Sunday, January 27, 2013

bahan kuliah Pendidikan Moral, Prodi PGSD STKIP St. Paulus Ruteng

BAHAN KULIAH PENDIDIKAN MORAL
PRODI PGSD STKIP ST. PAULUS RUTENG
OLEH: PINO JEBARUS, S FIL
NIDN: 0809068002

PENDAHULUAN

Perkembangan sains dan teknologi sebagai gejala masyarakat modern, di satu pihak membawa dampak positif dan di pihak lain membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia. Harus diakui bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak membantu manusia dalam menghadapi dan mengolah realitas hidupnya. Mesin-mesin, misalnya sebagai hasil perkembangan teknologi memberikan kemudahan bagi manusia dalam memproduksi barang-barang untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.
Akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bahwa dunia sebagai tempat tinggal manusia terasa begitu “dekat” dan “sempit”. Orang bisa mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi di daerah lain yang jaraknya begitu jauh dari tempat tinggalnya dalam waktu yang relatif singkat. Atau, orang dapat menempuh perjalanan beribu-beribu kilometer dalam beberapa jam saja. Singkatnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern ini memberikan peluang kepada manusia untuk semakin mudah dalam mencapai dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi di pihak lain perkembangan tersebut membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Salah satu dampak negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat nampak dalam dunia modern ini adalah adanya kemerosotan moral. Perkembangan masyarakat yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi merusak nilai-nilai moral yang telah hidup dan berakar dalam masyarakat. Kebanyakan orang dalam hidupnya tidak lagi peduli dengan prinsip-prinsip moral yang seharusnya mereka wujudkan dalam kehidupan yang konkret. Penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai prinsip moral yang utama mulai terkikis dalam kehidupan komunitas masyarakat manusia.
Penghargaan terhadap manusia sebagai persona bergantung pada tingkat pengetahuan yang dimiliki. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka semakin ia dihargai dan dihormati dalam kehidupan masyarakat. Begitupun sebaliknya, orang yang tidak berpendidikan akan kurang atau bahkan tidak dihargai. Dengan demikian, harkat dan martabat seseorang dalam masyarakat diukur berdasarkan pengetahuan dan bukan sebagai pribadi yang memiliki otonomi. Selain itu, kecenderungan yang ada dalam masyarakat sekarang ini lebih melihat kekayaan material sebagai kriteria utama untuk mengukur nilai pribadi manusia. Karena itu, semakin banyak harta kekayaan yang dimiliki seseorang maka harkat dan martabatnya semakin meningkat. Hal-hal ini menjadi contoh praktis kemerosotan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat.
Realita ini sebenarnya menuntut berbagai pihak yang peduli dengan nilai-nilai moral untuk mencari solusi sebagai upaya pemecahan atas masalah tersebut. Salah satu alternatif yang bisa ditawarkan sebagai usaha mengatasi persoalan tersebut adalah memberi kesadaran kepada public tentang pentingnya Pendidikan Moral sebagai dasar dalam membentuk dan membina kehidupan moralitas. Pendidikan Moral memiliki akarnya dalam hakekat manusia dan telah terbukti selama berabad-abad menjadi landasan latihan atau pendidikan keutamaan-keutamaan (kebajikan) moral dan peradaban yang memberi sumbangan bagi penghormatan terhadap sesama, solidaritas serta kesejahteraan umum masyarakat. [1]  Dalam perspektif ini Pendidikan Moral perlu dipelajari dalam usaha mengajarkan dan mewujudkan kebajikan-kebajikan moral dalam kehidupan konkret yang menghargai harkat dan martabat pribadi manusia sebagai ciptaan Allah yang unik.
Karena itu, baik-buruknya kehidupan moral seseorang sebagian besar bergantung pada pola pendidikan. Konsekuensinya, seseorang yang memperoleh dan mengenyam pendidikan moral yang baik akan memiliki kehidupan moralitas yang baik. Sebaliknya, seseorang yang memperoleh pendidikan moral yang kurang atau tidak memadai maka tingkah lakunya dalam kehidupan yang konkret secara moral seringkali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Berkaitan dengan hal tersebut, harus diakui pula bahwa pengaruh lingkungan sosial (komunitas masyarakat) memang sangat besar terhadap perkembangan kehidupan moral seseorang. Tetapi, masyarakat pada tataran ini hanya berperan sebagai sarana pengembangan nilai-nilai moral yang telah ditanam dan ditaburkan dalam kehidupan berkeluarga. Jadi, masyarakat hanya menjalankan fungsi sekunder dalam pendidikan moralitas dan bukannya fungsi primer seperti yang diperankan oleh lembaga pendidikan.
Moralitas yang dimaksud adalah seperangkat kaidah yang mengatur pola tingkah laku manusia yang menghormati keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai pribadi. Erwin Staub, seorang psikolog mendefinisikan moralitas sebagai serangkaian aturan, kebiasaan atau prinsip yang mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan  sesama, suatu perilaku yang mencerminkan keluhuran martabat manusia. [2]
Aspek yang menjadi pusat perhatian moralitas adalah penghormatan dan penghargaan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia. Tujuan pendidikan moral adalah membentuk pribadi-pribadi yang menghargai dan menghormati sesamanya sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat. Harkat dan martabat manusia bukan terletak pada pengetahuan atau kekayaan material yang dimiliki melainkan pada pribadi yang dianugerahkan Allah sejak dilahirkan. Perilaku yang bermoral adalah perilaku yang menunjukkan penghormatan terhadap pribadi manusia sebagai sesuatu yang bermartabat. Karena itu, pendidikan moral berupaya membina dan mengarahkan peserta didik untuk mewujudkan perilaku-perilaku yang menghormati manusia sebagai yang bernilai dalam kehidupan konkret. Yang menjadi fokus perhatian dalam moralitas adalah penghayatan akan norma-norma dan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat. Terhadap norma dan nilai tersebut dituntut sikap taat yang bertanggungjawab dari para anggotanya karena di dalam norma dan nilai tersebut keluhuran harkat dan martabat manusia dihormati dan dihargai.
Dalam era globalisasi ini yang ditandai oleh adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak dan merosotnya nilai-nilai moral di pihak lain maka pendidikan moral menjadi kebutuhan mendesak yang perlu direalisasikan untuk menghindari kemerosotan kehidupan moral yang lebih buruk lagi. Maksud pendidikan moralitas adalah membangkitkan kesadaran yang penuh dan bertanggungjawab terhadap penghayatan akan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.













BAB I
HAKIKAT MORAL DAN PENDIDIKAN MORAL


1.1              HAKIKAT MORAL
1.1.1        Arti Moral
a.        Secara Etimologis
Kata moral berasal dari kata bahasa Latin yakni mos (jamak : mores) yang berarti kebiasaan, adat istiadat. Dalam keseharian pada umumnya orang mengidentikkan istilah moral dan etika. Secara etimologis antara moral dan etika tidak ada perbedaan arti. Kata etika yang berasal dari kata bahasa Yunani ethos (jamak : ta ethica) juga berarti kebiasaan, adat-istiadat, cara yang lazim dalam bertindak, watak.[3]
b.        Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001).
Moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, susila dan sebagainya. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik. [4]
c.         Menurut Suseno
Moral adalah ukuran baik buruk seseorang, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah pendidikan untuk menjadikan anak manusia bermoral baik dan manusiawi.
d.        Menurut Ouska dan Whellan
Moral adalah prinsip baik buruk yang ada dan melekat dalam diri individu/ seseorang. Walaupun moral itu berada di dalam diri individu, tetapi moral berada dalam suatu sistem yang berwujud aturan. Moral dan moralitas ada sedikit perbedaan, karena moral adalah prinsip baik buruk sedangkan moralitas merupakan kualitas pertimbangan baik buruk. Dengan demikian, hakekat dan makna moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral dalam mematuhi maupun menjalankan aturan.
e.         Menurut Lickona
Lickona  mengembangkan pembelajaran nilai moral dengan tujuan untuk membentuk watak dan karakteristik seseorang. Pandangannya disebut educating for character atau pendidikan karakter/ watak. Lickona mengacu pada pemikiran filosof Michael Novak yang berpendapat bahwa watak atau karakter seseorang dibentuk melalui tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu:
a)             moral knowing (konsep moral);
b)             moral feeling (sikap moral);
c)             moral behavior (perilaku moral),
Lickona menggarisbawahi pemikiran Novak. Ia berpendapat bahwa pembentukan karakter atau watak seseorang dapat dilakukan melalui tiga kerangka pikir, yaitu:
a)             Konsep moral (moral knowing); mencakup kesadaran moral (moral awarness), pengetahuan nilai moral (knowing moral value), pandangan ke depan (perspective taking), penalaran moral (reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan pengetahuan diri (self knowledge).
b)             Sikap moral (moral feeling); mencakup kata hati (conscience), rasa percaya diri (self esteem), empati (emphaty), cinta kebaikan (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (and huminity).
c)             Perilaku moral (moral behavior); mencakup kemampuan (compalance), kemauan (will) dan kebiasaan (habbit).
f.          Pengertian Moral Dewasa Ini
Dewasa ini, orang membedakan antara moral dan etika. Moral  berkaitan dengan ajaran tentang nilai-nilai dan norma-norma. Ajaran moral memuat pandangan-pandangan tentang nilai-nilai dan norma-norma dalam suatu komunitas masyarakat.[5] Karena itu, seseorang disebut tidak bermoral berarti bahwa perbuatan orang itu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Nilai moral selalu berkaitan dengan kebaikan manusia sebagai manusia sedangkan norma moral merupakan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia. Norma moral mengukur tindakan seseorang sesuai dengan kebaikannya sebagai manusia.
g.        Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari kata bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu  tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa etika memiliki 3 (tiga) arti, yaitu:
a)             nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok sosial dalam mengatur tingkah lakunya.
b)             Kumpulan asas atau nilai moral atau sebagai kode etik yaitu daftar kewajiban dalam menjalankan sebuah profesi yang disusun oleh anggota-anggota profesi itu dan mengikat mereka dalam mempraktekkannya.
c)             Ilmu atau filsafat tentang tindakan manusia yang dinilai baik atau buruk.

Karena itu, etika dapat didefinisikan sebagai deskripsi tentang kebiasaan-kebiasaan, tentang cara manusia bertindak baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat tertentu. Etika pada hakekatnya bersifat normatif (mengatur), imperatif (mewajibkan) dan deskriptif (menjelaskan). Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Kesadaran tersebut termasuk apa yang dilakukannya. Kesadaran inilah yang disebut sebagai kesadaran etis. Kesadaran etis adalah kesadaran tentang norma-norma yang ada di dalam diri manusia.[6] Kesadaran etis dilakukan secara spontan tanpa disadari sepenuhnya oleh si pelaku dan menunjuk kepada kebiasaan-kebiasaan pelaku yang sudah tertanam sebagai hasil dari proses pewarisan dari satu generasi kepada generasi lainnya.
1.1.2                                    Moralitas
Pengertian tentang moralitas dikemukakan oleh para ahli. Dalam tulisan ini, pembahasan tentang pengertian moralitas akan dikemukakan berdasarkan pemikiran Emile Durkheim, Henri Bergson, Immanuel Kant dan Hegel. [7]
Secara etimologis, kata moralitas berasal dari kata sifat Latin moralis yang mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
1.1.2.1                                            Moralitas menurut Emile Durkheim
David Emile Durkheim lahir tanggal 15 April 1858 di Epinal, ibu kota negara bagian Vosges, Lorraine, Perancis. Ayah, kakek dan buyutnya adalah  rabi-rabi, imam agama Yahudi yang bekerja di Perancis sejak tahun 1784.  Sesungguhnya, Durkheim dididik untuk menjadi Rabi mengikuti jejak ayahnya. Namun, dalam kehidupan selanjutnya ia beralih perhatian pada pendidikan, filsafat dan sosiologi. Filsuf yang sangat berpengaruh pada Durkheim adalah August Comte. [8]
Dalam filsafat Durkheim, moral memiliki peranan terpenting. Kekangan atau wewenang yang dilaksanakan oleh kesadaran kolektif jelas terlihat dalam bidang moral. Moralitas dalam segala bentuknya tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat. Ia tidak akan berubah kecuali dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi sosial. Dengan kata lain, moralitas tidak bersumber pada individu tetapi bersumber pada masyarakat dan merupakan gejala masyarakat.
Moral masyarakat berkuasa terhadap individu, dalam arti kewajiban, misalnya yang berbicara adalah suara masyarakat maka masyarakatlah yang menentukan dan menekankan peraturan-peraturan kehidupan itu berlaku. Aturan moral memiliki wibawa khusus yang membuatnya dituruti karena ia merumuskan perintah. Di sini ditemukanlah apa yang dinamakan kewajiban. Kewajiban adalah sifat pertama dari aturan moral.

Meskipun demikian, Durkheim menjelaskan lebih lanjut bahwa pengertian moral bukan melulu kewajiban sebab tidak dapat dibayangkan jika seseorang melakukan sesuatu hanya karena suatu kewajiban tanpa adanya kesadaran tentang isi tindakannya sendiri. Moralitas lebih berarti kesusilaan. Dan kesusilaan memiliki dua unsur yang menentukan, yaitu:
a.       Disiplin
Semua sikap atau tindakan susila adalah penyesuaian dengan aturan-aturan yang ada. Bersikap dan bertindak susila adalah sama dengan mengikuti dan tunduk pada aturan-aturan. Durkheim menjelaskan bahwa disiplin sebagai sifat moral tidaklah bersifat beku atau tidak berubah. Disiplin berubah sesuai dengan alamiah manusia yang berubah menurut waktu dalam arti lebih aktif. Karena itu, menurutnya moral haruslah cukup fleksibel ikut maju.
b.      Keterikatan dengan kelompok
Tindakan-tindakan yang selalu tertuju kepada keuntungan pribadi tidaklah memiliki nilai moral. Tindakan moral hanyalah tindakan yang ditujukan kepada kepentingan kelompok umum sebab manusia baru dapat dikatakan lengkap jika ia sudah menjadi anggota kelompok umum itu. Dengan kata lain, seseorang baru merupakan makhluk moral sejauh ia merupakan makhluk sosial. Dan hanya ada satu makhluk moral yaitu ia yang memiliki kepribadian kolektif. Moralitas tidak hanya terdiri atas menjalani perbuatan-perbuatan secara sadar tetapi harus juga berbuat secara sukarela dan jelas.
1.1.2.2                                            Moralitas menurut Henry Bergson
Henri Bergson lahir di Paris tanggal 18 Oktober 1859. Ayahnya, seorang Yahudi -Polandia adalah guru musik dan ibunya adalah wanita Yahudi kelahiran Inggris Utara. Sejak kecil Bergson tertarik pada pelajaran matematika dan sastra tetapi setelah menginjak dewasa ia mempelajari sastra dan biologi dan kemudian filsafat.
            Dalam karyanya yang terpenting, Les Deux Sources de la Morale et de la Religion, Bergson menguraikan dengan sangat teliti tentang moral dan religi. Pertama-tama ia membedakan antara tertib natural dan tertib sosial.
a.         Tertib natural berkaitan dengan organisme yang hidup berdasarkan hukum-hukum tetap dan pasti. Sifatnya lain daripada suatu masyarakat yang terdiri atas manusia yang berkehendak bebas.
b.         Sedangkan tertib sosial berkaitan dengan kehidupan sosial yang tampak sebagai suatu sistem kebiasaan yang telah mengakar, menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat  Dari kebiasaan yang kebanyakan berisikan sifat patuh itu timbul suatu keharusan. Keberadaan “yang sosial” ini tampak pada diri masing-masing individu di mana seseorang tidak mungkin dapat melepaskan diri secara mutlak dari masyarakatnya dan ia juga tidak ingin berbuat demikian karena ia merasa bahwa masyarakat memberikan kekuatan padanya. [9]

            Moralitas menurut Bergson berkaitan dengan kebiasaan dalam masyarakat yang kemudian kebiasaan itu menjadi suatu keharusan yang harus ditaati bersama. Suatu tindakan disebut tindakan moral jika tindakan itu berdasarkan atau sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Dan sebaliknya, tindakan yang menyimpang atau tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku umum disebut tindakan yang tidak bermoral.
1.1.2.3                                            Moralitas menurut Immanuel Kant dan Hegel
Menurut Immanuel Kant,[10] moralitas adalah hal keyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaannya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
            Konsep Kant tersebut selanjutnya dikembangkan dan dikritisi oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa konsep moralitas yang dikemukakan oleh Kant adalah “abstrak” karena Kant tidak memperhatikan  manusia dengan otonominya. Jadi suara hatinya selalu sudah bergerak dalam rungan yang ditentukan  oleh struktur-struktur sosial yang mewadahi tuntutan-tuntutan moral juga. Dengan demikian  bagi Hegel kebebasan  manusia bukan sekedar  sikap otonomi batin, melainkan merupakan hakekat seluruh kerangka sosial di dalam manusia merealisasikan diri. Ini berarti  bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain berhubungan secara dialektis, yaitu (a) hukum, (b) moralitas individu, dan (c)  tatanan sosial moral (“Sittlichkeit”).
            Jadi perbedaan pandangan antara Kant dengan Hegel  tentang moral sebenarnya hanya relatif, yaitu Hegel menganggap bahwa Kant  berlebihan dan abstrak. Menurut Hegel apabila kehidupan masyarakat didasarkan pada tatanan normatif yang rasional dan menghormati kebebasan,  tak perlulah subjek setiap kali  mengeluarkan begitu banyak tenaga batin. Ia dapat mengandalkan  tatanan normatif itu. Ia boleh “ikut-ikutan” dengan  pandangan serta tatanan moral masyarakat, yang terpenting tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila kesadaran moral subjek meragukan tatanan moral  sosial itu,  maka ia harus secara otonom  mencari apa yang sebenarnya  menjadi kewajibannya. Ia tidak boleh mengikuti apa yang diharapkan oleh lingkungannya. Selaras dengan pendapat tersebut, Kattsoff menambahkan bahwa moral seseorang dapat ditilik dari pandangan subjektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi/hati nurani) dan kombinasi pandangan subjektivitas dengan pandangan objektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi dan orang lain/tatanan nilai masyarakat). [11]
1.1.3   Obyek Tindakan Manusia
Obyek etika adalah tindakan manusia. Tindakan manusia dibedakan atas dua, yaitu actus hominis, yaitu perbuatan yang berlangsung tanpa disengaja dan dilaksanakan tanpa dikehendaki secara bebas. Perbuatan itu berlangsung di luar kontrol dan kuasa si pelaku. Jenis tindakan yang kedua, adalah actus humanus, yaitu tindakan manusia yang dipertimbangkan secara rasional dan dikehendaki secara bebas. Tindakan ini berkaitan dengan kebebasan sebagai kemampuan untuk menentukan sikap. Tindakan jenis kedua ini disebut juga tindakan etis. Tindakan etis atau actus humanus memiliki beberapa unsur yang sangat berperanan, yaitu :
  1. Pengetahuan : sebelum bertindak, manusia mempertimbangkan secara rasional apa yang akan dilakukan dan juga apa yang akan dihasilkan dari tindakannya itu.
  2. Kesukarelaan
  3. Memiliki Tujuan : tindakan manusia selalu dimotivasi oleh suatu tujuan.
  4. Kebebasan : manusia dapat memilih tindakan-tindakan dan nilai-nilai yang lebih cocok dan memudahkan dia untuk mencapai perwujudan diri yang sempurna
  5. Memiliki tanggung jawab
1.2         PENDIDIKAN MORAL
1.2.1   Pengertian Pendidikan Moralitas
Salah satu tujuan penting pendidikan adalah membentuk kepribadian seorang individu. Kepribadian yang baik direalisasikan dalam sikap dan tingkah laku yang baik. Sikap dan tingkah laku yang baik mengandaikan pengetahuan yang baik dan benar dalam bidang moral. Dan keputusan-keputusan manusia dalam bidang moral tidak dapat lebih luas daripada pengetahuannya tentang nilai-nilai moral. Dia tidak dapat mengembangkan suatu kebajikan kecuali apabila dia paling tidak memiliki pengetahuan tak terefleksi tentang nilai yang mau diamalkan. Apabila keteraturan, kebersihan, hemat, kesetiakawanan dan kesalehan tidak diketahui sebagai nilai-nilai yang baik maka seseorang tidak dapat mengembangkan kebajikan tersebut dalam realitas hidupnya yang konkret.
            Karena itu, pendidikan merupakan hal yang penting dalam membina kehidupan moral seorang individu. Seorang anak harus dibimbing dan didampingi oleh orang tuanya dan pendidik agar ia dapat memahami nilai-nilai moral dan mengerti mengapa sejumlah nilai dipandang baik dan dihayati  dalam kehidupan manusia yang konkret.
            Pendidikan moralitas adalah usaha untuk memajukan suatu kehidupan berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok sosial dalam mengatur tingkah lakunya. Pendidikan moralitas dapat diberikan di dalam keluarga. Keluarga menjadi basis pendidikan moral bagi seorang individu. [12]
            Moral atau akhlak atau budi pekerti merupakan ajaran sosial yang diterima umum tentang baik buruknya perbuatan, sikap dan sebagainya. Sebagai salah satu norma kehidupan manusia, norma moral merupakan konsep yang menata tindakan manusia dalam pergaulan sosial sehari-hari. Dengan memperhatikan fungsi norma moral tersebut maka lingkungan keluarga merupakan tempat utama bagi penanaman nilai-nilai moral yang akan menjadi dasar kehidupan seorang individu dalam menentukan perkembangan. Oleh karena itu, dalam seluruh proses belajar seorang individu perlu mendapat pembinaan dan pendidikan moral sejak lahir dan hidup dalam keluarga sehingga sedikit demi sedikit dapat berkembang menuju suatu moralitas yang sempurna.   
            Pendidikan moralitas dalam keluarga merupakan suatu upaya untuk memberikan pengertian dan pemahaman yang baik tentang nilai-nilai moral kepada anak. Berbicara tentang nilai moral tidak terlepas dari prinsip umum moral yakni melakukan yang baik dan menolak yang buruk atau jahat. Untuk merealisasikan prinsip moral ini maka peran keluarga sebagai tempat pertama pembinaan moral sangat penting. Orang tua berkewajiban untuk memperkenalkan nilai-nilai moral kepada anak-anak sehingga mereka dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
            Orang tua adalah pilar utama kehidupan moral anak. Karena itu, prinsip moral pertama-tama harus dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga dan masyarakat sebagai teladan bagi individu-individu lain dalam keluarga. Orang tua yang bermoral baik sangat mempengaruhi kehidupan moral dari anak-anak. Antara orang tua dan anak harus menciptakan relasi yang tepat dan benar dalam keluarga sehingga anak bisa belajar tentang nilai yang baik dan yang buruk. Keluarga harus bisa melihat kenyataan-kenyataan yang aktual dan memberikan penjelasan yang baik kepada anak sehingga anak tidak terjebak dalam pandangan yang keliru tentang hal-hal yang berkaitan dengan moralitas.
1.2.2        Makna Moralitas dan Lima Ciri Standar Moral
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Moralitas juga berperan sebagai pengatur dan petunjuk bagi manusia dalam berperilaku agar dapat dikategorikan sebagai manusia yang baik dan dapat menghindari perilaku yang buruk.[13]  Dengan demikian, manusia dapat dikatakan tidak bermoral jika ia berperilaku tidak sesuai dengan moralitas yang berlaku.
Velazquez memberikan pemaparan pendapat para ahli etika tentang lima ciri yang berguna untuk menentukan hakikat standar moral (2005:9-10). [14] Kelima ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Standar moral berkaitan dengan persoalan yang dianggap akan merugikan secara serius atau benar-benar menguntungkan manusia. Contoh standar moral yang dapat diterima oleh banyak orang adalah perlawanan terhadap pencurian, pemerkosaan, perbudakan, pembunuhan, dan pelanggaran hukum.
2.      Standar moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu. Meskipun demikian, validitas standar moral terletak pada kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung dan membenarkannya.
3.      Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk kepentingan diri. Contoh pengutamaan standar moral adalah ketika lebih memilih menolong orang yang jatuh di jalan, daripada ingin cepat sampai tempat tujuan tanpa menolong orang tersebut. Berkaitan dengan kepentingan  umum
4.      Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak. Dengan kata lain, pertimbangan yang dilakukan bukan berdasarkan keuntungan atau kerugian pihak tertentu, melainkan memandang bahwa masing-masing pihak memiliki nilai yang sama. Bersifat Netral
5.      Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosakata tertentu. Emosi yang mengasumsikan adanya standar moral adalah perasaan bersalah, sedangkan kosakata atau ungkapan yang merepresentasikan adanya standar moral yaitu “ini salah saya,” “saya menyesal,” dan sejenisnya.
1.2.3        Pentingnya Pendidikan Moral
Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan sekolah dan masyarakat.
Salah satu SDM yang dimaksud bisa berupa generasi muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk :
1) perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian,
2) transmisi kultural,
3) integrasi sosial,
4) inovasi, dan
5) pra seleksi dan pra alokasi tenaga kerja.

Dalam hal ini jelas bahwa tugas pendidikan sekolah adalah untuk mengembangkan segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui pendidikan moral. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan sekolah di atas, maka setidaknya terdapat 3 alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, yaitu:
1)            Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia.
2)            Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar.
3)            Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral.

Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting karena hampir seluruh masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi sosial yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Akan tetapi hal ini kiranya tidak terlalu aneh dalam masyarakat dan lapisan sosial di Indonesia yang hedonis dan menelan peradaban barat tanpa seleksi yang matang. Di samping itu system pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ (intelengence Quetiont) yang walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Sedangkan warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas yang tinggi kemudian tergadai dan lebih banyak digemari oleh orang lain di luar negeri kita, yaitu SQ (Spiritual Quetiont). Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ peserta didik.
 Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan peserta didik pada umumnya menimbulkan efek-efek sosial yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalah moral yang timbul di Indonesia, seperti :
1)             meningkatnya pemberontakan remaja atau adanya dekadensi etika/ sopan santun pelajar;
2)             meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka membolos, menyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri;
3)             berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang;
4)             meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis;
5)             munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian;
6)             berbahasa tidak sopan;
7)             merosotnya etika kerja
8)             meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara;
9)             timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/ narkoba dan perilaku bunuh diri;
10)         timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras, tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah.

Untuk merespon gejala kemerosotan moral tersebut, maka peningkatan dan intensitas pelaksanan pendidikan moral di sekolah merupakan tugas yang sangat penting dan sangat mendesak bagi kita, dan perlu dilaksanakan secara komprehensif dan dengan menggunakan strategi serta model pendekatan secara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan seperti, guru-guru, kepala sekolah, orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan secara utuh konsep-konsep pendidikan moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral.
1.2.4                                    Revitalisasi Pendidikan Moral
Secara eksplisit desain pendidikan nasional menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moral. Dalam kerangka ini, pendidikan harus menjadi sarana yang efektif dalam mentransformasi nilai-nilai moral-spiritual yang sangat berguna bagi pembentukan karakter peserta didik yang pada gilirannya diharapkan menjadi karakter budaya bangsa.
Pendidikan karakter dan moral pada dasarnya adalah “to guide the young towards voluntary personal commitment to values”, pekerjaan membimbing generasi muda untuk secara sukarela mengikatkan diri mereka kepada norma-norma atau nilai-nilai. Yang penting di sini ialah bahwa “commitment to values” atau pengikatan diri kepada nilai-nilai harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam, dan bukan karena ancaman atau ketakutan kepada sesuatu di luar hati.
Dengan kerelaan tersebut, nilai-nilai moral diharapkan akan tercermin dalam akhlak kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta didik. Pengembangan “kantin kejujuran” di sejumlah sekolah misalnya merupakan bentuk terobosan kegiatan pendidikan moral.
Pelajaran agama yang menjadi pijakan utama pendidikan moral misalnya tidak boleh dikesankan sebatas penyampaian doktrin-doktrin agama, tentang halal-haram, tata cara ibadah berikut pahala surga dan ancaman dosa-neraka, tetapi harus banyak berbicara dimensi pemaknaan yang mengajak peserta didik meraih kesadaran (conscience) terhadap nilai. Unsur-unsur ajaran agama menyangkut ibadah dan hukum-hukum agama tentu saja harus disampaikan, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa tujuan utama pendidikan agama adalah internalisasi nilai sehingga menjadi karakter.
Pengajaran moral melalui pembahasaan yang divergen atas nilai-nilai yang terkandung dalam materi ajar melalui kegiatan-kegiatan sederhana, tetapi mengena akan mengefektifkan pembentukan karakter moral para peserta didik. Pada gilirannya akan membentengi akhlak peserta didik dari perbuatan yang dilarang (amoral). Hal ini tentu saja sangat penting bagi fondasi pembangunan bangsa di masa depan. Ketika karakter moral telah membudaya, maka ia akan menjadi etos kerja bangsa sehingga proses-proses politik, perumusan kebijakan, dan praktik pemerintahan dan pembangunan akan dilandasi moralitas yang kuat, terhindar dari berbagai penyimpangan.
1.2.5                                    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Moralitas
1.2.5.1              Lingkungan Keluarga
Pada dasarnya keluarga merupakan wadah pembentukan dan persemaian moral bagi anak. Dengan demikian, keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan moralitas yang bertujuan mengembangkan kehidupan moralitas. Orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga perlu menanamkan nilai-nilai moral kepada anak melalui sikap dan perbuatannya sehari-hari. Misalnya, dengan sikap jujur, sopan santun, saling menghargai satu sama lain, memiliki semangat pengorbanan yang tinggi serta menjadi pewarta keselamatan yang ulet melalui nasehatnya yang baik dan contoh hidup yang meyakinkan.
            Orang tua yang menunjukkan keteladanan moral yang baik kepada anak dapat melahirkan dan menumbuhkan sikap moral yang baik pada diri anak-anak. Anak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang jujur dan tidak jujur. Sikap dan tindakan orang tua yang didasarkan atas nilai-nilai moral membantu anak dalam proses pemilihan nilai untuk dirinya yang akan dibawanya pula dalam sikap dan tindakan sehari-hari baik dalam lingkup keluarga maupun dalam masyarakat. Sikap-sikap moral yang ditanamkan dalam diri anak di dalam keluarga antara lain kejujuran, sopan santun dan saling menghargai.
a.              Kejujuran adalah sikap batin. Menanam dan melatih anak agar menjadi seorang yang jujur merupakan usaha yang tidak mudah. Menanamkan kejujuran pada anak dalam keluarga harus mengikuti pola kehidupan orang tua karena orang tua adalah pelaku yang patut dicontohi dan diteladani.[15]
b.             Sopan santun adalah tingkah laku atau tindakan yang sesuai dengan norma-norma susila yang berlaku dalam suatu masyarakat. Bersikap sopan santun berarti berjalan dengan memperhatikan, menghargai dan menghormati orang lain yang ditemui atau dilewati.[16] 
c.              Sedangkan prinsip saling menghargai adalah prinsip cinta kasih, hormat-menghormati, tolong-menolong antara sesama manusia untuk memperbaiki, menyempurnakan dan mengembangkan kehidupan diri sendiri dan kehidupan bersama.
1.2.5.2                                            Teladan Hidup Para Pendidik
Orang tua adalah pendidik utama dalam memberikan pendidikan moralitas kepada seorang anak. Orang tua berperan dalam menanamkan nilai-nilai moral yang baik agar nilai-nilai itu dapat dialami dan dihayati oleh anak-anak dalam realitas hidup mereka yang konkret. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diharapkan agar orang tua dengan berbagai cara dapat memberikan petunjuk yang dapat diteladani oleh anak-anak.
Mendidik anak-anak untuk mengenal nilai-nilai dapat dilakukan secara informal. Orang tua dapat memberikan pendidikan moralitas kepada anak dengan menunjukkan cara hidup, sikap dan keteladanan yang dapat diterima umum serta mampu ditiru oleh anak-anak sebab sejak dini anak-anak mewarisi beberapa sifat dan meniru cara-cara dan sikap orang tua. Orang tua, melalui cara hidup, sikap dan perilakunya dapat mengajarkan dan memberikan nilai-nilai ke dalam kehidupan anak-anaknya. Teladan dan pengalaman hidup orang tua merupakan metode pengajaran nilai-nilai bagi anak-anak. [17] Pendidikan moral tidak hanya dilakukan secara teoritis melalui kata-kata tetapi juga teladan hidup orang tua merupakan unsur penting dalam pendidikan moral.
1.2.5.3                                            Komunikasi yang Baik antara Pendidik dan Peserta Didik
Komunikasi antara pendidik dan peserta didik, dalam hal ini antara orang tua dengan anak sangat penting dalam kehidupan keluarga. Komunikasi dalam segala aspek kehidupan turut membantu mendewasakan diri anak. Ketiadaan atau kekurangan komunikasi dalam keluarga dapat membentuk pribadi yang tidak menghormati dan menghargai norma-norma moral yang ada dalam suatu komunitas masyarakat.        [18]
Seorang tokoh terkemuka dalam bidang komunikasi, yaitu Lyman K. Steil, mengaitkan komunikasi dengan aspek pendengaran. Ia memperkenalkan “komunikasi simak” yang mengandung empat unsure, yaitu: [19]
1)        Percakapan sederhana atau yang disebut dengan istilah phatic communication. Kata phatic berarti mengikat orang bersama-sama. Komunikasi phatic itu berupa percakapan sederhana antara orang tua dengan anak-anak dengan tujuan untuk menjalin komunikasi yang akrab dan saling membuka diri;
2)        Chathartic communication. Unsur ini berarti bahwa anak-anak dalam keluarga diberi kebebasan untuk mengungkapkan apa yang dirasakan, membiarkan emosinya dikeluarkan secara wajar. Anak-anak diberi kesempatan untuk menyalurkan perasaannya bila ada percakapan yang sederhana dan ringan;
3)        Informative communication. Orang tua mengalihkan percakapan ke arah yang lebih berbobot, saling membagi perasaan, pendapat dan pemikiran. Pendapat dan jalan pemikiran anak sebaiknya diikuti dan diberi masukan, informasi dan penjelasan yang diperlukan sehubungan dengan kesulitan yang dialami;
4)        Persuasive communication. Orang tua pada umumnya bergumul dalam komunikasi model ini. Orang tua menyadari bahwa peranan mereka begitu penting dalam mengarahkan hidup anak-anaknya sehingga mereka tiada henti-hentinya menasehati anak dalam segala kesempatan yang ada.

Selain itu, menurut Tim Hansel, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan apabila orang tua ingin mempengaruhi dan meyakinkan anak dalam suatu komunikasi, yaitu:
1)        Menjadi pendengar yang baik.
2)        Berkomunikasi dengan anak pada tingkat apa mereka saat itu.
3)        Berkomunikasi dengan anak-anak dengan mengikuti tiga unsur di atas yaitu percakapan sederhana atau phatic communication, cathartic communication dan informative communication. [20]

1.2.5.4              Lingkungan Sosial
Tempat pertama yang dikenal anak sejak lahir adalah keluarga. Di dalam keluarga, anak berinteraksi dengan orang tuanya. Setelah itu, anak akan berinteraksi dengan orang-orang yang ada di luar keluarga yaitu pada lingkungan sosial.
            Pengaruh lingkungan sosial sangat besar terhadap pembentukan kepribadian anak dan segala sesuatu yang ada dalam diri manusia selalu mendapat pengaruh dari lingkungan. [21] Lingkungan yang baik memungkinkan tumbuhnya pribadi-pribadi yang baik dan sebaliknya lingkungan yang kurang baik akan melahirkan pribadi-pribadi yang  akan hidup menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Lingkungan sosial sangat menentukan baik-buruknya kepribadian anak dan turut membantu anak dalam berperilaku sosial.














BAB II
NILAI DAN NORMA MORAL SEBAGAI OBYEK MORAL


2.1              NORMA MORAL
2.1.1        Pengertian Norma Moral
Dalam pemakaian yang lazim norma berarti aturan, kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu. Norma moral berarti kaidah yang dipakai untuk menilai tindakan manusia. Tindakan yang sesuai dengan norma adalah baik dan yang bertentangan dengan norma adalah buruk. [22] Tujuan terakhir tindakan manusia selalu berkaitan dengan perwujudan diri manusia secara sempurna.
Norma adalah tolok ukur/alat untuk mengukur benar salahnya suatu sikap dan tindakan manusia. Norma juga bisa diartikan sebagai aturan yang berisi rambu-rambu yang menggambarkan ukuran tertentu, yang di dalamnya terkandung nilai benar/salah. Dalam bahasa Inggris, norma diartikan sebagai standar. Di samping itu, norma juga bisa diartikan kaidah atau petunjuk hidup yang digunakan untuk mengatur perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Norma yang berlaku di masyarakat Indonesia ada lima, yaitu:
1)        norma agama;
2)        norma susila;
3)        norma kesopanan;
4)        norma kebiasaan;
5)        norma hukum.

Pelanggaran norma biasanya mendapatkan sanksi, tetapi bukan berupa hukuman di pengadilan. Misalnya, sanksi dari norma agama lebih ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu, hukumannya berupa siksaan di akhirat, atau di dunia atas kehendak Tuhan. Sanksi pelanggaran/ penyimpangan norma kesusilaan adalah moral yang biasanya berupa gunjingan dari lingkungannya. Penyimpangan norma kesopanan dan norma kebiasaan, seperti sopan santun dan etika yang berlaku di lingkungannya, juga mendapat sanksi moral dari masyarakat, misalnya berupa gunjingan atau cemooh. Begitu pula norma hukum, biasanya berupa aturan-aturan atau undang-undang yang berlaku di masyarakat dan disepakati bersama.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa norma adalah petunjuk hidup bagi warga yang ada dalam masyarakat. Norma dalam masyarakat hendaknya dipatuhi oleh anggota masyarakat, karena norma tersebut mengandung sanksi. Siapa saja, baik individu maupun kelompok, yang melanggar norma mendapat hukuman yang berwujud sanksi, seperti sanksi agama dari Tuhan dan departemen agama, sanksi susila, kesopanan, hukum, maupun kebiasaan yang diberikan oleh masyarakat berupa sanksi moral.
2.1.2        Beberapa Pandangan tentang Norma Moral
Norma moral sebagai kaidah yang dipakai untuk menilai tindakan manusia sangat nampak dalam beberapa pandangan berikut, seperti moralitas ekstrinsik, naturalisme moral dan relativisme moral. [23]
2.1.2.1              Moralitas Ekstrinsik
Moralitas Ekstrinsik menegaskan bahwa nilai moral suatu tindakan ditentukan berdasarkan kesesuaian atau pertentangan antara tindakan itu sendiri dengan suatu perintah dari luar (norma ekstrinsik). Suatu tindakan dianggap baik kalau diizinkan dan dianggap buruk kalau dilarang oleh suatu otoritas di luar pelaku (misalnya penguasa atau Allah). Moralitas ekstrinsik disebut juga positivisme moral karena mereduksi hukum moral menjadi hukum positif.[24] Pandangan moralitas ekstrinsik ini memiliki beberapa dasar pemikiran, yaitu:
1.         Ada banyak aturan dan penilaian moral tetapi tidak ada pandangan universal tentang tindakan yang baik dan yang buruk. Tidak ada tindakan yang baik dan buruk pada dirinya sendiri. Ada aturan yang dianggap baik oleh orang tertentu tetapi dilanggar oleh orang lain.
2.         Analisis tentang nilai moral memperlihatkan bahwa moralitas mengandung kewajiban tetapi tidak ada kewajiban tanpa hukum dan hukum selalu dimaklumkan oleh suatu instansi yang berwenang. 
3.         Kesadaran moral selalu terungkap dalam bentuk perintah dan larangan dari luar.
Moralitas Ekstrinsik didukung oleh beberapa teori lainnya seperti sofisme, sosiologisme dan oleh beberapa penganjur teori lain seperi Th. Hobbes dan Samuel Pufendor.[25]
1.             Sofisme mempertentangkan kodrat (phusis ) dengan hukum (nomos). Hukum yang merupakan acuan bagi penilaian moral merupakan hasil kesepakatan bersama dan bukan berasal dari kodrat manusia. Sosiologisme yang dianjurkan oleh E. Durkheim dan Levy-Bruhl menegaskan bahwa masyarakat bukanlah himpunan individu-individu melainkan suatu kenyataan yang berada sendiri dan memiliki nilai lebih tinggi daripada anggota-anggota lainnya. Nilai-nilai moral diberikan oleh masyarakat kepada individu supaya individu dapat mewujudkan dirinya.
2.             Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa manusia dari kodratnya memiliki kebebasan tanpa batas. Kebebasan ini menjadi sumber pertentangan dan perang. Keadaan asli manusia adalah “perang semua orang melawan semua orang” (bellum omnium in omnes). Manusia hidup dalam ketakutan abadi dan untuk keluar dari situasi ini maka diperlukan perjanjian-perjanjian. Perjanjian ini dikenal sebagai hukum alam yang merupakan petunjuk yang harus diikuti untuk mencapai harmoni sosial. Tetapi hukum alam sendiri tidak cukup untuk menciptakan damai dan menaklukan semua kehendak individu. Karena itu, dibutuhkan suatu otoritas yang dapat memaksa secara mutlak yaitu raja. Raja-lah yang menentukan norma-norma tentang hidup yang baik dan yang buruk.
3.             Samuel Pufendorf (1632-1694) berpendapat bahwa ada dua jenis hukum yakni (1) hukum alam yang berkaitan dengan apa yang ada, yang real (das Sein) dan (2) hukum moral yang berkaitan dengan apa yang seharusnya ada, yang ideal (das Sollen). Kedua hukum ini berasal secara langsung dari kehendak Allah yang bebas. Norma-norma moral tidak berasal dari kodrat manusia tetapi dari kehendak Allah. Ketaatan terhadap norma-norma moral merupakan ketaatan kepada kehendak Allah.

Berdasarkan pemikiran di atas maka dapat ditegaskan bahwa moralitas ekstrinsik lebih melihat peranan pihak luar dalam menentukan nilai tindakan manusia. Sofisme lebih melihat kesepakatan bersama sebagai sumber hukum dan sosiologisme lebih menekankan peranan masyarakat daripada individu itu sendiri. Sedangkan Th. Hobbes menegaskan bahwa norma-norma masyarakat ditentukan oleh suatu otoritas lain misalnya raja dan S. Pufendorf  menegaskan bahwa norma-norma moral berasal dari kehendak bebas Allah.
Moralitas Ekstrinsik kemudian mendapat evaluasi. Ada beberapa penilaian terhadap moralitas ekstrinsik yakni : [26]
1)      Moralitas ekstrinsik menekankan bahwa tidak ada tindakan-tindakan yang baik atau buruk pada dirinya sendiri padahal dalam kenyataannya terdapat tindakan-tindakan yang baik dan buruk pada dirinya sendiri. Misalnya, menolong seseorang yang menderita adalah baik secara instrinsik (kebaikan moral ada dalam perbuatan itu sendiri) sedangkan mencuri secara instrinsik adalah buruk.
2)      Terdapat 2 kelemahan besar dari teori ini yaitu pertama, supaya kesesuaian dengan atau oposisi terhadap hukum bisa menjadi kaidah untuk menentukan nilai moral suatu tindakan maka pertama-tama harus ditegaskan bahwa secara moral mentaati hukum adalah baik dan melanggar hukum adalah buruk. Hukum ditaati karena sesuai dengan tuntutan akal budi dan bukan karena dipaksakan. Kedua, ketaatan terhadap hukum sendiri tidak mempunyai nilai moral kalau hukum itu sendiri tidak adil. “Mentaati hukum” dapat berarti ada nilai moral kalau didasarkan  pada suatu keyakinan rasional baik mengenai hukum itu maupun mengenai nilai ketaatan kepada hukum.

Meskipun demikian, moralitas ekstrinsik juga memiliki beberapa sumbangan pemikiran yang berharga dalam bidang moral misalnya seperti apa yang ditegaskan oleh S. Pufendorf dan Th. Hobbes.
1.         Samuel Pufendorf benar bahwa Allah adalah sumber dan dasar terakhir dari moralitas tetapi ia keliru karena tidak membedakan dua fakta yakni nilai moral menerima dasar adanya dari Tuhan dan moralitas terbentuk berdasarkan suatu hubungan langsung dengan kehendak Allah.
2.         Sedangkan Thomas Hobbes juga benar bahwa otoritas sangat berperan dalam pembentukkan kesadaran moral tetapi ia tidak menegaskan bahwa peranan itu tidak hanya terbatas pada memerintahkan dan melarang. Lebih dari itu, otoritas perlu membantu individu perlahan-lahan membuat suatu refleksi untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas dan rasional serta kehendak bebas untuk mengontrol segala kecenderungannya.
2.1.2.2              Naturalisme Moral
Naturalisme Moral berbeda dari moralitas ekstrinsik sebab Naturalisme Moral berpendapat bahwa nilai moral bersifat intrinsik dalam tindakan manusia dan berkaitan dengan kodrat manusia. Pandangan Naturalisme Moral ini sangat jelas dalam pandangan beberapa aliran berikut seperti hedonisme, eudaimonisme, utilitarisme dan etika libertarian. [27]
a.                  Hedonisme
Hedonisme (dari kata Yunani Hedon yang berarti kenikmatan, kesenangan) mengajarkan bahwa tujuan terakhir tindakan manusia adalah mencapai kesenangan dan menghindari penderitaan.
Aristippos mengajarkan hedonisme jangka pendek, yaitu “ carilah kesenangan sepuas-puasnya hari ini” atau carpe diem. Hal yang baik dalam arti sesungguhnya adalah kenikmatan saat ini dan di sini (hic et nunc). Kenikmatan yang dimaksudkan adalah kesenangan badaniah.
Sedangkan Epikurus mengajarkan hedonisme jangka panjang, yaitu untuk mencapai kesenangan rohani, dalam hal ini ketenangan batin (ataraxia : keadaan jiwa yang seimbang dan bebas dari segala macam gangguan). Kesenangan harus dinilai dengan memandang kehidupan sebagai suatu keseluruhan, termasuk masa lampau dan masa depan, dan bukan hanya tuntutan saat sekarang.
Dalam zaman sekarang orang membedakan antara hedonisme psikologis dan hedonisme etis.
1.             Hedonisme psikologis yang dianggap mendasari hedonisme etis mengajarkan bahwa manusia menurut struktur psikisnya selalu mengejar kesenangan dalam setiap tindakannya. Di balik tindakan-tindakan yang tampaknya luhur (seperti menegakkan keadilan dan membela kebenaran) dan suci (seperti berkorban demi Kerajaan Allah) sebenarnya terselubung motivasi egoistik yakni mengejar kesenangan pribadi. Hedonisme psikologis benar bahwa orang tertarik kepada perasaan nikmat dan secara spontan cenderung menghindari perasaan yang tidak menyenangkan tetapi yang dipersoalkan ialah apakah manusia secara psikologis dideterminasi oleh perasaan nikmat semata sehingga seluruh tindakannya hanya ditentukan oleh perasaan nikmat itu? Inilah kelemahan hedonisme psikologis sebab dalam kenyataannya perasaan nikmat sulit diperoleh.
2.             Sedangkan hedonisme etis berpendapat bahwa kebahagiaan atau kepenuhan hidup manusia terletak dalam kenikmatan. Hedonisme etis keliru dalam pemahamannya sebab kesenangan selalu bersifat parsial dan berhubungan dengan keinginan tertentu yang menuntut pemuasan saat ini dan di sini. Karena itu, kesenangan atau kenikmatan sebenarnya bersifat sementara.

Hedonisme membangun teorinya di atas konsepsi yang salah tentang kesenangan yakni “sesuatu adalah baik karena disenangi”. Justru dengan pandangannya ini maka hedonisme sebenarnya lebih menekankan subyektifitas sebab kesenangan bersifat subyektif. Pada hakikinya sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi tetapi seseorang merasa senang karena memperoleh sesuatu yang baik. Kebaikan yang menjadi obyek kesenangan ada lebih dahulu dari kesenangan itu sendiri.
b.                  Eudaimonisme
Eudaimonisme (dari kata Yunani eudaimonia yang berarti kebahagiaan) adalah suatu doktrin etika yang menegaskan bahwa tujuan terakhir hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan. Terdapat dua tokoh penting yang berbicara tentang kebahagiaan, yaitu Aristoteles dan Thomas Aquinas.
1.             Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan bukanlah suatu perasaan subyektif, seperti rasa senang dan nikmat. Kebahagiaan adalah suatu kenyataan obyektif, yaitu penyempurnaan manusia seutuhnya dengan mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam diri manusia. Sedangkan kesenangan hanyalah tanda dan akibat dari adanya kebahagiaan, yaitu bila orang telah berhasil mencapai tujuan. Selain itu, kebahagiaan menuntut keutamaan, yaitu tindakan yang dilaksanakan berdasarkan perintah akal budi dan nurani. Karena itu, bagi Aristoteles, seluruh kebahagiaan manusia terlaksana dalam dunia sekarang ini. Jadi, etika Aristoteles adalah etika intraduniawi.
2.             Sedangkan menurut Thomas Aquinas, manusia mencapai kebahagiaan kalau dia hidup menurut hukum kodrat. Kodrat itu ciptaan Tuhan. Karena itu, hidup menurut hukum kodrat berarti hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, dan kebahagiaan akan tercapai bila manusia memenuhi kehendak Allah. Tujuan terakhir manusia tidak tercapai di dunia ini, tetapi dalam visio beatifica Dei, yaitu memandang Allah dalam kehidupan abadi. Hidup manusia tidak hanya terbatas di dunia ini, tetapi terutama terarah kepada kebahagiaan di akhirat. Jadi, eudaimonisme Thomas Aquinas disebut eudaimonisme eskatologis.

Pada umumnya eudaimonisme dikritik sebagai etika yang bersifat egoistik karena orang hanya memperhatikan kebahagiaan sendiri.
c.                   Utilitarisme
Utilitarisme (dari kata Yunani utilis yang berarti berguna atau bermanfaat) menegaskan bahwa baik atau buruknya suatu perbuatan ditentukan oleh kegunaan atau manfaatnya. Manfaat itu bukan hanya untuk si pelaku, melainkan untuk semua orang yang dipengaruhi oleh perbuatan itu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Norma dasar utilitarisme berbunyi “bertindaklah selalu menuru kaidah yang sekian sehingga perbuatanmu membawa manfaat yang sebesar-besarnya untuk sebanyak mungkin orang”.
Kekurangan utilitarisme terletak dalam pandangannya tentang manfaat atau kegunaan yang tidak jelas. Manfaat itu dapat dipahami secara berbeda-beda oleh para penganutnya sebagai kesenangan (hedonisme) atau dengan kebahagiaan (eudaimonisme).
Meskipun demikian, utilitarisme memiliki beberapa sumbangan pemikiran yang berharga. Utilitarisme menegaskan sifat rasional dari etika. Manusia tidak pernah boleh taat kepada peraturan demi peraturan tetapi demi tujuan dan manfaat yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Selain itu, utilitarisme berjasa dalam mengajarkan universalitas nilai etis tindakan manusia. Manfaat yang harus diperhatikan itu bukan hanya manfaat bagi pelaku sendiri tetapi juga manfaat bagi sebanyak mungkin orang yang dipengaruhi oleh tindakan itu.
d.                  Etika Libertarian/Etika Kebebasan
Etika libertarian menegaskan bahwa kebebasan bukan hanya merupakan kondisi yang perlu bagi tindakan etis, melainkan juga merupakan sumber dari norma moral. Dengan kata lain, kebebasan adalah sumber nilai. Kebebasanlah yang menciptakan nilai, sebagaimana secara tegas diungkapkan oleh seorang filsuf Perancis, yaitu J. P. Sartre bahwa “dunia adalah absurd (irrasional, tidak dapat dipahami, tidak berguna dan hampa). Segala sesuatu yang ada lahir tanpa alasan, tetap bertahan karena kelemahan, dan akan mati karena kebetulan”. Karena itu, kehendak bebas dapat memberi makna yang diinginkan. Manusia bertugas untuk memberi arti kepada hidupnya.
Para filsuf Skolastik (dari kata Latin scholasticus yang berarti guru; disebut Skolastik, karena pada zaman ini filsafat mulai diajarkan di sekolah-sekolah dan universitas-universitas), seperti Albertus Magnus (1200- 1280), Thomas Aquinas (1225- 1274), Bonaventura, OFM (1217- 1274), dan Yohanes Duns Scotus, OFM (1266- 1308), membedakan 3 (tiga) macam kebebasan, yaitu : [28]
  1. Libertas a Coactione, yaitu kebebasan dari segala macam paksaan yang berasal dari luar. Kebebasan ini sama dengan kebebasan sosial-politis, yaitu kemampuan untuk bertindak tanpa dihalangi oleh suatu paksaan fisik.
  2. Libertas a necessitate, yaitu kemampuan untuk menentukan diri sendiri secara otonom, dalam arti memilih tanpa suatu paksaan batiniah berdasarkan motif tertentu (rasional, intelektual) atau kondisi tertentu (psikis, ekonomis, sosial politis) yang membimbing secara harus. Kebebasan ini disebut juga liberum arbitrium, yaitu kemampuan kehendak untuk bersifat aktif dalam berhadapan dengan motif-motif dan nilai-nilai yang membimbing seseorang. Kebebasan ini juga berarti kebebasan eksistensial, yaitu kemampuan untuk menentukan diri sendiri.
  3. Libertas a Peccato, yaitu kebebasan untuk menentukan diri ke arah kebaikan dan nilai sejati, dan bukan hanya untuk menentukan diri tanpa paksaan dari luar atau dari dalam. Kebebasan ini merangkum sekaligus mengatasi dua kebebasan pertama.

Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia, khususnya kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karyanya. Kebebasan juga berarti kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai tentang kehidupan yang terus-menerus ditawarkan kepada manusia. Thomas Aquinas memandang kehendak bebas sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan.[29] Karena itu, kebebasan manusia bukanlah tujuan, melainkan sarana. Sarana ini digunakan bagi pembebasan manusia dari segala sesuatu yang menghalangi pelaksanaan dirinya dengan sepenuhnya.
Kebebasan manusia merupakan kenyataan majemuk yang terdiri dari tiga komponen dasar, yakni :
a)      Kedewasaan rohani sebagai kesempurnaan eksistensi yang mandiri, di mana kebebasan sebagai kedewasaan rohani merupakan tujuan dari hidup manusia.
b)      Penentuan diri melalui putusan nilai yang bebas (kehendak bebas). Kebebasan kehendak sebagai “oto-determinasi” merupakan jalan subyektif ke arah tujuan tersebut.
c)      Syarat-syarat kebebasan di bidang fisik, sosial, ekonomi dan politik. Kebebasan sosial- politik merupakan syarat-syarat yang diperlukan demi pembebasan, artinya bahwa syarat-syarat ini harus dipenuhi supaya manusia dapat mencari tujuan hidupnya dengan jalan penentuan diri.
2.1.2.3              Relativisme Moral
Relativisme Moral menegaskan bahwa norma-norma moral yang berlaku dalam pelbagai masyarakat dan kebudayaan serta zaman tidak pernah sama tetapi berbeda satu sama lain. Sikap ini jelas menyamaratakan moralitas dengan adat kebiasaan. Etika yang seharusnya bersifat normatif dianggap identik dengan etika deskriptif. Dengan demikian tidak ada etika yang lebih baik dari etika lain. [30] Relativisme Moral tidak dapat dibenarkan karena beberapa alasan berikut:
1.         Seandainya relativisme benar maka tidak bisa terjadi bahwa dalam suatu kebudayaan mutu hidup moralnya lebih tinggi atau lebih rendah dari kebudayaan lain. Misalnya, politik apartheid yang berlaku sampai beberapa tahun lalu di Afrika Selatan tidak bisa diterima. Praktek perbudakan dahulu dianggap normal tetapi dewasa ini tidak dapat dipertahankan lagi karena tidak sesuai dengan martabat manusia.
2.         Seandainya relativisme benar maka kita hanya perlu memperhatikan kaidah-kaidah moral suatu masyarakat untuk menilai baik tidaknya perilaku manusia dalam masyarakat itu. Dengan demikian norma moral dalam setiap masyarakat harus sempurna dan tidak mungkin disempurnakan lagi.
3.         Seandainya relativisme benar maka tidak mungkin terjadi kemajuan di bidang moral. Padahal dalam kenyataannya ada kemajuan moral seperti adanya penghapusan perbudakan, penjajahan atau pembunuhan ritual.
2.1.3        Macam-Macam Norma Moral
Manusia bertindak dalam suatu jaringan norma-norma. Semua ketentuan, keharusan, larangan dan sebagainya merupakan norma bagi tindakan seseorang dalam masyarakat. Karena itu,  pertama-tama harus dibedakan antara norma-norma teknis dan permainan di satu pihak dan norma-norma yang berlaku umum di lain pihak. [31]
1.             Norma-norma teknis dan permainan hanya berlaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu atau untuk kegiatan-kegiatan sementara dan terbatas. Misalnya, siapa yang hendak bermain bulu tangkis maka ia harus mentaati peraturan-peraturan tertentu. Begitu pula dalam suatu peraturan terdapat bermcam-macam peraturan yang hanya berlaku bagi mereka yang bekerja pada perusaan tersebut.
2.             Norma-norma yang berlaku umum bagi setiap masyarakat dapat dibagi lagi atas tiga, yakni peraturan sopan-santun, norma-norma hukum dan norma-norma moral. Peraturan sopan santun hanya berlaku berdasarkan suatu kebiasaan dan oleh karena berdasarkan pada pendapat umum maka peraturan sopan-santun itu dapat saja diubah. Norma-norma sopan santun hanya berdasarkan konvensi saja.

            Norma-norma hukum harus dibedakan dari norma-norma moral sebab tidak semua norma hukum dapat sekaligus mengikat secara moral dan tidak semua norma moral dapat dijadikan sebagai norma hukum. Norma hukum adalah norma yang pelaksanaannya dapat dituntut dan dipaksakan serta pelanggarannya ditindak dengan pasti oleh penguasa sah dalam suatu masyarakat. Norma-norma hukum biasanya berlaku berdasarkan suatu perundang-undangan.
            Norma-norma hukum adalah sesuatu yang harus dapat dibuktikan berlakunya. Sedangkan norma-norma moral dengan sendirinya belum tentu dapat dituntut pelaksanaannya serta tindak pelanggarannya. Misalnya orang yang terus-menerus menertawai anak tetangga yang cacad, jelas ia melanggar norma moral tetapi pelanggarannya itu tidak dapat ditindak oleh pengadilan.
2.1.4                                Fungsi Norma Moral
Pada dasarnya norma moral berfungsi untuk melayani manusia. Terdapat 3 (tiga) fungsi eksplisit norma moral dalam kehidupan manusia, yaitu:[32]
1.             Norma moral berfungsi mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama. Norma ini mengingatkan manusia agar memperhatikan kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup. Norma moral dapat saja membangkitkan seseorang untuk melakukan kebaikan yang sebelumnya tidak terpikirkan. Misalnya, gaji demi penghidupan para pekerja harus dibayar. Ini menunjuk pada tanggung jawab seseorang untuk menyalurkan gaji dan memungkinkan orang lain untuk berbelanja. Norma ini berarti menuntun seseorang guna mempertimbangkan panggilan untuk bekerja demi keadilan sosial.
2.             Norma moral menarik perhatian kita kepada masalah-masalah moral yang kurang ditanggapi manusia. Norma ini menunjuk dimensi moral dari permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat. Terjadinya kekacauan atau ketidakberesan dalam masyarakat selalu berhubungan dengan longgarnya penerapan norma moral. Contohnya, “Jangan kamu menghendaki milik sesamamu” (bdk. Kel 20 : 17). Perintah ini mengingatkan kita bahwa manusia bisa saja berdosa melalui pikiran meski orang itu tidak melakukan tindakan dosa yang bertentangan dengan keadilan.
3.             Norma-norma moral dapat menarik perhatian manusia kepada gejala “pembiasaan emosional”. Maksudnya adalah bahwa norma ini dapat menggiring manusia kepada faktor-faktor emosional sehingga manusia dapat saja salah atau keliru pada saat memilih sesuatu. Contohnya, “Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan” (bdk. Rm 12 : 17). Perkataan ini bisa menggiring umat Kristen untuk mempertimbangkan apakah pilihan untuk menghukum seorang pelaku criminal bersifat rasional atau hanya karena perasaan permusuhan terhadap orang itu.
2.1.5                                Pembentukkan Norma Moral
Sejak awal tahun 1970 telah muncul diskusi di kalangan teolog mengenai pembentukan dan pembenaran norma-norma moral. Dikusi itu secara khusus terpusat pada pembentukan norma-norma moral menurut teori deontologi dan teleologi. [33]
2.1.5.1              Teori Deontologi (“deon” berarti kewajiban)
Teori Deontologi menolak bahwa tindakan yang baik secara moral ditentukan hanya oleh dampak dari tindakan tertentu. Pendekatan deontologis selalu berpandangan bahwa setidaknya ada sejumlah tindakan atau kategori tindakan yang dianggap benar atau salah tanpa ada kaitannya dengan akibat-akibat dari tindakan itu sendiri. Misalnya, memberitahukan kebenaran dan menjaga rahasia pribadi adalah selalu baik atau membunuh seseorang yang tidak bersalah adalah selalu tidak bisa dibenarkan.
            Menurut pendekatan deontologis, norma moral menjadi acuan utama penentu benar atau salahnya tindakan manusia. Posisi teori ini mengingatkan bahwa ada sejumlah tindakan yang selalu dan di mana pun jahat di dalam dirinya. Jika tindakan-tindakan itu dijadikan norma-norma moral maka norma itu akan menjadi tolok ukur untuk menilai tindakan seseorang apakah baik atau jahat secara moral. [34]
2.1.5.2              Teori Teleologi
            Pembentukan norma moral dipengaruhi oleh teori teleologi yaitu dampak pandangan filosofis Aristoteles mengenai perubahan dalam alam semesta di mana dijelaskannya bahwa segala sesuatu berada gerakan. Dalam hal ini, berlakulah hukum “sedang menjadi”. [35]
            Teori teleologi berpandangan bahwa kebenaran dan kesalahan tindakan manusiawi hanya ditentukan oleh akibat-akibat baik dan buruk dari tindakan itu. Semua pertimbangan atas tindakan manusiawi bertitik tolak dari kriteria tersebut. Sejauh akibat baik atau positif melebihi akibat negatif secara etis maka tindakan itu dianggap benar.
            Menurut teori ini, seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri dapat dibenarkan secara moral jika tindakannya itu merupakan satu-satunya tindakan untuk menyelamatkan rahasia penting dan nasional. Dalam hal ini, penjagaan rahasia menjadi prioritas dan bukan tindakannya tersebut.
            Berdasarkan teori ini maka dapat dijelaskan bahwa pembentukan norma moral harus mempertimbangkan akibat-akibat dari suatu tindakan yang setidaknya dapat diperhitungkan sebelum tindakan itu dilakukan. Akibat-akibat dari tindakan berperan penting dalam menentukan norma-norma moral.
            Berdasarkan kedua teori di atas maka argumentasi deontologis dan teleologis berada pada posisi saling memerlukan, saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Suatu analisis sosial dan kontekstual sangat diperlukan dalam membentuk norma moral supaya norma itu sungguh berasal dari bawah dan dapat diterima oleh masyarakat. Pembentukkan norma moral berdasarkan teori deontologi dan teleologi harus mempertimbangkan nilai-nilai dan kebaikan yang diperjuangkan manusia melalui norma itu.

2.1.6                                Penghayatan Norma Moral dalam Masyarakat
Pemeliharaan dan penegakkan norma moral dalam masyarakat adalah suatu kemutlakan sebab kemerosotan moral sedang mengobrak-abrik moralitas bangsa. Masyarakat yang sungguh menjunjung tinggi peran nilai moral umumnya akan memelihara dan hidup sesuai dengan norma yang berlaku. Biasanya, masyarakat ini tidak mudah atau tidak terlalu cepat tercemar oleh pengaruh-pengaruh negatif dari luar daerah. Tatanan nilai moral yang terselubung di balik norma akan mempengaruhi pola pikir, cara pandang dan tindakan manusia sebagai makhluk sosial. Tatanan hidup sosial akan lebih baik jika masyarakat sungguh dibangun berdasarkan tatanan nilai moral yang tersembunyi di balik norma-norma moral. [36]
            Pelestarian, penegakan dan penerjemahan norma moral dapat dilakukan dalam lingkup hidup tersempit seperti keluarga, dunia pendidikan, tempat kerja dan masyarakat. Dunia pendidikan formal dan non-formal merupakan wadah penyaluran nilai-nilai moral yang diperlukan untuk membangun pribadi, masyarakat, nusa dan bangsa. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kehidupan dan perbuatan tiap pribadi sungguh mencerminkan penerjemahan nilai-nilai moral seperti cinta kasih, kebaikan, kejujuran, keadilan dan kemanusiaan.
2.2         NILAI
2.2.1   Pengertian Nilai
Pengertian nilai (value), menurut Djahiri (1999), adalah harga, makna, isi dan pesan, semangat, atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori, sehingga bermakna secara fungsional. Di sini, nilai difungsikan untuk mengarahkan, mengendalikan, dan menentukan kelakuan seseorang, karena nilai dijadikan standar perilaku. Sedangkan menurut Dictionary dalam Winataputra (1989), nilai adalah harga atau kualitas sesuatu. Artinya, sesuatu dianggap memiliki nilai apabila sesuatu tersebut secara intrinsik memang berharga. Pendidikan nilai adalah pendidikan yang mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai dalam diri siswa.


2.2.2                                Fenomena Nilai Moral
Berbicara tentang nilai di zaman sekarang berarti berbicara tentang fenomena nilai moral.               Terdapat tendensi-tendensi yang mereduksi pengalaman moral kepada pengalaman tentang nilai-nilai lain. [37] Dengan demikian, nilai moral hanya merupakan satu nama untuk menyebut nilai-nilai ekonomis dan sosiologis. Bertindak baik dengan demikian identik dengan memperoleh sukses dalam usaha dagang atau bertindak sesuai dengan kebiasaan dan kepentingan masyarakat.
Pengalaman konkret memperlihatkan bahwa dalam masyarakat manapun selalu ada penilaian-penilaian mengenai tindakan individu. Ada tindakan yang dipuji dan diberi ganjaran dan ada yang dikecam serta dihukum sedang yang lainnya bersifat netral. Dalam bidang moral penilaian-penilaian itu berkaitan dengan tindakan yang baik dan pantas bagi manusia dan sanggup memberikan nilai dan makna kepada hidup manusia. Penilaian-penilaian itu biasanya terungkap dalam kalimat seperti “berkorban bagi orang lain adalah sesuatu yang baik” atau “menipu dan merugikan orang lain adalah buruk”. Putusan-putusan ini berkaitan dengan nilai dan bukan fakta. Dengan demikian, terdapat distinksi dan bahkan oposisi antara yang baik dan yang buruk dalam  penghayatan hidup konkret.
Setiap orang menemukan dalam hidupnya contoh-contoh tentang situasi di mana nilai moral terungkap secara positif atau negatif dalam tindakan orang lain yang memotivasi penilaiannya. Misalnya : “Si A adalah musuh saya menyelam ke dalam air yang dalam untuk menyelamatkan si B yang tenggelam dan akan segera mati lemas bila tidak segera ditolong. Si A pantas mendapat pujian saya dalam hati (secara diam-diam). Apa yang mendorong saya untuk memuji dia ? karena dalam tindakan si A yang berbelaskasihan itu ada sesuatu yang “bernilai” pada dirinya sendiri terlepas dari keuntungan yang dapat saya peroleh sebagai imbalan atas pujian yang saya berikan. Si A tidak pantas dikagumi dan dipuji seandainya ia telah bertindak karena sesuatu paksaan fisik atau psikis yang berasal dari orang lain”.
Salah satu hal yang secara khusus menampakkan nilai moral adalah pengalaman tentang rasa sesal yang otentik yang muncul dari pengakuan akan kesalahan yang dilakukan secara bebas. Dalam pengalaman rasa sesal ini dapat dibedakan tiga unsur yakni :
1)             Kesalahan itu telah menjadi fakta dan saya tidak dapat mampu menghapusnya lagi. Saya hanya dapat memperbaiki akibat-akibatnya tetapi saya tidak dapat berbuat sesuatu agar tidak terjadi.
2)             Sayalah yang telah melakukan kesalahan itu dan bukan orang lain atau kekuatan lain yang ada dalam diri saya.
3)             Saya telah melakukan sesuatu yang buruk yang seharusnya tidak saya lakukan. Saya patut menerima hukuman. Hukuman itu menyentuh diri saya seutuhnya dan berasal dari diri saya sendiri.
2.2.3                                Sifat-Sifat Nilai Moral
Nilai moral memiliki sifat-sifat khasnya dan sifat-sifat itu nampak juga dalam setiap tindakan manusia. Pada umumnya, terdapat 5 sifat nilai moral, yakni:
1.             Nilai moral bersifat obyektif dan subyektif. Bersifat obyektif karena nilai moral berkaitan dengan obyek (tindakan). Misalnya menolong orang yang menderita adalah baik pada dirinya sendiri dan merampok milik orang lain adalah buruk. Sedangkan nilai moral disebut bersifat subyektif karena berkaitan dengan subyek yang bertindak. Tempat khas dan langsung dari nilai moral adalah tindakan subyek. Subyek itu secara moral baik atau buruk kalau ia bertindak. Jika ia tidak melakukan sesuatu maka  tidak ada penilaian moral atasnya sebab nilai moral pertama-tama berkaitan dengan kehendak dan pelaksanaan kebebasan. Suatu perbuatan adalah baik atau buruk secara moral kalau dikehendaki secara bebas.
2.             Nilai moral dihargai, dikehendaki pada dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri. Nilai itu tidak pernah boleh dijadikan sebagai sarana untuk mencapai hal-hal lain.
3.             Nilai moral meresapi dan sekaligus mengatasi nilai-nilai lain. Ia tidak memiliki bidang sendiri tetapi selalu diikutsertakan dalam melaksanakan nilai-nilai lain. Ia mengatasi nilai-nilai lain dan ia mengatur serta menilai nilai-nilai lain.
4.             Nilai moral merupakan nilai khas dari persona humana, memberi arah dan makna kepada kehidupannya. Karena kebebasan adalah ekspresi tertinggi kehidupan manusia maka nilai moral adalah nilai yang memberi arti kepada kehidupan manusia.
5.             Sejauh berkaitan dengan persona maka nilai moral mewajibkan secara universal dan personal. Wajib secara universal berarti bahwa apa yang secara moral baik atau buruk untuk seseorang maka sesuatu itu juga akan baik atau buruk bagi orang lain dalam kondisi yang sama. Sedangkan wajib secara personal berarti nilai moral itu hanya mengikat seseorang sebagai persona untuk bertindak atas cara tertentu, dalam situasi tertentu berdasarkan penilaian tertentu.
2.2.4                                Kewajiban dan Nilai Moral
Sejak dua abad terakhir gagasan tentang kewajiban memainkan peranan sangat penting dalam filsafat moral. Hal ini merupakan jasa Immanuel Kant yang menegaskan kewajiban sebagai ciri hakiki dari kebaikan moral. Perbuatan baik adalah perbuatan yang dilaksanakan karena kewajiban.
Tingkah laku dan bahasa manusia memperlihatkan bahwa ada kewajiban dalam hidup. Dalam kehidupan praktis manusia dikuasai, diarahkan oleh norma, aturan tertentu yang berasal dari dalam diri sendiri. Ini bukanlah dorongan keinginan sebab norma itu sering bertentangan dengan kecenderungan dan tuntutan naluri. Selain itu, dorongan itu bukanlah keharusan fisik. Seseorang bisa saja mengabaikan norma-norma itu tetapi dengan itu ia akan dihukum. Hukuman itu bukanlah sesuatu yang berasal dari luar melainkan dari dalam diri sendiri. Pada orang dewasa kewajiban yang berasal dari dalam diri itu adalah suara hati yang berperan sebagai pembimbing dan hakim yang menilai.
Kewajiban terungkap dalam bentuk keharusan tetapi bukan keharusan fisik. Kesadaran akan kebebasan membedakan keharusan moral dari keharusan fisik. Dalam keharusan fisik orang berbicara tentang determinisme. Determinisme pertama-tama merupakan sifat yang menandai alam material di mana kejadian-kejadian dalam alam saling berkaitan satu sama lain menurut aturan satu sesudah yang lain dan urutan sebab-akibat. Dalam bidang moral determinisme menegaskan bahwa semua tindakan manusia ditentukan oleh antesenden-antesenden atau faktor-faktor yang mendahului tertentu sehingga manusia tidak bebas untuk menentukan sikap. Berbeda dengan keharusan fisik, keharusan moral berkaitan dengan determinasi diri di mana manusia bertindak berdasarkan keputusan bebas yang ditentukannya sendiri berdasarkan motif dan alasan rasional.
Kewajiban moral tidak dipaksakan dari luar tetapi diperintahkan dari dalam oleh hati nurani. Kewajiban itu hanya bisa dipenuhi dalam kebebasan dan pelaksanaannya bersifat membebaskan karena menyempurnakan pribadi manusia. Karena itu, kewajiban itu berhubungan dengan humanisasi seseorang.
Kewajiban moral selalu berkaitan dengan nilai moral. Kewajiban moral terungkap dalam prinsip dasar “yang baik harus dilakukan”. Hal ini berarti  sesuatu itu diwajibkan karena baik dan bukan sebaliknya yakni sesuatu itu menjadi baik karena diwajibkan. Prinsip dasar ini selanjutnya dirumuskan lebih eksplisit lagi yakni “yang baik harus dilakukan dan yang buruk harus dihindari”. Prinsip ini menegaskan bahwa melaksanakan kewajiban moral yaitu melakukan yang baik adalah tugas khas bahkan merupakan panggilan manusia sebagai manusia. Dengan demikian, prinsip ini sama sekali tidak berarti orang menjadi puas karena tidak melakukan yang buruk sebab ideal hidup moral bukannya “mempertahankan diri” agar tidak melakukan yang buruk melainkan “menghasilkan buah” atau mewujudkan diri dengan bertindak.
2.2.5                                Makna Nilai
Nilai moral memiliki makna-maknanya yakni nilai sebagai kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan, nilai sebagai obyek suatu kepentingan dan nilai sebagai esensi. [38]
a.                  Nilai : Kualitas Empiris Yang Tidak Dapat Didefinisikan
Kualitas adalah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek. Kualitas adalah segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu melukiskannya. Kualitas empiris adalah kualitas yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman.[39]  Jika nilai merupakan suatu kualitas obyek atau perbuatan tertentu maka obyek dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan nilai-nilai tetapi tidak mungkin sebaliknya. Misalnya “saya dapat mengatakan bahwa pisang itu kuning” tetapi tidak mungkin saya mengatakan bahwa “kuning itu pisang”. Paham yang mengatakan bahwa nilai merupakan kualitas empiris berarti bahwa seseorang dapat mengalami dan memahami secara langsung kualitas yang bersangkutan yang terdapat pada suatu obyek tertentu. Dengan demikian, suatu obyek yang indah terlihat indah atau keindahan secara akali langsung dipahami sebagai kualitas suatu obyek.
Kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti nilai tidak bisa dipahami. Bila seseorang mengatakan “kuning tidak dapat didefinisikan” maka yang ia maksudkan ialah bahwa warna kuning tidak dapat dipulangkan kepada suatu hal yang lain tetapi harus dialami. Misalnya “dua orang pemuda diperkenalkan kepada seorang gadis. Pemuda A mengatakan kalau gadis itu cantik sedangkan pemuda B mengatakan kalau gadis itu jelek”. Dalam hal seperti ini bagaimanakah caranya untuk memperoleh kesepakatan ? karena itu jelaslah bahwa jika nilai itu bersifat subyektif maka sesungguhnya dalam hal ini tidak terdapat ketidaksepakatan dalam arti sebenarnya karena kedua pemuda di atas mengatakan bagaimana gadis itu nampak bagi keduanya.

b.                  Nilai sebagai Obyek suatu Kepentingan
Nilai adalah kepentingan. Setiap obyek yang ada dalam kenyataan maupun dalam pikiran setiap perbuatan yang dilakukan maupun yang dipikirkan dapat memperoleh nilai jika pada suatu saat berhubungan dengan subyek-subyek yang mempunyai kepentingan. Dengan kata lain, jika seseorang mempunyai kepentingan pada suatu apa pun maka hal tersebut mempunyai nilai. [40]
Pemahaman di atas menempatkan segenap nilai sepenuhya dalam kedudukan yang ditentukan oleh manusia. Artinya bagi orang yang tidak mempunyai kepentingan pada kesusilaan, misalnya, maka itu berarti etika tidak bernilai atau bagi orang yang tidak mempunyai kepentingan pada keadilan maka keadilan itu tidak bernilai. Tetapi dalam kenyataannya orang dapat merasa bahwa kebenaran, kebaikan dan keadilan mempunyai nilai atau bernilai tanpa mengingat ada atau tidaknya kepentingan seseorang terhadap hal-hal tersebut.
Pemahaman mengenai perbedaan dalam macam-macam nilai seharusnya menyebabkan orang mengadakan pembedaan pula mengenai macam-macam kepentingan. Pastilah ada sejumlah kepentingan yang hakiki bagi seluruh umat manusia untuk segala zaman dan ada pula sejumlah kepentingan yang bersifat sementara. Jenis kepentingan pertama menimbulkan nilai-nilai yang abadi sedangkan jenis kepentingan yang bersifat sementara menimbulkan nilai-nilai instrumental. Dengan cara berpikir yang demikian berarti bahwa nilai-nilai tetap berhubungan dengan kepentingan-kepentingan tetapi tidak dipandang menurut kemauan pribadi dan seluruhnya bersifat nisbi atau tidak dipandang semata-mata bersifat subyektif.
c.                   Nilai sebagai Esensi
Nilai-nilai ada dalam kenyataan tetapi tidak bereksistensi. Ia mendasari sesuatu dan bersifat tetap. Nilai adalah esensi yang terkandung dalam sesuatu dan dalam perbuatan. Sebagai esensi nilai tidak bereksistensi tetapi ada dalam kenyataan.
Esensi bukan merupakan kualitas. Esensi tidak dapat ditangkap secara inderawi. Ini berarti bahwa memahami nilai tidak dapat dilakukan sebagaimana seseorang memahami suatu warna. Nilai-nilai dipahami secara langsung melalui apa yang disebut sebagai “indera nilai”. Pengetahuan mengenai nilai bersifat a priori  dalam arti tidak tergantung pada pengalaman. Nilai-nilai diketahui secara langsung baik orang dapat menangkapnya ataupun tidak dapat menangkapnya. Mencoba menunjukkan nilai yang terdapat dalam suatu obyek atau suatu perbuatan kepada seseorang yang tidak mempunyai pengalaman tentang nilai sama sulitnya dengan mencoba menunjukkan warna kepada orang buta.
Nilai-nilai memang harus dipahami atau jika tidak demikian tidak akan dapat diketahui sama sekali. Sesuatu yang bernilai tidak hanya seharusnya ada tetapi juga diketahui dan diwujudkan. Jika kesehatan memang merupakan sesuatu yang baik dan harus ada maka seandainya seseorang dalam keadaan tidak sehat itu berarti ia harus berusaha mewujudkan kesehatannya. Nilai itu memberi makna kepada eksistensi dan manusia berusaha mewujudkan nilai-nilai itu.
2.2.6                                Berhubungan dengan Tanggung Jawab
            Dalam bidang antropologi moral, kategori tanggung jawab merupakan unsur terpenting. Hanya tingkah laku yang bertanggung jawab dikenal sebagai tingkah laku moral. Ciri moral suatu tindakan tak terlepas dari tindakan bertanggung jawab.
            Pada umumnya terdapat 3 (tiga) unsur penting dalam menentukan kadar tanggung jawab moral seseorang atas tindakannya, yaitu: [41]
1.             Unsur afektif. Unsur ini termasuk bagian hakiki dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Tindakan manusia lahir dari iklim kejiwaan seseorang. Tatanan afektif tindakan manusia tidak hanya bersifat sentimental tetapi sungguh mencerminkan kesatuan dalam diri manusia. Dimensi ini mengungkapkan keserasian dalam diri manusia.
2.             Unsur pengetahuan. Pengetahuan adalah bagian penting yang menentukan kadar tanggung jawab seseorang dalam tindakan moral. Unsur ini menyangkut campur tangan akal budi manusia. Tiap tindakan yang bertanggung jawab harus melibatkan unsur “pengetahuan” yang berkesadaran sebab tindakan manusia adalah milik pribadi seseorang. Unsur pengetahuan ini mencakup perhatian, pertimbangan mendalam dan masih dalam batas terkontrol. Pengetahuan yang dimaksudkan di sini tidak hanya mengacu pada kebenaran secara umum tetapi lebih dalam arti pengetahuan akan nilai-nilai moral
3.             Unsur kehendak. Unsur ini ikut menentukan kadar tanggung jawab seseorang dalam perbuatan yang dilakukannya. Unsur ini memberikan makna kepada unsur-unsur lain dalam perbuatan. Unsur ini berasal dari dalam diri manusia.

            Karena itu, suatu tindakan dikatakan tindakan yang bertanggung jawab jika tindakan itu mengandung pengetahuan, pertimbangan rasional dan keputusan berdasarkan kehendak. Unsur kehendak menunjuk pada dimensi kebebasan seseorang untuk berbuat sesuatu.
2.2.7                                Berhubungan dengan Hati Nurani
Hati nurani yang sering disebut juga suara hati atau suara batin dalam bahasa Latin disebut Conscientia. Kata ini dalam bahasa Indonesia berarti kesadaran. Kesadaran yang dimaksud adalah kemampuan untuk mengenal diri, kesanggupan untuk membuat refleksi tentang diri. Manusia tidak hanya mengenal sesuatu tetapi ia juga tahu bahwa dialah yang mengenal. Dalam pengenalan manusia ada semacam penggandaan. Penggandaan ini berarti bahwa dalam proses pengenalan manusi, manusia tidak hanya berperan sebagai subyek tetapi juga sebagai obyek.
Kata conscientia berasal dari kata kerja scire yang berarti mengetahui dan awalan con yang berarti turut atau bersama dengan. Dengan demikian conscientia yang secara harafiah berarti “turut mengetahui” mengingatkan pada gejala penggandaan tadi bahwa “bukan saja saya mengenal seseorang tetapi saya juga turut mengetahui bahwa sayalah yang mengenal. Sambil mengenal, saya (subyek) sadar akan diri (obyek) sebagai subyek yang mengenal”. [42]
2.2.7.1              Arti Hati Nurani
Hati nurani dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas,  hati nurani berarti suatu bentuk pengetahuan, sedangkan dalam arti sempit hati nurani bukan sekedar pengetahuan akan nilai moral secara moral. Hati nurani adalah kesadaran paling pribadi (timbul dari pusat kemandirian manusia) dan spontan (berlangsung secara intuitif) dalam situasi konkret mengenai nilai baik-buruknya perbuatan yang sudah dilakukan atau yang akan dilakukan.[43] Hati nurani adalah pengetahuan praktis yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang sudah terbiasa tentang nilai moral. Pengertian hati nurani dapat dijelaskan dalam arti luas dan sempit.
1.        Dalam Arti Luas
Hati nurani berarti suatu bentuk pengetahuan. Tetapi pengetahuan ini tidak bersifat teoretis tetapi pengetahuan praktis yang dihayati langsung dalam perbuatan. Pengetahuan ini terbiasa melaksanakan kewajiban moral dalam hidupnya. Semakin seseorang mentaati kewajiban moral dalam hidupnya semakin ia terbuka dan peka dalam kesadarannya akan nilai moral. Yang berperan utama dalam pengetahuan teoretis adalah intelek (intellectus) sedangkan pengetahuan praktis serentak melibatkan perasaan (affectio), pikiran (intellectus) dan kehendak (volitio). Sehubungan dengan ini maka hati nurani pertama-tama berkaitan dengan perasaan yang halus dan peka terhadap nilai. Perasaan itu disinari oleh terang akal budi yang bisa mempertanggungjawabkan bahwa nilai itu baik. Dan semakin orang terbiasa melakukan apa yang baik dan menghindari apa yang buruk maka kehendaknya semakin cenderung ke arah yang baik. Dalam kesadaran moral kedua jenis pengetahuan ini berhubungan erat. Pengetahuan teoretis mengenai nilai moral harus bertolak dari pengetahuan praktis sebab jika tidak demikian maka pengetahuan teoretis akan kosong. Sebaliknya pengetahuan praktis harus lebih dijelaskan, dieksplisitasi dan diberi pertanggungjawaban oleh pengetahuan teoretis.
2.        Dalam arti sempit hati nurani bukan sekedar pengetahuan akan nilai moral secara moral. Hati nurani adalah kesadaran paling pribadi (timbul dari pusat kemandirian manusia) dan spontan (berlangsung secara intuitif) dalam situasi konkret mengenai nilai baik-buruknya perbuatan yang sudah dilakukan atau yang akan dilakukan. Satu hal yang menarik dari hati nurani adalah di satu pihak ia muncul secara spontan dari kedalaman diri. Dalam hal ini hati nurani bersifat personal selalu berkaitan dengan diri pribadi. Hati nurani berkembang sejalan dengan perkembangan diri. Hati nurani juga bisa melampaui diri karena manusia sebagai diri tidak merencanakan hati nurani menurut kemauan pribadi sendiri. Hati nurani adalah suatu hal yang mengevaluasi, mengadili, memerintahkan dalam situasi konkret berhubungan dengan tindakan yang dilakukan seseorang. Dalam hal ini hati nurani bersifat adipersonal karena berperan seolah-olah sebagai suatu distansi yang ada di atas diri. Hal ini diperjelas dengan istilah hati nurani yaitu “hati yang diterangi” (Nur : Cahaya). Dalam pengalaman konkret mengenai hati nurani seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati untuk melihat dengan lebih jelas tindakan yang telah dilakukan.


2.2.7.2              Fungsi Hati Nurani
Hati nurani dibedakan atas dua, yakni conscientia consequens dan conscientia antecendens.
1.        Conscientia consequens ialah hati nurani yang menyusuli sebuah tindakan. Hati nurani dalam fungsi ini disebut juga hati nurani retrospektif yang memberikan penilaian tentang perbuatan yang telah dilakukan. Hati nurani seolah-olah menoleh ke belakang (retrospeksi) dan menilai perbuatan yang telah berlangsung. Dalam fungsi ini secara positif hati nurani membenarkan tindakan seseorang, menyebabkan rasa gembira dan rasa bahagia yang mendalam karena perbuatannya dianggap baik. Secara negatif hati nurani ini menuduh, mencela dan mempersalahkan tindakan sendiri karena tidak setia terhadap kewajiban moral, karena perbuatannya jelek. Terhadap kesalahan moral hati nurani dapat menimbulkan rasa sedih dan sesal yang menuntut orang untuk bertobat.
2.        Conscientia antecendens adalah hati nurani yang berfungsi dalam situasi yang mendahului sebuah tindakan. Conscientia antecendens disebut juga hati nurani prospektif karena ia melihat ke masa depan dan mengevaluasi perbuatan yang akan dilakukan. Hati nurani dalam fungsi ini mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu. Hati nurani prospektif ini tidak boleh dilawan. Hati nurani ini sering disebut sebagai hati nurani dalam arti yang sesungguhnya.

Walaupun dibedakan dua fungsi hati nurani namun ini tidak berarti bahwa ada dua instansi yang berbeda. Dalam kenyataannya hanya ada satu hati nurani yang sama yang memainkan peranan baik sebelum maupun sesudah seseorang melakukan suatu perbuatan.
2.2.7.3              Hati Nurani : Norma Terakhir bagi Subyek
Hati nurani berkaitan dengan rasio praktis yang memutuskan tentang kebenaran dan kesalahan suatu actus humanus dalam situasi konkret. Hati nurani memberi apresiasi, putusan nilai. Dalam logika sering didefinisikan bahwa putusan sebagai tindakan akal budi yang menegaskan atau menyangkal sesuatu tentang sesuatu. Kebenaran dan kesalahan hanya ada dalam dalam putusan. Maka dalam putusan hati nurani ada unsur benar dan salah. Unsur-unsur itu bersifat obyektif, dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Hati nurani bersifat sangat konkret. Ia mengatakan kepada seseorang apa yang harus dilakukan atau dihindari hic et nunc. Putusan hati nurani menjembatani prinsip-prinsip moral yang umum dan suatu perbuatan konkret dan individual.
Hati nurani bersifat intuitif dalam arti langsung menyatakan bahwa suatu perbuatan konkret dan individual adalah baik dan boleh dikerjakan atau buruk dan karena itu harus dihindari. Dengan hati nurani manusia tampil sebagai hakim yang menjatuhkan putusan atas perbuatannya sendiri. Manusia menghakimi diri dalam perbuatannya. Mengikuti putusan hati nurani merupakan hak dasar setiap orang dan tidak seorang pun yang berwenang untuk mencampuri putusan hati nurani orang lain. Hati nurani sebagai kesadaran akan kewajiban untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat merupakan norma terakhir bagi perbuatan seseorang. Inilah norma moral subyektif tertinggi. Hati nurani adalah pangkal otonomi, pusat kemandirian. Hati nurani menyadarkan bahwa seseorang berhak untuk mengambil sikap sendiri dan bahwa segala kewajiban yang dibebankan dari luar ada batasnya.















BAB III
KEHORMATAN DAN KEJUJURAN
SEBAGAI NILAI MORAL (tingkat 2d)????????????????

            Cinta sesama sejati harus mencakup sikap menghormati nilai-nilai yang bersifat spiritual dan ideal. Cinta sesama akan mendukung nilai-nilai tersebut dan memelihara, mempertahankan serta menumbuhkembangkannya. Di samping harta kehidupan jasmani, yang termasuk  nilai-nilai spiritual dan ideal adalah kehormatan dan kejujuran.
Kehormatan adalah nilai penting untuk eksistensi manusia di dunia. Kehormatan memberikan kepada seseorang tempat yang pantas dalam penilaian manusia selaras dengan nilai sejatinya dan perannya dalam masyarakat. Kebenaran memungkinkan manusia hidup dan bertindak dalam keselarasan dengan kenyataan. Kejujuran adalah kebaikan yang mengindahkan kebenaran dalam setiap bentuknya dan memeliharanya dalam pergaulan dengan sesama. Nilai yang bertalian erat dengan kedua nilai tersebut adalah kesetiaan, yang membuat seorang manusia berpegang teguh secara jujur kepada keyakinan, kata-kata dan janjinya. [44]
3.1                          KEHORMATAN SEBAGAI NILAI MORAL
3.1.1                                Hakikat dan Pendasaran Kehormatan
Nilai kehormatan terletak dalam pengakuan akan martabat pribadi, bukan saja dengan persetujuan batin, melainkan juga melalui sikap dan tingkah laku. Dalam arti yang lebih luas, kehormatan adalah penghargaan seseorang terhadap diri sendiri, hal yang membuatnya setia terhadap diri, dan itu berarti setia pada keyakinannya, kata-katanya dan diri yang lebih baik. Inilah yang dimaksudkan bila seseorang disebut sebagai pribadi yang patut dihormati. Bentuk paling mulia dari kehormatan adalah kehormatan moral. Kehormatan diberikan untuk pribadi yang secara moral tak tercela dan menghormati nilai-nilai moral.
Dasar kehormatan adalah kesempurnaan, kebaikan dan kesucian seorang pribadi. Penghormatan tertinggi di kalangan ciptaan material diberikan kepada manusia karena dia merupakan gambaran Allah. Semakin citra Allah terwujud dalam satu pribadi dan semakin pribadi itu merupakan anak Allah, maka semakin tinggi pula penghormatan yang harus diberikan kepadanya. Kepasrahan dan sembah bakti tulus seorang manusia kepada Allah layak mendapat penghormatan lebih besar daripada kualitas kodrati keindahan, inteligensi, daya jasmani atau kekayaan material.
Penghormatan adalah harta sosial yang penting. Suatu masyarakat yang tidak saling menghormati akan kehilangan ikatan sosial dan tidak mampu menuntut yang terbaik dari anggotanya. Setiap pribadi membutuhkan penghormatan agar dapat mengabdi pada masyarakat dan menghasilkan buah melalui karyanya di tengah masyarakat. Kehormatan juga memiliki peran penting secara pedagogis. Pengakuan dan penghargaan atas jasa yang telah dihasilkan seseorang merupakan suatu dukungan moral yang maha penting.
3.1.2                                Kewajiban Utama Menyangkut Kehormatan
3.1.2.1                          Mengindahkan Kehormatan Diri Sendiri
Nama baik adalah harta paling tinggi di antara harta fana. Setiap orang harus berusaha untuk memelihara nama baiknya. Sebab pujian manusia tidak dapat diusahakan demi diri sendiri. Apabila seseorang melakukan perbuatan baik hanya demi mendapat kehormatan lahiriah sementara ia tidak memiliki cinta yang tulus terhadap Allah dan sesama, maka tidak ada kebajikan di dalam sikapnya.
Kepedulian penuh tanggung jawab terhadap kehormatan diri sendiri dibenarkan dan kerapkali bahkan merupakan kewajiban. Sikap tersebut merupakan bagian yang sah dari cinta diri yang sehat. Kewajiban untuk memelihara kehormatan tidak berarti keharusan untuk mempertahankannya secara picik. Gangguan kecil yang tidak terlalu merusakkan kehormatan sebaiknya diabaikan saja. Namun, satu pribadi mempunyai hak dan kerapkali kewajiban untuk membela diri terhadap serangan tidak adil yang sangat merusakkan kehormatannya. Sebaliknya, dalam rangka mempertahankan kehormatannya, seseorang tidak boleh melampaui batas-batas pertahanan diri yang wajar dan benar dan harus membatasi dirinya pada apa yang perlu dan sepadan untuk menghadapi fitnah.
Makna sejati dari kehormatan seharusnya menghindarkan seseorang dari bualan mencari pengakuan akan kebajikan yang dalam  kenyataan tidak pernah dimilikinya atau bukan merupakan prestasinya. Kehormatan yang tidak layak diperoleh harus menjadi alasan untuk merasa malu dan bukannya malah bergembira. Mencari kehormatan secara berlebihan adalah dosa akibat ambisi yang kacau. Mencari kehormatan diri dengan melanggar penghormatan terhadap Tuhan, hak orang lain dan kepentinganumum merupakan dosa berat.

3.1.2.2                          Penghormatan Terhadap Sesama
Keadilan menuntut bahwa kita harus memperhatikan k ehormatan orang lain yang berhak menerima kehormatan itu. Seseorang yang berhati mulia sangat royal dalam memberikan pujian. Ia tidak menanti hingga dihormati, tetapi selalu enteng dan berbesar hati memberikan penghormatan kepada orang lain.
Penghormatan terhadap orang lain dapat diungkapkan dalam berbagai cara, seperti bersikap sopan santun, memberikan pujian dan pengakuan, memberikan kesaksian yang baik tentang orang lain, dan sebagainya. Tidak seorang pun dilecehkan karena cacat atau karena kemiskinannya. Yang buta dan lumpuh layak mendapat penghormatan sebagaimana mereka yang sehat dan kuat. Kaum miskin sebagaimana juga orang kaya, sejauh mereka menjalani hidup yang jujur layak mendapat penghormatan.
3.1.2.3                          Pelayanan dan Kewajiban untuk Mengoreksi
Kekurangan dan kelemahan adalah faktor-faktor yang merugikan kehormatan secara pribadi, dan sekaligus mendatangkan kerugian bagi orang lain. Membantu sesama untuk menyadari dan mengoreksinya sungguh-sungguh merupakan karya cinta kasih. Koreksi penuh persaudaraan merupakan karya istimewa dari cinta kasih kepada sesama. Koreksi persaudaraan adalah petunjuk seseorang tentang kesalahan yang dilakukan sesama untuk menjauhkan dia dari kesalahan. Koreksi seperti ini bersifat privat dan bukan pengadilan.
Dasar terdalam kewajiban untuk memberikan peringatan individual sebagaimana juga kritik sosial adalah kewajiban untuk mengelakkan kejahatan dari sesama dan persekutuan, dan memampukannya untuk mengejar panggilan mereka dan meningkatkan kemuliaan Allah. Suatu peringatan acapkali dituntut oleh hak dan kewajiban untuk mempertahankan orang lain atau diri.
Setiap orang juga memiliki kewajiban untuk menerima teguran dan berusaha memperbaiki kekurangan dan kekeliruan. Orang-orang yang menolak teguran, yang memberikan reaksi yang sangat sensitif serta membalas dendam akan ditinggalkan, dan apabila kekeliruannya berkaitan dengan masalah yang sangat serius, maka akhirnya akan digunakan metode yanglebih keras dalam menghadapinya.
Obyek teguran persaudaraan adalah kesalahan sesama yang membawa kerugian untuk diri sendiri dan orang lain, terutama apabila kesalahan itu berkaitan dengan kejahatan yang lebih besar. Obyek kritik sosial adalah situasi dalam kelompok sosial, seperti kegagalan dalam memenuhi tugas bagi masyarakat, diskriminasi terhadap kaum minoritas, sikap memihak pada kaum berada dan tindakan melecehkan hak-hak asasi.
Teguran harus mungkin terwujud tanpa pengorbanan yang luar biasa. Tindakan memberikan peringatan atau teguran selalu membutuhkan upaya dan keberanian, dan karena itu merupakan bagian dari kewajiban. Hal ini berlandas pada kenyataan bahwa teguran terhadap orang lain acapkali mengandung resiko penolakan atau reaksi tidak sopan dari pihaknya, bahkan kalau teguran itu diberikan dengan cara yang benar. Teguran penuh persaudaraan harus dimotivasi oleh kepedulian yang tulus akan kepentingan sesama, dan bukan karena kejengkelan pribadi, karena marah atau balas dendam, karena kritik-kritik yang berasal dari alasan seperti itu tidak konstruktif.
3.1.3                                Pelanggaran Terhadap Kehormatan Sesama
Seorang pribadi dapat bersalah dalam bidang kehormatan dengan berpikir jahat tentang sesama. Pikiran benci adalah dosa yang kerap terjadi, tetapi agak diabaikan. Terutama prasangka yang gegabah melanggar kehormatan sesama.
Penghormatan terhadap sesama wajib diberikan jika ia layak memperolehnya dan tidak bersalah melakukan pelanggaran. Jika penghargaan seperti itu tidak diberikan, sekalipun hanya di dalam pikiran, maka hal itu merupakan suatu ketidakadilan.
3.1.3.1                          Mencaci-Maki dan Memfitnah serta Pencemaran Nama Baik
Cara-cara yang merugikan kehormatan, khususnya adalah mencaci-maki atau memfitnah, atau mencemarkan nama baik orang lain. Fitnah berarti menceritakan kekurangan yang tidak benar dengan kesadaran sepenuhnya bahwa hal itu salah. Salah satu bentuk fitnah adalah campuran dari kebenaran dan kesalahan. Pencemaran nama baik adalah perusakan secara tidak adil nama baik seseorang dengan mengumumkan kesalahan yang memang benar dilakukan, namun pada waktu sebelumnya menjadi sesuatu yang rahasia. Penghinaan dapat dilakukan dengan cara lain selain ungkapan kata-kata.
Lidah jahat merupakan yang hal yang memuakkan. Lidah jahat dan pemfitnah dikutuk karena merusakkan kedamaian banyak orang. Makian dan umpatan merupakan suatu bentuk perampokan terhadap hak orang lain. Perampokan itu merupakan dosa ketidakadilan. Fitnah merupakan dosa terhadap keadilan dan kebenaran, karena fitnah itu mengenakan kesalahan kepada sesama yang sebenarnya tidak dilakukannya. Karena itu, hak atas nama baik yang berlandas pada kebenaran adalah hak mutlak dan umum. Kebenaran dan keadilan menuntut bahwa seorang pribadi yang dalam kenyataannya sebagai seorang yang baik tidak boleh dipojokkan sebagai pribadi yang buruk. Pencemaran nama baik merupakan ketidakadilan apabila kesalahan yang digugat hanya merupakan kekecualian dan kelemahan yang sesekali terjadi. Pencemaran nama baik umumnya ditandai oleh sikap melebih-lebihkan persoalan. Akibat negatif yang sering muncul pada korban pencemaran nama baik adalah kenyataan bahwa semangat mereka dalam perjuangan moral menurun atau bahkan berhenti sama sekali, karena apa pun perjuangannya tetap saja posisi moralnya dalam pendapat umum sudah jatuh.
Pencemaran nama baik adalah dosa yang lebih berat dari pencurian, karena nama baik lebih tinggi dari kekayaan. Bobot keseriusannya tergantung dari kerugian yang bakal timbul untuk kehormatan seorang pribadi, penderitaan yang bakal ditanggungnya, kerugian untuk pekerjaannya, dan mungkin juga kerugian material (misalnya hilangnya lapangan kerja). Karena itu, meskipun seseorang itu kehilangan nama baik dalam satu hal, namun ia tetap dapat memiliki hak untuk dihargai dalam hal lain.
3.1.3.2                          Pemulihan Nama Baik
Pemulihan dari kerugian yang ditimbulkan secara tidak adil merupakan kewajiban keadilan dan cinta. Hal ini berlaku untuk semua orang yang telah melanggar kehormatan sesama. Mereka mesti berusaha sejauh kemampuan untuk mengganti kerugian yang telah ditimpakan pada nama baik pribadi korban, dan semua kerugian material yang timbul darinya.
Pemulihan dari makian dan umpatan mesti dibuat secara publik atau privat, tergantung dari kenyataan entah makian itu bersifat  publik atau privat. Pemulihan itu dapat dilakukan oleh pelaku sendiri atau melalui pribadi perantara. Permintaan maaf dapat dikirim secara tertulis apabila pihak yang bersalah tidak dapat tampil di depan korban. Pemulihan harus terjadi dengan cara yang mengungkapkan secara jelas penyesalan dan penghormatan terhadap pribadi yang dilukai.
Pemulihan dalam kasus pemfitnahan menuntut bahwa tuduhan yang salah harus ditarik kembali secara jelas. Kesaksian palsu di depan pengadilan harus ditarik kembali, kalau kerugian tidak dapat diatasi dengan cara lain. Pencemar nama baik tidak bisa menarik kembali tuduhannya karena ia benar.
3.2                          KEJUJURAN (Cinta akan Kebenaran)
Sebuah pernyataan atau pemikiran disebut sebagai yang benar apabila pernyataan tersebut selaras dengan kenyataan atau keyakinan batin dan pengetahuan seorang pribadi.
Secara etimologis, kata bahasa Ibrani untuk kebenaran atau emeth. Akar kata emeth adalah aman yang berarti dapat dipercayai, diandalkan, teguh. Maka, kata emeth dekat dengan konsep kesetiaan. Apabila emeth digunakan untuk Allah, maka hal itu berarti bahwa Allah setia dan dapat dipercayai. Apabila kita berbicara tentang kebenaran manusia, maka itu berarti kesetiaan manusia terhadap Allah. Selain itu, emeth juga mengungkapkan hubungan kesetiaan antara manusia.
3.2.1                                Kebajikan Cinta Kebenaran dan Kewajibannya
Cinta kebenaran adalah keterarahan budi dalam mengakui kebenaran sebagai sebuah nilai yang senantiasa menjadi titik pusat perhatian. Bersikap benar adalah sikap utama yang membuat manusia untuk :
1.      sedapat mungkin terbuka kepada kebenaran
2.      mutlak bertindak selaras dengan kebenaran dalam perilakunya
3.      dan kesediaan untuk mensharingkan kebenaran kepada yang lain.
Bersikap benar pada hakikatnya adalah reseptivitas (tunduk pada keberadaan, kesediaan untuk menerima realitas). Kebenaran tidak dihasilkan oleh manusia, tetapi manusia harus dibentuk oleh kebenaran dan membiarkan dirinya dikuasai oleh kebenaran. Cinta kebenaran pada hakikatnya berarti bahwa orang dikuasai oleh sumber kebenaran dan keberadaan, yakni Allah yang merupakan kebenaran itu sendiri dalam artinya yang paling dalam.
Tuntutan bersikap benar berlandas pada kenyataan bahwa tanpa kebenaran tidak mungkin terwujud perkembangan wajar pribadi manusia, kehidupan sosial dan agama. Pengetahuan dan pengakuan atas realitas merupakan landasan mutlak bagi tindakan tepat guna dan berdaya guna.
3.2.1.1                          Bersikap Benar di dalam Pikiran
Untuk mencapai sikap mencintai kebenaran, manusia pertama-tama harus benar di dalam pikirannya. Ia harus menerima kebenaran yang terbuka baginya dengan berbagai cara, dan harus mencarinya dengan sepenuh hati. Kewajiban mencari kebenaran pertama-tama menyangkut keberadaan manusia sendiri, menyangkut tugas yang diberikan kepadanya di dalam dunia ini, dan dasar keberadaannya yakni Allah yang memberikan makna tertinggi pada kehidupannya.
Kewajiban mencari dan menerima kebenaran merupakan kewajiban utama. Tuntutan mendasar dari hal bersikap benar adalah kebenaran untuk menghadapi kebenaran dalam keberadaan kita sendiri. Hal ini menuntut keberanian untuk menerima diri dan secara jujur mengakui batas-batasnya. Inilah yang disebut sebagai ketulusan, di mana ketulusan batin mengandaikan penyangkalan diri yang penuh kerendahan hati dan bebas dari sikap angkuh. Etika kejujuran atau bersikap benar harus juga mengindahkan hukum-hukum tatanan obyektif dan kenyataan dunia.
3.2.1.2                          Berlaku Benar dalam Tindakan
Tindakan seseorang haruslah jujur. Tindakannya harus selaras dengan prinsip-prinsip yang dimiliki pribadi itu dan yang dianutnya. Berlaku benar dalam perbuatan berarti bahwa seseorang bertindak selaras dengan pikiran dan kata-katanya. Karena itu, setiap perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran yang dikenal dan keyakinan iman adalah tidak jujur. Misalnya kemunafikan yang bertentangan dengan kebenaran, karena sikap laku luar orang munafik memperlihatkan perbuatan baik, sementara motivasi sesungguhnya bersifat lain.
Bertindak benar menuntut bahwa seseorang menghadapi situasi tak menyenangkan dan tidak lari dari dirinya. Kejujuran menuntut dari seseorang agar terbuka terhadap kritik orang lain tanpa rasa antipati dan keinginan balas dendam. Manusia tulus dan jujur menerima dengan serius pendapat orang lain, dan bersedia mengakui kekeliruan dan kesalahannya.
3.2.1.3                          Kejujuran dalam Perkataan
Kata-kata lisan dalam cara tertentu harus merupakan ungkapan kata-kata dan pengetahuan batin. Kejujuran dalam kata-kata menuntut apa yang diungkapkan dalam perkataan harus selaras dan serasi dengan pemikiran dan pengetahuan dalam hati seseorang.
Kejujuran dalam kata-kata adalah tuntutan keadilan, sikap hormat dan cinta kasih. Sementara lawannya adalah dusta, tidak saja menyembunyikan kebenaran bagi orang lain, tetapi membuat orang itu percaya pada apa yang tidak benar, membuatnya terjebak di dalam kesalahan. Ia menerima fakta-fakta dan mengandalkannya sebagai yang pasti yang sebenarnya dalam kenyataan tidak ada. Setiap dusta memperlakukan orang lain seolah-olah tidak layak atau tidak berhak untuk menerima kebenaran. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap martabat orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai dan hak yang sama.
Kejujuran tidak saja bertentangan dengan dusta yang gamblang, tetapi juga dengan kemunafikan, sanjungan yang menjilat dan pujian berlebihan. Sanjungan yang menjilat merupakan pelanggaran berat apabila menjadi jaran ke arah kejahatan. Apabila tujuannya hanya untuk menyenangkan orang lain atau  mencapai keuntungan yang halal, maka pelanggaran itu kurang berat walaupun tetap bersifat tidak benar.


3.2.2                                Dusta dan Sikap Menyembunyikan Kebenaran Yang Diizinkan
Dusta adalah pernyataan yang bertentangan dengan keyakinan batin dan pengetahuan seseorang. Atau dusta merupakan pembicaraan yang bertentangan dengan apa yang dipikirkan (locutio contra mentem). Dusta (mendacium) juga didefinisikan sebagai pembicaraan yang tidak benar yang melanggar hak lawan bicara atas kebenaran. Maka, pembicaraan tidak benar yang tidak melanggar hak atas kebenaran bukanlah dusta. Pembicaraan itu disebut salah (falsiloquium), dan tidak dilihat sebagai pelanggaran terhadap kebenaran. [45] 
Orang kafir di zaman kuno tidak mengenal kewajiban menyangkut kebenaran mutlak. Dusta diperbolehkan dan kadang-kadang bahkan dituntut demi  kebaikan yang lebih tinggi. Aristoteles  [46] kerapkali disebut sebagai kekecualiaan. Ia memuji orang yang perkataannya benar apabila tidak menarik keuntungan dari kata-katanya. Namun, para penafsir tidak sependapat, apakah dengan itu ia mau secara mutlak menutup kemungkinan terhadap setiap penipuan atau dusta, meskipun misalnya kepentingan-kepentingan negara dipertaruhkan. Cicero secara agak umum menolak dusta. Ia mengecam dusta secara keras, baik dalam urusan privat maupun dalam urusan publik.
Pengaruh yang menentukan atas ajaran tentang dusta berasal dari Agustinus. Ia mendefinisikan dusta sebagai pernyataan palsu dengan tujuan untuk menipu, dan melihatnya sebagai buruk. Dusta dalam situasi apa pun dilarang. Pemikirannya ini didukung oleh Thomas Aquinas. Ia melihat dusta sebagai hal yang bertentangan dengan kodrat, dan karena itu di dalam dirinya buruk.





BAB IV
HAKIKAT MORAL DALAM PENDIDIKAN


4.1         Pengantar
Pendidikan moral berperan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang utuh. Sejalan dengan derap laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta arus reformasi sekarang ini, pembinaan moral semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh. Sekarang ini tampak ada gejala di kalangan anak muda bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka mengabaikan moral dalam tata krama pergaulan,yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab. Dalam era reformasi saat ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Misalnya perkelahian masal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat ibadah, dan sebagainya yang menimbulkan korban jiwa dan korban kemunusiaan.
Bangsa Indonesia saat ini mengalami proses pendangkalan nilai yang dimiliki serta dihayati dan dijunjung tinggi. Nilai-nilai itu kini bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh keserakahan, ketamakan, kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Dengan pergeseran fungsi dan kedudukan nilai itu, hidup dan kehidupan bermasyarakat dan berbahasa dirasakan semakin hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan, dan merasa tidak aman.
4.2              Pentingnya Moral dalam Pendidikan
Menurut Poespoprodjo, Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk,. Moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia. Kata amoral, nonmoral berarti bahwa tidak mempunyai hubungan dengan moral atau tidak mempunyai arti moral. Istilah imoral artinya moral buruk (buruk secara moral). Moralitas dapat obyektif atau juga subyektif. Moralitas obyektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak pelaku. Moralitas subyektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai individu.
Mutu pendidikan jangan hanya dinilai apakah seorang siswa berprestasi dari sisi akademis saja. Lebih dari itu, sisi moral juga perlu diperhatikan. Tanpa disertai akhlak yang baik, kemampuan pendidikan seorang siswa menjadi sia-sia saja. Mutu pendidikan saat ini memang tertinggal, namun kita harus bersama-sama yakin dengan dasar religi dan budaya yang kuat mampu mengangkat ketertinggalan.
Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari moralitas. Pendidikan yang baik terdiri dari moralitas yang baik. Barangkali itulah yang disadari para pendidik tempo dulu. Oleh karena itu, pelajaran budi pekerti menjadi salah satu pelajaran utama. Lalu, apa yang terjadi kini ? nampaknya bagi sebagian orang, pendidikan hanyalah sebuah teori tanpa tindakan, simbol tanpa makna.
Manusia sebagai makhluk individu dan sosial diharapkan mampu menjadikan dirinya sebagai subyek bukan obyek; produktif bukan konsumtif; kreatif bukan kompromis; dan berani bukan penakut. Tentu saja beberapa aspek tersebut labih efektif lagi sekiranya terbangun dalam diri pribadi bersama-sama secara fungsional. Bila demikian ia dapat terhindar dari rasa ketergantungan pada pihak lain yang tidak perlu dan harus terjadi. Disadari pula bahwa seseorang dalam kondisi apa pun lebih bermakna, sekiranya semua perilaku yang muncul dari dirinya searah dengan pribadinya. Dengan kata lain, setiap perilaku seyogyanya dilandasi komitmen diri yang teguh, sehingga terhindar dari sikap hipokret ( munafik). Dengan demikian, setiap perilaku lebih mudah untuk dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini pendidikan moral diharapkan mampu mengantarkan masyarakat menjadi individu yang sanggup mandiri serta siap mempertangungjawabkan dirinya di hadapan Tuhan, serta menjadikan individu yang lebih bermartabat.
4.3                     Moralitas Kaum Terpelajar
UU No 2/1989 (pasal 1) dengan gamblang mengungkapkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/ atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Dari konsep itu, jelas bahwa hakikat pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik lewat proses pendidikan agar mampu mengakses peran mereka di masa yang akan datang. Ini berarti, membekali peserta didik dengan keterampilan yang sangat dibutuhkan sesuai tuntutan zaman menjadi sebuah keniscayaan. Hal itu beranjak dari pesimisme prediksi bahwa seiring dengan meledaknya jumlah lulusan, mereka akan dihadapkan pada kesulitan mencari kesempatan kerja akibat tidak seimbangnya jumlah pencari kerja dengan lapangan kerja yang ada.
Soedjatmoko (Riwanto Tirtosudarmo, 1994:1) pernah melontarkan sinyalemen yang cukup mencemaskan bahwa menurut perhitungan manapun, kaum muda Asia harus menghadapi masa depan yang tidak jelas dan mencemaskan. Prediksi ini, jelas perlu dicermati agar kehadiran mereka tidak menjadi beban bangsa. Karena itu, sangat logis jika akhirnya pemerintah memprioritaskan iptek dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Anna Suhena menjelaskan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas dapat merebut peluang untuk hidup, sehingga kita tidak hanya sejajar, tetapi bisa berkompetisi dengan negara-negara lain, terutama menghadapi pasar bebas yang kompetitif. Dengan kata lain, kualitas sumber daya manusia merupakan "kata kunci" untuk membuka tabir kecemasan menghadapi tantangan ke depan. Tanpa prioritas di bidang iptek, sebagai pengejawantahan dari rekayasa peningkatan kualitas sumber daya manusia, Indonesia sulit memiliki daya saing handal di era global.
Pesimisme itu semakin menjadi masalah serius ketika ketersediaan lapangan kerja bagi tenaga produktif akan menjadi masalah serius di masa mendatang. Dalam wacana inilah kita paham bahwa prioritas di bidang iptek menjadi suatu keniscayaan, pada hakikatnya untuk menghadapi tantangan ke depan bagi bangsa kita yang terasa semakin krusial. Tanpa iptek, bangsa kita ibarat memakai kaca mata kuda yang apatis dan "miskin".
Persoalannya sekarang, jika pendidikan terlalu "berat sebelah" dengan menganakemaskan iptek, bukankah akan melahirkan manusia-manusia hipokrit yang kering "sentuhan" manusiawi, sehingga mudah tergoda oleh nafsu kebendawian dengan menghalalkan segala cara untuk memuaskan kebuasan hati dan keangkuhan nurani? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita kembali kepada hakikat dan makna pendidikan. Institusi atau sekolah sebagai wadah penjunjung tinggi moral bangsa - atau sebagai wadah rekayasa pendidikan - tetap bersiteguh pada konsep "memanusiakan" ma-nusia.
Meskipun kurikulum 1994 memiliki muatan iptek lebih, bukan berarti aspek humaniora sama sekali tidak disentuh. Dengan kata lain, pendidikan tetap mengarah pada upaya mempersiapkan peserta didik agar dapat menginternalisasi perannya di masa mendatang dengan pijakan moral yang kuat. Sehingga, nilai-nilai kepribadian yang bersumber pada keluhuran budi tetap menjadi noktah perhatian. Dengan demikian, kekhawatiran semakin tersingkirnya pendidikan humaniora tak perlu terjadi. Jika belakangan ini tengah merebak fenomena negatif seperti korupsi, kolusi, manipulasi, atau tingkah amoral lainnya, jangan lantas membuat kita menjadikan pendidikan sebagai kambing hitamnya. Jauh sebelum iptek menjadi fokus sentral pendidikan, tingkah amoral itu sudah merebak. Bahkan sudah menjadi fenomena "purba" sepanjang hayat peradaban manusia.
Persoalannya terletak pada moralitas personal masing-masing. Sudah menjadi kemestian bahwa moral menjadi basis rohaniah yang amat vital dalam setiap peradaban manusia. Betapa pun nyaris setiap waktu, setiap detik, kita diberi khotbah-khotbah kemanusiaan tentang makna kearifan hidup, jika dinding moralnya tipis, akan mudah terjebol desakan-desakan nafsu yang demikian deras arusnya. Tak pelak lagi, moralitas kaum terpelajar kita - sebagai produk pendidikan - diuji oleh hingar-bingar teknologi dengan segala imbasan pengiring dan implikasinya. Sebab, esensi iptek adalah membuat kehidupan umat manusia lebih berkualitas dan bermartabat. Jika kecanggihan teknologi disalahgunakan untuk kepentingan ambisi dan nafsu yang tidak manusiawi, simbol bahwa moralitas sebagai basis rohaniah tak lagi dimilikinya. Dengan bahasa lain, Indonesia sangat membutuhkan teknologi yang punya pijakan moralitas kuat agar kehidupan bangsa kita menjadi lebih berkualitas dan bermartabat, mampu bersaing di era global. Pendeknya, pendidikan kita tidak akan pernah mencetak teknolog-teknolog hipokrit yang tak berbudi. Sebab, pada prinsipnya iptek yang ideal akan membiaskan pancaran nilai kemanusiaan yang kuyup "sentuhan" nurani.
4.4         Pentingnya Pendidikan Moral/ Pendidikan Budi Pekerti
Kata moral identik dengan istilah etik, kesusilaan dan budi pekerti. Moral merupakan nilai tentangbaik-buruk kelakuan manusia. Oleh karena itu moral berkaitan dengan nilai terutama nilai afektif. Dengan demikian, pendidikan moral memiliki arti yang sama dengan istilah pendidikan etik, pendidikan budi pekerti, pendidikan nilai (value education) atau pendidikan afektif. Istilah lain adalah pendidikan watak dan pendidikan akhlak Dalam hal ini istilah-istilah  tersebut dapat saling menggantikan. Jadi, istilah ini tidak bisa lepas dari pengertian moral, nilai, budi pekerti, watak, akhlak atau afektif itu sendiri.
Menurut naskah kurikulum Pendidikan Budi Pekerti yang dikeluarkan oleh Puskur Depdiknas (2001) menyatakan bahwa pengertian pendidikan budi pekerti dapat ditinjau secara konsepsional dan secara operasional.  Secara konsepsional, pengertian pendidikan budi pekerti mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi  manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap  peranannya sekarang dan masa yang akan datang.
b. Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang (lahir batin, material spiritual dan individual sosial).
c. Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan latihan, serta keteladanan.

Adapun  pengertian pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal bagi masa depannya, agar  memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk, sehingga terbentuk pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa. Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
Hakikat dari Pendidikan Budi Pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah merupakan pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber pada budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan moral dapat disebut sebagai pendidikan nilai atau pendidikan afektif. Dalam hal ini hal-hal yang disampaikan dalam pendidikan moral adalah nilai-nilai yang termasuk domain afektif. Nilai-nilai afektif tersebut antara lain meliputi : perasaan, sikap, emosi, kemauan, keyakinan, dan kesadaran.
4.5         Pendekatan-Pendekatan dalam Pendidikan Moral
Pendekatan-pendekatan dalam pendidikan moral berkaitan dengan  bagaimana cara menyampaikan nilai-nilai moral itu kepada peserta didik. Terdapat berbagai klasifikasi yang dipakai para ahli pendidikan moral tentang pendekatan ini. Menurut Superka dalam Teuku Ramli (2001), dikenal adanya lima (5) jenis pendekatan dalam pendidikan budi pekerti, yaitu 
1.        Pendekatan Penanaman Nilai (inculcation approach)
2.        Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (cognitive moral developmentapproach)
3.        Pendekatan Analisis Nilai (values analysis approach)
4.        Pendekatan Klarifikasi Nilai (values clarification approach), dan
5.        Pendekatan Pembelajaran Berbuat  (action learning approach).
4.5.1        Pendekatan Penanaman Nilai (Inculcation Approach)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: 
1.         diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa;
2.         berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. 
4.5.2        Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development Approach)
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya.  Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi  Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama, yakni :
1.         membantu siswa dalam membuat pertimbangan  moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi.
2.         mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral. 
Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilemma moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok.  Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilemma. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya.

4.5.3        Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach)
Pendekatan analisis nilai  (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan  analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.  Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini.
1.             membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalahmasalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu.
2.             membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka.
Selanjutnya, metode-metode pengajaran yang  sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional. 
4.5.4        Pendekatan Klarifikasi Nilai (Values Clarification Approach)
Pendekatan klarifikasi nilai  (values clarification approach)  memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji  perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran  mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Teknik Klarifikasi nilai bermaksud menanamkan nilai kepada subyek didik dengan melalui kesadarannya sendiri. dapat dikatakan bahwa teknik ini mengikuti aliran konstruksivisme. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga.
1.         membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain
2.         membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri;
3.         membantu siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri 
Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog, menulis, diskusi dalam  kelompok besar atau kecil, dan lain-lain
4.5.5        Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
Pendekatan pembelajaran berbuat  (action learning approach)  memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.  Ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini.
1.         memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan mahupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri
2.         mendorong siswa  untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial  dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi. 
Metoda-metoda pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metoda-metoda lain yang digunakan juga adalah projek-projek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama. Klasifikasi lain menyatakan bahwa pendekatan dalam  pendidikan moral dibedakan menjadi tiga (3) yaitu;
a)      Pendekatan Lawrence Kolhberg disebut Cognitive Moral Development
b)      Pendekatan L Metccalf dan Iman al Ghozalli disebut  Affektive Moral Development
c)      Pendekatan Albert Bandura dan Skiner disebut  Behavior Moral Development
Pendidikan moral atau budi pekerti selanjutnya perlu diberikan di sekolah. Hal ini karena sekolah merupakan salah satu lingkungan pendidikan yang bertanggungjawab terhadap kedewasaan peserta didik. Dalam hal pemberian pendidikan budi pekerti di sekolah muncul perbedaan tentang modus pemberian pendidikan budi pekerti itu sendiri. Dalam modus pemberian pendidikan budi pekerti, para pakar berbeda pendapat. Pendapat  pertama, bahwa pendidikan budi pekerti diberikan berdiri sendiri sebagai suatu mata pelajaran. Pendapat  kedua, pendidikan budi pekerti diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran civics/PPKn, pendidikan agama, dan mata pelajaran lain yang relevan. Pendapat  ketiga, pendidikan budi pekerti terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran. 

BAB V
PENUTUP


            Pendidikan moral membantu peserta didik memperoleh kebajikan-kebajikan atau kebiasaan moral yang akan membantu mereka secara individu hidup yang baik dan pada saat yang sama menjadi produktif, member kontribusi kepada anggota-anggota komunitas mereka. Dalam pandangan ini, pendidikan moral harus memberikan kontribusi tidak hanya kepada peserta sebagai individu, tetapi juga untuk kohesi sosial masyarakat. Kata moral berasal dari akar bahasa Latin (mos, moris) dan berarti kode atau kebiasaan orang, lem sosial yang mendefinisikan bagaimana individu harus hidup bersama.
Dampak globalisasi telah menimbulkan transformasi nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. Kesadaran akan hak-hak personal seseorang semakin tinggi, kehidupan yang cenderung semakin individualis, semakin permisif, dan lunturnya nilai-nilai intrinsik. Moral kaum terdidik yang diwujudkan dalam berperilaku cenderung mengedepankan moral luck, moral scepticism, moral relativitism, yaitu moral yang cenderung subjektif yang menguntungkan pribadi. Sedangkan moral masyarakat non-terdidik lainnya dianggapnya citeris paribus. Masyarakat non-terdidik masih mengharapkan pencerahan, keteladan hidup, dan berbagi kehidupan yang lebih adil, merata, arif dan bijaksana dalam menuju suatu tatanan kehidupan bersama yang lebih baik dan lebih sejahtera, serta lebih mandiri. 







DAFTAR PUSTAKA


Armanjaya, Alex (penterj.), Etika Kristiani Jilid I- Pendasaran Moral, Maumere : Ledalero, 2002.
Atmaka, Dwija (penterj), Perkembangan Moral – Perkenalan dengan Piaget dan Kohlberg, Yogyakarta : Kanisius, 1982.
Bertens, K, Etika, Jakarta : Gramedia, 2004.
Ginting, Lukas (penterj.), Pendidikan Moral- Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Erlangga, 1990.
Hadiwardoyo, Al. Purwa, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta : Kanisius, 1990.
Higgins, Gregory C., Dilema Moral Zaman Ini, Yogyakarta : Kanisius, 2006.
Kieser, Bernhard, Moral Dasar – Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta : Kanisius, 1987.
--------------------, Moral Sosial – Keterlibatan Umat dalam Hidup Bermasyarakat, Yogyakarta : Kanisius, 1987.
Kurniantoro, Kakok. Dasar-Dasar Pendidikan. Malang : DIOMA, 1991.
M. Shelton, Charles, Moralitas Kaum Muda, Yogyakarta : Kanisius, 1987.
Magnis Suseno, Frans, dkk, Etika Sosial, Jakarta : Gramedia, 1989.
---------------------------------, Etika Umum- Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta : Kanisius, 1983.
Mardiman, Johanes (ed.). Jangan Tangisi Tradisi – Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta : Kanisius, 1994
Mulyana, Rohmat, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung : Alfabeta, 2004.
Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan, Yogyakarta : Kanisius, 1988.
Nurudin.  Komunikasi Propaganda. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya., 2001.
Setiyanta, Y. Mey (penterj), Dilema Moral Zaman Ini, Yogyakarta : Kanisius, 2006.
Soedjatmoko, Etika Pembebasan : Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta : LP3S, 1984
Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992.
Sumartana, Th. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia,  Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Suparno, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius, 1996.
Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Jakarta : Aksara Baru, 1982.






TINGKAT IIB
1.                  KEHORMATAN
ARTI KEHORMATAN : kebesaran, kemuliaan, nama baik, harga diri, kesucian
1)      Hubungan antara kehormatan dengan bidang politik. Kehormatan dalam bidang politik bersifat semu. Kehormatan dalam bidang sosial lebih sejati.
2)      Apakah kehormatan seseorang dilihat dari latar belakang, kedudukan, profesinya? Kehormatan bersifat intrinsik, dalam arti seseorang dapat dihormati ketika ia bersikap sesuai dengan prinsip dasar hidup. Kehormatan tidak diberikan oleh orang lain, tetapi muncul dari dalam diri.
3)      Contoh paham kehormatan dalam bidang moral dan sosial. Dalam bidang moral, dikaitkan dengan prinsip-prinsip hidup bermoral. Seseorang akan dihormati ketika ia memiliki moralitas.
4)      Tindakan bunuh diri tidak benar karena melawan Allah. Apa tindakan Gereja untuk mengatasi hal tersebut? Bunuh diri sering terjadi karena orang tidak memiliki integritas diri.
5)      Jika seseorang difitnah, bagaimana caranya agar kehormatannya dapat dipulihkan kembali. Jika orang berdosa, ada 3 tahap pertobatan, yakni (1) sadar akan dosa/menyesal, (2) bertobat, dan (3) perubahan hidup. Demikian pula berkaitan dengan fitnah, orang harus (1) sadar itu salah, (2) memohon maaf kepada sesama, dan (3) mengklarifikasi.
6)      Apa maksud dari merugikan kehormatan pribadi??
7)      Apa hubungan antara kehormatan dengan bunuh diri?
8)      Dasar kehormatan adalah kesempurnaan. Apakah orang yang memfitnah orang lain disebut tidak sempurna? Dan apakah itu kesempurnaan?
9)      Mengapa kehormatan itu penting? Apa dasar untuk saling menghormati? Dasarnya adalah hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Saling ketergantungan.
2.                  KEJUJURAN
3.                  MORAL DAN PENDIDIKAN
4.                  MORAL DAN SEKSUALITAS
JUMLAH HALAMAN 3
HURUF TIMES NEW ROMAN
SIZE 12
SPASI 1,5
FOOT NOTE
TINGKAT IIC
1.                  KEHORMATAN DAN KEJUJURAN
1)      Bagaimana jika kita melakukan tindakan dusta untuk sesuatu yang baik. Tanggapan kelompok? Ada tindakan, ada akibat. Kalau tindakannya buruk, maka hasilnya buruk. Yang dilihat akibatnya, bukan tujuan dari tindakan kita.
2)      Jelaskan kejujuran untuk diri sendiri.
3)      Masa depan adalah hari ini. Apa saja yang dilakukan oleh kelompok pada hari ini. Hic et nunc.
4)      Usaha dari dunia pendidikan untuk meningkatkan kejujuran !! zaman sekarang, masing-masing orang harus bisa refleksi mengenai kejujuran.
5)      Hubungan antara kejujuran dengan kebenaran. Kejujuran berarti cinta akan kebenaran
2.                  MORALITAS KAUM INTELEKTUAL
3.                  MORAL SEKSUALITAS
4.                  MORAL PERKAWINAN

DISKUSI TK. IID
TEMA : MAHASISWA DAN MORAL

  1. PERTANYAAN INFORMATIF I
a.              Contoh konkret mahasiswa mengadudombakan masyarakat (gosip)
b.             Mahasiswa melakukan demo anarkis. Agen perubahan?? (tidak)
c.              Bagaimana moralitas STKIP saat ini??? (di persimpangan jalan)
d.             Aspirasi masyarakat di masa yang akan datang
Aspirasi adalah (1) harapan dan tujuan untuk keberhasilan pada masa yang akan datang; (2) bercita-cita, berkeinginan; (3)
e.              Moralitas para imam di STKIP.....(generalisasi)
  1. PERTANYAAN INFORMATIF II
a.              Praktek menyontek saat ujian. Bagaimana ini berdasarkan teori deontologi dan teleologi. Dari teori deontologi, menyontek dalam dirinya sendiri salah. Secara teleologi, menyontek mengakibatkan mahasiswa lain menjadi korban karena rendah penilaian. Bagaimana mahasiswa yang menyontek luput dari perhatian dosen, apakah dalam hal ini dosen juga terlibat dalam kasus??? Menyontek untuk lulus, apakah profesional?? apakah meningkatkan kualitas pendidikan??? Ada 3 aspek, bukan hanya kognitif....tetapi afeksi dan psikomotorik.
b.             Balas dendam apakah bermoral atau tidak? Referensi pada norma agama..
c.              Peraturan di STKIP : skorsing bagi yang menghamili atau yang dihamili. Diskriminatif. Ada yang sudah punya anak, tapi tidak diketahui. Inilah sisi negatif dari aturan lembaga. Ada yang hanya wanita saja yang diskors.

















[1] Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, Yogyakarta : Kanisius, 2001, p. 8.
[2] Charles M. Shelton, Moralitas Kaum Muda, Yogyakarta : Kanisius, 1987, p. 11.
[3] Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta : Kanisius, 1990, p. 3.
[4] Nurudin, Komunikasi Propaganda, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001, p. 5
[5] Frans Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, Jakarta : Gramedia, 1989, p. 2.
      [6] Eka Darmaputera, Perkenalan Pertama, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1987, p. 4.
                [7] Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi menurut Emile Durkheim & Henri Bergson, Yogyakarta : Kanisius, 1994, pp. 36- 45.
                [8] Koento Wibisono, Arti Perkembangan menurut Filsafat Positivisme August Comte,, Gajah Mada Universitas Press, 1983, p. 74.
                [9] Djuretna A. Imam Muhni, Op. Cit., pp. 85-112.
[10] Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta : Kanisius, 1992, p. 77
[11] L. O. Kattsoff, Pengantar Filsafat : Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1996, p. 65
[12] Frans Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, Jakarta : Gramedia, 1993, p. 2.    
[13] Sonny Keraf, Etika Bisnis, Yogyakarta : Kanisius, 1991, p. 20
[14] Ana Purwaningsih, Etika Bisnis, Konsep dan Kasus (terj.), Yogyakarta : ANDI, 2005, pp. 9-10
            [15] Haim G. Ginott, Memesrakan Hubungan Anda dan Anak Anda, Jakarta : Gramedia, 1990, pp. 113-116.
                [16] Alex sobur, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung : Angkasa, 1989,  p. 82.
            [17] EM. K. Kaswardi (peny.), Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta : Gramedia, 1993, pp. 4- 9 .
[18] Haim G. Ginott, Op. Cit., pp. 113-116.
[19] Wilson Nadeak, Anak dan Harapan Orang Tua, Ende : Nusa Indah, 1991, p. 8.
[20] Ibid., p. 11.
            [21] Agus Sujanto, dkk, Psikologi Kepribadian, Jakarta : Aksara Baru, 1980, p. 18.
            [22] Frans Ceunfin, Etika (Ms), Maumere : STFK Ledalero, p. 24.
[23] Ibid., pp.25-27.
[24] Gregory C. Higgins, Dilema Moral Zaman Ini, Yogyakarta : Kanisius, 2006, p. 6.
[25] Franz von Magnis, Etika Umum – Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1983, pp. 19-24.
[26] Gregory C. Higgins, Op. Cit., p. 8.
[27] Ibid., pp. 25-34.
[28] Frans Ceunfin, Op. Cit., p. 13.
[29] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan, Yogyakarta : Kanisius, 1988, pp.51-55.
[30] Franz Magnis Suseno, Ibid., pp. 35-38.
[31] Ibid., pp. 19-21.
[32] William Chang, Op. Cit., pp. 87-88.
[33] Ibid., pp. 91-94.
[34] Bernhard Kieser, Moral Dasar- Ikatan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta : Kanisius, 1987, p. 56.
[35] Ibid.
[36] Ibid., pp. 97 – 99.
[37] Frans Ceunfin, Op. Cit. , pp. 14 - 46
[38] Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992, pp. 333 – 335.
[39] Ibid.,  p. 333.
[40] Ibid.
[41] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani-Jilid IV- Kewajiban Moral dalam Hidup Sosial, Maumere : Ledalero, 2003, pp. 66-68
[42] Ibid., pp. 70-72.
[43] Ibid.
[44] Karl Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III, Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere : Penerbit Ledalero, 2003, p. 172
[45] Ibid., p. 200
[46] Aristoteles lahir pada tahun 384 sM di Stageira yang berada di wilayah Macedonia yang terletak di sebelah utara Yunani. Ia berasal dari keluarga golongan menengah. Ia belajar di Akademika Plato, di mana ia mempelajari matematika, politik, etika, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Aristoteles adalah murid Plato, namun pemikirannya sering kali bertentangan dengan pemikiran Plato. Plato adalah filsuf idealis (yang lebih mementingkan ilmu pasti), sedangkan Aristoteles adalah filsuf realis yang memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan alam dengan menyelidiki dan mengumpulkan data-data konkret.

2 comments: