridNya agar tanda-tanda ini dipakai dalam kegiatan menyembuhkan orang sakit (Mrk 6 : 13).
Berbeda dengan apa yang dilukiskan dalam Injil Sinoptik, maka dalam hubungan dengan sakramen-sakramen, ada penafsiran-penafsiran yang berbeda terhadap Injil Yohanes. Menurut RUDOLF BULTMANN, Injil Yohanes hanya memandang iman saja sebagai sarana keselamatan, dan karena itu tidak ada ritus-ritus yang ditambahkan pada iman untuk memperoleh keselamatan. Menurut BULTMANN, teks-teks seperti Yoh 3 : 5 tentang Pembabtisan atau Yoh 6 : 51 – 58 tentang Roti Hidup bukanlah teks-teks yang menunjukkan adanya sakramen, melainkan teks-teks yang ditambahkan oleh seorang redaktur dari kalangan jemaat. BULTMANN menegaskan bahwa teks Yoh 6 tentang Roti Hidup tidak boleh diartikan secara ekaristis, sebab teks ini hanya mau menggambarkan tentang Perjamuan Malam Terakhir.
Sementara itu, OSCAR CULLMANN dan FRANZ MUSSNER yang bertolak belakang dengan Rudolf Bultmann menjelaskan bahwa keempat injil itu bersifat kultis dan sakramental. Misalnya, kisah tentang Perkawinan di Kana (Yoh 2 : 1 – 11) diartikan Cullmann secara sakramental. Teks lain yang diartikan secara sakramental adalah :
Ø  kisah tentang Penyucian Bait Allah (Yoh 2 : 12 – 22)
Ø  kisah tentang Percakapan dengan Nikodemus (Yoh 3 : 1 – 21) dengan sendirinya dihubungkan dengan pembabtisan
Ø  kisah tentang Penyembuhan orang sakit di kolam Betesda (Yoh 5 : 1 – 19)
Ø  dalam Yoh 6 tentang Perbanyakan Roti dapat diartikan secara ekaristis
Ø  kisah Pembasuhan Kaki (Yoh 13 : 1 – 21) dihubungkan dengan Pembabtisan dan Ekaristi.

Pemahaman seperti di atas juga dijelaskan dan ditegaskan oleh SCHNACKENBURG secara terperinci. Menurutnya :
Ø  Kisah tentang Percakapan dengan Nikodemus dalam Yoh 3 ditafsirkannya dalam arti Pembabtisan
Ø  Kisah tentang Roti Hidup dalam Yoh 6 : 52 – 58 harus dimengerti secara ekaristis
Ø  Kisah tentang Prajurit yang menikam lambung Yesus dengan tombak dalam Yoh 19 : 34 menjelaskan tentang penjelmaan serta wafat Kristus di kayu salib serta memiliki asal-usul dan kekuatannya dalam kematian Yesus yang berdarah.
Ø  Yoh 22 : 22 dan seterusnya berbicara tentang Pengampunan dosa secara sakramental

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa  sekurang-kurangnya Pembabtisan dan Ekaristi sudah ada pada masa Gereja purba dan bahwa keduanya dipandang secara soteriologis sebagai ”sarana keselamatan”(I Kor 10 : 1 – 22; Ef 5 : 21 – 33).

2.2.4.      Sacramentum Pada Zaman Patristika
2.2.4.1.            Para Bapa Gereja Berbahasa Yunani

a.            IGNATIUS DARI ANTIOKHIA : berbicara tentang ”misteri yang berseru dengan nyaring”(mustèria kraugès), maksudnya ialah menunjuk kepada peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus, serta keselamatan sebagai akibatnya yang dihadirkan dalam Gereja.

b.            Yustinus Martir : Misteri berarti fakta-fakta keselamatan yang mendasar, khususnya berkaitan dengan kelahiran dan salib Kristus. Selain itu, Yustinus Martir juga menganalogikan kata ”misteri” dengan arti ”perumpamaan, simbol, tipe”.

c.             Ireneus : Ireneus menggunakan kata ”misteri” dalam rangka ajaran, yaitu tentang rahasia kebenaran-kebenaran wahyu, rahasia-rahasia dalam arti kenyataan tersembunyi, jalan rahasia keselamatan Allah yang dilihat oleh para nabi, karunia karismatis orang Kristiani, dan kebangkitan orang-orang benar.

d.            Klemens dari Aleksandria : menurutnya, mustèrion berkaitan dengan pengetahuan iman Kristiani. Oleh karena itu, dengan sendirinya kebenaran-kebenaran agama Kristiani dipahami sebagai misteri pula. Kristuslah Sang Mystagog. Lebih lanjut Klemens menjelaskan bahwa ”misteri” menunjuk kepada sistem ajaran Kristiani sebagai keseluruhan.

e.             Origenes : menganalogikan ”misteri”dengan ”simbol”. Karena itu, ia memandang arti harafiah dari Kitab Suci sebagai suatu simbol semata-mata.

f.             Athanasius : memakai kata ”misteri”dalam arti dogmatis-teoretis dan dalam arti liturgis. Dalam arti dogmatis-teoretis, yang disebut ”misteri”adalah fakta-fakta dan kebenaran-kebenaran wahyu pada umumnya dan penjelmaan Anak Allah pada khususnya. Sedangkan dalam arti liturgis, ia menyebutkan kata ”misteri”untuk Ekaristi, Perkawinan dan Pembabtisan. Selain itu, ia juga memakai kata ”misteri”dalam arti rahasia penebusan dan keseluruhannya.
g.            Yohanes Krisostomus : mengartikan ”misteri”sebagai apa yang tidak dikenal dan yang tersembunyi. Isi misteri adalah tindakan ilahi berupa penebusan yang oleh Kristus tidak hanya dilakukan, tetapi juga diajarkan. Maka, ”misteri”berarti peristiwa keselamatan dan ajaran keselamatan. Krisostomus menyebut pembukaan lambung Yesus sebagai suatu misteri yang tak terkatakan (Yoh 19 : 34) dan memandang darah dan air yang mengalir dari lambung Yesus sebagai gambar Sakramen Ekaristi dan Pembabtisan. Selain itu, Krisostomus menyebut sakramen-sakramen dengan kata ta mustèria, dalam arti sebagai tempat perjumpaan antara Allah Yang Maharahim dan Mahakuasa dengan manusia yang telah ditebus.

2.2.4.2.            Para Bapa Gereja Berbahasa Latin
2.2.4.2.1.      Arti Sakramen menurut Tertullianus

Tertullianus tidak hanya mengenal dengan baik arti sakramentum, tetapi juga menjadi saksi klasik tentang terjemahan Kitab Suci di Afrika yang menterjemahkan kata Yunani mustèrion dengan kata Latin Sacramentum. Ia menerapkan kata sacramentum pada upacara Baptis dan juga pada Ekaristi. Selain itu, Tertullianus mengemukakan beberapa arti dari sacramentum, yakni arti yang bersifat Sejarah Keselamatan, yaitu :
1)      Sacramentum dalam arti simbol dan alegoria. Nama Yosua, pengganti Musa, misalnya, merupakan sacramentum karena mengacu kepada Yesus (Yehosua) sejauh terdapat analogia antara perutusan kedua orang itu. Begitu pula kayu yang dipikul Isak ke tempat pengorbanan, itu juga merupakan sacramentum sejauh menunjuk kepada kayu yang dipanggul Yesus pada bahuNya ke gunung kalvari. Selain itu, anak yang dilahirkan bagi Abraham dari istri yang merdeka itu menunjuk kepada alegoria kenabian kepada martabat orang Kristiani, sama seperti anak yang dilahirkan dari hamba perempuan menggambarkan perbudakan kaum Yahudi.
2)      Sacramentum sebagai penyelenggaraan keselamatan. Sacramentum  menandakan rahasia rencana keselamatan Karya Ilahi yang kemudian diwahyukan di dalam Kristus.
3)      Sacramentum sebagai isi dan pengakuan iman kepercayaan.
4)      Sacramentum searti dengan veritas (kebenaran), regula veritatis (pedoman kebenaran), dan saluratis disciplina (ajaran yang menyelamatkan).

Selain itu, Tertullianus memberikan arti sacramentum dalam arti yang sakramental sungguh-sungguh. Menurut Tertullianus, arti etimologis yang aktif dari kata sacramentum adalah menyucikan, menahbiskan.
Tertullianus menjelaskan beberapa sakramen, misalnya Sakramen Baptis. Melalui pembaptisan, seorang katekumen menjadi prajurit Kristus (miles christi) dan menerima kewajiban iman Kristiani. Air baptis memiliki daya pemberi hidup, karena Allah berkarya di dalamnya. Dengan demikian, pembaptisan merupakan ”sakramen bahagia” (felix sacramentum), sebab berkat sakramen ini dibersihkanlah semua kesalahan yang telah diperbuat seseorang untuk menuju hidup kekal.
Selain pembaptisan, Ekaristi juga memainkan peranan penting dan disebut Tertullianus bersama dengan Pembaptisan.  Ketika Kristus menyebut roti itu sebagai tubuh-Nya, maka dengan demikian tidak dikatakan bahwa Kristus mempunyai tubuh yang dapat dibuat dari roti, tetapi bahwa roti itu merupakan gambar tubuh-Nya (figura corporis mei – gambar tubuh-Ku).
Selain itu juga, perkawinan disebut Tertullianus sebagai sacramentum. Alasannya, karena dalam Ef. 5 : 32, kata mustèrion diterjemahkan dengan kata sacramentum, dan dalam perkawinan dilihatnya gambar rahasia tentang ”pesta perkawinan rohani Gereja dan Kristus” (spirituales nuptiae ecclesia et Christi).
2.2.4.2.2.      Sakramen pada Siprianus dan Ambrosius

Siprianus menyebutkan kata sacramentum dalam arti janji baptis dan pengakuan iman dalam rangka pembaptisan. Menurutnya, hanya dalam Gereja Katolik-lah terdapat pembaptisan yang benar. Sacramentum menjadi searti dengan iman. Orang yang tidak mengenal Allah harus dibaptis demi iman sejati akan Trinitas. Ambrosius menyebut Pembaptisan, Krisma, dan Ekaristi sebagai sacramenta. Pembaptisan dipahami sebagai ritus inisiasi Kristiani, dan kurban Ekaristi adalah misteri Kristiani yang paling luhur dan kudus, pusat seluruh liturgi.
Siprianus mengenal sacramentum dalam arti rahasia, tetapi lebih kerap mengartikannya secara kiasan. Menurutnya,  kata sacramentum berarti tanda atau benda atau peristiwa yang menandakan benda lain atau peristiwa lain di masa lampau atau masa depan. Pembabtisan, Krisma, dan Ekaristi disebutnya sebagai sacramenta.

2.2.4.2.3.  Sakramen Pada Agustinus

            Agustinus memakai kata sakramen dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, kata sacramentum menunjuk pada Inkarnasi. Sedangkan dalama arti sempit, Agustinus menggunakan kata sacramentum dalam arti sakramen-sakramen Gereja, khususnya upacara Baptis dan Ekaristi. Dan sakramen disebut sebagai tanda suci atau signum sacrum.
            Agustinus juga menjelaskan tentang TANDA. Ia membedakan 2 jenis, tanda, yakni:
a.         Tanda alamiah (signa naturalia), yakni tanda yang tanpa sengaja dan tanpa ingin menandakan sesuatu yang lain, tetapi kodratnya sendiri memperkenalkan sesuatu yang lain, misalnya asap menunjukkan adanya api, jejak kaki mengacu kepada hewan atau orang yang telah berlalu, atau roman muku seseorang yang marah atau sedih memperlihatkan perasaan hatinya tanpa orang yang bersangkutan ingin memperlihatkannya.
b.         Tanda konvensional (signa data), yakni tanda yang diberikan oleh makhluk hidup satu sama lain untuk menunjukkan gerakan hatinya, perasaannya, dan bermacam-macam pengetahuan. Seseorang yang memberi tanda konvensional berarti bahwa ia memindahkan apa yang ada di dalam jiwanya sendiri ke jiwa orang lain. Di antara tanda yang dipakai manusia untuk saling memberitahukan perasaannya, ada yang termasuk indra penglihatan, tetapi kebanyakan termasuk pendengaran, terutama kata-kata. Dengan perkataannya, manusia mengungkapkan pikiran yang mau diberitahukan olehnya. Karena itu, perkataanlah tanda yang paling unggul.
            Menurut Agustinus, sakramen adalah tanda, yaitu tanda suci (signum sacrum). Sakramen adalah tanda dari realitas tersembunyi. Roh Kudus menghantar kita melalui hal-hal kelihatan kepada kenyataan-kenyataan tak kelihatan. Jadi, sakramen itu adalah tanda dan sekaligus kenyataan kudus tersembunyi yang ditandakan.
            Menurut Agustinus, sakramen memiliki struktur yang tersusun dari elementum dan verbum (unsur/ bahan dan perkataan). Perkataan adalah tanda terpenting untuk mengungkapkan pikiran manusia. Dan sakramen-sakramen adalah kata-kata yang kelihatan. Perkataanlah yang mengangkat elementum kepada cara berada yang sakramental. Akan tetapi, perkataan itu bukanlah perkataan biasa, melainkan ”perkataan iman” (verbum fidei), yang diresapi oleh daya kerja Roh Kudus yang hidup di dalam gereja.
            Agustinus memandang penjelmaan Sang Logos sebagai tanda paling hebat yang dianugerahkan Allah kepada manusia, dan semua signa yang lain dalam agama Kristiani mengacu kepada tanda terbesar ini.


2.3. SAKRAMENTOLOGI SEKARANG
2.3.1. Pengantar

            Magisterium Gereja (wewenang mengajar) telah merumuskan ajaran resmi tentang Sakramen, khususnya pada Konsili Trente. Akan tetapi, dewasa ini, keputusan Trente harus dihayati dalam terang pernyataan-pernyataan Konsili Vatikan II, khususnya tentang Gereja sebagai sakramen.[2]

2.3.2. Pernyataan Magisterium Gereja tentang Sakramen

            Selain oleh Agustinus, teologi Gereja tentang sakramen amat dipengaruhi oleh Thomas Aquinas  yang mengembangkan ajaran Agustinus tentang Sakramen. Kedua teolog besar inilah yang paling berpengaruh terhadap perumusan ajaran resmi Gereja di kemudian hari.

2.3.2.1. Persiapan dalam Teologi Thomas Aquinas

            Thomas Aquinas memandang sakramen sebagai ”bejana-bejana rahmat” (Vasa Gratiae), di mana sakramen merupakan sarana pedagogi eklesial. Thomas Aquinas dipengaruhi oleh seorang teolog, yaitu Petrus Lombardus, di mana Petrus Lombardus untuk pertama kali menyebutkan jumlah tujuh sakramen sebagaimana yang dikenal sekarang, dan bahwa sakramen diartikannya sebagai ”bentuk kelihatan dari rahmat tak kelihatan”. Thomas Aquinas memberikan definisi tentang sakramen sebagai tanda dan sebab, yaitu sebab instrumental (causa instrumentalis) yang digerakkan oleh Allah sebagai sebab utama (causa pricipalis).
            Sakramen terdiri dari DUA KOMPONEN, yaitu ”materi” dan ”bentuk”. Materi adalah suatu unsur jasmani, seperti air, atau suatu perbuatan yang menandakan, misalnya pengakuan dosa. Sedangkan bentuk  adalah suatu perkataan, seperti kata-kata yang diucapkan pada waktu konsekrasi atau absolusi. Selain itu, Thomas Aquinas juga menggunakan ajaran Petrus Lombardus yang dalam pelayanan sakramental membedakan antara opus operantis dan opus operantum. OPUS OPERANTIS atau disebut juga ex opere operantis secara harafiah berarti menurut yang melaksanakan sakramen, yakni pelayan atau penerima sakramen, sedangkan OPUS OPERANTUM atau disebut juga ex opere operato berarti menurut ritus atau perayaan yang dilaksanakan.
            Sakramen ini menghasilkan rahmat ex opere operato, artinya berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, dan bukan ex opere operantis, yaitu berdasarkan pihak insani yang melakukannya. Karena itu, ada dua hal yang menjadi tekanan utama tentang sakramen, yaitu :
a)      Sakramen itu pertama-tama adalah perbuatan Allah. Allah adalah ”sebab” atau pelaku yang utama. Perbuatan Allah tidak dapat dihancurkan oleh siapa atau apa pun. Daya sakramen atau sahnya sakramen tidak bergantung pada keadaan moral atau iman kepercayaan dari pemberi atau penerima sakramen, tetapi bergantung pada kuasa Allah;
b)      Terdapat tuntutan minimal yang harus dipenuhi oleh manusia yang memberi atau yang menerima sakramen, yaitu bahwa bagi si pemberi, cukuplah bahwa ia mempunyai maksud untuk melakukan apa yang mau dilakukan oleh Gereja, sedangkan bagi si penerima, cukuplah bahwa ia tidak menutup diri terhadap tawaran Allah dengan menolaknya atau dengan menjadi acuh tak acuh terhadap tawaran Allah itu.


2.3.2.2.            Konsili Trente (tahun 1545- 1563)

Pada tahun 1547, pada waktu sidangnya yang ketujuh, Konsili menetapkan 13 kanon ajaran Gereja Katolik tentang sakramen. Konsili menjelaskan beberapa hal, yakni:
1.        Konsili mempertahankan prinsip ex opere operato dengan menekankan bahwa pembenaran manusia oleh Allah dan penyampaian rahmat Allah kepadanya terjadi dengan jalan sakramen;
2.        Konsili juga menegaskan bahwa prinsip ex opere operato jangan diartikan seakan-akan sakramen itu menghasilkan buahnya secara otomatis, tetapi pada kenyataannya penyampaian rahmat pada hakekatnya bergantung juga pada sikap hati si penerima sakramen (sebagai syarat, bukan sebagai penyebab) atau bergantung pada iman kepercayaan yang membuka diri bagi rahmat sakramen dan mempercayakan diri kepadanya;
3.        Konsili menegaskan tentang tiga sakramen, yakni sakramen pembaptisan, sakramen krisma dan sakramen tahbisan bahwa dalam tiga sakramen ini dicetakkan ke dalam jiwa manusia suatu meterai, yaitu suatu tanda yang rohani dan tak terhancurkan, dan oleh karena itu ketiga sakramen itu tidak dapat diulang. METERAI (character) ini memperlihatkan bahwa orang yang dibabtis dikuatkan dalam iman dan yang ditahbiskan itu secara tetap berkarya di dalam Allah.

Mengingat sakramen merupakan sarana keselamatan yang pada hakekatnya ditetapkan oleh Kristus dan yang dipercayakan kepada Gereja, maka atas nama Gereja seseorang hanya dapat menerimakan sakramen berdasarkan kuasa yang diperolehnya dari Kristus atau Gereja, dan supaya sakramen itu diterimakan secara sah dan efektif, maka perlu juga bahwa sakramen itu dilaksanakan secara tepat menurut ”materi” dan ”bentuk”, serta maksud yang benar.

2.3.2.3.            Konsili Vatikan II (tahun 1962- 1965)

Konsili Vatikan II menonjolkan arti fundamental dari Pembaptisan dan Ekaristi, bahwa Kristuslah pelaku utama sakramen. Ia hadir dalam kurban misa, baik dalam pribadi imam yang melayani, maupun dan terutama dalam rupa ekaristi. Ia pun hadir dengan daya kekuatanNya dalam sakramen-sakramenNya begitu rupa, sehingga bila seseorang membaptis, maka Kristuslah yang membaptis.
Semua tindakan sakramental dilihat dalam konteks sabda Allah, khususnya pewartaan, dan dipahami sebagai perwujudan corak Gereja sebagai umat Allah yang dalam perjalanan menuju akhir zaman. Karena itu, Konsili Vatikan Ii menekankan actuosa participatio, yaitu keikutsertaan secara aktif.
Sakramen juga perlu dipandang dalam rangka Gereja seluruhnya yang merangkum segalanya sebagai ”tanda dan sarana kesatuan mesra dengan Allah maupun kesatuan segenap umat manusia”. Sakramen adalah pelaksanaan hidup Gereja, dan Gereja menjadi misteri justru karena berasal dari Kristus sebagai kepala Gereja. Gereja sendiri merupakan sakramen dasar yang mengaktualisasikan diri dalam sakramen-sakramen. Pengaktualisasian diri itu menyangkut Gereja dalam tugas imamat dan rajawinya yang dikuduskan dan disusun secara organis oleh Allah melalui Kristus dan di dalam RohNya.
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa semua sakramen dilandasi dan dimaknai oleh rencana keselamatan Allah yang abadi dan rahasia, yang di dalam Kristus secara eskatologis diwahyukan, dan secara eklesial selalu diwartakan. Segala sesuatu yang bersifat meterai, tanda, bahasa tubuh, dan sebagainya dinilai sebagai unsur-unsur yang dikehendaki oleh Allah sebagai bagian dari ibadat penyelamatan.


2.3.2.4.            Katekismus Gereja Katolik (1992)

Katekismus Gereja Katolik, yang diresmikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada Hari Ulang Tahun Konsili Vatikan II yang ke-30 pada tanggal 11 Oktober 1992, merangkum sakramentologi umum dalam lima butir, di mana sakramen dipahami sebagai :
a)      Sakramen Kristus. Ssakramen-sakramen ditetapkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus yang mengacu kepada perkataan dan perbuatan Yesus yang sudah bersifat menyelamatkan, mengantisipasi misteri paskahNya, dan memberitahukan serta mempersiapkan sakramen-sakramen Gereja yang didasarkan pada misteri-misteri hidup Kristus.
b)      Sakramen Gereja. Sakramen adalah sakramen Gereja dalam arti rangkap, yaitu ”melalui gereja” dan ”untuk gereja”. Melalui gereja karena Gerejalah sakramen tindakan Kristus yang berkarya di dalam Gereja berkat diutusnya Roh Kudus, sedangkan untuk gereja, karena sakramenlah yang membentuk Gereja, sejauh sakramen memperkenalkan dan menyampaikan kepada manusia misteri persekutuan dengan Allah yang adalah kasih, satu dalam tiga pribadi. Gereja merupakan ”satu pribadi yang mistik”, dan dalam sakramen-sakramennya Gereja bertindak sebagai persekutuan
c)      Sakramen iman kepercayaan. Disebut sakramen iman karena ia menumbuhkan, menguatkan, serta mengungkapkan iman melalui kata-kata dan perbuatan. Dengan merayakan sakramen, maka Gereja mengakui iman yang diterimanya dari para rasul. Karena itu, muncul pepatah ”lex orandi, lex credendi” yang berarti ”hukum doa adalah hukum iman”. Gereja percaya sebagaimana gereja berdoa. Sakramen mengungkapkan dan mengembangkan kesatuan iman dalam gereja, sehingga lex orandi menjadi salah satu kriteria hakiki bagi dialog yang menyelamatkan antara umat kristiani dan Allah.
d)     Sakramen keselamatan. Disebut sakramen keselamatan karena pada dasarnya sakramen dianugerahkan Allah kepada umat demi keselamatan umat itu sendiri. Dengan merayakan sakramen secara pantas dalam iman kepercayaan, maka sakramen menyampaikan rahmat yang ditandakannya. Karena itu, sakramen itu berhasil, berdaya guna, dan menjadi efektif karena Kristus sendirilah yang sedang berkarya di dalamnya. Yesus bertindak di dalam sakramen-sakramen untuk memberikan rahmat yang ditandakan oleh setiap sakramen.
e)      Sakramen hidup kekal. Disebut sakramen hidup abadi karena di dalam sakramen itu Gereja mendapat bagian dalam hidup kekal.
                                                                                
2.4.                     SAKRAMENTOLOGI UMUM
2.4.1.      Titik Tolak Sakramentologi Umum

Seorang teolog bernama RAPHAEL SCHULTE membahas titik tolak Sakramentologi yang secara teologis dapat dipertanggungjawabkan, yaitu bahwa :
1)      Ketujuh perbuatan keselamatan di dalam Gereja dipandang sebagai pelaksanaan eklesial. Semua sakramen merupakan pelaksanaan diri Gereja. Sakramen-sakramen itu bersifat konstitutif, artinya di dalam sakramen-sakramen itu Gereja mewujudkan hakekatnya sendiri sebagai kehadiran yang eskatologis, historis, dan sosial.
2)      Gereja, melalui sakramen-sakramen, melaksanakan dirinya menuju kepada Allah (Bapa) dalam perwujudan diri yang hidup dan yang menjawab dengan penuh rasa percaya diri.
3)      Sakramen dan keselamatan yang disampaikan kepada umat dengan dan dalam rahmat dilihat sebagai perwujudan yang selalu terlaksana ”hari ini”. Dalam hidup ini, manusia dan dunia telah mendapat bagian secara eskatologis dan tak terbatalkan. Dengan demikian, kehidupan ini berlangsung ” antara ” Allah dan manusia ” melalui ” sakramen-sakramen sebagai simbol-simbol yang real, personal dan aktual.

2.4.2.      Corak Dasar Sakramen : Suatu Visi Teologis

Gereja sebagai umat Allah dan tubuh Yesus Kristus yang dijiwai Roh Kudus dipahami sebagai sakramen dasar. Dengan demikian, bagi Gereja dan bagi sakramen-sakramen, Yesus Kristuslah pengantara yang memenuhi kehendak Bapa. Gereja dan sakramen-sakramen telah ditetapkan dari dalam kehendak Bapa. Karena itu, Gereja dan sakramen-sakramen baru didirikan secara sah seluruhnya dan berefektif setelah Yesus Kristus melaksanakan dan menyelesaikan karya keselamatan ilahi, dan dari pihak Bapa, Gereja dan sakramen diterima Bapa setelah kebangkitan dan diutusnya Roh Kudus.
Sakramen-sakramen memiliki dua dimensi. Di satu pihak, sakramen-sakramen merupakan pelaksanaan hidup eklesial di dunia ini. Di lain pihak, sakramen-sakramen memperlihatkan corak eskatologisnya, sekaligus menunjukkan kepenuhan rahmat yang dianugerahkan dalam sakramen, serta mengambil bagian dan memberi bagian dalam pengharapan kristiani-eskatologis.

2.4.3        Sakramen-Sakramen Gereja dalam Teologi

Teologi Kristiani dewasa ini biasa membedakan penyebutan antara sakramen dengan sakramen-sakramen. Bila berbicara mengenai sakramen berarti berbicara tentang Yesus Kristus sebagai sakramen induk dan pokok, atau berbicara tentang Gereja sebagai sakramen dasar. Sedangkan bila orang berbicara tentang sakramen-sakramen, maka itu dimaksudkan dengan ketujuh sakramen.
Teologi Kristiani melihat bahwa ketujuh sakramen itu masuk dalam bagian pembicaraan mengenai sakramen. Sakramen-sakramen atau ketujuh sakramen menjadi sub atau diletakkan di bawah pembicaraan tentang sakramentalitas pada umumnya. Dan teologi yang merefleksikan sakramen atau sakramen-sakramen Gereja ialah sakramentologi. SAKRAMENTOLOGI adalah teologi sakramen. Teologi ini termasuk dalam teologi sistematik atau teologi dogmatik.

2.4.4        Tiga Ciri Utama Teologi Sakramen

Teologi sakramen diwarnai oleh tiga ciri utama, yakni interpretasi baru terhadap simbol sakramen-sakramen, hubungan tidak terpisahkan antara sabda dan sakramen, serta berorientasi pada praksis.

2.4.4.1              Interpretasi Baru terhadap Makna Simbol Sakramen-Sakramen

Warisan diskusi teologis tentang sakramen-sakramen dalam Gereja Katolik sesudah Konsili Trente pada abad XVI adalah tendensi polemis dengan Gereja Reformasi. Pada umumnya, Gereja Reformasi memandang sakramen-sakramen hanya sebagai tanda dan tidak mengakui sifat daya guna sakramen. Sedangkan Gereja Katolik lebih menekankan daya guna.
Berkat interaksi ekumenis dan penggalian tradisi teologis Patristik serta pola pikir yang antropologis pada abad ini, pemikiran simbolis seolah-olah menjadi kata kunci dalam sakramentologi. Suatu refleksi antropologis terhadap simbol meneguhkan eksistensi dan perlunya sakramen-sakramen dan mengapa sakramen selalu berkaitan dengan simbol. Manusia sebagai pribadi yang utuh selalu menampilkan, mengungkapkan, dan melaksanakan dirinya dengan aneka isyarat, tanda dan simbol.
Dalam hubungannya dengan sakramen, simbol tidak sekedar ungkapan diri manusia. Justru dengan sakramen pertama-tama dimaksudkan pernyataan dan ungkapan diri Allah sendiri dalam bentuk yang kelihatan dan manusiawi. Itulah Yesus Kristus yang adalah sakramen Allah. Kini, dalam rangka sejarah dunia, Gereja menjadi simbol Yesus Kristus sendiri. Dalam dan melalui Gereja, Yesus Kristus (melalui Roh Kudus) hadir dan melaksanakan karya penyelamatan-Nya bagi dunia. Pelaksanaan penyelamatan itu terjadi dan berlangsung secara konkret bagi kehidupan sehari-hari melalui perayaan sakramen-sakramen. Sakramen-sakramen menggunakan aneka simbol untuk mengungkapkan dan melaksanakan atau menghadirkan apa yang tidak kelihata, yakni misteri penebusan Kristus.

2.4.4.2              Hubungan tidak terpisahkan antara Sabda dan Sakramen

Pada masa pra-Vatikan II, terdapat slogan yang amat populer, yakni bahwa Gereja Katolik  itu adalah Gereja Sakramen, sedangkan Gereja Reformasi adalah Gereja Sabda. Pada saat ini, slogan itu telah ditinggalkan dan tidak dipakai lagi, sebab gerakan ekumenis telah semakin mendekatkan masing-masing pihak dan membuat masing-masing pihak merefleksikan kembali teologi dan ajarannya secara seimbang di mana kedua pihak sama-sama menjadikan Kitab Suci sebagai sumber dan dasar seluruh refleksi teologisnya.
Di dalam Kitab Suci terdapat banyak teks yang menunjukkan bahwa Sabda Allah itu juga berdaya guna dan efektif (bdk. Kej 1 : 3. 6. 9. 11. 14. 20. 24. 26. 29; Yes 48 : 13; Yes 55 : 10 – 11; Mzm 33 : 9; Rm 4 : 17). Dalam 1 Kor 11 : 26 bahkan ditunjukkan bahwa perayaan ekaristi sudah merupakan pewartaan. Pewartaan di sini bukan sekedar suatu ajaran, melainkan Sabda yang menghadirkan kekuatan Allah dan berdaya guna. Dengan demikian, sesungguhnya hubungan Sabda dan Sakramen sudah disinyalir di dalam Kitab Suci.
Agustinus menjelaskan hubungan sabda dan sakramen dengan mengatakan bahwa SABDA adalah sacramentum audibile (tanda yang didengar) dan SAKRAMEN adalah verbum visibile (sabda yang kelihatan). Jadi, sakramen bersifat ”sabda atau pewartaan”, dan sabda juga bersifat sakramental.
Melalui refleksinya atas hubungan sabda dan sakramen, Karl Rahner merumuskan kembali makna dan hakekat sakramen pada umumnya. Rahner memahami hakekat sakramen dari sudut sabda. Sakramen merupakan peristiwa Sabda Allah yang paling radikal dan paling intensif dalam Gereja, atau tingkatan tertinggi dari sabda rahmat Allah yang terjadi secara kelihatan dalam Gereja.

2.4.4.3              Berorientasi pada Praksis

Perubahan pola pikir antropologis dalam filsafat dan teologi abad ini berdampak pada tuntutan dan orientasi teologi pada praksis. Orientasi teologi dewasa ini adalah bagaimana sakramen-sakramen mempunyai makna bagi hidup dan perjuangan konkret manusia dewasa ini.

2.4.5        Macam-Macam Model Teologi Sakramen

Teologi Sakramen memiliki beberapa macam model, yakni sakramen sebagai medan perjumpaan, sakramen sebagai realisasi simbolis, sakramen bagi situasi dasar dan konkret manusia, sakramen sebagai peristiwa komunikasi, dan sakramen sebagai pesta peristiwa keselamatan.




2.4.5.1              Sakramen sebagai Medan Perjumpaan

Odo Casel melihat sakramen-sakramen sebagai perayaan karya keselamatan Allah dalam Kristus. Dalam perayaan sakramen-sakramen itu, hadirlah sendiri misteri penebusan Kristus. Perayaan sakramen-sakramen dipandang sebagai ”penghadiran” misteri penebusan Kristus dalam bentuk tanda.
Selanjutnya, muncul arus teologi sakramen yang lebih suka menggunakan istilah ”perjumpaan” daripada ”penghadiran”. Otto Semmelroth menggunakan istilah ”perjumpaan” bagi sakramen. Dalam sakramen-sakramen, manusia menanggapi tawaran dialog keselamatan Allah dalam Kristus. Sementara itu Edward Schillebeeckx melihat Kristus sebagai sakramen Allah atau sebagai perjumpaan personal dengan Allah. Sakramen-sakramen menjadi dialog antara Allah dan manusia atau Gereja. Dalam pemikiran inilah sakramen-sakramen dipandang sebagai medan perjumpaan antara Allah dan manusia melalui Yesus Kristus yang berlangsung dalam bentuk tanda atau simbol. Sakramen-sakramen ada dalam relasinya dengan Kristus dan Gereja. Ketujuh sakramen menjadi medan pertemuan manusia dengan Kristus dalam Gereja-Nya.

2.4.5.2              Sakramen sebagai Realisasi Simbolis

Filsafat dan teologi Kristiani bukan hanya merefleksikan makna daya guna simbol, melainkan juga menghubungkan simbol dengan perwujudan dan pelaksanaan diri, eksistensi, dan pengenalan manusia. Manusia ada dan tercipta dengan memuat makna dan arti hidup. Manusia mempunyai makna ontologis.
Filsuf seperti Ernst Cassirer, Alfred North Whitehead dan ahli musik Susanne K. Langer merenungkan makna simbol dalam pemikiran, ritus dan seni. Mereka sependapat bahwa manusia bukan hanya memahami diri dan dunianya secara diskursif saja (rasional), melainkan juga menurut suatu transformasi simbolis sebagaimana tampak dalam sejarah religi.
Manusia selalu memahami hidupnya melalui dunia simbol. Manusia sendiri adalah simbol induk dari semua simbol dan lambang yang ada. Di sinilah sakramen-sakramen mendapat legitimasi dan tempatnya dalam hidup manusia. Sakramen-sakramen dipandang sebagai simbol-simbol yang melaluinya terjadi pengungkapan dan pelaksanaan dari relasi Allah dan manusia.

2.4.5.3              Sakramen bagi Situasi Dasar dan Konkret Manusia

Sakramen-sakramen dipandang sebagai tahap paling konkret di mana keselamatan Allah dalam Kristus itu dapat dialami. Sakramen-sakramen berhubungan dengan kehidupan konkret. Peristiwa-peristiwa dasar dan penting yang dialami oleh setiap insan di dunia ini didampingi dan disertai oleh sakramen-sakramen Gereja. Sakramen-sakramen Gereja mau menunjukkan kepada umat manusia bahwa Tuhan sebenarnya senantiasa hadir dan menyertai setiap orang dalam perjalanan hidupnya. Melalui sakramen-sakramen Gereja, Tuhan mengaruniakan keselamatan kepada umat manusia menurut dimensi situasi hidupnya yang konkret.

2.4.5.4              Sakramen sebagai Peristiwa Komunikasi

Suatu pengembangan pemahaman akan sakramen sebagai peristiwa komunikasi dilakukan oleh banyak teolog, seperti Franz Schupp, A. Ganoczy, dan Peter Hűnermann. Model pemahaman ini bertumpu pada teori komunikasi dan mengembangkan pengertian sakramen-sakramen menurut model komunikasi itu.
Menurut ketiganya, dalam proses komunikasi terdapat tiga pihak, yaitu pemberi, penerima dan mediumnya. Di sana kedua partner bertindak dalam komunikasi sekaligus sebagai pemberi dan penerima dengan menggunakan medium. Dalam rangka sakramen, Allah menjadi sumber dan yang menganugerahi keselamatan dan pengudusan melalui sakramen kepada manusia. Tetapi, di sana manusia bukan sekedar partner penerima yang pasif, melainkan tetap sebagai subyek yang menanggapi pemberian itu dengan bebas. Karena itu, perayaan sakramen-sakramen pertama-tama adalah suatu peristiwa komunikasi dari pihak-pihak yang berjumpa, yakni Allah dan umat-Nya, dengan menggunakan sakramen-sakramen sebagai mediumnya.

2.4.5.5              Sakramen sebagai Pesta Peristiwa Keselamatan

Sakramen-sakramen dapat dipandang sebagai suatu perayaan atau pesta peristiwa keselamatan. Dalam sakramen-sakramen itu, yang menjadi alasan dan isi perayaan atau pesta itu adalah peristiwa keselamatan Allah dalam Kristus. Sebagai pesta dan  perayaan, sakramen-sakramen memuat beberapa unsur pesta dan perayaan. Di situ ada alasan berkumpul, penggunaan aneka simbol dan tanda, daya guna yang diperoleh dari pesta itu, tuan rumah dan undangan, persaudaraan dan dialog di antara mereka yang hadir. Demikian pula dengan sakramen-sakramen.
Sakramen-sakramen dirayakan dengan suatu maksud, yaitu menghadirkan dan mengenangkan peristiwa keselamatan Allah dalam Yesus Kristus. Di sini umat beriman dipanggil dan dikumpulkan oleh Kristus sendiri. Perayaan itu dilangsungkan dengan tanda atau simbol dan di sana dihadirkan sekaligus apa yang dilambangkan itu.

2.4.6        Sakramentali

Istilah sakramentali muncul pada abad XII, yakni pada tulisan Petrus Lombardus bersamaan dengan pembakuan istilah sakramen bagi ketujuh ritus Gereja. Konsili Vatikan II merumuskan arti sakramentali sebagai tanda-tanda suci yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen. Sakramentali itu menandakan kurnia-kurnia, terutama yang bersifat rohani dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja.
Perbedaan dasar sakramentali dengan sakramen ialah bahwa sakramentali pertama-tama adalah doa permohonan Gereja, agar Allah memberkati dan menguduskan orang atau benda tertentu. Dengan kata lain, daya guna sakramentali itu terjadi menurut ex opere operantis atau berkat tindakan/ karya Gereja, yaitu karena Gereja memohon, sedangkan daya guna sakramen itu terjadi secara ex opere operato yaitu berkat tindakan atau karya Kristus. Dalam sakramen, Kristuslah yang mengubah dan menguduskan orang itu dan karya Kristus itu tidak berhubungan dengan moral si pelayan. Hal ini nampak dalam berbagai upacara sakramentali, misalnya pemberkatan air suci, pemberkatan dengan tanda salib pada dahi anak-anak merupakan upacara atau pemberkatan dalam rangka menuju atau mengenangkan atau menghadirkan sakramen baptis; pemberkatan roti atau doa sebelum dan sesudah makan mengingatkan kita pada ekaristi; berbagai doa untuk orang sakit bagi sakramen pengurapan orang sakit; upacara pertunangan bagi sakramen perkawinan; upacara tobat bagi sakramen tobat; selain itu, ada macam-macam sakramentali, seperti aneka ibadat dan pemberkatan atau juga prosesi.





           
BAB III
SAKRAMENTOLOGI KHUSUS
(Ketujuh Sakramen Masing-Masing)



3.1.            JUMLAH SAKRAMEN-SAKRAMEN GEREJA
3.1.1        Pengantar

Jumlah tujuh sakramen memang diajarkan oleh Gereja untuk pertama kalinya dalam Konsili Lyon II (1274), lalu Konsili Florenz (1439). Ajaran ini ditegaskan kembali oleh Konsili Trente pada tahun 1547. Konsili Trente menetapkan ketujuh sakramen dalam Gereja Katolik, yaitu sakramen permandian, sakramen krisma, sakramen ekaristi, sakramen tobat, sakramen pengurapan orang sakit, sakramen tahbisan dan sakramen perkawinan. Sakramen-sakramen itu menyentuh seluruh fase dan saat penting dalam kehidupan orang kristiani. Karena itu, terdapat kemiripan tertentu antara fase kehidupan alamiah dengan kehidupan rohani.
Ketujuh sakramen itu dikelompokkan atas 3 (tiga), yaitu (1) sakramen-sakramen inisiasi kristiani (sakramen permandian, sakramen krisma dan sakramen ekaristi); (2) sakramen-sakramen Penyembuhan (sakramen tobat dan sakramen pengurapan orang sakit); serta (3) sakramen-sakramen pelayanan untuk persekutuan (sakramen tahbisan dan sakramen perkawinan).

3.1.2        Sejarah Jumlah Tujuh Sakramen

·           Gereja perdana belum mengenal jumlah tujuh sakramen sebagaimana yang dikenal sekarang. Tetapi, tentu saja Gereja perdana telah mengenal dan mempraktekkan macam-macam perayaan dan upacara untuk merayakan imannya kepada Yesus Kristus;
·           Hingga zaman Patristik, Gereja belum mendefinisikan tujuh sakramen. Tetapi, bapa-bapa Gereja sering juga menggunakan istilah “sakramen” menurut pengertian kultis atau ibadat, yaitu tindakan-tindakan simbolis suci dan keramat. Akibatnya, upacara-upacara yang kecil, seperti membuat tanda salib, membacakan Kitab Suci, pendarasan syahadat dalam baptisan, pesta-pesta liturgis, dan sebagainya disebut sebagai sakramen;
·           Hingga abad pertengahan, ada macam-macam hal yang disebut sebagai sakramen. Pada abad X, Gereja Barat menyebut sakramen-sakramen untuk baptisan dan ekaristi, lalu juga aneka macam upacara pengurapan dengan minyak, seperti baptisan, krisma, tahbisan imam, pemberkatan raja, dan pemberkatan rahib.
·           Sakramen tobat atau rekonsiliasi, tahbisan, dan pengurapan orang sakit sudah dikenal sejak zaman Patristik;
·           Antara abad IX – XI, sakramen krisma definitif terpisah dari baptisan;
·           Pada awal abad XII, perkawinan diakui oleh Gereja sebagai sakramen, meskipun ritusnya sudah dikenal sejak abad V. Pada awal zaman Skolastik, jumlah sakramen menjadi sangat bervariasi, dari lima, dua belas, dan bahkan ada yang menghitung sampai tiga puluh buah sakramen.
·           Pada abad XII, sakramen-sakramen didefinisikan kembali, soal daya guna diperdalam, dan ditetapkanlah tujuh sakramen Gereja;
·           Jumlah tujuh sakramen diterima dan ditetapkan oleh Gereja secara resmi sejak Konsili Lyon II pada tahun 1274. Akhirnya, Konsili Trente pada tahun 1547 menegaskan kembali ajaran Gereja yang terdahulu mengenai jumlah tujuh sakramen. Jumlah tujuh sakramen ini ternyata juga diakui oleh Gereja Timur (Ortodoks).

3.1.3        Penjelasan atas Jumlah Tujuh Sakramen
3.1.3.1              Penjelasan Klasik

Yang dimaksud dengan penjelasan klasik adalah penjelasan para teolog Skolastik atas jumlah tujuh sakramen. Umumnya, mereka menggunakan aneka alegori dalam menjelaskan jumlah tujuh ini.
Aleksander dari Hales († 1245) berpangkal dari teks 2 Raj 5 : 10 : “Elisa menyuruh seorang suruhan kepadanya mengatakan: "Pergilah mandi tujuh kali dalam sungai Yordan, maka tubuhmu akan pulih kembali, sehingga engkau menjadi tahir." Dari sini Aleksander memandang tujuh sakramen sebagai tujuh macam luka karena dosa dan tujuh macam sarana penyembuhannya. Aleksander juga menerangkan tujuh angka ini dengan cara lain, yakni mengaitkan tujuh angka itu dengan :

·         tiga macam keutamaan teologis (iman, harapan dan kasih)
·         empat macam keutamaan cardinal (kebijaksanaan, keadilan, kesederhanaan, dan ketekunan atau keberanian). Dalam hal ini, baptisan sesuai dengan iman, minyak suci dengan harapan, ekaristi dengan kasih, tahbisan dengan kebijaksanaan, tobat dengan keadilan, perkawinan dengan kesederhanaan, dan penguatan dengan keberanian atau ketekunan.

Bonaventura († 1274) memikirkan ketujuh sakramen sebagai rahmat yang perlu dan harus diterima bagi para pejuang Kerajaan Allah. Sakramen-sakramen itu menopang pejuang itu dalam aneka tahap pertempuran:
·         Baptisan merekrut para pejuang dan melengkapi mereka dengan senjata,
·         penguatan mengobarkan semangat mereka,
·         Ekaristi memberikan kekuatan untuk melawan dosa-dosa ringan,
·         tobat memberikan kekuatan untuk melawan dosa-dosa berat,
·         minyak suci memberikan kekuatan bagi mereka yang terluka dalam pertempuran,
·         tahbisan menghasilkan pejuang-pejuang baru,
·         dan perkawinan menyediakan pembaruan tetap para pejuang.

Thomas Aquinas († 1274) berpangkal dari pemahaman sakramennya. Baginya, sakramen diadakan Tuhan untuk menyempurnakan dan menyembuhkan jiwa manusia. Thomas melihat sakramen-sakramen dalam rangka pertumbuhan dan kehidupan manusia yang setiap kali perlu disempurnakan dan disembuhkan. Baginya :
·         baptisan diperlukan bagi kelahiran kembali dari jiwa,
·         penguatan bagi pemberian pertumbuhan dan kekuatan dengan Roh Kudus,
·         Ekaristi bagi kekuatan dan makanan jiwa,
·         tobat bagi penyehatan kembali jiwa yang sakit,
·         minyak suci bagi kesembuhan dan kekuatan bagi pengampunan dosa dan persiapan manusia bagi kemuliaan eskatologis.

Sedangkan dua sakramen lainnya dilihatnya dalam dimensi sosial, yakni :
·         tahbisan bagi kepemimpinan dan pelayanan Gereja
·         perkawinan dikaitkan dengan kebutuhan pelipatgandaan dan perkembangan warga Gereja.

Selain itu, jumlah tujuh berarti perjumpaan Allah dan dunia yang dirayakan dalam sakramen-sakramen. Dengan demikian, cara penafsiran angka tujuh ini begitu kreatif.
Injil Matius (Mat 13) menyebut adanya tujuh perumpamaan tentang Kerajaan Allah, Kitab Wahyu menyebut tujuh umat di Asia Kecil.
Gereja Timur mempunyai penafsiran sendiri atas jumlah tujuh sakramen. Para Teolog Gereja Timur menghubungkan tujuh sakramen itu dengan :
·         tujuh bintang (Wahyu 1 : 16)
·         tujuh kaki dian (Why 1 : 12)
·         tujuh tiang kebijaksanaan (Ams 9 : 1-3)
·         tujuh karunia Roh Kudus (Yes 11 : 2)

Teologi Gereja Timur juga memandang tujuh sakramen sebagai sakramen-sakramen yang menunjuk pada tujuh karisma eskatologis, yakni :
·         tahbisan untuk pengetahuan sempurna (perfecta scientia)
·         tobat untuk kedamaian (pax)
·         perkawinan untuk kepuasan (satietas)
·         Ekaristi untuk keabadian (immortalitas)
·         Baptisan untuk kelincahan atau ketangkasan (agilitas)
·         Pengurapan minyak suci untuk kecermatan atau kearifan (subtilitas)
·         Penguatan untuk kebenaran kemuliaan (veritas gloriosa)

3.1.3.2              Pandangan Teologi Modern

Teologi dewasa ini cenderung untuk tidak menyibukkan diri dengan angka tujuh sakramen-sakramen Gereja. Orang tidak lagi mendiskusikan angka tujuh sebagai angka keramat. Maka, pemutlakan angka tujuh bukan lagi menjadi interese teologis. Teologi modern lebih cenderung untuk kembali ke makna sakramentalitas biblis. Teologi sakramen modern memandang sakramen-sakramen dalam terang Yesus Kristus sebagai sakramen induk atau pokok dan tempat sakramen-sakramen itu dalam hakekat Gereja sebagai misteri. Jumlah tujuh sakramen dilihat dalam konteks sejarah keselamatan Allah. Dalam hal ini, sejarah keselamatan Allah itulah yang menjadi pangkal tolak pembahasan mengenai tujuh sakramen Gereja. Jumlah tujuh sakramen dibicarakan dalam konteks bagaimana karya penyelamatan Allah melalui Kristus dan sekarang dinyatakan dalam Gereja itu sampai kepada masing-masing orang menurut situasi dan kehidupan konkretnya.
Edward Schillebeeckx melihat ketujuh sakramen sebagai “tujuh saat” atau “tujuh peristiwa” utama hidup manusia. Pada peristiwa tersebut tampaklah dalam tanda Allah sendirilah yang secara pribadi membantu manusia dalam perjuangan dan suka duka hidupnya. Karl Rahner berpangkal dari sakramentalitas Gereja sebagai tanda kehadiran Yesus Kristus yang adalah sakramen induk. Bagi Rahner, ketujuh sakramen merupakan aktualisasi  pelaksanaan diri Gereja sendiri sebagai sakramen dasar yang menghadirkan Kristus, Sang Sakramen induk dalam situasi dasar kehidupan manusia.

3.1.4        Pelayan, Penerima dan Simbol Sakramen
3.1.4.1              Pelayan Sakramen

Peranan pelayan sakramen sangat ditekankan dalam teologi sakramen klasik. Konsili Firenze menyatakan bahwa sakramen-sakramen dilaksanakan menurut tiga unsur pokok, yaitu material sacramenti, forma sacramenti, dan pelayan sakramen.
Bila pernyataan itu diperhatikan dengan teliti, maka di sana pihak penerima sakramen tidak disinggung. Keabsahan penerimaan sakramen ditentukan oleh pelayan sakramen dan ketepatan yang menjadi materi dan formanya.
Mengapa unsur penerima sakramen yang sebenarnya juga menentukan penerimaan sakramen tidak disebut dan tidak memainkan peranan dalam teologi sakramen klasik? Ada beberapa sebab yang menjadi alasannya, yakni :
v  Pengertian sakramen yang instrumentalistis. Orang melihat sakramen lebih sebagai saluran atau alat untuk penyaluran rahmat Allah. Maka, alat dapat bekerja baik kalau yang melayaninya telah menggunakan alat itu sesuai prosedur.
v  Pemikiran feodalistis. Segala berkat dan hadiah datang dari atas. Si penerima tinggal menerima saja. Maka, yang penting dalam proses itu adalah si pelayan.
v  Penekanan segi kristologis. Pelayan sakramen selalu dilihat sebagai in persona Christi (dalam pribadi Kristus), sebagai pelayan Kristus. Di sini unsur manusiawi pelayan dan penerima hanya sekedar menjadi latar belakang. Yang ditonjolkan adalah peranan Kristus.

Teologi sekarang cenderung membahas daya guna sakramen sebagai hasil dari interaksi pelayan, penerima dan medium sakramen yang berupa symbol dan tindakan simbolisnya. Penerimaan sakramen adalah perayaan perjumpaan, suatu peristiwa. Di pihak pelayan, Kristus sendiri dan bersama Gereja bertindak sebagai pelayan sakramen. Gereja di sini diwakili dalam oleh pelayan resmi (kaum tertahbis) sebab perayaan itu memang perayaan resmi yang mengungkapkan dan melaksanakan diri Gereja sendiri. Pihak penerima juga bukan sekedar wadah kosong yang mati. Si penerima sakramen adalah subyek atau orang beriman yang hidup dan warga Gereja yang menjumpai dan menanggapi panggilan Allah secara pribadi dan bebas dalam kebersamaan Gereja. Si penerima juga ikut menentukan kualitas perjumpaan sakramen ini.

3.1.4.2              Penerima Sakramen

Perayaan sakramen bersifat dialogis. Bukan hanya pelayan, tetapi juga pihak penerima yang menentukan terjadinya perayaan sakramen. Sakramen-sakramen sebagai tindakan Kristus dan Gereja-Nya berdaya guna bukan melulu pertama-tama karena iman si penerima saja. Meskipun si penerima belum begitu sadar akan apa yang terjadi dalam penerimaan sakramen, namun sakramen itu tetap dipandang valid atau sah. Mengapa ? karena sakramen-sakramen merupakan dialog perjumpaan antara Kristus dan seluruh Gereja. Meskipun demikian, sakramen-sakramen tetap merupakan sakramen iman yang berarti bahwa sakramen-sakramen hendaknya dirayakan dengan iman atau mengandaikan iman si penerima.

3.1.4.3              Simbol Sakramen

Paham sakramen sebagai peristiwa perjumpaan dan komunikasi menunjuk faktor pelayan, penerima dan mediumnya sebagai satu kesatuan. Simbol sakramen yang dimaksud di sini adalah materi dan forma. Yohanes Dun Scotus membuat pembedaan dalam hal materi sakramen, yakni :
·         Materia remota : unsur-unsur tanda yang berasal dari alam, seperti air, minyak, roti, anggur, dan sebagainya.
·         Materia proxima : unsur-unsur tanda yang berupa tindakan manusiawi yang menyertai material remota.

Penerimaan sakramen tidak hanya berlangsung dengan pemberian suatu unsur material (material remota) yang dilakukan dengan unsur tindakan simbolis dari pelayan (material proxima), tetapi juga disertai dengan “kata-kata konsekratoris” yang biasa disebut dengan forma. Pembedaan antara materi dan forma sudah ada sejak zaman Skolastik awal.

3.1.5        Tabel Daftar Syarat untuk Penerimaan Sakramen yang Sah dilihat dari Sudur Pelayan dan Penerima Sakramen


SAKRAMEN

PELAYAN

PENERIMA

Baptisan
Pelayan biasa (baptisan meriah) ialah uskup, imam dan diakon. Dalam kasus darurat : siapa saja asal memiliki wewenang dari Uskup
Setiap orang yang belum pernah dibaptis
Penguatan/ Krisma
Pelayan biasa : Uskup. Pelayan luar biasa adalah imam yang telah mendapat kuasa dari uskup atau ordinaris setempat
Orang yang sudah dibaptis dan yang belum pernah menerima penguatan ad liceitatem : hidup dalam rahmat
Ekaristi
Uskup dan imam :
·         Pelayan penerimaan komuni yang biasa : uskup, imam dan diakon
·         Pelayan penerimaan komuni yang luar biasa : siapa saja yang secara resmi diberi kuasa oleh Gereja
Setiap orang yang dibaptis, hidup dalam rahmat dan tidak dalam halangan Gereja (untuk komuni).

Tobat/ Rekonsiliasi
Uskup dan imam yang selain ditahbiskan secara sah juga memiliki kuasa yurisdiksi untuk menerimakan sakramen rekonsiliasi
Orang yang sudah dibaptis yang jatuh dalam dosa. Ia harus sudah dapat menggunakan akal budi, mempunyai rasa sesal, tobat dan mau melakukan denda dosa
Pengurapan Orang Sakit
Uskup dan imam, juga umat beriman lainnya (dalam situasi darurat), asalkan sudah tersedia minyak pengurapan
Orang yang sudah dibaptis, yang sedang menderita sakit dan kemungkinan dalam bahaya kematian
Perkawinan
Uskup dan imam
Laki-laki dan perempuan yang telah dibaptis dan bebas halangan
Tahbisan
Uskup. Pada tahbisan uskup perlu seorang uskup pentahbis utama yang didampingi oleh dua uskup lain
Seorang laki-laki yang sudah dibabptis dan bebas halangan.
ad liceitatem : hidup dalam rahmat, seperti selesai studi filsafat-teologi yang dituntut, memiliki iman yang utuh, motivasi yang jujur, nama dan hidup yang baik, aneka keutamaan yang sesuai dengan tahbisan yang akan diterimanya.


3.1.6        Tabel Daftar Inti Tata Perayaan Sakramen menurut Ritus Gereja Katolik Roma


SAKRAMEN

MATERIA SACRAMENTI

FORMA SACRAMENTI

Baptisan
Penuangan dengan air pada dahi
“ N…aku membaptis kamu dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus” (U : Amin)
Penguatan/ Krisma
Penumpangan tangan dan pengurapan minyak krisma pada dahi
“ N…terimalah tanda karunia Roh Kudus “ (U : Amin)
Ekaristi
Konsekrasi atas roti dan anggur dan penerimaan komuni

Seluruh Doa Syukur Agung
Tobat/ Rekonsiliasi
Ungkapan dan pernyataan sesal, tobat dan pengakuan dosa, penguluran tangan dan berkat tanda salib oleh Bapa Pengakuan atas kepala penitent saat absolusi
“ Allah, Bapa yang berbelas kasih telah mendamaikan dunia dengan Diri-Nya melalui wafat dan kebangkitan Putera-Nya dan telah mengutus Roh Kudus bagi pengampunan dosa. Melalui pelayanan Gereja Ia menganugerahkan kepada Saudara pengampunan dan damai. Dan dengan ini aku melepaskan Saudara dari segala dosa, dalam nama † Bapa dan Putera dan Roh Kudus “
( U : Amin)

Pengurapan Orang Sakit
Pengurapan dengan minyak pada dahi dan kedua telapak tangan. Bisa juga dalam situasi yang tidak mendukung, minyak diurapi pada dahi saja, dan jika itu pun tidak mungkin lalu pada salah satu anggota badan yang cocok
“ Semoga dengan pengurapan suci ini Allah yang Maharahim menolong saudara dengan rahmat Roh Kudus” (U : Amin)
“ Semoga Ia membebaskan saudara dari dosa, menganugerahkan keselamatan dan berkenan menabahkan hati Saudara” (U : Amin)
Perkawinan
Pernyataan Janji Nikah
“ Di hadapan imam dan para saksi, saya…….menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa … yang hadir di sini sejak saat ini menjadi istri/ suami saya. Saya berjanji akan tetap setia kepadanya dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil suci ini…”
Tahbisan
Penumpangan tangan oleh Uskup
Doa tahbisan yang panjang. Masing-masing tingkatan tahbisan memiliki rumusan doa tahbisan sendiri.


3.2.            SAKRAMEN-SAKRAMEN INISIASI KRISTEN
3.2.1.      Pengantar
3.2.1.1              Arti Inisiasi

Kata inisiasi berasal dari kata bahasa Latin inire atau initiare yang berarti memasuki, masuk atau bergabung ke dalam suatu kelompok atau memasukkan atau menerima seseorang ke dalam suatu kelompok. Selanjutnya, kata benda initiation berarti dimasukkannya atau diterimanya seseorang ke dalam suatu kelompok. Dari istilahnya sendiri, tampak bahwa inisiasi mencakup dua gerakan, yaitu (1) seseorang yang masuk atau bergabung ke suatu kelompok dan (2) kelompok tersebut menerima orang tersebut ke dalamnya. Jadi, dalam proses inisiasi berlangsunglah dua gerakan, yaitu saling masuk dan saling menerima.
3.2.1.2              Sejarah Inisiasi dalam Gereja

Tulisan-tulisan Kitab Suci Perjanjian Baru tidak mengenal istilah atau konsep inisiasi. Meskipun demikian, inisiasi sebagai praktek dan gagasan sesungguhnya sudah dimiliki oleh Gereja Perdana. Artinya, Perjanjian Baru telah mempraktekkan upacara tertentu bagi penerimaan seseorang ke dalam Gereja, yaitu pembaptisan, penumpangan tangan dan ekaristi. Perjanjian Baru menampilkan gambaran yang tidak seragam, misalnya :
a)            Kis. 8 : 17 dan 19 : 5 – 6 menunjuk praktek baptisan yang dihubuungkan langsung dengan penumpangan tangan sebagai tanda permohonan pencurahan Roh Kudus.
·         Kis 8 : 17 : “Kemudian keduanya (Petrus dan Yohanes) menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus “
·         Kis 19 : 5 – 6 : “Ketika mereka mendengar hal itu, mereka memberi diri mereka dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Ketika Paulus menumpangkan tangan di atas mereka, turunlah Roh Kudus ke atas mereka, dan mulailah mereka berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat”.
b)            Ibr 6 : 2 menampilkan suatu urutan logis inisiasi, di mana baptisan dan penumpangan tangan disebut berurutan. “ … yaitu ajaran tentang pelbagai pembaptisan, penumpangan tangan, kebangkitan orang-orang mati dan hukuman kekal “.

Pada teks-teks lain, pembaptisan dan penumpangan tangan bagi pencurahan Roh Kudus tidak dipandang sebagai dua hal. Misalnya :
a)            Kis 2 : 38 : “ Jawab Petrus kepada mereka : ‘ Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus”. Di sini, karunia Roh Kudus langsung akan diberikan apabila orang menerima  pembaptisan dalam nama Tuhan Yesus, dan tidak usah melalui penumpangan tangan seperti dalam Kis 19 : 5 - 6
b)            Kis 10 : 44 – 48 pada waktu Petrus mempertobatkan Kornelius dan seisi rumahnya di Kaisarea. Mereka dibaptis dalam nama Tuhan Yesus dan dengan demikian juga menerima karunia Roh Kudus. Pada teks ini juga penumpangan tangan sebagai tanda pencurahan Roh Kudus tidak ada.

Berdasarkan apa yang ditampilkan dalam teks-teks di atas, timbul pertanyaan : apakah teks-teks itu tidak sama? Berdasarkan teks-teks itu dapat disimpulkan bahwa praktek inisiasi dalam Gereja Perdana ternyata tidak sama dan tidak seragam.
Pada abad-abad pertama, Gereja mulai sibuk dengan perjumpaannya dengan dunia dan kultur Yunani dan Romawi. Akibat interaksi tersebut, pelan-pelan unsur-unsur budaya dan peristilahan Yunani- Romawi masuk ke dalam khazanah praktek inisiasi kristiani. Demikian pula dengan istilah inisiasi mulai diterima dan digunakan dalam praktek dan teologi Gereja. Pada abad III dan IV, unsure-unsur inisiasi mendapat bentuk baru dengan adanya tahap-tahap inisiasi. Suatu refleksi atas hubungan intern baptisa, krisma dan ekaristi dibuat oleh CYRILLUS dari Yerusalem. Pada abad-abad pertama itu, ketiga sakramen inisiasi masih diberikan bersama-sama, baik kepada orang dewasa maupun kanak-kanak. Mulai abad IV, di Barat ada tendensi bahwa praktek upacara penumpangan tangan atau krisma dipisahkan dari pembaptisan dann hanya diterimakan oleh Uskup. Tendensi ini dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu :
1)            Praksis baptisan bayi yang semakin umum yang berhubungan dengan keyakinan Gereja mengenai adanya dosa asal. Akibat makin umumnya praktek baptisan bayi itu, maka makin dirasakan pula perlunya memisahkan baptisan dan krisma. Sebab, dengan menerimakan krisma, uskup masih mendapatkan kesempatan berjumpa dengan umatnya yang dibaptis sejak bayi itu. Sementara itu, penerimaan baptisan semakin menjadi tugas imam dan diakon.
2)            Praktek baptisan untuk orang-orang yang sakit. Mereka yang sakit saat dibaptis mesti datang ke uskup sesudah sembuh untuk menerima penumpangan tangan dan pengurapan minyak krisma.
3)            Penerimaan orang-orang yang bertobat dari kelompok bidaah. Karena baptisan mereka dipandang sudah sah atau valid, maka krisma menemukan relevansinya sebagai perayaan penerimaan mereka secara resmi ke pangkuan Gereja
4)            Mengingat warga Gereja semakin banyak dan tersebar dalam aneka tempat dan wilayah, krisma atau penumpangan tangan semakin menjadi previlegi uskup, agar uskup mengenal umat dan wilayahnya. Dengan demikian, semakin umumlah kebiasaan bahwa imam bertugas membaptis dan uskup menumpangkan tangan atau menerimakan krisma.

Memasuki abad pertengahan, praktek inisiasi antara Gereja Barat dan Gereja Timur mengalami perbedaan. Gereja Timur terus mempertahankan praktek kuno dalam inisiasi, yakni tetap mempertahankan kesatuan baptisan, krisma dan ekaristi. Sedangkan Gereja Barat cenderung mengembangkan perayaan penumpangan tangan atau krisma sebagai upacara tersendiri. Antara abad IX – XI, pemisahan baptisan dan krisma itu mencapai puncaknya. Pada abad XII, baptisan dan krisma sudah dipandang secara lazim sebagai dua sakramen tersendiri.
Pada umumnya, Gereja sekarang memandang baptisan, krisma dan ekaristi sebagai yang pertama sebagaimana dikatakan dalam Kitab Hukum Kanonik1983 (Kan. 842 § 2). Demikianlah teologi dan liturgy Gereja memandang sakramen baptisan, krisma dan ekaristi sebagai satu kesatuan sakramen inisiasi.

3.2.1.3              Teologi Inisiasi

Sakramen-sakramen inisiasi memiliki kesatuan hubungan sebagai sakramen-sakramen yang menandai kehidupan dan perkembangan hidup manusia sejak lahir, tumbuh, dan berkembang karena terpenuhinya seluruh kebutuhan manusiawinya.
Makna sakramen-sakramen inisiasi itu menunjuk pada kesatuan perutusan trinitaris, yaitu perutusan yang berlangsung dalam diri Allah Tritunggal. Perutusan trinitaris terdiri atas dua macam perutusan, yakni (1) perutusan Putera oleh Bapa dalam Roh Kudus, dan (2) perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra. Yang menyatukan kedua perutusan itu adalah Allah Bapa yang menjadi sumber dan asal-usul serta tujuan perutusan Putra dan Roh Kudus.

3.2.1.4              Sakramen Inisiasi

Sakramen inisiasi meletakkan dasar bagi seluruh hidup kristiani. Dengan pembabtisan, mulailah hidup baru, yaitu partisipasi manusia pada hidup kasih-mengasihi antara Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dalam sakramen krisma, manusia diteguhkan dan dikuatkan dalam hidup baru, hidup ilahi. Dan dalam ekaristi, murid Kristus mengambil bagian di dalam santapan rohani sebagai bekal menuju kehidupan abadi.

Inisiasi Kristen mengikuti suatu pola yang memiliki 3 (tiga) tahap, yaitu :
1)      Dari “simpatisan” menjadi “katekumen” (orang yang lagi mempersiapkan diri untuk menjadi calon babtis)
2)      Dari “katekumen” menjadi “calon babtis”
3)      Dari “calon babtis” menjadi “babtisan baru”.

Dengan demikian, inisiasi Kristen mendapat susunan sebagai berikut :

a)      Masa pra-katekumenat : untuk para simpatisan
1)      Tahap pertama : Upacara pelantikan menjadi katekumen
b)      Masa katekumenat untuk para katekumen
2)  Tahap kedua : Upacara pemilihan sebagai calon babtis
c)      Masa persiapan terakhir untuk para calon babtis yang terpilih
3)  Tahap ketiga : Upacara sakramen-sakramen inisiasi
d)  Masa pendalaman iman untuk para babtisan baru.


3.2.2.      DESKRIPSI
3.2.2.1.            SAKRAMEN PEMBABTISAN
3.2.2.1.1.      Pembabtisan dalam Sejarah
a.      Pembabtisan dalam Kitab Suci

Kata baptisan berasal dari kata bahasa Yunani baptizwin (kata bendanya baptisma) yang berarti membenamkan, atau menenggelamkan ke dalam air, entah seluruhnya atau sebagiannya. Kata-kata Yunani baptizein, baptisma ini biasa digunakan dalam Perjanjian Baru.
Pembabtisan bukanlah “penemuan” Tuhan Yesus. Upacara pembabtisan berakar dalam adapt-istiadat orang Yahudi. Agama Yahudi mengenal macam-macam upacara permandian atau penyucian untuk membersihkan orang dari dosa atau dari kenajisan, sehingga ia boleh mengikuti ritus-ritus agama (bdk. Im 15 : 5. 8. 10. 13. 18. 22; 16 : 4. 24, dst).
Pada zaman Yesus, di kalangan Yahudi terdapat semacam inisiasi dengan upacara permandian sebagai pengenangan akan bangsa Yahudi yang melintasi Laut Merah. Dalam kerangka ini, muncul gerakan Yohanes Pembabtis yang membaptis orang sebagai tanda pertobatan (Mat 3 : 11). Gereja mengambil alih upacara perbaptisan dari Yohanes.[3]
Pembabtisan Kristen bukan hanya tanda pertobatan (seperti pada Yohanes Pembabtis), melainkan tobat dalam kepercayaan akan Yesus. Yang diterima bukan hanya pengampunan dosa, melainkan juga “karunia Roh Kudus” (bdk. Rm 8 : 16). Pembabtisan bukan hanya permohonan akan belas kasihan Allah, melainkan ungkapan iman akan Yesus Kristus, Juru Selamat manusia (bdk. Tit 1 : 4).
Yohanes Pembabtis membabtis orang dalam sungai Yordan, dan murid-murid Yesus pun demikian. Jadi, tempat pembabtisannya adalah sungai atau kolam. Tetapi, ketika umat Kristen mulai berkembang di kota-kota di mana secara geografis umat kesulitan untuk mencapai sungai-sungai, maka mereka membangun kolam-kolam dalam gereja untuk pembabtisan. Ritus  pembabtisan dalam kitab suci, yaitu menenggelamkan orang ke dalam air, tetap dilakukan. Ritus pembabtisannya adalah:
1.    Seseorang ditenggelamkan ke dalam  air;
2.    Ketika orang yang bersangkutan berada di dalam air, maka pemimpin ritus memberikan pertanyaan kepada orang itu, di mana pertanyaannya juga masih bergema sampai sekarang yang biasa ditanyakan pada upacara malam paskah, yaitu :
“percayakah saudara akan Allah Bapa yang maha kuasa, pencipta langit dan bumi ? Percayakah saudara akan Yesus Kristus, PuteraNya yang tunggal, Tuhan kita, yang dilahirkan oleh Perawan Maria; yang menderita sengsara, wafat dan dimakamkan; yang bangkit dari antara orang mati, dan naik ke surga duduk di sisi kanan Bapa yang mahakuasa ?
Percayakah saudara akan Roh Kudus, Gereja Katolik yang kudus, persekutuan para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan dan kehidupan kekal ? “

3.    Sesudah setiap pertanyaan diajukan, maka seseorang yang berada di dalam kolam hendaknya menjawab : “Ya, saya percaya”.
4.    Sesudah pertanyaan itu dijawab, maka orang tersebut ditenggelamkan lagi ke dalam air sebanyak tiga kali.

            Karena itu, sakramen pembaptisan dengan jelas menjadi “sakramen iman” dengan pokoknya adalah pengakuan iman Gereja atau syahadat.
Menurut St. Paulus, mengambil bagian dalam wafat dan kebangkitan Kristus merupakan pokok sakramen pembaptisan (bdk. Rm 6 : 4), atau dengan kata lain “Yang dibabtis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus” (bdk. Gal 3 : 27). Dengan pembabtisan seseorang sungguh secara total dipersatukan dengan Kristus.
Pembaptisan dalam Kitab Suci menekankan hidup yang baru, dan bukan hanya pengampunan dosa. Unsur pembersihan diri dari noda dosa tentu tetap ada, tetapi yang lebih penting adalah kesatuan dengan Kristus sebagai Anak Allah. Selain itu, di dalam 1 Kor 12 : 13 dijelaskan unsure lain dari pembabtisan, yaitu bahwa dengan pembabtisan seseorang tidak hanya menerima karunia Roh Kudus, tetapi juga menjadi anggota tubuh Kristus, yaitu Gereja. Karena itu, di dalam Kristus dan oleh pembabtisan, maka segala perbedaan dan pertentangan antara suku atau kelas social akan terhapus. Pembaptisan tidak hanya melahirkan seorang manusia baru, tetapi umat manusia yang baru.
Pembaptisan dalam Perjanjian Baru memiliki beberapa makna teologis, seperti :
1)      Baptisan sebagai tanda iman. Ini berarti bahwa di satu pihak baptisan itu mengadaikan iman dan di lain pihak iman dari orang yang dibaptis itu harus dihidupi dan dikembangkan dalam seluruh hidupnya.
2)      Baptisan sebagai penyerupaan pada Yesus Kristus. Artinya, dengan baptisan kita menjadi serupa dengan Yesus Kristus. Dengan baptisan, kita berpartisipasi dan mengambil bagian dalam seluruh hidup dan nasib Yesus Kristus.
3)      Baptisan sebagai pengampunan dosa.
4)      Baptisan mengaruniakan Roh Kudus. Melalui baptisan, kita menerima karunia Roh Kudus.
5)      Baptisan mempersatukan kita ke dalam satu tubuh : Gereja.
6)      Baptisan sebagai karunia hidup baru.

b.                  Pembabtisan dalam Tradisi Gereja

Gereja sejak awal menyadari bahwa jalan iman dan hidup sebagai murid merupakan suatu proses pertumbuhan yang berlangsung lama dan membutuhkan bantuan structural. Artinya, baik orang sudah dibaptis maupun yang belum dibaptis dan ingin dibaptis perlu mendapat pelajaran dan bimbingan mengenai iman Gereja. Proses inisiasi diadakan oleh Gereja bagi mereka yang ingin bergabung. Namun, bagaimana praktek inisiasi dijalankan dalam Gereja perdana belumlah seragam. Yang jelas, praktek liturgy jemaat perdana belumlah amat kompleks.
Selanjutnya, ajaran dan praktek baptisan pada zaman Bapa-Bapa Gereja masih terus mengembangkan seluruh warisan pemahman biblis terhadap baptisan. Santu Yustinus Martir mengungkapkan bahwa baptisan itu mengandaikan keputusan iman. Baptisan dilaksanakan dalam tempat permandian dan saat dibaptis diserukan nama Allah Tritunggal. Selain itu, Santu Irenius dari Lyon yang adalah orang pertama yang menyampaikan dasar teologis baptisan bayi, melihat perlunya pembaptisan untuk memperoleh keselamatan dalam Yesus Kristus. Lebih lanjut Cyrillus dari Yerusalem membuat suatu katekese mistagogis dan menjelaskan bahwa para baptisan baru memperoleh karunia Roh Kudus, pengampunan dosa, karunia sebagai anak-anak Allah, dan dipersatukan dengan peristiwa penderitaan Kristus. Dan Santu Ambrosius dari Milan banyak membahas masalah kemestian baptisan untuk keselamatan dengan mengakui baptisan darah.
Pada awal abad III, sudah mulai terbentuk model tahapan dalam seluruh proses inisiasi Kristiani. Dalam tradition apostolica-nya, HIPOLITUS melaporkan tahap-tahap itu, yakni :
·         Orang-orang yang menjadi Kristiani harus menjalani masa katekumenat yang berlangsung selama 3 tahun. Selama waktu itu, ada katekese dan pelajaran agama yang kemudian disudahi dengan suatu upacara doa dan penumpangan tangan.
·         Beberapa minggu sebelum masa Paskah merupakan masa persiapan intensif untuk persiapan baptisan. Pada masa ini, para katekumen dipilih sebagai orang-orang terpilih, terpilih sebagai orang yang dipanggil dan dipilih Tuhan untuk mempersiapkan diri masuk ke jemaat keselamatan. Dalam masa ini ada ujian tingkah laku. Mereka juga diikutsertakan dalam ibadat sabda dan aneka kegiatan liturgis lainnya.
·         Perayaan dan penerimaan sakramen-sakramen inisiasi dilangsungkan bersama-sama dalam perayaan liturgy pada malam paskah
·         Pada masa Paskah, warga Gereja yang baru itu menjalani masa mistagogi, yakni masa untuk memperdalam, memantapkan dan menghayati iman akan misteri Kristus, serta membiasakan diri pada kebiasaan dan tradisi hidup Gereja. Dalam masa ini, juga masih diberi penjelasan makna dan konsekuensi sakramen-sakramen inisiasi.

Tahapan-tahapan di atas terus berlangsung hingga abad V.

Pada abad IV – V, ada pergeseran perhatian. Pertama, fokus perhatian teologis bergeser dari penerima baptisan ke masalah pelayan baptisan. Problemnya muncul karena ada kelompok bidaah, seperti DONATISME yang menolak keabsahan baptisan yang diberikan oleh orang-orang berdosa. Gereja menanggapinya dengan menegaskan bahwa baptisan mereka itu sah atau valid, sebab yang membaptis adalah Kristus sendiri. Kedua, diskusi yang amat ramai ialah masalah perlunya baptisan berhubungan dengan dosa asal. Agustinus berhadapan dengan kelompok PELAGIANISME yang menolak adanya dosa asal. Bertolak dari baptisan bayi, Agustinus berupaya membuktikan bahwa dosa asal itu memang ada dan keselamatan manusia melulu tergantung pada Allah saja.
Abad Pertengahan diwarnai oleh dominasi pandangan teologi Skolastik. Bahkan pengaruh Skolastik berkembang hingga abad XX. Pada awal abad pertengahan muncul tokoh seperti Hrabanus Maurus (780 – 856) yang memikirkan baptisan sebagai peralihan ke suatu wilayah kerajaan baru. Tokoh lain yang muncul pada zaman ini adalah Petrus Lombardus yang membuat sistematisasi teologi baptisan, seperti apa artinya baptisan, manakah bentuk-bentuknya, kapan dan untuk apa baptisan itu diadakan.
Konsili Firenze pada tahun 1439 menyampaikan ajarannya mengenai sakramen baptisan yang hingga kini tetap bergema. Konsili menghubungkan diri dengan ajaran Thomas Aquinas. Konsili memandang baptisan sebagai pintu gerbang kepada kehidupan rohani, sebab dengan baptisan itu kita menjadi anggota Kristus dan ditambahkan ke tubuh Gereja.
Konsili Vatikan II memiliki pandangan yang cukup jelas mengenai sakramen baptisan. Baptisan dan krisma dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari inisiasi kristiani yang bersama dengan ekaristi menjadi sakramen-sakramen inisiasi yang utuh.


c.                   Pembabtisan Sekarang

            Pembabtisan sekarang berlangsung sebagai berikut :

“Pemimpin upacara mengajak calon babtis untuk mengakui imannya (dengan tiga pertanyaan tersebut di atas). Kalau pembabtisan dilakukan dengan menenggelamkan seseorang ke dalam air, maka hendaknya diperhatikan soal kesopanan. Kalau pembabtisan dilakukan dengan menuangkan air, maka pemimpin upacara mengambil air dari bejana pembabtisan dan menuangkannya tiga kali atas kepala calon, sambil mengucapkan rumus pembabtisan
‘ ……..(pemimpin menyebut nama calon babtis), aku membabtis engkau † demi nam Bapa dan Putra dan Roh Kudus “ .
Sementara itu, calon babtis dipegang oleh wali babtis. Lalu, pemimpin upacara mengurapi ubun-ubun setiap babtisan baru dengan minyak krisma tanpa mengatakan apa-apa “.

Konsili Vatikan II, dalam Sacrosanctum Consillium artikel 6 berbicara tentang arti pembabtisan, bahwa melalui pembabtisan, seseorang dimasukkan ke dalam misteri Kristus, di mana mereka mati, dikuburkan dan dibangkitkan bersama Dia; Mereka menerima Roh pengangkatan menjadi anak Allah.

3.2.2.1.2.      Makna Sakramen Pembabtisan

Sakramen pembabtisan merupakan suatu realitas yang berisikan :
Ø  Pengampunan dosa asal serta semua dosa pribadi maupun hukuman dosa
Ø  Kelahiran dalam hidup baru yang membuat manusia menjadi ciptaan baru (bdk. 2 Kor 5 : 17), yaitu :
·         Menjadi anak angkat Allah, yang “boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2 Ptr 1 : 4)
·         Menjadi anggota Kristus (bdk. 1 Kor 6 : 15; 12 : 27), dan ahli waris bersama dengan Dia (Rm 8 : 17)
·         Menjadi kenisah Roh Kudus
Ø  Penerimaan menjadi anggota Gereja, tubuh Kristus yang mistik.
Allah Tritunggal menganugerahkan rahmat pengudusan kepada seseorang yang dibabtis, yaitu rahmat pembenaran yang memungkinkan dia untuk :
Ø  Percaya kepada Allah, berharap padaNya, dan mengasihiNya
Ø  Hidup di bawah bimbingan Roh Kudus dan berbuat baik sesuai dengan karunia Roh
Ø  Berkembang dalam kebaikan berkat keutamaan moral.
St. Gregorius dari Nazians menjelaskan beberapa makna sakramen pembabtisan, yaitu :
Ø  Sakramen pembabtisan sebagai sebuah pemberian, karena sakramen ini diterimakan kepada orang-orang yang tidak memiliki apa-apa.
Ø  Sakramen pembabtisan adalah suatu rahmat, karena diberikan justru kepada orang-orang yang bersalah, yang memiliki dosa.
Ø  Aktus pembabtisan seperti pembenaman berarti dosa manusia dikuburkan dalam air. Air membersihkan manusia dari dosa-dosa.
Ø  Sakramen pembabtisan berarti penyucian.
Ø  Sakramen pembabtisan adalah sebuah meterai, karena melindungi dan menjamin umat sebagai milik Allah.





3.2.2.1.3.      Pembabtisan Kanak-Kanak
  1. Sejarah Baptisan Bayi

Dalam Kitab Suci, tidak ada berita tentang pembabtisan kanak-kanak, meskipun dalam Kisah Para Rasul 16 : 33 dikisahkan tentang kepala penjara Filipi “memberi diri dibabtis, ia dan keluarganya” (bdk. Kis 16 : 15; 18 : 8) yang bisa ditafsirkan kalau bisa terjadi di antara seluruh anggota keluarga itu terdapat anak-anak. Dari kitab suci, hal itu tidak jelas, dan tetap tidak jelas sampai akhir abad ke-2.
Pada tahun 250 M, actus membabtis anak sudah menjadi kebiasaan di Afrika Utara, tetapi dalam arti pembabtisan terhadap anak-anak itu tetap dilakukan bersama dengan pembabtisan orang dewasa. Selanjutnya, pada zaman St. Agustinus, yaitu pada tahun 354- 430, pembabtisan bayi sudah menjadi kebiasaan umum di wilayah itu, dan kemudian menjadi kebiasaan umum, karena  pada waktu itu jarang ditemukan orang dewasa yang dibabtis, sebab semua keluarga sudah menjadi Kristen. Selain itu, hal mendasar yang menyebabkan pembabtisan anak-anak menjadi kebiasaan umum pada zaman St. Agustinus adalah ajaran mengenai dosa asal yang mengajarkan bahwa anak-anak juga memiliki warisan dosan asal, dan jika anak-anak tidak dibabtis, maka mereka tidak akan memperoleh keselamatan.
Pada zaman sekarang, pembabtisan kanak-kanak adalah sebuah ritus resmi dalam gereja katolik. Alasan mendasar adalah bahwa anak-anak dibabtis dalam iman Gereja yang diakui oleh orang tua dan wali babtis serta semua umat yang menyaksikan. Mereka dibabtis sebagai seorang anak, dan bukan sebagai seorang dewasa yang mandiri, dan karena itu, sakramen ini mendapat arti sepenuhnya, kalan kanak-kanak yang dibabtis dalam iman Gereja itu kemudian dididik pula dalam iman (Konferensi Wali Gereja Indonesia, 1996 : 425).
Pembabtisan kanak-kanak sebetulnya berarti penerimaan seluruh anggota keluarga ke dalam lingkungan gereja. Hal ini dapat dilihat dalam ritus penerimaan sakramen pembabtisan, di mana pada saat anak akan dibabtis, orang tuanya akan ditanyai : “maukah saudara supaya anak ini dipersatukan dengan Yesus Kristus dan diterima sebagai anggota umat Allah ?” pertanyaan ini sebenarnya bukan ditujukan kepada orang tua demi anak yang akan dibabtis, melainkan bahwa pertanyaan ini menggambarkan keterlibatan seluruh anggota keluarga dan umat yang hadir dalam upacara tersebut. Karena itu, dalam pembabtisan kanak-kanak, iman dan tanggung jawab orang tua tidak bisa dilepaspisahkan dari seluruh rangkaian upacara.
Dalam upacara pembabtisan kanak-kanak, orang tua lebih dipentingkan dari pada tugas wali babtis. Wali babtis sebenarnya lebih berfungsi dalam kerangka pembabtisan orang dewasa. Dalam pembabtisan orang dewasa yang biasa dibuat pada zaman dulu, terdapat dua “pembantu” calon babtis, yaitu penjamin dan wali babtis. Penjamin harus tahu watak dan kelakuan, iman dan niat simpatisan atau katekumen. Ia ikut memberikan jaminan kepada Gereja bahwa simpatisan itu pantas dilantik menjadi katekumen dan selanjutnya dipilih sebagai calon babtis. Fungsi penjamin itu selesai sebelum upacara “pemilihan”. Sedangkan wali babtis mendampingi katekumen pada hari pemilihan, pada waktu perayaan sakramen-sakramen inisiasi dan pada masa mistagogi, yaitu masa pendalaman iman, dan wali babtis berfungsi untuk menunjukkan jalan kepada babtisan baru itu supaya menerapkan injil dalam hidupnya sendiri dan dalam hubungannya dengan masyarakat. Ia harus memberi kesaksian dan menjaga perkembangan hidup kristianinya. Karena itu, untuk pembabtisan kanak-kanak, fungsi “penjami” tidak diperlukan lagi, dan fungsi “wali babtis” lebih dipegang oleh orang tua.


b.      Argumentasi yang Menolak Baptisan Bayi

Argument-argumen dari kelompok yang menolak yang baptisan bayi adalah :
·               Iman dipahami sebagai tindakan pengakuan dan persetujuan yang secara tegas bersifat pribadi dan personal, bahwa iman itu urusan pribadi dan bukan orang lain. Dengan demikian, bayi belum bisa membuat persetujuan dan pengakuan secara pribadi dan personal
·               Iman dipahami sebagai tanggapan dan penerimaan pribadi terhadap suatu pewartaan yang mestinya terjadi sebelumnya. Model klasiknya ada dalam Kis 2 : 14 – 40. Di situ iman dan baptisan baru diadakan sesudah orang mendengarkan pewartaan Injil (oleh Petrus) lalu menanggapinya dengan iman dan menyediakan diri dibaptis. Dalam baptisan bayi, hal ini tidak terjadi, karena bayi langsung dibaptis dan nyatanya tidak mungkin memberikan pewartaan kepada bayi.
·               Iman dipahami sebagai tindakan manusia yang mengandaikan kebebasan dan tanggung jawab pribadi. Iman sebagai upaya dan usaha manusia untuk menjawab Allah. Dengan demikian, bayi belum mampu bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi. Bayi belum bisa menggunakan kebebasannya, sehingga apapun yang terjadi padanya tidak bisa dipertanggungjawabkannya.

c.       Argumentasi yang Setuju dengan Baptisan Bayi

Kelompok yang setuju dengan baptisan bayi menjawab keberatan dari orang-orang yang menolak praktek baptisan bayi. Argument-argumennya adalah :
·         Iman tidak bisa disempitkan hanya pada masalah pribadi, sebab menurut struktur dasar eksistensi manusia, manusia tidak bisa melepaskan diri dari kebersamaan dan komunitas. Semua pengetahuan, cara pikir, proses kehidupan, bahasa, pakaian, kesehatan, dan sebagainya tidak pernah terlepas dari realitas kebenaran. Demikian pula dengan iman, iman itu bukan hanya soal pribadi, melainkan juga masalah kebersamaan dan komunitas.
·         Model iman itu tidak hanya hasil pewartaan atau khotbah. Masih ada model iman yang lain, misalnya seperti dalam Rm 6 : 1 – 14; 1 Kor 10 : 1 – 13; 1 Kor 6 : 1- 11; 1 Ptr 3 : 13- 22. Di situ iman dipandang sebagai proses yang tidak sekali jadi, tetapi suatu proses yang terus-menerus. Iman justru diharapkan dapat tumbuh terus sesudah orang dibaptis. Maka, dalam realitas beriman, bukan hanya iman yang membawa orang kepada baptisan, melainkan juga baptisan dapat membawa orang kepada iman.
·         Iman itu merupakan karunia Allah, dan bukan sekedar usaha dan tindakan manusia. Memang benar manusia harus bertanggung jawab dan memutuskan secara bebas. Tetapi, iman itu sesungguhnya merupakan suatu kurnia dan bukan jasa atau sekedar soal keputusan pribadi. Iman juga sesuatu yang harus dimohon dan ditambahkan oleh Tuhan sendiri.

d.      Jawaban Teologis dalam Gereja Katolik

Pada umumnya teologi katolik membela dan mempertahankan baptisan bayi dengan alasan :
·         Penebusan dan keselamatan itu merupakan karunia. Pengampunan dan penebusan benar-benar merupakan karunia Allah yang senantiasa ditawarkan kepada siapa saja, juga kepada mereka yang lemah dan kecil, seperti para bayi itu. Iman itu merupakan sikap dan tanggapan manusia sebagai ungkapan keterbukaan terhadap karunia itu. Justru ungkapan keterbukaan itu paling tampak dalam baptisan bayi. Baptisan bayi mengungkapkan dengan baik ketergantungan manusia pada Allah.
·         Beriman berarti bersama dengan orang lain. Iman itu terikat dan berhubungan dengan kebersamaan dan komunitas. Iman yang diimani bukanlah iman pribadi, melainkan iman Gereja sebagaimana diwartakan oleh Gereja.
·         Beriman bukanlah suatu peristiwa yang sekali jadi, melainkan merupakan proses pertumbuhan yang terus-menerus. Orang harus selalu tumbuh secara terus-menerus dalam iman, demikian pula dalam baptisan bayi. Dengan baptisan itu, seorang anak dipersiapkan dalam suatu proses pertumbuhan iman yang diharapkan terus berkembang. Perkembangan iman anak akhirnya juga bergantung pada lingkungan dan kebersamaan.

3.2.2.1.4        Pokok-Pokok Liturgi dan Pastoral Baptisan

Pada umumnya ada 4 (empat) masa pembinaan dan 3 (tiga) tahap upacara dalam proses inisiasi dewasa. Keempat tahap itu adalah :

·               Masa Prakatekumenat untuk para simpatisan. Lamanya masa ini tidak menentu, tergantung kesiapan calon untuk memasuki masa katekumenat. Yang terpenting, simpatisan merasa mantap menjadi orang kristiani.
·               Masa katekumenat untuk para katekumen. Masa ini menjadi masa pembinaan intensif melalui pengajaran agama. Lama masa ini tergantung juga pada kesiapan katekumen. Umumnya lama masa katekumenat berkisar antara satu hingga beberapa tahun.
·               Masa persiapan terakhir untuk para calon baptis. Para calon baptis dipersiapkan secara intensif untuk penerimaan sakramen inisiasi, misalnya dengan upacara-upacara penyucian, rekoleksi atau ret-ret. Masa ini biasanya berlangsung selama masa prapaskah.
·               Masa mistagogi untuk para baptisan baru. Para baptisan baru dimantapkan kembali dalam imannya dan dibawa masuk ke dalam lingkungan umat beriman dengan segala adat dan kebiasaannya. Umumnya masa ini berlangsung pada masa Paskah dan diakhiri pada Hari Raya Pentekosta.

Sedangkan ketiga tahap upacara dalam proses inisiasi adalah :
·               Tahap I : Upacara pelantikan menjadi katekumen. Upacara ini mengakhiri masa prakatekumenat dan mengawali masa katekumenat
·               Tahap II : upacara pemilihan sebagai calon baptis atau pengukuhan katekumen terpilih. Masa ini mengakhiri masa katekumenat. Biasanya diadakan sekitar awal masa prapaskah
·               Tahap III : Perayaan sakramen-sakramen inisiasi. Inilah puncak seluruh proses inisiasi. Paling ideal upacaranya dirayakan paa Malam Paskah.

3.2.2.1.5        Nama Baptis

Pada saat baptisan, orang biasanya memiliki nama baptis. Memang nama baptis ini sendiri tidak termasuk syarat demi sah atau validnya baptisan. Meskipun demikian, tradisi penggunaan nama baptis bagi orang yang dibaptis merupakan tradisi yang baik dan pantas dilanjutkan. Tradisi penggunaan nama orang kudus bagi orang yang dibaptis sudah ada sejak abad-abad pertama di Gereja Timur. Pada abad IV nama orang kudus biasa digunakan juga pada kanak-kanak yang dibaptis. Baru pada abad XIII praktek ini tersebar di Gereja Barat. Ketika menghadapi kelompok reformasi yang menentang penghormatan kepada orang-orang kudus, Gereja Katolik semakin menekankan penghormatan orang kudus itu. Pada umumnya, harus dikatakan bahwa penggunaan nama orang kudus sebagai napa baptis memiliki tiga makna, yaitu :
a)      Agar keutamaan, kesucian dan keteladanan orang suci itu terpancar pada orang atau anak yang dibaptis.
b)      Agar orang suci itu membantu orang yang dibaptis melalui doa dan relasi khususnya dengan orang tersebut, sehingga orang itu dapat hidup pantas bagi Allah.
c)      Nama baptisan juga merupakan symbol hidup baru yang diterimanya melalui baptisan.

3.2.2.2.            SAKRAMEN KRISMA
3.2.2.2.1.      Sejarah Singkat Sakramen Krisma

Para nabi telah mewartakan bahwa atas dasar perutusan keselamatanNya, maka Roh Allah akan tinggal di atas Mesias yang dinantikan.  Roh Kudus turun ke atas Yesus ketika Ia dibabtis oleh Yohanes. Hal ini menjadi tanda bahwa Yesuslah penyelamat yang dinanti-nantikan. Dia-lah Mesias, Putera Allah, dan karena Yesus dikandung oleh Roh Kudus, maka seluruh hidup dan perutusanNya berlangsung dalam persekutuan sempurna dengan Roh Kudus yang diberikan kepadaNya “dengan tidak terbatas”.
Kepenuhan Roh juga diberikan kepada seluruh umat mesianis. Berulang kali Yesus menjanjikan curahan Roh dan Ia memenuhi janjiNya itu untuk pertama kalinya pada hari Paskah dan secara nyata pada hari Pentekosta yang kemudian karena kepenuhan Roh itu, maka para rasul mulai mewartakan “perbuatan-perbuatan besar yang dikerjakan oleh Allah”. Curahan Roh Kudus itu adalah tanda untuk saat mesianis, dan siapa yang percaya akan dibabtis dan menerima karunia Roh Kudus. Para rasul membabtis dan mencurahkan Roh Kudus kepada semua babtisan baru dengan aktus peletakkan tangan. Karena itu, di dalam tradisi katolik, peletakkan tangan yang dibuat oleh para rasul itu dipandang sebagai awal lahirnya sakramen penguatan atau krisma (bdk. Kis 8 : 14- 17 tentang Petrus dan Yohanes yang meletakkan tangan atas orang yang baru dibabtis oleh Filipus, atau Kis 19 : 1- 7 tentang Paulus yang meletakkan tangan atas orang yang hanya menerima pembabtisan Yohanes, pembabtisan dengan air).
Sakramen ini biasa disebut dengan penguatan atau krisma. Penguatan merupakan terjemahan kata Latin confirmatio yang menunjuk kepada peneguhan pembabtisan, sedangkan krisma berasal dari kata Yunani chrisma, krima yang berarti pengurapan atau kata kerjanya chrio, chriein yang berarti mengurapi. Karena itu, tradisi Helenis menyebutkan sakramen itu dengan nama Khrismasi, yaitu urapan dengan krisma, atau dengan sebutan myron, yang juga berarti krisma.
Penguatan atau krisma resmi dipandang sebagai sakramen tersendiri oleh Gereja pada abad XII, ketika Konsili Lyon II (1274) mengajarkan jumlah tujuh sakramen.

3.2.2.2.2.      Penguatan dalam Kitab Suci

Pada Gereja Perdana, sebagaimana tampak dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru, dan juga pada Gereja abad-abad pertama, perayaan inisiasi Gereja masih merupakan suatu kesatuan. Pada masa Gereja Perdana, suatu ritus tersendiri sebagaimana yang dikenal sebagai sakramen penguatan atau krisma seperti sekarang belum terbentuk. Karunia Roh Kudus yang menjadi saripati yang dirayakan dalam sakramen penguatan lebih dikaitkan dan dimasukkan dalam konteks peristiwa pembaptisan. Meskipun demikian, munculnya sakramen penguatan dalam sejarah Gereja bukanlah karangan dan rekaan Gereja sendiri, melainkan memiliki akar dan hubungan yang kuat dalam praksis Gereja perdana dan bahkan kehidupan Yesus sendiri.
Terdapat dua data dari tulisan Perjanjian Baru yang pada masa kemudian menjadi semacam dasar teologi dan liturgy penguatan atau krisma. Kedua data itu adalah :
1)            Perjanjian Baru menghubungkan penerimaan karunia Roh Kudus dengan pengurapan minyak. Karunia Roh yang dihubungkan dengan tindakan penguatan ini sebenarnya sudah ada sejak Perjanjian Lama (bdk. 1 Sam 16 : 13; Yes 61 : 1). Yesus sendiri diurapi dan pengurapan ini menjadi tanda bahwa Roh Allah tinggal pada-Nya (bdk. Luk 4 : 18; Kis 4 : 27; 10 : 38). Jika orang Kristen diurapi, maka itu berarti ia mengambil bagian dalam pengurapan Roh Allah pada diri Yesus Kristus. Dan dalam rangka partisipasi pada pengurapan Roh pada Yesus inilah orang-orang kristiani diurapi dengan Roh Kudus (bdk. 2 Kor 1 : 21- 22; 1 Yoh 2 : 20- 27).
2)            Perjanjian Baru juga mengenal tindakan penumpangan tangan yang dihubungkan dengan pencurahan Roh Kudus (bdk. Kis 8 : 14- 17; 19 : 1- 7). Dalam sejarah, teks ini dipandang sebagai asal-usul skaramen penguatan. Teks ini juga memberi kesan bahwa baptisan belum menganugerahkan Roh Kudus dan baru dengan penumpangan tangan terjadi pencurahan Roh Kudus.

Dari dua data Perjanjian Baru ini dapat disimpulkan bahwa ritus inisiasi pada mulanya merupakan satu kesatuan sebagaimana dipraktekkan dalam baptisan. Dalam baptisan itu, sekaligus dirayakan pencurahan Roh Kudus sendiri. Namun, dalam proses perkembangan yang masih dalam rangka Perjanjian Baru, mulailah praktek penumpangan tangan menurut arti juga sebagai penyampaian karunia Roh Kudus. Kemudian pelan-pelan sesudah Perjanjian Baru tumbuhlah aneka tambahan ritus, seperti pengurapan minyak, penumpangan tangan, penandaan tanda salib pada dahi, dan sebagainya.

3.2.2.2.3.      Arti Sakramen Krisma

Sakramen krisma memperkaya umat beriman dengan daya kekuatan Roh Kudus yang istimewah. Keistimewahan itu ditunjuk dengan pengkhususan Roh Kudus, yang pada hari Pentekosta diutus Tuhan kepada para rasul. Pembabtisan dan Krisma mesti dibedakan, walau keduanya memiliki hubungan satu sama lain. Pembedaan keduanya adalah berdasarkan peristiwa paskah dan pentekosta.
Pada hari Paskah, Allah membangkitkan Kristus dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di surga (bdk. Ef 1 : 20). Kemudian, pada hari pentekosta, Kristus mencurahkan Roh Kudus kepada para rasul (bdk. Kis 2 : 33) dengan tujuan agar “kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, kamu akan menjadi saksiKu di Yerusalem, di seluruh Yudea dan Samaria, dan sampai ke ujung bumi “ (bdk. Kis 1 : 8). Karena itu, PASKAH berarti Yesus dengan kemanusiaanNya masuk ke dalam kemuliaan ilahi, sedangkan PENTEKOSTA berarti Roh Kudus, “yang keluar dari Bapa” (Yoh. 15 : 27), diutus ke dalam dunia.
Konsili Vatikan II, dalam Lumen Gentium artikel 11 menjelaskan bahwa pembabtisan adalah “pintu” untuk “masuk menjadi anggota umat Allah”, dan Krisma mewajibkan orang “menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi Kristus yang sejati”. Dengan demikian, sakramen pembabtisan mengarah ke dalam, dan sakramen krisma mengarah ke luar. Inisiasi merupakan proses “masuk kemudian diutus”.
Pada zaman Tertullianus (160- 220) berkembang terus arti Pentekosta sebagai saat Gereja mendapat perutusannya dari Tuhan yang mulia, dan sakramen pembabtisan serta krisma baru mulai dikenal sejak abad ketiga, namun kesadaran akan perbedaan antara Paska dan Pentekosta sudah ada dalam Kitab Suci (bdk. Yoh 7 : 39 “ Roh belum datang karena Yesus belum dimuliakan”). Sementara itu, proses menghubungkan dua tahap dalam proses kelahiran Gereja (Paskah dan Pentekosta) dengan proses inisiasi, baru terjadi dalam perkembangan tradisi Gereja.
Nama “sakramen penguatan” tidak berhubungan dengan upacara liturgisnya, tetapi menunjuk kepada isi dan artinya, yaitu dikuatkan untuk tampil sebagai saksi Kristus, baik dengan perkataan maupun (terutama) dengan corak kehidupan. Sakramen Krisma menjadi tanda kematangan seseorang kristiani dan memberikan kekuatan kepadanya untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai pewarta injil dalam kehidupan nyata.

3.2.2.2.4.      Perayaan Sakramen Krisma

Kitab Suci tidak menyebutkan secara eksplisit saat diadakannya perayaan penerimaan sakramen Krisma. Tetapi, kiranya menjadi jelas bahwa Kitab Suci telah mengungkapkan peranan Yesus yang mengadakan sakramen ini dengan janjiNya untuk mengutus Roh Kudus yang kemudian Roh itu turun atas para rasul pada hari Pentekosta, dan selanjutnya para rasul sungguh melayani sakramen ini segera sesudah peristiwa pentekosta itu. Karena itu, secara implicit dapat dijelaskan bahwa perayaan penerimaan Sakramen Krisma diadakan setelah hari raya Pentekosta.
Tradisi Gereja Timur mengadakan perayaan penerimaan sakramen krisma yang disatukan dengan perayaan penerimaan sakramen babtis, sedangkan dalam tradisi Gereja Barat atau Latin (Roma), terdapat dua ritus tersendiri untuk babtis dan krisma. Meskipun demikian, untuk mengungkapkan hubungan erat antara Babtis dan Krisma yang pada dasarnya merupakan kesatuan, maka perayaan Sakramen Krisma dimulai dengan pembaharuan janji babtis dan dengan pengakuan iman dari para calon krisma.
Ritus selanjutnya adalah Uskup membentangkan tangannya ke atas calon krisma yang merupakan tanda pemberian Roh Kudus. Dengan tangan terentang, Uskup memohonkan dicurahkannya Roh. Sesudah itu, menyusul unsure hakiki sakramen krisma, yaitu pengurapan dahi dengan minyak krisma[4] yang terjadi dengan penumpangan tangan disertai kata-kata : “Terimalah Meterai Roh Kudus, karunia Allah”.
Sakramen Krisma memberikan cap rohani yang tak terhapuskan dalam jiwa orang kristiani, sehingga sakramen ini hanya dapat diterima satu kali saja. Meterai berarti :
ü  Lambang diri pribadi (Kej 38 : 18; Kid 8 : 6)
ü  Tanda kuasa (Kej 41: 42)
ü  Dan tanda hak milik atas sesuatu (Ul 32: 34)

Meterai Roh Kudus itu menunjukkan bahwa orang kristiani itu seluruhnya adalah milik Kristus dan untuk selamanya mengabdi kepadaNya, dan juga mengacu kepada perlindungan ilahi dalam pencobaan mendatang yang besar dan eskatologis (Why 7:2- 3; 9: 4; Yeh 9: 4- 6).

3.2.2.2.5.      Tanda Sakramen Krisma

Tradisi Latin menunjukkan bahwa tanda sakramen krisma adalah penumpangan tangan dan pengurapan dengan minyak krisma. Penumpangan tangan berarti pemberian kedewasaan yang penuh dan sempurna, suatu pemberian kekuatan yang khusus, sedangkan pengurapan[5] dengan minyak krisma berarti pemberian tanda meterai Roh Kudus. Meterai Roh Kudus ini berarti bahwa seseorang sepenuhnya menjadi milik Kristus, ditempatkan dalam pelayananNya untuk selamanya dan menerima karunia-karunia Roh, yaitu hikmat kebijaksanaan, pengertian, penghiburan, keberanian, pengenalan akan Allah, kesalehan dan takut akan Allah (Allah sebagai misterium tremendum et fascinas : Allah itu menakutkan sekaligus mempesona).

3.2.2.2.6.      Makna Sakramen Krisma

Sakramen Penguatan menyebabkan curahan Roh Kudus dalam kelimpahan, sebagaimana yang dialami para Rasul pada hari Pentekosta. Karena itu, sakramen penguatan menghasilkan pertumbuhan dan pendalaman rahmat pembabtisan.
Sakramen krisma memiliki makna, antara lain :
  • Menjadikan seseorang sebagai sungguh-sungguh anak Allah dan berkata “Abba, Ya Bapa”
  • Menyatukan seseorang dengan Kristus
  • Menambah karunia Roh Kudus di dalam diri
  • Mengikat seseorang lebih sempurna kepada Gereja
  • Menganugerahkan kekuatan khusus, sehingga seseorang dapat menjadi saksi-saksi Kristus yang sejati dalam menyebarluaskan dan membela iman dengan perkataan dan perbuatan
  • Mengakui nama Kristus dengan lebih berani
  • Membuat seseorang tidak akan malu karena “salib”.

3.2.2.2.7        Tiga Dimensi Sakramen Penguatan

Terdapat tiga dimensi sakramen penguatan, yaitu (1) dimensi antropologis : sesuai dengan kebutuhan dasar manusia, (2) dimensi sacramental- eklesiologis : partisipasi dalam tugas gereja, dan (3) dimensi kristologis : saksi Kristus.
1.            Dimensi Antropologis : sesuai dengan Kebutuhan Dasar Manusia
Materi sakramen penguatan adalah minyak. Ternyata minyak itu merupakan simbolisasi yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Minyak digunakan untuk macam-macam keperluan. Minyak digunakan untuk kesehatan atau kesembuhan. Minyak juga digunakan untuk kekuatan dan kelenturan tubuh. Selain itu, simbolisasi penumpangan tangan juga biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau seseorang menepuk bahu orang lain, itu berarti bahwa ia menyapa atau memberi dorongan. Penumpangan tangan itu bemakna sebagai pemberian restu, pengalihan dan penerimaan tugas dan tanggung jawab tertentu.

2.            Dimensi Sakramental- Eklesiologis : Partisipasi dalam Tugas Gereja
Penguatan atau krisma bukan hanya memberikan kekuatan dalam melawan kuasa kejahatan, melainkan juga melantik dan memampukan seseorang untuk memikul tugas dan tanggung jawab Gereja. Dengan penguatan atau krisma, orang yang telah memperoleh penyelamatan melalui baptisan diutus untuk mewartakan apa yang dialami itu bagi dunia. (Kis 2)



3.            Dimensi Kristologis : Saksi Kristus
Kalau sakramen penguatan atau krisma disebut sakramen Roh Kudus, ini tidak berarti bahwa dalam baptisan Roh Kudus itu belum dicurahkan. Gereja selalu memahami bahwa dalam baptisan Roh Kudus sudah dicurahkan (Kis 2 : 38). Jika demikian, apa bedanya dengan Roh Kudus yang dianugerahkan pada sakramen krisma ? Perbedaannya sebenarnya bukan terletak pada Roh Kudusnya. Roh Kudus yang sama hadir dalam kedua sakramen, bahkan juga pada semua sakramen. Yang berbeda hanya pada fungsi atau peranan Roh Kudus dalam masing-masing sakramen. Roh Kudus dalam baptisan lebih berfungsi menguduskan seseorang, mengampuni dosa orang, membuat orang tersebut menjadi anak Allah dan mempersekutukan dia dengan Allah melalui Kristus dan dengan semua warga Gereja. Sedangkan Roh Kudus dalam krisma lebih pada memampukan seseorang untuk menjadi saksi Kristus serta secara penuh berpartisipasi dalam satu-satunya imamat perjanjian baru, yakni imamat Kristus.

3.2.2.3.            SAKRAMEN EKARISTI
3.2.2.3.1.      Dasar Biblis dari Perayaan Ekaristi
1.                  Paulus

Dokumen Paulus memberitakan Yesus yang memberkati roti sebelum makan lalu membagikannya kepada para rasul dan sesudahnya Yesus pun memberkati piala. Teks paling tua nampaknya dari Paulus. Surat Paulus kepada jemaat di Korintus ditulis sekitar tahun 55, namun sejak tahun 50 ia mewartakan injil secara lisan.
Dalam 1 Korintus 11: 20, keterpecahan umat menjadi alasan bagi Paulus untuk berbicara tentang Ekaristi. Bagi Paulus, umat Kristen hidup karena korban hidup Yesus. Hakekat umat Kristen adalah melaksanakan sikap Yesus itu yang sudah mengorbankan diri. Paulus menekankan bahwa barangsiapa tidak hidup dalam sikap Kristus Yesus, tidak mengakui tubuh Tuhan dalam Ekaristi, maka bagi orang itu, Ekaristi menjadi tanda ketidakselamatan dan bukannya sarana keselamatan (bdk. 1 Kor 11: 29- 30).
Menurut Paulus, tubuh Kristus dalam Ekaristi harus diterima seturut sikap Yesus ketika Ia memberikan tubuhNya itu, yaitu sikap pengorbanan demi kepentingan sesama. Sebab itu, tubuh Yesus dalam Ekaristi membangun tubuh Kristus yang lain, yaitu Gereja sendiri (bdk. 1 Kor 10: 16- 17) dan mempersatukan banyak anggota menjadi satu kesatuan baru.
Paulus melihat Ekaristi dipakai untuk mengatasi persoalan umat di Korintus. Bagi Paulus, penyembahan berhala tidak perlu (bdk. 1 Kor 10: 14- 22), karena cawan pengucapan syukur yang atasnya kita ucapkan syukur adalah tanda persatuan kita dengan darah Kristus, dan roti yang dipecah-pecahkan adalah tanda persekutuan umat dengan tubuh Kristus.

2.                  Lukas

Lukas berpendapat bahwa tindakan Yesus yang memberikan diri sangatlah diutamakan, dan bukannya roti dan anggur, bukan pula kenyataan bahwa para murid mengambil dan makan. Hal ini sangat jelas dalam seluruh warta Lukas, di mana ajakan ambil makan tidak ada dalam teks Lukas.  Sebab itu, ajakan untuk mengulangi perjamuan terakhir demi kenangan akan Yesus merupakan suatu ajakan untuk meneladani sikap Yesus, yaitu menyerahkan diri demi keselamatan manusia yang dibuat Yesus secara simbolik dalam bentuk roti dan anggur pada perjamuan terakhir, dan secara konkret-riil pada kayu salib ketika ia menderita kematian sebagai korban silih dosa manusia.
Luk 22: 24- 28 menegaskan bahwa para pemimpin umat Kristen tidak boleh memerintah sama seperti para pembesar duniawi, melainkan bahwa mereka harus menjalankan tugas dalam semangat pelayanan sama seperti Yesus sendiri. Selain itu, dalam Luk 22: 21- 23, dinyatakan tentang seorang murid yang akan menyerahkan Yesus. Teks ini mau menyatakan bahwa pengambilan bagian di dalam Ekaristi belum dengan sendirinya menjamin keselamatan.
Kitab suci menempatkan Ekaristi pada tempat sentral di dalam hidup Gereja. Ekaristi harus dirayakan dalam semangat Yesus sebagaimana jelas dalam perjamuan terakhir. Ekaristi merupakan sarana penyelamatan yang memberikan pengampunan dosa dan jaminan akan pengambilan bagian dalam kerajaan Allah.

3.                  Yohanes

Dalam injil Yohanes, tidak ada pemberitaan tentang roti dan anggur sebagai tubuh dan darah Kristus atau tentang perjamuan perpisahan Yesus dengan para muridNya. Namun, di pihak lain, dalam Yohanes 6 terdapat pemberitaan tentang “roti dari surga”. Roti itu diberikan Bapa lewat PutraNya : “Mereka diberiNya makan roti dari surga” (bdk. Yoh 6 : 31). Pemberitaan Yohanes itu dibagi atas dua, yaitu :

a)            Pemberitaan dalam Yohanes 6 : 32- 51b
               Focus pemberitaan dalam teks ini adalah tema tentang “roti surgawi”. Roti surgawi adalah roti yang dapat memberikan hidup abadi, dan Yesus dalam eksistensi-Nya yang konkret badaniah adalah roti yang benar-benar turun dari surga, dan manusia dituntut untuk menerima Dia dalam iman sebagai roti yang menghidupkan. Lebih lanjut, Yoh 6 : 51c menutup pewahyuan diri Yesus sebagai roti surgawi dan membuka penjelasan tentang ekaristi, di mana dikatakan bahwa Yesus akan memberikan satu roti, yakni dagingnya untuk hidup dunia.

b)            Pemberitaan dalam Yohanes 6: 51c- 63
               Focus dari teks ini adalah tentang Roti surgawi yang dilaksanakan secara sacramental dalam Ekaristi. Jika ketiga injil sinoptik menggunakan kata soma (tubuh), maka Yohanes menggunakan kata Sarx (daging), yang berarti seluruh pribadi Yesus. Sarx menekankan aspek badaniah Yesus, yaitu Yesus dalam eksistensi konkret yang lahir sebagai seorang manusia dan wafat di kayu salib. Bagi Yohanes, Dia itulah sebagai “roti surgawi”.
Menurut 1 Yohanes 5 : 8, ada tiga hal penting yang berperan dan yang memberi kesaksian di bumi, yaitu air, darah, dan Roh. Ketiganya diperlukan demi keselamatan umat manusia. Sementara itu, di dalam Yohanes 19 dinyatakan “air dan darah mengalir dari lambung Kristus yang terluka di salib”. Hal ini menunjukkan atau melambangkan hidup Gereja yang diperoleh lewat permandian (air), disejahterakan oleh ekaristi (darah) dan memiliki kekuatan manusia baru yang diberikan oleh Allah (Roh).

            J. A. Grassi membuat struktur kitab untuk injil Yohanes, yaitu :

  1. 2 : 1- 22 tentang Pesta Nikah di Kana
  2. 4: 46- 54 tentang Pembangkitan anak pegawai istana yang hampir mati
  3. 5: 1- 16 tentang penyembuhan pada hari Sabbath di Betesda
  4. 6: 1- 71 tentang perbanyakan roti dan wejangan roti kehidupan
c.  9 : 1- 41 tentang seorang buta yang disembuhkan pada hari Sabbath
b.  11: 1- 41 tentang pembangkitan Lazarus
a. 19 : 25- 38 tentang “Saat” Yesus, mengalirnya darah dan air dari lambungNya
            J. A Grassi berpendapat bahwa mukjizat dan wejangan tentang roti itu berada pada tempat sentral, di antara tanda-tanda lain yang mewahyukan Yesus sebagai utusan Bapa. Dengan ini Grassi menunjukkan tempat sentral dari Ekaristi dalam iman dan hidup Gereja (Wilmington, 1988 : 254).
            Yohanes memiliki teologi Ekaristi yang sangat dalam, namun ia tidak merekam penetapan Ekaristi pada malam perjamuan terakhir sebagaimana yang dikisahkan oleh ketiga penginjil sinoptik. Bagi Yohanes, ekaristi itu mengalir dari kata dan perbuatan Yesus selama masa perutusanNya.

4.         Markus

            Markus memiliki pendapat yang berbeda dengan Paulus. Menurut Markus, situasi Ekaristi adalah kesalahan dan pengkhianatan. Ekaristi berarti rekonsiliasi, dan hal ini nampak pada waktu Yesus mengorbankan diriNya sendiri kepada murid-muridNya ketika perjamuan malam terakhir. Yesus mengetahui pengkhianatan yang akan dilakukan oleh Yudas, namun Ia tidak menarik diriNya dari mereka, bahkan Yesus menjanjikan suatu reuni, persatuan kembali. Dengan ini Markus menekankan tema perdamaian setelah pertikaian atau perpecahan itu terjadi. Bagi Markus, ekaristi berarti keterbukaan untuk sharing sebagai sarana yang mempersatukan orang-orang yang bertobat dari berbagai bangsa dan agama yang berbeda.

5.         Mateus

            Mateus berpendapat bahwa ekaristi berarti penyembuhan dan pengampunan. Mateus menampilkan cerita perjamuan malam terakhir yang dimulai dengan cerita persiapan yang menggambarkan ketaatan dari orang Kristen sebagai murid. Yesus memberi perintah dan para murid melaksanakan perintah itu dengan penuh ketaatan. Murid-murid yang beriman menampakkan pengertian mereka terhadap identitas Yesus dengan memanggil Dia sebagai “Tuhan”, lebih daripada “Rabbi” atau Guru. Actus para murid yang memakan dan minum dari roti dan anggur dimengerti secara sacramental, yaitu sebagai jawaban para murid atas perintah Tuhan, di mana Yesus berkata : “Minumlah Piala…”. Kata-kata Yesus ini memiliki makna simbolik, yaitu sebagai perintah dan penetapan untuk mentaati Yesus dan mengambil bagian dalam hidup dan perutusanNya yang menyelamatkan.
Yesus menjadi manusia sebagai bukti keinginan Allah untuk hidup dan tinggal di tengah umatNya, dan akan tinggal bersama GerejaNya sampai akhir zaman. Dia hadir secara istimewah dalam ekaristi. Yesus berkata : “minum piala ini bersama Aku, dan Aku akan meminumnya bersama dengan kamu mulai sekarang dalam Kerajaan BapakKu” (bdk. Mat 14 : 13- 21; 15: 21- 28; 26 : 17- 29).

3.2.2.3.2.      Sejarah Sakramen Ekaristi
3.2.2.3.2.1.            Ekaristi pada Zaman Para Rasul

Pentekosta adalah moment transformasi hidup. Para rasul mulai memperlihatkan diri di depan public. Mereka tampil sebagai pengkhotbah ulung di hadapan massa dan memproklamasikan Yesus Kristus sebagai satu-satunya penyelamat. Para rasul taat pada instruksi Tuhan, yaitu “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku”. Tetapi, bagaimana persisnya melaksanakan mandat Tuhan ini dalam praktek sepenuhnya tergantung kepada mereka, dan kenangan bersama Yesus kemudian menjadi semacam satu forma ritus.
Pengalaman para rasul sebagai pemimpin keluarga mendorong mereka untuk tampil memimpin perjamuan paskah dan perjamuan malam pada hari Sabbath. Kemudian, pada tahun-tahun sesudahnya, pengalaman para rasul itu menjadi sumber liturgy yang mengalami penambahan dan perkembangan dalam perjalanan abad sejarah. Para rasul memulai ekaristi sambil mempertahankan hubungannya dengan liturgi orang Yahudi di Kenisah.
Kisah Para Rasul 2 : 46 menunjukkan dua bentuk liturgi yang dibuat oleh jemaat perdana, yaitu (1) liturgi di kenisah secara bersama-sama, dan (2) liturgi di rumah di mana mereka memecahkan roti dan dibagikan kepada seluruh anggota keluarga. Hanya seorang Yahudi sejati yang boleh berpartisipasi dalam liturgy orang Yahudi, sedangkan seorang bukan Yahudi tidak diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam liturgy.
Litrugi pemecahan roti di rumah dianggap sebagai “kurban”, di mana merekan mengenangkan kembali Anak Domba Allah yang telah mengurbankan diriNya sendiri untuk kemuliaan Bapa dan keselamatan manusia. Liturgy kurban di rumah dianggap sebagai ikut berpartisipasi dalam kurban Yesus di salib.
Paulus dan Lukas memberi kesaksian bahwa perayaan liturgy orang Kristen perdana terjadi pada hari pertama dalam minggu, yaitu pada hari Minggu (bdk. 1 Kor 16 : 12; Kis 20 : 17), sedangkan perayaan liturgy orang Yahudi terjadi pada hari Sabbath, yaitu hari Sabtu.
Ritus “pemecahan roti” telah dibuat orang Kristen sejak awalnya dengan mengulangi kata-kata dan tindakan Yesus ketika Ia mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darahNya. Paulus berpendapat bahwa kebiasaan itu sudah hidup dalam tradisi Kristen sejak tahun 56.

3.2.2.3.2.2.            Ekaristi dalam Zaman Bapa-Bapa Gereja
I.                    Dokumen Didache

Pada masa penganiayaan terdapat satu dokumen penting yang disebut Didache. Didache berarti doktrin atau instruksi. Dokumen ini ditemukan di Anthiokia pada tahun 1873. Banyak ahli berpendapat bahwa dokumen itu ditulis antara tahun 100-180 dan mengacu kepada litrugi jemaat perdana, karena pada beberapa bagian dalam dokumen itu disebutkan kata “ekaristi” dan “ucapan syukur”, sehingga orang menganggap didache sebagai bukti bagaimana orang Kristen perdana merayakan misa.
Penyelidikan terakhir berpendapat bahwa didache merupakan semacam satu doa yang diinspirasi oleh doa Yahudi yang sering diucapkan pada perjamuan agape Kristen sebagai persiapan ekaristi. Agape dan doa berkat ini hanya untuk orang Kristen yang sudah dibabtis. Dengan demikian, DIDACHE dipahami sebagai satu doa persiapan, sebelum orang merayakan apa yang sekarang dikenal sebagai “misa di rumah”.
Liturgy orang Yahudi biasa dimulai dengan “berkat atas piala”. Didache memberikan satu contoh doa atas piala pertama, yaitu :
Kami bersyukur kepadaMu, Bapa kami, atas anggur kudus dari David hambaMu, yang Engkau perkenalkan kepada kami lewat Yesus hambaMu, kepadaMu kemuliaan sepanjang segala masa”.

Doa pada awal perjamuan ini diakhiri dengan :
“ Seperti roti yang dipecah-pecahkan ini tersebar di sekeliling bukit, dan dikumpulkan menjadi satu, maka biarkanlah GerejaMu dikumpulkan bersama dari segala ujung bumi ke dalam kerajaanMu; sebab Engkaulah yang mulia dan berkuasa lewat Yesus Kristus sepanjang masa”.

Setelah doa awal perjamuan ini, upacara selanjutnya adalah “perjamuan agape” dan sesudah “perjamuan agape” ini terdapat doa “pengucapan terima kasih”, yaitu:
“kami mengucapkan terima kasih kepadaMu, Bapa yang kudus, sebab Engkau telah menjadi tabernakel di dalam hati kami, dan karena pengetahuan dan iman yang tak dapat mati yang Engkau perkenalkan kepada kami lewat Yesus hambaMu; kepadaMu kemuliaan sepanjang segala masa”.

2.         St. Klemens dari Roma

            Klemens adalah paus Roma. Ia menetapkan syarat dasar untuk merayakan litrugi secara layak, yaitu dalam satu persatuan dengan uskup dan imam-imamnya. Para uskup dan para imam berperan sebagai pemimpin upacara (liturgy ekaristi). Ekaristi hendaknya dirayakan dalam satu persatuan mesra antara umat dan pemimpin, yaitu imam tertahbis yang sah.

3.         St. Ignatius Martir

            Ignatius adalah uskup Anthioki yang kemudian menjadi martir pada tahun 107.  Dalam surat-suratnya, Ignatius menegaskan kembali pokok-pokok yang sudah ditegaskan oleh Paus Klemens, yaitu perlunya kesatuan antara umat dengan Uskup dan para imam. Kepada umat di Efesus, misalnya, Ignatius menulis :
“Hendaknya diperhatikan untuk sering datang dan mengucapkan syukur kepada Allah, dan memberikan kemuliaan kepadanya (bab 13)”.

Selain itu, kepada umat di Magnesia, Ignatius menulis :
“Saya mengajak saudara untuk melakukan segalanya dengan satu keharmonisan ilahi, yakni ketika Uskup saudara memimpin di tempat Allah, dan imam-imam saudara di tempat yang diperuntukkan kepada sidang para rasul……. Hendaknya kamu semua berkumpul bersama seperti dalam satu kenisah Allah, dalam satu altar, dalam satu Yesus Kristus….. (bab 6 dan 7)”.

Kepada umat di Smyrna, Ignatius menulis :
“ Hendaknya jangan ada orang yang melakukan sesuatu yang berhubungan dengan Gereja tanpa Uskup. Hendaknya diyakini bahwa sebuah ekaristi yang benar adalah yang dirayakan secara baik oleh Uskup, maupun oleh orang yang telah dipercayakan untuk merayakannya (bab 8)”.

            Jadi, dapat disimpulkan bahwa sama seperti Klemens, Ignatius Martir juga menekankan soal legitimasinya sebuah perayaan jika perayaan itu dipimpin oleh Uskup atau imam yang sah.

4.                  St. Yustinus Martir

Pada tahun 150, terdapat satu sumber histories, yaitu satu dokumen yang ditulis oleh Yustinus Martir yang ditujukan kepada Kaiser Kafir di Apologia, yaitu Kaiser Antonius Pius (138- 161). Dokumen itu menjelaskan kepada Kaiser tentang apa yang dilakukan oleh umat Kristen. Isi dokumen itu adalah :
“ Pada hari yang dinamakan hari matahari, semua orang yang tinggal di kota-kota atau daerah sekitarnya berkumpul di satu tempat yang sama. Tulisan-tulisan para rasul dan kitab-kitab nabi dibacakan, sejauh waktu memungkinkannya. Setelah pembaca selesai membacakannya, pemimpin memberi satu wejangan di mana ia menasehati dan mendorong semua orang yang hadir untuk mengikuti ajaran dan contoh yang baik dari bacaan-bacaan itu.
Sesudah itu, kami semua berdiri bersama-sama dan melambungkan doa ke surga untuk kami sendiri…dan untuk semua orang lain di seluruh dunia, supaya kami menjadi layak…juga dalam pekerjaan kami sebagai….manusia yang baik dan supaya menjadi layak sebagai pelaksana perintah-perintah, supaya dengan demikian kami mendapat keselamatan abadi..
Sesudah kami menyelesaikan doa-doa, kami saling memberikan salam dengan ciuman…lalu, kepada pemimpin dibawakanlah roti dan satu cawan dengan campuran air dan anggur. Ia mengambilnya, melambungkan pujian dan syukur kepada Bapa semesta alam atas nama Putera dan Roh Kudus dan menyampaikan ucapan terima kasih (Yunani : “eukharistia”), karena kami dianggap layak menerima anugerah-anugerah ini dariNya.
Sesudah doa dan ucapan terima kasih itu selesai, seluruh umat yang hadir lalu mengatakan : Amin.
Setelah pemimpin menyelesaikan ucapan terima kasih dan seluruh umat menerimanya dengan suara bulat, maka para diakon (sebagaimana mereka disebut oleh kami) membagi-bagikan roti yang telah diberkati dengan penuh syukur kepada setiap orang yang hadir dan  anggur yang telah dicampur air untuk dinikmati dan membawakannya juga untuk mereka yang tidak hadir”.

            Berdasarkan teks tersebut, maka sangat jelas nampak adanya tata perayaan ekaristi, yaitu :
Ø  Komunitas bersatu dan perayaan dilakukan
Ø  Sabda Tuhan disatukan dalam perayaan ekaristi
Ø  Refleksi lebih jauh tentang sabda dalam homili
Ø  Dilaksankan doa universal dan salam damai
Ø  Doa ekaristi
Ø  Komuni atas tubuh dan darah Tuhan, di mana seluruh komunitas disatukan termasuk mereka yang sakit.

3.2.2.3.2.3.            Ekaristi pada Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan, pandangan Neo-Platonisme sangat berkembang, di mana aliran ini memiliki cirri-ciri pemikiran, antara lain :
  • Seluruh dunia dipandang sebagai gambaran atau lambang. Realitas sesungguhnya adalah idea yang tidak kelihatan, sedangkan realitas yang dapat dilihat hanya merupakan gambaran atau bayangan dari realitas yang tak kelihatan itu.
  • Dunia itu bertingkat atau berlapis. Pada puncak dunia terdapat roh murni dan absolute, yaitu idea kebaikan yang absolute yang merupakan asal dunia. Dunia merupakan suatu lambang yang menggambarkan realitas yang lebih luhur dan sungguh mengungkapkan diri secara nyata dalam realitas yang lebih rendah.

Pandangan neo-platonisme ini kemudian dipakai untuk menjelaskan ekaristi. Pandangan ini memiliki hubungannya dengan Ekaristi. Tuhan yang dimuliakan merupakan realitas murni yang tak kelihatan. Ia mengungkapkan diri di dalam perayaan ekaristi yang kelihatan bagi manusia, sehingga manusia bisa memandang dan mendekati Dia.
            Kristus adalah tuan perjamuan dan melalui daya Roh-Nya Ia menjadikan seluruh perayaan umat itu sebagai suatu pengungkapkan diriNya, suatu gambar diriNya, di dalamnya daya keselamatanNya hadir. Pemimpin upacara yang diangkat melalui penumpangan tangan merupakan suatu “gambar” Kristus di dalam umat. Apa yang dilakukan Kristus demi keselamatan manusia menjadi nyata dan terungkap di dalam perayaan ekaristi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa roti dan anggur merupakan gambar dari tubuh dan darah Kristus. Realitas tubuh dan darah Kristus terjangkau bagi manusia di dalam roti dan anggur itu.
            Pada abad pertengahan ini, ada beberapa tokoh penting yang menjelaskan tentang ekaristi, yaitu :
a)                  Siprianus dari Cartago. Ekaristi dipandang sebagai peneguhan bagi suatu hidup kristiani yang konsekuen, dan peneguhan bagi kemartiran. Ia memberikan penekanan tentang persiapan etis setiap orang Kristen untuk menerima sakramen ekaristi itu. Menurutnya, sakramen yang diterima dengan baik berdasarkan suatu keputusan batin yang serius dan dilaksanakan dalam hidup akan mempersatukan orang dengan Gereja, dan melalui Gereja seseorang dapat menuju kepada Kristus. Ekaristi adalah saat di mana Kristus mempersembahkan tubuh dan darahNya. Ekaristi adalah suatu kurban baru, di mana Kristus secara baru mempersembahkan tubuh dan darahNya.
b)                  Ambrosius. Ekaristi dianggap sebagai “saat pengalihan”, di mana pada waktu perayaan ekaristi, hakekat (natura) dari roti dan anggur diubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Alasannya adalah bahwa Allah yang mahakuasa yang sanggup menciptakan segalanya dari ketiadaan, juga sanggup untuk mengubah hakekat sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dengan demikian, di dalam perayaan ekaristi, Allah mengubah hakekat roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus.
c)                  Agustinus. Ia hidup di dalam alam pikiran neo-platonisme dan ia memakai gagasan “realitas gambaran” untuk menjelaskan hakekat ekaristi. Menurutnya, ekaristi adalah “gambaran dari Kristus yang paripurna”. Ekaristi adalah pelaksanaan eklesial
d)                 Thomas Aquinas. Ia menegaskan bahwa di dalam sakramen ekaristi tubuh dan darah Kristus hadir secara benar atau riil, dan bukan hanya sebagai satu gambar atau tanda. Thomas Aquinas menjelaskan beberapa hal, yaitu :

·         Sakramen ekaristi memiliki materi dan forma. Materi dari sakramen ekaristi adalah roti dan anggur, sedangkan forma-nya adalah kata-kata Yesus yang diucakan oleh seorang imam, yaitu : “Inilah Tubuh-Ku” dan “Inilah Darah-Ku”.
·         Dalam konsekrasi, substansi dari roti dan anggur diubah menjadi substansi tubuh dan darah Kristus
·         Setiap orang yang menyambut tubuh Kristus, entah itu orang baik atau orang jahat, sungguh menerima tubuh Kristus, tetapi yang jahat menerimanya bukan demi keselamatan, melainkan demi penghakiman.

3.2.2.3.2.4.            Ekaristi pada Zaman Reformasi (abad XVI)

Tokoh terkemuka pada zaman reformasi adalah MARTIN LUTHER KING. Luther berpendapat bahwa misa merupakan suatu karya amal dan suatu kurban. Ia memberikan penilaian terhadap cara dan praktek misa pada waktu itu. Luther berpendapat bahwa misa cumalah tahyul, sebab pada masa itu imam-imam memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan misa sebagai kesempatan untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Ia juga berpendapat bahwa misa hanya dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk berpropaganda. Hal ini sangat nampak ketika imam-imam berkotbah seperti : “dengan misa, orang tidak akan menjadi tua”, atau “dengan misa orang tidak akan pernah mengalami sakit”, atau dengan misa, maka anggota keluarga yang ada di api penyucian akan dibebaskan”.
Luther hidup di zaman kebiasaan gereja waktu itu yang memandang misa sebagai kurban. Misa dijadikan kesempatan bagi umat untuk memperoleh pahala di depan Tuhan. Luther berpendapat bahwa hal itu melawan prinsip utama agama Kristen yang mengajarkan bahwa umat diselamatkan oleh karena iman, dan bukan karena perbuatan. Pendapatnya ini terangkum dalam prinsipnya yang terkenal, yaitu “Sola Fides” (hanya Iman).
Luther menegaskan kembali ajaran dari Surat Ibrani yang berbicara tentang Ekaristi, bahwa Yesus Kristus mempersembahkan diriNya satu kali untuk selama-lamanya dan dengan demikian menggenapi segala kurban dan sekaligus membatalkan segala kurban lain. Karena itu, menurut Luther, tidak ada lagi kurban lain, yang ada hanya kenangan atau peringatan akan kurban Yesus itu.

3.2.2.3.2.5.            Konsili Trente (tahun 1545- 1563)

Konsili Trente disebut juga konsili ”kontra-reformasi”. Konsili ini memberikan jawaban dan penjelasan atas 3 permasalaha besar yang dimunculkan oleh para reformatores, yaitu (1) tentang perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, (2) tentang apakah umat menyambut satu rupa ataukah dua rupa, dan (3) tentang ekaristi sebagai kurban.
Permasalahan pertama dijawabi dan dijelaskan oleh Konsili Trente dengan mengemukakan beberapa poin penting, yaitu :
  • Kristus tinggal dalam hosti kudus, kehadiranNya sungguh riil, meskipun misa sudah selesai dirayakan.
  • Perubahan substansi roti dan anggur ke substansi benar tubuh dan darah Tuhan disebut sebagai peristiwa Transsubstansia. Kristus hadir dalam setiap bagiannya, entah roti maupun anggur saja.
  • Buah pertama dari ekaristi adalah pengampunan atas dosa-dosa.
  • Sakramen yang tidak habis disantap atau dibagikan harus disimpan lagi di tabernakel yang kemudian bisa dibagi-bagikan lagi pada kesempatan lain atau kepada orang yang sakit
  • Misa tidak cukup dihadapai hanya dengan iman saja, tetapi dibutuhkan persiapan hati, apalagi jika orang yang akan menyambut sakramen itu berada dalam keadaan dosa besar.

Selanjutnya, Konsili memberikan penjelasan atas permasalahan kedua, yaitu:
  • Sambut dalam dua rupa yaitu menerima semua bentuk (roti dan anggur), tidak perlu, sebab baik hanya dalam roti atau hanya dalam anggur saja, Kristus tetap hadir pada setiap bagiannya.
  • Di dalam setiap rupa dan di dalam setiap bagiannya, Kristus selalu hadir dalam keseluruhannya, sehingga actus pemecahan roti tidak berarti membagi-bagi Kristus.

Pada akhirnya, Konsili memberikan jawaban untuk persoalan ketiga dengan menjelaskan sifat kurban ekaristi. Konsili menjelaskan bahwa dalam kurban misa dan dalam kurban di salib, bahan persembahan yang sama, yaitu tubuh Kristus, dipersembahkan oleh pribadi yang sama, yaitu Kristus sendiri. Ajaran konsili ini mau menentang ajaran Luther yang memandang ekaristi hanya sebagai perjamuan biasa, dan bukan sebagai kurban, sebab menurutnya hanya ada satu kurban, yaitu kurban salib Kristus, dan karena itu tidak ada kurban lain. Konsili juga menjelaskan bahwa Kristus mempersembahkan diri sekali lagi dalam setiap misa, sebagaimana dulu Ia mempersembahkan diri di salib, hanya caranya berbeda. Maka, terjadi pengulangan kurban, di mana setiap kali seorang imam merayakan misa, artinya saat itu Kristus sekali lagi mempersembahkan diri secara baru kepada Bapa, dan bukan persembahan yang hanya satu kali diadakan untuk selamanya.
Hal lain yang dijelaskan oleh Konsili adalah bahwa sifat kurban dari misa berakar di dalam kenyataan bahwa Kristus mempersembahkan diri dalam roti dan anggur. Kurban kelihatan ini juga menghadirkan kurban salib. Perkataan : “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku (Luk 22: 19; 1 Kor 11: 24)” diakui sebagai penetapan oleh Kristus agar rasul-rasul menjadi imam untuk mempersembahkan tubuh dan darahNya. Karena itu, kurban misa bukanlah sekedar persembahan puji dan syukur, bukan pula sekedar kenangan akan kurban salib, melainkan :
  • Benar-benar sebagai satu kurban perdamaian, di mana kegunaannya bukan seja untuk mereka yang menerima komuni, melainkan juga untuk semua yang hidup maupun yang sudah mati;
  • Sebagai pengampunan atas dosa atau membebaskan diri dari setiap siksaan dosa.
  • Kurban misa adalah satu dan sama dengan kurban Kristus di salib.



3.2.2.3.2.6.            Konsili Vatikan II (1962- 1965)

Konsili Vatikan II melahirkan dokumen penting yang berbicara tentang Ekaristi, yaitu Konstitusi SACROSANCTUM CONCILLIUM. Konstitusi ini memberikan rumusan yang sangat dogmatis tentang ekaristis, yaitu :
“ dalam perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan kurban ekaristi tubuh dan darahNya, untuk melangsungkan kurban salib selama peredaran abad sampai Ia datang kembali. Dengan demikian, Ia mempercayakan kepada Gereja, mempelaiNya yang tercinta pengenangan akan wafat dan kebangkitanNya; sakramen kasih saying, tanda kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah, di mana Kristus disantap, jiwa dipenuhi rahmat, dan diberikan jaminan kemuliaan kelak (SC 47)”.
Bertolak dari rumusan yang bersifat dogmatis itu, maka Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi “Sacrosanctum Concillium” menjelaskan beberapa pokok penting tentang Ekaristi, yaitu :
1)      Pengenangan. Ekaristi adalah kenangan akan Paskah Kristus. Dalam “Doa Syukur Agung”, sesudah kata-kata penetapan, ditemukan sebuah doa yang dinamakan ANAMNESE atau pengenangan. Anamnese tidak hanya berarti mengenangkan kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, tetapi juga berarti mewartakan karya-karya agung yang telah dilakukan Allah untuk manusia (bdk. Kel 13: 3).
2)      Kurban. Lumen Gentium 28 menyatakan bahwa para imam, dalam ekaristi atau Synaxis (pertemuan), memaklumkan misteri Kristus, mempersatukan doa kaum beriman, dan dalam kurban misa dihadirkan serta diterapkan satu-satunya kurban Perjanjian Baru, yakni kurban Kristus yang mempersembahkan diri satu kali sebagai kurban tak bernoda kepada Bapa. Ekaristi adalah ucapan syukur atau kurban pujian, karena dengan merayakan ekaristi Gereja memuliakan Allah atas nama seluruh ciptaan.
3)      Kehadiran Kristus. Kristus hadir dalam kurban misa, baik dalam pribadi pelayan, maupun terutama dalam rupa ekaristi. Ekaristi berarti Kristus bersatu dengan GerejaNya. Ekaristi juga berarti Kristus yang hadir dalam umatNya yang berdoa. Seorang imam berbicara dan bertindak atas nama dan dalam pribadi Kristus demi kepentingan umat. Selain itu, Kristus juga hadir dalam Sabda Kitab Suci, sebab Kitab Suci adalah Sabda Tuhan.
4)      Tanda Kesatuan (aspek eklesial). Ekaristi membangun gereja. Siapa yang menerima ekaristi akan disatukan lebih erat dengan Kristus. Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman lainnya menjadi satu tubuh, yaitu Gereja. Dalam Ekaristi, Gereja lahir, hidup dan menampakkan dirinya atas cara yang paling konkret. Ekaristi merangkum aspek yang tidak kelihatan (misteri), maupun aspek kelihatan dari identitas Gereja itu sendiri.
5)      Sakramen. Ekaristi adalah sakramen keselamatan, karena ekaristi memberikan inspirasi kepada kehidupan umat beriman.
6)      Jaminan Kemuliaan yang akan datang. Ekaristi adalah jaminan yang paling aman dan tanda yang paling jelas bahwa harapan besar akan  surga baru dan dunia baru, di mana terdapat keadilan, akan terpenuhi.

3.2.2.3.3.            PENAMAAN UNTUK SAKRAMEN EKARISTI

Sakramen Ekaristi memiliki banyak nama. Penamaan yang bervariasi itu sesungguhnya mau menekankan aspek-aspek tertentu dan menunjukkan kekayaan sakramen ekaristi itu sendiri. Nama- nama sakramen ekaristi itu, adalah :


1)      Ekaristi disebut Gratiarum Actio. Ekaristi adalah ucapan terima kasih kepada Allah.
2)      Ekaristi disebut “Coena Dominica” (bdk. 1 Kor 11: 20). Ekaristi adalah perjamuan Tuhan
3)      Ekaristi disebut “Fractio Panis”. Ekaristi adalah pemecahan roti, karena ritus yang khas pada perjamuan Yahudi ini digunakan juga oleh Yesus pada waktu perjamuan terakhir.
4)      Ekaristi disebut “Sacra Synaxis”. Ekaristi berarti perhimpunan ekaristi, karena ekaristi dirayakan dalam perhimpunan umat beriman (congregation fidelium), di mana Gereja dinyatakan secara kelihatan.
5)      Ekaristi disebut “memoriale atau anamnesis”. Ekaristi adalah kenangan, karena perjamuan itu dibuat sebagai kenangan akan kesengsaraan dan kebangkitan Tuhan.
6)      Ekaristi disebut “ Sacrificium Eucharisticum” atau “Sacrificium Missae”. Ekaristi adalah kurban kudus, karena ia menghadirkan kurban tunggal Kristus. Ekaristi juga mencakup penyerahan diri Gereja.
7)      Ekaristi disebut juga Liturgi Kudus dan Ilahi, karena seluruh liturgy Gereja berpusat dalam perayaan sakramen ini dan paling jelas terungkap di dalamnya.
8)      Ekaristi disebut juga “Communio”, karena di dalam sakramen ini umat menyatukan diri dengan Kristus, mengambil bagian dalam tubuh dan darahNya.
9)      Ekaristi disebut juga Misa Kudus, karena liturgy berakhir dengan pengutusan umat beriman (missio), supaya mereka melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan sehari-hari.

Dari istilah-istilah yang ada tersebut, pada umumnya ada dua nama yang paling popular dan banyak digunakan, yakni perayaan ekaristi dan misa kudus.
Istilah EKARISTI berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang berarti puji syukur. Kata eucharistia merupakan terjemahan Yunani untuk bahasa Yahudi birkat yang dalam perjamuan Yahudi merupakan doa puji syukur sekaligus permohonan atas karya penyelamatan Allah. Istilah perayaan ekaristi merupakan istilah yang sangat bagus untuk digunakan. Istilah ini mau menekankan makna ekaristi sebagai puji syukur atas karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus. Istilah ini lebih menekankan segi isi dari apa yang dirayakan.
Sedangkan istilah misa digunakan untuk menunjuk seluruh perayaan ekaristi dengan mau menekankan aspek perutusan untuk melayani Tuhan dan sesama serta mewartakan kabar baik kepada segala bangsa. Maka, istilah misa menghubungkan dengan erat antara perayaan atau pengungkapan iman dengan perwujudan iman dalam hidup sehari-hari.

            Beberapa Masalah Pastoral- Liturgis Ekaristi

Ada banyak persoalan liturgis dan pastoral dalam ekaristi. Tetapi, dalam pembahasan ini hanya dikemukana dua persoalan, yakni :

1)      Masalah Penerimaan Komuni
a)      Praktek Penerimaan Komuni dengan “hosti suci lama”
Dalam kenyataan yang sering terjadi, sering ditemui praktek yang menerimakan komuni dari hosti suci atau sakramen maha kudus yang sudah disimpan dalam tabernakel. Dalam hal ini, pada waktu komuni umat tidak diberi hosti yang baru dikonsekrir saat Doa Syukur Agung (DSA), tetapi dari hosti suci yang disimpan di tabernakel. Sementara saat DSA, imam hanya memberkati hosti besar saja, sedangkan umat menerima hosti yang disimpan dalam tabernakel yang tentu saja merupakan hosti yang sudah diberkati dalam ekaristi sebelumnya. Biasanya hal ini terjadi karena alasan praktis, supaya koster atau petugas tidak usah selalu menyiapkan hosti baru dan menghitung hosti baru sesuai jumlah umat yang datang karena jumlah umat yang datang tidak tentu. Tetapi, praktek ini bukanlah praktek yang baik dan ideal. Ada tiga pertimbangannya, yaitu :
·         Dari segi teologis- liturgis komuni bermakna pertama-tama sebagai ungkapan partisipasi dalam karya penyelamatan Allah yang dikenangkan dan didoakan dalam DSA pada misa yang bersangkutan. Makna kedua adalah sebagai penerimaan atas tubuh dan darah Kristus. Dengan demikian, penerimaan komuni dari hosti suci yang disimpan memang sesuai dengan makna kedua, tetapi makna yang pertama dan utama tidak terpenuhi. Dalam hal ini, simbolisasi hubungan komuni dan DSA sebagai satu kesatuan liturgy Ekaristi tidak terlaksana dengan baik.
·         Dari sisi sejarah praktek penyimpanan Sakramen Mahakudus. Sakramen Maha Kudus atau hosti suci sesungguhnya disimpan untuk pengiriman komuni bagi orang-orang yang sakit, lanjut usia, atau yang di penjara. Oleh karena itu, praktek memberkati hosti sebanyak-banyaknya dalam suatu misa, kemudian menyimpannya dalam tabernakel untuk dibagikan pada saat komuni pada misa berikutnya, tentulah bukanlah praktek perayaan ekaristi yang baik.

b)      Penerimaan komuni di luar perayaan ekaristi
Penyimpanan hosti suci untuk diterimakan dalam suatu perayaan ibadat yang non-ekaristi tetaplah mungkin, namun sekali lagi bukan dalam rangka misa kudus yang lain. Ada beberapa pertimbangan berkaitan dengan praktek ini :
·         Dari prinsip teologis-liturgis : penerimaan komuni selalu harus dilihat dalam kesatuan dengan perayaan ekaristi. Sebab, komuni merupakan bagian tidak terpisahkan dari perayaan ekaristi. Penerimaan komuni selalu merupakan tanggapan dan ungkapan umat beriman dalam mengambil bagian dalam Misteri Paskah yang dikenangkan dan dihadirkan dalam perayaan ekaristi, khususnya dalam DSA. Dari segi ini, maka penerimaan komuni di luar perayaan ekaristi tidaklah ideal. Meskipun demikian, masih ada pertimbangan kedua.
·         Dari segi prinsip pastoral atau penggembalaan umat. Sudah sejak abad-abad pertama, Gereja mengenal praktek mengirim komuni kepada orang-orang sakit atau cacat yang tidak dapat hadir mengikuti perayaan ekaristi. Dalam hal ini, tentu saja pertimbangan pastoral yang diperhatikan. Pada umumnya, pengiriman komuni bagi orang-orang sakit dilaksanakan sesudah perayaan ekaristi dan Sakramen Maha Kudus yang dibagikan itu adalah Tubuh Tuhan yang dikonsekrir dalam misa itu. Sejak abad XVIII, praktek penerimaan komuni di luar perayaan ekaristi tersebar luas, dengan akibatnya komuni dilepaskan dari perayaan ekaristi. Sejak abad XX, dan terutama sejak Konsili Vatikan II, penerimaan komuni selalu dilihat dalam suatu kesatuan dengan Perayaan Ekaristi. Namun, penerimaan komuni di luar perayaan ekaristi tetap dimungkinkan dan diperbolehkan dengan alasan pastoral, misalnya tidak ada imam yang memimpin misa pada hari Minggu itu. Pemimpin liturgy sabda di luar perayaan ekaristi harus senantiasa mengingatkan umat akan kesatuan yang tak terpisahkan antara perayaan ekaristi dengan penerimaan komuni.
2)      Masalah Komuni antar-Gereja
Orang-orang beriman kristiani boleh menerima sakramen tobat, ekaristi dan pengurapan orang sakit dari pelayan-pelayan non-katolik sejauh dalam Gereja mereka ada sakramen-sakramen yang sah. Praktek ini berlaku jika keadaannya mendesak, seperti berada di dalam penjara, di medan perang, dan sebagainya. Selain itu, pelayan-pelayan katolik dapat menerimakan sakramen-sakramen tobat, ekaristi dan pengurapan orang sakit kepada warga Gereja Timur atau Gereja-Gereja lain, jika :
·         Mereka meminta dengan sukarela
·         Mereka memahami dan mengimani sakramen-sakramen tersebut
·         Berdisposisi baik, tidak dalam dosa berat
·         Memajukan semangat ekumenis dan keuntungan pastoral
·         Mereka tidak dapat menghadap kepada pelayan-pelayan mereka sendiri.

3.3.                              SAKRAMEN-SAKRAMEN PENYEMBUHAN
3.3.1.                        SAKRAMEN TOBAT
3.3.1.1.            Nama dan Arti Sakramen Tobat

Sakramen Tobat disebut juga rekonsiliasi (Dister, 2004 : 369) atau sakramen pemulihan, pengakuan, dan perdamaian. Sakramen ini sangat diperlukan, meski seseorang telah dibabtis, karena kehidupan baru yang diterima dalam inisiasi Kristen tidak menghilangkan kecenderungan pada dosa. Kecenderungan (concupisensi) ini tinggal dalam diri orang yang telah dibabtis, supaya dengan bantuan rahmat Tuhan mereka mampu membuktikan kekuatan mereka dalam perjuangannya untuk kembali kepada kekudusan dan kehidupan abadi.
Gereja memiliki sakramen tobat atau rekonsiliasi sebagai sakramen penyembuhan. Sakramen ini mau menjawabi kerinduan manusia untuk memperbaharui relasi dirinya dengan Allah yang putus dan rusak karena dosa dan kelalaian. Dalam sakramen tobat, seseorang menemukan kembali kebersamaan dengan Allah dan sesama. Sakramen ini melambangkan dan menghadirkan karya penyelamatan dan penyembuhan yang dilakukan Allah melalui Kristus, PuteraNya.
Sakramen ini disebut dengan “rekonsiliasi”, meskipun dalam dokumen resmi Gereja, yaitu dalam Konstitusi Sacrosanctum Concillium 72 digunakan istilah Sakramen Tobat. Teologi dan liturgy sakramen Tobat dewasa ini kembali membiasakan diri dengan istilah reconciliation, yang mana istilah ini lazim digunakan oleh Gereja pada abad-abad pertama. Istilah “rekonsiliasi” merangkum sekaligus : inisiatif Allah yang lebih dahulu menawarkan perdamaian kepada umatNya (perdamaian dengan Allah), perdamaian manusia dengan sesamanya dan dengan seluruh alam ciptaan lainnya. Karena itu, “penyembuhan” memiliki makna penemuan kembali kehidupan damai pada hati orang yang bertobat dan yang telah menerima pengampunan dosa. Kedua istilah itu dapat digunakan bersama.

3.3.1.2.            Rekonsiliasi atau Tobat dan Kitab Suci
3.3.1.2.1.      Rekonsiliasi atau Tobat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama

Kitab Suci Perjanjian Lama mengenal praktek pertobatan, baik menurut segi ritual kultis, maupun menurut aspek batiniah dan sikap hidup atau perbuatannya. Perjanjian Lama biasanya menghubungkan bencana dan penderitaan sebagai akibat adanya dosa. Konteks dosa itu pertama-tama adalah seluruh umat, dan bukan orang per orang, sebagaimana yang nampak dalam tulisan nabi Yeremia (bdk. Yer 2 : 13- 19), yaitu : “sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat : mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, umat menggali kolam bagi mereka sendiri ….Kejahatanmu akan menghajar engkau”.
Kitab Suci Perjanjian Lama menggambarkan bentuk-bentuk pertobatan, yaitu:
ü  Pertobatan yang diungkapkan dalam bentuk upacara kultis, seperti berkumpul untuk mengaku dosa (Ezr 13; Neh 9: 36- 37)
ü  Berpuasa (Neh 9: 1; Yl 1: 14)
ü  Mengenakan kain kabung (Neh 9 : 1; Yl 1 : 13)
ü  Duduk di atas abu atau menaburkan abu di atas kepala (Yer 6 : 26; Yun 3: 6)
ü  Menyampaikan korban bakaran (Im 16 : 1- 19)

Meskipun terdapat macam-macam bentuk doa, namun tradisi para Nabi menekankan bahwa yang paling penting dan utama dari pertobatan adalah pertobatan batin, pertobatan hati dan sikap yang tampak dalam dimensi hidup social, sebagaimana dijelaskan dalam Yesaya 58 : 6- 7 : “58:6 Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, 58:7 supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!”.
            Pertobatan adalah karunia Allah. Allah menganugerahkan hati yang murni dan yang baru, sehingga orang mau bertobat (Mzm 51 : 12; Yer 31 : 33).

3.3.1.2.2.      Rekonsiliasi atau Tobat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru

Kitab Suci Perjanjian Baru menghubungkan pengalaman dosa itu dengan penyembuhan (bdk. Mrk 2: 1- 12). Penyembuhan bagi Yesus mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk penyembuhan atas dosa, yakni pengampunan dosa. Injil Markus 2: 10 menegaskan bahwa Yesus memiliki kuasa untuk mengampuni dosa, dan kuasa itu diberikan Yesus kepada Gereja : “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni dan jikalu kamu menyatakan dosa orang tetap ada, maka dosanya tetap ada” (bdk. Yoh 20 : 22- 23).
Proses pertobatan dan pemberian pengampunan dosa dalam Gereja diberikan secara beraneka ragam. Pengampunan dosa yang hanya berasal dari Tuhan sendiri menuntut pertobatan dalam penyesalan (Luk 15: 11- 14). Selain itu, pertobatan menuntut pengakuan dosa (bdk. Yoh 1: 8- 10), dan pertobatan menuntut usaha aktif untuk mengatasi dosa dan memberi silih atas dosa berupa memberi sedekah (Mat 6: 2- 6), melakukan puasa (Mat 6 : 16- 18) dan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani (1 Tim 1 : 18).

3.3.1.3.            Sakramen Tobat (Rekonsiliasi) dalam Praksis dan Ajaran Gereja

Perjalanan sejarah sakramen tobat dalam Gereja Barat sungguh sarat dengan perubahan yang sangat mencolok, lebih dari sakramen-sakramen yang lain. Dari perjalanan sejarah itu, terjadi suatu perubahan praktek pertobatan dari model tobat public pada zaman Patristik kepada tobat pribadi dalam model suatu pengakuan dosa pribadi yang dikenal sejak abad VI hingga sekarang.

a.            Rekonsiliasi Jemaat menurut Model Tobat Publik pada Zaman Patristik
Dari kesaksian Surat Klemens (tahun 93- 97) diungkapkan model pertobatan dengan pengakuan dosa. Demikian pula pada pertengahan pertama abad II, Didache menyatakan bahwa pengakuan dosa dan pengampunan dosa menjadi pengandaian seseorang boleh ikut perayaan ekaristi. Barulah pada akhir abad II, ditemukan kesaksian yang jelas dari Tertullianus yang menyebut tobat public. Tobat public ini diperuntukkan bagi warga Gereja yang melakukan dosa berart, seperti murtad, membunuh dan berzinah. Tobat public ini hanya bisa dilaksanakan sekali saja seumur hidup. Tahap-tahap tobat public ialah :
    • Pengakuan dosa public di hadapan jemaat yang dipimpi oleh Uskup. Sesudah pengakuan itu, uskup menumpangkan tangan pada orang yang bertobat itu. Orang itu diberi pakaian pertobatan dan ia harus pergi dan dikucilkan dari jemaat dengan tidak boleh mengikuti perayaan ekaristi lagi.
    • Masa tobat yang berlangsung selama beberapa tahun sesuai dengan perintah uskup dengan melakukan perbuatan tertentu sebagai wujud pertobatan, seperti berpuasa, beramal, ambil bagian dalam kegiatan sosial, latihan rohani atau doa, tidak melakukan hubungan suami-isteri, dan sebagainya.
    • Upacara rekonsiliasi diadakan (biasanya pada hari Kamis Putih) apabila masa tobat itu telah selesai dan denda dosanya telah dilaksanakan. Upacara itu ditandai dengan penumpangan tangan oleh uskup yang memohon pengampunan dosa berkat karunia Roh Kudus atas diri orang yang bertobat itu. Suasana saat ini diliputi kegembiraan yang luar biasa dengan tangisan oleh jemaat yang tersentuh. Selanjutnya, orang tersebut diperkenankan kembali memasuki altar untuk merayakan ekaristi bersama seluruh jemaat.

b.            Tobat Pribadi Sejak Abad VI
Praktek yang berat dan menuntut disiplin tinggi dari tobat public semakin dihindari orang. Mengingat tobat public hanya boleh dilakukan sekali seumur hidup, maka orang cenderung menggeser pelaksanaan tobat public itu pada masa tua atau mendekati kematian. Akibatnya, secara keseluruhan dalam praktek hidup Gereja, terjadi suatu kekosongan praktek tobat. Bertolak dari alasan inilah, maka sejak abad VI, mulailah suatu praksis baru dalam kehidupan Gereja Barat yang berasal dari para rahib Irlandia. Itulah praktek tobat pribadi yang berupa pengakuan dosa pribadi di hadapan seorang bapa pengakuan. Praktek tobat pribadi ini dengan cepat diterima oleh umat beriman di Gereja Barat dan cepat meluas pula. Alasannya tentu saja karena praktek tobat pribadi terasa lebih ringan dan mudah, yakni dapat diulang-ulang dan dilakukan secara pribadi saja, yakni di hadapan seorang imam. Secara teologis-liturgis, ada pergeseran. Jika dalam tobat public peran seluruh umat beriman begitu jelas, maka pada tobat pribadi peran imam sebagai bapa pengakuan menjadi lebih penting sementara peran umat beriman menghilang. Selain itu, dari segi unsure-unsurnya, pada tobat public, unsure pentingnya adalah pelaksanaan wujud tobat dalam perbuatan-perbuatan denda dosa selama masa tobat dan tindakan umat beriman. Sedangkan dalam tobat pribadi, unsure penting adalah pengakuan dosanya. Pada mulanya, susunan tobat pribadi masih menggunakan tahap-tahap seperti tobat public, yaitu :
·         Pengakuan dosa di hadapan seorang imam
·         Masa tobat untuk menjalankan denda dosa
·         Absolusi dari iman yang menandai rekonsiliasi orang yang berdosa itu dengan Gereja yang diwakili oleh imam itu.

Akan tetapi, dalam perkembangan waktu, terjadi kesulitan bagi pertemuan yang kedua kali antara imam dengan penitennya. Banyak penitent yang tidak datang lagi ke imam yang dulu mendengarkan pengakuannya. Maka, dibuatlah model baru, di mana absolusi langsung diberikan oleh imam yang mendengarkan pengakuan itu dan barulah sang penitent melaksanakan denda dosa (penitensi) sebagaimana yang dinyatakan oleh imam itu. Dengan demikian, pada tobat pribadi terjadilah susunan yang berbeda. Kini tahap-tahapnya adalah :

·         Pengakuan dosa
·         Absolusi oleh imam
·         Masa tobat melaksanakan denda dosa.

Tobat pribadi yang berasal dari para rahib Irlandia ini pada mulanya ditentang secara resmi oleh Gereja (Sinode Toledo pada tahun 589). Pada pembaruan Karolus Agung abad VIII, ada usaha kompromi, yakni tobat pribadi untuk dosa-dosa pribadi dan tobat public untuk dosa-dosa public. Akan tetapi, tobat pribadi ini terus popular dan diterima secara meluas. Mulai tahun 800, tobat pribadi praktis sudah mendominasi Gereja Barat. Akhirnya, pada abad XIII tobat pribadi diterima dan diajarkan dengan resmi oleh Gereja melalui Konsili Lateran IV (1215).

c.             Teologi Skolastik mengenai Sakramen Tobat
Sakramen tobat pada zaman Skolastik masuk sebagai salah satu dari ketujuh sakramen. Model tobat pribadi sudah diterima secara umum. Tobat pribadi untuk dosa-dosa berat diwajibkan. Terdapat beberapa tokoh yang berbicara tentang Sakramen Tobat, seperti :
·         Petrus Lombardus adalah salah satu tokoh Skolastik awal yang merefleksikan secara teologis praksis tobat pribadi itu. Tekanan teologi Skolastik mengenai sakramen tobat pada umumnya adalah cirri pengadilan dari sakramen tobat. Maka, soal pokok yang didiskusikan adalah masalah kuasa imam untuk memberikan absolusi atau pelepasan dari dosa. Dimensi eklesial sakramen tobat pada masa Skolastik praktis menghilang dan tidak dibicarakan lagi. Persoalan mengenai kuasa imam untuk memberikan absolusi berkaitan dengan masalah kapan dan bagaimana Allah mengampuni dosa, lalu di mana kedudukan pernyataan absolusi dari imam itu. Para teolog Skolastik awal memikirkan bahwa absolusi imam bersifat deklaratif. Artinya, rahmah Allah sendirilah yang mengampuni dosa orang. Pernyataan absolusi imam hanya bersifat menyatakan secara eksplisit apa yang telah dikerjakan oleh Allah itu dan menyatakan bahwa orang itu sudah bersih dari dosa.
·         Thomas Aquinas berpendapat bahwa pengampunan dosa dari Allah itu berdaya dan efektif karena interaksi antara pertobatan orang yang berdosa itu dan absolusi yang dinyatakan oleh imam. maka, menurutnya, absolusi bersifat kausativ, yaitu ikut menyebabkan turunnya rahmat pengampunan dosa dari Allah.

Selain itu, teologi Skolastik juga sibuk dengan masalah penyesalan sebagai syarat penerimaan sakramen tobat. Apakah orang harus mempunyai pertobatan atau penyesalan sempurna (contrition) atau cukup pertobatan/ penyesalan yang tidak sempurna (attrition) untuk dapat menerima pengampunan dosa ? Pembedaan jenis pertobatan atau penyesalan ini terletak pada motif atau alasan. Bila orang bertobat karena digerakkan oleh cinta Tuhan dan sungguh ingin mencintai Tuhan dengan meninggalkan dosa-dosanya, maka orang itu mempunyai pertobatan sempurna. Namun, apabila pertobatannya itu hanya digerakkan oleh rasa takut akan neraka dan hukuman dosa saja, maka pertobatannya itu tidak sempurna. Yohanes Dun Scotus memandang ada dua jalan pengampunan dosa, yakni :
·         Pengampunan dosa melalui absolusi sacramental pada sakramen tobat
·         Pengampunan dosa yang diberikan di luar perayaan sacramental berdasarkan pertobatan yang sempurna.

Bagi Scotus, yang terpenting dalam sakramen tobat adalah absolusi imam, sedangkan pengakuan dosa, penyesalan, dan penitensi hanyalah pengandaian saja.

d.            Ajaran Resmi Gereja pada Abad Pertengahan mengenai Sakramen Tobat
Ajaran resmi Gereja pada abad pertengahan mengenai Sakramen Tobat tampak dalam ajaran-ajaran beberapa Konsili berikut, seperti :
·         Konsili Lateran IV (1215) mewajibkan semua umat beriman untuk mengaku dosa di hadapan imam sedikitnya sekali setahun dan untuk berusaha melaksanakan penitensi.
·         Konsili Florenz memandang tindakan penitent (penyesalan, pengakuan, dan melaksanakan penitensi) sebagai semacam materia sakramen tobat, sedangkan formanya adalah kata-kata absolusi dari imam, lalu pelepasan dari dosa merupakan rahmat sakramennya.
·         Konsili Trente (1551) menegaskan ajaran Gereja menghadapi gerakan Gereja Reformasi. Martin Luther menolak tobat sebagai sakramen, meskipun ia menghargai pengakuan dosa sebagai pelayanan persaudaraan yang baik agar orang percaya kepada pengampunan Allah. Tetapi, Luther menolak sifat pengadilan atau penghakiman sakramen tobat dan sifat kewajiban bahwa orang harus mengaku dosa di hadapan imam. Calvin, salah satu tokoh Gereja Reformasi sama sekali menolak sakramen tobat. Karena itu, Konsili Trente mengeluarkan beberapa ajaran pokok mengenai sakramen tobat, yakni :
Ø  Sakramen Tobat ditetapkan oleh Kristus sendiri dan dapat diulang
Ø  Gereja mempunyai kuasa untuk melepaskan dan mengampuni dosa
Ø  Pengakuan Sakramental di hadapan imam sesuai dengan perintah Kristus dan ditetapkan oleh hukum Ilahi
Ø  Menurut hukum Ilahi, pengakuan pribadi atas dosa berat adalah keharusan
Ø  Semua orang kristiani wajib mengaku dosa sekali setahun.
Ø  Absolusi sacramental imam merupakan tindakan penghakiman yang berdaya guna dan bukan sekedar pernyataan yang bersifat nasehat
Ø  Hanya imam yang mempunyai kuasa untuk mengikat dan melepaskan dosa.

Dari ajaran-ajaran Trente ini tampaklah bahwa dimensi eklesial sama sekali tidak terasa dan tidak disebut. Ajaran Trente ini terus menguasai kehidupan Gereja selama berabad-abad sesudah Trente hingga akhirnya diperbaharui oleh Konsili Vatikan II pada abad XX.

e.             Sakramen Tobat dalam Semangat Konsili Vatikan II
·         Dengan aneka gerakan pembaruan teologi dan liturgy dalam Gereja pada pertengahan pertama abad XX, sakramen tobat kembali direnungkan secara baru. KV II, dalam Lumen Gentium (LG) 11 menyatakan kembali dimensi eklesial dari sakramen tobat itu.
·         Mengenai tata perayaannya, para Bapa Konsili Vatikan II mendesak untuk peninjauan kembali upacara dan rumusan sakramen tobat (SC 72). Atas kehendak Konsili Vatikan II itu, disusunlah buku perayaan sakramen tobat yang baru yang disebut Ordo Paenitentiae (1973).
·         Pada pedoman umum tata cara tobat yang baru ini, dimensi eklesial kembali ditampakkan. Dimensi ini tampak, misalnya pada rumusan absolusi baru yang diucapkan oleh imam yang memuat kata-kata :
“melalui pelayanan Gereja, Ia menganugerahkan kepada Saudara pengampunan dan damai. Maka, dengan ini aku melepaskan saudara dari segala dosa… “.

·         Selain itu, dimensi perayaan juga ditekankan, sehingga segi dan suasana penghakiman atau pengadilan bisa dinetralisir. Di samping itu juga, suatu pemberian absolusi umum dimungkinkan.
·         Menurut Ordo Paenitentiae, ada 3 (tiga) kemungkinan perayaan sakramen rekonsiliasi :
Ø  Tata perayaan rekonsiliasi perorangan/ pribadi
Ø  Tata perayaan rekonsiliasi beberapa orang dan dilanjutkan pengakuan dosa dan absolusi pribadi (ibadat tobat bersama dilanjutkan dengan pengakuan pribadi)
Ø  Tata perayaan rekonsiliasi jemaat dengan pengakuan dan absolusi umum. Untuk memberikan  absolusi umum, imam harus mendapat izin dari uskup.

3.3.1.4.            Makna Sakramen Tobat atau Rekonsiliasi

Sakramen Tobat memiliki makna perdamaian, yaitu :
a)      Sakramen tobat mendamaikan manusia dengan Allah, sehingga manusia hidup dalam rahmat. Dengan mengutus Yesus Kristus, PuteraNya, maka Allah mewartakan perdamaian bagi manusia. Wafat dan kebangkitan  Yesus Kristus mendamaikan manusia dengan Allah.
b)      Sakramen Tobat juga mendamaikan kembali hubungan umat dengan Gereja. Dosa menyebabkan putusnya hubungan manusia dengan Allah, dan juga dengan sesamanya, khususnya dengan seluruh warga Gereja. Dosa seseorang selalu berdampak pada keseluruhan komunitas beriman. Karena itu, suatu perdamaian kembali mestinya juga diadakan dalam kebersamaan. Dengan demikian, Sakramen Tobat mendamaikan seseorang dengan Gereja dalam totalitasnya.
c)      Sakramen Tobat berarti rekonsiliasi dengan semua makhluk dan alam lingkungan. Sakramen Tobat memiliki dimensi teologis, bahwa semua makhluk adalah ciptaan Tuhan, dan dimensi ekologis. Sakramen Tobat mengingatkan manusia bahwa perdamaian juga mesti merangkum seluruh tata relasi dengan alam lingkungan. Tobat mestinya melahirkan kesadaran akan sikap yang ramah kepada lingkungan.

3.3.1.5.            Idulgensi

Idulgensi berasal dari kata bahasa Latin “indulgentia” yang secara harafiah berarti kemurahan. Idulgensi berarti kemurahan dari Allah yang dianugerahkan kepada seseorang melalui Gereja. Idulgensi berarti juga penghapusan hukuman sementara sebagai akibat dari dosa.
Pelaku utama dalam sakramen tobat adalah Allah sendiri, sebab hanya Allah-lah yang mengampuni dosa. Kristus menghendaki supaya gereka secara keseluruhan menjadi tanda dan sarana pengampunan dan perdamaian. Karena itu, pelaksanaan kuasa absolusi dipercayakan Allah kepada jabatan apostolic, yaitu para rasul serta para pengganti mereka, yaitu para uskup.




3.3.1.6.            Kerangka Dasar Sakramen Tobat

Kerangka dasar sakramen tobat tetap sama sepanjang sejarah keselamatan, meski susunan dan upacara sakramen ini sering mengalami banyak perubahan. Kerangka dasar itu mencakup dua unsure hakiki, yaitu :
1)      Kegiatan manusia yang bertobat di bawah kuasa Roh Kudus, yakni penyesalan, pengakuan dan penitensi;
2)      Kegiatan Allah oleh pelayanan Gereja, yakni mengampuni dosa dan mengerjakan perdamaian bagi para pendosa berkat paskah PuteraNya dan berkat anugerah Roh-Nya.

Gereja menentukan jenis dan cara penitensi, berdoa untuk pendosa, dan menjalankan penitensi bersama dengannya. Kegiatan penitensi bersifat triganda. Ketiga sifat kegiatan penitensi adalah bahwa (1) dalam hati ada penyesalan, (2) dalam mulut ada pengakuan, dan (3) dalam tindakan ada penyilihan atau “penitensi”.
Konsili Trente menegaskan bahwa penyesalan berarti kesedihan jiwa dan kejijikan terhadap dosa yang telah dilakukan, dan niat untuk tidak berdosa lagi. Konsili membedakan dua macam penyesalan, yaitu :
v  CONTRITIO, yang berarti penyesalan sempurna, penyesalan yang berdasarkan pada cinta kepada Allah yang dicintai melebihi segala sesuatu.
v  ATTRITIO, yaitu penyesalan yang tidak sempurna, penyesalan yang berdasarkan renungan mengenai kejijikan dosa atau karena rasa takut akan hukuman abadi yang mengancam pendosa.

Pengakuan sudah membebaskan orangnya sendiri dan merintis perdamaiannya dengan orang lain. Melalui pengakuan itu, orang melihat dengan jujur dosa-dosanya dan menerima tanggung jawab atas dosa. Dengan demikian, ia membuka diri kembali untuk Allah dan untuk persekutuan Gereja, sehingga dimungkinkanlah masa depan yang baru. Pengakuan di depan imam merupakan bagian hakiki dari sakramen tobat.
Penyilihan atau penitensi  sangat diperlukan. Konsili Trente menjelaskan bahwa absolusi memang menghapus dosa, tetapi tidak mengatasi semua ketidakadilan yang disebabkan oleh dosa. Karena itu, pendosa yang karena rahmat Allah sudah mengangkat diri dari dosa masih harus mendapat kesehatan rohani yang penuh. Ia harus “membuat silih” untuk dosa-dosanya dengan cara tertentu. Silih atau penitensi dapat berupa doa, derma, karya amal, pelayanan terhadap sesama, pantang, berkurban, dan terutama menerima dengan sabar salib yang harus dipikul.
Pemberi Sakramen Tobat adalah para uskup dan rekan kerjanya, yaitu para imam. Mereka menerimakan sakramen tobat kepada umat berdasarkan penugasan oleh Kristus kepada rasul-rasulNya. Berkat sakramen Tahbisan, maka para uskup dan para imam telah menerima wewenang untuk mengampuni segala dosa, dan dengan menerimakan sakramen tobat, maka para imam memberi pelayanan caturganda, yaitu :
1)      Pelayanan gembala baik yang mencari domba yang hilang
2)      Pelayanan orang Samaria yang murah hati, yang membalut luka-luka
3)      Pelayanan sang bapa yang menantikan anak yang hilang dan menerimanya dengan penuh kasih saying setelah ia kembali
4)      Pelayanan hakim yang benar

Karena itu, imam adalah tanda dan sarana cinta Allah yang penuh belas kasihan kepada orang berdosa, dan sebagai pelayan pengampunan Allah, maka imam hendaknya menyadari apa yang perlu untuk memberikan pelayanan ini secara optimal, yaitu :

·         Mempersatukan diri dengan niat dan cinta Kristus
·         Mengetahui dengan pasti bagaiman seorang kristiani harus hidup
·         Mempunyai pengalaman dalam masalah-masalah manusiawi
·         Menghormati orang yang telah “jatuh”
·         Memegang teguh tugas Gereja untuk mengajar
·         Membimbing penitent dengan sabar menuju penyembuhan dan kematangan
·         Mendoakan penitent dan membuat silih
·         Menyerahkan penitent kepada kerahiman Allah.

Perayaan Sakramen Tobat sebagai kegiatan liturgy terdiri dari :
  • Salam dan berkat imam
  • Pembacaan Sabda Allah untuk menerangi hati nurani dan membangkitkan penyesalan
  • Ajakan untuk menyesal
  • Pengakuan dosa secara perorangan di depan imam
  • Penyampaian dan penerimaan penitensi
  • Pemberian pengampunan dosa (absolusi)
  • Pujian sebagai tanda terima kasih
  • Pengutusan dengan berkat imam.

3.3.2.       SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
3.3.2.1.            Sejarah Sakramen Orang Sakit
3.3.2.1.1.      Kitab Suci

Sejarah perkembangan sakramen pengurapan orang sakit dibicarakan juga di dalam kitab suci, khususnya kitab suci perjanjian baru. Ketiga injil sinoptik dan kitab Yakobus secara khusus berbicara tentang pengurapan orang sakit.

a)                  Ketiga Injil Sinoptik :

St. Mateus menceritakan karya Yesus, di mana Yesus berkeliling dari satu kota ke kota yang lain, dari satu dusun ke dusun yang lain untuk mewartakan injil dan menyembuhkan orang-orang yang menderita segala penyakit dan cacat fisik (bdk. Mat 9 : 35), sementara Lukas menyebutkan bahwa Yesus memanggil murid-muridNya, memberi mereka kuasa, dan mengutus mereka untuk mengusir roh-roh jahat, serta menyembuhkan segala penyakit (bdk. Luk 9 ; 1), sedangkan St. Markus mengisahkan karya penyembuhan itu secara berbeda, di mana hanya Markus sendiri yang menceritakan bahwa pengikut-pengikut Yesus mengoles minyak zaitun pada orang sakit dan menyembuhkan mereka (bdk. Mrk 6 : 13).

b)                  Kitab Yakobus

Kitab Yakobus, khususnya di dalam Yak 5 : 14- 15 secara luas berbicara tentang pengurapan orang sakit, dengan beberapa pokok penafsiran, yaitu :
Ø   Ayat 14a berbicara tentang si penderita atau orang sakit, bahwa yang dimaksudkan dengan orang sakit di sini adalah orang yang menderita sakit yang cukup berat, dan dalam beberapa hal berada dalam bahaya mati (bdk Yoh 4 : 46- 47; Kis 9 : 37).
Ø   Ayat 14 secara umumnya berbicara tentang peranan pemimpin jemaat (penatua atau presbyteroi). Gereja perdana menganggap para penatua atau presbyteroi ini sebagai orang yang memiliki kuasa atau hak untuk bertindak, yaitu mendoakan orang yang sakit dan mengoleskannya dengan minyak dalam nama Tuhan. [6]
Ø   Ayat 15 berbicara tentang :
ü  doa yang disampaikan dengan penuh iman. Ayat ini berhubungan erat dengan Mrk 6 : 13 : “….dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka “ .  Ayat ini menjelaskan bahwa kesembuhan itu terjadi bukan saja karena kekuatan minyak, melainkan juga dengan doa yang disampaikan kepada Tuhan dengan penuh iman yang teguh.
ü  Ayat 15 menyebutkan “…akan menyelamatkan…”.  Ungkapan menyelamatkan harus diterima dalam arti luas, yaitu (1) penyembuhan dan pemulihan kesehatan, (2) pembebasan dari kuasa dosa dan setan, dan (3) tanda kehadiran Kerajaan Allah.
ü  Ayat 15 juga menyebutkan : “ …dan Tuhan membangunkan dia…”. Kitab suci Vulgata menterjemahkan ungkapan ini dengan kata Latin Alleviabit, yang berarti meringankan penderitaan si sakit. Karena itu, ayat ini menegaskan aspek pemulihan kesehatan atau penyembuhan jasmaniah.
ü  Dan pada akhirnya ayat ini juga menyebutkan : “ … dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni…”. Ayat ini menegaskan tujuan pengurapan orang sakit bukan saja penyembuhan jasmaniah, melainkan juga pengampunan dosa. Pengurapan orang sakit bisa membawa penyembuhan rohani, jika si sakit bertobat atas dosa-dosanya.

3.3.2.1.2.      Tahun 100- 800 : Gereja Perdana

Pada masa gereja perdana terdapat tulisan-tulisan yang menjelaskan praktek mendoakan dan mengurapi orang sakit dengan menggunakan minyak zaitun, dan pada dasarnya, perkembangan praktek upacara pengurapan orang sakit bersumber pada naskah-naskah liturgy purba, dan pada teks-teks dari bapa-bapa gereja.

a)                  Naskah-Naskah Liturgi
1)                  Traditio Apostolica St. Hyppolytus : buku ini ditulis oleh Hyppolytus pada tahun 215 dan dalam buku ini ia mencatat bahwa orang sakit diurapi dengan minyak zaitun yang sudah diberkati dengan doa khusus.
2)                  Euchologia Serapion dari Thmuis : buku ini ditulis pada tahun 350 M yang menjelaskan tentang pemberkatan minyak orang sakit dan artinya. Buku ini menjelaskan bahwa tujuan atau maksud pengurapan orang sakit adalah memberikan pemulihan kesehatan badan, pengampunan dosa, bantuan untuk mengalahkan kejahatan, dan rahmat ketabahan.

b)                  Tulisan Bapa-Bapa Gereja
1)                  Surat Paus Innosentius I (415 M) kepada uskup Decentius : isinya adalah penjelasan Paus tentang Surat Yakobus pasal 5. Paus menjelaskan bahwa surat itu benar-benar berbicara tentang orang Kristen yang sakit. Paus juga menjelaskan beberapa hal, yaitu bahwa (1) minyak orang sakit diberkati oleh uskup, (2) Imam bukan satu-satunya pelayan sakramen orang sakit, dan (3) sakramen tidak boleh diberikan kepada para pendosa yang belum berdamai dengan Gereja lewat pengakuan dosa.
2)                  Komentar Santo Beda (735 M) tentang Surat St. Yakobus . Santo Beda menulis komentar yang isinya berupa penegasan kembali dan kesaksiannya tentang pengurapan orang sakit. Ia menjelaskan bahwa :
·         Di dalam injil dikisahkan bahwa para rasul mengurapi orang sakit dengan minyak, dan bahkan hingga saat ini Gereja tetap mengikuti kebiasaan itu, yakni orang sakit diurapi oleh pemimpin-pemimpin jemaat dengan minyak yang sudah diberkati oleh Uskup, dan menjadi sembuh berkat doa
·         Bukan hanya pemimpin-pemimpin jemaat, melainkan juga semua orang beriman dapat mengurapi orang sakit
·         Minyak itu hanya diberkati oleh Uskup

3)                  Pada tahun 1942, Antoine Chavasse menerbitkan hasil studinya yang sangat menentukan tentang sakramen orang sakit dalam Gereja Latin, dan berdasarkan hasil studinya itu, ia menyimpulkan :
v  Unsure yang paling utama dalam pengurapan orang sakit adalah minyak zaitun yang sudah diberkati, di mana pemberkatan itu bersifat epiclesis  (mohon bantuan Roh Kudus) dan terjadi dalam Doa Syukur Agung, sehingga minyak itu mendapat kekuatan ilahi
v  Siapa saja orang beriman boleh mengurapi orang sakit, yaitu uskup, imam, diakon, atau awam.
v  Sebelum abad IX, tidak terdapat suatu upacara liturgy tertentu, tak ada juga rumus doa, atau tugas mengurapi orang sakit dengan minyak; yang ada hanyalah rumus pemberkatan minyak
v  Pengurapan orang sakit bukan merupakan persiapan untuk menghadapi kematian, melainkan sebagai tanda peneguhan

3.3.2.1.3. Kaiser Karel Agung

Karel Agung membuat pembaharuan tentang upacara pengurapan orang sakit, di mana kaum awam tidak lagi memberikan pengurapan orang sakit. Sakramen orang sakit diberikan oleh imam yang telah ditahbiskan, dan pemberkatan minyak orang sakit dilaksanakan dalam liturgy pecan suci. Pada masa Karel Agung, untuk pertama kalinya disebutkan “Upacara Pengurapan Orang Sakit”, dan penerimaan sakramen pengurapan orang sakit diterimakan bersama dengan sakramen pengakuan dan viaticum (komuni bekal suci).

3.3.2.1.4.      Awal Zaman Skolastik dan Petrus Lombardus
a.                  Awal Zaman Skolastik

Pada abad XIII, sakramen orang sakit tidak lagi dilihat sebagai sarana pemulihan kesehatan badan, tetapi sebagai sarana pengampunan dosa. Pada zaman ini, sakramen hanya diberikan kepada orang-orang dewasa yang secara sadar atau tidak sadar melakukan hal-hal yang disebut dosa. Sakramen tidak diberikan kepada anak-anak kecil, sebab perbuatan dan tindakan anak-anak sejahat apa pun tidak disebut sebagai dosa, karena mereka belum mengerti secara pasti tentang apa arti dan dampak dari tindakannya.
Selain itu, pada zaman ini, muncul tokoh baru yang memberikan pandangannya tentang tujuan pemberian sakramen pengurapan orang sakit, yaitu HUGO dari SAN VIKTOR yang berpendapat bahwa penyembuhan rohani merupakan satu-satunya tujuan dari pengurapan orang sakit. Karena itu, sakramen orang sakit merupakan persiapan bagi si sakit untuk masuk surga. Hugo berpendapat bahwa sebagaimana sakramen pembabtisan diperuntukkan bagi orang yang akan memasuki dunia dan memberi mereka cap Kristus, demikian pula dengan sakramen pengurapan orang sakit, bahwasanya sakramen orang sakit diberikan kepada orang-orang yang akan meninggalkan dunia ini, sehingga mereka dimungkinkan untuk memandang wajah Allah.

b.                  Petrus Lombardus (1150 M)
Petrus Lombardus adalah orang pertama yang menggunakan istilah “pengurapan terakhir” (extrema Unctio) yang menggantikan istilah “pengurapan orang sakit” atau “pengurapan suci”. Karena itu, sakramen ini diberikan kepada orang-orang yang secara pemeriksaan medis tidak memiliki kemungkinan untuk mengalami kesembuhan lagi atau yang akan meninggal dunia.
3.3.2.1.5.      Konsili Trente (1545)
Konsili Trente menegaskan bahwa Sakramen Orang Sakit diberikan kepada orang-orang yang sedang mengalami sakit berat. Konsili menandaskan bahwa sakramen ini bertujuan untuk memberikan rahmat Roh Kudus kepada yang menderita, menghapus dosa dan hukuman atas dosa, memberikan penghiburan bagi orang yang sakit, dan menganugerahkan penyembuhan badaniah. Beberapa ajaran Trente mengenai sakramen pengurapan orang sakit adalah :
·         Sakramen perminyakan teakhir adalah sungguh-sungguh sakramen yang ditetapkan oleh Kristus dan disampaikan oleh Santo Yakobus Rasul
·         Sakramen ini menganugerahkan rahmat dan memberikan pengampunan dosa
·         Pelayan sakramen perminyakan terakhir hanyalah imam.
3.3.2.1.6.      Konsili Vatikan II
Konstitusi Liturgi artikel 73 dari Konsili Vatikan II menghendaki agar sakramen pengurapan terakhir ini dikembalikan pada fungsinya yang semula, yaitu sebagai sakramen untuk orang yang sakit berat dan yang sudah lanjut usianya, dan bukan untuk orang yang akan meninggal dunia.
3.3.2.2.            Perayaan Sakramen Pengurapan Orang Sakit
Perayaan Sakramen Pengurapan Orang Sakit dapat diwujudkan melalui 2 (dua) upacara, yaitu (a) upacara kunjungan dan komuni orang sakit, dan (b) upacara pengurapan orang sakit.
3.3.2.2.1        Upacara Kunjungan dan Komuni Orang Sakit
Upacara kunjungan dan komuni orang sakit terdiri dari beberapa unsure atau susunan upacaya, yaitu :
a)      Percikan dengan air berkat : ritus ini merupakan sarana pertemuan manusia dengan Allah, dan memiliki arti memberikan peneguhan persatuan antara seluruh umat yang hadir dengan Kristus.
b)      Sakramen Pengampunan : upacara mengunjungi orang sakit merangkum juga upacara pengampunan dosa-dosa di masa lalu.
c)      Pembacaan, Doa dan Litani : bagian upacara ini berarti bahwa pewartaan Kitab Suci dapat dipandang sebagai pesan Allah yang khusus kepada orang yang sakit dan bagi umat yang hadir. Sabda Allah menantang mereka untuk memberi tanggapan dalam iman. “Mendengarkan Sabda Allah” bermakma memberikan kesadaran kepada umat bahwa segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini berasal dari Tuhan. Sabda Allah yang mewahyukan diri merupakan suatu pesan keselamatan.
d)      Ekaristi atau Komuni Orang Sakit : ekaristi merupakan sakramen penyembuhan, rekonsiliasi dan keselamatan yang tak terbatas. Semua orang yang sakit bersatu dengan seluruh jemaat beriman dan dengan Kristus. Karena itu, sakramen ini menyatakan iman akan Tuhan yang mau membangkitkan orang sakit, sebagaimana Kristus sendiri telah bangkit pada hari minggu paskah.
e)      Penumpangan tangan : merupakan suatu tata gerak yang mengungkapkan berkat. Penumpangan tangan merupakan suatu komunikasi kekuatan Roh Kudus yang diberikan kepada seseorang yang sakit. Melalui ritus ini, maka Roh Kudus diundang, dimintakan kuasaNya dan diakui sebagai pemberi kuasa atau penyembuhan dalam bentuk berkat yang istimewah.
3.3.2.2.2  Upacara Pengurapan Orang Sakit
Perayaan Liturgi Orang Sakit terutama terdiri dari penumpangan tangan oleh imam, doa yang disampaikan dengan penuh iman, dan pengurapan orang sakit dengan minyak yang sudah diberkati. Karena itu, ada 3 (tiga) elemen penting yang membentuk upacara pengurapan orang sakit, yaitu :
a)      Penumpangan Tangan
b)      Doa yang disampaikan dengan penuh iman
c)      Pengurapan dengan minyak yang sudah diberkati

3.3.2.2.2        Makna Sakramen Pengurapan Orang Sakit

Sakramen Pengurapan Orang Sakit memiliki beberapa makna penting, yaitu sebagai :
a)      Partisipasi dalam penderitaan dan wafat Kristus, serta menjadi kuat untuk mempersatukan diri lebih erat lagi dengan Kristus.
b)      Sarana penyembuhan jasmani dan rohani
c)      Perayaan umat
d)     Perayaan iman, karena memberikan ketabahan dan penghiburan bagi si sakit dan bagi seluruh umat yang hadir
e)      Sarana kehadiran karya Allah yang memberikan rahmat Roh Kudus untuk memperteguh kepercayaan si sakit kepada Allah, agar si sakit tetap tabah dalam penderitaan, memperoleh rahmat pengampunan atas dosa dan membangun tobat secara Kristen.

3.4  SAKRAMEN-SAKRAMEN PELAYANAN UNTUK PERSEKUTUAN
3.4.1.       SAKRAMEN TAHBISAN
3.4.1.1.            Sakramen Tahbisan Dalam Tata Keselamatan

Tahbisan berasal dari kata bahasa Latin ordinatio yang memiliki kata dasar ordo. Ordinatio berarti penggabungan di dalam satu ordo. Penggabungan ke dalam salah satu golongan Gereja terjadi dalam satu ritus yang dinamakan ordination yaitu satu tindakan liturgis dan religius yang dapat merupakan satu tahbisan, satu pemberkatan atau satu sakramen.
Sakramen tahbisan disebut juga sakramen imamat. Istilah dalam bahasa Latin yang sudah popular sejak zaman Skolastik adalah sacramentum ordinis yang lebih menekankan aspek jabatan dari satu tahbisan, sedangkan istilah imamat lebih mengungkapkan tugas-tugas menguduskan seperti pelayanan ekaristi, pemberian absolusi melalui sakramen tobat, dan sebagainya. Istilah tahbisan lebih menekankan aspek peristiwa penuh rahmat yang mengubah dan menguduskan seseorang menjadi pemimpin Gereja. Maka, istilah “sakramen tahbisan” umumnya lebih bisa merangkum keseluruhan tugas pemimpin Gereja.
Kitab Keluaran (bdk Kel 19 : 6) menjelaskan bahwa umat terpilih dijadikan oleh Allah sebagai “kerajaan imam dan bangsa yang kudus”. Namun, dari kedua belas suku Israel Allah telah memilih suku Lewi dan memisahkannya untuk pelayanan liturgi.
Imam-imam pertama Perjanjian Lama ditahbiskan dalam ritus khusus. Mereka “ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah supaya mereka dapat mempersembahkan persembahan dan kurban untuk penebusan atas dosa-dosa (bdk Ibr 5 : 1). Namun, imamat ini yang diciptakan untuk mewartakan Sabda Allah dan untuk membangun persekutuan dengan Allah melalui kurban dan doa tidak mampu mendatangkan keselamatan. Kurban itu harus diulangi terus menerus dan tidak dapat mengakibatkan pengudusan secara definitif. Rahmat pengudusan lahir karena kurban Kristus. Kurban Kristus itu unik dan dilaksanakan sekali lagi untuk selamanya dalam perayaan ekaristi.
Kristus, Sang Imam Agung dan Perantara satu-satunya telah membuat GerejaNya menjadi satu kerajaan dan “menjadi imam-imam bagi Allah, BapaNya” (Why 1 : 6). Dengan demikian, seluruh persekutuan umat beriman adalah imam. Orang beriman sebagai orang yang dibabtis melaksanakan imamatnya dengan cara berpartisipasi dalam tri-tugas Yesus sebagai imam, raja dan nabi. Keikutsertaan itu disebut “imamat bersama kaum beriman”.
Imamat jabatan berbeda dari imamat bersama umat beriman menurut hakekatnya. Imamat jabatan memberikan wewenang khusus kepada seseorang untuk melayani umat beriman. Pelayan yang ditahbiskan itu melaksanakan pelayanannya untuk umat Allah melalui kegiatan mengajar, ibadat-liturgi dan melalui bimbingan pastoral.
Yesus mendirikan Sakramen Tahbisan ketika Ia mengadakan perjamuan terakhir bersama murid-muridNya. Yesus memberikan kuasa kepada murid-murid untuk melaksanakan ekaristi (bdk Luk 22: 19). Ketika Yesus bangkit, Ia memberikan kuasa kepada para murid untuk mengampuni dosa (bdk Yoh 20 : 21- 23). Sebelum naik ke surga Yesus memberikan tugas misi kepada para muridNya (bdk Mat 28 : 18- 21). Dan dalam kitab Timotius disebutkan bahwa para rasul menahbiskan Paulus dan Barnabas sebagai uskup, dengan doa dan penumpangan tangan (bdk 2 Tim 1 : 6).

3.4.1.2.            Tahbisan dalam Praksis dan Ajaran Gereja
3.4.1.2.1        Zaman Patristik

Kepemimpinan Gereja pada abad pertama dan kedua umumnya ditandai dengan semakin kuatnya tendensi penyeragaman dan institusionalisasi struktur kepemimpinan. Pada abad-abad pertama ini, peran kelompok nabi dan guru yang karismatis menghilang atau surut. Suatu refleksi mengenai tahbisan berkurang. Surat dari Klemens (thn 93- 97) mengungkapkan masih terbukanya struktur kepemimpinan jemaat, adanya usaha analogi dengan kepemimpinan Perjanjian Lama dan adanya petunjuk bagi penyatuan peran pemimpin jemaat sebagai pemimpin liturgy.
Santu Ignatius dari Antiokia mengungkapkan adanya pembentukan struktur kepemimpinan Gereja yang kurang lebih terjadi di mana-mana, yaitu suatu struktur hierarki yang ditopang oleh tiga tugas pelayanan, yaitu uskup, imam dan diakon. Sejak abad II, tingkatan kepemimpinan uskup, imam dan diakon mulai diterima dan diakui dalam Gereja, bahkan tidak hanya di Barat, tetapi juga pada Gereja Timur.
Santu Irenius dari Lyon memandang perlu adanya succesio apolostolica dalam kepemimpinan Gereja. Succesio apolostolica berarti penggantian atau penerusan rasuli, di mana para pemimpin Gereja memiliki kesinambungan yang jelas dan tegas dari para rasul. Pada abad II, di Gereja Timur, berkembanglah gambaran hierarki seperti uskup, penatua dan diakon sebagai tingkatan yang berakar dalam tata surgawi. Pandangan ini dikembangkan oleh Klemens dari Aleksandria.
Tertullianus (160- 220) memperkenalkan istilah ordination atau penahbisan. Kata ini sebenarnya suatu istilah yang menunjuk pada pengangkatan seseorang ke dalam suatu status atau kedudukan (ordo). Cyprianus berbicara tentang clericus atau klerus yang berarti orang yang berpartisipasi pada Allah dalam cara yang khusus atas dasar kedudukan atau statusnya.
Dengan Edict Milan (313), orang-orang Kristen memperoleh kebebasan untuk hidup dan berkembang di seluruh kekaiseran Romawi. Akibatnya, sangat hebat bagi perjalanan sejarah hidup Gereja. Masuknya Gereja ke dalam kekaiseran Romawi mengubah banyak hal dalam praktek hidup Gereja dan para pemimpinnya. Kini para pemimpin Gereja, seperti uskup dan imam memperoleh penghormatan dan tempat yang tinggi. Secara teologis, hal ini juga mempengaruhi cara pandang orang terhadap tahbisan dan jabatan kepemimpinan Gereja. Hal ini tampak dari beberapa pemikiran dari beberapa tokoh, seperti :
·         Gregorius dari Nyssa (335- 394). Ia memahami tahbisan imam sebagai saat di mana seseorang diubah ke status dan martabat baru yang lebih baik dan diberi kemampuan yang lebih sesuai dengan kehormatan jabatan imam itu.
·         Theodorus dari Mopsuestia (350- 428). Ia memandang tahbisan imam hanyalah suatu pelimpahan tugas pelayanan dan bukan pengangkatan seseorang ke martabat yang lebih tinggi.
·         Agustinus (354- 430). Ia menyumbangkan teologi sakramen tahbisan dengan membandingkannya dengan baptisan. Berhadapan dengan aliran donatisme, ia mengajarkan sifat meterai yang tak dapat dihapus dari sakramen tahbisan.

Mengenai segi tata perayaan pentahbisan pemimpin jemaat, Hipolitus dari Roma memberikan keterangan yang lebih jelas. Menurutnya, inti pokok perayaan pentahbisan uskup, imam dan diakon adalah penumpangan tangan dan doa, di mana doa tersebut memuat rumusan sesuai dengan tingkatan tahbisannya. Ia juga memberikan beberapa catatan mengenai masing-masing tingkatan tahbisan, yakni :
·         Uskup dipilih oleh seluruh umat beriman dan ditahbiskan melalui penumpangan tangan oleh uskup-uskup tetangga. Penumpangan tangan mengungkapkan permohonan akan turunnya Roh Kudus atas calon uskup, lalu dilanjutkan dengan doa tahbisan. Dari doa tersebut terungkap tugas-tugas uskup, seperti memimpin umat, memohonkan rahmat bagi umat, memimpin ekaristi, mendapat kuasa untuk menahbiskan, melepaskan dosa orang, dan melepaskan belenggu orang.
·         Imam ditahbiskan oleh uskup. Bersama para imam, uskup menumpangkan tangan ke atas kepala calon. Uskup mendoakan doa tahbisan. Imam adalah pembantu dan penasehat uskup, ia membantu uskup dalam pembaptisan, ikut bersama uskup mengucapkan doa ekaristi, mewakili uskup memimpin ekaristi, dan mengajar umat.
·         Diakon ditahbiskan oleh uskup melalui penumpangan tangannya dan doa tahbisan. Hanya uskup yang menumpangkan tangan ke atas calon diakon sebab ia ditahbiskan untuk membantu uskup, terutama di bidang pelayanan orang-orang sakit pada jemaat.





3.4.1.2.2        Abad Pertengahan

Pada abad ini, praksis kepemimpinan Gereja mengalami perkembangan yang berbeda dengan praktek Gereja pada abad-abad pertama. Perkembangan atau perubahan yang terjadi itu, antara lain :
1)            Terjadi suatu pergeseran eklesiologis dari masa Patristik ke abad pertengahan yang mempengaruhi teologi tahbisan. Pada masa Patristik, pembedaan yang terjadi adalah antara umat beriman kristiani dan umat lain yang non-kristiani. Pada abad pertengahan, semua orang di wilayah kekaiseran Romawi praktis sudah menjadi Kristen. Maka, pembedaan yang terjadi tidak lagi antara orang Kristen dan non-kristen, tetapi antara pejabat atau pemimpin Gereja dan umat biasaa atau awam. Semakin hari semakin jelas dan tegas jarak antara hierarki dengan awam. Keduanya semakin dipisahkan. Hal ini tampak dalam ritus pentahbisan pula. Uskup diurapi dengan minyak krisma pada kepalanya, ia dimasukan ke jabatan kepemimpinan jemaat, kepadanya diberikan tongkat dan cincin sebagai lambang kedudukannya yang tinggi dan luhur. Imam diurapi dengan minyak pada tangannya, dan kepadanya diberikan alat-alat misa seperti patena dan piala sebagai symbol wewenang imam untuk memimpin ekaristi.
2)            Yang menjadi pusat dan pokok dalam sakramen tahbisan bukan jabatan uskup, tetapi justru jabatan imam. Pada abad pertengahan, tahbisan dan jabatan uskup tidak dipandang sebagai sakramen. Jabatan uskup memang tinggi dan mengatasi imam-imam, tetapi hanya dalam hal kuasa yurisdiksi-administratifnya, dan bukan dalam arti teologis imamatnya atau tahbisannya.
3)            Terjadi diskusi mengenai sakramentalitas tingkatan tahbisan yang berbeda. Hal ini tampak dalam pandangan beberapa tokoh Skolastik, seperti :
a)            Petrus Lombardus (1095- 1160). Ia menghitung tingkatan sakramen tahbisan sampai tujuh sesuai dengan tujuh karunia Roh Kudus. Ketujuh tingkatan itu, yaitu :
·         Ostiar : penjaga pintu
·         Lector
·         Eksorsis (pengusir setan)
·         Akolit
·         Subdiakon
·         Diakon
·         Imam

Tahbisan uskup tidak dipandang sebagai tingkatan sakramen tahbisan.

b)            Thomas Aquinas. Ia melanjutkan gagasan tujuh tingkatan sakramen tahbisan dan ia memandang bahwa ketujuh tingkatan itu bersifat sacramental, dengan Ekaristi sebagai kriterium dan titik pandangnya.

Yang menarik sekaligus aneh dari dari pandangan Thomas serta para teolog Skolastik adalah bagaimana penyerahan piala dan patena dipandang sebagai materia pokok dari sakramen tahbisan. Ternyata pandangan mereka ini diterima dan dilanjutkan oleh KONSILI FLORENZ.
Berhadapan dengan pemikiran dari tokoh-tokoh Skolastik, Gereja pada masa ini memberikan beberapa ajaran resminya. Ajaran resmi Gereja pertama-tama menanggapi pertanyaan-pertanyaan khusus dalam sakramen tahbisan, tetapi kemudian berupa usaha untuk memahami makna dan praksis sakramen tahbisan pada umumnya. Beberapa ajaran Gereja itu, antara lain :
a)            Paus Bonifasius IX (1389- 1404) dalam buku Sacrae Religionis pernah membolehkan seorang imam biasa untuk menjadi pelayan sakramen tahbisan pada tingkatan rendah, seperti ostiar, lector, eksorsis dan akolit, dan bahkan untuk tahbisan subdiakon, diakon dan juga imam. Namun, tiga tahun kemudian, izin ini ditarik kembali karena munculnya berbagai persoalan yang merepotkan.
b)            Konsili Florenz (1439) mengajarkan bahwa materia sakramen tahbisan adalah penyerahan alat-alat liturgy sesuai dengan tingkatan tahbisan. Formanya adalah rumusan doa tahbisan. Pelayan biasa untuk menerimakan sakramen tahbisan adalah uskup dan rahmat sakramennya adalah karunia rahmat sesuai dengan tugas pelayanan jabatannya.
c)            Konsili Trente (1563) mengadakan siding untuk menanggapi ajaran kaum reformator. Martin Luther menolak dengan tegas sakramentalitas sakramen tahbisan. Ia melihat imamat lebih sebagai jabatan pelayanan pewartaan dan seorang pemimpin jemaat hanya dipilih atau diangkat berdasarkan persetujuan seluruh jemaat. Konsili Trente menyebut sakramen tahbisan dengan istilah sakramen imamat. Dengan istilah “imamat”, ditekankan segi kultis-imam dari tugas pelayanan kepemimpinan Gereja. Beberapa poin pokok ajaran Konsili Trente adalah :
1)      Imamat sunggu-sungguh sakramen yang terdapat dalam Perjanjian Baru dan dengan sakramen ini, imam memiliki kuasa untuk mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Tuhan dan untuk mengampuni dosa.
2)      Sakramen Imamat benar-benar ditetapkan oleh Kristus sendiri
3)      Sakramen Imamat memberikan meterai yang tak terhapuskan
4)      Dalam Gereja Katolik, ada tingkatan hierarki, seturut ketentuan ilahi, yang terdiri atas para uskup, imam dan diakon.
5)      Kedudukan para uskup ada di muka para imam, dan uskup memiliki kuasa untuk memberikan sakramen penguatan dan penahbisan.

3.4.1.2.3        Sesudah Konsili Trente hingga Abad XX

Teologi Katolik sesudah Trente tidak memperhatikan ajaran Trente itu menurut konteksnya. Akibatnya, teologi katolik melanjutkan refleksi mengenai sakramen tahbisan dari sisi kultisnya saja, yakni imam sebagai orang yang memiliki kuasa untuk membuat konsekrasi dan melepaskan dosa, sedangkan segi tugas pewartaan dari imam kurang diperhatikan.
Pada abad XX terjadi suatu gerakan pembaruan teologi dan liturgy. Ada banyak tokoh teolog abad XX yang memperbaharui teologi imamat atau tahbisan. Beberapa tokoh itu, antara lain :
1.      Yves Congar (1904- 1994). Ia menekankan kepemimpinan Gereja sebagai tugas pelayanan kepada umat Allah. Tujuan tugas imamat adalah menghadirkan dan menyampaikan hidup ilahi.
2.      Karl Rahner (1904- 1984). Ia menempatkan sakramen tahbisan dalam rangka eklesiologi, yakni menjadi pengungkapan dan pelaksanaan Gereja sendiri.
3.      Paus Pius XII (1939- 1958) :
·         Melalui ensiklik Mediaotor Dei (1947), Ia meneguhkan gerakan pembaruan liturgy sambil memberikan catatan-catatannya. Ia mengatakan bahwa imamat umum umat beriman di satu pihak diakui, tetapi ia masih sangat menekankan keunggulan imamat jabatan. Hanya para imam sejati yang dapat mewakili pribadi Kristus dalam arti yang sebenarnya.
·         Melalui Surat Apostoliknya, Paus memperbarui inti perayaan sakramen tahbisan, yaitu pada penumpangan tangan dan doa tahbisan.

4.      Konsili Vatikan II membuat suatu pembaruan paham teologi sakramen tahbisan yang sangat penting. Penyempitan-penyempitan yang terjadi sejak abad pertengahan dikembalikan lagi ke semangat dan tradisi Kitab Suci dan tradisi para Bapa Gereja. Beberapa ajaran Konsili Vatikan II mengenai sakramen tahbisan ialah:
a)      Imamat umum kaum beriman diakui, diterima dan diteguhkan dengan resmi. Apa yang diperjuangkan oleh Luther mengenai imamat umum ini diakui oleh Vatikan II. Konsili ini mengembalikan seluruh makna imamat pada imamat Yesus Kristus, sebagai satu-satunya imamat Perjanjian Baru.
b)      Konsili mengajarkan seluruh segi tugas kepemimpinan Gereja. Tugas pelayanan kepemimpinan Gereja yang dilaksanakan oleh orang-orang yang menerima tahbisan suci merupakan partisipasi dalam tiga tugas Yesus, yakni mengajar (sebagai nabi), menggembalakan (sebagai raja/ gembala) dan menguduskan (sebagai imam). [7]
c)      Dimensi eklesial atau kolegialitas para uskup dalam kesatuan dengan uskup Roma ditekankan (bdk. LG 21; CD 4).
d)     Tahbisan uskup merupakan kepenuhan sakramen imamat (LG 21). Dengan demikian, paham lama yang tidak menempatkan tahbisan uskup sebagai sakramen dilampaui.
e)      Tahbisan imam memang bukan puncak imamat, tetapi para imam ditahbiskan menurut citra Kristus Sang Imam Agung untuk menunaikan tiga tugas Kristus. Hanya saja, para imam menjalankan imamatnya dalam ketergantungannya dengan para uskup.
f)       Tahbisan diakon tidak lagi hanya dipandang sebagai sekedar tahap untuk menerima tahbisan imamat, tetapi untuk pelayanan.

3.4.1.3.            Pengertian Sakramen Tahbisan

Tahbisan merupakan sakramen perutusan yang dipercayakan oleh Kristus kepada murid-muridNya dan dilanjutkan oleh Gereja sampai akhir zaman. Tahbisan adalah sakramen pelayanan apostolic untuk menggembalakan Gereja dengan sabda dan rahmat Allah. Dengan sakramen imamat menurut ketetapan Ilahi maka beberapa orang beriman diangkat menjadi pelayan-pelayan rohani dengan ditandai oleh meterai yang tak terhapuskan, yakni dikuduskan dan ditugaskan untuk menggembalakan umat Allah dengan melaksanakan tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin.
Menerima tahbisan suci hanyalah menerima rahmat dan karunia Allah. Akan tetapi, dari dirinya sendiri tahbisan suci itu tetaplah anugerah Allah dan sama sekali tidak mengandalkan keunggulan-keunggulan dan jasa pribadi orang yang ditahbiskan. Dari pihak yang ditahbiskan diperlukan sikap penyerahan diri secara total dan utuh kepada Yesus Kristus dan Gereja. Bentuk penyerahan diri yang paling jelas terwujud dalam penghayatan nasehat-nasehat injili, yakni ketaatan, kemiskinan dan kemurnian.
Dengan tahbisan, maka seorang imam diberi kuasa untuk mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, mempersembahkan kurban Kristus kepada Allah. Dengan tahbisan, seseorang menjadi pemimpin dalam Gereja, bukan hanya dalam perayaan ekaristi atau dalam pelayanan sakramen lainnya, melainkan dalam seluruh kehidupan dan kegiatan Gereja.
Tahbisan mencakup 3 (tiga) jenjang, yaitu : tahbisan uskup (episkopat), tahbisan imam (presbiterat) dan tahbisan diaken (diakonat).


a)                  Tahbisan Uskup (episkopat)

Tahbisan uskup merupakan kepenuhan sakramen tahbisan. Dengan tahbisan uskup, maka diterimakanlah kepenuhan sakramen imamat yang biasanya disebut imamat tertinggi atau keseluruhan pelayanan suci (bdk LG 21). Konsili Vatikan II menetapkan bahwa setiap uskup, meskipun memiliki kuasa hanya pada satu Gereja setempat, namun perhatiannya harus diarahkan kepada seluruh Gereja. Mereka harus melindungi uman dan berusaha agar peraturan Gereja ditaati, mengorbankan cinta terhadap seluruh tubuh Kristus.
Untuk menjadi seorang uskup, maka seorang imam harus menerima tahbisan uskup. Ada pun tuntutan bagi seorang imam (calon uskup) yang hendak menjadi uskup adalah :
  • Unggul dalam iman, memiliki semangat merasul, dan bijaksana dalam mengambil keputusan
  • Usia minimal 35 tahun
  • Sekurang-kurangnya sudah 5 tahun ditahbiskan menjadi imam.

Seorang uskup, di dalam keuskupannya, memiliki beberapa tugas, yakni :
  • Tugas pewartaan
  • Menguduskan umatnya (seturut martabat imamatnya)
  • Memimpin umatnya (tugas kegembalaan).

b)                  Tahbisan Imam (presbiterat)

Imam adalah rekan sekerja uskup. Sebelum tahbisan imam, calon telah menerima tahbisan diakon dan telah melaksanakan tugasnya sebagai seorang diakon sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan. Berdasarkan sakramen tahbisan mereka ditahbiskan menurut citra Kristus, Sang Imam Agung yang abadi untuk mewartakan injil serta menggembalakan umat beriman dan merayakan perayaan ekaristi. Karena itu, seorang imam memiliki beberapan tugas, yakni :
  • Mewakili Kristus dan menampakkannya kepada semua orang yang ingin bertemu dengan Dia melalui perayaan ekaristi
  • Menolang umat beriman untuk dapat merayakan ekaristi secara benar dengan cara mewartakan kabar gembira dalam pelajaran di sekolah-sekolah, melalui kotbah atau juga dengan memberikan nasehat dan bimbingan.

c)                  Tahbisan Diaken (diakonat)

Tahbisan diakon merupakan bagian dari jenjang tahbisan. Tahbisan diakon adalah tahbisan yang lebih rendah pada tingkat hierarkis. Diakon ditahbiskan oleh uskup dan memiliki tugas :
·         Melayani umat Allah dalam pelayanan liturgi sabda
·         Membantu imam dan uskup dalam tugas-tugas yang sesuai dengan tahbisan diakonatnya yang memiliki kekhasan yakni untuk melayani. Diakon adalah seorang pelayan.

Seorang diakon ditahbiskan untuk jabatan pelayanan, yakni membantu uskup lebih-lebih dalam pelayanan karya amal. Seorang diakon boleh membantu seorang imam atau Uskup dalam misa, berkotbah, membagikan komuni suci, membabtis dan menjadi saksi dalam perkawinan dan memimpin upacara kematian.


3.4.1.4.            Perayaan dan Pemberi Sakramen Tahbisan

Perayaan sakramen tahbisan mempunyai ritus hakiki yang sama pada ketiga jenjangnya. Uskup meletakkan tangannya atas kepala orang yang ditahbis dan memohonkan kepada Tuhan dalam doa tahbisan (yang disesuaikan dengan jenjang yang bersangkutan) curahan Roh Kudus atas si calon  dan anugerah-anugerah rahmat yang khusus.
Kristus adalah pelaku utama dalam sakramen tahbisan (sebagaimana juga pada sakramen lainnya). Kristus bertindak melalui petugas Gereja , yakni melalui para uskup yang memiliki wewenang penuh. Sebagai pengganti para rasul, para uskup melanjutkan karya Kristus dalam hal memilih, memanggil dan mengutus orang untuk menjadi gembala umatNya.

3.4.1.5.            Makna (buah-buah) Sakramen Tahbisan

Sakramen tahbisan memiliki makna sebagai :
·         Meterai yang tidak terhapus; oleh rahmat khusus dari Roh Kudus sakramen ini membuat penerima serupa dengan Kristus supaya ia dapat menjadi alat Kristus untuk melayani GerejaNya. Tahbisan memberi kuasa kepadanya untuk bertindak sebagai wakil Kristus. Tahbisan diberikan satu kali untuk selamanya. Ia memberi tanda rohani yang tidak terhapus dan tidak diulangi atau dikembalikan
·         Rahmat Roh Kudus; oleh rahmat khusus dari Roh Kudus sakramen ini membuat penerima serupa dengan Kristus, Imam, Guru dan Gembala yang harus ia layani. Seorang uskup terutama mendapat rahmat kekuatan sehingga ia dapat memimpin Gereja dengan teguh dan bijaksana. Kepada para diakon rahmat sacramental memberi kekuatan untuk “mengabdikan diri kepada umat Allah dalam pelayanan liturgy, dalam Sabda dan amal kasih, dalam persekutuan dengan uskup dan para imam”.

3.4.2.       SAKRAMEN PERKAWINAN
3.4.2.1.            Definisi Perkawinan

Kanon 1055 # 1 tidak memberi definisi tetapi deskripsi tentang perkawinan. Kanon ini menekankan dua hal  penting. Pertama, perkawinan adalah suatu perjanjian. Perjanjian adalah dasar untuk membentuk kebersamaan hidup antara seorang pria dan wanita. Istilah yang digunakan untuk menyebutkan kata “perjanjian” adalah FOEDUS. Foedus adalah term bibles yang digunakan dalam Gaudium Et Spes no. 47-52  yang menggambarkan perjanjian antara Yahwe dengan Israel dan antara Kristus dengan Gereja-Nya. Dengan demikian, konsep perkawinan ini tidak hanya mempunyai makna kodrati tetapi juga memiliki makna personal dan sacramental. Kedua, perkawinan adalah suatu realitas permanent karena merupakan suatu kebersamaan seluruh hidup.
Kanon 1055 # 2 menjelaskan bahwa perkawinan adalah sebuah kontrak (bdk Kanon 1097 # 2). Term kontrak tetap digunakan untuk memperlihatkan hakekat perkawinan sebagai lembaga kodrati yang diangkat ke martabat sakramen. Tradisi Gereja mengenal dua teori kontrak yaitu contractus reale dan contractus consensuale. Contractus reale menyata pada saat actus coniugalis. Sedangkan contractus consensuale dijalankan pada saat kedua mempelai menyatakan kesepakatan atau consensus untuk membentuk satu kebersamaan hidup.
Definisi tentang perkawinan dapat dijelaskan dalam pemikiran beberapa tokoh berikut:


  1. Menurut Yustinianus : perkawinan adalah persatuan antara seorang pria dan seorang wanita yang mencakup cara hidup pribadi.
  2. Modestinus : perkawinan adalah persekutuan dan kebersamaan seluruh hidup antara seorang pria dan seorang wanita berdasarkan hukum Ilahi dan manusiawi.
  3. Thomas Sanchez : perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikat cara hidup pribadi dan bebas dari halangan-halangan.
  4. Petrus Lombardus : perkawinan adalah persekutuan nikah antara seorang pria dan seorang wanita yang mencakup cara hidup pribadi dan tidak terikat halangan. Ia mengembangkan suatu teologi perkawinan. Ia mengajarkan bahwa perkawinan itu suatu sakramen. Sebagai sakramen, perkawinan menjadi tanda dari hubungan Kristus dan Gereja. Perkawinan itu dikehendaki Allah, bahkan sudah didirikan Allah sejak manusia masih di Firdaus dan belum berdoa (bdk. Kej 2 : 24).
  5. Hugo di St. Vistore : perkawinan adalah consensus nikah antara dua pribadi yang layak menurut hukum.
  6. De Smet : perkawinan adalah suatu kontrak antara seorang pria dan wanita yang mau bersatu dan mau menjalin hubungan seksual yang intim, pribadi dan stabil.
  7. F.X. Wernz dan P. Vidal : mengemukakan dua arti perkawinan yaitu perkawinan sebagai matrimonium in fieri yang berarti kontrak legitim dan pribadi antara seorang pria dan wanita yang terarah kepada keturunan dan pendidikan anak dan matrimonium in facto esse yaitu perkawinan sebagai persekutuan legitim dan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita yang terarah kepada prokreasi dan pendidikan anak.

3.4.2.2.            Sakramentalitas Perkawinan

Diskusi mengenai sakramentalitas perkawinan sudah berawal sejak zaman Patristik. Bapa-bapa Gereja pada umumnya menyadari karakter ilahi dari perkawinan. Perkawinan dipahami sebagai figure persekutuan Yahwe dengan Israel dan antara Kristus dengan GerejaNya (Mat 19 : 4-6; I Kor 6 : 12- 20; Ef 5 : 21- 32). St. Agustinus, dalam kaitannya dengan bonum sacramentum memandang relasi suami dan isteri sebagai symbol perkawinan atau persekutuan antara Kristus dan GerejaNya.
Sakramentalitas perkawinan juga menjadi topic yang dibicarakan pada zaman Skolastik. Dengan berdasarkan pada Ef 5 : 32 para penganut Skolastik melihat persekutuan Kristus dan Gereja sebagai model relasi suami dan isteri. Menurut mereka ada dua tahap yang berbeda dari perkawinan yaitu consensus sebagai elemen konstitutif dan konsumasi atau actus coniugalis sebagai elemen integral dari perkawinan sempurna. Meskipun demikian, para teolog Skolastik tidak sepakat dalam menentukan rahmat sacramental perkawinan. Menurut mereka, perkawinan tidak mempunyai kekuatan memberikan rahmat. Bagi mereka, perkawinan adalah remedium concupiscentiae yaitu sebagai obat dari nafsu dan perkawinan sebagai suatu status hidup yang lebih rendah dari status hidup keperawanan para religius.
Konsili FIRENZE (1439- 1445), tanpa mengabaikan ajaran-ajaran para teolog sebelumnya tentang sakramen perkawinan, menetapkan bahwa sakramen ketujuh adalah sakramen perkawinan. Perkawinan adalah tanda persekutuan Kristus dan Gereja. Meskipun demikian konsili ini tidak menyinggung tentang rahmat sacramental dari perkawinan.
Rahmat sacramental dari perkawinan baru dibicarakan dalam Konsili TRENTE (1545-1563). Dalam doctrina de sacramento matrimonii Konsili Trente menegaskan bahwa perkawinan sungguh merupakan salah satu sakramen perjanjian baru yang menggambarkan persatuan cinta antara Kristus dan Gereja. Perkawinan menyebabkan rahmat yang berdaya guna untuk menyempurnakan cinta kodrati, memperkuat kesatuan yang tak terceraikan dan menyucikan kedua mempelai.

Refleksi yang lebih mendalam tentang sakramentalitas perkawinan terdapat dalam ensiklik Casti Connubii (31 Desember 1930). Dalam ensiklik itu Paus Pius XI menekankan bahwa perjanjian nikah di antara orang-orang yang sudah dibabtis mempunyai makna sacramental. Perkawinan adalah representasi persekutuan nikah antara Kristus dan Gereja. Makna sacramental itu secara penuh dan sempurna diaktualisasikan dalam perkawinan ratum et consummatum. Ensiklik ini menekankan kembali doktrin Trente bahwa sakramen perkawinan menyalurkan rahmat special yaitu menyempurnakan cinta kodrati, memperkuat kesatuan yang tak terceraikan dan menyucikan kedua mempelai.
Konsili Vatikan II memiliki ajaran yang berbeda dengan ajaran sebelumnya. Doktrin Vatikan II tidak lagi melihat perkawinan sebagai kontrak tetapi sebagai foedus atau perjanjian. FOEDUS lebih jelas mengungkapkan realitas perkawinan sebagai lambang persekutuan cinta antara Kristus dan Gereja, sebagaimana Kristus sendiri mencintai Gereja dan memberikan diriNya untuk Gereja.  Demikian pula halnya dengan perkawinan. Melalui pemberian diri yang timbal balik maka suami dan isteri saling mencintai dengan kesetiaan abadi. Melalui perjanjian cinta, suami dan isteri berpartisipasi dalam cinta Kristus dan Gereja. Perjanjian cinta itu diekspresikan dalam tindakah khas perkawinan yaitu actus coniugalis.
Dalam ensiklik Familiaris Consortio (22 November 1981) Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa perkawinan adalah sarana penyucian suami isteri. Perkawinan kristiani yang pada dasarnya menyalurkan rahmat tidak hanya membuat suami isteri diteguhkan dan disucikan tetapi sekaligus mendorong mereka untuk mengekspresikan nilai-nilai khas kristiani dalam kehidupan setiap hari (bdk FC no 56 dan 94).
Martabat sacramental perkawinan kristiani dan daya gunanya menurunkan lima konsekuensi yuridis-praktis yaitu :
1)      Perkawinan antara dua orang yang sudah dibabtis adalah perkawinan sacramental. Ini berarti bahwaorang telah dibabtis tidak harus yang beragama katolik karena persyaratan utamanya adalah babtisan Kristus.
2)      Perkawinan sah antara dua orang yang tidak dibabtis atau seorang daripadanya sudah dibabtis menjadi perkawinan sacramental pada saat mereka menerima babtisan. Dengan demikian, perkawinan mereka itu menjadi perkawinan sacramental hanya karena babtisan.
3)      Perkawinan yang terjadi antara seorang yang sudah dibabtis dengan seorang yang belum atau tidak dibabtis bukan merupakan perkawinan sacramental.

3.4.2.3.            Tujuan Perkawinan

St. Agustinus menggunakan term bona matrimonii untuk menjelaskan tujuan perkawinan dan sifat hakikinya. Menurutnya ada 3 bona matrimonii yaitu (1) bonum prolis yang berkaitan kelahiran dan pendidikan anak, (2) bonum fidei yang menyata dalam term monogamy, dan (3) bonum sacramenti yang terungkap dalam sifat tak terceraikan.
Kanon 1055 # 1 menyebutkan bahwa dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah kepada kesejahteraan suami isteri (bonum coniuguum serta kelahiran dan pendidikan anak (generation education prolis atau bonum prolis). Istilah bonum coniuguum menampilkan aspek personal dari perkawinan. Kanon ini tidak menggunakan term tujuan. Meskipun demikian, kanon ini mengatakan bahwa perkawinan terarah kepada kesejahteraan suami-isteri serta terarah kepada prokreasi dan pendidikan anak.

3.4.2.4.            Sifat Hakiki Perkawinan
Kanon 1056 menjelaskan bahwa sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terceraikan yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekuatan khusus atas dasar sakramen.
Monogamy atau unitas  berarti perkawinan yang terjadi antara seorang pria dan wanita. Unitas bertentangan dengan poligami (poliandri dan poligini). Unitas berarti kesetiaan seumur hidup. Sedangkan ketakceraian atau indissolubilitas  berarti ikatan abadi atau ikatan yang tak terputuskan. Indisolubilitas mempunyai dua bentuk yaitu (1) indissolubilitas intrinsik berarti suatu ikatan perkawinan tidak bisa diputus oleh kemauan suami isteri yang telah menyatakan consensus yang tidak dapat ditarik kembali dan (2) indissolubilitas ekstrinsik berarti ikatan perkawinan tidak bisa diputus oleh kuasa manusia seperti instansi tertentu.

3.4.2.5.            Tipe-Tipe Perkawinan
            Tipe-tipe perkawinan dibahas dalam Kanon 1061. Kanon ini menyebutkan beberapa tipe perkawinan seperti perkawinan ratum tantum, perkawinan ratum et consummatum, perkawinan putatif, perkawinan kanonik dan perkawinan sipil, perkawinan public dan perkawinan rahasia, perkawinan morganatic, perkawinan clandestin, dan perkawinan legitimum.
            Pertama, Kanon 1061 # 1 menjelaskan tentang tipe perkawinan ratum tantum. Perkawinan ratum tantum adalah perkawinan yang sah, yang terjadi antara dua orang yang telah dibabtis dan belum disempurnakan dengan persetubuhan. Untuk membuktikan bahwa perkawinan itu belum disempurnakan dengan persetubuhan maka terdapat tiga cara untuk membuktikannya yaitu (1) dengan membuktikan bahwa suami dan isteri itu tidak memiliki kesempatan untuk melakukan persetubuhan, (2) pembuktian melalui argument fisik di mana bukti ini diperoleh melalui kesaksian dari ahli medis apakah sudah terjadi persetubuhan atau tidak, dan (3) melalui argumentasi moral melalui sumpah suami isteri dan saksi-saksi.
            Kedua, Kanon 1061 # 2 menjelaskan tentang perkawinan ratum et consummatum. Perkawinan ratum et consummatum adalah perkawinan yang sah yang terjadi antara dua orang yang telah dibabtis yang telah disempurnakan dengan persetubuhan. Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes no. 49 memperkenalkan suatu unsure baru yakni persetubuhan yang dijalankan secara manusiawi (humano modo) yang pada sendirinya terbuku kepada kelahiran anak. Dengan demikian, suatu perkawinan dianggap consummatum kalau suami dan isteri sudah hidup bersama dan melakukan persetubuhan secara manusiawi yakni sungguh diinginkan, tanpa paksaan, dengan sadar dan penuh tanggun jawab dan muncul dari rasa saling mencintai satu sama lain.
            Ketiga, Kanon 1061 # 3 berbicara tentang perkawinan putatif. Perkawinan putatif adalah perkawinan yang secara obyektif tidak sah tetapi sudah dirayakan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak namun ketidakabsahannya tidak diketahui. Perkawinan ini disebut tidak sah atau invalid karena ada cacad yang menghambat validitasnya. Sifat putatif dari suatu perkawinan akan berhenti ketika kedua mempelai menerima kepastian tentang nullitas atau ketidaksahan perkawinan terdahulu. Jika sudah ada kepastian tentang nullitas maka ada dua kemungkinan yang bisa muncul yaitu (1) mengesahkan perkawinan itu dengan peneguhan biasa (convalidatio simplex Kan. 1156-1160) atau dengan penyembuhan pada akar (sanatio in radice Kan. 1161- 1165) dan (2) membubarkannya sesuai dengan prosedur yang berlaku (kalau tidak ada itikad baik). Selain itu, anak-anak yang lahir dari perkawinan putatif dianggap anak-anak sah (Kan. 1137) dan anak-anak yang tidak sah akan disahkan oleh perkawinan yang baru (Kan. 1139).
            Keempat, Kanon 1059, 1108 dan 1117 berbicara tentang perkawinan Kanonik dan perkawinan sipil. Perkawinan kanonik adalah perkawinan yang diatur menurut legislasi kanonik (Kan.1059). Perkawinan ini berbeda dengan perkawinan sacramental sebab orang-orang yang terikat oleh keharusan mengikuti tata peneguhan kanonik adalah orang-orang yang tidak atau belum dibabtis yang mengontrak perkawinan dengan pihak yang sudah dibabtis (Kan. 1117). Sedangkan perkawinan sipil adalah perkawinan yang terjadi antara orang-orang yang tidak terikat kepada forma canonica katolik dan dirayakan di hadapan pembesar sipil. Undang-Undang Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan. Kemudian ayat 2 menegaskan bahwa perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Karena itu, berdasarkan undang-undang ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Berdasarkan undang-undang tersebut maka dapat dijelaskan bahwa di Indonesia tidak ada perkawinan sipil tetapi perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaan yang kemudian harus dicatat atau diregistrasikan di kantor Catatan Sipil.
            Kelima, Kanon 1130-1133 berbicara tentang perkawinan public dan perkawinan rahasia. Suatu perkawinan mendapat kualifikasi public bila dirayakan coram ecclesia yakni di hadapan representan public gereja dan palam berarti terbuka dan disaksikan banyak orang. Sedangkan perkawinan rahasia adalah perkawinan yang dirayakan coram ecclesia tetapi non palam. Perkawinan rahasia atau occultum  adalah perkawinan tanpa public atau dalam arti sempit berarti perkawinan batiniah di hadapan pejabat resmi gereja dengan dua orang saksi yang disertai dengan kewajiban untuk menyimpan rahasia perkawinan itu. Gereja mengizinkan perkawinan rahasia dengan beberapa alasan seperti :
  • Adanya ancaman hukuman terhadap perkawinan antara kulit putih dan kulit hitam
  • Adanya ancaman penculikan atau perampasan hak-hak tertentu menurut adapt kampong atau suku tertentu jika  perkawinan itu berlangsung secara public
  • Adanya reaksi masyarakat tertentu atas perkawinan yang tidak disetujui misalnya antara bangsawan dan rakyat jelata.

Keenam, perkawinan morganatic. Istilah morganatic berasal dari dua kata bahasa Jerman yakni morgen (pagi-pagi) dan gabe (hadiah). Tipe perkawinan ini lebih dikenal dalam hukum Jerman lalu menyebar ke banyak bangsa tetapi tidak diakui oleh Gereja. Perkawinan morganatic berarti perkawinan antara seorang laki-laki dari kelas sosial yang tinggi dengan seorang wanita dari kondisi sosial yang rendah. Isteri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan ini tidak akan menerima martabat sipil atau warisan suami atau bapak mereka.
Ketujuh, perkawinan clandestine. Perkawinan clandestine (gelap) adalah perkawinan yang dilangsungkan tanpa intervensi kuasa gereja dan tata  peneguhan kanonik. Perkawinan ini selalu dilarang oleh Gereja dan Konsili Trente menganggapnya sebagai perkawinan tidak sah.
Kedelapan, perkawinan legitimum. Perkawinan ini disebut dalam Kodeks Lama yakni Kanon 1015 # 3.  Menurut kodeks lama, perkawinan ini adalah perkawinan iuxta legem atau perkawinan berdasarkan hukum.

3.4.2.6.            Halangan Perkawinan Umumnya dan Dispensasi (Kan. 1073-1082)

Kodeks lama membedakan dua katergori halangan perkawinan yakni impedimentum dirimens (halangan yang menggagalkan ) dan impedimentum impediens (halangan yang melarang). Kodeks baru menghapus kategori yang kedua dan hanya berbicara tentang kategori pertama.
Kanon 1073 menjelaskan bahwa halangan yang menggagalkan membuat seseorang tidak mampu menikah secara sah. Impedimentum dirimens dikategorikan ke dalam lex inhabilitans  yakni undang-undang yang menjadikan seseorang tidak sanggup melakukan tindakan yuridis.


Halangan perkawinan dapat dibagi atas tiga kelompok yakni :
a)      Halangan berdasarkan bukti (Kan. 1074). Pembuktian itu berdasarkan surat babtis, surat perkawinan, dan dokumen tahbisan.
b)      Halangan berdasarkan asal-usulnya (Kan. 1075). Halangan perkawinan yang berasal dari hukum kodrat dan hukum positif gereja. Yang termasuk halangan dari hukum kodrat adalah :
·         Impotensi (Kan. 1084)
·         Ikatan perkawinan (Kan. 1085)
·         Hubungan darah garis lurus dan garis menyimpang tingkat kedua (kan. 1091 # 1-2)

Sedangkan yang termasuk dalam halangan perkawinan berdasarkan hukum  positf gereja adalah :
·         Halangan usia (Kan. 1083)
·         Disparitas cultus (Kan. 1090)
·         Tahbisan suci (kan. 1087)
·         Kaul (Kan. 1088)
·         Penculikan (Kan. 1089)
·         Pembunuhan (Kan. 1090)
·         Hubungan darah garis menyamping tingkat ketiga dan keempat serta kelayakan public (kan. 1093)
·         Hubungan semenda (kan. 1092) yaitu perkawinan antara suami dengan orang yang mempunyai hubungan darah dengan isterinya atau antara isteri dengan orang yang mempunyai hubungan darah dengan suaminya.
·         Adopsi (kan. 1094)

3.4.2.7.            Efek-Efek Perkawinan (Kan. 1134-1140)

Pada umumnya terdapat 4 efek dari perkawinan yakni (1) ikatan abadi dan eksklusif, (2) kesamaan hak dan kewajiban suami isteri, (3) tanggung jawab orang tua terhadap anak dan (4) legitimasi anak.
Kanon 1134 menjelaskan bahwa efek dari perkawinan itu adalah bersifat abadi-eksklusif dan sacramental. Suatu perkawinan itu bersifat abadi, tetap, unik dan sacramental sebab perkawinan itu adalah pelaksanaan dari kehendak Allah. Allahlah yang menciptakan persatuan hidup dan cinta kasih suami isteri dan melengkapi dengan hukumNya.
Kanon 1135 menegaskan bahwa suami dan isteri memiliki kewajiban dan hak yang sama mengenai hal-hal yang menyangkut persekutuan hidup perkawinan. Melalui consensus  perkawinan, suami dan isteri saling memberi dan menyerahkan diri secara total. Hal ini menimbulkan kesamaan hak dan kewajiban mendasar. Ekspresi cinta dan karakter boleh berbeda menurut kultur dan kepribadian tetapi selalu ada beberapa elemen mendasar yang sama seperti hak dan kewajiban membangun komunitas hidup dan relasi cinta personal dan juga hak untuk berpisah tanpa kehilangan ikatan perkawinan.
Kanon 1136 mengemukakan tanggung jawab orang tua terhadap anak. Orang tua mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak baik fisik, sosial dan cultural maupun moral dan religius. Kanon ini menekankan hak primer dan kewajiban orang tua untuk mendidik anak sebagai mahkota dari cintanya. Hak dan kewajiban untuk mendidik anak merupakan akibat dari perkawinan yang terarah kepada kelahiran. Pendidikan itu bersifat integral.

Kanon 1137-1140 berbicara tentang legitimasi anak. Dalam kanon 1137 dijelaskan bahwa anak adalah sah apabila dikandung atau dilahirkan dari perkawinan yang sah atau putatif. Secara ideal, seorang anak disebut anak sah jika konsepsi dan kelahirannya terjadi dalam perkawinan. Akan tetapi kadang-kadang kenyataannya berbicara lain. Ada anak yang konsepsinya dalam perkawinan tetapi kelahirannya terjadi di luar perkawinan. Misalnya suami sudah meninggal atau ikatan perkawinan putus. Untuk hal seperti ini maka legislasi kanonik memberikan tuntutan minimal yaitu sekurang-kurangnya satu moment terjadi dalam perkawinan (entah konsepsi atau pun kelahirannya). Selain itu, seorang anak disebut sah jika suatu perkawinan mendapat kualifikasi sah yaitu perkawinan yang bebas dari halangan yang menggagalkan. Sedangkan seorang anak disebut sebagai anak tidak sah apabila anak itu dikandung dan dilahirkan dari hubungan gelap (hasil incest atau hubungan pelacuran) sebab konsepsi dan kelahirannya terjadi di luar perkawinan.

3.4.2.8.            Pastoral dan Persiapan Perkawinan
3.4.2.8.1.      Motif dan Bentuk Persiapan Perkawinan
Kodeks baru mempunyai perhatian special terhadap pastoral dan persiapan soiritual dan liturgis bagi orang-orang yang akan menikah. Pada umumnya ada beberapa motif persiapan perkawinan yakni :
  • Untuk membantu setiap orang beriman kristiani agar berkembang dan hidup dalam semangat dan kesempurnaan kristiani (Kanon 1063)
  • Karena setiap orang beriman mempunyai hak fundamental untuk menikah (Kanon 1058) dan menerima bantuan spiritual dari Gereja melalui pewartaan Sabda dan sakramen (Kanon 213)
  • Agar kedua mempelai bisa menerima sakramen secara sah dan halal (Kanon 1068) dan setia memelihara perjanjian perkawinan dan kesucian hidup berkeluarga (Kanon 1063, 4˚.
Kanon 1063 menjelaskan tentang bentuk-bentuk persiapan perkawinan. Terdapat empat bentuk persiapan perkawinan yakni :
a)                  Pewartaan kategorial (Kanon 1063, 1˚).  Pewartaan ini hendaknya dimulai sejak dini dalam keluarga agar anak-anak perlahan-lahan diarahkan untuk memilih dan menentukan status hidup tertentu (berkeluarga atau hidup selibat). Bentuk pewartaannya adalah kotbah dan katekese sesuai dengan kategori usia. Isi pewartaan adalah tentang makna perkawinan kristiani dan tugas-tugas suami-isteri serta tanggung jawab sebagai orang tua.
b)                  Persiapan pribadi (Kanon 1063, 2˚) : persiapan pribadi sangat perlu agar kedua mempelai sungguh menyadari kesucian status hidup baru dan bisa merayakan perkawinan dengan sikap batin yang baik. Persiapan pribadi mencakup usaha :
v    Mengikuti kursus persiapan perkawinan
v    Membekali diri dengan pengetahuan tentang seksualitas dan hidup berkeluarga
v    Mengontrol kesehatan fisik
v    Sedapat mungkin berusaha untuk dapat menerima sakramen penguatan, tobat dan ekaristi sebelum perkawinan (Kanon 1065).
c)                  Perayaan Liturgi (Kanon 1063, 3˚) : perayaan liturgy terutama ekaristi itu penting karena merupakan sumber dan puncak kehidupan kristiani. Ekaristi adalah sakramen kasih saying, tanda kesatuan, ikatan cinta. Dalam liturgy perkawinan kedua mempelai mengambil bagian dalam misteri persatuan dan cinta antara Kristus dan GerejaNya. Karena itu, pernikahan hendaknya dilangsungkan dalam misa yaitu sesudah pembacaan injil dan homili dan sebelum doa umat.
d)                  Pendampingan pasca nikah (Kanon 1063, 4˚) : para suami-isteri hendaknya terus dibantu, didukung dan didampingi agar mereka tetap setia pada perjanjian dan tugas yang lahir dari perjanjian itu. Suami-isteri hendaknya disadarkan terus bahwa dengan menerima sakramen nikah mereka menerima tugas mengemban misi gereja dan membangun kerajaan Allah dalam keluarga. Mereka mewujudkan misi ini dengan menjaga keluhuran perkawinan, memajukan karya karitatif terhadap orang miskin.

3.4.2.8.2.      Agen Persiapan Patoral Perkawinan

Dalam persiapan pastoral perkawinan terdapat beberapa pihak yang hadir sebagai agen dalam mempersiapkan perkawinan itu. Pihak-pihak itu adalah :
a)      Konferensi Waligereja (kanon 1067) yang bertugas untuk menetapkan norma-norma mengenai penyelidikan status liber dan pengumuman nikah
b)      Ordinaris wilayah (Kanon 1064) yang bertugas menata dan mencari metode pastoral yang tepat dalam mendampingi kaum muda agar mereka mampu memilih cara hidup tertentu
c)      Pastor paroki (kanon 1070) sebagai penanggung jawab utama dari pendampingan pastoral suami-isteri. Seorang pastor hendaknya :
·         Berusaha menyiapkan setiap umat yang datang meminta pelayanan sacramental dan tetap mengindahkan norma-norma yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwewenang.
·         Berusaha mengenal, mengunjungi dan mengambil bagian dalam keprihatinan, kecemasan dan kedukaan keluarga-keluarga serta menghibur mereka dalam nama Tuhan
·         Melibatkan para klerus, biarawan-biarawati serta kaum kristiani awam dalam berkatekese
·         Menghantar pasangan agar mereka bisa menerima sakramen dengan baik
·         Meneguhkan perkawinan umat yang mempunyai domisili atau kuasa domisili di wilayah parokinya atau mendelegasikan wewenang itu kepada pastor lain bila dia berhalangan.
·         Membuat penyelidikan kanonik.
d)     Umat beriman (Kanon 1069). Setiap umat beriman yang mengetahui halangan yang mengikat mempelai tertentu wajib menyampaikannya kepada pastor paroki atau ordinaris wilayah sebelum perayaan perkawinan dilangsungkan. Moment yang paling tepat untuk menyampaikan hal itu adalah selama pengumuman kanonik. Pengumuman kanonik dibuat di paroki tempat kedua mempelai sungguh dikenal.














BAB IV
PENUTUP

                                                                                                        

            Ketujuh sakramen merupakan liturgy dalam arti yang paling padat. Liturgy merupakan doa Gereja dalam kesatuan denga Kristus. Dalam perayaan liturgy yang paling resmi yakni dalam sakramen-sakramen, Kristus diimani kehadiranNya secara istimewa. St. Agustinus menyebut sakramen sebagai rahmat yang tak kelihatan dalam bentuk yang kelihatan. Rahmat adalah kasih Allah kepada manusia. Disebut rahmat karena dari pihak manusia tidak ada apa-apa yang dapat dipandang sebagai dasar atau “hak” untuk kasih Allah itu. Rahmat adalah misteri kasih pribadi Allah yang mengatasi segala pikiran dan angan-angan manusia. Rahmat berarti manusia diterima sebagai anak dan dibuat “serupa dengan gambaran Anak-Nya” yaitu Yesus Kristus. Rahmat adalah iman.
            Berdasarkan pemikiran seperi di atas maka dapat dijelaskan bahwa sakramen adalah tanda kehadiran Allah. Sakramen adalah rahmat yang mengangkat martabat manusia menjadi yang lebih berkenan pada Allah. Kiranya tulisan ini dapat menjadi masukan berharga bagi siapa saja yang membacanya khususnya bagi umat beriman.









DAFTAR PUSTAKA

Ardhi, Wibowo F. X. Sakramen Rekonsiliasi. Yogyakarta : Kanisius, 1993
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 2- Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta: Kanisius, 2004
Gittowiratmo, St. Gereja Dalam Perubahan. Ende : Nusa Indah, 1992
----------------------. Seputar Dewan Paroki. Yogyakarta : Kanisius, 2003
Kirchberger, George. Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus. Ende : Nusa Indah, 1987
Konferensi Waligereja Indonesia. Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Obor, 1995
Konferensi Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik- Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta : Kanisius, 1996                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Martusudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja. Yogyakarta : Kanisius, 2003
Sudarminta, J. “Sains dan Masalah Ketuhanan”, dalam Diskursus : Jurnal Filsafat dan Teologi – Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,  2002
Tasar, Frans. Liturgi Orang Sakit. Ledalero: LPBAJ, 1994                      


















TUGAS


1.              Pembagian 7 kelompok
2.              Setiap kelompok membahas setiap sakramen secara teoretis, menyusun TPE atau teks ibadat penerimaan setiap sakramen dan mempraktekkannya.
3.              Tugas ini untuk menggantikan 3 ulangan.


[1] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematis 2-Ekonomis Keselamatan, Yogyakarta: Kanisius, 2004, p. 313
[2] Ibid., pp. 358-417
[3] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1996, p. 421
[4] Minyak Krisma diberkati oleh Uskup dalam Misa Krisma yang dibuat secara khusus paa pagi hari Kamis Putih di gereja Katedral, yang dihadiri oleh para imam dan wakil umat dari seluruh keuskupan. Minyak Krisma adalah campuran minyak zaitun atau minyak dari tumbuh-tumbuhan dengan suatu bahan pengharum yang disebut balsam.
[5] Aktus Pengurapan biasa dibuat juga untuk katekumen, orang sakit dan calon imam yang akan ditahbiskan menjadi imam. Pengurapan dengan minyak katekumen sebelum pembabtisan berarti pembersihan dan penguatan; pengurapan orang sakit berarti penyembuhan dan penguatan; pengurapan para waktu tahbisan adalah tanda konsekrasi.
[6] Presbyteroii adalah orang yang mengambil bagian dalam kuasa para rasul, orang yang memiliki kedudukan resmi dalam persekutuan umat beriman. Santo Petrus melihat presbyteroi sebagai gembala-gembala yang bertanggung jawab kepada jemaat (1 Ptr 5: 1- 2), sedangkan Santo Yakobus menyebutkan presbyteori hanya untuk para pemimpin jemaat, tidak termasuk Uskup.
[7] Bandingkan Lumen Gentium 21. 28

No comments:

Post a Comment