Saturday, January 26, 2013

bahan kuliah manajemen pastoral

MANAJEMEN PASTORAL
OLEH: PINO JEBARUS, S. FIL
PENGANTAR PERKULIAHAN
                                                                     

Teologi dipahami sebagai ilmu yang membicarakan tentang hakekat Tuhan. Sebagai suatu ilmu, Teologi tentunya seperti ilmu-ilmu lainnya bersifat ilmiah, rasional, dan membicarakan tentang hakekat Tuhan dari sudut pandang ratio yang didukung dengan pembenaran iman. Teologi memiliki banyak cabang ilmu, seperti tentang Kitab Suci, Kristologi (yang membicarakan secara khusus tentang Kristus, Penyelamat), Mariologi (tentang Maria), dan juga Eklesiologi serta cabang ilmu lainnya.
Mahasiswa STKIP St. Paulus Ruteng, khususnya para mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Teologi diarahkan untuk mengenal dan memahami serta mengaktualisasikan ilmu-ilmu teologi yang diperoleh selama masa pendidikan. Untuk itu, salah satu ilmu pendidikan teologi yanag harus digeluti adalah MANAGEMEN PASTORAL.
Manajemen pastoral mempunyai posisi yang sangat strategis dalam pemberdayaan umat karena manajemen pastoral yang baik akan menentukan keberhasilan sebuah karya pastoral. Akhir-akhir ini dalam Gereja-Gereja lokal gencar membangun jemaat lewat pemberdayaan Komunitas Basis Gerejani sebagai persekutuan hidup kaum beriman Kristiani yang paling dasar. Dikatakan bahwa dalam era post-modern ini, di mana manusia sering merasa terasing dan terpilah-pilah oleh kemajemukan geografis, suasana psikologis dan kultural, peran manajemen pastoral menjadi sangat penting.
Fungsi manajemen pastoral dalam pembangunan jemaat adalah agar pastoral lebih terarah kepada kebutuhan konkret yang ada dalam umat. Sebuah pastoral terarah kepada kebutuhan konkret apabila kita melakukan diagnosa sebagai upaya untuk menemukan problem dalam hidup umat. Setelah melakukan diagnosa dan menganalisa persoalan, tugas selanjutnya adalah merumuskan tujuan, sasaran yang hendak dicapai untuk kebutuhan umat. Sasaran itu mesti bersifat konkret, realistis, tepat sasar, dapat dijangkau dan bersifat kontekstual. Tujuan dan sasaran dapat menjadi kenyataan harus dirancang dan rancangannya disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Managemen Pastoral mesti dipelajari secara formal dalam lingkup pendidikan. Untuk itu, mahasiswa-mahasiswi Program Studi Pendidikan Teologi perlu dibekali dengan pendidikan Managemen Pastoral.


BAB I
HAKEKAT MANAGEMEN

1.1  Sejarah Perkembangan Ilmu Manajemen
Banyak kesulitan yang terjadi dalam melacak sejarah manajemen. Namun, diketahui bahwa ilmu manajemen telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya piramida di Mesir. Piramida tersebut dibangun oleh lebih dari 100.000 orang selama 20 tahun. Piramida Giza tak akan berhasil dibangun jika tidak ada seseorang yang merencanakan apa yang harus dilakukan, mengorganisir manusia serta bahan bakunya, memimpin dan mengarahkan para pekerja, dan menegakkan pengendalian tertentu guna menjamin bahwa segala sesuatunya dikerjakan sesuai rencana.
Praktek-praktek manajemen lainnya dapat disaksikan selama tahun 1400-an di kota Venesia, Italia, yang ketika itu menjadi pusat perekonomian dan perdagangan di sana. Penduduk Venesia mengembangkan bentuk awal perusahaan bisnis dan melakukan banyak kegiatan yang lazim terjadi di organisasi modern saat ini. Sebagai contoh, di gudang senjata Venesia, kapal perang diluncurkan sepanjang kanal dan pada tiap-tiap perhentian, bahan baku dan tali layar ditambahkan ke kapal tersebut. Hal ini mirip dengan model lini perakitan (assembly line) yang dikembangkan oleh Hanry Ford untuk merakit mobil-mobilnya. Selain lini perakitan tersebut, orang Venesia memiliki sistem penyimpanan dan pergudangan untuk memantau isinya, manajemen sumber daya manusia untuk mengelola angkatan kerja, dan sistem akuntansi untuk melacak pendapatan dan biaya.
Daniel Wren dan Arthur Bedeian di dalam bukunya The Evolution of Management Thought, telah membagi evolusi pemikiran manajemen dalam empat fase, yaitu pemikiran awal, era manajemen sains, era manusia sosial, dan era moderen.
1.1.1        Pemikiran Awal
Sebelum abad ke-20, terjadi dua peristiwa penting dalam ilmu manajemen. Peristiwa pertama terjadi pada tahun 1776, ketika Adam Smith menerbitkan sebuah doktrin ekonomi klasik, The Wealth of Nation. Dalam bukunya itu, ia mengemukakan keunggulan ekonomis yang akan diperoleh organisasi dari pembagian kerja (division of labor), yaitu perincian pekerjaan ke dalam tugas-tugas yang spesifik dan berulang. Dengan menggunakan industri pabrik peniti sebagai contoh, Smith mengatakan bahwa dengan sepuluh orang, masing-masing melakukan pekerjaan khusus, perusahaan peniti dapat menghasilkan kurang lebih 48.000 peniti dalam sehari. Akan tetapi, jika setiap orang bekerja sendiri menyelesaikan tiap-tiap bagian pekerjaan, sudah sangat hebat bila mereka mampu menghasilkan sepuluh peniti sehari. Smith menyimpulkan bahwa pembagian kerja dapat meningkatkan produktivitas dengan :
1)            meningkatnya keterampilan dan kecekatan tiap-tiap pekerja;
2)            menghemat waktu yang terbuang dalam pergantian tugas;
3)            menciptakan mesin dan penemuan lain yang dapat menghemat tenaga kerja.
1.1.2        Era Ilmiah
Era ini ditandai dengan perkembangan ilmu manajemen dari kalangan insinyur, seperti Henry Towne, Frederick Winslow Taylor, Frederick A. Halsey, dan Harrington Emerson Manajemen ilmiah atau dalam bahasa Inggris disebut scientific management, dipopulerkan oleh Frederick Winslow Taylor dalam bukunya yang berjudul Principles of Scientific Management pada tahun 1911. Dalam bukunya itu, Taylor mendeskripsikan manajemen ilmiah adalah "penggunaan metode ilmiah untuk menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan." Beberapa penulis seperti Stephen Robbins menganggap tahun terbitnya buku ini sebagai tahun lahirya teori manajemen modern.
1.1.3        Era Manusia Sosial
Era manusia sosial ditandai dengan lahirnya mahzab perilaku (behavioral school) dalam pemikiran manajemen di akhir era manajemen ilmiah. Mahzab perilaku tidak mendapatkan pengakuan luas sampai tahun 1930-an. Katalis utama dari kelahiran mahzab perilaku adalah serangkaian studi penelitian yang dikenal sebagai eksperimen Hawthrone.
1.1.4        Era Modern
Era modern ditandai dengan hadirnya konsep manajemen kualitas total (total quality management/TQM) di abad ke-20 yang diperkenalkan oleh beberapa guru manajemen, yang paling terkenal di antaranya W. Edwards Deming (1900–1993) dan Joseph Juran (lahir 1904).


1.2  Pengertian Manajemen
1.2.1   Arti Etimologis
Istilah manajemen berasal dari kata bahasa Latin, manus yang berarti tangan dan agere yang berarti melakukan. Kedua kata ini digabung menjadi kata kerja managere yang artinya menangani. Kata Managere diterjemahkkan ke dalam Bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to manage, dalam kata benda management, dan manager untuk orang yang melakukan kegiatan manajemen. Terminologi manajemen ini memiliki pengertian yang luas, yaitu sebagai proses pengaturan dan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki organisasi melalui kerjasama para anggota utnuk mencapai tuujuan organisasi secara efektif dan efesien.   Istilah manajemen mengandung tiga pengertian, yaitu:
1.             Manajemen sebagai suatu proses. Hilman mengatakan bahwa manajemen adalah fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan yang sama;
2.             Manajemen sebagai kolektivitas orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen. Dengan kata lain, segenap orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen dalam suatu badan tertentu disebut manajemen;
3.             Manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai suatu ilmu pengetahuan (Science). Menurut G.R. Terry manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang ke arah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata. Manajemen juga adalah suatu ilmu pengetahuan maupun seni. Seni adalah suatu pengetahuan bagaimana mencapai hasil yang diinginkan atau seni adalah kecakapanyang diperoleh dari pengalaman, pengamatan dan pelajaran serta kemampuan untuk menggunakan pengetahuan manajemen.
1.2.2   Menurut Para Ahli
Pengertian tentang manajemen dikemukakan juga oleh para ahli. Berikut ini adalah pengertian manajemen menurut beberapa ahli terkemuka :
1.             Menurut Harold Koontz dan Cyril O’donnel. Manajemen adalah usaha mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain. Dengan demikian, manajer mengadakan koordinasi atas sejumlah aktivitas orang lain yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan, dan pengendalian.
2.             Menurut R. Terry, manajemen merupakan suatu proses khas yang terdiri tinndakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan, dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber yang lainnya.
3.             Mamduh mendefinisikan Manajemen sebagai “sebuah proses merencanakan, mengorganisir, mengarahkan, dan mengendalikan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan sumberdaya organisasi”.
4.             Mary Parker Follet mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.
5.             Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (target goals) secara efektif dan efisien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan. Efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar dan terorganisir dan sesuai dengan jadwal. Dengan kata lain, efektifitas menyangkut tujuan, sedangkan efisiensi menyangkut cara dan lamanya suatu proses mencapai tujuan.
6.             Menurut James A.F.Stoner, manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan menggunakan semua sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, istilah manajemen mengacu pada suatu proses mengkoordinasikan dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan kerja agar diselesaikan secara efektif dan efesien dengan dan melalui orang lain. Proses menggambarkan fungsi-fungsi yang berjalan terus atau kegiatan-kegiatan utama yang dilakukan oleh para manajer.
1.3  Falsafah Manajemen
Setiap jenis pegetahuan termasuk pengetahuan manjemen mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaiman (epistimologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan manajemen tersebut disusun. Ketiganya berkaitan satu sama lain (sistem).
Di dalam pengetahuan manajemen, falsafah pada hakekatnya menyediakan seperangkat pengetahuan (a boody of related knowladge) untuk berfikir efektif dalam memecahkan masalah-masalah manajemen. Hal ini merupakan hakekat manajemen sebagai suatu disiplin ilmu dalam mengatasi berbagai masalah organisai berdasarkan pendekatan yang intelegen.
Kajian filsafat dan teori manajemen merupakan bagian yang memberikan arah dan pandangan bagaiman seorang administrator menjalankan tugasnya dengan didasari oleh nilai-nilai kebenaran, baik pada tataran praktis ataupun teoritis.
1.4  Prinsip-Prinsip Manajemen
Henry Fayol mengemukakan prinsip-prinsip manajemen yang dibagi menjadi 14 bagian, yaitu :
1.             Division of work (pembagian kerja), merupakan sifat alamiah yang terlihat pada setiap masyarakat. Bila masyarakat berkembang, maka bertambah pula organisasi-organisasi baru yang menggantikan organisasi-organisasi lama. Tujuan daripada pembagian kerja adalah menghasilkan pekerjaan yang lebih banyak dan lebih baik dengan usaha yang sama;
2.             Authority and Responsibility(wewenang dan tanggung jawab). Authority (wewenang) adalah hak memberi instruksi-instruksi dan kekuasaan meminta kepatuhan. Responsibility atau tanggung jawab adalah tugas dan fungsi-fungsi yang harus dilakukan oleh seseorang pejabat dan agar dapat dilaksanakan, maka authority (wewenang) harus diberikan kepadanya;
3.             Discipline (Disiplin). Hakekat daripada kepatuhan adalah disiplin, yakni melakukan apa yang sudah disetujui bersama antara pemimpin dengan para pekerja, baik persetujuan tertulis, lisan ataupun berupa peraturan-peraturan atau kebiasaan-kebiasaan;
4.             Unity of command (Kesatuan perintah). Untuk setiap tindakan, seorang pegawai harus menerima instruksi-instruksi dari seorang atasan saja. Bila hal ini dilanggar, wewenang (authority) berarti dikurangi, disiplin terancam, keteraturan terganggu dan stabilitas mengalami cobaan, seseorang tidak akan melaksanakan instruksi yang sifatnya dualistis;
5.             Unity of direction (Kesatuan pengarahan). Prinsip ini dapat dijabarkan sebagai : “one head and one plan for a group of activities having the same objective”, yang merupakan persyaratan penting untuk kesatuan tindakan, koordinasi dan kekuatan dan memfokuskan usaha;
6.             Subordination of individual interest to general interest (mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri). Dalam sebuah perusahaan, kepentingan seorang pegawai tidak boleh di atas kepentingan perusahaan. Kepentingan rumah tangga harus lebih dahulu daripada kepentingan anggota-anggotanya dan bahwa kepentingan negara harus didahulukan dari kepentingan warga negara dan kepentingan kelompok masyarakat;
7.             Remuneration of Personnel (penggajian pegawai). Gaji pegawai adalah harga daripada layanan yang diberikan dan harus adil. Tingkat gaji dipengaruhi oleh biaya hidup, permintaan dan penawaran tenaga kerja. Di samping itu, pemimpin mesti memperhatikan kesejahteraan pegawai, baik dalam pekerjaan maupun luar pekerjaan;
8.             Centralization (pemusatan). Masalah sentralisasi atau desentralisasi adalah masalah pembagian kekuasaan. Pada suatu organisasi kecil, sentralisasi dapat diterapkan, akan tetapi pada organisasi besar harus diterapkan disentralisasi;
9.             Scalar chain (hierarki). Scalar chain (rantai skalar) adalah rantai daripada atasan bermula dari authority terakhir hingga pada tingkat terendah.
10.         Order (ketertiban). Untuk ketertiban manusia, maka ada formula yang harus dipegang, yaitu, suatu tempat untuk setiap orang dan setiap orang pada tempatnya masing-masing;
11.         Equity (keadilan dan kejujuran). Untuk merangsang pegawai melaksanakan tugasnya dengan kesungguhan dan kesetiaan, maka mereka harus diperlakukan dengan ramah dan keadilan. Kombinasi keramahtamahan dan keadilan menghasilkan equity.
12.         Stability Of Tonure Of Personnel (stabilitas kondisi karyawan). Seorang pegawai membutuhkan waktu agar biasa pada suatu pekerjaan baru dan agar berhasil dalam mengerjakannya dengan baik;
13.         Initiative (prakarsa). Memikirkan sebuah rencana dan meyakinkan keberhasilannya merupakan pengalaman yang memuaskan bagi seseorang. Kesanggupan bagi berfikir ini dan kemampuan melaksanakan adalah apa yang disebut inisiatif.
14.         Ecsprit de Corps atau “Persatuan adalah kekuatan”. Para pemimpin perusahaan harus berbuat banyak untuk merealisir pembahasan itu.
Hubungan fungsi-fungsi manajemen antara yang satu dengan lain adalah saling berkaitan. Dengan kata lain, hubungan itu saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, organizing dan staffing merupakan 2 fungsi manajemen yang erat hubungannya, yaitu berupa penyusunan wadah legal untuk menampung berbagai kegiatan yang harus dilaksanakan pada suatu organisasi, dan staffing berhubungan dengan penetapan orang-orang yang akan memangku masing-masing jabatan yang ada dalam organisasi tersebut.
Meskipun demikian, fungsi perencanaan merupakan landasan fungsi manajemen yang lain dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya perencanaan, begitu pula sebaliknya.
1.5  Teori-Teori Manajemen
Pada umumnya, terdapat enam macam teori manajemen. Keenam teori itu adalah sebagai berikut :
1.        Aliran Klasik. Aliran ini mendefinisikan manajemen sesuai dengan fungsi-fungsi manajemennya. Perhatian dan kemampuan manajemen dibutuhkan pada penerapan fungsi-fungsi tersebut;
2.        Aliran Perilaku. Aliran ini sering disebut juga aliran manajemen hubungan manusia. Aliran ini memusatkan kajiannya pada aspek manusia dan perlunya manajemen memahami manusia;
3.        Aliran Manajemen Ilmiah. Aliran ini menggunakan matematika dan ilmu statistika untuk mengembangkan teorinya. Menurut aliran ini, pendekatan kuantitatif merupakan sarana utama dan sangat berguna untuk menjelaskan masalah manajemen;
4.        Aliran Analisis Sistem. Aliran ini memfokuskan pemikiran pada masalah yang berhubungan dengan bidang lain untuk mengembangkan teorinya;
5.        Aliran Manajemen berdasarkan Hasil. Aliran manajemen berdasarkan hasil diperkenalkan pertama kali oleh Peter Drucker pada awal 1950-an. Aliran ini memfokuskan pada pemikiran hasil-hasil yang dicapai dan bukannya pada interaksi kegiatan karyawan;
6.        Aliran Manajemen Mutu. Aliran manajemen mutu memfokuskan pemikiran pada usaha-usaha untuk mencapai kepuasan pelanggan atau konsumen.
1.6  Fungsi-Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Fungsi manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang industrialis Perancis bernama Henry Fayol pada awal abad ke-20. Ketika itu, ia menyebutkan lima fungsi manajemen, yaitu merancang, mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan mengendalikan. Namun saat ini, kelima fungsi tersebut telah diringkas menjadi tiga, yaitu:
1.        Perencanaan (planning) adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan;
2.        Pengorganisasian (organizing) dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada tingkatan mana keputusan harus diambil;
3.        Pengarahan (directing) adalah suatu tindakan untuk mengusahakan agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha.
Selain fungsi-fungsi di atas, terdapat juga fungsi-fungsi lain. Menurut Stoner, ada beberapa fungsi manajemen, yaitu :
1.         Leading. Pekerjaan leading meliputi :
a)      Mengambil keputusan;
b)     Mengadakan komunikasi agar ada saling pengertian antara pimpinan dan bawahan;
c)      Memberi semangat, inspirasi dan dorongan;
2.        Motivating. Yang termasuk dalam kegiatan motivating adalah pemberian inspirasi, semangat dan dorongan kepada bawahan agar bawahan melakukan kegiatan secara sukarela sesuai dengan apa yang direncanakan;
3.        Coordinating. Yang termasuk dalam kegiatan coordinating atau pengkordinasian adalah menghubungkan, menyatukan dan menyelaraskan pekerjaan bawahan, sehingga terdapat kerja sama yang terarah dalam upaya mencapai tujuan organisasi;
4.        Controlling. Yang termasuk dalam kegiatan controlling atau pengawasan atau pengendalian adalah melakukan penilaian, koreksi, sehingga apa yang dilakukan oleh bawahan dapat diarahkan ke jalan yang benar agar tercapai tujuan yang telah digariskan;
5.        Reporting. Yang termasuk kegiatan reporting berupa penyampaian perkembangan atau hasil kegiatan atau pemberian keterangan mengenai segala hal yang bertalian dengan tugas dan fungsi-fungsi kepada pejabat yang lebih tinggi.
1.7  Manajer
1.7.1   Tingkatan Manajer
Pada organisasi berstruktur tradisional, manajer sering dikelompokan menjadi tiga, yaitu :
1.        Manejer lini pertama (first-line management), dikenal pula dengan istilah manajer operasional, merupakan manajer tingkatan paling rendah yang bertugas memimpin dan mengawasi karyawan non-manajerial yang terlibat dalam proses produksi. Mereka sering disebut penyelia (supervisor), manajer shift, manajer area, manajer kantor, manajer departemen, atau mandor (foreman);
2.        Manajer tingkat menengah (middle management) mencakup semua manajer yang berada di antara manajer lini pertama dan manajer puncak dan bertugas sebagai penghubung antara keduanya. Jabatan yang termasuk manajer menengah di antaranya kepala bagian, pemimpin proyek, manajer pabrik, atau manajer divisi;
3.        Manajer puncak (top management), dikenal pula dengan istilah executive officer, bertugas merencanakan kegiatan dan strategi perusahaan secara umum dan mengarahkan jalannya perusahaan. Contoh top manajer adalah CEO (Chief Executive Officer), CIO (Chief Information Officer), dan CFO (Chief Financial Officer).
Meskipun demikian, tidak semua organisasi dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan menggunakan bentuk piramida tradisional ini. Misalnya pada organisasi yang lebih fleksibel dan sederhana, dengan pekerjaan yang dilakukan oleh tim karyawan yang selalu berubah, berpindah dari satu proyek ke proyek lainnya sesuai dengan permintaan pekerjaan.
1.7.2   Peran Manajer
Henry Mintzberg, seorang ahli riset ilmu manajemen, mengemukakan bahwa ada sepuluh peran yang dimainkan oleh manajer di tempat kerjanya. Ia kemudian mengelompokan kesepuluh peran itu ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1.        Peran antar pribadi, yaitu melibatkan orang dan kewajiban lain yang bersifat seremonial dan simbolis. Peran ini meliputi peran sebagai figur untuk anak buah, pemimpin, dan penghubung;
2.        Peran informasional, meliputi peran manajer sebagai pemantau dan penyebar informasi, serta peran sebagai juru bicara;
3.        Peran pengambilan keputusan, meliputi peran sebagai seorang wirausahawan, pemecah masalah, pembagi sumber daya, dan perunding.
Mintzberg kemudian menyimpulkan bahwa secara garis besar, aktivitas yang dilakukan oleh manajer adalah berinteraksi dengan orang lain.
1.7.3   Keterampilan Manajer
Robert L. Katz pada tahun 1970-an mengemukakan bahwa setiap manajer membutuhkan minimal tiga keterampilan dasar. Ketiga keterampilan tersebut adalah:
1.         Keterampilan konseptual (conceptional skill)
Manajer tingkat atas (top manager) harus memiliki keterampilan untuk membuat konsep, ide, dan gagasan demi kemajuan organisasi. Gagasan atau ide serta konsep tersebut kemudian haruslah dijabarkan menjadi suatu rencana kegiatan untuk mewujudkan gagasan atau konsepnya itu. Proses penjabaran ide menjadi suatu rencana kerja yang kongkret itu biasanya disebut sebagai proses perencanaan atau planning. Oleh karena itu, keterampilan konsepsional juga meruipakan keterampilan untuk membuat rencana kerja.
2.         Keterampilan berhubungan dengan orang lain (humanity skill)
Selain kemampuan konsepsional, manajer juga perlu dilengkapi dengan keterampilan berkomunikasi atau keterampilan berhubungan dengan orang lain, yang disebut juga keterampilan kemanusiaan. Komunikasi yang persuasif harus selalu diciptakan oleh manajer terhadap bawahan yang dipimpinnya. Dengan komunikasi yang persuasif, bersahabat, dan kebapakan akan membuat karyawan merasa dihargai dan kemudian mereka akan bersikap terbuka kepada atasan. Keterampilan berkomunikasi diperlukan, baik pada tingkatan manajemen atas, menengah, maupun bawah.
3.         Keterampilan teknis (technical skill)
Keterampilan ini pada umumnya merupakan bekal bagi manajer pada tingkat yang lebih rendah. Keterampilan teknis ini merupakan kemampuan untuk menjalankan suatu pekerjaan tertentu, misalnya menggunakan program komputer, memperbaiki mesin, membuat kursi, akuntansi dan lain-lain.
Selain tiga keterampilan dasar di atas, Ricky W. Griffin menambahkan dua keterampilan dasar yang perlu dimiliki manajer, yaitu:
1.         Keterampilan manajemen waktu
Merupakan keterampilan yang merujuk pada kemampuan seorang manajer untuk menggunakan waktu yang dimilikinya secara bijaksana. Griffin mengajukan contoh kasus Lew Frankfort dari Coach. Pada tahun 2004, sebagai manajer, Frankfort digaji $2.000.000 per tahun. Jika diasumsikan bahwa ia bekerja selama 50 jam per minggu dengan waktu cuti 2 minggu, maka gaji Frankfort setiap jamnya adalah $800 per jam,sekitar $13 per menit. Dari sana dapat kita lihat bahwa setiap menit yang terbuang akan sangat merugikan perusahaan. Kebanyakan manajer, tentu saja, memiliki gaji yang jauh lebih kecil dari Frankfort. Namun demikian, waktu yang mereka miliki tetap merupakan aset berharga, dan menyianyiakannya berarti membuang-buang uang dan mengurangi produktivitas perusahaan.
2.         Keterampilan membuat keputusan
Merupakan kemampuan untuk mendefinisikan masalah dan menentukan cara terbaik dalam memecahkannya. Kemampuan membuat keputusan adalah yang paling utama bagi seorang manajer, terutama bagi kelompok manajer atas (top manager). Griffin mengajukan tiga langkah dalam pembuatan keputusan. Pertama, seorang manajer harus mendefinisikan masalah dan mencari berbagai alternatif yang dapat diambil untuk menyelesaikannya. Kedua, manajer harus mengevaluasi setiap alternatif yang ada dan memilih sebuah alternatif yang dianggap paling baik. Dan terakhir, manajer harus mengimplementasikan alternatif yang telah ia pilih serta mengawasi dan mengevaluasinya agar tetap berada di jalur yang benar.
BAB II
HAKEKAT PASTORAL

2.1  Pengertian Pastoral
a.                Arti Etimologis
Kata “pastoral” berasal dari kata bahasa Latin pastor yang berarti gembala. Sedangkan pastoral adalah hidup dan segala kegiatan pastor untuk menggembalakan domba-domba (umat). Istilah “pastor” pada awalnya hanya dikenakan kepada tugas para imam dalam melayani umat. Dan pastoral itu sendiri berarti hidup dan kegiatan seorang imam dalam hubungan dengan pelayanannya kepada umatnya. Dalam perkembangan, pastoral mulai mendapat arti yang lebih luas yang tidak hanya terbatas pada hidup dan tugas seorang imam, tetapi menyangkut hidup dan kegiatan seluruh Gereja.
b.                Menurut Konsili Vatikan II
Menurut Konsili Vatikan II, pastoral berarti segala usaha dan karya Gereja (umat Allah) untuk membantu meningkatkan kualitas iman dan kesejahteraan manusia, sehingga sang Gembala Ilahi benar-benar menyata, hadir dan berkarya dalam seluruh tata kehidupan umat manusia. Pelayanan keselamatan bagi semua orang sebagai tugas perutusan Gereka oleh semua anggota Gereja selaras dengan bentuk, cara dan jabatannya. Pastoral hanya dapat dirumuskan dalam kaitannya dengan pewartaan dan pelestarian kabar gembira secara hakiki dan aktual agar semua orang memperoleh keselamatan.[1]
2.2  Pendasaran tentang Pastoral
a.    Pendasaran Biblis
Kitab Suci memberi pendasaran mengenai makna kata “pastor” ini. Perjanjian Lama menegaskan bahwa Israel hanya mengenal satu gembala sejati, yaitu YAHWE. Mereka mengalami kegembalaan Yahwe dalam hidup dan sejarah mereka, sebagai yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rohani dan jasmani. Fungsi kegembalaan Yahwe secara historis diaktualisasikan oleh orang-orang pilihan-Nya, seperti Yosua (bdk. Bil 27:17), Daud (2 Sam 5:2) dan juga raja-raja dan pemimpin Israel lainnya. Namun, tugas kegembalaan ini sering disalahgunakan untuk menindas. Oleh karena itu, umat mendambakan kegembalaan Yahwe yang sesuai dengan kehendak Yahwe sendiri.
Dalam Perjanjian Baru, model kegembalaan Yahwe menjadi nyata dalam pribadi Yesus Kristus, karena Ia sungguh menghadirkan Allah yang menggembalakan umat-Nya. Tugas ini kemudian dilanjutkan oleh para rasul dan diteruskan oleh para pejabat Gereja. Kegembalaan ini kemudian membentuk suatu hierarki dan tetap berlangsung dalam jemaat.
b.   Ajaran Konsili
Konsili-konsili melegitimasi keberadaan hierarki dan fungsi kegembalaan. Konsili Vatikan I memberi corak yuridis-organisatoris formal tanpa memperhatikan segi rohani dan komunionya. Konsekuensinya, Gereja dinilai sebagai hierarki yang mengatur segalanya. Pastoral kemudian mendapat arti sebagai bentuk kegiatan hierarki dalam pemeliharaan jiwa-jiwa. Sebagai koreksi atas kepincangan ini, Konsili Vatikan II memberi arti baru. Pastoral kemudian dipahami sebagai kegiatan dari seluruh umat (Gereja) dalam mengaktualisasikan kegembalaan Allah. Ketika dipermandikan, umat Allah sudah diberi tugas sebagai imam, nabi dan raja. Karena itu,
Pastoral mempunyai posisi yang amat strategis dan menjadi penting demi suatu penghayatan iman yang otentik, matang dan dewasa. Pastoral adalah perwujudan secara konkret perutusan Allah yang disesuaikan dengan tempat, waktu, orang, lingkungan, metode, perancanaan tertentu. Tugas pelayanan ini hanya bersifat membantu, sedangkan umat harus bertanggung jawab atas kehidupan imannya sendiri. Dengan demikian, membebaskan dan memberdayakan umat mesti dilaksanakan berdasarkan kebutuhan umat hic et nunc dalam kebudayaan dan waktu tertentu. Pada posisi ini muncul kebutuhan pemahaman yang lebih baik akan teologi praksis, yang bersumber pada praksis pengalaman iman manusia atau refleksi iman atas pengalaman-pengalaman yang ada.
Pada akhir-akhir ini persekutuan itu terbentuk dalam kelompok yang lebih kecil dan dikenal sebagai Komunitas Umat Basis (KUB). KUB merupakan cara baru dalam berpastoral. Pembentukkannya merupakan suatu kebutuhan untuk menjamin ketahanan umat di masa transisi. Dari pembentukan KUB ini diharapkan umat dapat memperdayakan dan membebaskan dirinya. John M. Prior menyebut Komunitas Umat Basis sebagai Gereja kontekstual dengan ciri-ciri sebagai basis Gereja setempat, basis masyarakat setempat, basis kerasulan dan basis pemberdayaan umat awam, yang memiliki keprihatinan kepada orang-orang miskin sebagai pilihan pastoral Gereja Universal di mana KUB menjadi focus dan locus dalam berpastoral.
2.3  Prinsip-Prinsip Pastoral
Secara umum, ada tiga prinsip utama pastoral, yakni : [2]
1.               Prinsip mulai dari bawah. Prinsip ini membicarakan tentang program pastoral yang menggerakkan dan mengutamakan kebersamaan sosial di tingkat “akar rumput”;
2.               Prinsip subsidiaritas, yaitu menghargai potensi dan kondisi sosial yang ada dan tersedia serta memanfaatkannya untuk menjawabi tuntutan dan kebutuhan umat dan masyarakat;
3.               Prinsip kemitraan. Program pastoral membutuhkan kerja sama berbagai komponen umat Allah melalui hubungan yang komplementaris, terbuka dan penuh tanggung jawab.
2.4  Tujuan Karya Pastoral
Selain ketiga prinsip di atas, karya pastoral juga memiliki tujuannya. Pelayanan pastoral memiliki empat tujuan, yaitu : [3]
1.               Untuk menciptakan suatu kondisi pastoral yang toleran dan menumbuhkembangkan semangat persaudaraan dan solidaritas Kristiani;
2.               Bertujuan untuk menggerakkan dan menyadarkan umat untuk ikut terlibat secara aktif dalam kehidupan menggereja dan memasyarakat, serta akan merasa memiliki Gereja sebagai bagian tak terpisahkan dari Tubuh Mistik Kristus;
3.               Bertujuan untuk meningkatkan semangat kebersamaan dan rasa tanggung jawab untuk memelihara kehidupan imannya yang terjelma secara konkret dalam perilaku sosialnya.
4.               Pengembangan masyarakat berdasarkan injil dan menjawabi situasi konkret yang dialaminya.
Dengan adanya keempat tujuan dari karya pastoral ini, maka pelayanan pastoral akan memiliki arah kerjanya.
2.5  Bidang-Bidang Karya Pastoral di Paroki
Dalam rangka mengembangkan hidup menggereja secara benar, tepat dan terarah oleh semua umat beriman, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu mengenal bidang-bidang pokok pelayanan Gereja, dan bagaimana pelaksanaan praktisnya. Bidang-bidang karya pastoral paroki itu adalah bidang kerygma, bidang liturgia, bidang diakonia, bidang koinonia dan bidang martyria.
a)             Bidang Kerygma (Pewartaan)
Bidang kerygma adalah bidang pewartaan. Dalam bidang ini, gereja mengemban peran dan kewibawaan untuk mewartakan Injil sebagai pesan Ilahi bagi semua orang, dan dunia dituntut untuk mendengarkannya dengan rendah hati.
Mewartakan kabar gembira adalah tugas dari seluruh umat beriman. Tugas tersebut merupakan tugas pelayanan yang harus dijalankan oleh Gerja yang diperolehnya dari Yesus Kristus. Tugas tersebut dapat pula dilaksanakan, baik ke dalam maupun ke luar Gereja. Pewartaan ini mencakup katekese, kotbah, pendalaman iman, bimbingan pastoral dan bimbingan rohani. [4]
b)             Bidang Liturgya (Ibadat)
Liturgya merupakan wujud persatuan dengan Allah dan persaudaraan iman. Dalam liturgi, khususnya dalam perayaan ekaristi kita bersatu dengan Kristus sumber hidup kita. Sebagai anggota umat Allah, kaum awam hendaknya benar-benar menghayati perayaan liturgi dan mengambil bagian secara aktif dalam perayaan tersebut, dengan sikap tubuh yang penuh hormat kepada Allah. Karena perayaan ini merupakan puncak kehidupan Kristiani. Dalam bidang liturgi, Gereja menjalankan tugas mendidik bagi umatnya, misalnya pada saat perayaan ekaristi di mana pada saat itu seorang imam ataupun seorang awam membawakan kotbah yang intinya mendidik umat untuk bisa menumbuhkembangkan iman yang sudah ada serta mampu mewujudkan iman itu dalam kehidupan sehari-hari. Konstitusi tentang Liturgi (Sacrosantum Concilium no. 4) menegaskan bahwa tujuan pembaharuan liturgi adalah agar seluruh umat setempat bersama-sama merayakan liturgi dengan sadar dan aktif sesuai dengan peranan masing-masing, sehingga penghayatan iman mereka sungguh ditingkatkan. Hal ini mau menjelaskan bahwa penyadaran umat dalam liturgi Gereja perlu ditingkatkan, dalam arti umat hendaknya mengetahui dengan benar arti dan makna dari apa yang dibuat dalam ibadat atau penerimaan/ perayaan sakramen-sakramen Gereja. [5] Karena itu, liturgi diusahakan keseluruhannya untuk menjawabi kebutuhan umat dan sesuai dengan situasi konkret.
c)             Bidang Diakonia (Pelayanan)
Kata diakonia merupakan salah satu istilah penting dalam Perjanjian Baru yang ditujukan untuk Gereja sehubungan dengan pelayanan kepada jemaat. Istilah tersebut mencakup semua bentuk pelayanan sabda, sakramen dan bantuan material. Tugas dan penggilan sebagai diakonia atau pelayan telah dilaksanakan oleh kelompok para rasul  (bdk. Kis 2: 41 – 47). Tugas dan panggilan sebagai pelayan bukan menjadi tugas atau tanggungjawab para pemimpin saja, bukan pula tugas para kaum tertahbis, melainkan tugas semua kaum beriman. Semangat diakonia terungkap dan terlaksana dalam persaudaraan yang dibangun di antara anggota jemaat.  Persaudaran sejati secara nyata diwujudkan dalam tindakan bersatu dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama. Mereka menjual segala milikinya lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan kebutuhan setiap orang (Kis 2: 44 – 45; 4: 32 – 47).
Diakonia berarti kesediaan untuk saling melayani sebagai sikap dasar (optio fundamentalis) pengikut-pengikut Yesus (bdk. Yoh 13 : 12- 17). Dalam hal ini, pelayanan itu diberikan khususnya kepada mereka yang disingkirkan/dikucilkan dari masyarakat dengan melakukan karya kasih dan berjuang demi keadilan dan kedamaian.
d)             Bidang Koinonia (Persekutuan)
Koinonia adalah hidup komunitas, persaudaraan, kesatuan, keutuhan, sebagai umat Allah yang sejati dan sejiwa. Koinonia memiliki banyak tuntutan, namun sulit diwujudkan secara sempurna tetapi tetap menjadi tugas yang harus dilaksanakan oleh semua orang beriman. Adapun tantangan yang menghalangi terwujudnya koinonia, antara lain; minat, kesukuan, perbedaan status sosial, asal-usul dan sikap acuh tak acuh. Tantangan ini perlu dicegah dan diperangi agar tidak terjadi perpecahan dan permusuhan di antara umat beriman.
Dasar persekutuan adalah iman dan persaudaraan. Berbagai keanekaragaman yang ada hendaknya tidak mengurangi eratnya persaudaraan yang ada. Pastoral hidup sehari-hari harus membantu umat agar dapat memberi kesaksian bahwa Tuhan hadir dan membahagiakan. Di sini pastoral hidup sehari-hari haruslah mampu untuk mendorong umat Allah menghadirkan karya penyelamatan dalam masyarakat, antara lain dalam kegiatan public, politik, kemanusiaan, keadilan, damai, cinta kasih, dan hak-hak asasi manusia.
e)             Bidang Martyria (Kesaksian Hidup)
Martirya dimengerti sebagai kesaksian yang jelas dan setia kepada Kristus juga jika kesaksian itu menuntut pengorbanan dengan kematian. Kaum awam dipanggil dan diutus untuk menjadi saksi Kristus dan dituntut sebuah pengorbanan demi Kristus yang diimaninya. Umat beriman khususnya kaum awam dipanggil untuk menjadi saksi iman dalam segala situasi demi Kristus yang diimaninya. Kekatolikan akan lebih berarti jika umat beriman berani bersaksi dengan hidup yang baik sesuai dengan kebenaran iman.
2.6  Relasi Awam-Klerus dalam Karya Pastoral
Konsili Vatikan II Konstitusi Lumen Gentium menggarisbawahi kesamaan fundamental semua anggota Gereja. Kesamaan itu lebih kuat dan lebih utama daripada segala macam perbedaan seturut fungsi dan peran dan gaya hidup khusus di dalam Gereja. Pada tempat pertama dan utama, semua anggota Gereja diangkat sebagai anak Allah dan memperoleh martabatnya sebagai anggota penuh di dalam umat Allah. Namun, ada pula perbedaan fungsional dan perbedaan menurut posisi dan peran, khususnya para anggota hierarki ditempatkan di dalam jemaat untuk menjadi tanda hadirnya Kristus sebagai kepala, pemimpin.
Wewenang Kristus sebagai kepala, sebagai pemimpin yang mendahului Gereja itu harus dihadirkan secara sakramental, sebagai tanda oleh mereka yang ditahbiskan dan ditempatkan sebagai pemimpin sakramental di dalam Gereja. Akan tetapi, dari kekhasannya itu mereka bukan sebagai kepala Gereja, melainkan hanya sebagai tanda hadirnya Kristus sebagai kepala dalam Gereja-Nya.
2.7  Kebijakan dan Karya Pastoral
2.7.1   Kebijakan Pastoral Berdasarkan Karakter Umat
Kenyataan bahwa pemahaman tentang paroki (Gereja secara konkret) tidaklah mudah. Karena itu, reksa pastoral tidak bisa dilaksanakan dengan sembarangan tanpa suatu usaha yang teliti dan sungguh-sungguh. Di zaman teknologi modern, dengan perkembangan ajaran Gereja, para pastor tidak boleh menutup mata dan berpegang teguh pada kemauannya sendiri atau menganggap bahwa urusan pastoral merupakan tanggung jawab pastor saja. Masalah karya pastoral bukanlah hanya ranah privat hirarki, melainkan semua umat beriman (bdk. LG, 10; Kan 204). Oleh karena itu, menentukan kebijakan pastoral tidak bisa digunakan secara filosofis-teologis  saja dan menggunakan kewenangan tahbisan bagi kaum klerus. Reksa pastoral haruslah ditinjau dari pelbagai aspek manusiawi sekaligus ilahi. Reksa pastoral perlu membutuhkan lintas kolaborasi antar bidang dan umat beriman khususnya awam dan religius. Semakin banyak orang terlibat dalam bidang yang digeluti, maka semakin banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan dan diharapkan pelayanan pastoral mendekati kebutuhan umat Allah dan menjawabi kehendak Allah juga.
Di zaman yang semakin modern dan reformis ini, Gereja perlu belajar dari dunia sekular. Penggunaan informasi teknologi lewat komputer data base, website, facebook dan twitter dapat membantu mengenal umat beriman secara lebih dekat dan faktual. Data yang memberikan informasi hendaknya dikumpulkan dan diolah menjadi sebuah informasi serta harus dirangkum menjadi formasi karya pelayanan pastoral umat. Itulah yang sekarang ini amat ramai dibicarakan di dalam karya pastoral berbasiskan data (The Pastoral Care base on data). Namun, kadang pemahaman atas Pastoral berbasiskan data sebatas hanya pada pengumpulan data dan tidak berlanjut pada pengambilan keputusan dalam reksa pastoral paroki.

Karena itu, yang perlu ditekankan pada saat sekarang adalah karya pastoral yang tidak saja berbasis data, tetapi juga berdasarkan karakter umat. Agen pastoral mesti mengenal dan memahami karakter umat yang dilayani. Pelayanan pastoral ada di dalam diri umat yang kita layani. bukan pada data atau pada pastornya.  Pastor bisa berganti, tetapi umat tetap berada di paroki itu. Jadi, umat dengan karakternya menjadi dasar pijakan untuk mengambil kebijakan pastoral (reksa pastoral).
2.7.2   Karya Pastoral Memerlukan Pendekatan Integral
Pendekatan integral atau holistik adalah suatu gaya karya pastoral yang sifatnya menyeluruh dan terpadu, berdasarkan pemahaman dan perencanaan yang matang, dituntun oleh adanya visi dan misi dasar yang jelas, yang merupakan tujuan dan arah karya pastoral paroki dalam rangka melanjutkan karya penyelamatan Allah di dunia.
Pendekatan seperti ini amat membutuhkan pemahaman dan refleksi biblis-teologis, sebab karya pastoral bukanlah karya perseorangan, melainkan karya kolektif. Ia adalah karya Allah sendiri, wujud nyata kemauan Allah untuk menyelamatkan umat-Nya secara menyeluruh dan terpadu. Pendekatan ini memerlukan kemampuan untuk mengenal secara tepat situasi paroki, baik intern maupun ekstern.
2.7.3   Pendekatan Pastoral yang Integral Memerlukan Koordinasi Sektoral
Berbicara tentang koordinasi sektoral berarti berbicara tentang seni mengatur karya pelayanan pastoral agar karya itu tidak hanya menitikberatkan pada bidang-bidang tertentu saja dan tidak tergantung pada segelintir orang saja, tetapi meliputi berbagai bidang dan melibatkan berbagai pihak di dalamnya.
Untuk itu, perlu dan sangat penting diadakan pembagian tugas ke dalam rumpun dan berbagai seksinya, dengan maksud untuk membidangi pelbagai pelayanan dan karya pastoral secara tepat, dan tanggung jawab atas koordinasi kesuksesannya diserahkannya kepada orang yang mampu untuk bidang tersebut. Kemampuan tersebut dapat dicapai melalui proses pembelajaran. Praktek ini muncul terutama karena konsep tentang karya pastoral itu sendiri yang dimengerti orang sebagai karya penggembalaan umat, yang merupakan cara aktualisasi, kontemporisasi dan kontekstualisasi dari karya Yesus melalui Gereja yang disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan umat yang konkret.


BAB III
HAKEKAT MANAGEMEN PASTORAL

3.1    Pengertian Manajemen Pastoral
Manajemen pastoral mempunyai posisi yang sangat strategis dalam pemberdayaan umat karena manajemen pastoral yang baik akan menentukan keberhasilan sebuah karya pastoral. Akhir-akhir ini dalam Gereja-gereja lokal gencar membangun jemaat lewat pemberdayaan Komunitas Basis Gerejani sebagai persekutuan hidup kaum beriman Kristiani yang paling dasar. Dikatakan bahwa dalam era post-modern ini, di mana manusia sering merasa terasing dan terpilah-pilah oleh kemajemukan geografis, suasana psikologis dan kultural, peran KUB menjadi sangat diperlukan. Dalam manajemen pastoral terdapat tiga unsur penting yang mendukung karya pastoral, antara lain fungsi manajemen pastoral, prinsip keseimbangan pastoral, dan partisipasi dalam pastoral.
a.        Fungsi Manajemen Pastoral
Fungsi manajemen pastoral dalam pembangunan jemaat adalah agar pastoral lebih terarah kepada kebutuhan konkret yang ada dalam umat. Sebuah pastoral terarah kepada kebutuhan konkret apabila kita melakukan diagnosa sebagai upaya untuk menemukan problem dalam hidup umat. Karena dalam umat terdapat beberapa problem, maka harus membatasi diri pada problem-problem tertentu yang terasa lebih menyulitkan umat dan mendesak untuk diatasi. Petugas pastoral tidak bisa memasuki problem-problem tertentu yang hanya bisa diselesaikan oleh umat sendiri, oleh instansi-instansi tertentu atau oleh pihak lain. Persoalan yang mesti dipecahkan dan cukup sulit untuk diselesaikan, perlu meminta bantuan ahli yang lebih berkompeten untuk menganalisa persoalan-persoalan itu. Setelah melakukan diagnosa dan menganalisa persoalan, tugas selanjutnya adalah merumuskan tujuan, sasaran yang hendak dicapai untuk kebutuhan umat. Sasaran itu mesti bersifat konkret, realistis, tepat sasar, dapat dijangkau dan bersifat kontekstual. Tujuan dan sasaran dapat menjadi kenyataan jika dirancang dan rancangannya disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai.


b.        Prinsip Keseimbangan Pastoral
Prinsip yang akan menjadi patokan dalam menjalankan pelayanan pastoral adalah prinsip keseimbangan pastoral. Prinsip keseimbangan ini dimaksudkan agar dalam pembangunan jemaat perlu memperhatikan pelayanan secara seimbang dan holistik. Semua pelayanan pastoral mendapat penekanan dan perhatian sewajarnya. Prinsip keseimbangan ini berdasarkan kebutuhan umat yang konkret. Dengan demikan, pelayanan pastoral oleh para fungsionaris pastoral bukan karena hobi dan selera, melainkan diprogramkan secara benar dan teratur. Oleh karena itu, butuh refleksi dan mendalami praksis. Refleksi yang dibuat senantiasa bertitik tolak dari praksis pastoral yang ada supaya timbul kepekaan pastoral. Dalam refleksi juga dapat ditemukan strategi-strategi baru yang mungkin lebih berdaya guna.
c.         Partisipasi dalam Pastoral
Unsur partisipasi dalam pembangunan jemaat selalu berkaitan dengan kepemimpinan pastoral. Tipe kepemimpinan pastoral yang dipilih akan menentukan terjadi tidaknya suatu partisipasi. Isu kepemimpinan pastoral partisipatif menjadi sangat penting. Dikatakan bahwa perlu adanya usaha untuk memberdayakan fungsionaris pastoral sebagai agen yang memberi animasi dan advokasi bagi umat yang dilayaninya. Seorang pemimpin atau gembala adalah seorang pemimpin visioner, yang kolegial partisipatif, yang memiliki kemampuan managerial, seorang pendamping yang solider dan yang kepribadiannya senantiasa diilhami oleh semangat injili. Partisipasi dalam pastoral berkaitan dengan pelayanan yang mencakup perhatian pada KUB sebagai locus dan focus berpastoral, pewartaan Sabda, bidang pembinaan dan pendidikan, bidang pastoral, sosial- ekonomi, keuangan dan administrasi serta kepribadian.
3.2    Kepemimpinan dan Manajemen Paroki
Kepemimpinan adalah seni untuk memberdayakan. Kepemimpinan berbeda dengan manajemen, meskipun bisa dilakukan oleh orang yang sama. Pastor Paroki adalah pemimpin dan sekaligus manajer dari insitusi yang terorganisir yang disebut dengan Paroki (bdk. Kan 519). Maka, Pastor Paroki adalah seorang yang berperan sebagai manajemen leader. Pastor Paroki sebagai manajer adalah orang yang melakukan hal-hal pastoral dengan benar. Sedangkan, sebagai pemimpin, dia melakukan hal-hal yang benar. Sebagai pemimpin, Pastor Paroki berurusan dengan upaya untuk menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh zaman. Oleh karena itu, Pastor Paroki harus melaksanakan pola kebijakan manajerial paroki guna menghadapi kompleksitas. Karena itu juga, dalam diri Pastor Paroki harus memiliki fokus karya pastoral sesuai dengan visi parokinya dan mengontrol desain karya pastoral tersebut.
Kepemimpin berfokuskan pada penciptaan visi bersama sedangkan manajemen adalah desain pekerjaan dan berurusan dengan fungsi kontrol (pengawasan). Sebagai seorang pemimpin, Pastor Paroki mengusahakan agar umat beriman atau dewan pastoral paroki atau ketua wilayah-lingkungan, memiliki keinginan untuk melakukan apa yang harus dilakukan sesuai dengan fungsi dan jabatan mereka masing-masing. Sedangkan sebagai manajer, Pastor Paroki mengusahakan agar umat beriman melakukan apa yang perlu dilakukan. Sebagai manajer, Pastor Paroki memberi komando, perintah melalui kepemimpinan yang komunikatif. Kepemimpinan pastor Paroki hendaknya membebaskan dan memberdayakan, sedangkan sebagai manajer Pastor Paroki bertugas mengawasi, mengontrol apakah umat beriman melaksanakan kegiatan sesuai dengan program kerja, dan visi Paroki.
3.3    Manajemen Paroki berdasarkan Teori Louis Allen
Louis Allen mengemukakan 4 langkah pokok yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan Manajemen Paroki, yaitu Planning, Organizing, Leading, dan Controlling. Empat langkah ini merupakan management work classification dari Louis Allen yang dapat diterapkan dalam manajemen Paroki.
a.         Planning. Karya pastoral Paroki harus memiliki perencanaan (planning). Planning adalah sebuah perencanaan untuk menjawab (jalan keluar) atas masalah-masalah yang terdapat dalam Paroki, baik internal maupun eksternal. Perencanaan itu meliputi perencanaan strategi (strategic planning) dan perencanaan kerja (work planning). Paroki yang baik memiliki perencanaan strategi yang jelas, misalnya selama 3-5 tahun. Perencanaan kerja itu dirumuskan melalui workshop guna menjawabi masalah-masalah (kebutuhan-kebutuhan Pastoral) umat beriman di Paroki. Pastoral Planning menjadi sebuah perencanaan pastoral yang matang dan akurat jika telah menjawabi masalah (kebutuhan dasar) umat beriman di Paroki. Maka, sebelum membuat planning hendaknya diadakan penelitian (analisis sosial) untuk mengetahui akar masalah yang dihadapi umat beriman baik internal paroki maupun eksternalnya. Langkah ini merupakan profesionalitas karya pastoral yang berbasis pada data, bukan asumsi. Profesionalitas karya pastoral itu ditentukan oleh data dan pengolahannya yang akurat. Karena itu, sudah saatnya Pastor Paroki bekerja secara profesional dengan menggunakan ilmu bantu seperti manajemen;
b.        Organizing. Setelah melalui langkah planning (strategic planning dan work planning) dalam karya pastoral paroki, langkah lebih lanjut adalah mengorganisir dengan membentuk tim kerja, sehingga perencanaan dapat dikerjakan secara efektif dan efisien. Dalam tim pelaksana dari perencanaan karya pastoral itu sebaiknya dilibatkan semua orang yang berkepentingan dalam Paroki, seperti Dewan Pastoral Paroki, Ketua Wilayah dan Ketua Lingkungan, para tokoh umat, ketua organisasi kategorial, dan ketua ormas Katolik, dan lainnya. Maksudnya adalah agar semua pihak yang berkepentingan (stakeholder paroki) merasa memiliki kegiatan pastoral itu, merasa bertanggung jawab atas perencanaan yang telah diputuskan bersama;
c.         Leading. Langkah ketiga dalam manajemen pastoral yakni leading. Leading merupakan langkah karya pastoral dengan memberikan petunjuk, motivasi dan inspirasi dari Pastor Paroki kepada umat beriman (tim karya pastoral). Leading adalah tahapan penting, karena di dalamnya terdapat fungsi animasi, motivasi, dan pengambilan keputusan atas kegiatan pastoral yang sedang dilakukan. Pastor Paroki hendaknya terlibat aktif dalam langkah ini, agar umat beriman dapat bekerja secara efektif melaksanakan program pastoral, termotivasi untuk mengerjakan hal-hal benar dan melakukannya dengan benar.
d.        Controlling. Langkah terakhir yang juga penting dalam manajemen pastoral adalah controlling. Controlling merupakan tugas pengawasan dari seorang manajemen leader, menaksir dan mengatur kerja agar pencapaian tujuan kerja dapat berkembang dan tercapai. Dalam fungsi pengawasan ini terdapat indikator-indikator yang dapat diukur apakah pelaksanaan karya pastoral kita sudah tercapai atau belum, apa kendalanya dan bagaimana progress reportnya. Maka di sini diperlukan juga evaluasi sebagai isi pelaksanaan fungsi controlling.
3.4    Arah Dasar dan Strategi Pastoral
Berdasarkan keprihatinan-keprihatinan sosial, maka perlu dirumuskan sebuah konsep dasar bagi sebuah perjalanan pastoral, dengan Communio sebagai gaya hidup alternatif, yaitu Gereja yang merupakan persekutuan umat. Di samping itu, di tengah situasi kemiskinan, butuh suatu perjuangan untuk menciptakan suasana kondusif demi pemberdayaan orang kecil yang disebut sebagai gerakan pembebasan dan pemberdayaan. Dengan visi Gereja semacam ini diyakini kinerja pastoral akan lebih kontekstual. Dalam menjalankan strategi pastoral dianggap penting untuk memperdayakan Kelompok Umat Basis, yang merupakan persekutuan hidup kaum beriman Kristiani yang paling bawah/ dasar. Dalam era post-modern ini, di mana manusia sering merasa terasing dan terpilah-pilah oleh kemajemukan geografis, suasana psikologis dan kultural, peran KUB menjadi sangat diperlukan. Di samping itu, terasa perlu usaha untuk memberdayakan fungsionaris pastoral sebagai agen yang memberi animasi dan advokasi bagi umat yang dilayaninya. Seorang pemimpin atau gembala adalah seorang pemimpin visioner, yang kolegial partisipatif, yang memiliki kemampuan managerial, seorang pendamping yang solider dan yang kepribadiannya senantiasa diilhami oleh semangat injili.
3.5    Model-Model Pastoral serta Usaha Pembebasan dan Pemberdayaan
Dalam usaha pastoral pembebasan dan pemberdayaan, perlu membuang cara atau model pastoral lama yang cenderung tidak memberdayakan dan membebaskan dan menganut suatu model yang lebih human sesuai dengan tuntutan zaman. Pastoral Gereja membutuhkan kontekstualisasi dengan tetap mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan keberpihakannya kepada orang miskin dan sederhana. Karena itu, penerapan model-model pastoral yang terarah kepada pembebasan dan pemberdayaan umat, perlu diterapkan. Ada beberapa model pastoral serta usaha pembebasan dan pemberdayaan.
3.5.1   Pastoral Belaskasihan/Donasi
Model pastoral ini lahir akibat adanya konsep statis bahwa kaya dan miskin dilihat sebagai keharusan, dengan demikian yang kaya bisa membantu yang miskin. Orang miskin dijadikan objek belaskasihan, penerima yang pasif, sedangkan penderma adalah penderma yang murah hati. Orang miskin dijadikan sebagai objek dalam berpastoral dengan memberi bantuan atau sumbangan. Mayoritas umat yang sederhana dan serba miskin dianggap layak untuk menerima bantuan. Akibat lebih lanjut, umat menjadi pasif dalam hidup menggereja. Umat penerima bantuan merasa aman dengan situasi dan menganggap karya pastoral sebagai karya kemurahan hati gembala kepada dombanya.
Konteks saat itu bisa dibenarkan, namun atas cara-cara demikian umat “dimanjakan” dan rasa memiliki kehidupan menggereja kurang terasa. Karya pastoral model ini selalu dikaitkan dengan uang. Para misionaris yang rata-rata berasal dari dunia maju merasa perlu membantu kemiskinan umat di daerah miskin dengan dana atau keuangan. Akibat lebih jauh kalau melihat seorang misionaris selalu dikaitkan dengan “uang”. Padahal, uang dapat menyebabkan pasifnya partisipasi umat, dan umat kita seakan-akan dimanjakan.

3.5.2   Pastoral Institusionalisme
Model pastoral institusionalisme dapat dijumpai dengan adanya institusi-institusi yang dikelola oleh Gereja atau lembaga-lembaga Gereja lainnya. Gereja mendirikan lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga persekolahan, lembaga kesehatan, dan sebagainya. Tujuan awalnya untuk membantu orang miskin, dalam hal ini kaum miskin lebih banyak memperoleh keuntungan. Namun, di saat terjadi persaingan akan tantangan zaman dan mutu pelayanan, maka meningkat pula biaya pembelian sarana yang semakin canggih. Dengan demikian, pelan-pelan orang miskin teralienasi. Kemudian lembaga-lembaga Gereja hanya dapat dijangkau oleh orang-orang “berada”. Sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit yang dikelola Gereja kualitasnya lumayan meningkat akan tetapi meningkat pula biaya yang harus diterima dari orang yang mau menggunakan jasa sekolah atau kesehatan. Orang miskin dengan keterbatasan dana sulit untuk “menikmati” pelayanan dari lembaga-lembaga Gereja tersebut. Sistem kelembagaan seperti ini harus ditinggalkan dan beralih kepada sistem kelembagaan yang baru yang lebih berpihak pada kaum miskin. Atau dengan kata lain, kita tidak menolak keberadaan lembaga dalam Gereja, tetapi menolak sistem kelembagaan yang tidak berpihak pada kaum miskin.
3.5.3   Pastoral Gaya Input
Model pastoral gaya input mengindikasikan adanya skenario untuk menjual kemiskinan orang miskin. Pemikiran awalnya adalah semakin banyak input masuk pada orang kecil, maka semakin besar keuntungan yang dinikmati oleh orang-orang kecil. Bantuan berskala kecil diperoleh melalui proposal-proposal yang menjual nama orang-orang kecil. Yang menimbulkan masalah ialah bahwa seringkali bantuan-bantuan itu tidak jatuh di tangan orang-orang kecil itu, tetapi hilang dalam birokrasi dan prosedur yang berbelit-belit. Sistem input ini sering terjadi pada masyarakat yang feodal dan birokratis . Kaum lemah amat mudah diperdayakan untuk memperoleh keuntungan.
3.5.4   Pastoral Gaya Menentang Struktur
Model ini kebanyakan menggunakan cara-cara Marxis dalam menentang struktur, seperti struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya. Usaha pembebasan dilakukan dengan jalan kekerasan dan menghilangkan unsur-unsur dialog. Orang-orang kecil diorganisir untuk menentang dan meruntuhkan struktur yang ada. Biasanya struktur yang dilawan adalah struktur yang kuat, memiliki pengaruh. Memang akibat struktur yang tidak adil, orang kecil selalu dirugikan, namun dalam menentang struktur yang tidak adil ini tidak bisa dilakukan dengan jalan kekerasan. Kekerasan tidak dapat menyelesaikan masalah dan hanya memperumit masalah yang ada. Hal ini tentu berakibat buruk di mana orang-orang kecil sering menjadi korban dari tindakan itu.
Satu pertanyaan untuk Gereja lokal kita, apakah Gereja merupakan institusi politis yang mengorganisir umat untuk saling dukung-mendukung dalam perpolitikkan? Jelas model ini terlalu riskan bagi orang kecil dan menjadi bumerang bagi mereka. Model ini lebih berorientasi pada aspek ekonomi, kekuasaan dan pengaruh. Karena itu, model ini seharusnya bukan menjadi visi Gereja.
3.5.5   Pastoral Model Perjuangan Keadilan Sosial
Model Justice and Peace ini dianut banyak organisasi sosial. Inilah model pertama dan utama. Orang kecil berhak atas hidup layak dan sejahtera. Perubahan sosial dijalankan melalui saluran konstitusional, ikut serta dalam hidup bernegara secara aktif, pembebasan dari diskriminatif, perjuangan HAM, pemberantasan KKN, perjuangan gender, perjuangan keutuhan alam ciptaan, dan lain sebagainya.
Gereja dikenal karena perhatiannya terhadap kaum miskin dan orang-orang yang berada di pinggiran masyarakat, dan hal ini selalu menjadi fokus perhatian pastoral misioner Gereja. Dalam berhadapan dengan realitas ketidakadilan dan bentuk-bentuk penindasan lainnya atas orang-orang kecil, Gereja diajak untuk menjadi “nabi” untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan.
Dalam kaitan atau relasinya dengan negara, Gereja diajak untuk melihat bersama dan mempertegas opsinya bagi orang-orang kecil. Konsekuensinya, manusia (baca: orang miskin) itu sendiri harus menjadi pusat perhatian dan sekaligus kriteria pelaksanaan satu agama atau satu negara. Suatu agama harus dipertanyakan secara serius kalau ia membawa penderitaan bagi manusia, atau sebuah sistem politik patut digoyahkan kalau ia memenjarakan manusia. Sistem ekonomi harus dipertanyakan kalau ia merugikan orang-orang kecil. Intervensi atas nama dan demi kemanusiaan memiliki dasarnya di sini. Agama mesti angkat bicara, ketika kekuasaan politik tidak lagi mengindahkan martabat manusia. Adalah bertentangan dengan hakikatnya apabila agama mengarahkan pandangannya ke langit yang jauh sambil melupakan manusia konkret yang berjuang di bumi yang keras.
Dalam kehidupan bermasyarakat ditemukan bahwa tidak ada agama yang terlepas dari kondisi sosial tertentu. Umat suatu agama adalah warga satu tatanan politis. Hal ini tentu menuntut suatu keterlibatan agama dalam urusan sosial politik. Dengan demikian, keadaan politik tertentu tidak dapat dilepaskan dari tanggungjawab dan keterlibatan agama. Gereja sebagai institusi harus memiliki tanggungjawab atas permasalahan politik yang ada.
3.5.6   Pastoral Partisipatif dan Solidaritas
Karya pastoral Gereja mesti bertobat dari cara pandang yang lama terhadap orang miskin yang menempatkan orang miskin sebagai objek karya misi dan pastoral, dari pandangan bahwa orang miskin adalah kaum lemah yang tidak mempunyai sumbangan apa-apa bagi karya pastoral Gereja. Kaum miskin tak boleh dilihat lagi hanya sebagai obyek yang baginya Gereja berpastoral. Dalam era paradigma pastoral yang baru, Gereja mesti memandang orang miskin atau kaum lemah sebagai subjek yang memiliki peranan dan sumbangan dalam karya pastoral misioner.
Di samping itu, situasi dan ilustrasi hidup mereka justru menjadi wacana yang memperluas wawasan misi kita. Gereja tak bisa mengatakan bahwa Gereja dan para agen pastoralnya telah memberi lebih banyak kepada mereka. Tetapi sebaliknya, Gereja mesti sadar dan mengakui bahwa dalam karya pastoral, Gereja telah menerima banyak hal dari orang-orang miskin, dan hal-hal itu telah memperkaya karya pastoral.. Atas dasar itu, misi dan evangelisasi dalam paradigma yang baru tak lain adalah aksi timbal balik atau ke-saling-an, yaitu saling membangun, saling memberdayakan, saling melengkapi. Wajah pastoral misioner dalam konteks situasi hidup orang-orang kecil yang tertindas adalah dialog dan kerja sama.
Model partisipasi dan solidaritas sangat sinkron dengan pandangan baru tentang orang miskin. Karena mereka juga adalah sumber, maka partisipasi mereka amat perlu dan harus dikembangkan. Sikap solidaritas perlu dihidupi sebagai dasar untuk membangun dan mengembangkan partisipasi mereka. Sikap solidaritas itu dapat direalisasikan melalui dialog. Dialog ini amat penting untuk meningkatkan keharmonisan di mana kedua belah pihak merasa diri sebagai subjek dan sebagi pihak yang menang.
3.5.7   Masyarakat Kontras
Berhadapan dengan berbagai situasi ketidakadilan dan bentuk-bentuk penindasan, Gereja tampil sebagai “nabi” yang menyuarakan kebenaran. Karya pastoral Gereja tidak menjadi regim keadilan dengan memperjuangkan keadilan seraya membuat ketidakasilan baru. Akan tetapi, pastoral Gereja hendaknya menjadi suara hati masyarakat. Dengan kata lain, Gereja harus menjadi institusi kritik sosial dan tugas kenabian. Gereja harus disadarkan untuk bereaksi atas segala masalah keadilan sosial dan martabat manusia sebagai usaha untuk membaca tanda-tanda zaman. Dalam hal ini, Gereja juga bisa digerakkan untuk memihak kaum miskin dan tertindas serta mereka yang lemah dengan cara mengambil jalan politik yang membebaskan.
3.5.8   Konsientisasi/Penyadaran
Berhadapan dengan kemiskinan yang dijumpai, pastoral Gereja diusahakan untuk menyadarkan umat dengan konteks tertentu, termasuk menyadarkan umat bahwa mereka sedang ditindas. Kesadaran ini tentu dapat diperoleh melalui usaha pendidikan yang membebaskan. Dengan kesadaran ini, tobat yang ditimbulkan dari penyadaran dapat membuat mereka yang tertindas sadar akan martabat dan kekuatannya serta menggerakkan mereka atau mengarahkan mereka untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembebasan. Dengan demikian, umat dapat memperdaya diri dan menjadi kekuatan dalam usaha pembebasan diri dan masyarakatnya.
3.6    Reksa Pastoral Paroki
Paroki merupakan himpunan umat. Karena itu, reksa pastoral umatlah yang diperhatikan. Reksa pastoral itu dipercayakan kepada pastor paroki sebagai gembalanya sendiri di bawah otoritas Uskup. Yang dimaksudkan dengan reksa pastoral adalah terutama Tritugas Yesus, yaitu sebagai nabi yaitu mewartakan dan memberi kesaksian iman; sebagai imam yang menguduskan dan sebagai raja yang murah hati dalam pelayanan yang dilaksanakan untuk kaum beriman.[6]
3.7    Perencanaan Pastoral
Karya pastoral yang baik perlu dijalankan secara terencana. Secara umum, ada enam langkah penting perencanaan pastoral yang mesti diperhatikan, yakni : [7]
a)         Menentukan visi-misi, yakni menentukan arah karya pastoral Gereja dan agenda-agenda kerja penting apa saja yang perlu dijalankan;
b)        Refleksi teologis pastoral atas situasi, yaitu refleksi teologis atas Gereja, atas karya Allah yang sedang berlangsung di tengah jemaat menadi jiwa dari seluruh pelayanan pastoral;
c)         Merumuskan program kerja, yakni buat apa, untuk apa, untuk siapa, penanggung jawab, kapan, biaya, indikator keberhasilan;
d)        Melaksanakan program kerja, yaitu koordinasi, pembagian tugas, pengarahan, tanggung jawab;
e)         Evaluasi dan kontrol, yaitu perlu selalu dikontrol apakah mencapai sasaran atau tidak dan juga dievaluasi sesuai target atau tidak. Mesti ada alasan mengapa sukses atau mengapa gagal;
f)         Situasi baru, yakni keadaan sebagai hasil akhir dari pelaksanaan program pastoral.
















BAB IV
MENGENAL DAN MEMAHAMI
TATA SUSUNAN HIERARKI GEREJA KATOLIK

4.1         Tahta Suci
4.1.1   Pengertian dan Sejarah
Istilah tahta berasal dari kata Latin sedes, yang berarti "kedudukan", yang merujuk pada tahta Keuskupan (katedra). Istilah "tahta apostolik" dapat merujuk pada sembarang tahta yang didirikan oleh salah seorang rasul, kecuali jika disertai kata sandang pasti, ia digunakan dalam Gereja Katolik untuk secara spesifik merujuk pada tahta Uskup Roma, di mana tahta Gereja tersebut berperan sebagai pengganti Simon Petrus, pemimpin para rasul.
Dalam bahasa Latin, Tahta Suci disebut Sancta Sedes. Tahta Suci adalah yurisdiksi episkopal dari Paus Roma (yang umumnya dikenal sebagai Sri Paus), tahta keuskupan nomor satu dalam Gereja Katolik, dan merupakan pusat pemerintahan Gereja Katolik. Dengan demikian, dalam diplomasi, dan dalam bidang-bidang lainnya, Tahta Suci bertindak dan berbicara atas nama seluruh Gereja Katolik. Tahta Suci juga diakui oleh subyek-subyek hukum internasional lainnya sebagai sebuah entitas berdaulat yang dikepalai oleh Sri Paus, yang dengannya dapat dijalin hubungan-hubungan diplomatik.
Meskipun kerap disebut "Vatikan", Tahta Suci tidaklah sama dengan Negara Kota Vatikan, yang baru ada sejak 1929, sedangkan Tahta Suci sudah ada sejak masa-masa permulaan Agama Kristen. Secara resmi, para duta besar bukan ditunjuk bagi Negara Kota Vatikan, melainkan bagi "Tahta Suci", dan wakil-wakil kepausan untuk negara-negara dan organisasi-organisasi internasional disambut sebagai perwakilan dari Tahta Suci, bukan sebagai perwakilan dari Negara Kota Vatikan.
Semua tahta keuskupan itu "suci", namun istilah "Tahta Suci" (tanpa spesifikasi lebih lanjut) biasanya digunakan dalam hubungan-hubungan internasional, sebagai sebuah metonim, (begitu juga dalam hukum kanon Gereja Katolik) untuk menyebut Tahta Keuskupan Roma sebagai pusat pemerintahan Gereja Katolik.
Tahta Suci (Holy See) merujuk kepada otoritas tertinggi dari Gereja, di mana Paus sebagai uskup Roma dan kepala dari  persekutuan para uskup. Tahta Suci adalah pusat pemerintahan dari Gereja Katolik, yang mempunyai hukum internasional, seperti menandatangani persetujuan, dan sebagainya.
Sedangkan sejarah pengakuan internasional Tahta Suci sebagai Negara yang berkedudukan di Vatikan sudah dimulai sejak persetujuan di Laterano IV Roma tahun 1850-an. Karena memiliki hubungan ke beberapa negara dalam hal keagamaan dan berkaitan hubungan dengan Negara yang bersangkutan, maka Tahta Suci diakui sebagai Negara kecil seperti Monaco, dan lain-lain yang memiliki hanya 40 ha luas tanah diperbukitan kota Roma (Vatikan). Jadi, yang benar bukan Vatikannya, tetapi Tahta suci (bukan kedutaan Vatikan tetapi kedutaan Tahta Suci). Unsur hubungan keagamaan lebih dominan ke beberapa negara yang tentunya hak diplomatik sama dengan negara lain, tetapi bidang karya berbeda.
4.1.2   Organisasi
Sri Paus menjalankan pemerintahan Gereja Katolik melalui Kuria Romawi. Kuria Romawi terdiri atas sejumlah jawatan yang menangani urusan-urusan Gereja pada tingkat tertinggi, mencakup Sekretariat Negara, sembilan Kongregasi, tiga Pengadilan Gereja, sebelas Dewan Kepausan, dan sebelas Komisi Kepausan. Sekretariat Negara, di bawah pimpinan Kardinal Sekretaris Negara, mengarahkan dan mengkoordinasi Kuria. Sekretaris Negara saat ini adalah Kardinal Tarcisio Bertone, adalah padanan Tahta Suci untuk seorang perdana menteri. Uskup Agung Dominique Mamberti, Sekretaris Bagian Hubungan Antarnegara dari Sekretariat Negara, bertindak selaku menteri luar negeri Tahta Suci. Bertone dan Mamberti ditunjuk untuk menjabat posisinya masing-masing oleh Paus Benediktus XVI pada bulan September 2006.
4.1.3   Status Hukum Internasional
Tahta Suci telah diakui, baik itu dalam hal praktis kenegaraan maupun dalam tulisan para sarjana hukum modern, sebagai subjek hukum publik internasional, dengan hak dan kewajiban yang analog dengan negara berdaulat. Meskipun Tahta Suci, karena berbeda dengan Vatikan, tidak memenuhi kriteria mapan dalam hukum kenegaraan internasional, yakni memiliki penduduk permanen, wilayah yang pasti, pemerintah yang stabil, dan kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain, namun kepemilikannya akan personalitas hukum penuh dalam hukum internasional ditunjukkan oleh fakta bahwa Tahta Suci memelihara hubungan diplomatik dengan 178 negara. Tahta Suci merupakan negara anggota dalam berbagai macam organisasi internasional antarpemerintah, dan bahwa Tahta Suci "dihormati oleh komunitas internasional negara-negara berdaulat dan diperlakukan sebagai subjek hukum internasional yang memiliki kapasitas untuk terlibat dalam hubungan diplomatik dan untuk memasuki perjanjian-perjanjian yang mengikat dengan satu, beberapa, atau banyak negara di bawah hukum internasional yang digulirkan untuk membangun dan memelihara perdamaian di dunia".
4.1.4   Diplomasi
Sejak zaman pertengahan, tahta keuskupan di Roma telah diakui sebagai sebuah entitas yang berdaulat. Tahta Suci (bukan Vatikan) memelihara hubungan diplomatik formal dengan 178 negara berdaulat, dan juga dengan Uni Eropa, dan Ordo Militer Berdaulat Malta. Selain itu, Tahta Suci juga memiliki hubungan berkarakter khusus dengan Organisasi Pembebasan Palestina. Kegiatan diplomatik Tahta Suci diatur/diarahkan oleh Sekretariat Negara (yang dikepalai oleh Kardinal Sekretaris Negara), melalui Bagian Hubungan dengan Negara.
Berkaitan dengan diplomasi, Tahta Suci memiliki Nuncio atau Apostolic Nuncio. Nuncio atau Apostolic Nuncio adalah perwakilan dari Paus atau duta besar yang ditunjuk oleh Paus sebagai wakilnya di negara tertentu. Tugas dari Nuncio ini adalah untuk melindungi kepentingan dari Tahta Suci, baik diplomatik maupun urusan Gereja. Dari definisi ini, jelas bahwa jabatan Nuncio bukan hanya mengatur urusan diplomatic, namun juga keagamaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa urusan diplomatik yang diembannya senantiasa berkaitan dengan kepentingan keagamaan, seperti seorang duta besar yang memperjuangkan dan melindungi kepentingan negara yang diwakilinya, maka seorang Nuncio harus memperjuangkan dan melindungi kepentingan Tahta Suci, yaitu untuk menjadikan Gereja sebagai Sakramen Keselamatan bagi seluruh bangsa dengan cara memberitakan Kristus.


4.1.5   Hubungan dengan Vatikan dan Teritorial Lain
Meskipun Tahta Suci terasosiasi dekat dengan Vatikan, namun kedua entitas ini saling terpisah dan berbeda. Setelah Italia mengambil alih negara-negara kepausan pada tahun 1870, Tahta Suci tidak memiliki kedaulatan teritorial. Meskipun demikian, Tahta Suci dapat terus bertindak sebagai personalitas yang merdeka dalam urusan internasional. Faktanya, Tahta Suci tetap menjalankan haknya untuk mengirim dan menerima perwakilan diplomatik, memelihara hubungan dengan negara kekuatan utama Rusia, Prussia, dan Austria-Hungaria.
Negara Vatikan didirikan berdasarkan Perjanjian Lateran pada tahun 1929. Tujuannya adalah "untuk memastikan kemerdekaan Tahta Suci yang mutlak dan kasat mata" dan "untuk menjaminnya sebagai negara berdaulat yang tak tersengketakan dalam urusan internasional" (kutipan dari Perjanjian Lateran). Uskup Agung Jean-Louis Tauran, mantan Sekretaris Tahta Suci untuk Hubungan dengan Negara Lain, berkata bahwa Vatikan adalah "negara mungil penyokong yang menjamin kebebasan rohani Paus dengan teritorial minimum".
Tahta Suci, bukan Vatikan, memelihara hubungan diplomatik dengan negara lain. Kedutaan asing diperuntukan bagi Tahta Suci, bukan Vatikan, dan adalah Tahta Suci yang membuat perjanjian dengan entitas berdaulat lainnya. Jika dirasa perlu, Tahta Suci akan turut serta dalam suatu perjanjian atas nama Vatikan.
Di bawah pasal-pasal Perjanjian Lateran, Tahta Suci memiliki otoritas ekstrateritorial pada 23 situs di Roma dan lima situs Italia di luar Roma, termasuk Istana Kepausan di Castel Gandolfo. Otoritas yang sama berdasarkan hukum internasional juga dipelihara terhadap Nuncio Apostolik Tahta Suci yang berada di luar negeri.
4.1.6   Vatikan
Vatikan, dengan nama resmi bernama State of the Vatican City merupakan negara merdeka terkecil di dunia, dari segi luas wilayah dan jumlah penduduk. Vatikan merupakan sebuah enklaf yang berada di dalam wilayah kota Roma di Italia. Vatikan merupakan tempat tinggal Paus dan wilayah Tahta Suci, otoritas pusat Gereja Katolik.
4.1.6.1  Sejarah
Diperkirakan bahwa daerah di kota Roma yang sebelumnya tidak dihuni ini (ager vaticanus) sudah selalu dianggap suci, bahkan sebelum kedatangan agama Kristen. Pada tahun 326, Gereja pertama dibangun di atas tempat yang diperkirakan sebagai makam Santo Petrus. Sejak itu, tempat ini semakin banyak dihuni.
Para Paus dalam peran sekuler mereka mulai memperluas pengaruh mereka pada daerah-daerah sekitar dan melalui negara-negara, Paus memerintah banyak daerah di semenanjung Italia selama lebih dari seribu tahun hingga pertengahan abad ke-18 ketika seluruh Italia dipersatukan. Pada saat itu, daerah negara Paus disita oleh Kerajaan Italia yang baru didirikan.
Lalu pada tahun 1870, dalam gerakan penyatuan Italia, wilayah kekuasaan para pemimpin Gereja dimasukkan ke dalam wilayah Italia dan wilayah kekuasaan Paus lebih dikurangi lagi ketika Roma dianeksasi. Namun, Gereja Katolik Roma tidak menerima hal ini dan timbullah konflik antara Gereja dan kerajaan Italia yang akhirnya diselesaikan dengan perjanjian Lateran  (juga dikenal dengan nama Concordat) yang ditandatangani pada 11 Februari 1929 oleh Kardinal Gaspari yang mewakili Pius XI dan Benito Mussolini yang mewakili Raja Victor Emmanuel III. Isi utama perjanjian ini yaitu diakuinya Negara Vatikan yang berdaulat dan independen di bawah pemerintahan Tahta Suci, status istimewa bagi agama Katolik di Italia, dan ganti rugi terhadap Vatikan atas kerugian yang diderita ketika negara Italia didirikan. Perjanjian Lateran ini tetap diakui, meskipun setelah perang dunia II sistem kerajaan Italia berakhir dan berubah menjadi negara republik. Pada tahun 1984, Concordat ini disesuaikan lagi.
4.1.6.2  Politik
Vatikan merupakan sebuah kaukus unik, sebuah contoh dari sebuah kerajaan di mana fungsi kepala negara, yaitu sang Paus tidak diwariskan tetapi dipilih untuk seumur hidup oleh dewan Kardinal. Anggota dewan kardinal yang dapat memilih adalah mereka yang berumur di bawah 80 tahun. Pertemuan dewan kardinal untuk memilih Paus ini disebut konklaf dan dilaksanakan di Kapel Sistina. Kata konklaf ini berasal dari bahasa Latin cum clavis yang artinya "dengan kunci". Maksudnya merekalah yang memegang kunci pemilihan. Kata cum clavis ini juga memiliki arti bahwa para kardinal dikunci di Kapel Sistina selama proses pemilihan tersebut.
Istilah Takhta Suci merujuk kepada otoritas yurisdiksi dan kedaulatan Paus dan para penasehatnya dalam memimpin Gereja Katolik Roma. Tahta Suci mempunyai hak yang sama dengan sebuah negara berdaulat. Sebagai negara berdaulat, Vatikan juga mempunyai hak untuk mengirim dan menerima diplomat. Para diplomat ini membutuhkan Kedutaan Besar yang harus berkedudukan di kota Roma karena tidak ada tempat di Vatikan. Dengan demikian, ada sebuah situasi paradoksal di mana Italia mempunyai perwakilan di wilayahnya sendiri. Indonesia juga memiliki perwakilan di Tahta Suci. Berikut adalah nama-nama duta Vatikan untuk Indonesia.
·           Georges-Marie-Joseph-Hubert-Ghislain de Jonghe d'Ardoye, M.E.P. (6 Jul 1947—3 Mei 1955)
·           Domenico Enrici (17 September 1955—30 Januari 1958)
·           Ottavio De Liva (18 April 1962—23 Agustus 1965)
·           Salvatore Pappalardo (7 Desember 1965—1969)
·           Joseph Mees (14 Juni 1969—10 Juli 1973)
·           Vincenzo Maria Farano (8 Agustus 1973—25 Agustus 1979)
·           Pablo Puente Buces (18 Maret 1980—15 Maret 1986)
·           Francesco Canalini (28 Mei 1986—20 Juli 1991)
·           Pietro Sambi (28 November 1991—6 Juni 1998)
·           Renzo Fratini (8 Agustus 1998—27 Januari 2004)
·           Albert Malcolm Ranjith Patabendige Don (29 April 2004—10 Desember 2005)
·           Leopoldo Girelli (13 April 2006—Juni 2011)
·           Antonio Guido Filipazzi (Juni 2011—kini)
4.1.6.3  Geografi
Kota Vatikan terletak di atas bukit Vatikan di sebelah barat laut kota Roma, beberapa ratus meter dari Sungai Tiber. Perbatasannya dengan Italia sepanjang 3,2 km mengikuti tembok kota yang dahulu dibangun untuk melindungi Paus dari serangan. Total wilayah adalah 0,44 km². Selain kota Vatikan, wilayah Paus juga meliputi beberapa Gereja penting, kantor-kantor dan Castel Gandolfo. Paus adalah Kepala Negara sedangkan seorang gubernur mengurusi keperluan sehari-hari.
4.1.6.4  Eknomi
Ekonomi Vatikan yang non-komersial ini disokong dengan sumbangan dari para umat Katolik seluruh dunia, penjualan perangko, koin-koin, suvenir turis, iuran masuk museum-museum, dan penjualan beberapa buku dan majalah.
4.1.6.5  Demografi
Hampir semua 890 warga Vatikan tinggal di dalam tembok kota Vatikan. Mereka termasuk rohaniawan, biarawan/biarawati dan Garda Swiss (Bahasa Jerman: Schweizergarde; Bahasa Inggris: Swiss Guard), sebuah unit tentara bayaran dari Swiss yang secara tradisi telah menjadi pasukan pengawal Paus dan Vatikan semenjak tahun 1506. Warga Vatikan 100% beragama Katolik. Bahasa Resmi adalah Bahasa Latin, tetapi Bahasa Italia lebih sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
4.2         Dewan Kardinal
Dewan Kardinal atau yang bernama resmi Dewan Suci Gereja Katolik Roma (Bahasa Inggris: Sacred College of the Holy Roman Church; Bahasa Latin: Sancta Romana Ecclesia, S.R.E.) adalah badan yang menampung semua kardinal Gereja Katolik Roma di dalamnya. Dewan ini memiliki dua peran dalam Gereja:
·           Mengikuti proses pemilihan Sri Paus ketika Tahta Suci kosong;
·           Memberikan masukan kepada Sri Paus mengenai masalah-masalah Gereja ketika Sri Paus memanggil mereka ke dalam sebuah konsistori (pertemuan) biasa.
Berdasarkan sejarah, para kardinal ini juga adalah rohaniwan kota Roma yang melayani Sri Paus sebagai Uskup Roma dan diberikan tugas-tugas di berbagai paroki di kota tersebut. Dewan ini tidak memiliki kekuasaan memerintah, kecuali dalam masa sede vacante (kekosongan Tahta Suci), di mana kekuasaannya juga sangat terbatas. Sejarah Dewan Kardinal sebagai sebuah dewan dapat ditelusuri hingga awal abad ke-12 ketika para uskup kardinal, imam kardinal dan diakon kardinal berhenti berfungsi sebagai kelompok-kelompok yang terpisah.
Asal-usul Dewan Kardinal ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa di sekitar penobatan Henry IV sebagai Raja Jerman dan Kaisar Romawi Suci pada usai enam tahun, setelah kematian Henry III yang mendadak di tahun 1506. Hingga saat itu kekuasaan sekuler memiliki pengaruh yang besar terhadap siapa yang akan ditunjuk menjadi Sri Paus, dan Kaisar Romawi Suci, terutama memiliki kemampuan khusus untuk menunjuk Paus tersebut. Hal ini adalah sesuatu yang sangat penting semenjak tujuan dan pandangan Kaisar Romawi Suci dan Gereja Katolik Roma tidaklah selalu sejalan.
Para anggota yang kemudian dikenal sebagai Reformasi Gregorian mengambil kesempatan dari hadirnya raja baru dan lemahnya kekuasaannya, dan di tahun 1059 mengumumkan bahwa pemilihan Sri Paus merupakan sepenuhnya urusan Gereja. Hal ini merupakan bagian dari sebuah usaha perebutan kekuasaan yang lebih luas yang disebut Kontroversi Pentahbisan (Bahasa Inggris: Investiture Controversy), saat pihak Gereja mencoba untuk meraih kontrol yang lebih besar terhadap rohaniwan Gereja, dan sejalan dengan hal ini berarti juga meraih pengaruh yang lebih besar di kawasan dan pemerintahan di mana para rohaniwan ini ditugaskan.
Kepala Dewan Kardinal dan wakilnya adalah Presiden dan Wakil Presiden dewan tersebut. Mereka berdua dipilih oleh dan dari para kardinal yang memegang jabatan di keuskupan-keuskupan sekitar Roma (Bahasa Inggris: suburbicarian dioceses), namun pemilihannya harus diresmikan oleh Sri Paus, kecuali untuk status memimpin, Kepala Dewan Kardinal tidak memiliki kekuasaan pemerintahan terhadap para kardinal, melainkan hanya bertindak sebagai primus inter pares atau sebagai yang paling senior di antara semuanya.
Menteri Luar Negeri dan para pejabat Kongregasi Kuria Romawi adalah para kardinal dengan beberapa (biasanya berstatus sementara) pengecualian. Dasar Hukum Negara Vatikan Kota mengharuskan bahwa orang-orang yang diangkat ke dalam badan legislatif negara, Komisi Kepausan untuk Negara Kota Vatikan adalah para kardinal.
4.3         Kuria Romawi
4.3.1   Pengertian
Kuria Romawi adalah sebuah perangkat administratif Tahta Suci dan pusat badan pemerintahan seluruh Gereja Katolik Roma, bersama-sama dengan Sri Paus yang mengkoordinasikan dan menyediakan perangkat yang diperlukan untuk keberlangsungan fungsi Gereja Katolik Roma dan pencapaian tujuan-tujuannya.
Kuria pada abad pertengahan dan dalam pengertian Bahasa Latin belakangan ini, memiliki arti "Pemerintahan". Maka, Kuria Romawi, yang bisa diterjemahkan sebagai Pemerintahan Roma seperti yang dirujuk dalam Undang-undang Parlemen Inggris tahun 1534 yang melarang pengajuan banding Inggris kepada Pemerintahan Roma, adalah Pemerintahan Sri Paus, dan membantu Sri Paus dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Kuria Romawi bisa secara bebas dibandingkan dengan kabinet-kabinet di dalam berbagai pemerintahan negara dengan bentuk pemerintah gaya Barat. Namun, hanya Seksi Kedua dari Sekretariat Negara, juga dikenal sebagai Seksi untuk Hubungan Luar Negeri, dan Kongregasi bagi Pendidikan Katolik, yang dapat secara langsung dibandingkan dengan kementerian tertentu dalam sebuah pemerintahan sipil. Kantor-kantor pemerintahan Negara Kota Vatikan bukan merupakan bagian dari Kuria Romawi.



4.3.2   Sejarah
Dalam sejarahnya yang panjang dan penuh peristiwa, Kuria Romawi berulang-kali mengalami perubahan organisasi. Setelah Konsili Trente, Paus Sixtus V menata kembali organisasi ini pada 22 Januari 1588 dengan keluarnya Bulla kepausan Immenda Aeterni Dei. Terjadi juga penataan ulang dalam masa Paus Pius X dengan memperhitungkan perhatian pada masalah-masalah Gerejawi saja yang berasal dari hilangnya Negara-negara Kepausan di Italia bagian tengah.
Ketika Sri Paus berkuasa penuh di wilayah tersebut, Kuria Romawi memiliki fungsi-fungsi religius dan sipil. Fungsi yang terakhir hilang ketika Kerajaan Piedmont-Sardinia, yang sedang memperluas wilayahnya untuk mencakup sebagian besar Italia, menguasai sebagian besar Negara-negara Kepausan pada tahun 1860 dan kota Roma sendiri beserta daerah sekitarnya pada tahun 1870, sehingga mengakhiri kekuasaan duniawi Sri Paus. Semenjak saat itu, Kuria Romawi memusatkan diri seluruhnya pada berbagai tanggung-jawab Gerejawi Sri Paus. Ketika Tahta Suci menyelesaikan Perjanjian Lateran dengan Negara Italia pada tahun 1929, Tahta Suci mengakui pencaplokan Negara-negara Kepausan oleh Italia, dan Negara Kota Vatikan terbentuk. Kuria Romawi terus memusatkan dirinya pada urusan-urusan Gerejawi, dan sebuah badan administrasi Vatikan yang bukan merupakan bagian dari Kuria Romawi dibentuk bagi pemerintahan negara kecil tersebut.
Berbagai perubahan lebih jauh mengikuti Konsili Vatikan II. Beberapa departemen hilang karena fungsi-fungsi mereka sebelumnya dihapuskan, seperti yang terjadi pada "Dataria". Fungsi-fungsi beberapa departemen lainnya yang dihapus tadi dialihkan ke departemen lainnya, seperti fungsi-fungsi "Kantor Apostolik" (Apostolic Chancery atau Cancelleria Apostolica) dan "Sekretariat Surat-menyurat" dialihkan kepada “Sekretariat Negara Tahta Suci”, dan fungsi-fungsi "Kongregasi Upacara" dialihkan kepada “Kantor Pengawas Rumah Tangga Kepausan”. Beberapa departemen lainnya dipecah menjadi beberapa departemen baru, seperti "Kongregasi mengenai Ritus" menjadi “Kongregasi bagi Penyebab Penganugerahan Gelar Santo-Santa” dan “Kongregasi Ibadah Ilahi”, yang terakhir nantinya menjadi (setelah digabung dengan departemen lainnya) Kongregasi Ibadah Ilahi dan Tata-tertib Sakramen. Departemen-departemen lainnya mengalami perubahan pada makna.
4.3.3   Tujuan
Dalam melaksanakan kekuasaan tertinggi, penuh, dan langsung atas Gereja universal, Uskup Roma menggunakan badan-badan dan kongregasi-kongregasi dalam Kuria Romawi yang melaksanakan tugas-tugas mereka atas namanya dan menurut otoritasnya untuk kebaikan Gereja-Gereja dan dalam melayani para imam suci.
4.3.4   Struktur Organisasi Kuria Romawi
Kuria Roma (Roman Curia) adalah orang-orang yang ditunjuk untuk membantu Paus dalam mengatur Gereja. Kuria Romawi adalah aparat administrasi dari Tahta Suci dan badan pusat Gereja Katolik seluruh, bersama dengan Paus. Yang termasuk dalam Kuria Romawi adalah Sekretariat Negara, 9 Kongregasi, 3 Pengadilan, 11 Dewan Kepausan, Sinode Uskup, 3 Kantor, 7 Komisi Kepausan, Garda Swiss, Kantor Perburuhan dari Tahta Apostolik, dan 5 Kepausan Akademi.
4.3.4.1  Sekretariat Negara
Sekretariat Negara Tahta Suci dibentuk pada abad ke-15. Pada saat ini Sekretariat Negara Tahta Suci merupakan badan yang paling penting dalam koordinasi kegiatan Tahta Suci. Sekretariat ini dikepalai oleh seorang Kardinal Sekretaris Negara.
Sekretaris Negara saat ini adalah Kardinal Tarcisio Bertone, adalah padanan Tahta Suci untuk seorang perdana menteri. Uskup Agung Dominique Mamberti adalah Sekretaris Bagian Hubungan Antarnegara dari Sekretariat Negara, bertindak selaku menteri luar negeri Tahta Suci. Sekretariat Negara adalah satu-satunya badan Kuria yang berlokasi di dalam Kota Vatikan.
Para Sekretariat Negara adalah yang tertua di Kuria Romawi, pemerintahan Gereja Katolik Roma. Sekretariat Negara dipimpin oleh Sekretaris Kardinal Negara, saat ini Tarcisio Bertone, dan melakukan semua fungsi politik dan diplomatik Vatikan dan Takhta Suci. Sekretariat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Bagian Urusan Umum dan Bagian Hubungan dengan Luar Negeri.
4.3.4.2  Kongregasi-Kongregasi
1.        Kongregasi untuk Ajaran Iman
Kongregasi bagi Doktrin Iman (Congregatio pro Doctrina Fidei (CDF)), dulunya dikenal sebagai Kongregasi Suci Agung dari Kementerian Suci atau secara sederhana dijuluki Kementerian Suci adalah kongregasi tertua dari sembilan kongregasi Kuria Romawi. Sebagai yang paling aktif di antara para departemen Kuria ini, kongregasi ini bertanggung-jawab atas doktrin-doktrin Katolik.
2.        Kongregasi untuk Gereja-Gereja Oriental
Kongregasi bagi Gereja-gereja Oriental (Congregatio pro Ecclesiis Orientalibus) adalah kongregasi Kuria Romawi yang bertanggung-jawab untuk berhubungan dengan Gereja-Gereja Katolik Timur dengan tujuan untuk membantu perkembangan mereka, melindungi hak-hak mereka dan juga mempertahankan semua ini di dalam satu Gereja Katolik, berdampingan dengan liturgi, disiplin dan kepemimpinan spiritual Ritus Latin, serta berbagai warisan tradisi Kristen Oriental. Kongregasi ini memiliki otoritas eksklusif atas wilayah-wilayah berikut ini: Mesir dan Semenanjung Sinai, Eritrea dan Ethiopia Utara, Albania Selatan dan Bulgaria, Siprus, Yunani, Israel, Iran, Iraq, Lebanon, Teritori Palestina, Siria, Yordania, Turki, dan Ukraina. Kongregasi ini "membahas semua masalah, baik yang berkenaan dengan perorangan atau hal-hal lain, yang mempengaruhi Gereja-gereja Katolik Oriental".
3.        Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen
Kongregasi Ibadah Ilahi dan Tata-tertib Sakramen (Congregatio de Cultu Divino et Disciplina Sacramentorum) adalah kongregasi Kuria Romawi yang menangani sebagian besar masalah yang berhubungan dengan praktik-praktik liturgi Gereja Katolik Latin yang berbeda dengan Gereja Katolik Timur, serta juga masalah hal-hal teknis yang berhubungan dengan sakramen. Kardinal Francis Arinze saat ini menjabat sebagai kepalanya (Kardinal Kepala), Uskup Agung Malcolm Ranjith Penbage Don sebagai sekretaris dan Romo Anthony Ward, S.M., sebagai wakil sekretaris. Kongregasi ini adalah penerus langsung dari Kongregasi Suci bagi Tata-tertib Sakramen (Sacra Congregatio de Disciplina Sacramentorum) (1908-1969).
Pada tahun 1975 institusi ini diberi nama Kongregasi Suci bagi Sakramen dan Ibadah Ilahi (Congregatio de Sacramentis et Cultu Divino) dan menggabungkan fungsi-fungsi dari Kongregasi Suci bagi Ibadah Ilahi (Sacra Congregatio pro Cultu Divino) yang sebelumnya telah terbentuk pada tahun 1969 untuk mengambil-alih tanggung-jawab dalam perihal masalah-masalah liturgi yang sebelumnya ditangani oleh Kongregasi Suci bagi Ritus (Sacra Rituum Congregatio) (1588-1969).
Untuk waktu jeda antara tahun 1984-1988 institusi ini sejenak dibagi lagi menjadi Kongregasi bagi Sakramen (Congregatio de Sacramentis) dan Kongregasi bagi Ibadah Ilahi (Congregatio de Cultu Divino), dibawahi oleh satu orang kepala yang sama.
Konstitusi Apostolik Pastor Bonus yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 28 Juni 1988 menjabarkan fungsi-fungsi dari kongregasi ini, termasuk diantaranya:
·           peraturan dan pemajuan liturgi, terutama yang berhubungan dengan sakramen;
·           peraturan administrasi sakramen, terutama mengenai perayaannya yang benar dan sah;
·           memajukan kegiatan liturgi pastoral, terutama mengenai perayaan Ekaristi;
·           merancang dan merevisi naskah-naskah liturgi;
·           meninjau kalender tertentu dan naskah-naskah sah untuk Misa dan Liturgi harian;
·           memberikan recognitio kepada terjemahan-terjemahan buku liturgi dan sadurannya;
·           memajukan Apostolasi Liturgi, atau musik, lagu atau seni suci;
·           memastkan bahwa norma-norma liturgi ditaati dengan tepat, dan penyelewengan akan hal ini dihindarkan dan dihilangkan apabila ditemukan;
·           menganalisa fakta tidak adanya kepenuhan dalam sebuah pernikahan dan keberadaan sebab adil untuk pemberian dispensasi pernikahan.
·           menganalisa kasus-kasus yang berurusan dengan pembatalan pentahbisan;
·           mengatur kultus relik, konfirmasi santo pelindung dan penganugerahan gelar basilika minor;
·           memberikan bantuan kepada para uskup sehingga doa-doa dan kegiatan-kegiatan rohani umat Kristiani bisa dikembangkan dan berlangsung dengan penuh hormat.
4.        Kongregasi bagi Penyebab Penganugerahan Gelar Santo-Santa
Kongregasi bagi Penyebab Penganugerahan Gelar Santo-Santa (Congregatio de Causis Sanctorum) adalah kongregasi Kuria Romawi yang mengawasi proses rumit yang mengarah pada kanonisasi para orang suci, melewati tahap-tahap pernyataan "kebajikan heroik" dan beatifikasi. Setelah menyiapkan berkasnya, termasuk diterimanya keajaiban-keajaiban yang berhubungan dengannya, berkas ini kemudian diajukan ke Sri Paus, yang akan memutuskan apakah berkas ini dilanjutkan ke tahapan beatifikasi/kanonisasi atau tidak.
Pendahulu dari kongregasi ini adalah Kongregasi Suci bagi Ritus yang didirikan oleh Paus Siktus V pada tanggal 22 Januari 1588 dalam Bulla kepausan Immensa Aeterni Dei. Kongregasi ini berurusan baik dengan pengaturan ibadah ilahi, dan penyelidikan penyebab status orang suci (santo-santa).
Pada tanggal 8 Mei 1969, Paus Paulus VI menerbitkan Konstitusi Apostolik Sacra Rituum Congregatio, yang membagi kongregasi ini menjadi dua, yaitu Kongregasi Ibadah Ilahi dan Tata-tertib Sakramen dan Kongregasi bagi Penyebab Penganugerahan Gelar Santo-Santa. Kongregasi terakhir memiliki tiga bagian, yaitu Pengadilan, Promotor Jendral Imani dan peradilan sejarah.
Dengan adanya perubahan dalam proses kanonisasi yang diperkenalkan oleh Paus Yohanes Paulus II tahun 1983, suatu Dewan Relator ditambahkan untuk mempersiapkan berkas-berkas mereka yang telah dinyatakan sebagai Pelayan Tuhan.
Prefek Kongregasi saat ini (diangkat pada tanggal 9 Juli 2008) adalah Kardinal Angelo Amato, sementara Sekretaris-nya (diangkat pada tanggal 29 Desember 2010) adalah Uskup Agung Marcello Bartolucci. Wakil Sekretaris saat ini adalah F. Bogeslaw Turek. Promotor Jendral Imani (teolog prelatur) adalah Romo Luigi Borricello, O.C.D.
5.        Kongregasi untuk Penginjilan Bangsa
Kongregasi bagi Penginjilan (Congregatio pro Gentium Evangelizatione) di Roma adalah kongregasi Kuria Romawi yang bertanggung-jawab pada karya-karya misionaris dan kegiatan-kegiatan terkait di dalamnya. Kongregasi ini mungkin lebih dikenal dengan nama lamanya, Kongregasi Suci bagi Penyebaran Iman (Sacra Congregatio de Propaganda Fide).
Kongregasi ini didirikan oleh Paus Gregorius XV pada tahun 1622 sebagai Kongregasi Propaganda Fide, sebuah organisasi yang mengatur karya-karya misionaris atas nama berbagai institusi keagamaan dan pada tahun 1627, Paus Urbanus VIII membentuk sebuah sekolah pelatihan bagi misionaris. Kongregasi ini diganti namanya oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1982 dan misi-misinya terus berlanjut tanpa pernah terputus.
Kantor pusat kongregasi ini mulanya berada di Palazzo Ferratini, yang disumbangkan oleh Juan Bautista Vives, berada di sebelah selatan Piazza di Spagna. Dua tokoh seni Barok terkenal dari kota Roma terlibat dalam pengembangan kompleks arsitektur bangunan ini; pematung dan arsitek Gian Lorenzo Bernini dan arsitek Francesco Borromini.
Prefek-nya saat ini adalah Uskup Agung Fernando Filoni, sekretarisnya Uskup Agung Savio Hon Tai-Fai dari Hong Kong. Pejabat Arsip Kongregasi ini adalah Uskup Luis Manuel Cuña Ramos.
6.        Kongregasi bagi Para Imam
Kongregasi bagi Para Imam (Congregatio pro Clericis) adalah kongregasi Kuria Romawi yang bertanggung-jawab atas pengawasan masalah-masalah yang berhubungan dengan para imam dan diakon yang tidak masuk ke dalam ordo atau tarekat religius. Kepala kongregasi saat ini adalah Cláudio Cardinal Hummes, dan sekretarsinya adalah Uskup Agung Mauro Piacenza.
Kongregasi bagi Para Imam berasal dari "Sacra Congregatio Cardinalium Concilii Tridentini interpretum" dibentuk oleh Paus Pius IV dalam konstitusi apostoliknya Alias Nos pada tanggal 2 Agustus 1564. Kongregasi ini bertanggung-jawab untuk memastikan reformasi-reformasi yang disebutkan di dalam Konsili Trente ditaati di seluruh Gereja Katolik. Oleh karenanya, institusi ini dikenal sebagai Kongregasi Suci Konsili sebelum adanya konstitusi apostolik Paus Paulus VI Regimini Ecclesiae Universae pada tahun 1967.
Kongregasi bagi Para Imam menangani berbagai permintaan untuk dispensasi dari pelayanan imam yang sedang aktif, dan juga undang-undang yang mengatur dewan-dewan pastoral dan organisasi imam lainnya di seluruh dunia. Kongregasi ini tidak berurusan dengan kasus-kasus pelecehan seksual para imam karena kasus-kasus tersebut ditangani secara khusus oleh Kongregasi bagi Doktrin Iman.
7.        Kongregasi bagi Institusi Kehidupan Tahbisan Masyarakat Kehidupan Apostolik
Kongregasi bagi Institusi Kehidupan Tahbisan dan Masyarakat Kehidupan Apostolik (Bahasa Latin: Congregatio pro Institutis Vitae Consecratae et Societatibus Vitae Apostolicae) adalah sebuah kogregasi Kuria Romawi yang bertanggung-jawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan institusi-institusi kehidupan tahbisan, ordo dan kongregasi-kongregasi religius, baik untuk pria maupun wanita, institusi-institusi sekular dan masyarakat kehidupan apostolik mengenai organisasi, disiplin, pendidikan, barang-barang, hak-hak dan keistimewaan-keistimewaan mereka.
Kongregasi bagi Institusi Kehidupan Tahbisan dan Masyarakat Kehidupan Apostolik berasal dari "Kongregasi Suci untuk Konsultasi masalah Para Anggota Ordo" yang didirikan oleh Paus Siktus V pada tanggal 27 Mei 1586. Namanya diubah pada tahun 1908 menjadi Kongregasi Urusan Ordo Keagamaan, diganti lagi menjadi Kongregasi untuk Institusi Religius dan Sekular di tahun 1967 oleh Paus Paulus VI dan akhirnya menggunakan namanya saat ini atas keputusan Paus Yohanes Paulus II.
Prefek-nya saat ini adalah Uskup Agung João Bráz de Aviz, sekretrasinya adalah Uskup Agung Joseph William Tobin, C.SS.R., yang adalah mantan Superior Jendral Ordo Redemtoris. Ada dua orang wakil sekretaris kongregasi ini, Suster Enrica Rosanna, F.M.A. (wanita pertama yang memegang jabatan tertinggi di semua posisi dalam Kuria Romawi), dan Romo Sebastiano Paciolla, O.Cist.
8.        Kongregasi bagi Pendidikan Katolik
Kongregasi bagi Pendidikan Katolik (di seminari dan institusi pembelajaran) atau Congregatio de Institutione Catholica (de Seminariis atque Studiorum Institutis) adalah kongregasi kepausan Kuria Romawi yang bertanggung-jawab atas :
1.        seminari-seminari (kecuali yang diatur oleh Kongregasi bagi Penginjilan dan Kongregasi bagi Gereja-gereja Oriental) dan rumah-rumah formasi dari institusi-institusi religius dan sekuler;
2.        universitas, fakultas, institusi dan sekolah-sekolah tinggi, baik yang gerejawi maupun yang sipil namun bergantung pada orang-orang Gerejawi;
3.        sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan yang bergantung pada kepengurusan Gerejawi.
Paus Sixtus V membentuk cikal-bakal kongregasi ini pada tahun 1588, dengan Konstitusi Immensa, untuk mengawasi Universitas Roma La Sapienza dan universitas-universitas terkemuka lainnya saat itu, termasuk di antaranya Universitas Bologna, Universitas Paris dan Universitas Salamanca. Paus Leo XII, pada tahun 1824, membentuk Congregatio studiorum bagi institusi-institusi pendidikan di Negara-negara Kepausan yang, pada tahun 1870 mulai mengawasi universitas-universitas Katolik. Paus Pius X menegaskan tanggung-jawab ini pada tahun 1908 dan Paus Benediktus XV mendirikan sebuah seksi khusus bagi seminari pada tahun 1915 (yang berada di bawah Kongregasi Konsistorial), yang digabungkan dengan Congregatio studiorum dan dinamakan Congregatio de Seminariis et Studiorum Universitatibus.
Pada tahun 1967, Paus Paulus VI mengubah namanya menjadi Sacra Congregatio pro institutione Catholica. Namanya sekarang "Kongregasi bagi Pendidikan Katolik (di Seminari dan Institusi Pembelajaran)" berasal dari konstitusi apostolik Paus Yohanes Paulus II tahun 1988 bernama Pastor Bonus. Kongregasi ini melakukan kunjungan-kunjungan apostolik ke berbagai institusi Katolik dan menerima kunjungan para uskup selama Quinquennial Visit Ad Limina (kunjungan wajib mereka ke Vatikan untuk melaporkan keadaan keuskupan mereka), mengajukan para rektor dan mendirikan seminari.
Kepala kongregasi ini sekarang adalah Zenon Cardinal Grocholewski, dan sekretarisnya adalah Uskup Agung Jean-Louis Bruguès, O.P.



9.        Kongregasi bagi Para Uskup
Kongregasi bagi Para Uskup (Congregatio pro Episcopis) adalah sebuah kongregasi Kuria Romawi yang mengawasi pemilihan uskup-uskup baru yang tidak berada di wilayah misi atau wilayah-wilayah yang berada di dalam yurisdiksi Kongregasi bagi Gereja-Gereja Oriental yang berhubungan dengan umat Katolik Timur, sesuai dengan persetujuan Sri Paus. Kongregasi ini juga menjadwalkan pertemuan dengan Sri Paus yang dipersyaratkan sekali tiap lima tahun bagi para uskup dan mengatur dibangunnya keuskupan-keuskupan baru.
Kongregasi bagi Para Uskup berasal dari "Kongregasi bagi Pendirian Gereja-Gereja dan Pengawasan Kedisiplinan" yang didirikan oleh Paus Siktus V pada tanggal 22 Januari 1588. Sebelum Konsili Vatikan II, ketika Sri Paus mengumumkan nama-nama kardinal baru di sebuah konsistori rahasia (yaitu saat para kaisar, raja, pengeran atau petinggi Kekaisaran Romawi Suci tidak sedang hadir), nama-nama para kardinal yang baru diangkat akan dibaca, yang disambung dengan dibacanya nama-nama Uskup dan Uskup Agung baru. Inilah alasan mengapa hingga tahun 1967 kongregasi ini dulunya disebut Kongregasi Konsistorial Suci. Prefek saat ini (sejak tanggal 30 Juni 2010) adalah Kardinal Marc Ouellet. Sekretarisnya saat ini (sejak tanggal 3 Juli 2009) adalah Uskup Agung Manuel Monteiro de Castro. Wakil Sekretaris saat ini (sejak tahun 1993) adalah Monsinyur Giovanni Maria Rossi.
4.3.4.3  Pengadilan
1.        Lembaga Pengampunan Dosa Apostolik
Lembaga Pengampunan Dosa Apostolik adalah salah satu dari tiga pengadilan dari Kuria Romawi. Lembaga Pemasyarakatan Apostolik bertanggung jawab untuk masalah yang berhubungan dengan pengampunan dosa-dosa dalam Gereja Katolik Roma. Lembaga ini merupakan pengadilan khusus masalah dosa dan pengampunan dalam Gereja Katolik Roma.
Lembaga Pengampunan Dosa Apostolik tidak berurusan dengan penilaian atau keputusan dari pihak luar, melainkan dengan hati nurani, memberikan pengampunan atas dosa dengan cara menghentikan kecaman, ekskomunikasi (pengucilan) dan interdiksi (larangan keikutsertaan dalam ibadah), dispensasi, peringanan hukuman, pengesahan, pembenaran, dan berkat-berkat lainnya. Lembaga ini juga memberikan indulgensi.


2.        Mahkamah Agung Signatura Apostolik
Signatura Apostolik adalah pengadilan banding tertinggi dan pengadilan administratif yang berfokus pada keputusan Sacra Rota Romana dan keputusan administratif kepala biara Gerejawi (uskup dan kepala biara ordo keagamaan), seperti penutupan paroki atau pemberhentian seseorang dari tugas. Signatura Apostolik juga mengawal kinerja pengadilan Gerejawi pada semua tingkatan. Lembaga ini adalah otoritas yudisial tertinggi dalam Gereja, selain Paus.
3.        Pengadilan Katolik Sacra Rota Romana
Sacra Rota Romana menangani peradilan banding normal, dan yang terbanyak adalah yang terkait dengan tuduhan ketidaksahan pernikahan.
4.3.4.4  Dewan Kepausan
1.        Dewan Kepausan untuk Kaum Awam
Dewan Kepausan untuk Kaum Awam memiliki tanggung-jawab untuk membantu Sri Paus dalam urusannya dengan kaum awam dalam gerakan Gerejawi kaum awam atau kaum awam secara pribadi, dan sumbangsih mereka kepada Gereja. Presiden dewan ini sekarang adalah Uskup Agung Stanisław Cardinal Ryłko]]. Sekretarisnya adalah Josef Clemens.
Dewan Kepausan untuk Kaum Awam berdiri atas dasar Dekrit tentang Kerasulan Kaum Awam dari Konsili Vatikan II. Dewan ini lahir pada bulan Januari 1967. Pada bulan Desember 1976, dewan ini dimasukkan sebagai perangkat tetap Kuria Romawi.
2.        Dewan Kepausan untuk Memajukan Persatuan Kristiani
A.       Asal Usul
Asal-usul Dewan Kepausan untuk Memajukan Persatuan Kristiani berhubungan erat dengan Konsili Vatikan II yang berlangsung pada tahun 1962-1965.
Paus Yohanes XXIII meminta Gereja Katolik Roma untuk terlibat di dalam gerakan ekumene kontemporer. Ia mendirikan "Sekretariat untuk Memajukan Persatuan Kristiani" pada tanggal 5 Juni 1960 sebagai sebuah komisi persiapan untuk terbentuknya dewan ini, dan menunjuk Augustin Cardinal Bea sebagai presiden pertamanya. Sekretariat ini mengundang Gereja-Gereja dan berbagai perkumpulan (komuni) dunia untuk mengirimkan para wakil mereka ke dewan ini sebagai pengamat. Sekretariat ini menyiapkan dan membuat beberapa dokumen kepada pihak dewan:
·       Ekumenisme (Unitatis Redintegratio);
·       Agama-agama non-Kristen (Nostra aetate);
·       Kebebasan beragama (Dignitatis humanae);
·       Bersama dengan komisi doktrin, Konstitusi Dogmatis mengenai Wahyu Ilahi (Dei Verbum).
Dewan ini terdiri atas dua bagian yang berhubungan dengan:
·       Gereja-gereja Timur-Gereja-gereja Ortodoks dan Gereja-gereja Oriental kuno;
·       Gereja-gereja Barat dan Komunitas Gerejawi dan sebagai wakil di Dewan Gereja Dunia.
Menyusul Konsili Vatikan II, pada tahun 1966, Paus Paulus VI menegaskan bahwa Sekretariat untuk Memajukan Persatuan Kristiani sebagai sebuah badan tetap Tahta Suci.
Dalam Konstitusi Apostolik Pastor Bonus (28 Juni 1988), Paus Yohanes Paulus II mengubah Sekretariat ini menjadi Dewan Kepausan untuk Memajukan Persatuan Kristiani di dalam Kuria Romawi.
B.       Tujuan
Dewan ini mempunya peran dua lapis:
·       Pengembangan semangat ekumene yang asli dalam Gereja Katolik menurut keputusan konsili (Unitatis Redintegratio);
·       Untuk mengembangkan dialog dan kerja-sama dengan Gereja-Gereja lain dan perkumpulan-perkumpulan dunia.
Semenjak pembentukannya, dewan ini telah menjalankan suatu kerja-sama yang baik dengan Dewan Gereja Dunia. Dua belas teolog Katolik pernah menjadi anggota Komisi Iman dan Golongan dari dewan Gereja dunia ini sejak tahun 1968.
Dewan ini bertanggung-jawab untuk menunjuk para pengamat Katolik di berbagai pertemuan ekumene dan pada gilirannya, mengundang para pengamat atau "delegasi persaudaraan" dari Gereja-Gereja atau komunitas-komunitas Gerejawi lainnya ke acara-acara besar Gereja Katolik.

Saat ini dewan ini terlibat di dalam suatu dialog teologis internasional dengan Gereja dan perkumpulan (komuni) dunia berikut ini:
·       Gereja Ortodoks Timur;
·       Gereja Ortodoks Koptik;
·       Gereja Ortodoks India;
·       Komuni Anglikan;
·       Dewan Methodist Dunia;
·       Aliansi Dunia Baptis;
·       Beberapa kelompok Gereja Pentakosta.
Dewan ini juga berusaha memajukan pertemuan-pertemuan dengan kaum Evangelis.
C.       Struktur
Dewan ini dipimpin oleh seorang Presiden Kardinal, dibantu oleh seorang Sekretaris seorang Sekretaris Bersama dan seorang Wakil Sekretaris.
·       Presiden: Kurt Koch, 2010-saat ini
·       Sekretaris: Brian Farrell, L.C., 2002-saat ini
·       Wakil Sekretaris: Eleuterio Francesco Fortino, 1987-2010
D.       Kitab Suci
Dewan ini bertugas untuk bekerja sama dengan Gereja-Gereja lain dalam penerjemahan ekumene dari Kitab Suci, dan mendorong berdirinya Federasi Kitab Suci Katolik.
E.       Hubungan dengan Kaum Yahudi
Komisi Tahta Suci untuk Hubungan Rohani dengan Kaum Yahudi merupakan tanggung-jawab dari dewan ini, sementara Komisi Tahta Suci untuk Hubungan Rohani dengan Kaum Muslim berada di bawah pimpinan Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama. Hal ini terjadi karena faktanya saat dewan ini dibentuk, Komisi Tahta Suci untuk Hubungan Rohani dengan Kaum Yahudi dimintai masukan apakah ingin masuk di dalam Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama atau tidak, namun komisi ini menolak dan oleh karenanya tetap menjadi bagian dari dewan ini.
3.        Dewan Kepausan untuk Keluarga
Dewan Kepausan untuk Keluarga adalah bagian dari Kuria Romawi Gereja Katolik Roma. Dewan ini dibentuk oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 9 Mei 1981, menggantikan Komite untuk Keluarga yang dibentuk oleh Paus Paulus VI pada tahun 1973. Dewan ini bertugas untuk :
·      mengembangkan pelayanan pastoral bagi para keluarga, melindungi hak-hak dan martabat mereka di Gereja dan di tengah-tengah masyarakat umum, sehingga mereka semakin mampu untuk memenuhi tugas dan kewajiban mereka;
·      Bekerja untuk suatu pengertian yang lebih mendalam atas ajaran Gereja;
·      Mendorong pembelajaran dalam spiritualitas pernikahan dan keluarga;
·      Bekerja untuk memastikan perhatian yang tepat terhadap kondisi-kondisi manusiawi dan sosial institusi-institusi keluarga di manapun berada;
·      Bberjuang untuk memastikan bahwa hak-hak keluarga diperhatikan dan dibela hingga bahkan di dalam dunia sosial politik;
·       Mendukung serta mengkoordinasikan berbagai inisiatif untuk melindungi kehidupan manusia mulai dari saat pertama konsepsi, dan mendorong prokreasi yang bertanggung-jawab;
·      Mengembangkan dan mengkoordinasikan usaha-usaha pastoral yang berhubungan dengan perihal prokreasi bertanggung-jawab, dan mendorong, mempertahankan dan mengkoordinasikan inisiatif-inisiatif dalam pembelaan terhadap hidup manusia di semua tahapan kehidupan, mulai dari konsepsi hingga kematian alami
Di antara dokumen-dokumen penting yang diterbitkan oleh dewan ini adalah Kebenaran dan Arti dari Seksualitas Manusia (1995) yang memberikan panduan bagi pendidikan di dalam keluarga; Buku Panduan bagi Para Imam Penerima Pengakuan Dosa mengenai Aspek-aspek Moralitas dari Kehidupan Suami-Istri (1997) yang menegaskan kembali dasar dilarangnya tindakan kontrasepsi, dan Deklarasi atas Menurunnya Tingkat Kesuburan di Dunia (1998) mengenai kecenderungan turunnya angka kependudukan.
Dewan ini memiliki sebuah Komite Kepresidenan yang terdiri atas 15 Kardinal, 12 Uskup Agung and Uskup, 19 pasangan suami-istri, 39 konsultan, dan 10 orang pegawai. Para konsultannya anatara lain adalah orang awam seperti teolog moralitas Janet E. Smith, Presiden Christendom College Timothy T. O'Donnell, Carl A. Anderson, Ksatria Agung dari organisasi Ksatria Columbus, José Luis Mendoza, presiden Catholic University of St Anthony di Murcia, Spanyol, dan ayah dari 14 anak, serti Jerry Coniker, salah satu pendiri gerakan Apostolate for Family Consecration dan Catholic Familyland.
Dewan ini mengorganisasikan Pertemuan Dunia mengenai Keluarga yang diadakan di Roma pada tahun 1994, di Rio de Janeiro pada tahun 1997, Roma lagi tahun 2000, Manila pada tahun 2003, Valencia, Spanyol tahun 2006 dan Mexico City pada tahun 2009.
Dewan ini bermarkas di Palazzo San Callisto, Piazza San Callisto, Roma. Pada tanggal 6 Juni 2006, dewan ini menerbitkan sebuah dokumen berjudul "Keluarga dan Prokreasi Manusia" yang menyatakan bahwa "belum pernah terjadi sebelumnya bahwa institusi pernikahan dan keluarga alami menjadi korban dari serangan-serangan yang sangat kejam."
4.        Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (Justitia et Pax)
A.  Arti
Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (Justitia et Pax) adalah sebuah bagian dari Kuria Romawi yang khusus mengurus "pembelajaran-pembelajaran yang berorientasi pada tindakan" bagi penyebaran dan perkembangan keadilan, perdamaian dan hak-hak asasi manusia di level internasional dari sudut pandang Gereja Katolik Roma. Untuk tujuan ini, dewan ini bekerja-sama dengan berbagai ordo religius dan kelompok-kelompok advokat, termasuk juga organisasi-organisasi cendekiawan, ekumene dan internasional.
B.  Asal-Usul
Konsili Vatikan II telah mengusulkan pembentukan sebuah badan Gereja universal yang perannya adalah "untuk merangsang komunitas Katolik untuk menggerakkan perkembangan di wilayah-wilayah yang membutuhkan dan dalam keadilan sosial di panggung internasional". Sebagai tanggapan atas permintaan ini, Paus Paulus VI mendirikan Komisi Kepausan "Justitia et Pax" pada 6 Januari 1967.
Dua bulan kemudian, dalam Populorum Progressio, Paus Paulus VI secara singkat menyatakan mengenai badan yang baru ini bahwa "namanya, termasuk juga programnya, adalah Keadilan dan Perdamaian" (No. 5). Setelah melalui periode uji-coba selama sepuluh tahun, Paus Paulus VI memberikan komisi ini status resmi pada 10 Desember 1976. Ketika Konstitusi Apostolik Pastor Bonus tanggal 28 Juni 1988 menata ulang Kuria Romawi, Paus Yohanes Paulus II mengubah namanya dari Komisi menjadi Dewan Kepausan, dan menegaskan kembali garis-garis besar kerjanya.
C.  Tujuan dan Mandat
Pastor Bonus menjabarkan tujuan dan mandat Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian ini dalam kata-kata berikut:
·           Dewan ini mendorong perkembangan keadilan dan perdamaian di dunia, dalam bimbingan Injil dan ajaran sosial Gereja (art. 142). § 1;
·           Dewan ini memperdalam doktrin sosial Gereja dan berusaha untuk membuatnya lebih dikenal dan lebih dilaksanakan secara luas, baik oleh individu maupun oleh komunitas, terutama dalam hubungannya dengan hubungan antara para pekerja dan para pengusaha. Hubungan-hubungan ini harus semakin lama semakin bercirikan semangat dari Injil. § 2;
·           Dewan ini mengumpulkan dan mengevaluasi berbagai bentuk informasi dan berbagai hasil penelitian mengenai keadilan dan perdamaian, perkembangan manusia serta pelanggaran hak-hak asasi manusia. Apabila dirasa tepat, dewan ini akan melaporkan semua kesimpulan yang diambil ke badan-badan Episkopal (gerejawi). Dewan ini akan mendorong perkembangan hubungan dengan organisasi-organisasi Katolik internasional dan badan-badan lainnya, baik Katolik maupun bukan, yang secara tulus berkomitmen pada perkembangan nilai-nilai keadilan dan perdamaian di dunia. § 3;
·           Dewan ini memperbesar kesadaran akan kebutuhan untuk mengembangkan perdamaian, terutama di dalam program Hari Perdamaian Dunia (art. 143). Dewan ini akan menjaga hubungan yang erat dengan Sekretariat Negara, terutama ketika dewan ini berurusan secara publik dengan masalah-masalah keadilan dan perdamaian dalam dokumenpdokumen atau deklarasi-deklarasinya (art. 144).
D.  Struktur
Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian memiliki seorang Presiden yang dibantu oleh seorang Sekretaris dan seorang Wakil Sekretaris. Semuanya diangkat oleh Sri Paus untuk masa jabatan selama lima tahun. Sekumpulan pegawai yang terdiri atas orang awam, religius dan imam dari berbagai negara bekerja dengan mereka dalam pelaksanaan program dan kegiatan Dewan. Sri Paus juga mengangkat sekitar empat-puluh anggota dari berbagai bagian dunia dan Konsultan yang bekerja dalam kapasitas pribadi untuk periode selama lima tahun. Para anggota ini bertemu di Roma dalam interval waktu tertentu untuk mengadakan Sidang Pleno di mana tiap orang, menurut latar belakang dan pengalaman profesional atau pastoral, memberikan masukan dalam rencana keseluruhan terhadap kegiatan-kegiatan Dewan Kepausan ini. Sebagai titik puncak dari aktivitas Dewan, Sidang Pleno adalah sebuah waktu untuk penegasan murni dari "tanda-tanda peradaban".
Para konsultan, di mana beberapa di antaranya adalah para ahli di bidang ajaran sosial Gereja, dapat dipanggil untuk berpartisipasi di dalam kelompok-kelompok kerja mengenai topik-topik tertentu.
5.        Dewan Kepausan Cor Unum (Pengembangan Manusia dan Jemaat Kristen)
Dewan Kepausan Cor Unum bagi Perkembangan Umat Manusia dan Kristiani adalah sebuah bagian dari Kuria Romawi Gereja Katolik Roma. Dewan ini dibentuk oleh Paus Paulus VI pada 15 Juli 1971 dan berkantor pusat di Palazzo San Callisto, di Piazza San Callisto, Roma.
Nama dewan kepausan ini berarti "satu hati", sebuah nama yang dijelaskan oleh Paus Paulus VI dalam sebuah pidatonya di tahun 1972: "Sehingga kita bisa memberikan nama "satu hati" pada kegiatan Gereja kalian untuk membantu pihak lain, satu hati yang berdetak seirama dengan hati Kristus, yang rasa belas kasih-Nya bagi orang-orang yang kelaparan mampu menggapai hingga ke dalam kelaparan rohani mereka".
Misinya adalah "pelayanan Gereja Katolik untuk kaum yang membutuhkan, sehingga mendorong kesetiakawanan manusia dan menghadirkan amal Kristus di dunia", dan dewan ini menjalankan misi ini dengan melakukan operasi-operasi bantuan kemanusiaan setelah terjadinya bencana, menumbuh-kembangkan kegiatan amal, dan mendorong kerjasama dan koordinasi antara sesama organisasi Katolik lainnya.
Dewan ini memiliki seorang presiden, sekretaris, wakil sekretaris, 38 anggota dan 9 konsultor. Semuanya diangkat untuk masa jabatan selama lima tahun, ditambah sembilan orang staf tetap. Presiden-nya saat ini adalah Uskup Agung Robert Sarah. Monsinyur Giovanni Pietro Del Toso, yang sebelumnya adalah wakil sekretaris dewan, menjabat sebagai sekretaris. Pada hari Rabu, 5 Januari 2011, Paus Benediktus XVI mengangkat Monsinyur Segundo Tejado Munoz, seorang pejabat Dewan Kepausan, sebagai wakil sekretaris.



6.        Dewan Kepausan untuk Pelayanan Iman bagi Para Migran dan Pengungsi
A.       Arti
Dewan Kepausan untuk Pelayanan Imam bagi Para Migran dan Pengungsi (Pontificium Consilium de Spirituali Migrantium atque Itinerantium Cura) adalah sebuah badan Kuria Romawi. Dewan ini didirikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 28 Juni 1988, ditujukan khusus untuk kesejahteraan spiritual para pendatang dan pengungsi.
Presiden Dewan saat ini adalah Uskup Agung Antonia Maria Vegliò, yang diangkat oleh Paus Benediktus XVI pada tanggal 28 Februari 2009. Sekretarisnya saat ini adalah Uskup Joseph Kalathiparambil, yang diangkat oleh Paus Benediktus XVI pada 22 Februari 2011 yang sebelumnya adalah Uskup Kozhikode, India.
B.       Peran
Menurut ayat 149 Konstitusi Apostolik mengenai Kuria Romawi, Pastor Bonus, yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 28 Juni 1988: "Dewan Kepausan untuk Pelayanan Iman bagi Para Migran dan Pengungsi membawa perhatian-perhatian pastoral Gereja Katolik Roma untuk mengurus kebutuhan-kebutuhan khusus mereka yang telah dipaksa meninggalkan tanah air mereka atau yang tidak mempunyai tanah air sama sekali. Dewan ini juga mengawasi agar masalah-masalah ini diperhatikan dengan wajar." Ayat 150 dan 151 juga memasukkan para pengungsi, orang yang dalam pengasingan, kaum nomaden, pekerja sirkus, pelaut, pekerja bandara dan pesawat terbang, serta para umat Kristiani yang sedang melakukan perjalanan rohani ke dalam pelayanan Dewan ini.
C.       Sejarah
Selama abad ke-19, "pergerakan manusia" berada di bawah kewenangan Kongregasi untuk Penyebaran Iman, dengan Kantor Pelayanan Spiritual Emigran nantinya menggantikan posisinya. Pada tahun 1952, di dalam Kongregasi bagi Para Uskup, Paus Pius XII mendirikan Dewan Tinggi untuk Para Emigran dan Sekretariat Umum untuk Penanganan Apostolatus Maris. Pada tahun 1958, Penanganan Umum Kerasulan di Langit dan di Udara juga dibentuk. Paus Paulus VI mendirikan Sekretariat Internasional untuk Penangan Apostolatus Nomadum dalam departemen yang sama di tahun 1965.
Pada tahun 1967, Paus Paulus VI mendirikan Kantor Pelayanan Pastoral bagi orang-orang yang menjadi bagian dari fenomena rumit yang secara umum dikenal sebagai "Turisme" di dalam Kongregasi bagi Para Imam. Pada tanggal 19 Maret 1970, Paus Paulus VI menggabungkan semua sektor yang berurusan dengan pergerakan manusia ke dalam Komisi Kepausan untuk Pelayanan Spiritual bagi Kaum Migran dan Pengungsi.
D.       Struktur
Dewan ini memiliki banyak "anggota", yang menghadiri pertemuan di Roma, setiap tahunnya menurut aturan. Selain 30 Uskup anggota, para anggota ini termasuk para Kardinal berikut Georg Sterzinsky, Adam Maida, Aloysius Ambrozic, Geraldo Majella Agnelo, Pedro Rubiano Sáenz, Theodore Edgar McCarrick, Keith Michael Patrick O'Brien.
Selain itu, Dewan ini bisa di waktu kapan pun mengundang 15 konsultan untuk dimintai masukan.
7.        Dewan Kepausan untuk Pelayanan Imam bagi Pekerja Kesehatan
Dewan Kepausan untuk Pelayanan Imam bagi Pekerja Kesehatan didirikan pada 11 Februari 1985 oleh Paus Yohanes Paulus II yang mereformasi Dewan Kepausan untuk Bantuan Imam bagi Pekerja Kesehatan ke dalam bentuknya saat ini di tahun 1988. Dewan ini adalah bagian dari Kuria Romawi dengan Uskup Agung Zygmunt Zimowski sebagai presiden-nya. Konstitusi Apostolik Pastor Bonus menjelaskan tugas dewan ini sebagai berikut:
·           Art. 152 — Dewan Kepausan untuk Bantuan Imam bagi Pekerja Kesahatan menunjukkan perhatian Gereja terhadap orang-orang sakit dengan cara membantu mereka yang melayani orang sakit dan menderita, sehingga karya kerasulan kasih mereka bisa secara lebih efektif memenuhi kebutuhan orang-orang yang sedang menderita tersebut;
·           Art. 153 — § 1. Dewan ini bertugas untuk menyebarkan ajaran Gereja mengenai aspek-aspek spiritual dan moral termasuk juga arti dari penderitaan manusia.
Tugas-tugasnya antara lain mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan berbagai departemen Kuria Romawi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Dewan Kepausan ini menjelaskan dan membela ajaran-ajaran Gereja Katolik Roma mengenai masalah-masalah kesehatan. Dewan ini juga mengikuti dan mempelajari program-program dan inisiatif-inisiatif kebijaksan pelayanan kesehatan baik di level nasional maupun di level internasional, dengan tujuan untuk mengambil hal-hal yang relevan dan berpengaruh bagi pelayanan pastoral dari gereja.
8.        Dewan Kepausan bagi Naskah Legislatif
Dewan Kepausan bagi Naskah Legislatif adalah bagian dari Kuria Romawi. Tugasnya  adalah terutama terdisi atas menginterpretasikan hukum-hukum Gereja.
9.        Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama
A.  Arti
Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (DKDA) adalah sebuah departemen dalam Kuria Romawi. Departemen ini didirikan oleh Paus Paulus VI pada 19 Mei 1964 dengan nama Sekretariat bagi Umat Non-Kristiani, dan belakangan diubah oleh Paus Yohanes Paulus II pada 28 Juni 1988 menjadi namanya saat ini.
B.  Memajukan Dialog
DKDA adalah kantor pusat Gereja Katolik untuk urusan memajukan dialog antaragama sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II, terutama deklarasi Nostra Aetate. Dewan ini memiliki tanggung-jawab sebagai berikut:
1.    untuk memajukan sikap saling pengertian, saling menghormati dan kerjasama antara umat Katolik dan umat beragama lainnya;
2.    untuk mendorong pembelajaran mengenai berbagai agama;
3.    untuk memajukan pembentukan manusia-manusia yang berdedikasi pada dialog.
Komisi Hubungan Agama dengan Kaum Yahudi adalah institusi tersendiri yang berada di bawah Dewan Kepausan untuk Memajukan Persatuan Umat Kristiani. Walau demikian, kedua dewan ini selalu bekerja sama dengan sangat erat.
10.    Dewan Kepausan untuk Kebudayaan
A.  Arti
Dewan Kepausan untuk Kebudayaan (Bahasa Latin: Pontificium Consilium de Cultura) adalah sebuah badan Kuria Romawi yang ditugaskan untuk membina hubungan antara Gereja Katolik Roma dengan berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Paus Yohanes Paulus II membentuk dewan ini pada 20 Mei 1982. Ia kemudian menggabungkan Dewan Kepausan untuk Dialog dengan Yang Tidak Percaya (didirikan tahun 1965) dengan dewan ini.
B.  Fungsi
Mengikuti penekanan yang ditentukan oleh Konsili Vatikan II dan oleh Paus Paulus VI mengenai pentingnya kebudayaan bagi perkembangan penuh manusia, Dewan Kepausan ini dibentuk untuk membina hubungan antara Injil dan berbagai kebudayaan, dan untuk meneliti fenomena ketidakpedulian (indifference) dalam hubungannya dengan agama. Dewan ini juga membina hubungan antara Tahta Suci dengan para wakil dunia kebudayaan, serta memajukan dialog dengan berbagai kebudayaan kontemporer.
Dewan ini memiliki dua bagian, yaitu Seksi Iman dan Kebudayaan berkonsentrasi pada kegiatan dewan sebelum Dewan untuk Yang Tidak Percaya digabungkan dengannya, sementara seksi Dialog dengan Kebudayaan meneruskan kegiatan dari dewan yang bergabung tadi tersebut, membuka dialog dengan dengan pihak-pihak yang tidak percaya akan Tuhan atau menyatakan dirinya tidak memiliki agama, tetapi yang terbuka untuk kerja sama yang tulus.
Dewan ini bekerja sama dengan berbagai konferensi episkopal (Gerejawi), universitas dan organisasi internasional seperti UNESCO dalam hubungannya dengan ruang lingkupnya.
Para pegawai tetap yang berkantor di kantor pusat dewan ini hanya terdiri atas sekitar 12orang, termasuk sang presiden (saat ini Gianfranco Ravasi, sekretaris dan wail sekretarisnya). Dewan ini memiliki sedikit lebih banyak anggota, kardinal dan uskup yang ditunjuk oleh Sri Paus untuk jabatan selama lima tahun, yang bertemu dalam rapat umum tiga tahunan untuk mengevaluasi kerja harian dari dewan ini dan untuk mempertimbangkan berbagai masalah khusus yang penting. Sri Paus juga menunjuk para konsultan, yang jumlahnya lebih banyak lagi, yang bisa sewaktu-waktu dimintai pendapat dan bantuan.
11.    Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial
A.  Arti
Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial (Pontificium Consilium de Communicationibus Socialibus) adalah sebuah badan Kuria Romawi. Pertama didirikan oleh Paus Pius XII di tahun 1948 dan kemudian diberikan yurisdiksi yang lebih luas dan nama baru oleh para paus penerusnya, terakhir oleh Paus Yohanes Paulus II pada 28 Juni 1988, dewan ini bertanggung-jawab dalam penggunaan berbagai bentuk media massa dalam penginjilan.
B.  Peran
Menurut Ayat 167 dari Konstitusi Apostolik mengenai Kuria Romawi, Pastor Bonus, yang diterbitkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 28 Juni 1988: "Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial terlibat dalam pertanyaan mengenai sarana komunikasi sosial, sehingga juga melalui sarana ini, kemajuan umat manusia dan pesan keselamatan bisa mendukung kebudayaan-kebudayaan sekuler dan lainnya”. Ayat 170 juga menyatakan bahwa: "Tugas utama dewan ini adalah untuk mendorong dan mendukung tindakan Gereja dan anggota-anggotanya dalam berbagai bentuk komunikasi sosial secara tepat waktu dan tepat guna. Dewan ini bertujuan untuk membawa surat kabar dan berbagai terbitan, termasuk juga film, siaran radio dan televisi, semakin hari semakin dijiwai dengan semangat manusiawi dan Kristiani.
C.  Sejarah
Dewan ini bermula dengan nama Dewan Kepausan untuk Penelitian dan Evaluasi Gerejawi terhadap Film berkenaan dengan Topik-topik Religius atau Moral, didirikan pada 30 Januari 1948 oleh Sekretariat Negara era Paus Pius XII. Uskup Martin John O'Connor ditunjuk sebagai presiden-nya dan empat anggot awalnya antara lain Monsinyur Maurizio Raffa (mewakili Kongregasi bagi Para Imam), Monsinyur Ferdinando Prosperi (wakil dari Badan Catholique International du Cinématographe dan sekretaris provisional dari Komisi yang baru), Giacomo Ibert dan Ildo Avetta. Komisi ini ditempatkan dalam sebuah ruangan di Palazzo San Carlo di Vatikan.
Pada tanggal 17 September 1948, Paus Pius XII menyetujui statuta dari badan Kuria Romawi baru ini, yang semenjak saat itu diubah namanya menjadi Dewan Kepausan untuk Film Pendidikan dan Religius.
4.3.4.5  Sinode Uskup
A.  Arti
Sebuah sinode secara historis adalah sebuah dewan Gereja yang biasanya bertemu untuk memutuskan suatu masalah doktrin, administrasi atau pelaksanaan suatu hal tertentu. Dalam dunia modern, kata ini seringkali merujuk pada suatu badan pemerintahan dari sebuah Gereja partikular, baik para anggotanya bertemu atau tidak. Kata ini juga terkadang merujuk pada sebuah Gereja yang diatur oleh sebuah sinode.
Kata sinode mirip dengan kata bahasa Latin concilium yang bermakna "perkumpulan" atau "pertemuan". Pada awalnya, sinode merupakan pertemuan para uskup, dan kata ini masih diartikan sedemikian dalam Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur.
Terkadang kata sinode umum atau konsili umum merujuk pada suatu konsili ekumene. Kata sinode juga merujuk pada suatu dewan para uskup berjabatan tinggi yang mengatur beberapa Gereja Ortodoks Timur yang memiliki status otonomi (autocephalous - tidak bertanggung-jawab ke otoritas yang lebih tinggi lagi). Juga, pemerintah harian atas hierarki Gereja Ortodoks Timur dipercayakan pada sebuah sinode permanen.
Dalam penggunaan di Gereja Katolik Roma sinode dan konsili secara teoritis sama dengan arti kata aslinya dalam Bahasa Yunani dan Bahasa Latin, yang bermakna suatu pertemuan penuh kewenangan dari para uskup yang mengurus administrasi Gereja di bidang pendidikan (iman dan moralitas) atau pemerintahan (ajaran atau hukum gereja). Namun, dalam penggunaan modern, kata sinode dan konsili digunakan untuk kategori-kategori tertentu dari pertemuan-pertemuan tersebut.
B.  Konsili
Pertemuan-pertemuan para uskup di Kekaisaran Romawi dikenal sejak pertengahan abad ke-3 dan telah berlangsung sebanyak dua puluh kali saat pertemuan terkenal di Nicaea (tahun 325) terjadi. Setelah itu pertemuan-pertemuan ini terus terjadi hingga beratus-ratus kali sampai pada abad ke-6. Pertemuan-pertemuan yang direstui oleh seorang kaisar dan seringkali dihadiri olehnya nantinya akan disebut ekumenikal, yang berarti seluruh dunia (sebagaimana konsep dunia digambarkan di dalam istilah dunia Barat). Saat ini, Konsili di dalam Hukum Kanon Gereja Katolik Roma biasanya merujuk pada suatu pertemuan non-reguler seluruh pejabat Gereja dari sebuah negara, wilayah, atau dunia dalam hubungannya dengan aturan-aturan yang berkekuatan mengikat. Hal-hal yang dibahas di dalam hukum kanon tersebut adalah sebagai berikut:
·           Suatu konsili ekumene adalah sebuah pertemuan non-regular dari seluruh pejabat Gerejawi yang satu komuni dengan Sri Paus dan bersama-sama dengan Sri Paus, otoritas legislatif tertinggi Gereja universal (Kan. 336). Sri Paus sendiri memiliki hak untuk mengadakan, memberhentikan, dan membubarkan suatu konsili ekumene. Ia juga mengepalai konsili ini atau memilih orang lain untuk melakukannya dan menentukan agenda konsili (Kan. 338). Semua hukum dan ajaran yang dikeluarkan oleh konsili ekumene membutuhkan penetapan dari Sri Paus, yang secara sendirian memiliki hak untuk menerbitkannya (Kan. 341). Peran Sri Paus dalam sebuah konsili ekumene adalah suatu ciri Gereja Katolik yang unik;
·           Konsili pleno, yang merupakan pertemuan-pertemuan pejabat Gereja dari suatu negara (termasuk negara yang hanya memiliki satu provinsi Gerejawi), yang diadakan oleh konferensi Gerejawi nasional setempat;
·           Konsili provinsial, yang terdiri atas para uskup dari sebuah provinsi Gerejawi yang berukuran lebih kecil daripada sebuah negara, yang diadakan oleh uskup metropolitan dengan persetujuan dari mayoritas para uskup kepala keuskupan (suffragan).
Konsili pleno dan provinsial dikategorikan sebagai konsili partikular. Suatu konsili partikular terdiri atas semua uskup dari wilayah tertentu (termasuk coadjustors dan auxiliaries) dan juga pejabat Gerejawi lainnya yang memimpin Gereja-Gereja partikulat di wilayah tersebut (seperti kepala biara wilayah dan Vikaris Apostolik). Masing-masing anggota ini memiliki sebuah suara dalam aturan dewan.
4.3.4.6  Kantor
1.        Kamar Apostolik
Kamar Apostolik atau dalam Bahasa Latin disebut Reverenda.  Camera Apostolica atau Apostolica Camera adalah badan keuangan pusat dalam sistem administrasi Kepausan yang di suatu periode merupakan badan yang sangat penting dalam pemerintahan Negara-negara Kepausan, dan dalam administrasi peradilan, dipimpin oleh seorang Camerlengo Gereja Romawi Suci.
Kamar Apostolik harus dibedakan dari bendahara atau Kamar Dewan Kardinal, yang dikepalai oleh seorang Kardinal-Camerlengo (Camerarius Sacri Collegii Cardinalium). Badan ini bertanggung-jawab untuk mengelola pendapatan umum Dewan Kardinal dan lahir di antara institusi Kuria Romawi lainnya pada akhir abad ke-13. Badan ini telah lama ditutup.
2.        Kantor Administrasi Warisan Tahta Suci
Kantor Administrasi Warisan Tahta Suci adalah bagian dari Kuria Romawi yang mengurus "harta milik Tahta Suci agar bisa menyediakan dana yang cukup, sehingga Kuria Romawi bisa berfungsi" (Pastor Bonus, 172). Kantor ini didirikan oleh Paus Paulus VI pada 15 Agustus 1967.
Kantor ini terdiri atas dua seksi, yaitu Seksi Umum dan Seksi Luar Biasa. Seksi Umum meneruskan kerja Administrasi Warisan Tahta Suci, sebuah komisi yang diserahi tugas oleh Paus Leo XIII untuk mengurus sisa harta milik Tahta Suci setelah kehilangan semua Negara-negara Kepausan pada tahun 1870. Seksi Luar Biasa mengurus dana yang disumbangkan oleh pemerintah Kerajaan Italia untuk membentuk Konvensi Finansial sesuai dengan Perjanjian Lateran tahun 1929. Dana-dana ini sebelumnya diurus oleh Kantor Administrasi Khusus Tahta Suci. Kantor ini berbeda dengan Kantor Pengawas Urusan Ekonomi Tahta Suci.
3.        Kantor Pengawas Urusan Ekonomi Tahta Suci
Kantor Pengawas Urusan Ekonomi Tahta Suci adalah sebuah kantor di dalam Kuria Romawi, didirikan pada 15 Agustus 1967, dan diberikan tanggung-jawab untuk mengawasi semua kantor Tahta Suci yang mengurus masalah keuangan apapun tingkatan otonomi mereka.
Kantor ini tidak mengurus masalah keuangan sendiri, namun memeriksa laporan-laporan keuangan dari kantor-kantor lain yang mengurus masalah keuangan. Institusi ini kemudian menyiapkan dan menerbitkan laporan keuangan umum tahunan. Kantor ini harus diberitahu mengenai semua proyek penting yang dijalankan oleh kantor-kantor yang diperiksa.
Bank Vatikan, yang tidak mengurus harta milik Tahta Suci, tidak diawasi oleh kantor ini. Kantor ini juga berbeda dengan Kantor Administrasi Warisan Tahta Suci yang dibentuk dari merger Kantor Administrasi Harta Milik Tahta Suci dan Kantor Administrasi Khusus Tahta Suci.
4.3.4.7  Komisi Kepausan
1.        Komisi Kepausan bagi Warisan Kebudayaan Gereja
Komisi Kepausan bagi Warisan Kebudayaan Gereja adalah sebuah institusi di dalam Gereja Katolik Roma dan Kuria Romawi yang menjaga warisan sejarah dan kesenian seluruh Gereja yang meliputi karya-karya seni, dokumen-dokumen bersejarah, buku-buku, serta semua hal yang disimpan di dalam museum, perpustakaan dan arsip. Institusi ini juga bekerja sama dalam usaha perawatan barang-barang warisan ini dengan berbagai Gereja dan organisasi-organisasi Gerejawinya, dan memajukan kesadaran dalam Gereja mengenai kekayaan yang dimilikinya tersebut. Institusi ini didirikan dengan nama Komisi Kepausan bagi Pemeliharaan Warisan Seni dan Sejarah Gereja pada 28 Juni 1988 oleh Paus Yohanes Paulus II.
2.        Komisi Kepausan Ecclesia Dei
Komisi Kepausan Ecclesia Dei adalah sebuah komisi Gereja Katolik Roma di bawah Kuria Romawi yang dibentuk oleh Paus Yohanes Paulus II pada 2 Juli 1988 untuk mengurus para mantan pengikut Uskup Agung Marcel Lefebvre yang memisahkan diri dari darinya sebagai akibat dari konsekrasi (pengangkatan) empat orang imam dari ordo-nya Society of St. Pius X (SSPX) sebagai uskup pada tanggal 30 Juni 1988 - suatu tindakan yang dianggap Tahta Suci sebagai perbuatan yang terlarang dan memecah-belah (skismatik).
Komisi ini memiliki tugas tambahan untuk mencoba membawa kembali kaum Katolik Tradisional ke dalam komuni penuh dengan Tahta Suci yang berada dalam situasi terpisah dari Gereja, di mana para anggota SSPX adalah mayoritasnya, dan bertugas untuk membantu memenuhi aspirasi-aspirasi orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kelompok-kelompok tersebut di atas yang ingin melestarikan liturgi Ritus Romawi pra-1970.
Komisi Kepausan ini diberikan fungsi-fungsi tambahan yang dikeluarkan oleh Paus Benediktus XVI pada 7 Juli 2007 untuk melaksanakan otoritas Tahta Suci. Dalam surat tertanggal 10 Maret 2009 mengenai pengampunan (remisi) atas ekskomunikasi keempat uskup SSPX, Paus Benediktus XVI mengumumkan niatnya untuk menggabungkan Komisi ini ke dalam Kongregasi bagi Doktrin Iman.
3.        Komisi Kepausan bagi Arkeologi Suci
Komisi Kepausan bagi Arkeologi Suci (Bahasa Latin: Pontificia Commissione di Archeologia Sacra) adalah sebuah badan resmi Tahta Suci di bawah Kuria Romawi yang didirikan tahun 1852 oleh Paus Pius IX dengan tujuan untuk mengembangkan dan mengarahkan kegiatan penggalian di berbagai katakombe kota Roma dan di situs-situs Kristiani kuno yang penting lainnya, serta menjaga benda-benda yang ditemukan selama penggalian tersebut. Pada tahun 1925, Paus Pius XI menyatakan bahwa komisi ini merupakan badan kepausan dan kewenangannya dijabarkan secara detail dan ditegaskan kembali baru-baru ini dalam suatu konvensi antara Tahta Suci dan negara Italia.


4.        Komisi Kitab Suci Kepausan
A.  Arti
Komisi Kitab Suci Kepausan adalah sebuah badan yang dibentuk di dalam Kuria Romawi untuk memastikan interpretasi yang benar dan pembelaan terhadap Kitab Suci.
B.  Sejarah
Komisi Kitab Suci Kepausan mulanya didirikan sebagai sebuah komite Kardinal, dibantu oleh para konsultan, yang bertemu di Roma untuk memastikan interpretasi yang benar dan pembelaan terhadap Kitab Suci. Fungsi ini dijabarkan di ensiklik Providentissimus Deus.
Penunjukan pertama terhadap Komisi ini terjadi di bulan Agustus 1901, namun baru diresmikan oleh Paus Leo XIII pada tanggal 30 Oktober 1902. Komisi pertama terdiri atas 3 Kardinal dan 12 konsultan.
Para konsultan bertemu dua kali sebulan, dihadiri oleh para sekretaris. Para sekretaris ini melaporkan kegiatan Komisi ini kepada para Kardinal yang bertemu pada minggu ke-2 dan ke-4 tiap bulannya. Para Kardinal ini mengajukan pertanyaan-pertanayaan kepada para konsultan untuk dibahas, dan mereka mengambil suara dalam menerima jawaban dari para konsultan. Para Kardinal memiliki pilihan untuk mengirimkan pertanyaan kembali kepada para konsultan untuk dibahas lebih dalam lagi, menugaskan seorang konsultan untuk meneliti suatu masalah lebih dalam lagi, dan mengawasi atau mengubah hasil pembahasan. Setelah suatu keputusan diambil, para sekretaris ini melaporkannya ke Sri Paus yang memiliki hak untuk mengembalikan permasalahan ini untuk dibahas lebih lanjut, atau untuk mensahkan hasil dari pembahasan tersebut.
5.        Komisi Teologi Internasional
Komisi Teologi Internasional (KTI) adalah sebuah departemen Kuria Romawi yang terdiri atas 30 teolog Katolik dari seluruh dunia. Fungsinya adalah untuk memberikan masukan kepada Kongregasi bagi Doktrin Iman Gereja Katolik Roma. Kepala kongregasi tersebut adalah ex officio presiden KTI yang bermarkas di Roma.
KTI didirikan pada tanggal 11 April 1969. Pada tahun 1976, komisi ini mengeluarkan laporan tentang teologi pembebasan berjudul "Perkembangan Manusia dan Keselamatan Kristiani". Tahta Suci selanjutnya menindak keras teologi pembebasan di era 1980-an. Pada tahun 1997, komisi ini menghasilkan dokumen "Kekristenan dan Agama-agama". Dalam waktu beberapa tahun kemudian, sebuah rentetan tindakan disipliner diambil terhadap rohaniwan Katolik yang terlibat di dalam pandangan pluralisme religius. Pada tahun 2004, dokumen "Persatuan dan Pelayanan: Manusia Pribadi diciptakan dalam Citra Allah" diterbitkan dalam hubungannya antara penciptaan, evolusi dan iman Kristiani.
KTI dikepalai oleh Kardinal Joseph Ratzinger sebelum ia menjadi paus pada tanggal 19 April 2005, menjabat posisi itu semenjak tanggal 25 November 1981. Presiden komisi ini sekarang adalah Kardinal William Levada.
6.        Komisi Kepausan untuk Kongres-Kongres Ekaristi Internasional
A.  Arti
Komite Kepausan untuk Kongres-kongres Ekaristi Internasional adalah bagian dari Kuria Romawi dari Gereja Katolik Roma. Komite Kepausan ini dibentuk dan didirikan pada tahun 1879 oleh Paus Leo XIII dan yang menerima persetujuan atas Statuta barunya di tahun 1986 dari Paus Yohanes Paulus II.
B.  Tujuan
Tujuan komite ini adalah untuk menjadikan Tuhan Kita Yesus Kristus jauh lebih dikenal, dicintai dan dilayani dalam Misteri Ekaristi-Nya, sebagai pusat kehidupan Gereja dan pusat karya-karyanya demi penyelamatan dunia melalui perayaan Kongres Ekaristi Internasional. Dan untuk menjamin persiapan pastoral yang memadai untuk Kongres Ekaristi Internasional ini, komite ini meminta Konferensi Episkopal dan Sinode Patriark untuk menunjuk para delegasi nasional, yang akan bekerja sepenuhnya untuk persiapan kongres ini dan bila perlu membentuk Komite Ekaristi Nasional dengan persetujuan dan kerja-sama otoritas Gereja setempat.
7.        Komisi Kepausan untuk Amerika Latin
A.  Arti
Komisi Kepausan untuk Amerika Latin adalah sebuah departemen dalam Kuria Romawi yang didirikan oleh Paus Pius XII pada 19 April 1958. Departemen ini bertugas untuk menyediakan bantuan kepada dan meneliti masalah-masalah yang bersangkutan dengan Gereja Katolik Roma di Amerika Latin. Komisi ini bekerja di bawah bimbingan Kongregasi bagi Para Uskup.
B.  Peran
Menurut ayat 83 Konstitusi Apostolik mengenai Kuria Romawi, Pastor Bonus, yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 28 Juni 1988, fungsi Komisi Kepausan untuk Amerika Latin adalah untuk selalu ada bagi Gereja-Gereja partikular di Amerika Latin, melalui nasehat dan tindakan, memberikan perhatian yang besar pada pertanyaan-pertanyaan yang mempengaruhi hidup dan perkembangan Gereja-Gereja tersebut, dan terutama untuk membantu Gereja-Gereja itu sendiri dalam menemukan jawaban akan pertanyaan-pertanyaan itu, atau untuk membantu departemen-departemen Kuria Romawi lainnya yang terlibat dalam hal ini berdasarkan kewenangan-kewenangan mereka.
8.        Komisi Disiplin Kuria Romawi
Komisi Disiplin Kuria Romawi adalah badan disiplin utama di dalam Kuria Romawi. Hingga tahun 2010, presiden Dewan Kepausan bagi Naskah Legislatif mengepalai komisi ini.
9.        Komisi Kepausan untuk Negara Kota Vatikan
Komisi Kepausan untuk Negara Kota Vatikan (Bahasa Italia: Pontificia Commissione per lo Stato della Città del Vaticano) adalah badan legislatif Vatikan. Badan ini terdiri atas para kardinal yang diangkat oleh Sri Paus untuk masa jabatan lima tahun.
Undang-undang dan peraturan yang diajukan oleh komisi ini harus diajukan terlebih dahulu ke Sri Paus melalui Kantor Dalam Negeri Tahta Suci sebelum diumumkan dan dijalankan. Undang-undang, peraturan dan instruksi yang dikeluarkan oleh komisi ini diterbutkan di dalam Acta Apostolicae Sedis.
Komisi ini dipimpin oleh seorang Presiden Vatikan, saat ini adalah Kardinal Giovanni Lajolo dari Italia. Di samping peran legislatifnya, presiden adalah wakil kekuasaan eksekutif Sri Paus untuk negara Vatikan.
4.3.4.8  Garda Swis
A.  Arti
Garda Swiss atau Pasukan Pengawal Swiss adalah tentara bayaran Swiss yang telah bertugas sebagai pengawal pribadi, pasukan upacara dan penjaga istana di berbagai tempat di Eropa dari akhir abad ke-15 hingga hari ini (dalam bentuk Garda Swiss Sri Paus). Mereka pada umumnya memiliki reputasi sebagai pasukan yang sangat disiplin dan sangat setia pada para pihak yang menyewa jasa mereka. Beberapa unit Garda Swiss juga pernah bertempur di medan laga. Terdapat pula resimen-resimen tentara bayaran Swiss reguler yang bertugas sebagai tentara terdepan dalam berbagai kesatuan, seperti kesatuan-kesatuan dari Perancis, Spanyol dan Naples hingga abad ke-19.
Berbagai pasukan Garda Swiss pernah hidup. Kesatuan pasukan tersebut yang paling tua adalah Garda Seratus Swiss (Swiss Hundred Guard / Cent-Garde) di istana-istana Perancis (1497-1830). Kesatuan kecil ini kemudian dilengkapi oleh sebuah Resimen Garda Swiss pada tahun 1567. Garda Swiss Sri Paus di Vatikan dibentuk pada tahun 1506 dan merupakan satu-satunya kesatuan Garda Swiss yang masih ada. Di abad ke-18, beberapa kesatuan Garda Swiss yang lain juga dibentuk dan tinggal di berbagai istana monarki Eropa.
B.  Sejarah Lahirnya
Garda Swiss Sri Paus (Bahasa Inggris: The Corps of the Pontifical Swiss Guard; Bahasa Jerman: Schweizergarde; Bahasa Italia: Guardia Svizzera Pontificia; Bahasa Latin: Pontificia Cohors Helvetica atau Cohors Pedestris Helvetiorum a Sacra Custodia Pontificis) sebagai bagian dari militer Vatikan adalah sebuah pengecualian dari undang-undang Swiss tahun 1874 dan 1927. Pasukan ini adalah sebuah kesatuan kecil yang bertanggung-jawab terhadap keamanan gedung-gedung di Vatikan, jalur masuk ke kota Vatikan dan keselamatan Paus. Bahasa resmi mereka adalah Bahasa Jerman.
Sejarah Garda Swiss di Vatikan bermula pada abad ke-15. Paus Siktus IV (1471-1484) sebelumnya telah membuat aliansi dengan Konfederasi Swiss dan membangun banyak barak di Via Pellegrino setelah memprediksi kemungkinan menggunakan jasa tentara bayaran Swiss. Pakta tersebut diperbarui oleh Paus Innosentius VIII (1484-1492) untuk menggunakan jasa mereka melawan Adipati Milan. Paus Aleksander VI (1492-1503) kemudian juga menggunakan jasa tentara bayaran Swiss selama aliansi mereka dengan raja Perancis.
Pada era Borgias atau era di mana keluarga Borgia menguasai kepemimpinan Gereja, perang di Italia mulai berkecamuk di mana tentara-tentara bayaran Swiss menjadi pasukan garis depan tetap bagi faksi-faksi yang bertikai - kadang-kadang untuk Perancis dan kadang-kadang untuk pihak Gereja atau Kekaisaran Romawi Suci. Para tentara bayaran ini bergabung ketika mereka mendengar bahwa Raja Charles VIII dari Perancis akan menyatakan perang terhadap Naples. Di antara peserta dalam perang Perancis-Naples adalah Kardinal Giuliano della Rovere (bakal menjadi Paus Julius II tahun 1503-1513), yang memiliki hubungan baik dengan orang-orang Swiss setelah menjadi Uskup Lausanne beberapa tahun sebelumnya. Usaha untuk menjatuhkan Naples ini gagal, karena salah satunya adalah beberapa aliansi baru yang dibentuk oleh Paus Alexander VI untuk melawan pasukan Perancis.
Ketika Kardinal della Rovere menjadi Paus Julius II pada tahun 1503, ia meminta Dewan Swiss untuk menyediakan sebuah korps tetap berkekuatan 200 tentara bayaran Swiss untuk menjadi pengawalnya. Pada bulan September 1505, kontingen pertama sejumlah 150 tentara memulai perjalanan mereka menuju Roma di bawah komando Kaspar von Silenen. Mereka memasuki pintu gerbang Vatikan pada 22 Januari 1506 - tanggal yang dijadikan hari lahir Garda Swiss Sri Paus.
Paus Julius II kemudian menganugerahi Garda Swiss ini dengan gelar "Pembela Kemerdekaan Gereja".
C.  Keanggotaan
Para tentara Garda Swiss ini haruslah pria beragama Katolik, belum menikah, memiliki kewarganegaraan Swiss, telah menyelesaikan pendidik dasar militer dari Angkatan Bersenjata Swiss, dan dapat memperoleh sertifikat kelakuan baik. Para calon pasukan ini haruslah minimal memiliki sebuah diploma profesional atau lulus SMA, berusia antara 19 hingga 30 tahun, dan memiliki tinggi badan minimal 174 cm.
Semua calon yang memiliki kualifikasi tersebut harus mendaftarkan diri untuk bisa dipilih menjadi anggota pasukan elit tersebut. Bila dipilih, anggota-anggota baru disumpah di setiap tanggal 6 Mei di Lapangan San Damaso (Bahasa Italia: Cortile di San Damaso) di Vatikan. Tanggal 6 Mei adalah hari peringatan peristiwa Jatuhnya Roma Tahun 1527. Pastor dari Garda Swiss akan membaca sumpah dengan lantang dalam bahasa para pasukan tersebut (mayoritas berbahasa Jerman, beberapa berbahasa Perancis, sedikit berbahasa Italia). Sumpah pasukan ini adalah :
“Saya bersumpah untuk melayani Paus yang berkuasa [nama Paus] dan para penerusnya yang resmi dengan sepenuh hati, penuh kejujuran dan penuh kehormatan, dan untuk mendedikasikan diri saya kepada mereka dengan semua kekuatan saya, siap untuk mengorbankan bahkan nyawa saya sekalipun setiap saat bila perlu untuk mereka. Dengan demikian, saya mengajukan janji ini pada para anggota Dewan Kardinal yang suci dalam periode Sede vacante di Kepengurusan Murid-murid Tuhan. Kemudian daripada itu, saya berikrar untuk menghormati, setia dan taat pada Komandan dan para perwira lainnya. Saya bersumpah untuk mentaati semua persyaratan yang dibuat untuk kewibawaan posisi saya”.




4.3.4.9           Akademi Kepausan
Sebuah Akademi Kepausan adalah suatu komunitas kehormatan kaum cendekiawan yang didirikan oleh atau di bawah arahan dari Tahta Suci. Beberapa akademi ini telah ada sebelum mereka diangkat statusnya menjadi "Kepausan". Saat ini terdapat sepuluh akademi di Roma, yaitu:
1.        Akademi Kepausan untuk Seni Murni dan Sastra dari Virtuosi al Pantheon - didirikan pada tahun 1542 untuk meneliti, mengembangkan dan menyempurnakan seni murni;
2.        Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan - didirikan pada tahun 1603 untuk menghargai dan mengembangkan penelitian ilmiah;
3.        Akademi Kepausan untuk Teologi - diberikan persetujuan oleh Paus tahun 1718 dan diaktifkan kembali pada tahun 1956. Akademi ini bertujuan untuk memajukan iman Katolik yang murni;
4.        Akademi Kepausan untuk Arkeologi - didirikan pada tahun 1810 dan bertujuan untuk memajukan arkeologi Kristiani dan sejarah kesenian Kristiani;
5.        Akademi Kepausan untuk Martir - didirikan pada tahun 1879 dan bertujuan untuk memajukan penghormatan kepada para martir dan penelitian atas katakombe;
6.        Akademi Kepausan Santo Thomas Aquinas - didirikan pada tahun 1879 dan bertujuan untuk memajukan pembelajaran akan Thomisme;
7.        Akademi Kepausan untuk Pembuahan Tak Bernoda - didirikan pada tahun 1879 dan bertujuan untuk memajukan dan mengkoordinasikan pembelajaran atas dogma Maria;
8.        Akademi Kepausan untuk Maria - didirikan pada tahun 1946 dan bertujuan untuk memajukan Mariologi;
9.        Akademi Kepausan untuk Kehidupan - didirikan pada tahun 1994 dan bertujuan untuk memajukan dan membela kehidupan; sempat dipimpin oleh Uskup Elio Sgreccia, dan sekarang dipimpin oleh Uskup Agung Salvatore Fisichella, mantan rektor Universitas Kepausan Lateran;
10.    Akademi Kepausan untuk Ilmu Sosial - didirikan pada tahun 1994 dan bertujuan untuk memajukan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik dan hukum dalam hubungannya dengan ajaran-ajaran sosial Gereja.


1.        Akademi Kepausan Santo Thomas Aquinas
Akademi Kepausan Santo Thomas Aquinas (nama aslinya dalam Bahasa Latin, menurut ayat 1 dalam statuta-nya: Pontificia Academia Sancti Thomae Aquinatis) didirikan pada 15 Oktober 1879 oleh Paus Leo XIII. Prefek pertamanya adalah Kardinal Giuseppe Pecci (1879-1890), seorang ahli Thomas Aquinas (Thomist) di zamannya. Akademi ini adalah salah satu dari beberapa yayasan Thomist di kota-kota seperti Bologna, Freiburg (Swiss), Paris dan Lowden. Akademi ini kemudian diresmikan oleh Paus Pius X melalui surat apostolik-nya tanggal 23 Januari 1904 dan dikembangkan oleh Paus Benediktus XV pada tanggal 31 Desember 1914. Paus Yohanes Paulus II mereformasi akademi ini pada 28 Januari 1999 melalui surat apostoliknya Inter munera Academiarium, yang diterbitkan tak lama setelah ensiklik-nya Fides et Ratio.
Akademi Kepausan Santo Thomas Aquinas sementara berpusat di Casina Pio IV di kota Vatikan.
Tujuan-tujuannya sebagaimana dinyatakan dalam Buku Tahunan Akademi (tahun 2007) adalah sebagai berikut:
·       Melakukan penelitian, menjelaskan dan menyebarkan ajaran Santo Thomas Aquinas;
·       Mengajukan figur Santo Thomas Aquinas sebagai seorang guru Kristiani teladan, pencari kebenaran, pecinta kebaikan dan cendekiawan dalam semua pembelajaran;
·       Meneladani semua ajaran Santo Thoma Aquinas sesuai dengan tradisi Kristiani dan Magisterium Gereja, terutama sebagaimana yang dijelaskan di dalam ensiklik Aeterni Patris dan Fides et Ratio;
·       Menjelaskan, sejauh memungkinkan, tentang misteri iman dan hubungan analogi di antara artikel-artijel internal mengenai iman menurut pemikiran Santo Thomas Aquinas; oleh karenanya di saat bersamaan berarti menghargai gelarnya, Doctor Communis;
·       Mendorong interaksi antara iman dan akal-budi, dan menumbuh-kembangkan dialog-dialog antara ilmu pengetahuan, filosofi dan teologi;
·       Bekerja sama dengan para anggota Akademi lainnya dalam suatu semangat persahabatan untuk mengembangkan filosofi dan teologi Kristiani;
·       Merangsang interaksi internasional antara para cendekiawan Santo Thomas Aquinas dan karya-karyanya;
·       Meningkatkan peran pemikiran Thomist dalam masyarakat;
·       Mendorong pendidikan-pendidikan dalan pembelajaran ilmu Thomist dan pengertian publik akan ide-ide Santo Thomas Aquinas;
·       Mendorong penelitian terhadap karya dan pemikiran Santo Thomas Aquinas.
Hingga tahun 1965 jabatan presiden akademi ini dipegang oleh sekelompok kardinal. Paus Paulus VI mengangkat kardinal tunggal pertama untuk menjadi presiden akademi ini, Kardinal Michael Brown, O.P. Setelah wafatnya di tahun 1971, posisi presiden ini menjadi kosong hingga ditunjuknya Kardinal Luigi Ciappi, O.P. di tahun 1979. Setelah wafatnya di tahun 1996, akademi ini direformasi. Jabatan presiden akademi tidak lagi diserahkan kepada seorang Kardinal dan periode jabatannya menjadi lima tahun. Abelardo Lobato, O.P. menjadi presiden tahun 1999-2005.
2.        Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan
A.  Arti
Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan (Bahasa Latin: Pontificia Academia Scientiarum) adalah suatu akademi ilmu pengetahuan Tahta Suci, didirikan pada tahun 1936 oleh Paus Pius XI. Akademi ini di bawah perlindungan Sri Paus yang sedang berkuasa. Tujuannya adalah untuk mengembangkan perkembangan ilmu-ilmu matematika, fisika dan ilmu bumi serta pembelajaran atas problema-problema Epistemologi. Akademi ini awalnya adalah Accademia Pontificia dei Nuovi Lincei ("Akademi Kepausan untuk Pencerahan Baru"), yang didirikan pada tahun 1847 bertujuan sebagai penerus Accademia dei Lincei atau "Akademi Pencerahan" yang didirikan di Roma pada tahun 1603 oleh seorang pangeran Romawi yang cendekiawan, Federico Cesi (1585-1630).
Akademi ini berkantor pusat di Casina Pio IV di tengah-tengah Taman Vatikan. Akademi ini memiliki daftar anggota dengan nama-nama yang paling terhormat dalam dunia ilmu pengetahuan abad ke-20, di antaranya para pemenang Penghargaan Nobel seperti Ernest Rutherford, Max Planck, Niels Bohr, Otto Hahn dan Charles Hard Townes.
B.  Pintu Masuk  Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan
Semenjak Akademi dan keanggotaannya tidak terpengatuh oleh faktor-faktor seperti latar belakang negara, politik dan religius, akademi ini mewakili sumber yang berharga bagi informasi ilmu pengetahun yang objektif yang tersedia bagi Tahta Suci dan bagi komunitas ilmu pengetahuan internasional. Hari ini karya-karya akademi ini meliputi enam ruang lingkup utama, yaitu :
·                Ilmu pengetahuan dasar;
·                Ilmu pengetahuan dan teknologi dari pertanyaan dan masalah global;
·                Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan masalah-masalah Dunia Ketiga;
·                Etika dan Politik Ilmu Pengetahuan;
·                Bioetika;
·                Epistemologi.
Disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang tercakup kemudian dibagi lagi ke dalam sembilan bidang, yaitu Disiplin Fisika dan disiplin yang berkaitan dengannya, Astronomi, Kimia, Ilmu Bumi dan Lingkungan Hidup, Ilmu Pengetahuan Kehidupan (Botani, Agronomi, Zoologi, Genetika, Biologi Molekular, Biokimia, Ilmu Syaraf, Pembedahan), Matematika, Ilmu Pengetahuan Terapan dan Filosofi serta Sejarah Ilmu Pengetahuan.
C.  Tujuan dan Harapan Akademi
Pada 10 November 1979, pada hari peringatan ke-100 kelahiran Albert Einstein, Paus Yohanes Paulus II menekankan peran dan tujuan Akademi, yaitu:
"Keberadaan Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan, di mana dalam sejarahnya Galileo pernah menjadi anggotanya dan di mana para ilmuwan terkemuka hari ini adalah anggotanya, tanpa bentuk diskriminasi etnis maupun agama apapun, adalah sebuah tanda yang jelas, yang diciptakan oleh orang-orang dari seluruh dunia, tentang keselarasan nyata yang dapat hidup berdampingan antara kebenaran ilmu pengetahuan dan kebenaran iman. Gereja Romawi bersama-sama dengan semua Gereja di seluruh dunia, menilai sangat pentingnya fungsi Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan. Gelar 'Kepausan' yang diberikan pada Akademi ini bermakna, seperti yang telah diketahui, kepentingan dan komitmen Gereja, dalam bentuk yang berbeda dari perlindungan zaman dahulu, namun sifatnya tetap mendalam dan efektif. Bagaimana mungkin Gereja tidak tertarik dalam pekerjaan manusiawi yang paling mulia, yaitu mencari kebenaran?"
D.  Anggota
Para anggota baru Akademi ini diangkat oleh suatu badan cendekiawan dan dipilih dari sekumpulan pria dan wanita dari tiap ras dan agama berdasarkan pada tingginya nilai keilmiahan aktivitas mereka dan tingginya profil moralitas mereka. Mereka kemudian secara resmi diangkat oleh Sri Paus. Akademi ini dipimpin oleh seorang presiden, diangkat dari antara para anggotanya oleh Sri Paus, yang dibantu oleh satu dewan cendekiawan dan seorang kanselir. Awalnya akademi ini terdiri atas 80 cendekiawan, 70 di antaranya diangkat untuk seumur hidup, namun pada tahun 1986 Paus Yohanes Paulus II menambah jumlah keanggotaan seumur hidup menjadi 80, berdampingan dengan beberapa Cendekiawan Kehormatan yang terbatas jumlahnya yang terpilih karena mereka adalah figur yang sangat berkualitas, dan beberapa individu lainnya yang juga merupakan cendekiawan atas dasar jabatan yang mereka pegang, termasuk di antaranya: Kanselir Akademi, Direktur Observatorium Vatikan, Prefek Perpustakaan Vatikan dan Prefek Arsip Rahasia Vatikan.
3.        Akademi Kepausan Ilmu Sosial
A.  Arti
Akademi Kepausan untuk Ilmu Sosial didirikan pada bulan Januari 1994 oleh Paus Yohanes Paulus II. Kantor pusatnya berada di Casina Pio IV di kota Vatikan. Profesor Edmond Malinvaud menjadi presiden pertamanya. Metode-metode Akademi ini memiliki kesamaan yang besar dengan praktek-praktek yang dikembangkan oleh akademi-akademi lain di seluruh dunia, namun akademi ini memiliki tugas khusus untuk masuk ke dalam dialog dengan pihak Gereja. Aktivitas-aktivitas ilmiahnya ditujukan untuk ditata dan diarahkan demi pengembangan dialog ini sebaik-baiknya.
B.  Sejarah
Akademi Kepausan untuk Ilmu Sosial didirikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 1 Januari 1994, dengan tujuan untuk mengembangkan pembelajaran dan kemajuan ilmu-ilmu sosial, terutama ilmu ekonomi, sosiologi, ilmu hukum dan ilmu politik. Akademi ini, melalui dialog yang tepat, menawarkan Gereja Katolik Roma unsur-unsur yang dapat digunakan oleh pihak Gereja dalam perkembangan doktrin sosialnya, dan merefleksikannya pada penerapan doktrin itu di dalam masyarakat zaman sekarang. Akademi yang berotonomi sendiri ini menjada hubungan yang erat dengan Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian.
Edmond Malinvaud adalah presiden pertama Akademi ini (1994-2004). Jabatan presiden akademi ini saat ini dipegang oleh Mary Ann Glendon, seorang profesor hukum dari Sekolah Hukum Universitas Harvard, diangkat pada 9 Maret 2004 oleh Paus Yohanes Paulus II sebagai presiden wanita kedua akademi ini. Kantor pusatnya adalah di Casina Pio IV, bersama dengan Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan, di tengah-tengah Taman Vatikan. Kanselir kedua akademi saat ini adalah Monsinyur Marcelo Sánchez Sorondo.


4.4         Konferensi Waligereja Indonesia
4.4.1   Arti
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) adalah organisasi Gereja Katolik yang beranggotakan para Uskup di Indonesia dan bertujuan menggalang persatuan dan kerja sama dalam tugas pastoral memimpin umat Katolik Indonesia.
Masing-masing Uskup adalah otonom dan KWI tidak berada di atas maupun membawahi para Uskup dan KWI tidak mempunyai cabang di daerah. Keuskupan bukanlah KWI daerah. Yang menjadi anggota KWI adalah para Uskup di Indonesia yang masih aktif, tidak termasuk yang sudah pensiun. KWI bekerja melalui komisi-komisi yang diketuai oleh Uskup-Uskup.
Pada 2006 anggota KWI berjumlah 36 orang, sesuai dengan jumlah keuskupan di Indonesia (35 keuskupan) ditambah seorang uskup dari Ambon (Ambon memiliki 2 uskup).
4.4.2   Sejarah
Setiap Uskup, karena tahbisannya, dengan sendirinya menjadi bagian dari jajaran para Uskup sedunia (Collegium Episcopale) dan bersama dengan para uskup sedunia, di bawah pimpinan Sri Paus, bertanggung jawab atas seluruh Gereja Katolik.
Para Uskup dalam satu negara bersama-sama membentuk suatu wadah kerja sama yang dinamakan Konferensi Para Uskup. Di dalam wadah ini, mereka bekerja sama merundingkan dan memutuskan sesuatu mengenai umat katolik di seluruh negara tersebut.
Seorang uskup adalah pimpinan Gereja setempat yang bernama keuskupan. Dengan demikian, dia disebut juga Waligereja. Karena itu, Konferensi para Uskup di Indonesia disebut Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) yang kemudian diubah menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
a.         1807-1913
Dari tahun 1807 sampai 1902 Gereja Katolik seluruh Nusantara berada di bawah pimpinan seorang Prefek/Vikaris Apostolik yang berkedudukan di Batavia. Kendati semenjak tahun 1902 beberapa daerah sudah dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia (1902: Maluku-Irian Jaya, 1905: Kalimantan, 1911: Sumatera, 1913/1914: Nusa Tenggara, dan 1919: Sulawesi), namun pengakuan dari pihak Pemerintah Kolonial Belanda akan adanya banyak pimpinan Gereja Katolik di Nusantara baru terjadi pada tahun 1913.
Maka, semua Vikaris dan Prefek Apostolik itu merasa perlu bersama-sama berunding untuk mencapai kesatuan sikap terhadap Pemerintah dalam banyak persoalan, tetapi terutama berhubungan dengan kebebasan bagi misi untuk memasuki semua wilayah dan juga berhubungan dengan posisi pendidikan Katolik.
b.        1924
Pertemuan pertama terjadi pada kesempatan pentahbisan Mgr. A. Van Velsen sebagai Vikaris Apostolik Jakarta (13 Mei 1924) di Gereja Katedral Jakarta. Yang hadir pada waktu itu adalah  Mgr. P. Bos, O.F.M.Cap. (Vik.Ap. Kalimantan), Mgr. A. Verstraelen, S.V.D. (Vik. Ap. Nusa Tenggara), Mgr. Y. Aerts, M.S.C. (Vik.Ap. Maluku-Irian Jaya), Mgr. L.T.M. Brans, O.F.M.Cap. (Pref.Ap. Padang) dan Mgr. G. Panis, M.S.C. (Pref.Ap. Sulawesi).
Pada 15-16 Mei 1924 diadakan sidang para Waligereja se-Nusantara yang pertama di Pastoran Katedral Jakarta. Sidang ini diketuai oleh Mgr. A. Van Velsen dan dihadiri oleh para Waligereja tersebut di atas ditambah dengan dua orang pastor, yaitu A.H.G. Brocker, M.S.C. dan S.Th. van Hoof, S.J. sebagai nara sumber.
c.         1925
Sidang yang kedua diadakan pada 31 Agustus - 6 September 1925, juga di Jakarta, di bawah pimpinan seorang utusan Paus Pius X yang bernama Mgr. B.Y. Gijlswijk, O.P., seorang Delegatus Apostolik di Afrika Selatan. Selain para Waligereja yang disebut di atas, peserta sidang ini sudah bertambah dengan Mgr. H. Smeetes, SCJ (Pref.Ap. Bengkulu), Mgr. Th. Herkenrat, S.S.C.C. (Pref.Ap. Pangkalpinang). Hadir juga Pater Th. De Backere, C.M., Pater Cl. Van de Pas, O.Carm., Pater Y. Hoederechts, S.J., sedang Pater H. Jansen, S.J. dan Pater Y. Van Baal, S.J. bertugas sebagai sekretaris. Dalam sidang ini diputuskan untuk mengadakan sidang setiap lima tahun sekali.
d.        1929
Sidang ketiga, 4-11 Juni 1929 di Muntilan (dihadiri oleh 10 Waligereja)

e.         1934
Sidang keempat, 19-27 September 1934 di Girisonta (juga dihadiri oleh seorang pastor dari Centraal Missie Bureau atau Kantor Waligereja).
f.         1939
Sidang kelima, 16-22 Agustus 1939 juga di Girisonta (15 Waligereja dan tiga orang dari CMB serta seorang Delegatus Apostolik untuk Australia: Mgr. Y. Panico).
g.        1940-1953
Karena adanya perang, sidang para Waligereja Indonesia tidak dapat diadakan.
h.        1954
Pada 26-30 April 1954, para Waligereja se-Jawa mengadakan pertemuan di Lawang. Di sana diungkapkan keinginan untuk mengadakan konferensi baru bagi semua Waligereja. Sebuah rancangan anggaran dasar disusun oleh Mgr. W. Schoemaker M.S.C. (Uskup Purwokerto).
i.          1955
Rancangan anggaran dasar disetujui oleh Internunsius di Jakarta pada 31 Januari 1955. Pada 14 Maret 1955, Mgr. W. Schoemaker M.S.C. diangkat oleh Internunsius menjadi ketua sidang MAWI berikutnya. Sidang itu dapat dilaksanakan pada 25 Oktober sampai 2 November 1955 di Bruderan, Surabaya dan dihadiri oleh 22 orang Waligereja (dari 25 orang Waligereja yang ada). Inilah sidang Konferensi para Uskup dari seluruh Indonesia yang pertama sesudah perang.
Salah satu keputusan yang penting ialah bahwa untuk selanjutnya konferensi para Waligereja Indonesia ini dinamakan Majelis Agung Waligereja Indonesia, disingkat MAWI, suatu terjemahan dari Raad van Kerkvoogden. Tanggal inilah dipandang sebagai tanggal berdirinya MAWI. Di samping sidang lengkap, diputuskan untuk mendirikan sebuah sidang kecil yang tetap untuk melaksanakan tugas harian, yang dinamakan Dewan Waligereja Indonesia Pusat, disingkat DEWAP, yang diketuai oleh Mgr. A. Soegijapranata, S.J. (Uskup Semarang). Untuk memperbaiki pelaksanaan tugasnya, dibentuklah berbagai "Panitia"/PWI (Panitia Waligereja Indonesia) yang menjadi anggota DEWAP (diputuskan bahwa DEWAP bersidang sekali setahun) dan yang menangani salah satu bidang pelayanan: PWI (Panitia Waligereja Indonesia) Sosial, PWI Aksi Katolik dan Kerasulan Awam, PWI Seminari dan Universitas, PWI Pendidikan dan Pengajaran Agama, PWI Katekese Umat dan Penyebaran Iman, PWI Pers dan Propaganda. Diputuskan bahwa DEWAP bersidang sekali setahun.
j.          1960
Sesudah Indonesia merdeka, jumlah orang Katolik Indonesia meningkat pesat. Sedemikian pesat perkembangan jemaah Katolik Indonesia, sehingga dalam sidang di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah (9-16 Mei 1960) para Uskup Indonesia menulis surat kepada Bapa Suci Yohanes XXIII, memohon secara resmi agar beliau meresmikan berdirinya Hirarki Gereja di Indonesia. Maka, dengan Dekrit "Quod Christus Adorandus" tertanggal 3 Januari 1961, Paus Yohanes XXIII meresmikan berdirinya Hirarki Gereja di Indonesia.
k.        1960-1970-an
MAWI mengadakan sidang-sidang paripurna pada tahun 1960, 1965, 1968 dan 1970. Selama periode ini banyak terjadi perbaikan-perbaikan pada cara kerja dan struktur organisasi MAWI. Sejak 1970, Sidang para Waligereja diadakan setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan November di Jakarta.
l.          1987
Majelis Agung Waligereja (MAWI) berganti nama menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
4.4.3   Struktur Konferensi Waligereja Indonesia
PRESIDIUM
Ketua / President                            : Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap.
Wakil Ketua I / Vice President I    : Mgr. Ignasius Suharyo
Wakil Ketua II / Vice President II             : Mgr. Petrus Turang
Sekretaris Jendral                           : Mgr. Aloysius Sutrisnaatmaka, MSF
Bendahara / Treasurer                     : Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira, SVD
Anggota / Members                        : Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ
: Mgr. Agustinus Agus
: Mgr. John Liku Ada'                        
: Mgr. Frans Kopong Kung
: Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM           
: Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM
KETUA KOMISI
Komisi Hubungan
Antar Agama dan Kepercayaan     : Mgr. H.J. Pandoyoputro
Komisi Karya Misioner                  : Mgr. Vincentius Sensi Potokota
Komisi Kateketik                           : Mgr. Josef Suwatan, MSC
Komisi Keadilan dan Perdamaian  : Mgr. Petrus C. Mandagi, MSC
Komisi Keluarga                             : Mgr. Michael Angkur, OFM
Komisi Kerasulan Awam               : Mgr. Agustinus Agus
Komisi Komunikasi Sosial             : Mgr. Hilarion Datus Lega
Komisi Liturgi                                : Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM
Komisi Pelayanan
Pastoral Migran dan Perantau        : Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC
Komisi Pendidikan                         : Mgr. Aloysius Sudarso. SCJ
Komisi Pengembangan
Sosial dan Ekonomi                        : Mgr. Petrus Turang
Komisi Seminari                             : Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD
Komisi Kepemudaan                      : Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF
Komisi Teologi                               : Mgr. John Liku Ada'

DELEGASI
Delegatus Karya Kesehatan
Katolik                                            : Mgr. Florentinus Sului
Delegatus Kitab Suci                      : Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga
Ketua Dana Solidaritas
Antar Keuskupan (DSAK)             : Mgr. Hilarion Datus Lega
Wakil KWI untuk BKBLII            : Mgr. Blasius Pujarahardja
Moderator Sekretariat
Jaringan Mitra Perempuan              : Mgr. Fransiskus Kopong Kung
DEWAN MONETER
Ketua / Chairman                           : Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira
Anggota I / Member I                    : Mgr. Julius.G. Mencucini, CP
Anggota II / Member II                 : Mgr. Hilarion Datus Lega

4.4.4   Keuskupan-Keuskupan di Indonesia
PROVINSI GEREJAWI JAKARTA

1. Keuskupan Agung Jakarta
2. Keuskupan Bandung
3. Keuskupan Bogor

PROVINSI GEREJAWI SEMARANG
4. Keuskupan Agung Semarang
5. Keuskupan Purwokerto
6. Keuskupan Malang
7. Keuskupan Surabaya

PROVINSI GEREJAWI MEDAN
8. Keuskupan Agung Medan
9. Keuskupan Padang
10.Keuskupan Sibolga

PROVINSI GEREJAWI PALEMBANG
11.Keuskupan Agung Palembang
12.Keuskupan Pangkal Pinang
13.Keuskupan Tanjung Karang

PROVINSI GEREJAWI PONTIANAK
14.Keuskupan Agung Pontianak
15.Keuskupan Ketapang
16.Keuskupan Sanggau
17.Keuskupan Sintang

PROVINSI GEREJAWI SAMARINDA
18.Keuskupan Agung Samarinda
19.Keuskupan Banjarmasin
20.Keuskupan Palangkaraya
21.Keuskupan Tanjung Selor

PROVINSI GEREJAWI ENDE
22.Keuskupan Agung Ende
23.Keuskupan Denpasar
24.Keuskupan Larantuka
25.Keuskupan Maumere
26.Keuskupan Ruteng

PROVINSI GEREJAWI KUPANG
27.Keuskupan Agung Kupang
28.Keuskupan Atambua
29.Keuskupan Weetebula

PROVINSI GEREJAWI MAKASSAR
30.Keuskupan Agung Makassar
31.Keuskupan Amboina
32.Keuskupan Manado

PROVINSI GEREJAWI MERAUKE
33.Keuskupan Agung Merauke
34.Keuskupan Agats-Asmat
35.Keuskupan Jayapura
36.Keuskupan Manokwari-Sorong
37.Keuskupan Timika



PENUTUP

Manajemen pastoral mempunyai posisi yang sangat strategis dalam pemberdayaan umat karena manajemen pastoral yang baik akan menentukan keberhasilan sebuah karya pastoral. Akhir-akhir ini dalam Gereja-Gereja lokal gencar dibangun jemaat lewat pemberdayaan Komunitas Basis Gerejani sebagai persekutuan hidup kaum beriman Kristiani yang paling dasar. Dikatakan bahwa dalam era post-modern ini, di mana manusia sering merasa terasing dan terpilah-pilah oleh kemajemukan geografis, suasana psikologis dan kultural, peran KUB menjadi sangat diperlukan. Dalam manajemen pastoral terdapat tiga unsur penting yang mendukung karya pastoral, antara lain fungsi manajemen pastoral, prinsip keseimbangan pastoral, dan partisipasi dalam pastoral.
Fungsi manajemen pastoral dalam pembangunan jemaat adalah agar pastoral lebih terarah kepada kebutuhan konkret yang ada dalam umat. Sebuah pastoral terarah kepada kebutuhan konkret apabila kita melakukan diagnosa sebagai upaya untuk menemukan problem dalam hidup umat. Prinsip keseimbangan dimaksudkan agar dalam pembangunan jemaat perlu memperhatikan pelayanan secara seimbang dan holistik. Semua pelayanan pastoral mendapat penekanan dan perhatian sewajarnya. Prinsip keseimbangan ini berdasarkan kebutuhan umat yang konkret. Dengan demikan, pelayanan pastoral oleh para fungsionaris pastoral bukan karena hobi dan selera, melainkan diprogramkan secara benar dan teratur. Sedangkan unsur partisipasi dalam pembangunan jemaat selalu berkaitan dengan kepemimpinan pastoral. Tipe kepemimpinan pastoral yang dipilih akan menentukan terjadi tidaknya suatu partisipasi. Isu kepemimpinan pastoral partisipatif menjadi sangat penting. Seorang pemimpin atau gembala adalah seorang pemimpin visioner, yang kolegial partisipatif, yang memiliki kemampuan managerial, seorang pendamping yang solider dan yang kepribadiannya senantiasa diilhami oleh semangat injili.





DAFTAR PUSTAKA

Beding, Marcel, dkk. Gereja Indonesia Pasca Vatikan II: Refleksi dan Tantangan. Yogyakarta: Kanisius, 1997
Bhezo, Hendrik P. Sejarah Misi SVD di Indonesia: Sebuah Tinjauan Misiologis Berdasarkan Model Misi Sebagai Pembebasan dan Pemberdayaan. Ruteng: NSSK, 2003
Bevans, B. Misi Untuk Abad Ke-21. Maumere: Puslit Candraditya, 2002
            Hardawiryana, R. (penterj.). Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor, 1993
            Hardiwardoyo, Al. Purwa. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius, 1990
Ceunfin, Frans dan Felix Baghi. Mengabdi Kebenaran. Maumere: Penerbit Ledalero, 2005
Embu, Eman J. dan Woi, Amatus (eds). Berpastoral di Tapal Batas. Maumere: Puslit Candraditya dan Penerbit Ledalero, 2004
Evely, Louis, Semangat Awam. Yogyakarta: Kanisius, 1973
http : // id.wikipedia.org/wiki/Paroki
Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, art. 25
Meo, Ansel dan Kons Beo. Memahami Awam dan Kerasulannya. Ende: Nusa Indah, 2002
Pieris, Aloysius. Berteologi Dalam Konteks Asia. Yogyakarta: Kanisius, 1996Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 1994
PUSPAS Keuskupan Ruteng, “Seputar Dewan Pastoral Paroki”, dalam Seri PUSPAS – KR. 04/ 08
Serikat Pastoral Keuskupan Ruteng, “Menggereja Menuju Tahun 2000”, dalam Seri SEKPAS, KR 06
Singgih, Emanuel Gerrit. Berteologi dalam Konteks. Jakarta: Gunung Mulia dan Yogyakarta: Kanisius, 2000
Wardaya, T. Baskara. Spiritualitas Pembebasan. Yogyakarta: Kanisius, 1995
























[1] PUSPAS Keuskupan Ruteng, “Seputar Dewan Pastoral Paroki”, dalam Seri PUSPAS – KR. 04/ 08, p. 1
[2] Ibid.
[3] Ibid., pp. 1- 2
[4] Ibid., p. 4
[5] Serikat Pastoral Keuskupan Ruteng, “Menggereja Menuju Tahun 2000”, dalam Seri SEKPAS, KR 06, pp. 34- 35
[6] http : // id.wikipedia.org/wiki/Paroki
[7] Ibid., p. 5

1 comment: