Thursday, January 24, 2013

DEVOSI YANG BENAR KEPADA MARIA
* OLEH : CHRISPINUS H. JEBARUS, S. FIL

PENGANTAR

Devosi berkaitan dengan hidup kebatinan seseorang, sehingga sifatnya pribadi dan bebas. Dorongan batin menggejala dalam tingkah laku pribadi maupun sosial. Karena itu, devosi memerlukan wujud konkret sebagai sarana untuk mendekati dan berbakti kepada Allah, misalnya dengan menghormati para kudus, benda-benda kudus, Bunda Maria, dan lain-lain. Beraneka ragamnya bentuk devosi ini disebabkan oleh pilihan praktis yang sesuai dengan jiwa, semangat, dan cita-cita rohani. Kehidupan devosional mempunyai makna dan nilai bila bentuknya mampu menumbuhkan dan menyuburkan hidup rohani.[1]
Di dalam Gereja, tumbuh berbagai macam kebaktian yang melahirkan spiritualitas atau kerohanian untuk menghayati cinta anugerah Allah. Kebaktian itu ditujukan kepada aspek-aspek misteri Kristus. Bunda Maria dihormati oleh Gereja dengan ibadat khusus yang lebih popular dengan sebutan devosi. Penegasan Injil Lukas 1 : 48- 49 dipakai sebagai dasar devosi kepada Maria, yaitu karena perbuatan-perbuatan yang besar dari Allah. Bunda Maria menduduki tempat dan peranan istimewa dalam hidup dan sejarah tata penyelamatan, dan karena tempat dan peranan istimewa itulah, maka Maria dihormati oleh Gereja melebihi semua orang kudus. [2]
Devosi kepada Maria di kalangan umat Katolik sungguh menonjol. Oleh karena itu, sungguh tepat bila umat beriman menyapa Bunda Maria sebagai “mama yang sangat berjasa “. Jasanya amat agung dan mulia, sebab ia telah mengorbankan Puteranya demi menganugerahkan hidup abadi dan berahmat kepada umat manusia sambil mendorong umat untuk meneladani Puteranya. Seorang beriman harus mengetahui dan mengingat bahwa ibadat khusus atau hyperdulia kepada Maria berbeda secara hakiki dengan menyembah sujud kepada Allah atau latria maupun dengan penghormatan kepada para kudus atau dulia, karena satu-satunya tujuan, pusat dan kebaktian adalah kepada Allah.
Devosi kepada Maria bukanlah suatu perintah melainkan suatu dorongan hati. Sikap orang beriman dalam menghormati Bunda Maria adalah dengan meneladani imannya, kekuatannya, keutamaan-keutamaannya, kerendahan hati, dan perhatiannya. Devosi kepada Maria akan membawa umat beriman untuk mengikuti jejak Kristus.[3] Meskipun demikian, dalam kenyataannya terdapat pelbagai masalah dalam kebaktian umat kepada Maria, di mana dalam prakteknya devosi kepada Maria mulai menyimpang akibat ulah para pengagum Maria yang terlalu bersikap fanatik dan terlalu mendewakan Bunda Maria, yaitu dengan membesar-besarkan peranan Maria (maksimalisme) secara keliru atau dengan mengabaikan ketergantungan Maria kepada Kristus (minimalisme).  Selain itu, ada pula sikap dingin sebagian orang Katolik di mana mereka menganggap bahwa devosi kepada Maria merupakan halangan bagi mereka untuk berhubungan dengan Yesus Kristus. Sikap seperti ini menunjukkan ketidakpahaman dan rasa kurang mengerti seseorang tentang kebaktian kepada Maria. Karena itu, berhadapan dengan masalah seperti di atas, maka umat beriman hendaknya sungguh memahami bagaimana berdevosi yang benar kepada Maria.
            Devosi merupakan sikap batin seseorang yang sifatnya bebas dan pribadi. Devosi sebagai sarana untuk mendekati dan berbakti kepada Allah dan devosi kepada Maria merupakan salah satu devosi yang penting dalam Gereja, sebab Maria mendapat tempat yang istimewa dalam kehidupan orang Katolik.
            Devosi kepada Bunda Maria berasal dari pengertian yang tepat tentang tempat Maria yang unik dalam rencana keselamatan Allah, juga memberi tempat yang seharusnya dalam hidup doa umat beriman. Santu Montfort mengajarkan tentang devosi yang benar kepada Maria, yaitu yang bersifat kristosentris, berakar dalam misteri Allah Tritunggal, dan misteri inkarnasi.

I.             Hakikat Devosi
            Kata ”devosi” berasal dari kata bahasa Latin devotio. Kata kerjanya adalah devovere yang berarti membaktikan, mengorbankan, kesalehan, sumpah, dan cinta bakti. Secara etimologis, devosi menunjukkan sikap hati dan perwujudannya, di mana seseorang mengarahkan diri kepada seseorang atau sesuatu yang dijunjung tinggi dan dicintainya.
            Dalam tradisi Kristiani, devosi dipahami sebagai bentuk penghayatan dan pengungkapan iman Kristiani di luar liturgi resmi.[4] Devosi berarti suatu sikap menyerahkan diri seutuhnya kepada seseorang yang dicintai, dihormati, dan karena itu sifatnya spontan, bebas, serta dapat dibawakan secara pribadi ataupun bersama yang bertolak dari dasar kehidupan afeksi manusia.
            Secara umum,  terdapat bermacam-macam devosi, seperti kebaktian kepada sakramen maha kudus, jalan salib dan novena. Kebaktian kepada Sakramen Mahakudus berkembang sejak abad pertengahan, yaitu sejak kasus Berengarius yang menyangkal bahwa Kristus benar-benar hadir di dalam hosti yang sudah dikonsekrir oleh imam. Karena Berengarius menolak iman seluruh Gereja, maka mulailah devosi umat dengan menyembah Kristus dalam bentuk devosi kepada Sakramen Maha kudus. Salah satu bentuk dari devosi kepada Sakramen Mahakudus adalah adorasi. Kebaktian kepada Sakramen Mahakudus paling ideal dilaksanakan sesudah komuni, agar nilai kesatuannya dengan ekaristi tetap terpelihara dengan baik.
            Selain kebaktian kepada Sakramen Mahakudus, Jalan salib merupakan salah satu bentuk kebaktian rakyat yang muncul berkaitan dengan adanya kebiasaan umat pada abad XIV yang mengikuti ziarah bersama kelompok Fransiskan. Doa jalan salib merupakan doa devosi yang membantu semua umat untuk menghayati dan merenungkan misteri penderitaan dan wafat Tuhan Yesus Kristus, dan karena itu dianjurkan kepada umat Kristiani agar doa atau bentuk devosi jalan salib dilaksanakan pada masa prapaskah.
            Model devosi lainnya adalah novena. Kata novena berasal dari kata bahasa Latin, yaitu  novem yang berarti sembilan. Doa novena merupakan kebaktian sembilan hari yang diisi dengan doa tertentu bagi persiapan suatu pesta atau juga berisi doa permohonan yang penting berkaitan dengan kehidupan manusia. Doa novena sudah mulai dikenal sejak zaman Gereja purba. Novena pertama dilakukan oleh para rasul bersama Bunda Maria, yaitu sembilan hari menjelang hari pentekosta pertama. Pada mulanya, doa novena hanya dilaksanakan untuk memohon karunia Roh Kudus. Lalu, pada perkembangan iman selanjutnya, doa novena adalah salah satu bentuk doa yang ditujukan kepada perantara-perantara iman, seperti kepada Bunda Maria atau kepada para kudus (santu dan santa). Salah satu doa novena yang paling populer adalah doa novena tiga salam Maria. [5]

II.          Kriteria Devosi yang Benar
            Berkaitan dengan kriteria devosi yang benar, terdapat dua kriteria, yaitu kriteria subyektif dan kriteria obyektif. Devosi berkaitan dengan hidup kebatinan seorang pribadi yang sifatnya bebas. Dalam devosi itu terdapat beberapa kriteria subyektif bagi orang yang menjalankan devosi. Pertama, devosi menyentuh batin seseorang, artinya devosi memberi dorongan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mampu mengubah kebatinan seseorang. Kedua, devosi berpijak pada iman yang benar, baik keyakinan maupun penghayatannya. Selain itu, devosi juga harus terbebas dari perasaan keragu-raguan serta dari situasi iman yang terombang-ambing tanpa arah dan tujuan. Ketiga, seorang pribadi yang menjalankan devosi harus menyerahkan diri seutuhnya dan tidak menjadikan devosi sebagai kebutuhan sesaat, atau menjadikannya sebagai salah satu bentuk kepercayaan yang sia-sia tanpa dasar. Devosi harus memiliki dasar yang kuat pada iman, dan terarah kepada Allah Tritunggal Maha Kudus.
            Secara obyektif devosi harus mampu mengarahkan dan menghantar manusia ke dalam Kristus, sehingga manusia semakin menghayati keilahian Yesus dan mampu menerjemahkannya ke dalam praktek hidup, dan tidak hanya sebatas sebagai suatu sikap batin atau suatu keutamaan. Devosi haruslah berawal dari dorongan Roh Kudus. Karena itu, dalam pelaksanaannya, devosi harus mendapat persetujuan dari Gereja. [6]

III.       Aspek-Aspek Pemahaman Munculnya Devosi Umat
Aspek-aspek pemahaman munculnya devosi umat dapat dilihat dari aspek historis-liturgis, aspek antropologis dan aspek agama kerakyatan. Dari segi historis, praktek devosi umat dalam Gereja Katolik mulai berkembang pada abad pertengahan. Lahirnya devosi berhubungan erat dengan keterasingan umat dari liturgi resmi. Ketika liturgi ritus Romawi dalam bahasa Latin diberlakukan di seluruh Eropa,  liturgi saat itu menjadi urusan kaum klerus saja. Umat bersikap pasif karena tidak memahami makna dan bahasa liturgi. Ketidakterlibatan dan merasa asing terhadap liturgi menyebabkan kerinduan pada diri umat dan kehausan akan bentuk pengungkapan iman yang lebih mudah, sederhana, dan dapat memuaskan kebutuhan afeksi umat. Karena itu, pada abad ke-14 hingga abad ke-20, devosi umat semakin populer bahkan disenangi umat. Praktek devosi umat yang paling populer adalah doa dan ungkapan religius seperti doa litani, kebaktian kepada Sakramen Mahakudus, jalan salib, doa rosario, ziarah, dan novena.
Dari aspek antropologis, devosi umat menjawabi kebutuhan afeksi/perasaan /emosi manusia. Dalam kenyataan, liturgi resmi Gereja tidak selalu bisa menampung seluruh segi kebutuhan manusia. Liturgi resmi umat menonjolkan unsur rasional daripada perasaan. Doa-doa liturgi Romawi terkenal padat dan rasional serta lebih mengungkapkan konsep teologis daripada pengalaman religius umat. Hal terpenting dalam devosi bukanlah keindahan rumusan doa, melainkan unsur perasaan yang diakibatkan oleh praktek doa devosi.
Sedangkan dari aspek religius, devosi sesuai dengan pengalaman religius umat manusia. Pengalaman religius adalah pengalaman dasar setiap manusia yang merindukan kebahagiaan sejati yang diyakini dan dijamin oleh yang ilahi. Pengalaman religius merupakan pengalaman yang menyentuh setiap orang dari suku atau budaya yang primitif sampai suku atau budaya yang modern. Pengalaman religius mengungkapkan kerinduan akan kebahagiaan yang bersumber pada Allah. Akan tetapi, bentuk ungkapan pengalaman religius umat berbeda bagi setiap orang, suku ataupun budaya. [7]

IV.       Teologi Devosi dan Peranan Devosi dalam Liturgi Gereja
Dari aspek teologis, devosi dapat dipahami dari misteri inkarnasi yang mau menunjukkan penerimaan Allah terhadap seluruh dimensi kehidupan manusia yang dikuduskan dan diterima oleh Allah. Gereja mengakui dan menghargai aneka bentuk devosi umat apabila umat melaksanakannya dalam penghayatan yang benar atas dasar ”Roh dan kebenaran” (Yoh 4 : 23) yang membawa umat kepada perjumpaan sejati dengan Allah. [8] Karya Roh Kudus Allah telah dicurahkan ke dalam diri manusia dan Ia selalu mengajak, mendorong, dan membawa manusia kepada kebenaran Kristus. Jika devosi semakin membuat umat merasa dekat dan semakin cinta kepada Tuhan maka semangat dan dorongan itu berasal dari Roh Kudus, dan devosi sungguh merupakan ungkapan iman yang sejati.
            Gereja mengakui kedudukan dan peranan devosi dalam rangka seluruh penghayatan dan pengungkapan iman Gereja. Ada tiga sumbangan devosi terhadap liturgi Gereja. Pertama, devosi mengingatkan pentingnya dimensi afeksi emosi dalam liturgi. Praktek devosi yang begitu populer menunjukkan dan menggambarkan bahwa liturgi Gereja belum seluruhnya menampung kebutuhan iman umat. Liturgi resmi memberi kesan yang terlalu formal, rutin, rasional, dan kurang memberi semangat bagi umat. Kedua, devosi  juga mengingatkan perlunya kesederhanaan ungkapan iman dalam liturgi. Liturgi yang terlalu mementingkan keindahan dan lengkapnya unsur teologis belum tentu menyentuh umat, sedangkan devosi sangat menyentuh afeksi umat karena lebih menekankan kesederhanaan kata-kata. Misalnya, dalam berdoa dosario. Umat sangat menyukainya karena di dalam doa rosario terdapat kesederhanaan kata-kata. Selain itu, doa rosario juga adalah doa yang sangat mudah dan menyatu dengan umat. Karena itu, yang paling penting dalam devosi adalah siraman rohani dan bukan informasi. Ketiga, devosi mengingatkan bahwa liturgi merupakan sebuah doa. Devosi umumnya memuat pengulangan-pengulangan doa, dan hal ini akan memberikan kepuasan dalam batin umat. Sebab, yang terpenting dari doa adalah bahwa umat bisa merasakan dan mengalami kehadiran Tuhan dengan seluruh jiwa raganya.
            Meskipun devosi diakui oleh Gereja dan memberikan sumbangan terhadap liturgi, namun umat pun harus bersikap waspada terhadap berbagai bentuk pelaksanaan devosi yang berlebihan. Devosi bukanlah pengganti liturgi resmi (perayaan ekaristi), sebab liturgi resmi (liturgi Gereja) merupakan tingkatan pertama dan tertinggi. Devosi juga harus dijauhkan dari praktek magis, dan devosi harus sesuai dengan iman Gereja yang benar yang bersumber pada Kitab suci dan tradisi Gereja.

V.          Devosi kepada Bunda Maria
5.1        Pengertian dan Dasar Biblis Devosi Kepada Bunda Maria
            Devosi kepada Bunda Maria adalah salah satu bentuk penghormatan khusus kepadanya, karena ia memiliki tempat dan peranan istimewa yang melebihi orang kudus lainnya. Karena itu, setiap umat Katolik harus memberikan penghormatan yang benar dan tepat kepadanya sesuai dengan peranan dan kedudukannya dalam sejarah tata penyelamatan.
Berbicara mengenai Maria berarti berbicara mengenai Gereja. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat karena sama-sama memiliki panggilan yang mendasar, yaitu panggilan keibuan. Maria adalah tipos Gereja (citra Gereja) terutama dalam hal kasih, iman, dan persatuannya dengan Yesus Kristus. Dalam ketaatan dan imannya, Maria menerima tawaran Allah untuk melahirkan Kristus yang adalah Kepala Gereja. Dalam konteks yang sama, Gereja pun secara terus-menerus akan melahirkan anggota-anggota Kristus melalui pewartaan dan permandian. [9]
            Gereja menganjurkan devosi kepada Bunda Maria yang bersifat relatif, di mana tujuannya adalah untuk memuliakan dan meluhurkan nama Allah. Devosi kepada Bunda Maria harus dapat menghantar orang untuk sampai kepada Allah dan untuk merasakan kehadiran Allah dalam diri Maria. Gereja melalui ajarannya menganjurkan macam-macam bentuk dan sarana kesalehan terhadap Bunda Maria. Gereja di sini melaksanakan tugas yang dipercayakan Kristus, yakni memimpin umatnya dalam hal komunikasi iman. Dengan kata lain, Gereja sangat mendukung dan menganjurkan berbagai bentuk kesalehan, asalkan sesuai dengan doktrin dan sumber iman, yakni Kitab Suci. Devosi kepada Bunda Maria selalu disesuaikan dengan waktu dan zaman serta dilaksanakan secara tepat dan benar. Devosi kepada Bunda Maria harus didasarkan pada iman yang benar yang mendorong umat untuk mengakui keunggulan Bunda Maria sebagai ibu serta meneladani keutamaannya.
Penegasan Injil Lukas 1 : 48-49 ”Allah telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku yang berbahagia, karena Allah telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku (Luk 1 : 48- 49) ”. Teks ini dipakai sebagai dasar devosi kepada Maria. Berdasarkan teks Lukas tersebut, dapatlah kita pahami bahwa umat Allah menghormati Maria karena perbuatan besar dari Allah. Penghormatan kepada Maria bukan karena keberhasilan atau prestasi yang dicapai Maria, melainkan karena Allah sebagai pusat dan tujuan iman. Perbuatan besar yang dilakukan Allah kepada Maria yang telah nyata adalah masuknya Maria dalam persekutuan para kudus di surga. [10]  Dengan demikian, Maria sungguh beda dengan para kudus lainnya.

5.2        Sejarah Perkembangan Devosi Kepada Bunda Maria
5.2.1        Devosi Umat Gereja Purba Terhadap Para Martir      
            Devosi umat Gereja purba terhadap para martir dimulai pada sekitar tahun 150, di mana hari kematian para martir dianggap sebagai hari kelahiran baru. Para martir dihormati karena penderitaan dan kematiannya yang serupa dengan Yesus Kristus. Devosi kepada para martir dipengaruhi oleh penghormatan orang kafir terhadap para pahlawan, dan tokoh-tokoh legendaris, seperti Romulus dan Romus sebagai pendiri kota Roma. Namun, ada perbedaan yang sangat jelas antara tradisi penghormatan kepada para pahlawan kafir dengan adanya penghormatan kepada para martir. Penghormatan kepada para pahlawan dibuat dalam ibadat khusus, tetapi tidak ada hubungan dengan para dewa; sedangkan penghormatan kepada para martir dibuat dalam ibadat yang berhubungan dengan Kristus dan Allah.

5.2.2        Devosi Kepada Maria Ibu Yesus
            Devosi kepada Bunda Maria merupakan perkembangan lanjutan dari devosi kepada para martir. Perubahan dan perkembangan terjadi selama abad ke-4, ke-5, ke-7, dan pada zaman reformasi modern, yakni bahwa orang kudus, selain para martir, mulai dihormati sebelum dan sesudah kematian. Bunda Maria dinilai sebagai orang kudus dan martir secara rohaniah. Karena itu, umat mulai berdoa dan menghormati Maria.
            Pada abad ke-4, agama Kristen diakui secara resmi oleh para kaiser. Untuk itu, penghormatan kepada para martir mulai dirohanikan. Sejak saat ini pula orang kudus, selain para martir, mulai dihormati. Pada abad ini pula, Maria Ibu Yesus mulai dihormati karena dinilai sebagai martir rohani. Devosi kepada Maria pada abad ini dimulai dengan keyakinan bahwa Maria adalah pelindung, martir rohani, dan Bunda Allah.
            Pada abad ke-5, devosi kepada Maria menjadi sangat subur ketika Konsili Efesus pada tahun 431 secara resmi memberikan gelar ”Bunda Allah” (theotokos) kepada Maria. Umat Efesus dengan bersemangat berseru : ”Maria theotokos” yang dikisahkan dalam Kis 19 : 23  ”Besarlah dewi Artemis”, yang merupakan dewi orang Efesus, yaitu dewi kesuburan, ibu perawan sebagai Bunda Allah, yang berarti menghormati dan menyembah dia sebagai dewi atau Bunda Allah.
            Pada abad ke-7, devosi rakyat kepada Maria mulai mempengaruhi ibadat resmi Gereja. Sejak saat ini pula mulai dirayakannya pesta-pesta yang berhubungan dengan riwayat hidup Maria, seperti pesta kelahiran Maria, pesta kabar gembira, pesta Maria mempersembahkan Yesus dalam Bait Allah, pesta Maria mengunjungi Elisabet, dan pesta Maria dikandung secara ajaib. Namun dalam perayaan ini, ibadat resmi Gereja tertuju kepada Allah tentunya dan bukan kepada Maria. Pada abad ini juga ditekankan bukan saja aspek keilahian Yesus, melainkan juga Yesus digambarkan sebagai raja yang maha dahsyat, hakim yang menakutkan, sehingga sulit berhadapan langsung dengan Yesus.[11] Karena itu, rakyat berlindung di bawah naungan ibu Yesus sebagai perantara kepada Yesus Kristus.
            Sedangkan pada zaman reformasi modern, devosi kepada Maria berkembang dan dikritik. Para reformator yang dipelopori oleh Martin Luther melawan devosi rakyat yang dinilai tidak bersifat biblis dan terlepas dari Kristus. Mereka hanya mempertahankan devosi Maria dalam rangka Kristologis. Pada zaman ini, terjadi polemik antara kelompok Protestan dengan pihak Katolik. Pertentangan itu berkaitan dengan peranan Maria dalam karya penyelamatan, di mana kelompok Protestan menolak peranan Maria dalam karya penyelamatan dengan alasan bahwa hanya Allah-lah yang menyelamatkan, sedangkan Maria hanya manusia biasa yang menerima keselamatan. Sedangkan pihak Katolik justru semakin membela keistimewaan Maria dan peran aktifnya dalam karya penyelamatan. [12] Karena itu, berdasarkan pertentangan yang terjadi, dapatlah dijelaskan bahwa devosi kepada Bunda Maria harus berdasar pada gambaran tentang Maria dalam Kitab Suci, yaitu Maria sebagai orang yang beriman kepada Allah, yang rela mengambil bagian dalam melaksanakan rencana dan karya agung Allah.

5.2.3        Bentuk Devosi kepada Maria
Bentuk-bentuk devosi kepada Maria adalah doa kepada Maria, doa di depan patung Maria, dan ziarah.

a.                  Doa kepada Maria
            Doa kepada Maria berisikan doa yang ditujukan kepada Allah sambil menyebut peran Maria sebagai alasan doa yang langsung ditujukan kepada Allah. Doa kepada Maria memiliki beberapa bentuknya. Bentuk-bentuk doa yang paling populer dan paling sering dipraktekkan adalah doa Salam Maria, doa Angelus (malaikat Tuhan), doa rosario, dan litani Santa Perawan Maria. Doa kepada Maria pada umumnya berisi maksud yang sangat konkret dan realistis, yang bertitik tolak pada pengalaman hidup sehari-hari dan pada kebutuhan hidup. Doa kepada Maria terdiri dari beberapa bentuk, yakni doa Angelu (doa malaikat Tuhan), doa rosario dan litani Santa Perawan Maria.
Doa angelus atau doa malaikat Tuhan telah dikenal sejak abad ke-16 yang mulai dipraktekkan dan diperkenalkan kepada umat oleh para pengikut St. Fransiskus dari Asisi. Doa ini biasanya didaraskan sebanyak tiga kali dalam sehari, yaitu pada waktu pagi (biasanya pada pukul enam), pada siang hari (biasanya pada pukul dua belas), dan pada waktu sore hari (biasanya pada pukul enam). Doa angelus atau doa malaikat Tuhan dilakukan oleh umat biasa dengan maksud untuk menggantikan ibadat harian (yang biasa disebut doa brevir) yang merupakan doa khusus yang wajib dilakukan oleh para klerus. Melalui doa angelus atau doa malaikat Tuhan ini, umat menghormati dan mengenangkan peristiwa penyelamatan dan misteri penjelmaan Allah. Doa angelus  atau doa malaikat Tuhan ini terdiri dari empat bagian yaitu Maria diberi kabar oleh malaikat Tuhan maka ia mengandung dari Roh Kudus, Aku ini hamba Tuhan terjadilah padaku menurut perkataan-Mu, Sabda sudah menjadi daging dan tinggal di antara kita, Doakan kami ya Santa Bunda Allah supaya kami dapat menikmati janji Kristus. Pada setiap bagiannya terdapat seruan dan jawaban yang kemudian ditutup dengan doa khusus ´Salam Maria’ yang menunjukkan peranan dan keikutsertaan Maria dalam peristiwa penyelamatan, di mana Maria tampil sebagai perantara yang turut berdoa.
Rosario artinya karangan bunga mawar yang memiliki warna yang bermacam-macam, seperti merah, putih, kuning, dan sebagainya. Warna-warna itu mempunyai arti simbolik. Berdoa rosario sudah dikenal sejak abad ke- 13 dan menjadi suatu kebiasaan umum sejak abad ke- 15 yang didukung oleh para pengikut Santu Dominikus.
            Pada waktu berdoa rosario, doa ”Salam Maria” didaraskan 150 (seratus lima puluh) kali. Angka 150 (seratus lima puluh) pada doa rosario  sesuai dengan jumlah bab yang ada pada kitab Mazmur. Pada masa sebelum praktek doa rosario menjadi kebiasaan umum, umat diwajibkan untuk selalu membaca kitab Mazmur yang terdiri dari 150 (seratus lima puluh) bab itu. Tetapi, karena sebagian besar umat tidak bisa membaca buku, maka untuk menggantikan kebiasaan membaca kitab Mazmur, umat yang tidak bisa membaca buku diwajibkan untuk berdoa rosario dengan mendaraskan doa ”salam Maria” sebanyak 150 (seratus lima puluh) kali. [13]  Dengan demikian, pada awalnya doa rosario adalah doa yang dilakukan untuk menggantikan kewajiban membaca kitab Mazmur. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, doa rosario menjadi doa umum, sebab terlepas dari terpelajar atau tidaknya seseorang, doa rosario merupakan doa yang mudah, sederhana, dan praktis untuk mengungkapkan iman semua umat kristiani.
            Sedangkan Litani Santa Perawan Maria sudah dikenal sejak tahun 1200-an. Pada tahun 1531, litani Santa Perawan Maria dipakai untuk pertama kalinya di Loreto (Italia) dan pada tahun 1550, litani Santa Perawan Maria diresmikan sebagai salah satu bentuk doa dalam Gereja Katolik. Doa dalam bentuk litani merupakan satu doa yang terdiri atas serangkaian permohonan yang dibawakan oleh seorang pemimpin dan ditanggapi oleh jemaat yang ikut serta dalam doa tersebut. Dalam kaitannya dengan litani Santa Perawan Maria, Maria ditempatkan dalam kerangka kristologis dan soteriologis. Dalam litani tersebut, meskipun Maria disebutkan dengan berbagai macam gelar, namun doa si pendoa tetap terarah kepada Kristus dan Allah. [14]  Dalam hal ini, Maria tampil sebagai pendoa bagi umat dan bersatu dengan orang-orang yang berdoa bersamanya.

b.                 Patung Maria
            Dalam ibadat umat Katolik, ada kebiasaan untuk menunjukkan rasa cinta, rasa hormat kepada Maria, yaitu dengan mengarak-arak patung Maria, berdoa di depan patung Maria, dan sebagainya. Praktek  penghargaan dan penghormatan ini tidak ditujukan kepada patung sebagai sebuah benda, tetapi sebagai simbol penghargaan dan penghormatan kepada pribadi Maria. Meskipun demikian, kebiasaan-kebiasaan di atas seringkali dipahami secara keliru, di mana muncul anggapan publik bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti itu adalah salah satu bentuk penyembahan berhala. Terhadap anggapan seperti ini, sesungguhnya dapat dijelaskan bahwa kebiasaan-kebiasaan itu tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk penyembahan berhala, karena dalam pelaksanaannya, umat Katolik tidak menyembah patung itu sebagai salah satu benda, sesuai dengan hakekatnya, tetapi umat Katolik menggunakan patung itu sebagai sarana untuk berdoa kepada Sang Bunda. Umat Katolik yakin dan percaya bahwa melalui Bunda Maria dan dengan perantaraan Puteranya, Allah akan mendengarkan dan memperhatikan segala doa. Dengan demikian, umat Katolik tidak berdoa kepada patung sebagai salah satu benda, tetapi kepada Bunda Maria.

c.                   Ziarah

            Ziarah merupakan fenomena religius yang bersifat umum. Kebiasaan untuk berziarah bukan saja menjadi kebiasaan umat Katolik saja, melainkan juga telah menjadi kebiasaan universal, di mana suatu bangsa atau negara dan suatu agama memahami ziarah sebagai salah satu fenomena religius yang memiliki makna sakral.
            Pada umat Katolik, kebiasaan berziarah mulai berkembang ketika para martir menjadi sasaran devosi rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya, Maria pun menjadi tujuan umat berdevosi yang disalurkan dalam bentuk ziarah.
            Obyek ziarah yang biasa menjadi tujuan umat dalam berdevosi kepada Maria adalah gambar-gambar dan tempat penampakkan Maria. Tempat penampakkan Maria biasanya menjadi tempat utama berziarah, karena Maria tidak mempunyai makam yang bisa dijadikan tempat untuk berziarah. Maria diangkat ke surga dengan seluruh jiwa-raganya. Tempat berziarah yang paling banyak dikunjungi adalah Lourdes dan Fatima. Gereja memahami ziarah sebagai perjalanan tobat olah askese dan sebagai salah satu bentuk untuk melaksanakan puasa. Ziarah juga dipandang sebagai ungkapan iman umat yang sedang berziarah ke tanah air surgawi (bdk. Lumen Gentium art. 48). [15]  Ziarah merupakan devosi umat yang mampu menampilkan dimensi kesatuan Gereja, karena pada umumnya para peziarah berasal dari berbagai daerah dan suku bangsa. [16]  Ziarah juga diyakini sebagai sarana untuk menciptakan perdamaian dunia.



VI.       Devosi Kepada Maria
6.1        Devosi yang Benar kepada Maria

Devosi kepada Maria harus dijalankan secara tepat agar tidak muncul sikap maksimalis (melebih-lebihkan peranan  Maria) atau minimalis (mengabaikan peranan Maria). Karena itu, terdapat beberapa devosi yang benar kepada Maria. Pertama, per Mariam ad Jesum, yaitu satu ungkapan bahasa Latin yang secara harafiah berarti ”melalui Maria menuju Yesus”. Ungkapan ini menunjukkan satu arah hidup beriman yang benar, yakni percaya kepada Kristus sebagai juru selamat. Ungkapan ini juga berarti bahwa segala doa dan kebaktian yang dilakukan dalam bentuk penghormatan kepada Bunda Maria akan sampai pula kepada Tuhan Yesus Kristus.
Kedua, misteri Inkarnasi. Inkarnasi adalah misteri sentral dari sejarah keselamatan. Peran Maria dalam inkarnasi merupakan dasar atau landasan bagi perannya dalam kehidupan Gereja. Karena itu, peran Maria dalam kehidupan Gereja saat ini adalah sebagai ibu (spiritual maternity) dan sebagai teladan bagi umat, sehingga umat beriman semakin bersatu dan serupa dengan Kristus. Peran fundamental Maria dalam inkarnasi adalah sebagai Bunda Allah (divine maternity). Allah, di dalam inkarnasi, bekerja sama dengan Maria dan Maria tetap melibatkan dirinya secara total dalam karya penyelamatan selanjutnya, yaitu dengan melahirkan kembali umat manusia agar umat manusia semakin serupa dengan Kristus.
Ketiga, Kristologi Trinitarian. Yesus Kristus, sungguh Allah dan sungguh manusia, harus menjadi tujuan akhir segala bakti manusia. Kebaktian yang tidak tertuju kepada Yesus Kristus adalah kebaktian yang tidak tepat dan menyesatkan serta menunjukkan ketidakadilan. Sebaliknya, jika manusia hidup di dalam Yesus dan Yesus hidup di dalam diri manusia, maka manusia tidak perlu takut akan penghukuman (Rom. 8 : 1) Melalui Yesus Kristus, di dalam Yesus Kristus, dan dengan Yesus Kristus, setiap orang beriman akan sanggup menyampaikan segala hormat dan pujian kepada Bapa dalam persatuan dengan Roh Kudus, sehingga umat beriman akan menjadi lebih sempurna. Jika umat beriman menyebarluaskan kebaktian kepada Maria, maka itu berarti bahwa semuanya dilakukan supaya kebaktian kepada Kristus disebarluaskan dengan lebih sempurna. Devosi kepada Maria harus memiliki relasi yang mesra dengan Yesus Kristus, karena jika devosi kepada Maria menjauhkan umat beriman dari Yesus Kristus, maka kebaktian tersebut adalah bentuk kebaktian yang menyesatkan.
Keempat, totalitas. Devosi terdiri dari suatu penyerahan diri yang seutuhnya kepada Santa Perawan Maria, supaya melalui dia umat beriman menjadi milik Yesus Kristus sepenuhnya. Setiap umat beriman harus memberikan segala sesuatu yang merupakan miliknya kepada Bunda Maria. Pemberian itu adalah pemberian tanpa syarat atau tanpa menuntut atau mengharapkan adanya balasan. Keenma, Marial. Pemberian diri seutuhnya kepada Maria bertujuan untuk mencapai kesempurnaan, sehingga umat beriman dalam totalitasnya menjadi milik Yesus Kristus. Devosi yang sempurna adalah devosi yang membuat setiap orang beriman semakin serupa, semakin disatukan dan dibaktikan secara paling sempurna pada Kristus. Maria adalah makhluk ciptaan yang paling serupa dengan Yesus Kristus. Dengan demikian, kebaktian yang sempurna kepada Kristus adalah kebaktian yang sempurna dan seutuhnya kepada Perawan Maria.

6.2        Praktek Khusus Devosi Kepada Maria
6.2.1        Praktek Lahiriah

Praktek khusus devosi kepada Maria terdiri atas praktek lahiriah dan praktek batiniah. Praktek lahiriah terdiri atas ”mahkota kecil, Hari Raya Kabar Sukacita kepada Maria, dan doa Salam Maria ”.
            ”Mahkota kecil” adalah salah satu bentuk doa kepada Santa Perawan Maria yang terdiri atas tiga bagian, yaitu tiga doa Bapa Kami dan dua belas doa Salam Maria untuk menghormati kedua belas hak istimewa dan gelar kehormatan yang diberikan kepada Maria. Salah satu hak istimewa Maria adalah sebagai pengantara antara Allah dan manusia. Praktek doa ini didasarkan pada Kitab Suci, khususnya pada kitab Wahyu, di mana penulis menceritakan kesaksiannya yang melihat seorang wanita yang berselubungkan matahari dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya (Why 12 : 1). Para ahli tafsir Kitab Suci memberikan tafsiran bahwa wanita itu adalah Perawan Maria.
Selain itu, setiap orang beriman hendaknya memiliki devosi khusus kepada Maria, khususnya pada hari raya Kabar Sukacita kepada Maria yang dirayakan pada setiap tanggal 25 Maret tiap tahunnya, di mana makna dari hari raya tersebut adalah memperingati peristiwa agung penjelmaan Sabda menjadi manusia. Setiap orang berdevosi karena telah diinspirasi oleh Roh Kudus berdasarkan alasan untuk berterima kasih kepada Allah atas karunia yang diberikan-Nya kepada Maria, terutama dengan memilih Maria menjadi Bunda Yesus. Misteri utama yang dirayakan dan dihormati dalam kebaktian ini adalah peristiwa penjelmaan, di mana di dalam misteri ini, Yesus diimani di dalam Maria. Misteri inkarnasi juga menunjukkan adanya persatuan yang abadi antara Yesus dan Maria.[17]
            Doa Salam Maria yang asli terdapat di dalam Alkitab, yaitu berhubungan erat dengan sukacita terbesar dalam kehidupan Maria, yaitu saat penjelmaan Juru Selamat dalam rahimnya. Doa Salam Maria terdiri atas tiga bagian, yaitu Salam dari malaikat, salam dari Elisabet, dan doa yang ditambahkan oleh Gereja. Sebuah penyelidikan ilmiah menjelaskan tentang doa Salam Maria, yaitu bahwa kedua bagian pertama dari doa Salam Maria dijadikan populer pada abad XII, sedangkan bagian ketiganya diterima umum pada abad XV dan serentak menjadi doa kristiani yang pokok dan isinya sangat sederhana yang menunjukkan hubungan dan rasa cinta yang mesra dari umat kepada Bunda Maria.

6.2.2        Praktek Batiniah
Praktek batiniah diwujudkan dalam praktek devosi melalui Maria, dengan Maria, dalam Maria dan untuk Maria.
            Setiap orang kristiani harus selalu bertindak melalui Maria. Artinya dalam segala hal umat harus taat kepada Maria di bawah bimbingan Rohnya yang adalah Roh Allah. Dengan demikian setiap orang dapat menjadi anak-anak Allah. Roh itu bersifat lembut, penuh semangat, rendah hati, murni, dan subur. Setiap orang yang mau dibimbing oleh Roh harus menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah.
            Tindakan yang dilakukan ”dengan Maria” berarti Maria dilihat sebagai model yang sempurna dari setiap keutamaan yang dibentuk oleh Roh Kudus, agar setiap umat kristiani dapat meneladaninya sesuai dengan kemampuannya masing-masing yang terbatas. Keutamaan-keutamaan yang harus diteladani dari Maria adalah hidup penuh iman, memiliki kerendahan hati, suci, murni dan penuh ketaatan kepada ”kehendak Allah”.
            Perawan Maria adalah taman firdaus sejati dari Adam baru, yaitu Yesus Kristus. St. Montfort mengatakan setiap orang kristiani harus hidup penuh kesetiaan kepada Allah, hidup dalam suasana damai, hidup penuh iman, sehingga setiap orang kristiani dapat tinggal di dalam batin Maria, dan demikian siapa saja dapat menerima rahmat dan kerahiman keibuannya. Setiap orang yang secara rohani telah tinggal di dalam perawan Maria tidak akan melakukan kejahatan besar (Sir 24 : 30), dan dengan demikian perbuatan-perbuatan dosa yang melanggar kehendak Allah dapat dihindarkan.
            Setiap orang Kristiani harus melakukan segala tindakan untuk Maria sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Maria. Yesus Kristus merupakan tujuan akhir seluruh pengabdian umat, sedangkan perawan Maria adalah tujuan dekat. Maria merupakan lingkungan hidup yang penuh rahasia, dan Maria sebagai sarana yang mudah untuk sampai kepada Yesus Kristus.[18]

6.3                Sikap-Sikap yang Keliru dalam Berdevosi kepada Maria
6.3.1        Orang yang ”Sok” Suci

            Sikap- sikap negatif yang bisa muncul karena adanya kebiasaan berdevosi adalah sikap yang menganggap diri suci, saleh, kudus, taat atau setia kepada Tuhan. St. Montfort mengatakan sikap-sikap tersebut justru akan melepaskan hidup manusia dari kerangka relasi mesra dengan Allah dan yang dapat menggeser misteri Allah dari pusat iman. Selain itu, sikap-sikap yang menganggap diri sendiri sebagai pribadi yang suci adalah sikap-sikap yang berusaha menyembunyikan dosa dan kebiasaan buruk. Pada umumnya, sikap ”sok” suci seperti di atas hanyalah topeng untuk menutupi diri yang penuh dosa dan takut dinilai tidak beriman oleh orang lain.

6.3.2        Iman Yang Dangkal
St. Montfort mengatakan penghormatan atau kebaktian kepada Bunda Maria dengan berdasarkan iman yang dangkal adalah bentuk kebaktian yang hanya menyoroti aspek lahiriah saja dan mengabaikan aspek batiniah, seperti berdoa rosario hanya karena rutinitas, mengikuti perayaan ekaristi tanpa adanya perhatian dan konsentrasi berdasarkan keyakinan atau tanpa adanya pembaharuan hidup, atau berdevosi kepada Bunda Maria tanpa adanya aksi nyata dengan meneladani keutamaan-keutamaan Maria, dan sebagainya.

6.3.3        Egoisme
Egoisme adalah suatu sikap yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi. St. Montfort mengatakan kebaktian kepada Bunda Maria yang berdasarkan sikap yang egois berati kebaktian yang dilakukan hanya demi kepentingan atau kebutuhan pribadi, misalnya orang berdoa rosario hanya di saat dilanda kesusahan, atau berdoa rosario hanya pada saat-saat tertentu, seperti pada saat menempuh ujian (untuk siswa atau mahasiswa) atau merayakan ekaristi hanya demi kesembuhan dari penyakit, dan sebagainya. Kebaktian seperti ini hanya mementingkan aspek lahiriah atau kebaktian yang bersifat momental.

6.3.4        Tidak Memiliki Pendirian
Sikap seseorang yang tidak memiliki pendirian berarti sikap yang tidak memiliki prinsip dalam hidup, yang tidak setia, penuh kebimbangan, dan tidak teguh dalam mempertahankan iman. Berkaitan dengan devosi kepada Maria, orang yang memiliki tipe seperti di atas dapat dilihat pada sikap-sikap, seperti pada saat-saat tertentu seseorang memiliki semangat untuk melakukan kebaktian kepada Bunda Maria, tetapi pada kesempatan lain orang yang bersangkutan tidak setia dalam meneladani keutamaan-keutamaan Maria.[19] St. Montfort mengatakan seorang kristiani yang memiliki sikap tanpa pendirian adalah seorang kristiani yang tidak diperhitungkan sebagai pelayan Maria yang setia.

6.4                Sikap Iman Orang yang Berdevosi kepada Maria
6.4.1        Sikap Batin
Bakti yang sejati kepada Bunda Maria bersifat batiniah. Bakti itu berasal dari budi dan hati. Bakti juga bertumbuh dari rasa hormat, dan dari kasih yang diamalkan kepada Bunda Maria. Karena itu, devosi merupakan dorongan yang hidup dalam hati dan kehendak manusia untuk meluhurkan dan menghormati yang ilahi. Devosi merupakan salah satu bentuk manisfestasi iman yang terdalam. Devosi sangat dipengaruhi oleh situasi batin. Bentuknya sangat bergantung pada budaya serta mentalitas zaman maupun kebutuhan-kebutuhan ungkapan iman serta keagamaan.[20]  Devosi merupakan sikap iman yang dinamis dalam budaya manusia. Karena itu, devosi memerlukan penerapan atau perwujudan konkret dari aspirasi rohani, baik itu cara pembatinan maupun cara penghayatan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

6.4.2        Sikap Lembut
Kebaktian kepada Mari haruslah bersifat lembut, dalam arti bahwa setiap orang Katolik yang memiliki devosi kepada Maria harus memiliki sikap penuh kepercayaan kepadanya. Sikap lembut kepada Bunda Maria diibaratkan seperti relasi yang penuh kasih antara seorang anak dengan ibunya. Setiap orang Katolik hendaknya selalu berbakti dalam kesederhanaan dan penuh kelembutan serta selalu berlindung kepadanya dalam segala bahaya.

6.4.3        Sikap Penuh Kesucian
Bakti yang suci berarti bahwa setiap orang Katolik yang mencintai Bunda Maria harus bisa menjauhkan diri dari dosa dan mengikuti keutamaan-keutamaannya, seperti kerendahan hati, iman yang hidup, ketaatan, kemurnian, dan kelembutan.

6.4.4        Sikap Teguh
Sikap teguh yang dimiliki oleh seseorang yang berbakti kepada Bunda Maria akan memberikan suatu keberanian kepadanya untuk melawan hal-hal duniawi yang diwarnai oleh segala bentuk kejahatan. Sikap teguh berarti memiliki prinsip dan tidak cepat berubah, tidak memiliki kebimbangan dan kecemasan serta setia dalam hal penghayatan devosinya.[21]
            Kebaktian kepada Bunda Maria dengan dasar sikap yang teguh akan menghantarkan seseorang kepada hidup dalam iman dan Bunda Maria akan melindungi setiap orang yang hidupnya  penuh kesetiaan dan keteguhan.
6.4.5        Sikap Tanpa Pamrih
Sikap iman tanpa pamrih berarti sikap yang tidak mencari keuntungan pribadi, yang tidak mengutamakan kesejahteraan dan kebahagiaan pribadi atau kelompok. Sikap tanpa pamrih berarti sikap yang penuh kasih dan mencintai Maria bukan karena anugerah yang diterimanya, melainkan karena sifat Maria sendiri.[22]

VII.          Penutup
Dalam kehidupan keagamaan, devosi merupakan ibadah yang menunjukkan sikap hormat dan bakti manusia kepada Allah. Maka, devosi merupakan dorongan yang hidup dalam hati dan kehendak manusia untuk meluhurkan dan menghormati Allah. Devosi kepada Maria merupakan salah satu devosi yang memberi ciri khas kepada spiritualitas Gereja, dan di dalam ajaran-ajaran Gereja terdapat berbagai gelar yang diberikan kepada Maria serta peranannya dalam tata penyelamatan. Karena itu, Gereja memberi penghormatan kepada Maria dengan ibadat khusus. Bunda Maria dihormati secara khusus, karena peranan dan kedudukannya yang istimewa dalam sejarah tata penyelamatan.
Devosi kepada Maria merupakan ibadah yang menuntun umat Kristiani kepada pemahaman bahwa Bunda Maria adalah Bunda semua orang, sebab ia adalah pengantara kepada Bapa yang adalah satu-satunya pusat dan tujuan iman Kristiani. Devosi bukan hanya sekedar sebagai suatu kegiatan doa, melainkan sebagai suatu sarana untuk menyerahkan diri kepada Kristus, Tuhan dan Raja. Jawaban ” ya ” yang diucapkan oleh seseorang pada saat menerima sakramen pembaptisan memiliki makna mengikat diri kepada Yesus Kristus dan kepada karya keselamatan-Nya. Karena itu, dengan berdevosi kepada Maria, maka penyerahan diri seseorang kepada Yesus menjadi lebih murni dan lebih berdaya guna.
Bakti ini adalah suatu sarana yang aman menuju Yesus Kristus karena ciri khas peranan Maria adalah untuk menghantar umat Katolik kepada Yesus Kristus sebagaimana Yesus Kristus menghantar umat Katolik kepada Bapa yang kekal. Karena  itu, setiap orang yang ingin menjalani hidup rohani diharapkan untuk tidak memiliki pandangan yang keliru yang beranggapan bahwa kebaktian kepada Maria menjadi halangan untuk sampai kepada persatuan dengan Allah.
Kebaktian kepada Maria merupakan ibadah menuju Yesus Kristus. Maria adalah pengantara umat kristiani kepada Yesus, sebab ia memiliki kelimpahan rahmat. Melalui Maria umat Katolik akan merasa dekat dengan Allah. Jadi, setiap orang Katolik yang selalu berlindung pada Maria dalam doa, renungan, karya, dan suka duka akan semakin sempurna menemukan Yesus Kristus, karena Dia selalu bersama Maria.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Barker, A. 1998. Ajaran Iman Katolik.  Yogyakarta : Kanisius.
Darminta, J. 1995. Mistik Devosi dan Hidup Rohani. Yogyakarta : Kanisius.
Dokumentasi dan Penerangan KWI (ed.). 1993. Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan R. Hardawiryana.  Jakarta : Obor.
Groenen, C. 1980. Mariologi- Teologi dan Devosi. Yogyakarta : Kanisius.
Hadiwijono, H.  1986. Iman Kristen.  Jakarta : Gunung Mulia.
Hama, F. 1987. Iman dan Perasaan.  Yogyakarta : Kanisius.
Harjawiyata, Frans. 1993. Kehidupan Devosional. Yogyakarta : Kanisius.
Maric, Gabriel. 1998. St. Montfort : Sang Peziarah Injil. Yogyakarta : Kanisius.
Martasudjita, E. 1999. Pengantar Liturgi : Makna, Sejarah, dan Teologi. Yogyakarta : Kanisius.
Noumen, Henri. 1998. Dari Budi Turun Ke Hati. Yogyakarta : Kanisius.
Patrick, Gaffney. 1988. Hidup dan Spiritualitas St. Montfort.  Bandung : SMM.
Prasetyantha, Y. B. 2007. “Aktualitas Kristologi Montfort”. Makalah Semiar. Bandung : SMM.
Purnomo, Aloys Budi. 2002. Bunda Maria Teladan Iman Kita. Yogyakarta : Pustaka Nusantara.
Publikasi Redemptoris. 2000. Kisah Mengenai Devosi, terjemahan Hendrik Berybe dan Paulus Dwiyaminarta.  Jakarta : Obor.
Setyawan, A. 2001. Saat Tuhan Tiada. Yogyakarta : Kanisius.
Tisera, Guido. 1988. “Maria Menurut Kitab Suci“dalam Pastoralia Seri XIV/ 2, Ende : Nusa Indah.
Widwiatmono, Benediktus. 2003. “II Grande Paus Paulus II“. Mingguan Hidup. No. 42. 19 Oktober.
Ujan, Bernard Boli. 2005. Doa Rosario. Ende : Nusa Indah.
Widwiatmono, Benediktus. 2003. “Il Grande Paus Paulus II”. Mingguan Hidup No. 42. 19 Oktober.

           
           
           



[1] A. Baker, Ajaran Iman Katolik 2, Yogyakarta : Kanisius, 1998, p. 140
[2] Aloys Budi Purnomo, Bunda  Maria Teladan  Iman Kita, Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusantara, 2000, p. 14
[3] A. Baker, Op. Cit. , p. 147-148
[4] E. Martasudjita, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi , Yogyakarta : Kanisius, 1999, p. 143
[5] Ibid., pp. 153- 156
[6] J. Darminta,  Mistik Devosi dan Hidup Rohani, Yogyakarta: Kanisius, 1995, pp. 38- 40
[7] E. Martasudjitu, Op. Cit., pp. 144- 146
[8] Ibid., pp. 147- 152
[9] Guido Tisera, ”Devosi- Devosi Maria dalam Gereja”, dalam Pastoralia Seri XIV/2, Ende : Nusa Indah, 1998, pp. 132- 133
[10] A. Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1987, p. 79
[11] C. Groenen,  Mariologi: Teologi  dan  Devosi,  Yogyakarta: Kanisius,  1988,  pp. 157- 167
[12] Ibid., p. 168
[13] Ibid., pp. 189-190
[14] Bernard Boli Ujan, Doa Rosario, Ende: Nusa Indah, 2005, pp. 44- 45.
[15] Ibid., pp. 80-81
[16] C. Groenen, Op. Cit., pp. 168- 187.
[17] Louise Marie Grignion de Montfort, Bakti Sejati kepada Maria terjemahan R. Isak Doera,  Bandung: SMM, 2000, pp. 161- 170.
[18] Ibid., pp. 174- 180.
[19] Henri Nouwen, Dari Budi Turun ke Hati, Yogyakarta : Kanisius, 1998, pp. 46-50.
[20] Henri Nouwen, Op. Cit., pp. 44- 45.
[21] A. Setyawan, Op. Cit., 240- 248.
[22] Ibid., p. 249.

No comments:

Post a Comment