Thursday, January 24, 2013

ETIKA EKOLOGI
DALAM TERANG FILSAFAT IDENTITAS
BARUCH SPINOZA

Oleh : Chrispinus Hermanto Jebarus, S. Fil


I.                               Pengantar

Manusia adalah penguasa alam. Ia memberikan predikat kepada dirinya sebagai Lord and Owner (Tuhan dan Pemilik). Dasarnya adalah keberadaannya sebagai imago Dei, citra Allah, wakil Allah di atas bumi yang berkuasa penuh atas segala sesuatu. Predikat itu menegaskan posisi manusia sebagai mahkota ciptaan. Posisi ini akhirnya menjadi dasar pemikiran lahirnya gagasan ens rationale, di mana dengan akalnya, manusia dapat merefleksikan asal keberadaannya, merencanakan hidupnya pada saat sekarang, dan mengantisipasi masa mendatang.
            Dewasa ini, sains dan teknologi mendapat perhatian penuh, dan sering menjadi wacana publik. Sains dan teknologi telah membawa kemajuan peradaban dan pembaharuan nilai-nilai kebudayaan yang relevan dengan zaman ini. Aneka kemajuan yang dihasilkan sains dan teknologi itu mempermudah manusia untuk dapat mempertahankan eksisitensinya. Namun, teknologi akan bermanfaat bagi manusia, jika manusia dapat mengetahui dengan benar karakter dan keterbatasannya, agar penerapan teknologi dapat dioptimalkan bagi kesejahteraan hidup manusia. Teknologi bersifat dialektika. Ia dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, namun pemecahan masalah tersebut dapat saja menimbulkan masalah baru yang harus dipecahkan dengan teknologi yang baru pula.
Dewasa ini, sains dan teknologi digunakan sebagai alat kekuasaan dan kontrol, alat kejayaan atas alam dan tata masyarakat. Teknologi modern telah menjadi sarana perampokan dan pemanipulasian sumber-sumber alam dan lingkungan yang melahirkan persoalan ekologis, yaitu ketidakseimbangan ekologis. Ketidakseimbangan ekologis yang terjadi menjadi kritik pertama bagi peradaban modern itu. Bertolak dari pemikiran tersebut, maka salah satu hal yang mesti dilakukan dalam usaha untuk membentuk kembali keseimbangan ekologis adalah dengan memposisikan kembali lingkungan hidup sebagai bagian penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Karena itu, penulis mencoba membahasnya dalam satu tema penting “ETIKA EKOLOGI“. Tema ini menjadi tema aktual untuk didiskusikan saat ini. Dalam kajian ilmiah ini, penulis akan mengkaji tema tersebut dari sudut pandang filosofis yang berpijak pada pemikiran seorang filsuf yang memiliki konsep yang sangat penting berkaitan dengan tema kajian tersebut.  Karena itu, kajian ilmiah ini akan dibahas dalam satu judul, yakni: “ ETIKA EKOLOGI DALAM PEMIKIRAN FILSAFAT IDENTITAS BARUCH SPINOZA “.
           
II.                            Pengertian Etika Ekologi

Term “etika ekologi” sulit ditemukan artinya secara etimologis. Kamus Umum Bahasa Indonesia memberikan arti dari dua istilah itu, yaitu Etika dan Ekologi secara terpisah. Etika dijelaskan dalam tiga arti, yaitu pertama, sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk; kedua, sebagai kumpulan asas dan nilai; ketiga, nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika itu berurusan dengan orthopraxis, yaitu tindakan yang benar (right action). Orthopraxis itu terdiri dari dua praksis, yaitu liberasi dan rekonsiliasi. Dengan demikian, tindakan yang benar berarti membebaskan manusia dari situasi hidup yang gawat dan rawan serta menciptakan perdamaian melalui penegakan hukum dan komunikasi. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia, dan manusia yang etis berarti manusia yang bertanggung jawab, yaitu bertanggung jawab dalam melaksanakan dua praksis di atas. [1]
Kata Ekologi berasal dari kata bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti tempat tinggal, dan logos yang berarti ilmu, yang kemudian menjadi kata ecology (dalam bahasa Inggris). Ekologi merupakan suatu cabang dari ilmu biologi. Cabang ini mempelajari hubungan timbal-balik antara organisme-organisme dan hubungan antara organisme-organisme itu dengan lingkungannya. [2] Etika ekologi mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia dalam membangun relasi dengan lingkungan secara harmonis. Relasi itu haruslah bersifat timbal-balik, di mana manusia berhadapan dengan alam, dan alam lingkungan dihadapkan pada manusia. Inilah dua realitas yang dapat dihubungkan satu dengan yang lainnya, bukan untuk memisahkan lingkungan dari manusia, melainkan untuk mendekatkan manusia pada lingkungannya.
Selain term “Etika Ekologi”, terdapat juga beberapa istilah lain yang juga mengedepankan persoalan lingkungan hidup. Term-term tersebut adalah etika ekosentris dan environmentalisme. ETIKA EKOSENTRIS pertama kali diperkenalkan oleh Aldo Leopold (antara tahun 1930-1940) saat ia mempopulerkan istilah “etika alam”. Etika alam bertujuan untuk memperluas rasa persekutuan dengan segala makhluk lainnya. Etika itu mengubah kedudukan dan peran manusia dari penakluk alam lingkungan menjadi anggota alam lingkungan yang berpartisipasi dalam relasi persaudaraan. Jadi, etika ekosentris bermaksud untuk memupuk rasa cinta dan hormat terhadap alam lingkungan. Alam lingkungan sesungguhnya merupakan suatu organisme yang memiliki cara serta irama hidup tertentu. Etika Ekosentris dimaklumkan berdasarkan empat asumsi yang bersifat holistik, yaitu:
1.      Segala yang ada itu berhubungan satu sama lain hingga membentuk satu keseluruhan;
2.      Setiap hal memperoleh maknanya berkat hubungannya dengan hal lain dan karena perannya dalam keseluruhan;
3.      Keseluruhan itu bersifat terbuka dan dinamis, ada proses perubahan dan kreativitas;
4.      Manusia dan alam lingkungan membentuk satu kesatuan. Keduanya merupakan dua belahan dari satu sistem kosmik yang sama. Keduanya bermakna dalam relasi timbal balik.

Sedangkan ENVIRONMENTALISME terbentuk dari kata bahasa Inggris environment yang berarti keadaan benda, obyek, dan kondisi di mana manusia berada dan hidup dengan faktor fisik, kimiawi, dan biotis. Kata environment diterjemahkan dengan kata “lingkungan”.[3] Gerakan dasar environmentalisme adalah menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan alamiah. Environmentalisme melawan pencemaran, pengotoran dan perusakan alam (polusi). Dasar gerakan environmentalisme ini bertalian erat dengan mutu hidup manusia, bahwa keadaan lingkungan amat mempengaruhi mutu hidup manusia. Kelestariannya diperlukan demi hidup umat manusia.
Environmentalisme bergerak ke dua arah, yaitu pertama, tindakan preventif, berarti mencegah aksi-aksi pengrusakan alam dengan melawan segala perbuatan yang membawa akibat lingkungan menjadi kotor, cemar, rusak, dan sebagainya. Kedua, tindakan edukatif, berarti memberi penjelasan tentang hakekat alam. Selain itu, kaum environmentalis mengajarkan pula cara menghindari pencemaran dan perusakan alam, dan bagaimana menciptakan lingkungan yang sehat. Environmentalisme menekankan masa depan dan melawan sikap konsumeristis dan hedonistis, sebab alam ini tidak hanya untuk manusia yang hidup pada masa kini saja, tetapi juga untuk generasi masa depan.

III.                         Tiga Teori Etika Ekologi

Robert Elliot, dalam tulisannya tentang Environmental Ethics menyebutkan sekurang-kurangnya tiga teori tentang etika lingkungan hidup, yaitu (1) human centered ethic, (2) animal-centered ethic, dan (3) life-centered ethic.[4]
1.      Teori Human Centered Ethic disebut juga teori antroposentrisme. Teori ini menjelaskan bahwa kebijaksanaan mengenai lingkungan hidup dinilai hanya berdasarkan pengaruh kebijaksanaan itu terhadap hidup manusia. Ini mengandaikan bahwa kedudukan dan peran moral lingkungan hidup terpusat pada manusia. Manusia menjadi jantung perhatian dalam bahasan tentang lingkungan hidup, dan titik berat dalam pandangan ini terletak dalam peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Pandangan moral seperti ini menekankan pemikiran bahwa hanya manusialah yang patut dipertimbangkan secara moral. Manusia berperan sebagai subyek dan bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Yang mendapat pertimbangan secara moral hanya tentang kebahagiaan dan ketidakbahagiaan manusia;
2.      Teori Animal Centered Ethic disebut juga teori animalsentrisme. Teori ini berpendapat bahwa bukan hanya manusia yang pantas mendapat pertimbangan moral, melainkan juga dunia hewan. Pandangan moral tidak hanya mencakup manusia, tetapi juga mencakup seluruh dunia hewan. Teori ini mengangkat contoh sederhana, yaitu bahwa akibat penebangan hutan secara liar, maka bukan saja manusia yang merasakan akibatnya seperti bencana banjir dan terjadinya erosi (tanah longsor), melainkan juga hewan yang berdiam di dalam suatu ekosistem. Pertimbangan moral dalam teori ini menekankan bahwa semua hewan dapat dipertimbangkan secara moral, meskipun tidak perlu mendudukan semua jenis hewan dalam taraf yang sejajar dengan yang lainnya. Moral teori ini memberi makna yang berbeda kepada jenis-jenis hewan. Makna yang diberikan kepada seekor ikan hiu akan berbeda dengan makna yang diberikan kepada seekor nyamuk pembawa penyakit malaria;
3.      Sedangkan Teori Life-Centered Ethic disebut juga teori biosentrisme. Teori ini memiliki jangkauan luas. Makhluk hidup bukan saja mencakup manusia dan hewan, melainkan juga mencakup tumbuh-tumbuhan, organisme bersel tunggal, dan juga termasuk virus. Kerumitan dari biosentrisme terletak pada cara manusia menanggapi pertanyaan : “apakah hidup itu ?”.  Teori ini berpendapat bahwa setiap makhluk hidup bisa dipertimbangkan secara moral, walaupun yang lainnya tidak memiliki makna moral yang sama. Penghargaan moral yang diberikan kepada makhluk hidup dipengaruhi juga oleh fungsi atau manfaat makhluk hidup itu sendiri bagi manusia (dalam konteks ini muncul pengaruh Human-Centered Ethic). Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tindakan manusia terhadap alam harus ikut dipertimbangkan dalam suatu keseluruhan. Jika life centered ethic ini mengambil bentuknya yang radikal, maka paham ini akan menekankan bahwa hidup dalam setiap makhluk ciptaan Tuhan memiliki makna moral yang sama.

IV.   Filsafat Identitas Baruch Spinoza
4.1    Pengantar

Dunia dewasa ini dihadapkan pada satu masalah penting yang signifikan berkaitan dengan kelangsungan hidup makhluk hidup. Masalah tersebut adalah adanya bahaya-bahaya ekologis seperti pencemaran udara, air dan tanah (polusi), perusakan tanah subur menjadi padang gurun,  pengurasan sumber-sumber daya alam yang tak tergantikan seperti hutan tropis, perubahan iklim global, dan sejumlah masalah lainnya.[5] Bahaya-bahaya tersebut semakin menarik perhatian global karena berkaitan dengan kelestarian bumi sebagai habitat hidup makhluk hidup termasuk manusia. Bahaya-bahaya tersebut diperparah oleh ketidaksadaran kelompok manusia tertentu bahwa lingkungan ekologisnya sedang dalam situasi krisis. Dalam situasi krisis ekologi ini, maka sudah sewajarnya dibangun suatu rasa sadar alam dan cinta lingkungan. Karena itu, dalam bagian ini penulis akan mengedepankan usaha membangun kembali rasa sadar alam dan cinta lingkungan itu dalam terang filosofis Baruch Spinoza, seorang filsuf besar abad modern yang memiliki pandangan filosofis yang bersifat pantheistis-monistis sehingga setiap orang dapat memahami esensi dan eksistensi alam dengan baik.

4.2    Spinoza dan Pemikirannya

Benedictus Baruch Spinoza lahir pada 24 Nopember 1632 di Amsterdam. Spinoza berasal dari keluaraga Yahudi-Portugis. Sebagai seorang Yahudi, ia mendapat pendidikan dalam Torah dan Talmud. Namun, pada tahun 1656 ia dikeluarkan dari umat Yahudi Amsterdam karena pandangan filosofisnya yang dianggap menyimpang dari ajaran agamanya. Ia meninggal dunia di Den Haag pada tahun 1677.[6] Dalam dunia para pemikir dan ilmuwan, nama Spinoza mulai menarik perhatian. Pada abad ke-18 pemikirannya semakin berkembang dan berpengaruh, khususnya di Jerman.
Selaku seorang pemikir rasionalis yang sangat tajam dan konsekuen, Spinoza mempunyai ungkapan yang cukup termasyur yaitu Deus sive Substantia sive Natura yang berarti “Allah, alam atau Substansi” dan segala yang lain di alam ini tidak mandiri. Semuanya hanya merupakan bentuk beradanya (modus) Allah atau cara beradanya substansi yang Satu, yaitu Allah. [7] Menurut Spinoza, substansi adalah apa yang dapat dipahami tanpa perlu memahami sesuatu yang lain. Hanya ada satu yang memenuhi definisi ini yaitu yang dapat dipikirkan tanpa perlu memikirkan apa pun lagi, yaitu Allah. Sedangkan modus atau modi diartikannya sebagai cara-cara beradanya substansi yang satu, segala pluralitas yaitu manusia, binatang, tumbuhan, alam, bintang, juga pemikiran dan perasaan.
Gagasan tentang substansi dan modus dari Spinoza mau menjelaskan pemikirannya bahwa alam dengan segala isinya identis dengan Allah. Ia mengembangkan suatu prinsip kesatuan atau identitas dari segala sesuatu. Segalanya adalah satu dan sama dan karena itu filsafat Spinoza dinamakan filsafat identitas. Menurut Spinoza, jika dilihat dari segi alam, maka alam merupakan yang dilahirkan atau natura-naturata, sedangkan jika dilihat dari segi Allah, maka Allah adalah alam yang melahirkan atau natura naturans. Dengan adanya konsep pemikiran filosofis identitas ini, maka ditemukan suatu konsep etika yang dapat menolong dan membantu manusia untuk dapat memahami keberadaan dan hakekat dari alam dan segala yang berhubungan dengan lingkungan ekologi. Filsafat identitas Spinoza membantu menumbuhkan rasa penghargaan terhadap alam sekitar kita sebagai sesuatu yang ada dalam kesatuan dengan Allah sebagai substansi murni dalam tatanan “Ada” atau Primum Ontologicum.[8] Lebih lanjut Spinoza menjelaskan bahwa segala ciptaan yang lain merupakan cara (modus) beradanya Allah.

V.                            Etika Ekologi dalam Terang Filsafat Identitas Baruch Spinoza

Filsafat identitas Baruch Spinoza membantu kita untuk membangun suatu etika ekologi, yakni suatu sikap penghargaan dan cinta akan lingkungan yang tidak lain merupakan modus atau cara beradanya Allah. Spinoza melihat Allah sama dengan alam dan alam sama dengan manusia. Alam dilihat sebagai cara Allah menampakkan diri. Filsafat identitas Spinoza yang melihat Allah dan alam (manusia) identik memiliki konsekuensi logis bahwa alam sekitar merupakan bagian integral dari keberadaan manusia. Karena itu, menghormati alam berarti juga menghormati Allah sebab alam merupakan cara  penampakkan Allah.

5.1                          Etika Ekologi : Wajah Baru Relasi Manusia dengan Alam
5.1.1                    Reposisi Peran Manusia dalam Kosmos

Modernitas menempatkan alam sebagai obyek kajian intelektual manusia. Alam menjadi sesuatu yang asing di luar diri manusia yang harus dikuasai dan dimanfaatkan demi kepentingan manusia. Manusia dengan rasionalitasnya hadir sebagai subyek otonom. Sebaliknya, alam berada di bawah kekuasaan kendali manusia yang menyata dalam aktivitas berteknologi. Posisi relasi manusia-alam yang subordinatif deterministis ini melahirkan aneka penyimpangan yang secara tajam ditunjukkan dengan hancur dan ambruknya peradaban manusia. Kehancuran peradaban ini menyata dalam perusakan alam dan terhempasnya nilai-nilai kemanusiaa. Dalam nada yang pesimistik dapat dikatakan bahwa kematian alam adalah kematian citra kemanusiaan itu sendiri.
Keterbatasan rasionalitas masyarakat modern dengan kekuasaan kontrol teknisnya secara serta merta membuka cakrawala baru bagi munculnya pertimbangan kritis-konstruktif. Di sinilah etika sebagai cabang filsafat yang langsung mempertanyakan praksis kehidupan manusia memposisikan dirinya. [9] Pada tataran relasi manusia dan alam, etika mempertanyakan peran atau tugas manusia dalam kosmos. Sedangkan ekologi sesuai dengan bidang garapannya merefleksikan kosmos dalam batas waktu dan sejarah. Ekologi memberikan ruang bagi manusia untuk menjamin perkembangan kosmos dan menjamin kualitas hidup manusiawi dalam perkembangan kosmos ini. Kosmos atau alam diciptakan sedemikian rupa sehingga memungkinkan manusia berada dan berkegiatan di dalamnya. Tugas manusia adalah menjadi gembala-gembala alam yang hidup, melindungi diversitasnya dan memimpin perkembangannya. Manusia dan alam hidup dalam persekutuan baru di atas dasar solidaritas.

5.1.2                    Manusia Berjiwa Kosmis

Dalam membangun relasi dengan alam maka manusia perlu memiliki komitmen kejiwaan. Komitmen kejiwaan itu merangkum dua aspek yakni (1) harapan akan perlindungan dan (2) harapan akan pengangkatan atau peningkatan martabatnya sebagai manusia. Harapan pertama berkaitan dengan keselamatan, sedangkan harapan kedua berkaitan dengan citra diri manusia sebagai makhluk yang bermartabat luhur. Harapan di atas tidak saja menyangkut keselamatan dan pengangkatan citra pribadi manusia secara subyektif tetapi juga merangkum keselamatan alam semesta serta mencakup keseimbangan dan keutuhan seluruh ekosistem.
Realisasi dari harapan di atas berorientasi pada pilihan etika yang bercorak ekologis. Ia juga berkiblat pada pembentukkan pribadi manusia yang berjiwa kosmis. Manusia yang berjiwa kosmis selalu menyadari diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kosmos. Kesadaran diri ini melahirkan adanya penghargaan terhadap kosmos sebagai wujud penghargaan terhadap martabat sesama ciptaan. Hal ini ditunjukkan melalui sikap bersahabat, penuh hormat, cinta, lemah lembut dan persaudaraan. Melalui sikap-sikap ini maka kosmos dan segala isinya akan mengalami kedamaian. Ini juga merupakan ekspresi dari sikap batin yang terbuka dan senantiasa mengkomunikasikan diri dengan alam. Kesadaran ini tentu mempunyai implikasi dan dasar religiusnya. Kosmos diciptakan sedemikian rupa sehingga manusia dapat “berada”, saling memberi arti dan saling menyempurnakan. Keberlangsungan kosmos diakui berada dalam garis rencana Sang Pencipta.[10]
5.1.3                    Dari Kesadaran Ekologis menuju Teori Lingkungan Hidup

Kesadaran ekologis turut menentukan cara berada manusia. Manusia tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari kosmos atau sebaliknya. Manusia ada dalam kosmos dan berkegiatan di dalamnya. Manusia memaknai dirinya dalam korelasi dengan kosmos. Pemaknaan diri yang dialektis ini memungkinkan munculnya penghargaan terhadap alam dan makhluk ciptaan lain. Alam tidak lagi dimanipulasi demi kepentingan manusia semata tetapi alam diakrabi sebagai sesama ciptaan yang turut menunjang keberadaan manusia. Kesadaran ini memanifestasikan keyakinan bahwa kosmos mencerminkan kemuliaan, kehadiran dan kasih sayang Sang Pencipta. [11] Manusia sebagai ciptaan Allah memaknai jati dirinya dalam dunia ciptaan. Kesadaran ekologis ini mengantar manusia kepada pengakuan akan kekuasaan Sang Pencipta.
“Teologi Lingkungan Hidup” merefleksikan dan memberikan gambaran yang tepat tentang posisi dan peran manusia dalam ciptaan. Manusia menemukan makna hidupnya, mewujudkan martabatnya melalui keikutsertaannya dengan tindakan penciptaan Allah sendiri. Sebagai imago dei manusia dipanggil oleh Allah untuk ikut serta dalam memelihara keutuhan ciptaan. Sebagai rekan kerja Allah maka manusia diikutsertakan dalam tugas mentransformasikan, membentuk kembali dan memelihara alam ciptaan. Manusia dipanggil untuk mengatasi degradasi, pengasingan, manipulasi, penindasan, kekerasan dan penghancuran alam semesta. Manusia diikutsertakan Allah untuk membangun ciptaan baru yang berpusat pada Allah sendiri.

5.2                          Dialog dengan Alam : Alam sebaga Sahabat

Dialog sendiri tidak memiliki syarat-syarat khusus. Namun dialog bisa terjadi bila ada kondisi atau syarat tertentu yang memungkinkan. Kondisi-kondisi tersebut seakan menjadi “pelancar” bagi aktus dialog. Pertama, dialog itu mengandaikan adanya saling penghargaan atas keberadaan dan keterlibatan pihak-pihak lain. Dialog tidak akan mungkin terjadi bila salah satu pihak menutup pintu hatinya bagi kehadiran pihak lain. Pra-syarat pertama ini mutlak diperlukan karena esensi dari sebuah dialog adalah saling menerima dan memberi.
Kedua, dialog itu tidak mempunyai strategi khusus. Ia berbeda dari sebuah pertemuan biasa atau sebuah perundingan. Dialog hadir bagi dialog itu sendiri. Strategi tertentu akan merusakan suasana dialog karena masing-masing pihak berjuang untuk mengatasi pihak lain demi kepentingan. Padahal dalam dialog itu masing-masing pihak menerima pihak lain apa adanya dan menerima kekhasannya masing-masing.
Paradigma kebudayaan pra-modern melihat alam sebagai penampakan yang ilahi yang mengakibatkan alam tidak diolah. Sebaliknya, paradigma kebudayaan modern melihat alam sebagai obyek manusia, ada demi manusia sehingga eksploitasi atas alam dibenarkan tanpa memperhitungkan kemungkinan rusaknya ekosistem dan terganggunya kehidupan manusia itu sendiri. Pola pandang masyarakat pasca modern melihat alam sebagai SAHABAT yang saling membutuhkan demi kelangsungan hidup. Kesadaran baru muncul bahwa alam yang tercipta itu mempunyai peran yang amat besar bagi eksistensi manusia. Hanya memang, kesadaran ini agaknya terlambat karena alam terlanjur dirusakkan, dieksploitasi tanpa batas. Kesadaran manusia itu muncul manakala manusia merasakan akibat dari ketiadaan “dialog” dengan alam.
Alam adalah “sabahat” manusia dan manusia pun adalah “sahabat” alam. Kehadiran yang timbal balik ini diinginkan sejak awal penciptaan. Kisah penciptaan menceritakan bahwa Tuhan menciptakan juga pohon-pohon yang buahnya bisa dimakan dan menciptakan kondisi alam yang memungkinkan kehidupan manusia. Manusia hidup di dunia dan eksistensinya di dunia tidak saja tergantung dari kemampuannya sendiri. Manusia mesti menjalin relasi secara utuh dengan lingkungannya, dengan dunianya. Keutuhan ekologis itulah yang menjadi tuntutan bagi eksistensi manusia. Pengabaian manusia akan kehadiran alam dan ciptaan lainnya (dan hanya mengandalkan akal budinya sendiri) hanya akan mendatangkan petaka bagi manusia itu sendiri.
Sudah saatnya manusia bersahabat dengan alam. Alam bukan lagi menjadi obyek manusia melainkan subyek yang mesti dihargai keberadaannya. Dialog dengan alam berarti menghargai keberadaan alam dan melestarikannya serta memanfaatkannya demi kehidupan bersama dan demi keutuhan ciptaan. Tercakup di dalam dialog ini adalah mengupayakan keseimbangan ekologis yang sungguh-sungguh menghidupkan. Pengembangan ekologis yang tidak seimbang akan mendatangkan bencana dan kematian, entah bagi manusia ataupun bagi alam itu sendiri. Di dalam dialog, alam “dihumanisasikan” dan diterima sebagai mitra dalam membangun sebuah kehidupan di dunia ini. Manusia memang dianggap sebagai puncak dari ciptaan. Posisi seperti ini tidak membenarkan perlakuan manusia yang sewenang-wenang terhadap ciptaan-ciptaan infra- human atau pra- human. Sebaliknya sebagai puncak ciptaan maka manusia mesti menampakkan keunggulannya dalam menata alam demi terciptanya keutuhan ciptaan. Tanpa adanya ciptaan infra-human maka posisi manusia sebagai puncak ciptaan tidak bisa ditegaskan. Perlakuan yang semena-mena terhadap alam juga tidak membenarkan posisi manusia sebagai puncak ciptaan tetapi mereduksi manusia kepada makhluk non-rasional yang hanya berorientasi pada tujuan akhir dan kepentingan sesaat tanpa menyadari keutuhan ekologis dan masa depannya.
Dialog dengan alam terwujud secara nyata dalam usaha-usaha pembangunan yang berwawasan ekologis. Alam dan kesadaran ekologisnya ternyata memberikan sumbangan yang besar bagi keberadaan hidup manusia. Ketidakharmonisan relasi manusia dengan alam akan menimbulkan kerugian bagi manusia itu sendiri. Tidak ada jalan lain bagi manusia selain membina dialog dengan alam. Alam adalah sahabat manusia.

5.3                          Ikhtiar Menyelamatkan Bumi
5.3.1                    Relasi Dialogal Manusia – Alam

Setiap manusia harus berinteraksi dengan alam lingkungan. Interaksi itu dimulai sejak kelahiran dirinya. Itu berarti manusia tidak dapat hidup tanpa alam. Untuk menjelaskan ini lebih jauh Gabriel Marcel menggunakan term the level body atau “level tubuh”. Menurutnya, “duniaku mempengaruhi seluruh dimensi diriku”.[12] Ini menunjukkan bahwa saya tidak sepenuhnya otonom, tidak berdiri sendiri tetapi bergantung pada yang lain. Aku hadir dalam dunia melalui spesialitas tetapi aku berada dalam jalinan erat dengannya.
Lebih jauh, Martin Heidegger meretas idenya tentang bumi bahwa manusia adalah makhluk yang berada di bumi dengan cara beradanya sendiri. Dengan demikian, titik relasi manusia dengan lingkungan terletak pada cara bagaiman manusia mengkoordinasikan dunianya dan dirinya sehingga relasi dialogal manusia-alam dianalogikan sebagai relasi ibu-anak. Bumi sebagai ibu tentunya telah mengadakan segala potensi yang dapat dipakai manusia dalam upaya memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Di sini alam sungguh menjadi ibu yang mencintai dan merawat anaknya (manusia). Idealisme akan terciptanya lingkungan hidup yang selaras dengan perkembangan manusia dapat tercapai hanya melalui pelestarian relasi dialogal manusia-alam.
Alam dan makna kehidupan merupakan pokok-pokok yang saling melengkapi. Motif-motif yang muncul dari lubuk hati membuktikan bahwa Allah pertama-tama bukanlah suatu penjelasan yang hanya menyangkut soal awal mula alam semesta dan biologi tetapi berakar dalam kehidupan manusia yang konkret dan menyentuh perasaan, pikiran, pilihan, tindakan dan makna hidup itu sendiri.
Pemahaman tentang relasi yang mesti terjalin antara manusia sebagai puncak ciptaan dengan alam sebagai sebuah medan pewahyuan tentang kebesaran Allah telah terjadi dalam seluruh perjalanan sejarah manusia. Hal ini dapat diketahui dari usaha kita membaca kembali lembaran sejarah. Ketika lembaran sejarah dibuka kembali maka di sana terdapat beberapa pandangan tentang relasi dialogal manusia-alam khususnya dari zaman patristik,  skolastik, zaman renaissance dan zaman pencerahan.
Pada zaman patristik (para Bapa Gereja) yaitu pada abad ke-3 dan ke-4 dengan Agustinus sebagai tokoh sentralnya terdapat pandangan bahwa alam semesta merupakan suatu sistem simbolik di mana seluruh perkembangan dunia bergantung pada Allah. Sedangkan pada zaman skolastik yaitu pada abad ke-10 hingga abad ke-15 dengan Thomas Aquinas sebagai tokoh utamanya terdapat pandangan bahwa alam bersifat sacramental yaitu tanda dan lambang mengenai kenyataan Ilahi di mana dunia berpartisipasi dalam adanya Allah.
Pandangan tentang relasi antara alam dan manusia mencapai kepenuhannya pada zaman Kelahiran Kembali atau Renaissance dan zaman Pencerahan atau Aufklärung yang melahirkan aliran rasionalisme yang menonjolkan peran akal budi manusia. Dalam masa ini relasi antara alam dan manusia semacam mengalami titik kulminasi. Alam tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang sacral, magis atau seram tetapi alam menjadi obyek dan manusia menganggap diri sebagai Lord and Owner. Pemahaman seperti ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan relasi antara manusia dan alam. Akibatnya, alam mulai dieksploitasi seturut keinginan hati manusia. Hal ini kemudian melahirkan persoalan ekologis.
Dengan melihat bahwa masalah ekologi tidak terlepas dari soal penghayatan iman maka Gereja Katolik ikut terpanggil untuk terlibat di dalamnya. Gereja sebagai persekutuan umat beriman menghendaki agar manusia memperoleh kembali martabatnya sebagai ciptaan Allah yang sejati yaitu sebagai subyek yang mandiri yang tahu berelasi dengan sesama manusia dan sesama ciptaan lain. Karena itu, pandangan Kitab Suci mengenai lingkungan hidup merupakan suatu refleksi teologis dan bukanlah suatu gagasan ilmiah tentang arti ekologi modern. Pandangan tersebut berkaitan erat dengan pewahyuan diri Allah. [13]
Melalui dunia dan segala ciptaan, iman akan Allah dimungkinkan bertumbuh secara nyata dalam diri manusia sejauh manusia memanfaatkan akal budinya dengan baik pada saat manusia berhadapan dengan alam semesta. Penciptaan tidak boleh dilepaspisahkan dari kerangka keselamatan. Karya penciptaan adalah awal dan persiapan karya keselamatan Allah di mana Allah turun tangan untuk bertindak menyelamatkan manusia dari dosa dan maut. Alam semesta menjadi lambang kehendak baik Allah sejak semula yang mau menyelamatkan manusia yaitu dengan mengubah ketidakteraturan, kegelapan dan kekacauan (chaos) menjadi kehidupan, keteraturan dan terang (cosmos).
Allah memulai karya penyelamatanNya dengan peristiwa penciptaan melalui SabdaNya dan dalam diri Sang Sabda itulah karya keselamatan Allah berlangsung terus sepanjang sejarah sampai memuncak dan terpenuhi dalam Karya Penebusan Yesus Kristus. Melalui karya penebusanNya, Yesus Kristus terus-menerus mencipta dan melestarikan (creation et conservation) dunia. Hal ini telah ditegaskan Allah dalam SabdaNya : “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru! Langit yang baru dan bumi yang baru. Di dalam Dialah segala isinya menyongsong masa depan sebab Ia adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir” (bdk. Why 21 : 1-5).

5.3.2                    Kesadaran Berekologi : Makna Adanya Manusia bagi Alam

Lingkungan hidup merupakan substansi yang sungguh urgen bagi perkembangan manusia. Kenyataan menunjukkan bahwa teknologi dan pembangunan tidak selaras dengan semangat pelestarian alam. Manusia menjadi penguasa atas alam. Relasi dialogal yang diidealkan tidak tercapai. Karena itu, kesadaran berekologi perlu ditumbuhkembangkan demi memaknai keberadaan manusia itu sendiri.
Dalam pelbagai potret lingkungan hidup yang dilecehkan, manusia pada akhirnya berhadapan dengan dirinya sendiri. Manusia yang dipengaruhi alam (nature made man) menemukan dirinya sendiri. Itu berarti hubungan dengan alam harus berdasarkan pertimbangan ekologis dengan bertolak dari pelbagai aspek kehidupan sebab alam bukan saja warisan bagi manusia zaman ini melainkan juga pijakan bagi generasi mendatang. Maka, di sini dibutuhkan unsur-unsur etika lingkungan hidup untuk tetap menjadi kelestarian lingkungan.
Kesadaran manusia untuk melestarikan lingkungan hidup telah melewati proses yang panjang. Hal ini bertitik tolak dari pengalaman manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia dan alam tidak dapat dilepaspisahkan. Inilah kesadaran manusia yang seringkali diendapkan ke alam bawah sadar dan membuatnya menjadi tidak sadar dengan kesadarannya sendiri.
Kesadaran ekologi mengantar manusia pada penentuan sikap ekologis.[14] Sikap pertama adalah SHALLOW ECOLOGY atau “ekologi dangkal” yang bercirikan antroposentris (manusia menjadi titik tolak semua nilai). Sikap kedua adalah DEEP ECOLOGY atau “ekologi dalam” yang berusaha menyadarkan manusia akan eksisitensi ciptaan lainnya yang memiliki hak hidup. Keberadaan manusia adalah keberadaan bersama dan bukan keberadaan yang mengatasi makhluk ciptaan yang lain. Struktur dasar keberadaannya adalah to be in the world with all things yaitu bahwa manusia selalu berada dalam iklim demokrasi kosmis.
Peran manusia dalam relasinya dengan alam ciptaan harus diperbaharui. Pertama, manusia adalah penjaga dan penggarap taman eden di bumi ini. Manusia diberi “hak pakai” dan bukan “hak milik” atas bumi ini.[15] Otoritas manusia untuk mengelola bumi ini bersifat autonom-partisipatif. Manusia bukanlah penguasa tunggal dan ciptaan lain bukanlah obyek yang “melayani” setiap keinginan manusia. Dengannya, hasrat untuk memiliki dan menguasai alam secara mutlak yang menempatkan manusia sebagai master of nature harus dihilangkan dan digantikan dengan eksistensi manusia sebagai brothers of nature, saudara alam. Kedua, relasi manusia dengan alam berada dalam sebuah alur persaudaraan universal. Oleh karena itu, eksklusivitas manusia pada autonomi absolut dirinya yang mengorbankan alam ciptaan harus ditiadakan.

5.3.3                    Menghargai dan Menghormati Alam

Menghormati dan menghargai alam telah menjadi salah satu sendi pembentukkan gerakan keprihatinan manusia akan penyelamatan masa depan bumi. Hal ini telah menjadi isu sentral yang bergulir di masyarakat baik di tingkat nasional maupun pada tingkat internasional. Keprihatinan akan penyelamatan masa depan bumi menjadi utang bagi manusia masa kini. Namun apalah artinya bagi manusia bila semua itu hanya terbatas pada taraf keprihatinan ?
Konteks pemikiran di atas kiranya dapat menggiring manusia pada suatu kiat untuk mengembalikan posisi alam dengan sikap menghargai dan menghormati alam. Menyelamatkan masa depan bumi harus berlandaskan pada suatu ikhtiar suci sebagai ungkapan rasa sosial bagi manusia di masa yang akan datang. Maka, usaha menyelamatkan masa depan bumi dengan menjaga kelestarian lingkungan harus diwujudnyatakan. Pelestarian lingkungan hanya dapat dilakukan kalau diciptakan sistem kebudayaan yang terjalin dalam suatu kesatuan dengan alam demi menyelamatkan masa depan bumi. Menghargai dan menghormati alam adalah suatu sikap yang dituntut untuk dikembangkan. Terhadap persoalan ekologis yang menyebabkan krisis ekolologis maka terdapat beberapa cara untuk dapat mengatasi problem alam.
Pertama, konservasi sumber daya alam. Maksud pandangan ini adalah membatasi eksploitasi atas alam lingkungan. Tujuannya adalah untuk melestarikan alam demi kepentingan orang banyak. Kedua, pemeliharaan alam raya. Perspektif ini berfokus pada pemeliharaan lingkungan hidup demi kepentingannya sendiri. Menurut pandangan ini, lingkungan hidup mempunyai nilai dalam dirinya sendiri.
Ketiga, moralisme alamiah. Posisi ini menandaskan bahwa manusia mempunyai kewajiban terhadap makhluk-makhluk alamiah dan bahwa kewajiban itu didasarkan atas hak yang berkaitan dengan suatu ciri berharga dari makhluk-makhluk tersebut. Ciri khas ini bertolak belakang dengan tradisi yang menganggap lingkungan hanya berharga karena keterkaitannya dengan manusia. Lingkungan hidup (alam) mempunyai nilai lebih tinggi daripada instrumental saja. Nilainya bermakna karena dirinya sendiri. Keempat, kepekaan ekologi. Anggapan ini meliputi tiga orientasi yaitu (1) menghargai dan menghormati alam, (2) ada suatu pengertian tentang realitas yang memperhitungkan pentingnya relasi-relasi dan sistem-sistem dan (3) adanya suatu etika yang terarah kepada hubungan dialogal manusia dan alam yang meliputi penggunaannya yang tahu diri dan penuh hormat.

5.3.4                    Ringkasan

Filsafat identitas Baruch Spinoza secara tegas menyatakan kesatuan (identitas) dari segala sesuatu. Ia melihat adanya Substansi (Allah) dan modus atau cara beradanya Allah. Dengan konsep ini Spinoza menunjukkan identitas antara Allah dan alam yaitu bahwa Allah (substansi) selalu ada melalui atau lewat cara (modus) segala yang ada dalam alam atau segala yang tampak dalam ala mini merupakan penampakkan diri Allah.
Spinoza telah membantu kita untuk menyadari hakekat alam, lingkungan ekologi kita sebagai bagian integral dari keberadaan kita yang bersatu dengan Allah. Manusia tidaklah terpisah dari alam lingkungannya karena ia adalah bagian dari alam itu. Manusia menjadi manusia karena ia ada sebagai bagian dari bumi ini.
Filsafat identitas menantang kita sebagai orang beriman untuk dapat menghargai alam, lingkungan ekologi kita sebagai cara Allah hadir. Spinoza dengan pandangannya membantu kita untuk menumbuhkan rasa sadar alam dan cinta lingkungan sebagai wujud penghormatan dari iman kita akan Allah. Kita harus dengan sadar menjalin persahabatan dan kesatuan dengan alam, lingkungan ekologi kita yang meliputi segenap ciptaan guna memelihara dan mengembangkan kebaikan, kekayaan serta keindahan dan pesona yang datang dari Allah dan untuk memuliakanNya yang tampak dalam alam sekitar kita.

VI.                         Penutup

Dewasa ini, alam tempat manusia merealisasikan eksistensinya berada dalam kondisi yang sangat mencemaskan. Efek rumah kaca dan pemanasan global meningkat tajam. Perubahan iklim terjadi begitu cepat dan sulit diramalkan. Hutan yang merupakan paru-paru bumi persediaannya semakin berkurang karena dirambah secara liar dan besar-besaran. Penipisan lapisan ozon terus meningkat. Polusi air, udara dan tanah kian menumpuk.
            Kenyataan ini melahirkan krisis ekologi yang semakin parah. Relasi antara manusia dengan alam terganggu. Alam tidak lagi menjadi rumah kediaman yang nyaman bagi manusia, bukan lagi menjadi ibu yang baik yang menyediakan pelbagai kebutuhan hidup manusia melainkan alam hadir sebagai musuh yang mencengkeram dan menyerang manusia.
Terganggunya relasi antara alam dan manusia ini disebabkan oleh intervensi manusia yang berlebihan atas alam. Tindakan manipulatif atas alam mengakibatkan hilangnya keseimbangan yang terus-menerus berlaku dalam alam. Keadaan keseimbangan yang terus-menerus berlaku dalam alam itulah yang dinamaka homeostatis equilibrium. Alam dengan segala kemampuan yang dimilikinya dapat dengan sendirinya memelihara dan menjaga keseimbangan itu. Maka, serangan alam terhadap manusia merupakan proses dari alam atas kepongahan dan keserakahan manusia yang menyebabkan hilangnya keseimbangan itu.
Dalam ikhtiar mengembalikan keadaan keseimbangan itu maka ada beberapa catatan kritis yang mesti diperhatikan.
Pertama, alam harus dipandang serentak sebagai anugerah dan tanggung jawab. Artinya, di satu pihak manusia dapat mengolah dan memanfaatkan alam ini dengan segala potensi yang dimilikinya dan di pihak lain manusia bertanggung jawab untuk memelihara dan menjaga keseimbangan yang terus-menerus berlaku dalam ala mini. Tanggung jawab ini mesti lahir dari kesadaran akan pentingnya kelestarian alam demi hidup manusia kini dan generasi mendatang.
Kedua, pergeseran sikap terhadap alam yaitu dari sikap antroposentris ke sikap biosentris.
Ketiga, bersikap kritis terhadap pengembangan teknologi. Pengembangan teknologi mesti dapat dipertanggungjawabkan demi utuhnya relasi antara manusia dan alam.
Kelestarian alam adalah tanggung jawab manusia karena dunia (cosmos) diciptakan Tuhan dari kekacaubalauan (chaos) di mana selanjutnya manusia beserta segala ciptaan mendapat kemungkinan untuk hidup. Tuhan menciptakan dunia ini baik adanya dan Ia menyerahkan tugas kepada manusia untuk memelihara alam lingkungan ini. Tugas tersebut tidak menjadikan manusia sebagai tuan dan pemilik (Lord and Owner) tetapi sebagai “wakil” Sang Pencipta di bumi. Dengan memberi tugas itu berarti Allah menganugerahkan kepada manusia suatu otonomi untuk membangun dunia sesuai dengan potensi yang dimilikinya dengan digerakkan oleh daya Roh Allah sendiri tetapi bukan otonomi mutlak melainkan otonomi partisipatif yaitu otonomi yang diberikan dalam rangka karya dan kuasa Allah.


DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Anton. Kosmologi dan Ekologi. Yogyakarta : Kanisius, 1995.

Banawiratma, J. B. Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Yogyakarta : Kanisius, 1995.

Bertens, K. Pengantar Bioetika. Jakarta : Gramedia, 1995.

Buntaran, Freddy. Saudari Bumi Saudara Manusia. Yogyakarta : Kanisius, 1996.

Chang, William. Jiwa Kosmis Fransiskus dari Asisi. Ende : Nusa Indah, 1989.

---------------------. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta : Kanisius, 2001.

Hardiman, Fransisco B. Kritik Ideologi. Yogyakarta : Kanisius, 1990.

Hidya Tjaya, Thomas. Kosmos Tanda Keagungan Allah : Refleksi Menurut Louis Bauyer. Yogyakarta : Kanisius, 2002.

Huijbers, Theo. Manusia Merenungkan Dirinya. Yogyakarta : Kanisius, 1986.

Leahy, Louis. Kosmos Manusia dan Allah. Manusia di Hadapan Allah. Yogyakarta : Kanisius, 1986.

------------------. Sains dan Agama Dalam Konteks Zaman. Yogyakarta : Kanisius, 1997.

Mangunharjana, A. M. Isme-Isme Dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta : Kanisius, 1997.

Nouwen, Henri J. Yang Terluka Yang Menyembuhkan. Yogyakarta : Kanisius, 1989.

Poedjawijatna, I. R. Manusia dengan Alamnya. Jakarta : Bina Aksara, 1983.

Salim, Emil. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1991.

Sastrosupeno, M. S. Manusia, Alam dan Lingkungan. Depdikbud, 1984.

Seran, Alex. Iman dan Ilmu. Yogyakarta : Kanisius, 1992.

Soedjatmoko. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta : LP3ES, 1986.

Soemantri, Koesnadi Hardja. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1997.

Sudarminta, J. Filsafat Proses : Sebuah Pengantar Semantik Filsafat Alfred North Whitehead. Yogyakarta : Kanisius, 1991.

Sugiharto, I. Bambang. Wajah Baru Etika dan Agama. Yogyakarta : Kanisius, 2002.

Suseno, Franz Magnis. Berfilsafat dari Konteks. Jakarta : Gramedia, 1991.

-----------------------------. Filsafat sebagai Ilmu Kritik. Yogyakarta : Kanisius, 1993.

-----------------------------. 13 Model Pendekatan Etika. Yogyakarta : Kanisius, 1998.

Ward, Barbara. Hanya Satu Bumi. Jakarta : Gramedia, 1980.

Windhu, I. Marsana. Kekerasan dan Kekuasaan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta : Kanisius, 1992.

Zen, M. T. Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta : Gramedia, 1980.






[1] Frans Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, Jakarta : Gramedia, 1989, p. 2.
[2] Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat W., Wajah Baru Etika dan Agama, Yogyakarta : Kanisius, 2002, p. 31
[3] A. M. Mangunhardjana, Isme-Isme dari A Sampai Z, Yogyakarta : Kanisius, 1997, pp. 76- 79
[4] William Chang, Moral Lingkungan Hidup, Yogyakarta : Kanisius, 2001, p. 42
[5] J. B. Banawiratma, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Yogyakarta : Kanisius, 1995, p. 205
[6] Frans Magnis Suseno, Model Pendekatan Etika, Yogyakarta : Kanisius, 1998, p. 99
[7] Ibid.
[8] K. Bertens, Pengantar Bioetika, Jakarta : Gramedia, 1995, 74.
[9] Frans Magnis Suseno, Op. Cit., p. 13
[10] Louis Leahy, Kosmos Manusia dengan Allah, Manusia di Hadapan Allah, Yogyakarta : Kanisius, 1986, p. 131
[11] William Chang, Op. Cit., pp. 44- 45
[12] Koesmadi Hardja Soemantri, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1997, pp. 27- 28
[13] Freddy Buntaran, Saudari Bumi Saudara Manusia, Yogyakarta : Kanisius, 1996, pp. 45- 48
[14] Ibid., pp. 55- 56
[15] Alex Seran, Iman dan Ilmu, Yogyakarta : Kanisius, 1992, p. 72

No comments:

Post a Comment