KDRT: Hakikat, Solusi dan Refleksi Teologis
1. Pengantar
Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik
merupakan hal yang biasa. Perselisihan pendapat lumrah terjadi. Tetapi, semua
itu tidak serta merta disebut sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT). KDRT jauh lebih buruk. Hal ini biasanya terjadi jika hubungan antara korban
dan pelaku tidak setara. Lazimnya, pelaku kekerasan mempunyai status dan
kekuasaan yang lebih besar baik dari segi ekonomi, kekuatan fisik, maupun
status sosial dalam keluarga. Pelaku yang dimaksud dalam hal ini adalah kaum
pria (suami). Dan karena posisinya yang khusus ini, maka kaum pria (suami) kerapkali
memaksakan kehendaknya untuk diikuti oleh kaum perempuan (isteri). Untuk
mencapai keinginannya, kaum pria (suami) akan menggunakan berbagai cara, kalau
perlu dengan menggunakan cara kekerasan. KDRT, khususnya penganiayaan terhadap
isteri merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Masalah KDRT
merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan zaman ini.
Inilah yang menjadi fokus dari tulisan ini.
2.
Kekerasan Pada Umumnya
2.1
Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras; kekuatan paksaan.
Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Jadi, kekerasan berarti
membawa kekuatan, paksaan dan tekanan.[1]
R. Rudi merumuskan kekerasan sebagai
serangan atau pemyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang, atau
serangan penghancuran, perusakan yang keras, kasar, kejam dan ganas atas milik
atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik sesorang. Menurut J.
Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani
dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.[2]
Berdasarkan beberapa pemikiran di
atas, dapat dikatakan bahwa kekerasan adalah salah satu tingkah laku
sosio-patok (penyakit sosial) yang mempuyai
ciri merugikan dirinya dan orang lain serta lingkungan sekitar. Tingkah
laku seperti ini tidak sesuai dengan norma kebaikan dan hukum formal, sehingga
tidak diterima umum bahkan secara legal diberikan sanksi atau hukuman.
2.2
Rupa-Rupa Dimensi Kekerasan
Masyarakat Indonesia sangat majemuk,
baik secara budaya, etnis, pekerjaan dan agama. Kemajemukan ini dapat membawa
konflik dan kekerasan. Konflik mengakibatkan kerusuhan yang meningkat ke
bentuk-bentuk kekerasan, seperti penjarahan, pemerkosaan, pembunuhan dan
penghancuran atau pembakaran harta milik orang lain. Kekerasan yang sedang
berlangsung di negeri bahkan di tempat kita tinggal menunjukkan rupa-rupa
dimensi kekerasan, antara lain kekerasan psikologis, kekerasan lewat imbalan,
kekerasan tidak langsung, kekerasan tersamar, kekerasan tidak disengaja,
kekerasan tersembunyi atau laten[3] dan kekerasan gender.
3.
Hakikat Kekerasan dalam Rumah Tangga
3.1
Pengertian
Kekerasan dalam
rumah tangga atau kekerasam domestik
adalah kekerasan yang dilakukan
oleh salah satu pihak keluarga terhadap anggota keluarganya dalam bentuk
kekerasan fisik (yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat),
kekerasan psikis (yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya), kekerasan
seksual (yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk
suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu), dan
kekerasan ekonomi yang berkaitan dengan penelantaran rumah tangga yang terjadi
dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya.
Penelantaran itu berlaku juga bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut.[4]
3.2
Penyebab KDRT
KDRT dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab.
Ada beberapa sebab yang lazim menjadi dasar adanya KDRT, seperti pertengkaran
soal uang, cemburu, problem seksual,[5] kurangnya komunikasi
antara suami dan isteri, dan sebagainya.
3.2.1 Pertengkaran
Soal Uang
Uang merupakan salah satu yang utama dalam
kehidupan rumah tangga terutama dalam memenuhi semua kebutuhan hidup rumah
tangga. Uang dikatakan sebagai faktor pencetus kekerasan dalam rumah tangga
karena pengelolaan keuangan di dalam keluarga diatur sepenuhnya oleh suami dan
dimanfaatkan hanya untuk kebutuhan harian keluarga, seperti kebutuhan memasak
tanpa memperhitungkan kebutuhan lain dari seorang istri atau anak separti
pakaian, kesehatan, dan lain sebagainya.
3.2.2 Cemburu
Istri yang memiliki pekerjaan dan mempunyai
kedudukan atau penghasilan yang lebih tinggi, seringkali menyebabkan sang suami
merasa rendah diri dan ini merupakan benih kecemburuan. Hal ini juga
dikarenakan istri adalah seorang yang pandai bergaul sehingga sang istri
memiliki banyak sahabat, baik laki-laki maupun perempuan yang pada akhirnya menyebabkan
suami menjadi cemburu dan melahirkan tindakan kekerasan.
3.2.3 Problem
Seksual
Problem-problem seksual yang muncul
dalam keluarga berupa impotensi dan hiperseks, suami menunjukkan sikap atau
cara yang brutal atau kasar dalam hubungan seks sehingga istri menarik diri
secara fisik dan psikis yang menyebabkan suami merasa diri ditolak dan pada
akhirnya melahirkan kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah setiap
perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar
untuk tujuan tertentu. Kekerasan seksual ini terdiri dari kekerasan seksual
berat dan kekerasan seksual ringan.
Kekerasan seksual berat berupa
pelecehan seksual dengan kontak fisik seperti meraba, menyentuh organ seksual,
mencium secara paksa serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak atau
jijik, pemaksaan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran atau tujuan tertentu, terjadinya hubungan seksual di mana pelaku
memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi, dan tindakan
seksual dengan kekerasan fisik dengan tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit
atau luka. Sedangkan kekerasan psikis ringan berupa pelecehan seksual secara
verbal seperti gurauan porno, siulan, ejekan dan pelecehan seksual secara
non-verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau perbuatan lainnya yang
meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban dan bersifat melecehkan
dan atau menghina korban.
3.2.4 Kurangnya
Komunikasi antara Suami dan Isteri
Ada banyak faktor yang menjadikan
sebuah keluarga dapat mencapai kebahagiaan, keharmonisan dan kelanggengan.
Faktor-faktor itu antara lain kesamaan latar belakang kepercayaan, adanya sikap
saling pengertian, adanya cinta dan komunikasi yang berjalan baik.
Komunikasi merupakan hal mendasar
dalam kehidupan berkeluarga. Komunikasi yang tidak diolah dengan baik dapat
memunculkan kesalahpahaman. Salah satu kunci keharmonisan rumah tangga adalah komunikasi dan dialog yang intensif
dan sehat antara suami dan isteri. Komunikasi hendaknya dijadikan sebagai seni
untuk mempengaruhi orang lain, termasuk seni untuk membahagiakan pasangan.
Ketiadaan komunikasi dalam keluarga
disebabkan oleh banyak hal, misalnya karena adanya kesibukan dalam kerja.
Komunikasi yang hambar menyebabkan semakin berkurangnya kemesraan di antara
suami-isteri dan bahkan bisa menimbulkan ketegangan dan perselisihan. Oleh
karena itu, diperlukan pengertian dan usaha yang mendalam dari kedua pasangan
agar komunikasi dapat berjalan secara kontinu.
3.3
Dampak-Dampak KDRT
Masalah kekerasan dalam rumah tangga akan membawa
trauma bagi korban kekerasan. Trauma adalah luka-luka jiwa yang disebabkan oleh
karena seseorang mengalami suatu peristiwa atau kejadian di luar situasi
normal. Bertolak dari semua hal yang telah diuraikan, maka dapat dijelaskan
bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga dapat melahirkan dampak jangka
pendek dan jangka panjang.[6]
3.3.1 Dampak
Jangka Pendek
Dampak jangka pendek yang dialami korban biasanya
sesaat saja, seperti gangguan pada organ reproduksi (kerusakan selaput darah
robek dan sebagainya) dan luka pada bagian tubuh lain sebagai akibat perlawanan
atau penganiayaan fisik. Dampak lain adalah dampak psikologis di mana korban
akan menjadi sangat marah dan jengkel, merasa bersalah, malu dan terhina.
Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur dan
kehilangan nafsu makan.
3.3.2 Dampak
Jangka Panjang
Dampak jangka panjang dapat terjadi apabila korban
kekerasan tidak mendapat penanganan atau bantuan (konseling psikologis) yang
memadai. Dampak jangka panjang ini dapat berupa sikap atau persepsi yang
negatif terhadap laki-laki atau terhadap seks dan juga mengalami sakit yang berkepanjangan
sampai dengan cacat bahkan meninggal. Dampak lain yang muncul adalah perempuan
dapat merasakan kehilangan kepercayaan dan konsep diri bahkan pada situasi
tertentu dapat menjadi gila.
4.
Pentingnya Pendidikan Nilai di Dalam Keluarga:
Salah Satu Solusi Mengatasi Masalah KDRT
Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya masalah KDRT adalah dengan memberikan pendidikan nilai di
dalam keluarga.
4.1
Pengertian Pendidikan Nilai
Pendidikan nilai adalah penanaman dan
pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Pendidikan nilai merupakan
bantuan terhadap seseorang agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta
menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai
mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada seseorang
agar memiliki modal nilai yang menjadi prinsip dan petunjuk dalam kehidupan.[7] Dengan demikian, mereka
menyadari nilai kebenaran, kebaikan, kebersamaan, dan keindahan melalui proses
pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Dengan
memiliki nilai moral, maka segala tindakan seseorang akan terkontrol karena
dilakukan dengan pertimbangan nilai yang matang.
Pendidikan nilai adalah penanaman dan
pengembangan nilai–nilai dalam diri sesorang. Pendidikan nilai dimaksudkan agar
nilai-nilai tersebut dapat diinternalisasi dalam diri seseorang. Proses
penanaman nilai dalam keluarga tidak dijalankan secara formal instruksional,
tetapi dengan pendekatan familiaris antara orang tua dan anak-anak, yaitu
melalui pengalaman hidup yang ada dalam keluarga tersebut. Pendidikan nilai
mengarahkan keluarga pada situasi hidup yang dilandasi dengan nilai-nilai
seperti cinta kasih, penuh damai dan keadilan.
4.2
Tujuan Pendidikan Nilai
Salah satu tujuan pendidikan nilai adalah membuat
orang sadar bahwa nilai merupakan pedoman bertindak dan pola tingkah laku
setiap orang. Kesadaran mengenai pentingnya nilai dalam kehidupan merupakan hal
penting agar setiap orang dapat menghargai nilai dan menghayati nilai-nilai itu
dalam kehidupan konkret. Kesadaran ini akan muncul dalam diri setiap anggota
dalam rumah tangga melalui proses-proses tertentu. Rekoleksi, ret-ret, doa
bersama adalah bentuk-bentuk penyadaran pada setiap anggota keluarga akan
pentingnya nilai.
4.3
Landasan Pendidikan Nilai dalam Keluarga
Gereja memberikan perhatian yang besar
terhadap kehidupan keluarga (suami, istri dan anak-anak), khususnya terhadap
orang tua dalam hak dan kewajiban untuk melahirkan, mendidik dan membesarkan
anak. Gereja tetap mengajak para orang tua untuk memperhatikan tugas pendidikan
dalam keluarga, khususnya pendidikan terhadap anak-anak. Orang tua dari kodratnya
mengemban tugas membesarkan dan mendidik anak. Orang tua berperanan sebagai
pendidik utama dan pertama.
Gereja berkeyakinan bahwa tugas
pendidikan ini begitu penting, sehingga bila tidak dijalankan oleh orang tua
maka sulit dilengkapi. Kehadiran seorang ayah dan ibu dalam keluarga adalah
kebutuhan dasar bagi anak-anak. Hubungan kasih antara ayah dan ibu merupakan
pengalaman kasih Tuhan dan pengalaman kasih itu semakin nampak dalam kehadiran
anak di tengah keluarga. Tugas orang tua adalah menjaga dan membina hubungan
keluarga agar tetap kondusif, sehingga keluarga dapat memberikan jawaban yang
nyata terhadap kasih Tuhan. Orang tua selaku pendidik utama harus memiliki
pemahaman dasar tentang nilai-nilai agar kehidupan dalam rumah tangga tetap
terjaga.
4.4
Pendidikan Nilai sebagai Solusi terhadap Masalah
KDRT
Orang tua memiliki andil dan peranan
yang sangat menentukan dalam keluarga. Merekalah yang menjadi pendidik yang
paling utama dalam menentukan masa depan anak-anak. Orang tua memberikan kasih sayang kepada
anak-anak melalui kata-kata, tindakan, teladan dan hubungan yang penuh cinta
dan damai. Pendidikan yang diwariskan orang tua dan dikembangkan dalam keluarga
adalah pendidikan yang menyeluruh meliputi pendidikan iman, nilai dan moral.[8]
Orang tua hendaknya mengarahkan
pendidikan dalam keluarga kepada nilai-nilai hakiki kehidupan manusiawi. Dalam
pendidikan nilai, anak-anak dibimbing untuk memahami tingkatan yang baik dari
bermacam-macam nilai. Pendidikan nilai didukung dengan kekayaan warisan
nilai-nilai luhur dan mulia yang sudah dihayati dalam kehidupan Gereja dan
masyarakat. Ada banyak nilai yang perlu mendapat perhatian khusus dalam
pendidikan nilai, antara lain seksualitas, solidaritas, keadilan, kejujuran,
penolakan kekerasan dan kemajemukan.[9]
Pertama, seksualitas merupakan dimensi
kehidupan yang penting dari setiap orang. Pemahaman dan sikap yang benar akan
seksualitas membantu anak untuk memahami dirinya sebagai laki-laki atau wanita
dan bersikap hormat pada lawan jenis. Dengan pemahaman tersebut, mereka akan
siap menghayati panggilan hidup dalam perkawinan. Dewasa ini, ada tantangan
yang besar dalam hal penghayatan seksual. Media massa dan alat-alat teknologi
modern cenderung mengeksploitasi penyimpangan seksual, misalnya dengan
menyebarluaskan pornografi, perselingkuhan, perceraian dan berita-berita
sensasional lainnya. Perubahan pesat di bidang moral ini menimbulkan banyak
kegelisaan dan pertanyaan. Ada banyak orang yang tidak lagi mempunyai pegangan
tentang hidup, baik dalam soal hidup, seks maupun perkawinan.
Kedua, solidaritas, keadilan,
kejujuran dan penolakan terhadap kekerasan merupakan beberapa nilai yang sangat
penting dalam membangun kehidupan bersama. Dewasa ini, masyarakat kita diwarnai
oleh sikap-sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Sikap egois
mendorong banyak orang untuk menghalalkan segala cara demi memenuhi keinginan,
kebutuhan dan ambisi pribadi.
Ketiga, kemajemukan adalah ciri khas
masyarakat Indonesia yang berdasarkan latar belakang yang berbeda-beda, baik suku,
budaya, maupun agama. Kemajemukan menjadi sarana dan wahana untuk saling
melengkapi dan memperkaya. Perbedaan-perbedaan tersebut, khususnya agama
dijadikan sumber konflik.
Berhadapan dengan situasi demikian,
Gereja dapat membantu keluarga-keluarga untuk mengambil sikap yang tepat
terhadap krisis nilai ini. Sikap yang dianjurkan menghadapi krisis tersebut
adalah terbuka dan taat terhadap tanda-tanda zaman, berhati-hati, peka dan
kritis dalam menilai serta mendengarkan Sabda Tuhan.
Pendidikan nilai harus menyadarkan
anggota keluarga tentang hakikat dan tujuan hidupnya masing-masing. Keluarga
dituntut untuk menata dan mengembangkan sebuah korelasi sosial yang harmonis
dan seimbang, baik dengan dirinya sendiri, sesama anggota keluarga maupun
dengan lingkungannya. Keluarga dituntut untuk senantiasa melakukan hal-hal yang
baik dan mengalahkan yang jahat. Mereka dituntut untuk memenuhi tuntutan moral.
Keluarga harus berani keluar dari diri sendiri, egosentrisme pribadi,
keberanian untuk berkorban dan menanggung resiko demi mempertahankan dan
memperjuangkan nilai-nilai luhur seperti kebenaran, keadilan dan cinta kasih,
karena kesadaran dan kesetiaan pada komitmen moral menghantar kehidupan
keluarga kepada pemahaman yang benar mengenai hakikat dan martabatnya.
Kesadaran akan pentingnya nilai-nilai
dalam kehidupan akan mendorong kehidupan rumah tangga untuk senantiasa setia
menghayati nilai-nilai hidup Kristiani. Hal ini dapat memajukan kehidupan rumah
tangga dan kehidupan sosial yang lebih manusiawi dan lebih harmonis. Peran
pendidikan nilai dalam pembentukkan keluarga yang kondusif, bebas dari tindakan
kekerasan sangat besar dan bermanfaat. Dengan demikian, menghidupkan
nilai-nilai dalam kehidupan rumah tangga bukan diajarkan melalui teori-teori,
melainkan dengan teladan dan pengalaman yang diperoleh dari pergaulan hidup
keluarga sehari-hari.
Pendidikan nilai menjadi penting dalam
mengurangi tindakan kekerasan dalam rumah tangga karena keluarga yang merupakan
satu komponen kehidupan sosial kemasyarakatan telah dan sedang berada dalam
situasi problematik. Ada sekian banyak problem dalam kehidupan rumah tangga
yang mendesak untuk ditangani. Problem-problem tersebut adalah kurang adanya
penghayatan nilai-nilai dan kurang adanya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai
bagi kehidupan pribadi dan keluarga itu sendiri.
Pendidikan nilai yang diajarkan dalam
keluarga Kristiani merupakan suatu yang sangat penting dalam menciptakan
kehidupan rumah tangga yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan. Tujuan lain
dari pendidikan nilai adalah membuat orang sadar bahwa nilai merupakan pedoman
bertindak dan pola tingkah laku setiap orang. Mengarahkan, menjelaskan nilai,
menganalisis arti dari situasi konkret itu dalam konteks yang lebih luas
merupakan proses penyadaran.[10] Dari kodratnya, manusia tahu membedakan apa
yang baik dan apa yang jahat dan apa yang benar dan apa yang salah.
Pentingnya merevitalisasi nilai-nilai
dalam kehidupan rumah tangga merupakan salah satu hal penting yang harus
ditanamkan di dalam kehidupan rumah tangga, sebab pendidikan nilai akan
melahirkan kebersamaan, solidaritas sosial, cinta kasih dan sebagainya.
Kehidupan keluarga merupakan suatu panggilan untuk mengabdi Allah. Karena itu,
setiap anggota keluarga dituntut untuk bertanggung jawab agar dapat membangun
sebuah masyarakat yang lebih baik yang memiliki nilai-nilai Kristiani.
5.
Refleksi Teologis atas KDRT
Kehidupan rumah tangga Kristen
merupakan suatu persekutuan pribadi-pribadi yang di dalamnya tercipta suatu
sikap dan tindakan untuk saling menghormati, menghargai dan mencintai satu sama
lain. Paus Yohanes Paulus II, dalam Ensiklik Familiaris Consortio, mengatakan bahwa:
“Dalam persekutuan serta rukun hidup antarpribadi,
separti adanya dan seharusnya, keluarga menemukan dalam cinta kasih sumber
serta dorongan terus menerus, untuk menyambut, menghormati dan mengembangkan
masing-masing anggotanya dalam martabatnya yang luhur sebagai pribadi, artinya
sebagai gambar Allah yang hidup” (FC 22).
Namun, dalam kenyataannya sudah sekian
lama kehidupan dalam rumah tangga mengalami ketidakadilan, kekerasan dan lain
sebagainya yang membuat kehidupan rumah tangga terus berada dalam kehancuran
dan penderitaan, baik penderitaan yang terjadi pada kaum wanita maupun pada
anak-anak. Kenyataannya menunjukkan bahwa sudah sekian sering ketidakadilan
terjadi dalam keluarga. Media elektronik dan media masa seringkali menampilkan
dan memaparkan kekerasan atau ketidakadilan yang terjadi dalam keluarga.
Sasaran dari ketidakadilan dan kekerasan itu adalah kaum wanita dan anak-anak.
Situasi seperti di atas tentunya
menciptakan suatu ketidakadilan dan menjadi petaka yang besar terhadap
kehidupan dalam rumah tangga itu sendiri. Kehidupan keluarga Kristiani yang
akan datang harus dapat mengubah tatanan yang tidak adil ini dengan
meninggalkan nilai-nilai yang membedakan secara tajam dan mengagungkan serta
membenarkan dominasi laki-laki dalam kehidupan rumah tangga. Kehidupan keluarga
Kristen di masa yang akan datang diharapkan dibangun atas dasar nilai-nilai
Kristiani. Bapa dan ibu merupakan kepala keluarga dan anak merupakan buah hati
yang harus dididik dan dibina secara manusiawi. Keputusan dan kebijakan yang
berkaitan dengan kehidupan rumah tangga harus diambil dan dimusyawarahkan
bersama agar keluarga Kristiani tetap kokoh dan selalu harmonis.
Kesadaran akan pentingnya nilai-nilai
dalam kehidupan akan mendorong setiap individu untuk senentiasa setia
menghayati nilai-nilai hidup keagamaan. Hal ini akan menjadikan setiap individu
memajukan kehidupan keluarga, kehidupan sosial yang lebih manusiawi dan lebih
harmonis. Penghayatan hidup relegius yang baik dan benar dapat mengendalikan
dan mengatasi pelbagai bentuk kekerasan dan konflik yang terjadi dalam rumah
tangga dan dalam kehidupan sosial.
Keluarga sebagai basis pendidikan
nilai dapat menampilkan beberapa nilai. Pertama,
menjalin hubungan yang akrab dengan Allah, lewat doa dan liturgi. Kedua, kebebasan yang bertangung jawab.
Hidup di dalam rumah tangga yang serba terikat akan sulit berkembang. Setiap
anggota keluarga harus diberi kebebasan bergerak sehingga anggotanya dapat
kreatif dalam hidup, sehingga melahirkan hidup yang bermakna bagi diri dan
keluarga serta masyarakat. Ketiga, merasa
kehilangan dan mencari, karena ada cinta dan kemesrahan hidup dalam keluarga. Keempat, kelemah-lembutan dan tidak mau
menang sendiri, sikap (kata-kata dan perbuatam) yang lemah lembut dan
menghancurkan kekerasan hati, kemarahan dan balas dendam. Kelima, mau mendengarkan dan menerima apa adanya. Setiap anggota
keluarga harus bisa mendengarkan satu sama lain dan mau menerima apa adanya,
sehingga kehidupan keluarga akan tenteram.
Kelima nilai di atas merupakan suatu
upaya untuk membangun kesadaran baru dalam kehidupan keluarga. Nilai tersebut
dihayati dan dihidupkan di dalam keluarga Kristiani, sehingga tindakan
kekerasan dalam keluarga dan masyarakat tidak akan terjadi.
Hal-hal lain yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga antara lain pertama,
membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial dan bukan
individual serta merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan Hak Asasi
Manusia. Kedua, dilakukan sosialisasi
kepada masyarakat bahwa KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan
dapat diberikan sanksi hukum. Ketiga,
mengkampanyekan sikap melawan penayangan acara-acara yang diwarnai aksi
kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa,
menghibur dan patut menerima pengharggaan. Keempat,
mendampingi korban kekerasan dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta
menempatkannya dalam tempat penampungan, sehingga para korban akan lebih
terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan
secara psikis.
6.
Penutup
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga
merupakan tanggung jawab semua pihak. Salah satu solusi alternatifnya adalah
kembali atau menghidupkan lagi pendidikan nillai dalam kehidupan keluarga.
Pendidikan nilai harus diterapkan secara maksimal dalam lingkungan masyarakat,
khususnya dalam kehidupan keluarga. Keluarga adalah wadah pendidikan nilai yang
paling ideal dalam menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan. Peran orang tua
sebagai pelaku pendidikan harus dioptimalkan dan kondisi keluarga juga harus
memungkinkan proses pendidikan nilai itu dapat terwujud dengan baik. Dengan
mengoptimalkan peran orang tua melalui tanggung jawab dan pengalaman-pengalaman
yang baik dalam sikapnya sehari-hari, maka pendidikan nilai itu dapat terwujud
dengan baik, sehimgga kehidupan keluarga tetap utuh dan penuh dengan
nilai-nilai kehidupan.
DAFTAR
PUSTAKA
Kaswardi, E. M. K. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000.
Jakarta: Gramedia, 1993
Komisi Kateketik
KWI. Persekutuan Murid-Murid Yesus- Buku
Guru Pendidikan Agama Katolik untuk SMA kelas II. Yogyakarta: Kanisius,
2004
Konferensi
Waligereja Indonesia. Pedoman Pastoral
Keluarga. Jakarta: Obor, 2011
LBPP DERAP. Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak
yang Menjadi Korban Kekerasan. Jakarta: Warapsari, 2003
Mulyana, Rachmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:
Alfabeta, 2004
Nur Hayati, Elli. Panduan untuk Pendampingan Perempuan Korban
Kekerasan. Yogyakarta: Kanisius, 2000
Poerwadarminta,W.
J. S. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1976
S. Indra. Faktor-Faktor Penting dalam Kehidupan
Keluarga Bahagia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980
Windhu, I. Marsana.
Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan
Galtung. Yogyakarta: Kanisius, 1992
[1] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), pp. 487-488
[2] I. Marsana Windhu, Kekuasaan
dan Kekerasan menurut Johan Galtung (Yogyakarta: Kanisius, 1992), pp. 1-8
[3] Komisi Kateketik KWI, Persekutuan
Murid-Murid Yesus- Buku Guru Pendidikan Agama Katolik untuk SMA kelas II (Yogyakarta: Kanisius,
2004), p. 25
[4] Indra S., Faktor-Faktor
Penting dalam Kehidupan Keluarga Bahagia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), p. 45
[5] LBPP DERAP, Perlindungan
terhadap Perempuan dan Anak yang Menjadi Korban Kekerasan (Jakarta: Warapsari, 2003), p. 23
[6] Elli Nur Hayati, Panduan
untuk Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan (Yogyakarta: Kanisius, 2000), pp. 29-30