BAGIAN I
PENGANTAR DAN SEJARAH FILSAFAT PENDIDIKAN
BAB I
HAKEKAT FILSAFAT
1.1. Filsafat Timbul dari Dorongan Untuk Mengetahui
Disadari atau tidak, setiap manusia selalu berfilsafat. Karena manusia yang normal selalu bertanya dan mencari jawaban tentang segala sesuatu yaitu Tuhan, dunia dan dirinya termasuk apa yang dilakukannya. Menurut Aristoteles (384-322) dari kodratnya semua manusia memiliki hasrat ingin tahu.[1] Dalam diri manusia ada dorongan untuk mengetahui (desiderium sciendi) lebih banyak tentang kenyataan yang mengitarinya dan tentang dirinya sendiri. Manusia memiliki akal budi yang haus akan pengetahuan batu (an inquistive mind), yang terbuka untuk menyelidiki segala kejadian dan gejala.[2]
Filsafat bertolak dari keinginan mendasar ini. Manusia selalu mempertanyakan segala sesuatu. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki akal budi yang memungkinkan dia untuk berpikir. Dengan ini manusia memiliki kemampuan yang melebihi makhluk-makhluk infra-human seperti tumbuhan dan hewan. Sesekor hewan, misalnya tidak memiliki kesadaran diri, dia tidak sadar bahwa ia tahu, tidak tidak tahu bahwa ia menginginkan sesuatu. Manusia sebaliknya, tidak hanya menangkap peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi dengan indera-indera seperti makhluk-makhluk lain. Dengan akal budinya dia mampu membentuk pengertian-pengertian dan merumuskan putusan-putusan logis. Dia tidak hanya puas mengenal fakta-fakta, tetapi juga ingin mengetahui ”alasan, sebab” dari fakta-fakta itu.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal budi menyata dalam dua bentuk utama. Yang satu bersifat rasional atau logis, yang bekerja dengan konsep-konsep umum. Bentuk ini bersifat spekulatif, abstrak dan refleksif. Aristoteles menjelaskan manusia sebagai makhluk berakal budi (animal rationale). Tetapi ada bentuk lain yang juga penting, yaitu pengetahuan yang bersifat simbolis atau figuratif yang bekerja dengan gambar-gambar, simbol-simbol, mitos-mitos dan perbandingan (kiasan). Ernst Cassirer, seorang filsuf terkemuka aliran Neokantian abad ini mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang menggunakan simbol-simbol (animal symbolicum). Jadi ada dua hal yang saling melengkapi.
1.2. Jenis-Jenis Filsafat
Manusia pada hakekatnya adalah fisuf. Sejauh sebagai makhluk berakal budi, dia terdorong untuk bertanya dan mencari jawaban tentang semua yang ada dan tentang semua yang terjadi. Pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan bukanlah monopoli orang-orang terpelajar melulu, tetapi menyangkut semua orang. Pada umumnya dibedakan dua jenis filsafat[3], yaitu:
1. Filsafat elementer (alamiah) yang ada pada semua bangsa dan menjadi milik semua orang. Filsafat alamiah ini pada umumnya bersifat naratif (dalam bentuk cerita-cerita) dan bukan argumentatif dan sistematis. Filsafat jenis ini diungkapkan dalam bentuk mitos-mitos, disajikan dalam kisah-kisah, diabadikan dalam syair-syair dan dipadatkan dalam kata-kata bijaksana. Dalam arti ini filsafat terdapat pada semua suku bangsa dan peradaban pada segala momen sejarah dan bukan monopoli suku bangsa tertentu.
2. Filsafat ilmiah yang bersifat sistematis dan metodis. Secara historis, filsafat ini dimulai dan dikembangkan pertama kali di Dunia Barat sama seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa Yunani, leluhur peradaban manusia Barat, pertama kali berhasil menemukan dan menetapkan sarana-sarana seperti logika, yaitu aturan-aturan untuk penalaran logis yang perlu untuk mengangkat filsafat dari tingkat alamiah ke tingkat ilmiah. Pada bangsa-bangsa asli Timur sezaman Yunani Kuno ketika filsafat lahir, unsur-unsur filsafat selalu berhubungan dengan kehidupan religius dan karena itu tidak dapat disebut sebagai filsafat dalam arti yang sesungguhnya. Parmenides, Herakleitos, Pythagoras, Sokrates, Plato dan Aristoteles adalah pemikir-pemikir besar pertama yang mengembangkan tehnik-tehnik baru untuk menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan mendasar menyangkut kehidupan dengan bertumpu pada penalaran murni (penalaran yang dikontrol secara ketat oleh hukum-hukum logika). Tokoh-tokoh ini mengembangkan filsafat sebagai ilmu yang sistematis dan metodis. Filsafat sistematis adalah hasil temuan manusia Yunani.
Dalam pembicaran selanjutnya, kita akan menggunakan filsafat dalam pengertian kedua ini.
1.3. Pengertian Filsafat
Istilah filsafat berasal dari kata bahasa Yunani philosophia. Kata ini terbentuk dari dua kata dasar, yakni philia (kata benda) berarti cinta atau philein (kata kerja) berarti mencintai dan sophia (kata benda) yang berarti kebijaksanaan, kebenaran. Menurut tradisi filsafat, orang yang pertama kali memakai kata philosophos atau filsuf orang yang mencintai kebijaksanaan) adalah Phytagoras.
Dari tinjauan etimologis ini menjadi jelas bahwa filsafat secara harafiah berarti cinta akan kebijaksanaan dan filsuf berarti orang yang mencintai kebijaksanaan. Dengan demikian, segera tampak bahwa filsafat adalah suatu aktivitas intelektual yang bersifat dinamis dan bukan suatu pengertian yang statis. Cinta (philia) atau hasrat menunjuk kepada suatu aspirasi, keterarahan seluruh diri kepada sesuatu yang dicita-citakan, yang belum dimiliki sepenuhnya. Kebijaksanaan dan kebenaran (sophia) menunjuk kepada sasaran yang dituju oleh aspirasi itu.[4] Berdasarkan pengertian ini, ada beberapa unsur hakiki yang perlu digarisbawahi, yaitu:
1. Sebagai aktivitas intelektual, filsafat selalu terarah kepada kebenaran (objek intelek adalah kebenaran). Filsafat tidak pernah berhenti pada suatu pendapat yang sudah mapan dan diterima umum; ia tidak pernah berhenti mempertanyakan. Ia selalu mempertanyakan secara kritis semua pendapat dan pandangan dan tidak menerima begitu secara buta.[5]
2. Filsafat mau mencari sampai ke akar (memikirkan secara radikal, radix; akar), mau mencari sampai kepada sesuatu yang paling mendalam yang mendasari kenyataan. Dengan kata lain, filsafat mau menggapai syarat-syarat yang memungkinkan adanya atau terjadinya sesuatu. Inilah yang dalam filsafat dikenal sebagai metode transendental (to transcend; melampaui dan mengatasi fakta-fakta dan gejala-gejala yang tampak).
3. Ketulusan dan kejujuran untuk selalu memihak kepada kebenaran, kerendahan hati untuk terus menerus mencari. Dalam hal ini orang perlu membuat suatu pertobatan terus menerus. Ada tiga jenis pertobatan yang perlu untuk mencapai kebenaran, yaitu:
a. Pertobatan intelektual. Orang harus terus menerus menjernihkan pandangannya tentang realitas yaitu bahwa kebenaran ada dan harus ditemukan.
b. Pertobatan moral. Orang harus selalu mengarahkan diri kepada nilai yang akan membantu perwujudan dirinya dalam penggunaan kebebasan yang memihak kepada nilai.
c. Pertobatan religius. Orang harus membuka diri kepada realitas yang lebih tinggi.
1.4. Filsafat dan Ilmu-ilmu Empiris
Secara singkat filsafat yang dimaksudkan di sini selain sebagai ilmu adalah juga sikap hidup. Sikap hidup yang dituntut oleh filsafat adalah kepekaan dan keterbukaan untuk senantiasa membuat refleksi kritis rasional yang tak berkesudahan tentang penghayatan hidup sendiri, tentang tindakan dan tentang realitas secara keseluruhan. Plato pernah mengatakan bahwa hidup yang tidak direflesikan tidak layak untuk dibanggakan. Sebagai ilmu, sebenarnya filsafat merupakan suatu bentuk pengetahuan yang bersifat metodis, sistematis, dan kritis tentang seluruh kenyataan yang dibahas menurut aspek kedalamannya, sampai ke akar-akarnya. Filsafat dengan ini berupaya mencari sebab-sebab terdalam dan prinsip-prinsip[6] dasar dari kenyataan. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu mengenai prinsip-prinsip dasar.[7]
Adapun yang menjadi persamaan antara ilmu-ilmu dan filsafat, yakni filsafat dan ilmu-ilmu timbul dari dorongan untuk mengetahui dan keinginan dasar untuk mengerti. Filsafat dan ilmu-ilmu timbul dari manusia sebagai mahkluk rasional, yang bertanya dan mencari jawaban. Semuanya terarah kepada kepentingan manusia. Tidak ada filsafat untuk filsafat, seperti juga tidak ada ilmu untuk ilmu. Karena apa yang dilakukan manusia dengan sadar dan sengaja selalu bersifat intensional dalam arti memiliki tujuan tertentu. Demikian juga filsafat dan ilmu selalu merupakan abdi manusia, demi kepentingan manusia.
Sementara yang menjadi perbedaan antara ilmu-ilmu dan filsafat terletak pada objek kajian (obyek material) dan sudut pandang dari mana suatu segi dari realitas dibahas (objek formal). Objek material dari filsafat adalah seluruh kenyataan; tak ada aspek yang diabaikan. Maka objek filsafat adalah yang paling luas. Objek formal adalah sebab-sebab pertama dan terdalam (first and ultimate causes) dari kenyataan. Sementara ilmu-ilmu lain membatasi diri pada bagian tertentu dari kenyataan. Misalnya, objek kajian biologi terbatas pada makhluk-makhluk hidup; objek kajian geografi adalah letak tempat-tempat di permukaan bumi, iklim, fauna, flora, dan populasi suatu daerah; ilmu kedokteran mempelajari perlbagai hal tentang kesehatan dan penyakit-penyakit. Ilmu-ilmu lain bekerja mulai dengan kata-kata dan gejala-gejala yang dapat diamati diobservasi dan dikuantifikasi. Ilmu-ilmu lain menyelidiki sebab-sebab sejauh dapat diamati dan dapat diukur, bukan sebab terdalam, yaitu kenyataan sebagaimana adanya. Boleh dikatakan bahwa ilmu-ilmu membahas sebab-sebab kedua dan terdekat (secondary and immediate causes).
1.5. Filsafat dan Ideologi
Ditilik dari segi kata, Ideologi berarti ilmu tentang ide-ide; ilmu yang mengambil ide-ide sebagai objek kajiannya. Pada umumnya ideologi diartikan sebagai berikut: [8]
1. Teori tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan fisik pihak yang memperjuangkannya. Dalam hal ini ideologi menjadi sarana untuk membenarkan dan mengabadikan kekuasaan dan kepentingan sebuah kelompok sosial;
2. Keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap-sikap dasar rohani suatu kelompok sosial. Di sini pengertian ideologi bersifat netral. Baik buruknya suatu ideologi tergantung pada isinya;
3. Segala penilaian etis, anggapan-anggapan normatif, teori-teori serta paham-paham keagamaan, yang tidak dapat diuji secara matematis-logis atau empiris (tuntutan positivisme). Dalam arti ini ideologi tidak bersifat rasional, karena bersifat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara objektif.
Filsafat berbeda dari ideologi. Perbedaan keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut : [9]
1. Filsafat bersifat refleksif dan spekulatif, sedangkan ideologi bersifat instrumental dan pragmatis digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu yang dianggap berguna secara praktis;
2. Filsafat bersifat revelatif, dalam arti bertujuan menyingkapkan kebenaran, sedangkan ideologi menetapkan ide-ide dasar yang berguna untuk menunjang sukses praktis;
3. Filsafat akan tetap bertahan selama sifat refleksif kritis dan spekulatifnya ada dan akan mati kalau ia berubah menjadu ideologi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan praktis dan langsung.
1.6. Tujuan Belajar Filsafat
1.6.1. Tujuan Umum[10]
Pada umumnya studi filsafat menjadikan orang mampu menangani pertanyaan-pertanyaan dasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu lain, tapi tentang kenyataan dan tanggung jawab manusia. Dalam hal ini filsafat memberikan:
1. Pengertian lebih mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan mempelajari pendekatan-pendekatan pokok terhadap pertanyaaan-pertanyaan dasar manusia serta mendalami jawaban-jawaban yang pernah diberikan oleh pemikir-pemikir besar sepanjang sejarah, wawasan seseorang diperluas;
2. Kepekaan kritis dan kemampuan untuk menganalisis secara tepat argumentasi; pendapat dan tuntutan pelbagai ideologi yang selalu muncul dan membujuk orang untuk mempercayakan diri secara buta. Filsafat di sini berperan sebagai kritik ideologi;
3. Pendasaran metodis dan sistematis dalam menjalani studi dalam ilmu-ilmu lain;
4. Filsafat dapat membantu orang untuk melihat kenyataan secara keseluruhan yang utuh dan menangkap bagian-bagian dalam dimensi kedalamannya.
1.6.2. Fungsi Filsafat untuk Indonesia
Pada zaman sekarang, filsafat memiliki banyak fungsi. Berkaitan dengan situasi dan kondisi Indonesia, maka filsafat memiliki beberapa fungsi, yakni :
1. Filsafat merupakan sarana untuk mengambil sikap kritis terhadap tantangan mordenisasi dan globalisasi yang sedang membawa perubahan dalam pandangan hidup, nilai-nilai dan norma-norma yang baku dari bangsa kita;
2. Filsafat merupakan sarana yang tepat untuk menggali kekayaan kebudayaan, tradisi dan pandangan hidup bangsa kita serta mengaktualisasikannya kembali sesuai dengan derap perkembangan bangsa. Warisan rohani yang direfleksikan dapt menjadi modal bagi pembentukan terus menerus jati diri bangsa;
3. Filsafat merupakan alat bantu untuk membuka kedok-kedok ideologis pelbagai bentuk penyelewengan seperti ketidakadilan sosial, pelecehan terhadap martabat manusia, pemerkosaan hak-hak asasi manusia yang masih sering terjadi;
4. Filsafat memberikan sarana dan dasar bagi dialog antar umat beragama.
1.6.3. Fungsi Filsafat untuk Pendidikan Keagamaan
Filsafat hadir bukan untuk menentang eksistensi agama yang mapan. Filsafat memiliki fungsi untuk agama, khususnya berkaitan dengan pendidikan keagamaan. Fungsi filsafat untuk Pendidikan Keagamaan adalah :
1. Studi filsafat membimbing orang untuk memahami secara mendalam martabat, kebebasan dan hubungan manusia dengan Tuhan dan dunia. Filsafat yang sehat akan membantu untuk membina kesadaran yang semakin mendalam tentang hubungan antara roh manusia dan kebenaran yang diwahyukan secara penuh dalam diri Yesus Kristus;
2. Filsafat membantu pembentukan intelektual seorang yang beriman dan beragama dalam usahanya untuk mencintai dan menghormati kebenaran (loving veneration of truth) dan membimbing dia untuk mengakui bahwa kebenaran tidak diciptakan oleh manusia, tetapi diterima sebagai hadiah dari Allah, kebenaran Tertinggi;
3. Filsafat membuat orang sadar bahwa budi manusia mencapai kebenaran objektif dan universal, bahkan kebenaran tentang Allah dan arti terakhir hidup manusia meskipun dalam bentuk terbatas dan sering kali sulit;
4. Pentingnya filsafat bagi orang yang beriman dan beragama memperlihatkan kebenaran bahwa iman tidak dapat bertahan tanpa daya nalar. Karena itu usaha yang tidak berkesudahan untuk memikirkan untuk memikirkan secara mendalam iman merupakan seuatu yang sangat manusiawi.
1.7. Metode Filsafat
Istilah metode berasal dari kata bahasa Yunani Meta yang berarti sesudah atau di belakang atau bersama dengan dan odos yang berarti perjalanan. Berdasarkan arti etimologis ini, metode bisa menunjuk kepada apa yang ingin dicapai pada akhir suatu pencarian. Jadi, suatu metode selalu mengandaikan dua unsur itu, yaitu:
1. Apa yang hendak dicapai atau tujuan;
2. Cara kerja macam mana yang memungkinkan pencapaian tujuan yang dimaksud secara paling efektif dan memberikan hasil paling memuaskan.[11]
Perlu dibedakan dua cara memandang metode dalam uraian filosofis, yaitu metode umum dan khusus.[12]
1.7.1. Metode Umum
Pada umumnya dalam filsafat, seperti juga dalam karya ilmiah umumnya, dikenal dua metode sejak lama.
1. Metode deduksi. Metode ini selalu bertolak dari hukum-hukum umum untuk menilai dan menguji kasus-kasus khusus. Cara yang lazim untuk metode ini adalah silogisme di mana ada satu premis mayor dan satu premis minor, dan kesimpulan akan ditarik dari hubungan antara kedua premis itu;
2. Metode deduksi. Metode yang bertolak dari kasus-kasus khusus, sambil melihat unsur umum yang ada pada banyak kasus khusus, menetapkan hukum-hukum umum.
1.7.2. Metode Khusus
1.7.2.1.Metode Fenomenologi
Metode ini kembangkan oleh Edmund Husserl sebagai metode untuk menjelaskan arti dari sesuatu sejauh sesuatu itu muncul dari kesadaran. Kesadaran menurut Husserl memiliki dua kurub, yaitu kutub subjektif dan kutub objektif. Penjelasan fenomenologis harus memperhatikan kedua aspek dari kesadaran (pengalaman). Dalam filsafat pendidikan, metode ini ingin menjelaskan pendidikan sebagai suatu fenomen (gejala-gejala) dalam kehidupan manusia.
Ada tiga tahap dalam metode fenomenologi yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut:
1. Mengurungkan semua pengetahuan yang sudah ada, yaitu pendapat orang dan memusatkan perhatian pada fenomen, yaitu bagaimana sesuatu itu menampakkan diri dalam kesadaran;
2. Reduksi eidetis, yaitu dengan mengurungkan semua aspek tambahan yang tidak perlu sehingga yang tinggal hanya aspek yang paling inti, hakiki, yang universal dan yang mengatasi ruang dan waktu, yang disebut eidos (hakikat);
3. Reduksi transendental, yaitu setelah menyisihkan pelbagai pendapat dan unsur-unsur tambahan, maka orang mencapai subjek murni, aku murni yang mengatasi semua pengalaman. Yang diperlukan dalam penjelasan tentang fenomen pendidikan adalah reduksi eidetis.
1.7.2.2.Metode Kritis
Metode ini penting dalam membicarakan aliran-aliran filsafat pendidikan nanti. Metode ini menyelidiki paham-paham tentang pendidikan, meneliti sistem-sistem dan teori-teori yang sudah ada. Yang diteliti secara kritis adalah anggapan dasarnya, entah diterima atau tidak. Juga diteliti ketetapan (konsistensi) dan hubungan logis (koherensi) teori-teori atau sistem-sistem itu. Konsistensi berarti sesuai dengan asas atau prinsip-prinsip yang dianut. Koherensi berarti keselarasan atau persesuaian satu bagian dengan bagian lain, yang membuat sistem itu menjadi satu kesatuan yang utuh.
1.7.2.3.Metode Transendental
Metode transendental bertitik tolak dari fenomena manusiawi yang paling sentral, yaitu fakta kegiatannya (berpikir, berbicara, memilih). Tidak dianalisis arti dan nilai yang diungkapkan sebagai isi eksplisit dalam kegiatan itu, melainkan dicari pengandaian-pengandaian yang tersirat atau syarat-syarat mutlak yang memungkinkan pelaksanaan fakta kegiatan tersebut. Pengandaian-pengandaian yang tersirat atau syarat-syarat mutlak yang memungkinkan pelaksanaan fakta kegiatan tersebut. Pengandaian-pengandaian itu ditemukan baik pada phak subjek sendiri yang bertindak, maupun pada pihak objek yang dilibatkan. Setiap kali dibentangkan lagi konsekuensi syarat atau pengandaian yang ditemukan. Dengan demikian secara sistematis disingkapkan struktur-struktur hakiki dalam manusia dan dunianya yang merupakan dasar konstitutif bagi kegiatannya yang faktual.
1.8. Pembagian Filsafat
Setiap filsuf biasanya memilih bidang tertentu dari kenyataan sebagai objek pokok refleksinya. Berdasarkan pemilihan ini maka dapat dilihat persoalan-persoalan yang selalu muncul dalam sejarah filsafat, seperti:
1. Logika, membahas aturan-aturan penalaran yang baik dan tertib;
2. Epistemologi mempersoalkan tentang asal-usul pengetahuan dan bagaiamana orang mencapai kebenaran;
3. Kritik ilmu-ilmu (filsafat ilmu pengetahuan);
4. Bahasa (filsafat bahasa);
5. Kosmologi, yaitu filsafat alam dunia; alam dunia tersusun dari pelbagai unsur yang bersama-sama membentuk suatu keseluruhan yang teratur atau kosmos;
6. Mmetafisika umum atau ontologi: membahas tentang dasar dari segala yang ada sejauh ada;
7. Agama, yaitu filsafat tentang hubungan manusia dengan suatu pribadi yang memperlihatkan manusia sebagai manusia;
8. Eestetika (filsafat keindahan; sejauh mana sesuatu dikatakan indah);
9. Pedagogi (filsafat pendidikan)
10. Politik (filsafat tentang dimensi sosial dan politis manusia);
11. Sejarah (filsafat sejarah);
12. Kebudayaan (filsafat kebudayaan);
13. Aksiologi (filsafat tentang nilai)
Tetapi persoalan-persoalan itu dapat dikembalikan kepada 9 (sembilan) cabang filsafat dan kesembilan cabang ini dapat dikelompokkan lagi ke dalam tiga bagian utama. Pembagian ini dikenal sebagai pembagian filsafat yang klasik.[13]
1.8.1. Filsafat tentang Pengetahuan
1. Logika, menyelidiki dan menetapkan aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya cara berpikir manusia lurus dan tidak sesat.
2. Epistemologi, merupakan pengetahuan tentang pengetahuan
3. Kritik ilmu-ilmu menyelidiki titik pangkal, metode dan objek ilmu-ilmu
1.8.2. Filsafat tentang Keseluruhan Kenyataan
1. Ontologi, merupakan pengetahuan tentang ’semua yang ada sejauh ada’
2. Teologi Metafisik (filsafat ketuhanan) membahas tentang apakah Tuhan ada dan tentang nama-nama Allah
3. Antropologi (filsafat manusia) berbicara tentang manusia
4. Kosmologi (filsafat alam dunia) membahas tentang alam dunia sebagai suatu susunan yang teratur (kosmos).
Ontologi disebut juga metafisika umum, sedangkan teologi metafisik, antropologi metafisik dan kosmologi filosofis merupakan bagian-bagian dari metafisika khusus.
1.8.3. Filsafat tentang Tindakan Manusia
1. Etika (filsafat moral) membahas tentang tindakan manusia yang dilakukan secara sadar dan segaja.
2. Estetika (filsafat keindahan) berusaha menyelidiki ,mengapa sesuatu dialami sebagai yang indah.
BAB II
HAKEKAT FILSAFAT PENDIDIKAN
2.1. Pengertian Pendidikan
2.1.1. Pendidikan Sebagai Aktivitas Eksistensial dan Fundamental
Fenomena pendidikan merupaka sesuatu yang hakiki dan eksistensial bagi kehidupan manusia.[14] Pendidikan merupakan fenomen bukan hanya karena tampak bagi mata sebagai data dan gejala, melainkan tampak bagi kesadaran manusia: pikiran, jiwa dan pribadinya. Fenomen itu disebut hakiki karena di mana pun manusia ada bersama selalu ada pendidikan. Pendidikan diartikan sebagai aktivitas eksistensial dan fundamental. Pengertian ini mengandung 3 unsur penting, yaitu :
1. Pendidikan disebut eksistensial karena menyangkut eksistensi manusia. Eksistensi berarti cara manusia berada yang khas di dunia. Aliran yang berakaitan dengan eksistensi adalah Eksistensi. Eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat abad ke-20 yang merasakan misinya sebagai pemberantas dua pandangan yang berat sebelah tentang manusia, yakni materialisme dan idealisme. Materialisme adalah paham yang melihat manusia hanya sebagai bagian dari alam jasmani (materi) yang tidak berbeda dari benda-benda jasmani lain. Sedangkan idealisme adalah paham yang berpendapat bahwa manusia itu hanya subyek, di mana subyek itu disamakan dengan pikirannya sendiri. Dunia di luar pikiran manusia tidak ada, kalaupun ada, tidak mungkin dimengerti;[15]
2. Pendidikan menyangkut cara orang berelasi dengan orang lain. Manusia tidak bisa berkembang dan menjadi diri sendiri tanpa hubungan dengan manusia-manusia lain. Dunia manusia adalah dunia arti-arti, dan arti-arti itu juga berlaku untuk manusia-manusia lain sebagai subjek. Jelas bahwa manusia hanya dapat hidup sebagai manusia kalau ia hidup bersama dengan manusia lain. L. Binswanger menegaskan bahwa cara berada manusia adalah ada bersama dengan subjek-subjek, dalam cinta kasih, yang saling membangun dan menyempurnakan. Cita-cita dari individu diarahkan kepada cinta tanpa pamrih sebagai pemenuhannya. Cinta menciptakan persekutuan. Karena itu, persekutuan, ada bersama bersifat hakiki bagi manusia;
3. Fenomena pendidikan begitu nyata dalam hubungan antarmanusia. Dalam hal ini, hubungan bersifat saling memberi arti, hubungan membangun dan menyempurnakan dalam cinta kasih. Suatu perbuatan disebut fenomen mendidik karena hasilnya apakah baik atau buruk. Pendidikan adalah suatu aktivitas fundamental karena pendidikan itu menyentuh akar-akar hidup manusia sehingga mengubah dan menentukan hidup itu.
2.1.2. Pendidikan Sebagai Proses Pemanusiaan
Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia muda.[16] Dalam proses pendidikan, dua pribadi (aku) bertemu, yaitu aku dari pendidik dan aku dari yang dididik, sehingga yang dididik diangkat ke tingkat aku pendidik. Pengangkat itu yang disebut pemanusiaan. Pemanusiaan itu dibedakan atas dua, yakni :
1. Proses hominisasi (homo; manusia), yaitu perkembangan menjadi manusia. Pendidikan disebut hominisasi bukan karena proses bertumbuh dan berkembang yang diharapkan dari pendidikan secara lambat laun membawa kepada kesempurnaan diri sebagai manusia, baik dari aspek biologis maupun dari aspek psikologis. Homonisasi itu mengarah kepada menjadi seorang pribadi, seorang subjek yang mengerti diri dan tahu menempatkan diri dalam situasi;
2. Proses humanisasi (humanus; manusiawi, humanisme; kehidupan manusia dan masyarakat yang sempurna karena cocok dengan tuntutan dan cita-cita manusia), yaitu proses perkembangan manusia yang lebih tinggi dari tingkat yang minimal (hominisasi) kepada perkembangan ke tingkat yang lebih sempurna. Tingkat lebih tinggi itu adalah kebudayaan yang lebih tinggi. Kebudayaan adalah hasil pengangkatan alam (kodrat) ke tingkat lebih tinggi dengan kekuatan akal budi manusia.
Tujuan pendidikan adalah membantu manusia yang muda, sehingga bisa bergerak, bertindak dan bersikap sebagai manusia. Pendidikan tidak hanya bermaksud memimpin manusia menjadi homo tetapi menjadi homo yang human (homo humanus). Jadi, pendidikan sebenarnya bertujuan untuk membantu seorang manusia muda untuk menjadi pribadi atau subjek yang human.
2.2. Aktivitas Pendidikan Sebagai Persoalan Filsafat
2.2.1. Ilmu Pendidikan
Ilmu pendidikan sering disebut dengan istilah Pedagogi. Istilah Pedagogi yang merupakan bahasa Yunani,yang berarti ”seni membimbing seorang anak”. Pada umumnya, istilah ini sinonim dengan ”ilmu pendidikan.[17]
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang lahir dengan kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk bertindak , tetapi tanpa kecakapan untuk menerjemahkan kemampuan itu ke dalam perbuatan nyata. Manusia terlebih dahulu harus belajar dari orang lain tentang bagaimana mengungkapkan kemampuan-kemampuan itu seperti berjalan, merawat dan memelihara diri, berbicara, membaca dan menulis, menghargai dan mencintai. Seekor hewan, sebaliknya, sudah ’mahir’ dan ’terspesialisasi’ sejak lahir; ia memiliki kecakapan dan kepandaian secara instingtif. Manusia pada saat kelahirannya hanya memiliki kemampuan untuk berkembang. Kecakapan dan kepandaian serta penghalusan budi dicapai lewat pendidikan dan proses belajar. Lewat proses belajar dan pendidikan dia serentak menspesialisasikan diri, menjadi pribadi yang matang dan berbudaya.
2.2.2. Subyek Pendidikan
Pedagogi modern telah membalikan hubungan tradisional antara guru dan murid. Dalam proses pendidikan, peranan yang dididik ditegaskan di depan pendidik. Dewasa ini, telah terjadi revolusi dalam bidang pendidikan yang dikenal dengan nama ”revolusi Kopernikus”. Yang dimaksudkan dengan revolusi ini adalah seperti Kopernikus dalam bidang astronomi telah mengubah secara radikal pandangan lama yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrisme), dengan menegaskan bahwa matahari adalah pusat alam semesta (heliosentrisme). Demikian juga dalam pendidikan, pendidik tidak lagi menjadi pusat kegiatan edukatif, tetapi yang dididik atau peserta didik. Maka, tugas pendidik adalah menemukan kebutuhan yang dididik dan menciptakan situasi yang tepat agar yang dididik dapat mengembangkan dan menyempurnakan diri.
Dalam perspektif ini, subjek dalam proses pendidikan adalah yang dididik. Konsep pendidikan seperti ini dikenal sebagai pedosentrisme (paidos; anak). Anak adalah seorang pribadi yang aktif dan orisinal. Yang dididik ini tidak hanya si anak, si remaja, kaum muda melainkan manusia. Karena pendidikan tidak mengenal batas umur, tetapi berlangsung seumur hidup, maka subjek pendidikan itu adalah manusia. Dia adalah pribadi yang harus memwujudkan diri. Ia harus menjadi seorang pribadi. Kepribadian merupakan hasil perpaduan antara unsur-unsur yang dibawa sejak lahir, unsur yang diwariskan dari lingkungan dan unsur yang diperoleh dari belajar. Akan tetapi unsur-unsur itu selalu bersifat dinamis dan karena itu kepribadian manusia merupakan kenyataan yang bersifat plastis karena ditentukan menurut sikap yang berbeda-beda, berdasarkan situasi-situasi yang dihadapi dan dihayati individu secara konkret. Manusia tidak dapat dideterminasi (ditentukan lebih dahulu). Dia selalu dapat berubah menjadi lebih baik, atau lebih buruk. Dan kalau ada kemungkinan untuk selalu berubah, maka benar apa yang sudah dikatakan ”pendidikan berlangsung seumur hidup” (long life education).
2.2.3. Tiga Dimensi Dasar Pendidikan
Pendidikan memiliki beberapa dimensi. Pada umumnya, terdapat 3 dimensi dasar pendidikan, yakni :
1. Personal. Pendidikan berlangsung di antara pribadi-pribadi. Peserta didik bukanlah objek atau benda melainkan subjek dengan berbagai kemampuan dan kreativitas yang khas. Aktivitas pendidikan harus mampu memajukan pribadi dan membuat ia mengembangkan diri;
2. Sosial. Pendidikan adalah suatu aktivitas antar-subjektif dan bersifat sosial. Pendidikan mampu membantu orang untuk saling mengenal, untuk hidup bersama dan menjamin harmoni sosial dan peka terhadap kepentingan umum suatu kelompok sosial di mana ia hidup, dan ikut memberikan sumbanganya untuk kesejahteraan umum;
3. Kultural. Pendidikan mengalihkan nilai-nilai dari generasi yang lebih dahulu kepada generasi berikutnya dalam bentuk pengetahuan, nilai sosial, moral dan agama, yang telah diolah dengan tujuan membuat individu yang menerima menjadi pribadi yang memberikan sumbangannya bagi perkembangan peradaban lebih lanjut. Dalam hal ini, perlu diingat tiga unsur penting dalam perkembangan manusia, yaitu :
a. Unsur kemampuan dasar, bakat (nature; alam yang dibawa sejak lahir);
b. Unsur pemberdayaan, bantuan (nurture; secara harafiah berarti gizi, tetapi dapat diperluas dengan semua bantuan yang memudahkan perkembangan seorang pribadi termasuk pendidikan);
c. Pengolahan sendiri oleh pribadi yang bersangkutan (culture; secara harafiah berarti kebudayaan, tetapi dapat dialihkan kepada hasil olah budidaya sendiri). Di sini pendidikan bertujuan supaya seseorang dapat mengolah sendiri entah itu dirinya sendiri atau juga dunianya untuk pada gilirannya memberikan sumbangan bagi peradaban.
2.2.4. Autoedukasi dan Heteroedukasi
Dalam dunia pendidikan dikenal istilah autoedukasi dan heteroedukasi. Autoedukasi bermaksud menjamin perkembangan harmonis berbagai daya dan kemampuan yang ada dalam diri peserta didik tanpa merujuk pada ideal-ideal yang ada di luar individu. Secara negatif, autoedukasi menolak campur tangan dari luar yang bersifat otoriter. Secara positif, autoedukasi memajukan spontanitas dan melindungi yang dididik terhadap dikte-dikte manipulasi dari luar. Sedangkan heteroedukasi bermaksud menyesuaikan subjek yang dididik dengan tuntutan struktur-struktur sosial, ekonomis, moral, agama dan politik. Proses pendidikan mencapai sasarannya kalau yang dididik menyesuaikan diri, juga tahu bersikap dan bertindak sesuai dengan tatanan yang ada.
Ketiga, kedua hal ini tidak saling bertentangan dalam konteks pendidikan yang integral. Proses pendidikan di sini mendasari tuntutan akan kebebasan, orisinalitas setiap pribadi tanpa mengabaikan kehadiran kondisi-kondisi sosial dan tuntutan lingkungan. Autoedukasi akan memajukan kematangan dan kedewasaan integral dan menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab personal, sedangkan heteroedukasi akan menumbuhkan dalam diri yang dididik kesadaran akan keterlibatan sosial dan tanggung jawab pribadi di tengah-tengah lingkungan sosial atau religius.
2.3. Filsafat Pendidikan
2.3.1. Filsafat dan Pendidikan
Setiap praksis pendidikan selalu mencerminkan suatu pandangan tentang manusia, dunia dan Tuhan.[18] Seringkali pandangan itu tidak bersifat refleksif, kritis dan sistematis. Seringkali pandangan itu diandaikan saja dan dihayati secara praktis. Tetapi pandangan itu diberi bentuk yang lebih ilmiah dalam ilmu mendidik, yang memiliki objek yang jelas dan dilengkapi dengan metode yang khusus. Pada langkah terakhir ada suatu pandangan yang diberi bentuk yang sistematis dengan diberi dasar-dasar mengenai hakikat manusia, dunia dan Tuhan, dan melihat implikasinya bagi praksis pendidikan. Pada tahap ini disusunlah suatu filsafat yang menguraikan tentang latar belakang dan menjelaskan fenomen dan praksis pendidikan secara kristis.
Pengertian tentang pendidikan selalu berkaitan erat dengan pengertian tentang manusia dan tujuan hidup manusia. Maka jelas ada hubungan antara filsafat dan ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan merupakan mahkota logis dari antropologi filsafat dan etika. Sesudah memahami pertanyaan tentang siapakah manusia dan apa tujuan akhir hidupnya, harus diajukan pertanyaan tentang bagaimana menjadi manusia yang sesungguhnya dan bagaimana mencapai tujuan akhir manusia itu. Maka ilmu pendidikan harus dibangun di atas dasar filsafat manusia yang sehat dan juga atas dasar etika yang seimbang.
Setiap filsafat yang sistematis akan menyusun suatu konsepsi mengenai pendidikan, entah dalam garis besar atau juga secara lengkap dan filsafat itu dapat memberikan pengarahan kepada ilmu pendidikan dan praksis mendidik (misalnya; komunisme, nasionalisme, eksistensialisme, personalisme, pragmatisme, dan sebagainya). Maka selalu ada hubungan timbal balik antara filsafat (pendidikan), ilmu pendidikan dan praksis pendidikan.
Terutama seorang pendidik yang memiliki keahlian harus menyadari latar belakang ini. Juga seorang guru dengan bidang spesialisasinya pertama-tama menjadi pendidik. Baik kepada spesialisasi itu, maupun kepada unsur-unsur pedagogi, sosiologi, psikologi dan didaktik, perlu memiliki perspektif yang lebih luas. Filsafat pendidikan berusaha untuk memberikan kerangka (frame) lebih luas itu.
Secara singkat, filsafat pendidikan adalah cabang filsafat yang memberikan landasan teoritis dan kritis tentang data-data, gejala-gejala dan teori-teori pendidikan. Data-data, gejala-gejala, dan teori-teori itu tidak diterima saja tetapi diterima dan dianalisis secara kritis untuk melihat sejauh mana data, gejala dan teori itu mencerminkan suatu pandangan tentang manusia yang utuh. Karena bagaimanapun, seperti yang sudah dikatakan di atas, subjek pendidikan adalah manusia, dan praksis pendidikan itu berlangsung di antara pribadi-pribadi.
2.3.2. Kaitan antara Filsafat dan Ilmu Pendidikan
Filsafat pendidikan dan Ilmu Pendidikan menyelidiki data-data dan gejala-gejala yang sama, tetapi dengan metode yang berbeda dan pada taraf berbeda. Mereka memakai istilah yang sama tetapi dengan memakai arti yang berbeda. Masing-masing memiliki keuntungan dan kelemahan.
Filsafat merumuskan prinsip-prinsip dan asas yang mendasari pelaksanaan pendidikan. Ia tidak memperhatikan detail-detail seperti susunan ruang sekolah, metode ilmu-ilmu sosial, isi kebudayaan nasional, juga tidak membahas tentang bagaimana memberi motivasi belajar. Gayanya adalah lebih luas dan tidak langsung bersifat praktis. Maka walaupun hal-hal yang konkret lekas berubah, filsafat tidak berkembang dengan pesat. Bahayanya, filsafat kurang mengindahkan fakta. Akibatnya, baik ilmu pendidikan dan praksis pendidikan yang diinspirasikannya, mengabaikan banyak segi.
Ilmu Pendidikan sebaliknya berdasarkan fakta-fakta dan gejala-gejala konret. Hal-hal umum muncul dari kenyataan objektif, dan langsung dihubungkan dengan pengalaman. Namun bahayanya, ilmu pendidikan sering terlalu dangkal dan kurang terbuka bagi unsur-unsur yang hakiki. Sering kali ilmu pendidikan yang dangkal memberikan interpretasi yang keliru tentang kenyataan.
Maka, filsafat pendidikan dan ilmu pendidikan saling melengkapi. Mereka tidak mengambil alih hasil ilmu lainnya sehingga todak terjadi pinjaman logis. Masing-masing mereka memakai metodenya sendiri dan mencapai pemahamannya sendiri. Tetapi mereka saling memperkaya secara psikologis dan saling memberikan inspirasi. Filsafat harus menguji hasil pencariannya dengan data-data ilmu pendidikan; dan kadang-kadang harus membetulkan pandangannya yang terlalu a priori. Ilmu pendidikan dipihaknya, harus memeriksa teorinya di hadapan prinsip-prinsip dasar dari sudut filsafat; dan sering kali harus membuka diri terhadap pengarahan lain juga tersembunyi di balik gejala-gejala.
2.3.3. Objek Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan memiliki obyek kajiannya. Pada umumnya, ada 2 obyek filsafat pendidikan, yakni :
1. Objek material. Objek material filsafat pendidikan adalah:
a. Segala gejala (fenomen) pendidikan sebagai fakta dan peristiwa;
b. Segala sistematisasi ilmiah; teori, data, eksperimen (psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya);
c. Segala bentuk refleksi kritis filsafat dalam sejarah mengenai pendidikan. Segala bahan itu merupakan pertanyaan, dorongan dan tantangan. Tetapi, filsafat pendidikan terutama tertarik dengan struktur dan arah dasar. Misalnya, relasi pendidikan, perkembangan ekspresi, segi intelektual dan kebebasan.
2. Obyek Formal. Objek formal filsafat pendidikan ialah menghubungkan segala gejala dan teori itu dengan hakikat manusia. Filsafat pendidikan mencoba mengakarkan kembali semua unsur dalam struktur-struktur dasar, seperti berlaku bagi manusia dengan mutlak. Misalnya, proses belajar, mata pelajaran ilmu eksata, kebudayaan dan sejarah.
2.3.4. Fungsi Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan memiliki beberapa fungsi. Pada umumnya dibedakan 5 macam fungsi filsafat pendidikan, yakni: [19]
1. Fungsi spekulatif. Filsafat pendidikan berusaha mengerti secara menyeluruh persoalan-persoalan mengenai pendidikan dan hubungan persoalan itu dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan;
2. Fungsi normatif. Filsafat pendidikan memberikan arah dan pedoman bagi praksis pendidikan. Arah dan pedoman ini biasanya ditentukan berdasarkan tujuan pendidikan, norma-norma moral dan agama yang dianut dan cita-cita yang ingin dicapai;
3. Fungsi kritis. Filsafat pendidikan memberikan kerangka untuk menguji dan menafsirkan data-data ilmiah dan praksis pendidikan. Dalam hubungan dengan teori-teori filsafat pendidikan menilai secara kritis anggapan-anggapan dasar yang menjadi penopang pelbagai teori dan berusaha melihat konsistensi dari teori-teori itu sert a kesesuaiannya dengan pandangan tentang manusia yang dianut;
4. Fungsi teoritis. Filsafat pendidikan dapat memberikan konsepsi, ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan yang dapat menjadi dasar pijakan bagi praksis pendidikan;
5. Fungsi integratif. Filsafat pendidikan dapat memberikan suatu gambaran yang dapat menyatukan berbagai bidang keilmuan yang masing-masing berdiri sendiri dengan metode sendiri-sendiri, sehingga membuka pintu bagi dialog antara berbagai ilmu itu.
2.3.5. Metode Filsafat Pendidikan
Filsafat Pendidikan memiliki metode pembahasan. Pada umumnya, dapat dibedakan dua cara sesuai dengan metode filsafat umumnya, yaitu:
1. Bertolak dari data-data dan teori-teori ilmu pendidikan. Dianalisis oleh filsafat, dan dicari dasar-dasar hakiki yang tersembunyi di dalamnya dengan memakai metode kritis dan fenomenologi. Lama kelamaan muncullah pemahaman lebih luas, mendalam dan menyeluruh. Bahaya dari metode ini, yaitu bahwa orang terlalu terikat pada konsep-konsep empiris;
2. Bertitik tolak dari suatu filsafat sistematik yang cukup lengkap. Dari situ ditarik kesimpulan mengenai fenomen pendidikan. Misalnya, pandangan umum mengenai sosialitas manusia, dikhususkan dalam hubungan dengan pendidikan. Namun ada bahaya bahwa filsafat ini terlalu teoritis dan jauh dari praksis;
Dalam kuliah ini, titik tolak pertama (metode kritik dan fenomenologi) khusus dalam pembahasan bagian pertama dan titik tolak kedua (pendekatan sistematis) khusus dalam bagian kedua.
BAB III
FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM LINTASAN SEJARAH
3.1. Filsafat Yunani – Abad Pertengahan[20]
3.1.1. Kebudayaan-Kebudayaan Kuno
Dalam masyarakat primitif hampir tidak ada refleksi kritis dan sadar tentang proses pendidikan. Di situ pendidikan bertujuan melestarikan masa lampau dan mengamankan diri terhadap lingkungan hidup yang mengancam. Asumsi dasar pendidikan di dalam kebudayaan itu adalah apa yang ada, sudah benar. Karena kebiasaan dan adat berubah sangat perlahan, maka mudah disimpulkan bahwa apa yang ada, selalu sudah ada. Dan karena sudah selalu ada, maka itu sudah merupakan hakikat dari kenyataan. Dalam kebudayaan ini, fungsi pendidikan demikian jelas sehingga tidak diperlukan lagi suatu filsafat pendidikan untuk mengarahkan proses pendidikan.
Pada awal abad 5 SM, orang Yunani mulai memberikan perhatian istimewa pada persoalan-persoalan mengenai pendidikan. Kondisi-kondisi sosial yang sebelumnya terikat dengan kebiasaan-kebiasaan yang kaku mulai dipertanyakan dan cara hidup yang lama dianggap tidak lagi memadai. Sukses dalam perang-perang dengan Persia dan kemakmuran ekonomi yang mencolok dibandingkan dengan keadaan sebelumnya menuntut adaptasi sosial baru. Semakin orang menjadi sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan lama tidak lagi cocok dengan keadaan-keadaan baru, persoalan-persoalan mengenai pendidikan semakin tajam mendesak. Bagaimana manusia muda harus dididik bila kebiasaan-kebiasaan lama tidak lagi memadai, sedangkan cara hidup yang baru belum mendapat pengakuan umum? Di sini situasi menuntut pemikiran kritis dan sadar dari filsafat.
3.1.2. Sofisme
Para sofis Yunanilah yang pertama kali mengabdikan diri terhadap persoalan-persoalan mengenai pendidikan yang ditimbulkan oleh keresahan-keresahan sosial zamannya. Mereka mulai menyadari bahwa tatanan lama tidak memadai lagi dan memberikan kritik-kritik yang tajam. Mereka menggunakan penalaran rasional untuk mengkritik pola-pola pendidikan tradisional, yang sebagian bersifat transmitif (mengalihkan) dan berusaha melestarikan bentuk-bentuk kehidupan sosial yang sudah mapan. Dalam melawan pelestarian kebiasaan-kebiasaan lama tanpa sikap kritis, mereka menetapkan kurikulum berdasarkan penalaran rasional dan kebutuhan-kebutuhan orang yang mereka ajar. Mereka tidak menggunakan kebiasaan-kebiasaan sosial lama sebagai ukuran penilaian. Mereka menegaskan bahwa ”manusia adalah ukuran dari segala sesuatu” (homo mensura).
Prinsip homo mensura ini berasal dari Protagoras. Manusia di sini adalah individu. Kaum sofis mengajarkan bahwa tentang sesuatu orang bisa mengatakan apa saja. Segala sesuatu bersifat relatif. Kaum sofis juga menuntut pembayaran atas pengajaran mereka (komersialisasi), maka yang mereka ajarkan adalah yang individu butuhkan, bukan apa yang benar.
Keinginan para sofis untuk mengajarkan sisi apa saja, dengan tidak terikat oleh kebenaran dan norma tertentu, tujuannya adalah untuk mendapatkan bayaran. Hal ini jelas menimbulkan keraguan mengenai kemungkinan mengajarkan prinsip-prinsip moral yang stabil, yang menyebabkan mereka dituduh tidak tulus.
Mengenai teori pendidikan, para Protagonis membuat kritik terhadap aliran sofisme dengan menggunakan metode-metode rasional seperti bahasa dan dialektika yang pernah diajarkan oleh para sofis. Menurut mereka, dengan cara dan metode pengajaran yang dilakukan oleh para sofis, jelas menimbulkan rasa skeptis bahwa orang dapat memiliki keutamaan (arete). Menurut tradisi lama, norma keutamaan adalah contoh dan teladan kaum ningrat atau bangsawan. Keutamaan diwariskan dan bukan diajarkan. Keutamaan dimiliki dengan melatih diri dalam tindakan melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur dan bukan melalui latihan akal atau intelek. Karena itu usaha para sofis yang bersifat demokratis dan populer untuk mengajarkan keutamaan kepada kaum muda dari kelompok sosial rendah dengan sendirinya ditolak.
Persoalan yang muncul antara kaum sofis dan kelompok konservatif adalah persoalan pendidikan yang ditambahkan pada perjuangan yang berbasis politis untuk menggantikan sistem aristokratis lama dengan sistem demokratis dalam masyarakat Yunani. Dengan para sofis mulailah suatu proses emansipasi dan demokratisasi dalam bidang pendidikan dan dalam masyarakat secara keseluruhan. Hubungan erat ini penting karena ia memberikan kepada persoalan pendidikan suatu prioritas tingkat tinggi dalam pikiran guru-guru terbaik zaman itu.
3.1.3. Sokrates (469-399 SM)
Sokrates memberikan perhatian sangat besar terhadap implikasi-implikasi pengetahuan teoritis. Ia mengambil sisi demokratis dan sejalan dengan kaum sofis menegaskan bahwa keutamaan dapat diajarkan. Ia menegaskan bahwa tidak ada tindakan yang kayak disebut baik kalau tidak dilakukan dengan pengetahuan tentang hal yang baik itu. Dengan kata lain, untuk melakukan yang baik, mula-mula orang harus memiliki pengetahuan tentang apa yang baik. Tetapi, pengetahuan teoritis dapat diajarkan. Karena itu, sejauh suatu tindakan bergantung pada pengetahuan teoritis, keutamaan tentu saja dapat diajarkan. Tetapi, apakah pengetahuan semata-mata tentang keutamaan menjamin tindakan yang keutamaan? Karena Sokrates berpendapat bahwa tak seorangpun dengan kesadaran melakukan hal yang buruk, maka dalam bahasa Sokrates, ”Mengetahui yang baik adalah melakukannya”, berarti ”keutamaan adalah pengetahuan”.
Sokrates mengkritik para sofis yang menyangkal adanya pengetahuan yang bersifat umum dan norma-norma yang bersifat mutlak. Ia juga menilai mereka tidak tulus karena menggunakan pengetahuan untuk memperoleh keuntungan praktis, yaitu untuk memperkaya diri. Bagi Sokrates dan keyakian orang Yunani sezaman, pengetahuan yang sejati selalu tanpa pamrih.
”Metode Sokrates” adalah metode dialog (pertemuan antara dua logos, dua pihak yang memiliki akal budi dengan kesadaran kritis). Ada dua tahap dari metodenya, yakni :
1. Metode sangkalan atau ironi. Dengan metode ini, Sokrates tidak bermaksud untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi terutama menggali dan mencapai pengetahuan yang sahih secara bersama-sama. Usaha bersama dalam dialog (memberi dan menerima), dipandu Sokrates dengan mengajukan sejumlah pertanyaan dan dijawab oleh mitra bicara. Jawaban atas pertanyaan itu dipertanyakan seterusnya sampai mencapai jawaban yang tidak dapat dipertanyakan lagi. Dalam dialog itu, Sokrates tidak pernah memperlihatkan bahwa ia telah mengetahui jawaban atas segala persoalan. Dialog merupakan pergumulan bersama untuk menemukan kebenaran bersama-sama dan untuk memperlihatkan bahwa tentang banyak hal orang tidak tahu. Ia tidak menyebut diri sophos seperti para sofis. Ia hanyalah seorang philosophos, orang yang mencintai dan mencarikebijaksanaan;
2. Tehnik kebidanan (Tehnik Maieutik). Sokrates tidak berpretensi telah memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan yang utuh tentang sesuatu persoalan ketika memulai suatu dialog. Sokrates yakin bahwa dalam diri orang lain ada juga unsur-unsur kebijaksanaan. Maka tugasnya sebagai guru adalah membantu orang lain mengungkapkan dan menyadari pengetahuan dan kebenaran yang sudah terkandung dalam dirinya. Sokrates melihat diri hanya sebagai bidan intelektual. Seperti seorang ibu yang akan melahirkan sudah memiliki bayi dalam kandungannya dan seorang bidan hanya membantu ibu itu untuk melahirkan bayinya, demikian juga seorang guru tidak memiliki kebenaran untuk diberikan kepada para murid.[21] Seorang guru hanya membantu agar seorang murid dengan mudah mengungkapkan pengetahuan yang sudah dimiliki tanpa disadari.
Relevansi metode Sokrates untuk pendidikan dewasa ini, antara lain diperlihatkan oleh pemikir-pemikir radikal dalam pendidikan seperti Paulo Freire dari Brazil. Freire mengkritik ”pendidikan gaya bank” di mana guru memberikan bahan (aktif) dan murid tinggal menerima (reseptif) tanpa kesempatan mempersoalkan. Ia menegaskan peranan dialog dalam pendidikan sebagai cara paling baik, karena menghargai anak didik sebagai pribadi. Dialog yang benar harus dilandasi cinta dan pengharapan terhadap sesama. Pendidikan dialogal inilah yang akan membawa pembebasan dari situasi masyarakat yang menindas.[22]
3.1.4. Plato (427-347 SM)
Sumbangan Plato dalam filsafat pendidikan terdapat dalam buku The Republic (judul asli; Politeia). Pandangannya tentang pendidikan didasarkan atas analisis-analisisnya mengenai beberapa hal berikut:
1. Mengenai manusia. Menurutnya, manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu: [23]
a. Bagian keinginan yang terikat dengan indera-indera dan dorongan badani. Keinginan ini berkaitan dengan hawa nafsu. Keutamaan yang berkaitan dengan keinginan adalah pengendalian diri.
b. Bagian keberanian atau semangat yang berkaitan dengan kecenderungan ke arah sikap suka menonjolkan diri. Bagian ini berkaitan dengan kehendak. Keutamaan yang cocok dengan keberanian adalah kegagahan (keperkasaan).
c. Bagian bagian akal budi, intelek yang berfungsi untuk mengerti dan mengarahkan bagian-bagian lain. Keutamaan dari akal budi adalah kebijaksanaan. Keanekaan fungsi dalam diri manusia ini akan diselaraskan oleh prinsip harmoni, yaitu suatu hierarki yang adil di mana akal budi dengam bantuan keberanian mengatur keinginan.
2. Mengenai masyarakat. Menurutnya, ada tiga kelompok sosial yang menjamin kesatuan masyarakat, yakni :
a. Kelompok para petani, para tukang dan pengrajin, yaitu kelompok yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia: kecenderungan dominan kelompok ini adalah keinginan. Keutamaan yang cocok adalah pengendalian diri;
b. Kelompok para serdadu, yaitu kelompok yang bertugas menjaga keamanan negara terhadap serangan dari luar dan dari dalam; pada mereka yang dominan adalah keberanian. Keutamaan yang cocok adalah kegagahan.
c. Kelompok para filsuf adalah kelompok yang berwewenang untuk memimpin negara. Dalam kelompok ini yang dominan adalah kemampuan intelektual. Keutamaan yang perlu adalah kebijaksanaan. Keutamaan keadilan adalah prinsip yang mengatur dan menyelaraskan ketiga kelompok dalam masyarakat.
3. Mengenai praksis pendidikan. Plato menegaskan bahwa kelompok pertama tidak memerlukan pendidikan lama, karena keterampilan yang diperlukan oleh profesi mereka dapat dipelajari dengan mengerjakannya. Kelompok kedua memerlukan pendidikan yang intensif dalam musik dan olah raga. Kelompok ketiga memerlukan pendidikan yang jauh lebih intensif dan lama karena pada mereka tergantung masa depan negara. Mereka inilah calon-calon pemimpin negara yang harus mengetahui dengan baik konsep tentang ”yang baik” yang perlu untuk menjamin kesejahteraan negara.
Menurut Plato pengetahuan adalah produk dari kodrat manusia dan pendidikan. Pengetahuan adalah mengingat kembali (anamnesis). Ini disebabkan karena jiwa manusia sebelum bersatu dengan tubuh sudah ada lebih dahulu dalam dunia ide-ide. Dalam keadaan itu ia mengenal segala hal. Tepai dengan bersatu dengan tubuh ia diasingkan dari pengetahuan itu. Maka pendidikan membantu untuk mengingat kembali apa yang sudah ada lebih dahulu. Pendidikan adalah latihan terhadap naluri-naluri dalam diri anak untuk mencapai keutamaan yang sesuai. Maka pendidikan yang tepat bagi individu dan setiap kelompok dalam masyarakat adalah melatih naluri-naluri atau fungsi-fungsi khas untuk memiliki keutamaan-keutamaan yang sesuai. Lebih dari itu, pendidikan yang tepat adalah pendidikan di mana individu dididik dalam kelasnya; di situ ia belajar menghayati suatu kehidupan di mana keinginan dikontrol oleh akal.
3.1.5. Aristoteles (384-322 SM)
Gagasan Aristoteles tentang pendidikan disajikan dalam dua bukunya, yaitu Etika Nikomachea dan Politika. Dalam hal pendidikan, ia memusatkan perhatian pada bagaimana mengajarkan keutamaan, yang merupakan suatu tema etika. Ia tidak menerima bahwa pengetahuan adalah keutamaan. Ada tiga hal yang membuat manusia baik dan berkeutamaan, yaitu kodrat, kebiasaan, dan akal budi.
1. Mengenai kodrat ditegaskan bahwa anak didik adalah manusia. Tidak ada gunanya mendidik makhluk bukan manusia dalam kebaikan dan kebajikan. Yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain adalah jiwanya. Sifat khas jiwa adalah aktivitasnya. Ada tiga jenis aktivitas, yaitu:
a. Yang paling sederhana adalah tingkat vegetatif yang diperlihatkan dalam pertumbuhan, reproduksi dan kebinasaan.
b. Tingkat yang mengantarai adalah tingkat hewani yang dihadirkan dalam sensasi, keinginan dan gerak lokal.
c. Tingkat rasional (akal budi) mengatur dan mengarahkan kedua tingkat lain. Akal budi adalah unsur yang khas pada manusia yang menentukan manusia sebagai manusia.
2. Kebiasaan. Menurut Aristoteles seperti juga untuk Plato, anak-anak kecil lebih dekat dengan hewan dalam arti tindakan-tindakan awal mereka lebih dimotivasi oleh keinginan. Dalam tindakan-tindakan awal mereka, belum ada bukti tentang adanya keutamaan moral yang muncul dari bakat alam mereka. Sebaliknya, keutamaan adalah kebiasaan yang harus dipelajari. Katanya, ”karena hal-hal yang harus kita pelajari sebelum kita lakukan, kita pelajari dengan melakukannya.” Karena itu keutamaan harus dipelajari, yaitu dengan membiasakan akal budi menguasai keinginan. Orang menjadi baik karena terbiasa melakukan hal yang baik dan menjadi buruk karena berulang kali melakukan hal yang buruk.
3. Aristoteles membedakan antara akal budi praktis dan akal budi teoritis. Akal budi praktis berkaitan dengan kedua aktivitas jiwa yang lebih rendah. Ia mengekang dan mengarahkan kedua aktivitas jiwa itu agar dapat diungkapkan secara tepat. Bidang khasnya adalah moral dan politik. Akal budi teoritis berkaitan dengan aktivitas yang murni teoritis. Dalam hal ini, peranan akal sepenuhnya bersifat kognitif dan asyik dalam spekulasi mengenai hakikat kebenaran universal.
Norma bagi pendidik untuk menilai aktivitas-aktivitas ini adalah kebahagiaan. Kebahagiaan dicapai dengan melaksanakan keutamaan khas manusia. Karena kekhasan manusia adalah akal budi maka kebahagiaan manusia akan tercapai dalam aktivitas terluhur akal budi, yaitu pemikiran murni. Maka pengolahan intelek adalah keutamaan utama karena mengantar kepada kebahagiaan.
3.1.6. Tomisme
Pendiri Tomisme adalah Thomas Aquinas (1224-1274), yang diberi gelar Doctor Angelicus. Filsafat pendidikannya yang disajikan dalam karya berjudul De Magistero, untuk waktu yang agak lama mempengaruhi ajaran Gereja Katolik mengenai pendidikan. Thomas Aquinas hidup pada zaman yang dikenal sebagai zaman Skolastik. Ada 8 pemikiran Thomas Aquinas, yakni :
1. Mengenai kodrat manusia yang dididik, Thomas Aquinas sependapat dengan Aristoteles mengenai jiwa sebagai prinsip aktivitas. Maka, pendidikan melibatkan aktivitas dari anak didik. Thomas Aquinas membandingkan cara kerja seorang dokter. Dokter tidak dapat menyembuhkan tubuh orang sakit, tetapi dengan terapinya ia hanya membantu tubuh untuk menyembuhkan dirinya. Tubuh memiliki potensi alamiah untuk dapat mempertahankan keseimbangan kesehatan, dan hal-hal ini perlu dirangsang oleh dokter. Seorang guru tidak ”mengajar” seorang anak. Guru hanya membantu seorang anak untuk menyadari dan mengaktualisasikan potensi-potensi alamiah yang sudah ia miliki untuk belajar;
2. Thomas Aquinas menjelaskan proses belajar dengan menggunakan pembedaan Aristoteles atas materi dan forma, potensi dan aktualitas. Ide-ide, pengertian-pengertian merupakan hasil aktualisasi dari beberapa potensi. Dan aktualisasi itu dicapai melalui proses belajar. Potensi utama yang dimiliki pelajar adalah kemampuan untuk membentuk pengertian-pengertian umum. Akan tetapi, potensi ini hanya efektif bila dikembangkan sejalan dengan kontak dengan objek khusus tertentu yang merupakan contoh dari hal-hal yang umum. Bila indera-indera melaporkan objek-objek, esensinya dilepaskan dari kualitas-kualitas aksidental dan disajikan kepada intelek. Intelek lalu, berkat potensi yang dimiliki untuk membuat konsep-konsep, membuat objek yang diinderai menjadi dimengerti. Jadi, proses belajar sebagai aktualisasi potensi adalah menghubungkan hal yang umum dengan hal yang khusus, yang universal dengan yang partikular, menghubungkan materi dan forma. Dari segi logika, belajar adalah mengidentifikasi objek dan memberikan kepada mereka klasifikasi yang tepat dan khas;
3. Menempatkan Allah sebagai pusat filsafat Kristen memiliki konsekuensi yang menentukan bagi pendidikan. Hal ini membuat filsafat pendidikan Skolastik sangat berwibawa. Karena Yesus ”mengajar sebagai seorang yang berwibawa” (Injil Matius. 7;29), dalam semangat yang sama Gereja perdana dan abad pertengahan melaksanakan perintas Gurunya; ”Pergilah dan ajarilah segala bangsa.., Ajarilah mereka mentaati semua yang kuperintahkan kepada kamu.”(Injil Matius 28:19-20). Maka pengajaran Skolastik tidak hanya berwibawa tetapi juga bersifat dogmatis. Tetapi akan sangat baik kalau doktrin dimaklumkan bukan hanya berdasarkan akal yang benar, tetapi berdasarkan wibawa wahyu ilahi yang tidak diragukan lagi;
4. Filsafat pendidikan Kristen bersifat teosentris dengan tujuan jauh dan dekat. Tujuan akhir pendidikan Kristen berkaitan dengan tujuan akhir manusia. Untuk menemukan itu manusia harus kembali ke asalnya untuk mengenal penciptanya, yaitu Allah yang telah menciptakan manusia menurut gambarannya untuk mengabdi dan mencintai Dia dan sesudah kematian menikmati kebahagiaan kekal, menjadi orang kudus. Tujuan dekat pendidikan bersifat langsung, karena berhubungan dengan soal kehidupan sebagai warga negara (masyarakat) tertentu, panggilan dan akhirnya untuk kesejahteraan diri dan nasionalisme. Walaupun tujuan dekat filsafat Kristen berkaitan dengan kehidupan di sini dan kini, tidak boleh dilupakan bahwa tujuan itu selalu harus dinilai dalam perspektif sasaran terakhir yang bersifat teosentris;
5. Sumbangan lain dari kekristenan kepada filsafat pendidikan adalah pandangan tentang dosa asal. Sofisme mengajarkan tentang manusia sebagai ukuran. Jadi ada optimisme tentang kodrat manusia. Dalam kekristenan, optimisme ini harus diwaspadai. Menurut tradisi Yahudi-Kristen kodrat manusia telah dirusakkan oleh dosa asal. Maka dalam dirinya selain ada kecenderungan yang teratur dan dipuji, juga ada beberapa yang tidak baik dan harus dijauhi. Kecenderungan terakhir ini terutama terikat dengan tubuh yang dipertentangkan dengan jiwa. Pertentangan ini terutama dipengaruhi dualisme Plato tentang jiwa dan badan, yang masuk dalam pandangan Kristen sejak lama. Filsafat pendidikan Kristen, cenderung tidak percaya pada praksis pendidikan yang didasarkan hanya pada kodrat manusia. Kendatipun demikian, ada unsur yang memberikan harapan. Kodrat manusia walaupun terpengaruh dosa asal, tidak sepenuhnya rusak. Kodrat manusia diselamatkan oleh rahmat Allah dan teladan Yesus Kristus. Dalam pengertian Thomas Aquinas, dengan aktivitas diri dan dengan bantuan ajaran Gereja yang didasarkan atas wahyu, orang punya harapan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dalam hakikatnya yang terluka dosa;
3.2. Masa Modern – Masa Kini
3.2.1. Reformasi Protestan
Protestanisme menegaskan peranan individu sebagai pelaku tindakan yang bebas dan pemikir yang mandiri. Karena itu, pemikiran yang mandiri dan keputusan yang bebas selalu didorong. Tokoh dari reformasi Protestan adalah Marthin Luther King (1483-1546) yang sukses melepaskan diri dari otoritas Gereja di Roma, mencari otoritas lain yang memiliki wibawa untuk memecahkan semua konflik yang muncul, yaitu Kitab Suci. Tokoh lain adalah J. Calvin (1509-1564) memberikan beberapa modifikasi atas doktrin Tomistik tentang kodrat manusia yang rusak. Menurut dia, kodrat manusia sama sekali rusak karena dosa asal. Hanya Allah saja yang dapat menyelamatkan manusia.
Protestanisme mengambil alih beberapa aspek dari pandangan Aristoteles-Tomistik mengenai tujuan pendidikan. Tujuan akhir pendidikan ditentukan oleh hakikat manusia yang tidak binasa. Tujuan dekat pendidikan menyiapkan orang untuk bekerja dan menyumbang bagi kepentingan orang lain.
3.2.2. Naturalisme dan Empirisme
Pemacu naturalisme adalah perkembangan baru dan cepat dalam ilmu pengetahuan pada abad 17 dan 18. Pelopor gerakan baru ini adalah Francis Bacon (1561-1623), penulis karya berjudul Advancement of Learning dan Novum Organum. Perlahan-lahan dan melalui beberapa penulis, unsur-unsur baru dari pemahaman baru tentang dunia menjadi jelas pengaruhnya dalam filsafat pendidikan. Berkaitan dengan pendidikan, Naturalisme mengemukakan beberapa dimensi, yaitu :
1. Pendidikan harus dilaksanakan sesuai dengan tuntutan alam dan kodrat (natura). Orang pertama yang memberikan pendasaran teoritis bagi orientasi pendidikan ini adalah Johann Amos Comenius.[24] Sebagai seorang pendeta, ia menegaskan bahwa kodrat manusia menjadi rusak karena dosa. Tetapi ia tidak merendahkan kodrat manusia. Dalam Didactica Magna ia menegaskan bahwa ”jika kita ingin mencari penyembuhan atas cacat celah kodrat, maka itu harus dicari dalam kodrat itu sendiri. Ia mengusahakan suatu sistem pendidikan yang bekerjasama dengan alam dan bukan memperkosa alam. Dari kodratnya segala sesuatu berkembang dari alam. Perkembangan alam selalu teratur, tahap demi tahap. Manusia harus dididik menjadi makhluk yang saleh, berbudi pekerti dan bijaksana;
2. Tekanan pada peran sentral indera-indera dalam proses belajar. Comenius menegaskan pentingnya pengalaman mengenai indera-indera. Landasan teoritis bagi penekanan pendidikan pada indera-indera berasal dari pietisme. Pietisme adalah suatu reaksi dari rasionalisme dalam agama yang melihat agama sebagai suatu pengalaman vital batin. Pembenaran agama oleh rasa puas batiniah diungkapkan di bidang pendidikan dalam proses belajar, juga dibenarkan dalam pengalaman inderawi.
Dimensi inderawi filsafat pendidikan naturalistik lebih jauh ditegaskan dalam empirisme (empeiria; pengalaman inderawi) John Locke (1632-1704). Dalam karyanya yang berjudul Essay Concerning Human Understanding, Locke menegaskan bahwa semua pengetahuan dalam akal budi berasal dari pengamatan atas fakta-fakta yang disampaikan oleh pengalaman inderawi. Ia menegaskan bahwa pada saat kelahiran, akal budi seseorang ibarat suatu papan bersih (tabula rasa). Anggapan dasarnya berbunyi: ”Tidak ada sesuatu dalam jiwa yang sebelumnya tidak ada dalam indera-indera.” Hal ini berarti bahwa tidak ada pengertian dalam pikiran yang masuk tanpa melalui penginderaan. Locke membedakan dua jenis pengetahuan, yaitu :
1. Pengetahuan yang dibentuk oleh kesan langsung mengenai objek-objek empiris oleh indera-indera, yang disebut sensation, sebagai hasil penginderaan dunia luar;
2. Pengetahuan yang dibentuk oleh gagasan yang berasal dari reflexion, yaitu pengalaman dalam jiwa sebagai hasil pengolahan dari sensation. Akal budi memiliki kemampuan untuk membedakan, membandingkan dan membuat generalisasi atas kesan-kesan yang disampaikan oleh indera-indera.
Dalam pendidikan, Locke menekankan harmoni antara unsur rohani dan unsur jasmani. Prinsip yang dipegang teguh adalah ungkapan tua yang berbunyi : mens sana in copore sano; jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat. Pendidikan bertujuan membantu anak menjadi orang yang sehat jasmani dan berkepribadian yang utuh.
3.2.3. Rasionalisme
Abad 18 boleh disebut zaman akal budi. (the age of reason). Yang baru dari zaman ini adalah keyakinan tak terbatas yang diberikan kepada akal budi, terlepas dari pengaruh otoritas karya-karya klasik dan juga dari wahyu Kristen. Kemampuan manusia untuk bertumpu hanya pada akal budinya, membawa pandangan baru tentang dirinya. Manusia adalah hasil ciptaan alam semata. Manusia sebagai hasil ciptaan alam, harus diperintah oleh hukum-hukum yang seragam, seperti aspek-aspek lain dari alam. Dengan mengembalikan manusia kepada alam, martabat dan harkat manusia justru ditinggikan.
Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1927) dari Swiss adalah pendidik pertama yang sukses memaklumkan teori dan praksis pendidikan berdasarkan observasi atas hukum-hukum seragam tentang kodrat manusia. Menurut dia, jalannya kodrat itu tidak menyimpang. Maka, hanya ada satu metode pendidikan, yaitu mengikuti tuntutan kodrat. Ia sering menggunakan frasa-frasa seperti ”keharusan psikologis”, ”mekanisme kodrat manusia”, atau ”bentuk mekanis dari semua pengajaran”. Frasa-frasa ini bersama-sama dengan metode pendidikannya memperlihatkan bahwa Pestalozzi berusaha membawa pendidikan ke arah harmoni dengan naturalisme zamannya.
Tujuan pendidikan adalah memimpin anak menjadi orang yang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya alamiah yang ada padanya. Proses pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan perkembangan kodrat anak, sebab pendidikan pada hakikatnya adalah pemberian pertolongan agar anak kemudian menolong diri sendiri. Pendidikan adalah Hilfe zur Selbsthilfe: menolong untuk menolong diri sendiri. Dalam pengajaran ia menganjurkan agar orang mengamati alam, sebab asal semua pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan menimbulkan pengertian, bahkan pengertian tanpa pengamatan adalah kosong.
Akibat rasionalisme juga jelas dalam teori sosial tentang pendidikan. Ini jelas dalam pemikiran Helvetius (1715-1771), seorang filsuf Perancis. Jika manusia diperintah oleh hukum-hukum alam, maka penemuan hukum-hukum alam akan memampukan dia untuk menyesuaikan pendidikan dengan kondisi-kondisi sosial yang selalu berkembang maju. Helvetius berpikir bahwa ia menemukan itu dalam empirisme Locke. Dengan bergerak lebih maju dari Locke ia mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan dalam budi, juga tidak ada kemampuan-kemampuan untuk membuat perbandingan dan generalisasi, kecuali kalau diterima budi oleh indera-indera. Dari sini harus disimpulkan bahwa manusia hanyalah produk dari pendidikan. Perbedaan antara manusia diakibatkan oleh hukum-hukum yang tidak adil dan ketidaksamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Imaginasi, lembaga-lembaga sosial juga harus takluk kepada metode-metode kritis rasionalisme dan empirisme. Maka lembaga-lembaga harus dinilai secara rasional berdasarkan pengaruhnya atas manusia dan bukan oleh otoritas ilahi atau manusia. Untuk mencapai perkembangan pendidikan maksimal bagi manusia, lembaga-lembaga sosial harus fleksibel dan progresif.
Apa yang menjadi norma kemajuan pendidikan bagi seorang naturalis? Condore (1743-1794), seorang pemikir revolusioner Perancis mengemukakan kepercayaan akan kemampuan manusia untuk menjadi sempurna secara tak terbatas. Dengan kata lain, kemajuan tidak punya akhir kecuali kemajuan lebih besar lagi.
3.2.4. Idealisme
Kebanyakan filsuf sebelumnya melihat proses belajar kurang lebih sebagai suatu proses fotografis yang rumit. Dalam proses mengenal, budi memuat rekaman atas realitas. Semua ini rupanya harus diganti. Dalam proses pengenalan itu, akal budi yang sedang belajar harus membangun dalam dirinya sendiri ide-idenya sendiri tentang dunia. Maka, filsafat pendidikan ini dikenal sebagai idealisme. Tekanannya adalah pada keadaan intern budi atau perasaan individu.
Perkembangan terbesar idealisme dalam filsafat pendidikan terjadi di Jerman. Tema sentral kuliah-kuliah Kant mengenai pendidikan bersifat moral. Anak-anak harus dilatih untuk bertindak, bukan seperti mereka mau, tetapi sebagaimana seharusnya. Rasa wajib adalah produk struktur dari kehendak dan bukan dari pengalaman. Meskipun pada dasarnya kehendak ini terarah dari hal yang benar dan baik, ia dihalangi dalam mewujudkan dirinya oleh keinginan-keinginan. Karena itu, pendidikan merupakan suatu fase untuk melatih kehendak yang baik untuk mewujudkan dirinya sendiri.
Akan tetapi, memiliki kehendak baik saja tidak cukup. Kehendak harus juga diberi beberapa petunjuk tentang arah perwujudan dirinya. Petunjuk ini ditempatkan Kant dalam suatu imperatif praktis. ”Bertindaklah sedemikian, dalam memperlakukan kemanusiaan, entah itu dalam diri Anda sendiri atau dalam diri pribadi lain, dalam segala hal sebagai tujuan dan tidak pernah hanya sebagai sarana.” [25] ”Hormat terhadap kemanusiaan” dengan ini menjadi suatu imperatif kategoris (perintah tak bersyarat) dalam filsafat pendidikan yang demokratis.
Idealisme berasal dari kata bahasa Latin idea yang berarti gagasan, ide. Idealisme menekankan gagasan, ide, isi pikiran. Tokoh-tokohnya adalah Kant, Hegel, Bradley, J. D. Butler. Pokok-pokok pembahasan Filsafat Pendidikan menurut Idealisme adalah :
1. Realitas paling obyektif dan mendasar adalah sesuatu yang spiritual (konsep-konsep abstrak);
2. Unsur spiritual dan material bertentangan;
3. Dunia yang tampak bersifat material dan tergantung dari konsep yang ada dalam pikiran. Realitas adalah bayangan dari realitas sesungguhnya, yaitu konsep atau ide;
4. Tujuan Pendidikan adalah:
a. memelihara nilai-nilai luhur dalam kehidupan kultural, sosial dan spiritual;
b. mengembangkan hal-hal yang berkaitan dengan hidup spiritual (kemampuan intelektual).
5. Unsur personal dalam pendidikan lebih penting dari fakta atau data pendidikan. Pengenalan diri lebih penting dari ilmu pengetahuan yang dimiliki;
6. Kebenaran obyektif selalu dicari, tetapi kebenaran obyektif itu terletak dlm (1) koherensi gagasan/konsep dan (2) dalam memahami dan mengerti segala sesuatu dengan bantuan Ide Kebaikan (Plato) atau Allah (St. Agustinus).
3.2.5 Realisme
Realisme berasal dari kata bahasa Latin realis yang berarti sungguh-sungguh, nyata, benar.
Menurut Realisme, obyek persepsi inderawi dan pengertian sungguh-sungguh ada. Obyek itu dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari. Tokoh-tokohnya adalah Th. Aquinas, Descartes, Baruch Spinoza, John Locke, J. Rousseau, Th. Hobbes, Alfref North Whitehead, Adler.
Menurut aliran Realisme, realitas paling mendasar dan nyata tidak tergantung dari konsep akal budi atau pikiran manusia, tetapi dapat diketahui oleh budi manusia. Bagi Descartes, ide atau pikiran dan materi adalah ciptaan Allah yang adalah substansi (ada dari dirinya sendiri dan keberadaannya tidak tergantung dari sesuatu yang lain). Bagi Spinoza, akal budi dan materi adalah aspek-aspek dari Allah yang adalah substansi. Bagi Whitehead, budi dan materi adalah kedua aspek dari proses. Dalam proses itu, Allah menjadikan pikiran dan materi itu menjadi konkret.
Berkaitan dengan pendidikan, menurut Realisme tujuan aktivitas pendidikan adalah transmisi atau pengalihan atau penerusan dari :
1. kebenaran-kebenaran universal yang tidak tergantung dari budi. Di sini pengetahuan intelektual sangat ditekankan;
2. pengetahuan tentang Allah dan pengetahuan ttg manusia dan dunia ciptaan lain;
3. nilai-nilai kultural yang luhur.
Karena itu, pendidikan harus membuat orang sadar akan dunia nyata termasuk berbagai nilai dan kemungkinan hidup. Kebenaran adalah sesuatu yang obyektif dan dapat ditemui oleh manusia. Manusia yang rasional adalah penemu kebenaran obyektif.
3.2.6. Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata bahasa Yunani pragmatikos (Latin : pragmaticus). Arti pragmatikos adalah cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, perkara negara dan dagang. Bahasa Inggris pragmatic berarti berkaitan dengan hal-hal praktis. Pragmatisme adalah pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoretis/ideal. Berhubungan dengan tindakan, bukan abstraksi. Menurut Pragmatisme, pengetahuan dicari bukan sekedar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk mengerti masyarakat dan dunia. Pragmatisme sudah ada sejak zaman Pytagoras. Tokoh utamanya adalah John Dewey dan Brameld.
Berkaitan dengan pendidikan, ada beberapa pandangan yang diberikan oleh Pragmatisme, yaitu :
1. Realitas paling mendasar adalah proses pengalaman pada umumnya. Subyek (budi manusia) dan obyek (materi) dibedakan;
2. Tujuan pendidikan adalah:
a. mengorganisasikan dan merekonstruksi berbagai pengalaman sebagai proses adaptasi pada hidup atau tujuan akhir pendidikan adalah memiliki pengetahuan;
b. memajukan dan menumbuhkan suatu kehidupan yang sukses dan significan;
c. memenuhi proses transformasi sosial yang dibutuhkan;
3. Pengetahuan bersifat relatif dan instrumental.
4. Pendidikan berkaitan dengan kemampuan memecahkan masalah (solving problem) berdasarkan pengalaman;
5. Kebenaran adalah sesuatu yang dilakukan dan berfungsi untuk menjalankan nilai tertentu. Nilai itu diwujudkan dan dilaksanakan.
Brameld kemudian mengembangkan aliran ini menjadi Rekonstruksionisme. Menurutnya, pendidikan mempunyai beberapa cirri, yaitu :
1. Esensialis. Pendidikan dilihat sbg jalan untuk mentransfer nilai-nilai esensial dalam kebudayaan (sama dengan idealisme dan realisme);
2. Perennialis. Pendidikan adalah proses transmisi kebenaran-kebenaran universal secara berkelanjutan tanpa henti;
3. Progresif. Pendidikan dilihat sbg proses memecahkan masalah secara metodologis;
4. Rekonstruksionis. Pendidikan dilihat sebagai sumber dan implementasi rekonstruksi tujuan-tujuan sosial dalam masyarakat. Karena itu, sangat ditekankan metode dan tujuan pendidikan.
3.2.7. Eksistensialisme
Eksistensialisme[26] adalah aliran pemikiran filsafat yang timbul setelah Perang Dunia yang serentak merupakan reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Eksistensialisme juga merupakan reaksi terhadap idealisme.
Menurut Eksistensialisme, manusia adalah eksistensi. Eksistensi berarti cara berada manusia yang khas di dunia. Tokoh-tokohnya adalah Kierkegaard, Nietsche, Sartre, Heidegger, Jaspers, Merleau Ponty, Gabriel Marcel, Martin Buber.
Berkaitan dengan pendidikan, Eksistensialisme mengemukakan beberapa pandangannya, yaitu :
1. Pendidikan adalah suatu realitas dasar di mana perspektif atau tujuannya dipilih oleh manusia;
2. Dunia dalam arti sesungguhnya adalah sesuatu yang netral, tak bermakna, sia-sia (absurd). Dunia akan menjadi arti ketika manusia memberinya arti untuk kepentingannya;
3. Eksistensi manusia itu khas dan unik;
4. Tujuan Pendidikan adalah :
a. menjadikan hidup manusia bermakna dan penuh tanggung jawab;
b. mendorong manusia agar bertindak bebas;
c. membantu manusia agar terbuka pada keasliannya sebagai manusia/menjadi dirinya sendiri;
d. membantu manusia mengalami kebenaran tentang dirinya sendiri;
e. mencapai makna diri lewat aktivitas, bukan lewat refleksi intelektual;
f. memajukan proses humanisasi dan hominisasi;
5. Kebenaran itu diciptakan dan bukan ditemukan;
6. Pendidik harus mendorong peserta didik agar yakin dan komit pada apa yang dianggapnya benar;
7. Masalah-masalah hidup manusia lebih penting dari pengetahuan tentang sikap-sikap manusia.
3.2.8. Marxisme
Marxisme adalah suatu kumpulan ajaran yang menjadi dasar sosialisme dan komunisme pada abad ke-19 dan ke-20. Perumusnya adalah Karl Marx dan Friedrich Engels. Tujuan utama marxisme adalah menghapuskan kapitalisme yang sangat merugikan kaum proletar. Marxisme mengemukakan prinsip-prindip pendidikan, yaitu
1. Realitas paling mendasar adalah proses perubahan alam dan kultur yang bersifat dinamis. Dalam proses ini, pikiran adalah ungkapan kesadaran kelas atau kelompok masyarakat;
2. Tujuan pendidikan adalah membuka peluang bagi peserta didik untuk bertindak dan berpartisipasi dalam perubahan sosial dan kultural yang tak terelak dalam mencapai masyarakat ideal tanpa kelas;
3. Kebenaran bersifat relatif dalam kaitan dengan kebutuhan-kebutuhan revolusi. Kebenaran adalah produk atau hasil dari kesadaran sosial dan tak terikat oleh waktu;
4. Sosialisme dan kemudian komunisme adalah cita-cita yang harus dicapai oleh pendidikan.
BAGIAN II
FILSAFAT PENDIDIKAN SISTEMATIS
BAB IV
SOSIALITAS MANUSIA
4.1. Sosialitas Manusia pada Umumnya
4.1.1. Arti Umum
Sosialitas memiliki beberapa arti. Pada umumnya, ada 4 arti sosialitas yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Setiap manusia adalah aku, pribadi dan subjek yang sadar. Ini merupakan fakata mutlak dan kenyataan dasar yang tidak tersangkalkan. Sebagai pribadi setiap manusia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tertentu dan khusus;
b. Utuh dan tak terbagi;
c. Otonom dan unik.
2. Aku selalu menyadari diri dalam hubungan dengan orang lain dan dengan dunia infra human (benda-benda inorganik, tumbuh-tumbuhan dan hewan), menurut semua aspek. Misalnya: guru dan murid, tukang ojek dan penumpang. Aku ditentukan oleh orang lain: nama dan fungsi. Yang lain memberikan tempat dan peranan. Saya menjadi aku yang konkret ini, sejauh saya mengakui keberadaan yang lain dan sejauh mereka mengakui saya. Aku menentukan mereka pula. Semua saua beri nama; misalnya: air, hutan, seorang petani, nelayan, mahasiswa mempunyai dunia lain. Orang lain tergantung padaku, merek saya tentukan. Duniaku adalah seperti saya artikan. Penilaianku terhadap orang lain menampakkan diriku;
3. Otonomi dan ko-relasiku (hubungan timbal balik dengan yang lain) saling menentukan. Ada kesesuaian mutlak antara kesadaranku akan diri dan pengakuanku akan yang lain dan pengakuan mereka akan aku sejauh saya terima. Otonomi dan korelasi saling menentukan. Aku ada, sejauh aku berperan dan berfungsi di antara yang lain. Aku hanya mempunyai identitas dalam relasi dengan yang lain. Tetapi aku baru berhubungan sejauh ’aku’ ini ’ada’. Bukan soal memilih, misalnya antara watak atau lingkungan. Sosialitas ini bukan kekurangan atau kelemahan, yang hanya membantu saja. Adaikata begitu, maka sosialitas akan berkurang, sejauh aku ini otonom. Tetapi semakin otonom, semakin pula aku berkorelasi;
4. Maka kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain (juga kepentingan bersama) tidak saling bertentangan. Yang baik atau yang buruk bagi kita bersama, adalah baik dan buruk bagi aku pribadi dan sebaliknya. Demikian ditemukan suatu norma dosa. Cinta akan diri sendiri pada dasarnya sejajar dengan cinta akan orang lain; dan sebaliknya. Korban nyata itu bukan kerugian bagi diriku, dan kebahagiaanku bukan kerugian bagi orang lain. Dosa paling fundamental ialah iri hati (ingin agar orang lain tidak memiliki.....tidak berhasil dalam usaha).
4.1.2. Lingkaran dan Gradasi
Manusia memiliki hubungan dengan yang lain. Dalam hubungan dengan yang lain, dibedakan macam-macam bidang lingkaran dan gradasi.
4.1.2.1.Hubungan dengan Manusia Lain
Dalam hubungannya dengan manusia lain, ada beberapa hal yang perlu ditekankan, yaitu :
1. Ada bidang dan kesatuan hidup tertentu: kebudayaan dan bangsa, keluarga, negara sebagai kelompok sosial politik, kelompok agama atau ideologi. Ada antar-aksi besar antara semua kelompok tersebut;
2. Hubungan dengan orang lain mempunyai intensitas yang berbeda-beda, yakni:
a. Hubungan yang ekonomis, pragmatis, utilitaristis: hubungan fungsional, seperti perdagangan;
b. Hubungan personal. Hubungan dalam keluarga, dengan sahabat. Tetapi taraf-taraf itu tidak dapat saling lepas karena saling membutuhkan.
4.1.2.2.Hubungan dengan Dunia Infra Human
Berbeda dengan hubungan dengan manusia lain, sebab hewan, pohon dan batu bertaraf lebih rendah daripada manusia. Manusia dan makhluk-makhluk infra human bertumbuh bersama-sama. Makhluk-makhluk infra human menjadi dasar dan landasan bagi kehidupan dan perkembangan pada taraf human.
4.1.2.3.Integrasi Harmonis
Kesadaran akan adaku sebagai pribadi hanya dapat terbentuk harmonis, jikalau manusia mengintegrasikan secara harmonis lingkaran dan gradasi yang terdapat dalam relasinya dengan yang lain ini merupakan suatu norma etis.
4.1.3. Komunikasi dan Partisipasi
4.1.3.1.Sebagai Kegiatan Umum
Dalam hubungan satu dengan yang lain, manusia saling mengadakan. Manusia tidak hanya mengembangkan dirinya secara imanen, tetapi juga secara transenden mengembangkan orang lain. Dalam hubungan dengan itu, ia memberikan dirinya sendiri kepada yang lain, namun tanpa kehilangan dirinya. Dan pemberian diri itu diterima oleh yang lain, namun menurut gayanya pribadi dan tanpa merasa terpaksa. Tetapi sebaliknya iapun memberikan dirinya sendiri kepada orang pertama, dan ditampung olehnya pula.
Dalam komunikasi diri itu, kedua belah pihak masing-masing aktif dan pasif. Masing-masing hanya dapat memberi seukuran dengan menerima dan hanya menerima sejajar dengan memberi. Dengan demikian, terjadilah kesatuan benar (entah dalam kebahagian, entah dalam kemalangan), tanpa membahayakan otonomi masing-masing. Malahan semakin bersatu, semakin berbeda pula. Semakin berbeda, semakin mereka bersatu.
4.1.3.2.Komunikasi dengan Dunia Infra Human
Dengan dunia infra human manusia juga berkomunikasi, saling mengadakan. Dalam komunikasi, manusia mendunia. Dunia infra human membentuk manusia, dan manusia memanusiakan dunianya. Mereka bersatu. Hubungan itu terwujud secara menyolok dalam (ilmu) pengetahuan.
Manusia hanya dapat semakin menjadi manusia, kalau pengertian tentang dunia infra human ikut dikembangkan menjadi pertanian, teknik, dan transportasi serta komunikasi. Tetapi pengetahuan itu baru nyata, kalau berciri efektif. Manusia menghidupkan dunia infra human dalam karyanya; menerimanya sebagai patner kecil: makanan, alat, kebun, kerbau. Ia memberikan arti dan menghargai mereka menurut kekhususannya. Ia menerima pula bahwa mereka mengadakan dia, memberi tempat kepadanya dan memperkaya dia.
4.1.3.3.Beberapa Sifat Komunikasi
Komunikasi timbal balik itu mempunyai beberapa ciri. Ciri-ciri komunikasi adalah sebagai berikut:
1. Sasaran. Komunikasi sejati selalu bertujuan pemanusiaan. Dalam hubungan mana saja selalu manusia mau memanusiakan diri dan yang lain dan memanusiakan dunia;
2. Satu dan berbeda. Dalam setiap hubungan manusia menyatukan diri dengan yang lain. Dan sejajar dengan itu ia juga membedakan diri, dan menyendirikan yang lain;
3. Objektif dan subjektif. Manusia mengartikan dan menilai yang lain menurut adanya yang lain itu, yang berbeda dari aku. Aku bergerak menuju keberlainannya. Tetapi juga ia hanya diartikan dan dinilai menurut keterlibatanku, atau sejauh berarti dan bernilai bagiku;
4. Singular-universal. Yang lain dinilai menurut keunikan dan kekhususannya. Tetapi yang lain itu sekaligus dialami dalam seluruh komunikasinya dengan lingkungannya sebagai titik fokus dari seluruh dunianya. Dengan demikian, yang singular itu mendapat status unibersal pula.
4.1.3.4.Komunikasi Antar Subjektivitas
Komunikasi tersebut harus dihayati menurut harmoni yang maksimal, dengan semua orang dan seluruh dunia infra human. Interpretasi pada filsuf berbeda-beda: J.P. Sartre mengatakan bahwa orang lain merupakan sumber dosa dan neraka bagiku; hanya dalam hubungan dengan dunia infra human aku tidak terancam dalam otonomi. Sementara Emmanueil Levinas mengatakan bahwa orang lain menuntut pelayananku sebagai keadilan; wajahnya mendorong saya meninggalkan duniaku yang tertutup dan aman. Selanjutnya G. Marcel dan M. Buber mengatakan bahwa hanya dengan keluar dari diri dan terbuka terhadap engkau saya dapat menjadi aku.
4.1.4. Kebebasan
4.1.4.1.Pengertian Yang Salah
Kebebasan digambarkan sebagai lepas dari pengaruh yang lain, dari nasihat, peraturan, norma moral, semua ketentuan dan juga kebebasan orang lain, membatasi cita-cita itu. De facto, orang semakin jauh dari kebebasan itu. Dan secara prinsipil, jikalau ia mau mencapai cita-cita itu, ia harus menolak segala respons terhadap manusia lain dan dunia infra human, dan tidak boleh berbuat apa-apa. Kebebasan itulah yang disebut kekosongan.
4.1.4.2.Unsur-unsur Kebebasan Sejati
Kebebasan memiliki beberapa unsur. Secara umum, ada 5 unsur kebebasan sejati, yaitu :
1. Mengambil sikap. Kebebasan adalah penghayatan diri yang otonom. Itu hanya mungkin dalam mengambil sikap terhadap yang lain (entah menerima atau menolak). Hanya dalam pertemuan, identitas seseorang jadi jelas. Kebebasan berarti bertanggung jawab terhadap yang lain;
2. Konfrontasi. Pengaruh, situasi, tuntutan, peraturan tidak merupakan ancaman bagi kebebasan, tetapi sarana dan kondisi yang menunjang perkembangan. Kebebasan orang lain bukan merupakan ancaman bagiku, melainkan syarat mutlak bagi otonomiku. Kebebasan orang lain melengkapi kebebasanku. Kebebasan adalah keterlibatan;
3. Bukan paksaan struktural. Tidak semua pengaruh, peraturan, atau larangan merupakan paksaan. Pengaruh dapat menjadi paksaan struktural, jikalau menghampiri orang bukan secara utuh, misalnya paksaan fisik (dipenjara), paksaan biotis (dibius), paksaan psikis (hipnosis), paksaan moril (mengancam keselamatan saudaraku). Dengan jalan demikian, diharap memaksa pengambilan posisi personal. Orang dipaksa untuk mengambil keputusan yang bertentangan dengan kehendak bebasnya.
4.2. Sosialitas Manusia dan Pendidikan Pada Umumnya
4.2.1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan berkaitan dengan hubungan antara orang dewasa dengan orang yang belum dewasa (anak), yaitu pengaruh yang mau mengarahkan anak menuju kedewasaan. Pada hakikatnya, pendidikan adalah humanisasi, menolong anak untuk menjalankan hidupnya sebagai manusia. Mendidik ialah memanusiakan manusia muda, memimpin pertumbuhan sampai dapat bersikap sendiri, bertanggung jawab dan berbuat sendiri.
4.2.2. Arah Inti Pendidikan: Sosialitas
Anak harus dibimbing menuju harmoni yang seoptimal mungkin dari struktur otonomi-korelasi. Hal-hal penting yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut.
4.2.2.1.Otonomi-Korelasi
Anak dididik agar menyadari bahwa otonominya hanya tumbuh dalam korelasi, dan korelasi hanya dapat dijalankan berdasarkan otonomi. Kedua unsur ini harus diharmonikan, sehingga anak tidak mengalami pertentangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Harus dipupuk kesatuan antara kepribadian dan keanggotaan, dengan dihindari dua penyelewengan ekstrim, yaitu :
1. Individualisme. Sikap yang menekankan kepentingan pribadi yang terisolasi. Ini disebabkan karena semua keinginan anak dituruti, anak dimanjakan. Untuk mencegahnya anak harus dididik untuk memiliki kepekaan sosial dan rasa tanggung jawab;
2. Kolektivisme. Sikap yang terlalu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan.
4.2.2.2.Integrasi dalam Lingkungan
Anak harus dididik menncapai integrasi dalam kelompok dan lingkungan, sebab hanya dengan demikian ia mencapai otonominya. Bidang-bidang khusus yang menentukan integrasi adalah:
1. Kebudayaan. Konteks pendidikan yang utama tidak boleh bersifat terlalu sempit, terlalu pragmatis, tetapi harus lebih integral. Integrasi ke dalam kebudayaan dapat berupa:
a. Inkulturasi, yakni pemasukan anak ke dalam suatu kebudayaan dan pemasukan kebudayaan dalam diri anak. Anak diantar mengintegrasikan kebudayaan bangsanya, adat-istiadat, kesenian, bahasa, segala arti dan nilai, religiositas. Hal itu mutlak perlu agar anak mendapat identitas. Dan anak harus memberi sumbangan pribadinya. Hal itu mutlak perlu bagi kebudayaan;
b. Alkulturasi. Komunikasi antar kebudayaan-kebudayaan dan bangsa-bangsa lain. Sebab kebudayaan-kebudayaan lain juga menghayati nilai kemanusiaan.
2. Negara. Dari satu pihak, integrasi dalam negara sebagai kesatuan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan tidak boleh menguasai pendidikan. Itu akan mengarah kepada statosentrisme. Nilai kemanusiaan yang disatukan dalam negara hanya merupakan bagian saja. Mengabdikan anak seluruh kepada negara dan kebutuhannya (politik) itu merupakan tendensi totalitaristik. Dari pihak lain, sudut pragmatis harus ada pula. Anak harus belajar memberikan sumbangan bagi kehidupan negara.
3. Bidang-bidang lain. Juga aspek lain dalam anak hanya dapat dikembangkan sejauh berintegrasi; agama tau ideologi, bidang ekonomis, olah raga, dan sebagainya.
4.2.2.3.Komunikasi Hidup
Komunikasi hidup dibedakan atas dua jenis, yaitu:
1. Komunikasi antar manusia. Anak dididik melihat dunia insani sebagai dunia bersama, dan dirinya sebagai ada bersama. Segala hal menunjukkan kebersamaan; jalan, bahasa, alat. Harus diusahakan komunikasi yang harmonis; saling memahami, mencintai, saling melayani dalam keadilan;
2. Komunikasi dengan dunia infra human. Anak harus dididik untuk mengenal dan menghargai makhluk-makhluk hidup lain dalam alam yang lain. Ia mempunyai tugas untuk melestarikan lingkungannya dan menerima sendiri tempatnya dalam dunia makhluk itu. Ia harus merasa diri ’at home’ dengan tehnik, dengan flora dan fauna. Ia harus mengetahui jalan-jalan, desa dan daerah.
4.2.2.4.Penggunaan Kebebasan
Anak didik menjadi orang bebas, yaitu orang yang dapat bertanggung jawab, mengambil posisi pribadi. Di sini diperhatikan dua hal, yaitu:
1. Sikap berani. Sikap ini dimaksudkan agar anak tidak boleh bingung menghadapi tugas, tidak mudah merasa diri dikuasai oleh situasi, diintimidasi oleh orang lain; tidak mudah dipaksa agar bersikap pasrah saja. Ia harus perlahan-lahan berani dan tegas dalam mengambil keputusan, dalam penilaian dan tindakan. Dalam otonomi ia berani menerima tanggung jawab; bukan tinggal menerima saja tanpa sikap kritis
2. Perlunya tantangan. Untuk mencapai sikap yang berani itu, anak tidak boleh ’dibebaskan’, diserahkan kepada kerelaan sendiri, kecuali dalam hal-hal yang kurang penting. Pendidikan harus menghadapkan anak dengan keyakinan jelas, dengan arti dan nilai tegas. Hanya dengan demikian anak sendiri dapat mencapai keyakinan dan sikap tegas, dan menjelaskan alasan mengapa orang menerima atau menolak hal tertentu. Pengarahan ’non directive’ hanya berlaku bagi situasi tertentu; dan itupun terutama bersifat terapeutis.
Sedapat mungkin makin lama makin dijauhi sikap yang memaksa. Dalam hal tertentu anak harus diberi kemungkinan untuk berbuat kesalahan pula. Tetapi dalam arti ini pendidikan harus memperlihatkan bahwa ia terlibat secara pribadi; ia perlu mengajukan tuntutan; memperlihatkan emosi pribadi (marah, kecewa, senang), memberikan perintah dan peraturan. Ia tidak perlu takut menghukum dan menurut pertanggungjawaban pribadi dari anak, yaitu dengan menjelaskan dan memberikan alasan atas perbuatannya. Tanpa tantangan itu anak tetap ragu-ragu, tidak mampu melibatkan diri, kurang mencapai keyakinan pribadi.
4.2.3. Sosialitas Proses Pendidikan
4.2.3.1.Secara Umum
Proses pendidikan harus berlangsung dalam sosialitas. Arah dan harmoni tersebut di atas harus dilatih dalam hubungan antara pendidik dan anak. Otnomi, keunikan dan kebebasan anak harus dicermati.anak harus diberi fungsi dan peranan terhadap yang lain. Seluruh proses pendidikan perlu diresapi undur seperti: otonomi -korelasi, lingkaran, komunikasi, dan kebebasan.
4.2.3.2.Pendidik Utama
Di dalam proses pendidikan terdapat beberapa pendidik utama. Pendidik utama yang dimaksud adalah :
1. Orang tua. Suasana sosialitas total personal terutama diwujudkan dalam keluarga; dalam lingkungan ini perlu terjamin suasana cinta dan keterlibatan total. Hanya dalam hubungan total-personal demikian, anak mampu berkembangan dalam otonomi – korelasi secara harmonis. Maka yang pertama-tama berhak dan wajib mendidik anak adalah orang tua. Pendidikan menjadi pribadi itu merupakan kelangsungan propagasi fisik. Orang paling terlibat, sebab anak merupakan kesatuan dan kontinuitas dari hidup mereka.
2. Peranan negara. Objek formal kegiatan negara adalah keteraturan dan ketertiban hidup bersama menurut segi-segi pragmatis-praktis: Sos-pol-ek. Dengan hukum-hukumnya negara menentukan suatu batas minimal bagi hak dan kewajiban segala warga negara, sejauh itu perlu untuk memungkinkan hidup bersama itu. Pengaturan itu tidak boleh bersifat totalitaristik: harus tetap memperhatikan prinsip subsidiaritas dan pluriformitas yang wajar.
Mengenai segi-segi lebih pribadi dan prinsipiil, negara bertugas mengawasi agar terjaminlah hak-hak azasi, baik bagi orang tua maupun bagi anak. Negara harus mengakui, melindungi dan membantu pelaksanaan hak dan kewajiban orang tua. Bukan bersifat laissez faire, laissez aller, membiarkan segala sesuatu berlangsung apa adanya.
Terutama dalam hal pendidikan harus dihindari statosentrisme. Sebab negara menurut hakikatnya terutama menekankan segi pragmatis, politis, dan eknomis belaka. Itu hanya salah satu bagian dari hidup manusia.
4.2.3.3.Kualifikasi Pendidik
Pendidik harus memiliki kematangan pribadi, bukan saja struktural, melainkan juga etis. Ia harus telah menyadari kesimbangan dan harmoni dari otonomi-korelasi. Terutama dalam hubungan dengan anak ia harus sanggup hidup menurut pola itu, dan mengusahakan otonomi korelasi anak yang setinggi-tingginya.
4.3. Sosialitas Manusia dan Pendidikan di Sekolah
4.3.1. Pendidikan di Sekolah
4.3.1.1.Kedudukan Sekolah
Pengertian pada umumnya penting untuk menjadi manusia dan untuk mendunia, dan perlu bagi kemajuan. Pengertian spontan tidak cukup untuk menghadapi kemajuan. Pengertian spontan harus dikembangkan dengan pengajaran yang sistematis dan metodis. Anak memerlukan pengajaran agar dapat mengerti kemanusiaannya, masyarakat, sejarah, bahasanya. Diperlukan pengetahuan sistematis metodis. Itu diberikan di sekolah. Sekolah hanya meliputi sebagian dari pendidikan. Tujuannya yang pokok hanya beberapa segi, yaitu pengertian dan keterampilan.
Sekolah harus diberi tempat dalam lingkup pendidikan. Proses belajar di sekolah harus terarah pada memanusiakan anak sesuai dengan hakekatnya. Mata pelajaran-mata pelajaran (kurikulum) harus bersifat mendidik ke arah itu pula.
4.3.1.2.Fungsi Edukatif dalam Mata Pelajaran
Pengajaran harus berlangsung secara seimbang. Macam-macam mata pelajaran harus melatih anak supaya mempunyai cara memandang dari macam-macam segi, selengkap mungkin. Fungsi edukatif dalam suatu mata pelajaran menyangkut akibat mata pelajaran tertentu pada tabiat anak, dan pengaruhnya pada pertumbuhan anak. Fungsi edukatif mencari tujuan mata pelajaran. Tujuan itu dapat dipandang secara kurang fundamental. Misalnya, menggambar dapat bermaksud mengajar menggambar, memenuhi dorongan estetika, atau melatih membuat bentuk. Pada filsafat pendidikan dicari fungsi paling fundamental ialah fungsi humanisasi.
4.3.1.3.Hubungan Pengertian dan Keterampilan
Pengajaran tidak boleh dipisahkan dari hidup sehari-hari. Anak dididik agar berintegrasi dengan masyarakatnya. Ia harus ikut serta menyelenggarakan masyarakatnya. Jadi ia harus bertumbuh dalam keadaan dan dari keadaan yang dialaminya. Bacaan, pelajaran, peraga-peraga harus mencerminkan masyarkatnya, dan membawa anak kembali kepadanya. Maka pelajaran perlu dihubungkan dengan latihan, untuk memperoleh keterampilan dalam bidang-bidang yang bersifat praktis. Harus terjadi dalam konteks kegiatan : pattern of behaviour: pola tingkah laku. Misalnya; pertama, penyelidikan dan observasi sederhana, dengan memberikan laporan. Kedua, ekskursi. Dengan penglihatan yang dipimpin dan diarahkan. Fungsi praktis ini terutama ditekankan dalam sekolah kejuruan dan sekolah pembangunan.
4.3.1.4.Kurikulum dan Sosialitas Anak
Tujuan fundamental bagi kurikulum ialah otonomi dan korelasi anak. Anak dapat mencapai otonomi dewasa dalam hubungan dengan manusia dan dengan dunia infra human (dan sebaliknya). Segi sosial dari hubungan itu termuat pada segala macam mata pelajaran (misalnya sejarah, bahasa dan kebudayaan). Tetapi ada kelompok mata pelajaran yang secara khusus mengajar hal itu. Disebut tiga kelompok : Mata pelajaran sosial (Mit-sein), mata pelajaran ”tengah”, dan mata pelajaran eksakta (Mit-welt).
4.3.1.5.Mata Pelajaran Sosial
4.3.1.5.1. Sifatnya
Mata pelajaran ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, tata negara, hukum. Langsung mempelajari kebersamaan manusia dan perbuatan manusia lain.
4.3.1.5.2. Fungsi Edukatif
Mata pelajaran sosial memiliki beberapa fungsi. Mata pelajaran ilmu-ilmu sosial bertujuan:
1. Membantu anak untuk menghayati dunia dan masyarkatnya menurut struktur otonomi-korelasi;
2. Melatih anak untuk melihat dunia insani sebagai dunia bersama, dan dirinya sendiri sebagai berada bersama. Dipelajari stuktur, prinsip-prinsip yang sehat bagi hidup bersama, penghayatan hidup bersama yang harmonis, dan penghayatan yang menyeleweng dan merusak. Dengan contoh-contoh yang konkret diperlihatkan keharusan saling mencintai, saling membantu, gotong royong dan bertindak adil;
3. Membantu anak mencapai pengertian yang lebih lengkap dan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hidup bersama sehingga anak didik menjadi manusia yang bertanggung jawab dan rela terlibat.
4.3.1.6.Mata Pelajaran ”Tengah”
Ada mata pelajaran yang tidak mempelajari hubungan antar-manusia secara langsung, tetapi hubungan manusia sebagai kelompok dengan dunia infra human. Misalnya, ilmu bumi sosial. Ilmu bumi pada umumnya menguraikan lingkungan hidup manusia. Tetapi, ilmu bumi sosial membahas hubungan antara ruang hidup dan kelompok manusia yang hidup di dalamnya. Keadaan ruang hidup (gunung, rawa, sungai) mempengaruhi cara dan bentuk hidup, kemajuan, perkembangan dan peradaban. Manusia terpengaruh sebagai kelompok.
4.3.1.7.Mata Pelajaran Eksakta
4.3.1.7.1. Objek dan Metode
Pertama, kekhasan ilmu eksakta ialah abstraksi dan penggunaan bahasa simbolis. Semua dapat dipelajari dengan metode ini, dan hasilnya mengagumkan, tehnik dan mekanisasi.
Kedua, objek formal ilmu eksakta bersifat terbatas, dan metodenya sesuai dengan objek itu. Ada bahaya orang menganggap bahwa hanya metode eksakta ini sah, sebagai satu-satunya metode yang ilmiah, dan bahwa tingkah laku manusia hanya dapat dipelajari secara integral dan objektif dengan metode ini. Sikap ini disebut scietisme.
4.3.1.7.2. Fungsi Edukatif
Mata pelajaran ilmu eksakta memiliki beberapa fungsi. Pengajaran mata pelajaran ilmu eksakta bertujuan untuk:
1. Membantu anak untuk menyelami dunia infra human. Menguasai alam secara progresif, namun belum sebagai sarjana;
2. Membantu anak menjadi manusia penuh pengertian rasional tentang alam. Dengan menguasainya, ia dapat membuat hidupnya lebih manusiawi. Belum dimaksudkan pengetahuan berupa keahlian, melainkan sikap atau pendirian;sehingga anak merasa ’at home’ di dalam dunianya. Sekaligus anak belajar menghormati alam, mentaati hukum-hukumnya. Dengan demikian, ia juga harus menyelami arti dan nilai personal dari alam.
4.3.1.8.Segi Keterampilan
Segi pengajaran dilengkapi dengan aspek praktis, baik untuk menyadari kebersamaan dengan orang lain, maupun dengan dunia infra human. Anak dibimbing untuk membuka mata terhadap lingkungannya sendiri secara sadar dan refleksif. Perlu ditegaskan keterlibatan dan keaktifan untuk memperhatikan, memahami dan mengevaluasi. Di laboratorium mereka mendapat pengalaman terbatas dan terisolasi. Misalnya obyek observasi lain di kota, lain di desa. Diobservasi barang apa yang dibawa orang ke pasar dari daerah utara atau selatan. Lebih psikologis: observasi tentang cara dan reaksi orang tawar menawar di pasar atau diberi tugas menawar sendiri. Ekskursi ke kolam perikanan; berapa dalamnya, mengapa air mengalir. Sistem pengairan sawah; kekeringan.
4.3.2. Sosialitas Proses Lingkungan
4.3.2.1.Lingkungan
Pertama, sebagian dari waktu hidup anak dihabiskan di sekolah. Untuk waktu yang lama sekolah menjadi lingkungannya. Maka, proses pengajaran dan hidup di sekolah harus melatih sosialitas anak. Harus dilatih pola tingkah laku (pattern of behaviour) dan cara-cara bertindak (ways of doing). Sekolah baru adalah situasi baru yang harus diselami anak. Disiplin di kelas merupakan cara untuk mengatur cara bertingkah laku dalam hidup bersama yang baru.
Kedua, anak menemukan otonomi dan korelasinya pada bidang moral dan pribadi di sekolah. Karena itu di sekolah anak harus dilatih dalam hal kejujuran, kerjasama, persahabatan, kepemimpinan, keberanian dan dibina dengan hukuman dan ganjaran. Terutama juga kebebasan dan tanggung jawab. Ia harus dihadapkan dengan tawaran, tantangan, tuntutan dan keyakinan; dipengaruhi dan dibimbing. Di sekolah anak belajar mengorganisasi hidup bersama: demokrasi praksis, gotong royong, ekonomi dan perdagangan.
Ketiga, dalam mata pelajaran ia sendiri belajar membaca, menulis, mengukur. Pada laboratorium ia belajar bergaul dengan dunia infra human. Di pekarangan sekolah diadakan pertanian, peternakan, perikanan, kebersihan.
Keempat, pendidikan di sekolah harus dilandasi suasana sosialitas dan komunikasi.
4.3.2.2.Pengajar Utama
4.3.2.2.1. Guru
Penanggung jawab utama bagi pengajaran dan tempatnya dalam pendidikan adalah orang tua, karena mereka membuat anak berintegrasi dengan masyarakat. Namun untuk pengajaran teratur, dibutuhkan keahlian khusus. Maka, guru menjadi wakil orang tua, dan sedapat mungkin orang tua tetap ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam bidang pengajaran. Tetapi guru juga mempunyai tanggung jawab sendiri, dengan keterlibatan dan keyakinan pribadi. Ia bukanlah alat, melainkan partner yang terpercaya, dengan inisiatif pribadi. Tetapi ia tetap harus mengakui hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya.
4.3.2.2.2. Negara
Oleh karena sifat personal dalam pengajaran, maka negara harus mengakui, melindungi, mendorong dan membantu pelaksanaannya di mana proses pengajaran sudah terlaksana atas inisiatif pribadi, misalnya swasta. Negara harus menghindari manipulasi sekolah dengan maksud sempit yang merugikan pribadi anak; itu sikap totaliter. Keinginan monopoli dari negara itu secara prinsipil salah. Dalam hal pribadi dan prinsipilitu, guru harus lebih memihak kepada orang tua daripada negara.
Dari lain pihak, negara berhak dan wajib mengawasi dan mengkoordinasi proses pengajaran. Negara harus menjamin pula agar dibentuk tenaga yang cakap untuk menghidupkan negara. Dalam hal ini, negara dapat menentukan syarat-syarat minimal untuk pengajaran. Negara harus menjamin agar dibedakan secara tegas macam-macam fungsi dan macam-macam tipe sekolah.
4.3.2.2.3. Kualifikasi Guru
Baik menurut aspek struktural maupun menurut segi normatif, guru harus mencapai kedewasaan otonomi-korelasi. Ia harus menguasai keahliannya sebagai pengajar, dan terutama menyadari dan melaksanakan segi sosialitas di dalamnya.
BAB V
HISTORISITAS MANUSIA
5.1. Historisitas Manusia pada Umumnya
5.1.1. Dinamika Waktu
5.1.1.1. Struktur Statis
Waktu yang merupakan dasar untuk historisitas (kesejarahan) manusia terdiri dari tiga dimensi, yaitu masa sekarang, masa lampau dan masa depan.
Pertama, satu-satunya dimensi waktu yang real hanyalah sekarang. Sekarang adalah batas antara masa lampau dan masa depan. Tetapi sekarang tidak kosong dan umum saja karena saat sekarang berisi aku, jadi sangat tertentu dan sangat pribadi.
Kedua, saat sekarang ini seluruh isinya saya alami sebagai hasil warisan masa lampau: bahasaku, tingkah laku, kebudayaanku. Saya seakan-akan terlemparkan dalam masa sekarang. Masa lampauku hanya riil sejauh termuat pada sekarangku.
Ketiga, sekarangku tidak tertutup atau tidak ’fixed’, melainkan terbuka ke masa depan yang merupakan suatu proyek. Sekarangku adalah janji, ramalan, harapan, dan tugas. Masa depanku hanya real sejauh termuat pada sekarangku. Yang serba baru itu mustahil.
Keempat, ketiga dimensi waktu ini bersatu dalam sekarang. Seluruh masa lampau mengendap dalam sekarang dan seluruh masa depan mengalir dalam sekarang. Mereka saling berhubungan, dan sama padatnya. Misalnya bagi anak kecil, baik masa lampaunya (pengalaman) maupun masa depannya (proyek) masih kecil.
5.1.1.1.2. Dinamika Sekarang
Pertama, sekarangku tidak statis, tetapi bergerak, selalu berubah menjadi sekarang yang baru. Di sini dapat dibedakan beberapa aspek penting, yaitu:
1. Yang ’baru’ mengalir dari aku yang telah tertentu;
2. Aku sejauh telah jadi masuk dalam yang-baru;
3. Aku berkembang dalam yang baru;
4. Aku berkembang dalam yang baru. Dan kemudian yang baru mengendap dan melarut dalam aku yang telah dipercaya, sehingga aku siap bagi sekarang berikutnya lagi. Jadi aku secara total hadi dalam sekarang baru itu; namun kekayaanku hanya dieksplisitasikan secara terbatas.
Kedua, dalam tindakan baru masa –lampauku diolah kembali dan ditatar; jadi ikut berkembang dan diarahkan sesuai dengan tindakan itu. Tidak ada apa-apa yang hilang. Itu juga berlaku bagi dosa.
Ketiga, masa depan, yaitu proyek atau prospek, ikut berkembang. Bukan menjadi rumusan statis (blue print), melainkan ditinjau kembali. Dapat disebut, cita-citaku induk, yaitu: untuk memanusia, tetapi dikonkritkan dalam cita-cita praktis, misalnya menjadi guru, dokter, juara. Cita-citaku selalu disegarkan dan ditatar.
5.1.2. Perkembangan
5.1.2.1. Perkembangan selalu Memuncak
Pertama, manusia tetap aku yang lama dan baru, kontinu dan diskontinu, stabil dan labil, nisbi dan relatif. Aku selalu serentak merupakan rutinitas dan kreasi, tradisi dan inovasi (pembaharuan).aku hanya dapat tinggal aku yang sama karena membaharui diri. Tetapi hanya dapat menjadi aku yang baru, karena berakar pada aku yang lama.
Kedua, perkembangan struktural itu terus menerus memuncak. Tidak dapat dibalik menurun, tidak dapat merosot. Sebab semua mengendap dan yang baru bertambah. Aku menjadi makin luas dan padat. Setiap sekarang baru menemukan dasar gema yang semakin kaya. Aku seperti gunung api yang terus meninggikan kubahnya sendiri.
Ketiga, di lain pihak tidak ada jalan pintas atau loncatan. Perkembangan membutuhkan landasan dan pematangan. Perkembangan membutuhkan waktu dan tidak dapat dipaksakan (Kairos: tidak dipercepat, juga tidak diperlambat).
5.1.2.2. Diferensiasi
Perkembangan manusia berlangsung antara kelahiran dan kematian. Walaupun menurut segi-segi khusus perkembangan itu mengenal urut-urutan (makan, bergerak, bicara), namun menurut aspek-aspek hakiki, semua berkembang bersama. Tetapi perkembangan itu tidak selalu merata. Hal ini tergantung dari pada dan luasnya tindakan baru. Ada tindakan baru yang sentral, ada yang dangkal dan marginal. Misalnya kuliah, prasaran, baca roman, bermalas-malas. Waktu sendiri dirasa berjalan cepat atau pelan (misalnya waktu ujian).
5.1.2.3. Integrasi dan Desintegrasi
Perkembangan bukan saja merupakan pembesaran linear, melainkan integrasi atau sintesis segala endapan. Pada waktu tertentu sintesis lama terlalu sempit untuk menampung pengalaman baru. Harus terjadi desintegrasi, untuk memungkinkan sintesis lebih luas. Seperti seekor ular mengelupas kulitnya. Desintegrasi itu merupakan krisis, misalnya pubertas; tetapi terjadinya krisis itu normal.
5.1.2.4. Konsistensi
Historisitas tidak berarti bahwa manusia selalu hanya berubah-ubah. Manusia berkembang dengan arah tertentu, yaitu menuju kemanusiaan. Menurut arti struktural ia makin menjadi manusia, makin menjadi aku. Dalam arah kodrat yang diambil ada konsistensi pula, walaupun juga mungkin bahwa toh terjadi perombakan. Tindakan-tindakan baru mengendap dalam aku, sehingga ada kecenderungan untuk melanjutkan arah yang telah diambil. Kalau orang toh membanting stir, pengarahan yang Cuma marginal lebih mudah dibalik (mis. Tukan kebun), dari pada arah yang sentral, misalnya menjadi guru.
5.1.2.5. Arah: Otonomi dan Korelasi
Dinamika dan arah ini pertama-tama berarti bahwa orang makin menjadi otonom sambil makin berkorelasi (entah secara harmonis, entah dengan menyeleweng). Secara konkret integrasi dalam pelbagai lingkungan dan kelompok terus-menerus mengalami perkembangan, peralihan dan keterarahan itu; terutama integrasi dalam keluarga dan bangsa, tetapi juga dalam kelompok agama, sekolah, dunia ekonomi, dan dunia teknis.
Pertemuan dengan kebudayaan lain menggoncangkan integrasi yang telah tercapai. Misalnya, dalam adat-istiadat, kepemimpinan, ekonomi. Integrasi lama ditinggalkan. Banyak hal baru belum menjadi sikap pribadi. Masing-masing anggota bangsa main peranannya dalam pencarian integrasi baru.
5.1.2.6. Perkembangan Komunikasi
Pertama, manusia makin saling mengadakan dalam kegiatan timbal balik dalam pengartian dan dalam penilaian. Self centeredness dan other centeredness berkembang secara sejajar, walaupun mungkin dalam pertentangan. Pengertian itu bukan saja hafalan. Pemahaman akan masyarakat dan alam menjadi kebijaksanaan atau kebandelan. Penilaian terhadap orang dan dunia sekitar bersifat setia (kalau bercinta) atau menjadi ketegangan hati (kalau benci).
Kedua, pada komunikasi dan partisipasi yang sadar ini tampaklah segi masa lampau dan masa depan, yakni berupa:
1. Ingatan ialah pengolahan dan penataran masa lampau dalam pergaulanku sekarang;
2. Imaginasi adalah antisipasi dan persiapan masa depan yang terjadi dalam pertemuan baru. Mereka bersama menjadi kebiasaan dan pengarahan pada setiap kegiatan sadar yang baru.
5.1.3. Kebebasan dan Perkembangan
5.1.3.1. Pemahaman Tradisional
Menurut pendapat spontan, pengaruh dari masa lampau bertentangan dengan kebebasan, misalnya pengaruh pendidikan, pengalaman traumatis. Pada setiap langkah orang baru bebas, lalu ia lepas dari masa lampau, bebas dari konsekuensi, dan dapat menghadapi mada depan dengan serba segar dan baru. Cita-citanya ialah kreativitas murni. Orang setiap saat dapat memilih lain sekali (teman, rumah, karya), lepas dari segala rutinitas dan kebebasan.
Beberapa penilaian: Pertama, kebebasan itu merupakan sikap plin-plan. Orang tidak mempunyai arah dalam hidup. Kedua, orang makin jauh dari cita-cita itu; anak masih paling dekat. Menurut pandangan itu orang itu hanya bebas sebelum memilih; tetapi setiap pilihan menyempitkan bidang gerak; masuk teropong. ”sudah tidak bebas”. Ketiga, untuk mencapai cita-cita itu sebaiknya orang jangan pilih apa-apa. Namun itupun sudah merupakan pilihan.
5.1.3.2. Pengambilan Sikap yang Terarah
Kebebasan terjadi di dalam pengambilan sikap terhadap tawaran dan tantangan. Intisari kebebasan bukanlah kekosongan melainkan penentuan sikap. Dalam penentuan sikap ini dikembangkan pengarahan dalam hubungan dengan yang lain. Endapan masa lampau memberikan arah dan kecenderungan tertentu. Tetapi pada setiap tindakan baru, arah itu ditinjau kembali. Jadi pengambilan sikap membawa konsekuensi: pilih sekolah, kerja, atau pacar. Pengambilan sikap itu menjadi landasan bagi kepentingan berikut. Maka langkah baru dapat diramalkan. Dalam situasi baru manusia tidak serba tak tertentu. Dengan spontan ia telah bergerak ke arah tertentul seakan-akan dikenal (Aha Erlebnis) tanpa mempertimbangkan lama-lama; misalnya; pacar, profesi, dll. Dan setiap penentuan baru menjadi kunci interpretasi lagi bagi hidup selanjutnya.
5.1.3.3. Masa Lampau Bukan Ancaman
Maka pengarah masa lampau bukan ancaman. Endapan itu merupakan bagian integral dalam kebebasanku. Arah motivasi bawah-sadar yang telah dibentuk, bukan dengan sendirinya mencemarkan putusan melainkan sebaliknya menjamin kelancaran pilihan. Kebiasaan dan rutinitas melandasi kreativitas.
5.1.3.4. Kestabilan
Kebebasan yang dewasa itu bukan bersifat plin-plan dan opotunis (misalnya seorang guru bersikap lain terhadap anak bimbingan tertentu). Berdasarkan pengarahan historis, manusia bertendensi melangsungkan arah yang telah diambil. Jika diubah arahnya, dia mengalami krisis. Kebebasan yang dewasa makin stabil dalam sikap dan keterikatan pada orang dan situasi konkret, misalnya orang tua dan guru. Segala situasi baru akan dihadapi orang secara dinamis, namun dengan makin mantap dan konsekuen; ia dapat diandalkan.
5.2. Historisitas Manusia dan Pendidikan pada Umumnya.
5.2.1. Pendidikan Menuju Kedewasaan
Pendidikan dimaksudkan ssebagai pembinaan anak oleh orang dewasa, agar berkembang menuru kedewasaan. Pendidikan memperhitungkan bahwa perkembangan itu dapat diberi arah. Maka arah dasar pendidikan (utimate aims) adalah historisitas. Anaka harus dididik agar memilik kesadaran historis. Anak harus dibimbing menuju harmoni yang seoptimal mungkin dari struktur masa lampau dan masa depan, tradisi dan inovasi.
5.2.2. Dialektika Masa Lampau dan Masa Depan
Pertama, anak harus menerima warisan yang telah dibawa atau dibentuk dalam dirinya (fisik, psikis, human). Landasan ini memberikan arah. Namun ia tidak terpaku pada modal itu, melainkan harus mengembangkannya secara pribadi. Ia bukan fixed nature (saya memang begini), tetapi juga bukan serba dapat dimodifikasi. Intellingence Quotients (IQ) dapat berkembang, tetapi hanya dalam batas-batas tertentu. Anak harus memeluk tradisinya sepenuh-penuhnya, dan sekaligus berusaha sekuat tenaga untuk membaharuinya. Tidak hanya mau mempertahankan tradisi (menjadi tradisionalis), tidka hanya mau mengambil jalan revolusioner (menjadi revolusioner). Bukan berubah-ubah saja, melainkan berkembang dengan kontinu dan secara harmonis.
Kedua, di satu pihak masa lampau dapat dirubah dalam tindakan murtad atau dalam tobat, dengan memperbaiki akibat-akibat tindakannya. Di pihak lain, masa depan atau cita-cita harus realistis, berdasarkan landasan ‘sekarang’; tetapi selalu ditinjau kembali dan diarahkan lagi dan dibersihkan dari khayalan dan harapan palsu. Tidak terlalu optimistis atau pesimistis.
Ketiga, pada permulaannya anak bukanlah suatu himpunan dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu yang liar dan kacau, sehingga itu kemudian harus diatur, disiplinkan. Bukan pula suatu kekosongan yang harus diisi saja. Sejak kelahirannya anak mempunyai segala unsur manusia yang hakiki. Ia membawa serta warisan dari orang tua dan dari nenek moyang. Tetapi pembawaan itu dihayati sebagai pribadi otentik; lama dan baru. Maka keseluruhan pribadi anak, menurut semua seginya, dari semula harus dikonfrontasikan dengan tawaran, pengaruh dan tantangan. Ia harus belajar bahwa tidak dapat berhenti.perkembangan itu hanya dapat memuncak. Tetapi perkembangan itu harus bertahap dan tidak dapat meloncati fase-fase tertentu. Ia harus berusaha maksimal, dan dengan sabar menunggu kematangan landasan bagi langkah baru.
5.2.3. Diferensiasi
Pertama, anak harus menyadari pentingnya setiap tindakan khusus dalam perkembangannya. Kalau ia terlalu tegang; akan retak; kalau ia terlalu santai, akan menjadi kacau. Ia harus belajar menemukan ritme yang cocok bagi dia, dan membawa hasil optimal.
Kedua, dalam desintegrasi, anak tidak kehilangan harapan akan integrasi baru. Ia harus menghadapi krisis dengan berani dan sabar.
Ketiga, secara konkret anak harus membangun arah yang konsisten dalam relasi dengan masyarakat dan dunianya, juga visi dan suara hatinya. Dari satu pihak, anak harus dididik supaya dapat memanusia pada akhir pendidikannya, sesuai dengan situasi masyarakat pada waktu itu; kebudayaan, ekonomi, keluarga, ilmu. Dari lain pihak, anak harus dibimbing agar memanusia sekarangpun. Ia harus hidup sekarang, tetapi dengan terarah ke masa depan. Jadi sekarang pun dalam komunikasi ia harus dihadapi dan dilatih dalam arti nilai yang benar-benar manusiawi. Tidak hanya asal dilatih dengan salah satu hal, tetapi dengan sendirinya akan terbuku dan terarah ke masa depan.
5.2.4. Inkulturasi dan Alkulturasi
Pertama, berhadapan dengan arti dan nilai bangsanya, anak harus menggembalai tradisi. Tetapi tidak boleh menganggap tradisi sebagai suatu susunan yang telah terbuka. Tidak boleh diterima dengan hanya mengulanginya secara steoreotip. Tradisi harus dihadapi dengan sikap kritis, dengan memberi jalan-jalan baru untuk menghayatinya dengan lebih efektif lagi untuk hidup bersama. Kedua, anak harus dapat menghadapi tantangan yang sekarang belum jelas; harus mampu mengambil sikap terhadap situasi baru dan orang baru. Ketiga, nilai tradisi tidak terletak dalam bentuk-bentuk yang telah jadi. Mencari jalan baru untuk mengungkapkan inspirasi asli, yang ada dalam bentuk-bentuk itu. Keempat, anak harus dididik untuk berani berkomunikasi dengan kebudayaan lain.
5.2.5. Komunikasi
Komunikasi bersifat kreatif. Terutama dalam pelaksanaan spontan, harus diperhatikan dua hal, yakni:
1. Pengertian bukan saja ensiklopedis; tumpukan fakta, melainkan mengembangkan kesetiaan dan sikap konsisten. Anak harus belajar mengikatkan diri dalam janji dan tidak meninggalkan sesamanya. Tetapi kesetiaan itu tidak boleh dipahami harafiah saja, melainkan kreatif. Dalam situasi baru dicari jalan baru; partner yang berubah dicintai secara sesuai;
2. Dalam hubungan dengan ingatan dan imajinasi, anak harus dilatih mengintegrasikan masa lampau (ingatan) ke dalam pengalaman baru, dan harus dapat mengantisipasi masa depan dengan imajinasi; orang baru situasi baru.
5.2.6. Kebebasan
Pertama, anak harus membentuk kebiasaan yang sehat dan efektif (terutama dalam komunikasi), melalui rutinitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia harus dilatih sehingga dapat membentuk suatu feelling (aha Erlebnis) yang dapat dipercaya. Kecuali itu, anak harus belajar membawa konsekuensi dari pilihan dan putusannya.
Kedua, anak dididik agar setiap kali mengambil sikap kreatif terhadap situasi. Ia perlu belajar meninjau kembali pengertian-pengertian yang lampau. Ia harus berani bertobat dan berani mengampuni orang lain yang memberikan masa depan dan harapan.
5.2.7. Historisitas Proses Pendidikan
5.2.7.1. Umum
Pertama, proses pendidikan sendiripun harus menghayati historisitasnya. Hubungan anak didik mengalami pengaruh dari hubungan sebelumnya, terbuka secara kreatif bagi perkembangan relasi selanjutnya. Perkembangan itu akan memuncak tahap demi tahap. Kadang-kadang bersemangat, sering kali juga bersantai. Hubungan itu mengalami desintegrasi dan integrasi baru, juga krisis dan kelancaran. Hubugan itu harus setia dan penuh pemahaman (tidak menguasai anak); harus bersifat konsekuen, dan makin menimbulkan kepercayaan.
Kedua, pendidikan dengan tawaran dan tantangan selalu harus disesuaikan dengan perkembangan otonomi anak menurut fase-fasenya, juga sesuai dengan kemampuannya untuk memberikan respons. Itu berbeda untuk masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Andaikan terlalu berat, mustahil diolah anak, dan menghasilkan kegagalan, frustrasi, trauma dan neorosis. Ketidaksabaran orang tua terhadap perkembangan anaknya membuat rugi besar. Anak harus diberi waktu. Otonominya harus semakin diindahkan; ia harus diberi kemungkinan mengambil sikap pribadi (konflik-konflik sekitar ketaatan).
5.2.7.2. Pendidik Utama
Pertama, pertama-tama orang tualah yang mampu membimbing proses historisasi anak dengan pengarahannya. Mereka mampu mengikuti perkembangan, menghantar akselerasi dan perubahan relasi mendidik. Mereka sendiri ikut berkembang dalam proses itu; sehingga relasi mendidik stabil dan tidak mengalami diskontinu. Sejarah orang tua adalah sejarah anak.
Kedua, mengenai kualifikasi pendidik. Pendidik sendiri harus menghayati historisitas, sehingga mempunyai keluwesan untuk mengembangkan relasi mendidik secara kontinu.
5.3. Historisitas Manusia dan Pendidikan di Sekolah
5.3.1. Kurikulum Harus Bertujuan Historisitas Anak
Tujuan fundamental bagi kurikulum ialah historisitas anak. Anak harus dapat mencapai identitas pribadi, dan diresapi dengan dinamika kreatif.
5.3.2. Mata Pelajaran Sejarah
5.3.2.1. Sifat Mata Pelajaran Sejarah
Sebenarnya banyak mata pelajaran mengandung aspek sejarah. Di samping penelitian struktur-struktur, dipelajari pula perkembangan yang dialami pada objeknya. Paling minim itu terjadi pada ilmu pasti dan alam. Tetapi sudah ada dalam geologi, dalam ilmu hayat (evolusi), dalam ekonomi, sosiologi, politik, kebudayaan, dan sebagainya. Secara khusus segi sejarah dibicarakan pada ilmu sejarah (masa lampau), dan pada futurologi (masa depan). Namun di situpun diselidiki perkembangan pada bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
5.3.2.2. Fungsi Edukatif Mata Pelajaran Sejarah
Ilmu sejarah membantu agar anak masuk dalam sejarah, dan sejarah masuk dalam anak. Anak harus memahami diri sendiri dan masyarakatnya dalam perspektif historis. Dirinya dan masyarakatnya merupakan hasil perkembangan lama, dan bahwa sedang berkembang terus. Mata pelajaran ilmu sejarah tidak hanya mempelajari tahun-tahun, fakta-fakta, peristiwa-peristiwa, dan tokoh-tokoh, sebagai batu-batu lepas. Semua data dilihat dalam hubungan historis. Walaupun rupanya simpang siur urutannya, tetapi satu tergantung dari yang lain; bahkan ada ritme di dalamnya. Anak harus dilatih melihat bahwa ada proses yang berlangsung bahwa ada faktor-faktor riil yang menyebabkan peristiwa; bahwa tidak ada nasib atau penyelenggaraan ilahi saja.
5.3.2.3. Ilmu Sejarah dan Persitiwa Masa Lampau
Pemahaman atas mitos memberikan keterangan dengan cerita-cerita; misalnya Borobudur dibangun oleh anak raja dalam 3 hari, raksasa menumpukkan gunung, lakon wayang. Menurut pemahaman ini segala-galanya terjadi serentak dan dalam bentuk selesai. Tetapi ilmu sejarah menampakkan, bahwa revolusi Perancis mempunyai pra sejarah; begitu pula revolusi kemerdekaan Indonesia. Ada hubungan antara sistem-sistem kenegaraan dan ide-ide filosofis. Gelombang-gelombang imigran menyebabkan adanya banyak suku bangsa di Indonesia. Ada alasan bahwa bangsa Jawa bukanlah bangsa pelaut. Ada konstelasi politik yang memungkinkan G 30 S. Selalu dapat ditunjukkan alasan geologis, biologis, sosial, ekonomis, politis dan keagamaan.
5.3.2.4. Jaman Sekarang adalah Hasil Masa Lampau
Terutama anak harus belajar bahwa keadaan sekarang dihasilkan oleh masa lampau. Masa lampau akhirnya selalu dipelajari dalam sorotan sekarang; dicari relevansinya bagi sekarang. Pemahaman mistis bersifat siklis; satu peristiwa asli menjadi eksemplaris (model atau contoh riil) bagi segala peristiwa sekarang. Sebenarnya tidak pernah ada lagi yang sungguh-sungguh baru, tetapi proses kosmis mengulang kembali dan semua peristiwa baru ditempatkan kembali dalam peristiwa asli. Peristiwa itu diceritakan dalam mythos; juga wayang mempunyai segi mitos itu.
Anak belajar bahwa memang ada yang baru, tetapi berakar dalam yang lampau. Ada alasan yang menyebabkan sekarang; hal kebudayaan, konstelasi politik, ekonomi, sikap hidup. Pemahaman sejarah memberi perspektif. Misalnya oleh generasi muda, sejarah sebelum 1945 dianggap tidak ada. Sejarah dunia barat tidak dilihat dalam hubungan dengan keadaan Indonesia. Orang muda membaca surat khabar tanpa perspektif historis.
ASEAN, konferensi hukum laut, kerjasama ekonomi internasional, keadaan ekonomis-politik di Indonesia. Banyak orang mempergunakan hasil teknologi, AC, TV, Mobil, Hanphone, dll tetapi mereka tidak tahu menahu pra sejarahnya fase-fase latar belakang budaya. Lebih lagi dalam hal ide-ide dan nilai-nilai, seperti kebebasan, demokrasi, uang, kurang ada perspektif historis.
5.3.2.5. Sejarah dan Masa Depan
Situasi aktual dunia membuka pemahaman bagi yang akan datang; sosial, politik, ekonomi, budaya, agama. Segi tersebut dipeljari dalam futurologi. Yang akan terjadi itu berakar pada sekarang dan dapat dibuat prognosis (usaha untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan berdasarkan kejadian-kejadian saat sekarang).
Banyak orang kurang menyadari bahwa masa depan berlandaskan sekarang, dan bahwa perkembangan membutuhkan waktu dan usaha. Selekas mungkin mau mendapat pekerjaan baik, gaji tinggi, mobil dan rumah. Diharapkan mukjizat, diharapkan banyak dari lotre, main angka untung. Begitu kematangan manusia mengambil waktu; kebaikan, kepercayaan, kewibawaan.
5.3.2.6. Ilmu Sejarah dan Peranan Tokoh-Tokoh
Dengan melihat pengaruh tokoh-tokoh besar, anak menyadari peranan individual dalam terbentuknya sejarah. Sejarah itu bukan anonim, tidak begitu saja disebabkan oleh faktor-faktor di luar kemampuan manusia. Melainkan bersandarkan keunikan dan inisiatif perorangan, entah di bidang ilmu, politik, budaya dan agama.
5.3.3. Pembinaan Rasa Kesejarahan dan Segi Keterampilan
Segi pengajaran di sekolah dilengkapi dengan aspek praktis untuk menyadari historisitas. Hal ini dilaksanakan dengan:
5.3.3.1. Dalam Peristiwa Bersekolah
Karena anak berada di sekolah sekian banyak tahun, perlu ditumbuhkan rasanya bagi perkembangan dalam rangka sekolah pula. Di sini perlu diperhatikan aspek-aspek berikut ini: Pertama, moral personal. Perkembangan hubungan antar pribadi dengan guru dan kawan dalam pengalaman konkret persahabatan; kepercayaan, tobat dan ampun. Pembentukan sikap akan membutuhkan waktu. Kedua, pengetahuan dan studi. Pengalaman bersekolah dari tahun ke tahun, memberi pemahaman bahwa bagi perkembangan pengetahuan dan kemampuan belajar tidak ada jalan pintas; membutuhkan waktu. Anak tidak mengalami secara refleksif, melainkan spontan. Baru lambat laun anak mampu mengutarakan pendapat orisinil, terutama dalam hal bahasa dengan sulit sekali dirasakan kemajuan. Anak mengalami hubungan antara hafalan (tradisi) dan pemecahan baru (inovasi).
5.3.3.2. Dalam Rangka Mata Pelajaran
Pertama, untuk memberikan rasa kesejarahan, anak-anak diajak ikut berpikir dalam perencanaan perbaikan sekolah: tambahan lokal, pemakaian lapangan, lebih-lebih kalau berjalan bertahun-tahun lamanya. Dalam memelihari kebun, mereka belajar tentang lambatnya proses pertumbuhan. Dalam koperasi sekolah mereka melihat lambatnya tambahan modal.
Kedua, anak diberi pengalaman mengenai hal-hal rutin, dan kesempatan bagi kreativitas spontan.
Ketiga, sebagai pekerjaan rumah, anak diberi tugas untuk menanyakan sejarah mengenai candi tertentu; darimana? Menyelidiki sejarah desanya sendiri, keluarganya dan nama keluarga. Menanyakan bencana alam tertentu yang terjadi dulu dengan akibatnya bagi pertanian.
5.3.4. Historisitas Proses Pelajaran
5.3.4.1. Lingkungan Sejarah
Kurikulum dan pengajaran harus disesuaikan dengan perkembangan anak; dalam hal urutan-urutan matapelajaran, tuntutan. Harus diperhitungkan proses belajar dalam anak; didaktik akan berkembang dari TK, SD, SMP, SMA. Pengetahuan bukan hanya ditumpuk saja, keberlangsungan pengajaran memperhatikan pengalaman anak, hasil lampau, arah depan. Pertanyaan-pertanyaan anak yang muncul, harus ditampung.
5.3.4.2. Pengajar
Guru menjadi wakil orang tua selama beberapa tahun. Ia mempunyai sejarahnya pribadi, dan rasa (feeling) sejarah pribadi. Ia juga mengalami sejarah sambil mengajar. Negara hanya memperhatikan segi praktis efisien bagi masa depan negara. Terutama harus menjadi dan melindungi proses historis dalam anak; dan menentukan syarat-syarat minimal.
5.3.4.3. Kualifikasi Guru
Guru harus mempunyai historisitas yang harmonis. Ia harus dapat menghayati arti edukatif dalam mata pelajaran keahliannya.
BAB VI
MATERIALITAS MANUSIA
6.1. Materialitas Manusia Pada Umumnya
6.1.1. Jiwa dan Badan
6.1.1.1. Kesatuan
Pertama, dalam aku yang satu dan tertentu ditemukan dua aspek: Jiwa dan Badan. Aku sebagai pribadi merupakan kompleksitas meluas; pada saat yang sama aku terdiri dari banyak unsur dan segi; kegiatan dan relasi. Tetapi kompleksitas aku aku itu disusun dan disatukan oleh intesitas mendalam; dalam keanekaannya manusi tetap aku. Kompleksitas itu hanya dapat dipahami sebagai aku, sejauh diresapi oleh intensitas tadi. Dan sebaliknya intensitas hanya menjadi aku, sejauh Dibentuk dalam kompleksitas itu. Mereka bersatu sebagai wujuda dan gaya, sebagai not-not musik dan lagu. Mereka tidak dapat dipahami lepas satu sama lain; mereka menjadi dua segi dari satu kenyataan dan saling menentukan.
Kedua, dalam diri manusia, badan dan jiwa, materi dan roh berada dalam kesatuan; badan yang menjiwa, dan jiwa yang membadan. Menurut badan (kompleksitas, wujud) keunikan manusia itu individual sifatnya, seperti signalement polisi. Sedangkan menurut jiwa (intensitas, gaya), keunikan manusia bersifat personal; seperti fokus yang mapan. Tetapi individu dan persona tidak dapat dipikirkan terlepas satu sama lain; yang satu hanya dapat ada dalam kesatuan dengan yang lainnya.
Ketiga, badan manusia bukan hanya kulit dan daging, melainkan juga meliputi cara bicara, cara bergaul, cara kerja, cara hidup (way of life). Badannya ialah kebudayaan pribadi. Kebudayaan adalah bentuk (gestalt) dari pribadi manusia. Jiwa manusia bukan saja kebatinan, melainkan juga meliputi cahaya wajah, pijar mata, dan sikap hidup (tune of life); yang dapat dilihat. Jiwanya adalah kepribadian manusia. Kebudayaan pribadi dan kepribadian itu bersatu sebagai ekspresi dan intensi; yang satu hanya ada, sejauh ada pula yang lain.
6.1.1.2. Jiwa dan Badan Selalu Ada Bersama: Sama Rata
Jiwa dan badan (atau kepribadian dan kebudayaan pribadi) tidak dapat dilawankan sebagai tinggi dan rendah, sebagai malaekat dan hewan. Jiwa tidak mengatasi badan itu; bukan transenden begitu, melainkan hanya riil sejauh terwujudkan dalam badan. Badan baru menjadi dewasa, sejauh digayakan dalam jiwa. Semua menjadi manusiwi; wajah, tangan, kaki; lebih supel, lebih pribadi, lebih berdikari. Terutama cara bergaul, bertingkah laku, makan dan minum, semuanya menjadi human. Maka jiwa dan badan itu sama rata dan selalu sejajar. Setiap kegiatan dan tindakan manusia selalu jasmani dan rohani.
6.1.1.3. Perkembangan
Dalam setiap kegiatan khusus, jiwa dan badan mengkhususkan diri juga: bertamu, belajar, makan, berdoa. Pelaksanaan itu mengendap kembali dalam jiwa-badan induk (kepribadian dan kebudayaan pribadi), dan mengembangkannya. Perkembangan itu baik, baru dan kreatif, kontinu dan berlangsung terus. Kerohanian dan kejasmanian sama-sama berkembang. Semakin badan (gaya) manusia menjadi padat dan kompak; semakin jiwa (wujud) muncul ekspresif dan menyolok. Kompleksitasnya makin halus dan terkoordinasi; intensitasnya makin berpusat dan terfokus. Manusia makin spiritual dan semakin material.
6.1.2. Kesatuan Taraf-Taraf
6.1.2.1. Empat Taraf
Kesatuan jiwa dan badan tersebut tidak dapat menerangkan ketegangan yang dialami dalam diri manusia. Ketegangan itu harus diterangkan secara lain. Dalam jiwa dan badan manusia dialami taraf-taraf kesadaran yang berbeda. Ada empat (4) taraf: fisiko-kimis (anorganis), biotis (sel; jaringan), psikis (persepsi dan naluri), dan sadar refleksif (mengerti, mau). Keempat taraf itu ditemukan sebagai bagian rendah dan tinggi dalam kesatuan manusia. Mereka semua serupa dalam unsur-unsur hakiki, tetapi berbeda sebagai padat dan kempes.
6.1.2.2. Hubungan Taraf-Taraf
Pertama, taraf-taraf dalam gejala dan kegiatannya cukup jelas dibedakan satu sama lain dan berdikari, misalnya bernafas, pencernaan, emosi-emosi, pikiran. Dari lain pihak mereka berhubungan erat dalam satu kesatuan, dan saling meresapi secara mendalam.
Kedua, taraf yang rendah mendasari yang tinggi dan mengarahkannya. Namun yang rendah tidak menentukan secara mutlak; tetapi memberikan ruang gerak yang luas. Misalnya sakit kepala, bercacat, rasa marah.
Ketiga, taraf yang tinggi mewarnai dan menatar yang rendah, sehingga lain dari besi, pohon, hewan (dalam hal peredaran darah, panca indera). Namun yang tinggi tidak dapat menyingkirkan yang rendah, dan harus menghormatinya.
Keempat, taraf-taraf itu mempunyai susunan subordinatif, dan saling membutuhkan. Yang paling rendahpun sudah manusiawi, dan yang paling tinggipun tetap berakar dalam alam. Sebetulnya menurut struktur manusia, mereka seimbang dan cocok satu sama lain: mensana in corpore sano. Begitu juga dalam seksualitas.
6.1.2.3. Perkembangan Taraf-Taraf
Keempat taraf berkembang bersama-sama, dengan adanya dua gerak. Yang rendah seakan-akan terus memancarkan yang lebih tinggi. Tetapi juga yang lebih tinggi seakan-akan memancing dan mengatur yang rendah. Kesatuan mereka berkembang, tetapi sekaligus mereka mengakui dan mengandalkan yang lainnya.
6.1.2.4. Kemungkinan Ketegangan
Perbedaan taraf-taraf memungkinkan ketegangan seperti lazimnya dikatakan antara ada antara roh dan materi. Yang paling normal ialah ketegangan antara kecenderungan biotis, psikis (nafsu) dan kesadaran (pikiran sehat). Mungkin 4 tipe orang menurut penghayatan moril. Dalam batas-batas tertentu dapat ada ketegangan struktural, sedangkan manusia tetap dapat cukup normal, misalnya body builder yang bodoh, orang bercacat yang baik hati, orang tidak seimbang yang sehat. Banyak tergantung dari cara menghayatinya. Lebih berat lagi adalah ketegangan dalamm orang yang trans seksual. Akhirnya juga, kekurangan dalam taraf rendah membuat manusia idiot; atau kekurangan pikiran sehat (orang fanatik) menyebabkan ia bunuh diri. Ketegangan ini semua bukan antara jiwa dan badan, melainkan antara keempat taraf.
6.1.3. Kegiatan dan Komunikasi
6.1.3.1. Tingkah Laku (Behaviour)
Manusia hanya mencapai otonominya dalam komunikasi. Dalam setiap kegiatan, pertemuan, komunikasi itu rohani dan jasmani, dan mengalir dari jiwa badan induk. Komunikasi merupakan ekspresi diri atau behaviour sebagai respons terhadap yang lain: tanah, bunga, sapi, manusia, dll. Kegiatanku ialah reaksiku total terhadap situasi, misalnya, melarikan diri dari bahaya: memukul orang. Membudaya ialah melaksanakan diri; dan melaksanakan diri adalah membudaya. Pertemuan itu juga selalu mengandung empat taraf, terjadi pada taraf fisiko-kismis, biotis, dan psikis pula.
6.1.3.2. Pengertian dan Penghendakan
Pertama, pengertian menerima dan memberi arti dalam hubungan dengan yang lain. Baik subyek maupun obyek itu jasmani-rohani dan meliputi 4 taraf: reaksi fisiko kimis, inderawi, dan sadar (manusia, hewan, pohon, batu). Pengertian itu mengekspresikan diri menjadi behaviour pada 4 taraf pula: non-verbal dan verbal. Tetapi ekspresi non verbal, dalam tingkah laku, baru menjadi jelas dan formal dalam bahasa. Tanpa bahasa tidak ada pengertian.
Kedua, penghendakan menerima dan memberi nilai. Selalu terjadi dalam behaviour spiritual material. Selalu meliputi 4 taraf dan mengekspresikan diri dalam reaksi biotis, nafsu dan cinta atau benci, misalnya membelai, mencium, terutama sangat menyolok dalam seksualitas.
6.1.3.4. Pria dan Wanita
Pertama, dua penghayatan behaviour yang fundamental ialah penghayatan hidup sebagai pria dan wanita. Kepribadian dan kebudayaan pribadi selalu sebagai pria dan wanita; jiwa dan badan, seluruh sikap dan cara hidup. Dalam pria dan wanita selalu ada 4 taraf yang memainkan peranan, baik dalam dialog biasa (seksualitas umum), maupun dalam hubungan seksualitas khusus.
Kedua, dialog behaviour ini dapat dapat membentuk bermacam-macam, sesuai dengan kondisi dan situasi kebudayaan. Tetapi dialog inilah yang secara fundamental menentukan warna hidup bersama.
6.1.4. Kebudayaan
Dialog dengan manusia lain dan dunia infra human, sejauh dikhususkan dalam sikap dan cara hidup ini, menjadi kebudayaan.
6.1.4.1. Taraf dan Bidang
Pertama, kebudayaan ialah hasil pengangkatan taraf-taraf lebih rendah, baik dalam manusia pribadi maupun dalam dunia infra human, ke dalam taraf human, sehingga diwarnai olehnya. Taraf-taraf diintegrasikan dalam kegiatan dan pergaulan human, jadi dimanusiakan. Taraf-taraf itu menjadi bagian integral dalam behaviour –nya.
Kedua, maka sesuai dengan keempat taraf dalam manusia, dan dalam pergaulannya dengan yang lain, kebudayaan meliputi sejumlah bidang. Taraf 4: bidang khas-human, seperti bahasa, ilmu, agama, etika. Taraf 3: bidang instingtif, seperti kekuasaan, nasionalisme, penjinakkan hewan, gensi dan iri hati. Taraf 2: bidang biotis, seperti pertanian, kedokteran, penataan alam (flora). Taraf 1: bidang pragmatis: seperti ekonomi, tehnik, perindustrian, perumahan.
6.1.4.2. Tiga Lingkaran
Dalam ekspresi atau kebudayaan sendiri dapat dibedakan 3 lingkungan.
6.1.4.2.1. Arti Luas
Kebudayaan dalam arti luas meliputi setiap cara hidup, atau behaviour yang human dalam pergaulan dengan yang lain. Misalnya, bicara dan bergaul dalam hidup sehari-hari. Contoh lain, menggali selokan, menanam pohon, membuat bendungan, membangun tempat berlindung, memasak, membuat tempat duduk, menjahit pakaian, bergerak biasa-biasa.
6.1.4.2.2. Arti Terbatas atau Khusus
Kebudayaan mendapat arti khusus, jika ekspresi dan behaviour bukan hanya praktis-pragmatis saja, melainkan mendapat bentuk lebih terperinci. Dengan kebudayaan manusia lebih mengekspresikan diri sebagai insani, dengan lebih terwujud, lebih bebas, lebih menguasai diri, lebih berarti dan bernilai. Misalnya, menyusun syair, menanam pohon, memahat arca, melaksanakan ibadat, mementaskan tarian, melakukan adat istiadat. Tampak bahwa ia memakai simbol.
6.1.4.2.3. Penghalusan Karya dan Gerak; Seni
Puncak kebudayaan dalam arti luas dan terbatas ialah perhalusan sedemikian rupa sehingga membuat kehidupan menjadi lancar dan lincah, sedap dan senang, nikmat dan lezat. Baik dalam hal praktis: masakan sebagai seni, perkakas, rumah tangga, pakaian, peralatan, perumahan. Sering nilai seni itu terlalu tinggi, sehingga hampir jarang dipakai lagi secara biasa. Juga dalam hal tingkah laku, bahasa, cara bergaul, tarian, sehingga menjadi seni yang tidak digunakan dalam hidup sehari-hari.
6.1.5. Materialitas dan Kebebasan
6.1.5.1. Taraf-taraf
Pertama, menurut pendapat tradisional, taraf lebih rendah (menurut arti struktural: sub-conscious; bawah sadar) dipandang sebagai rintangan bagi kebebasan murni. Misalnya, taraf biotis, nafsu, panca indera. Dicita-citakan kebebasan melulu rohani. Demikian pula pendapat banyak psikolog.
Kedua, akan tetapi dalam kenyataan, kebebasan sedemikian itu masih ilusi, khalayan, karena memang tidak ada perlawanan struktural antara ke-4 taraf, antara bebas dan tidak bebas. Ke-4 taraf merupakan bagian integral bagi keakuan manusia. Taraf 1,2,3, bukan ancaman, melainkan syarat mutlak bagi kebebasan. Mereka mendasari dan mengarahkan kebebasan. Reaksi biotis dan instingtif menyiapkan putusan dan pilihan sadar, dan melancarkanya.
6.1.5.2. Gaya dan Wujud
6.1.5.2.1. Pandangan Populer
Perwujudan dirasakan sebagai rintangan dan pembatasan bagi kerohanian. Setiap langkah yang khusus seperti membaca, makan, olah raga menyempitkan kekayaan kepribadian pada saat dan situasi tertentu. Dan pada umumnya manusia terpenjara dalam cara bergaul, bicara, tingkah laku yang tertentu. Dicita-citakan kebebasan rohani yang tidak terikat pada behaviour dan kebudayaan pribadi tertentu. Diinginkan improvisasi total dan ekspresi serba bebas.
6.1.5.2.2. Kesatuan Jiwa dan Badan
Pertama, baru dalam perwujudan dan kebudayaan pribadi saja kerohanian manusia menjadi real. Wujud itu bukan ancaman, melainkan syarat mutlak bagi kebebasan. Keterbatasan bukan berarti negatif, melainkan positif, yaitu untuk menjamin kejelasan dan ketepatan.
Kedua, intensitas unik hanya dapat ada dalam ekspresi ketat dan kompleks: cara berjalan, bicara, bergaul. Improvisasi hanya dapat lepas dari bentuk primitif, dan menjadi sungguh-sungguh personal, jika perwujudan benar-benar dikuasai dan didisiplinkan, maka kreativitas dan spontanitas hanya dapat berkembang, jika dengan latihan kontinu, perwujudan dan kebudayaan pribadi makin ditempa dan diperhalus, kontinu dan baru pula.
6.2. Materialitas Manusia dan Pendidikan pada Umumnya.
Pendidikan dimaksudkan sebagai pembentukan anak menjadi orang dewasa. Arah inti pendidikan (ultimate aims) adalah ke materialitas. Anak harus dibimbing menuju harmoni yag seoptimal mungkin, dalam hal ini keberadaannya. Dalam hal tertentu mendidik berarti membudayakan.
6.2.1. Empat Taraf
Dalam pribadinya anak harus memupuk harmoni ke-4 taraf yang sebesar mungkin. Pertama, taraf-taraf yang lebih rendah harus diberikan tempat yang wajar, diakui dan diintegrasi, supaya dapat menyediakan motorik dan dinamik spontan, dari bawah. Tidak ditolak, dihinakan dan ditindas. Harus diperhatikan dan ditaati kebijaksanaan masing-masing taraf: sakit kepala, rasa marah. Harus dibina dan dikembangkan, sebab bukan merupakan ancaman melainkan bagian integral bagi kebebasan. Semua itu berkaitan dengan kesehatan dan emosionalitas. Keterbatasan harus diterima. Aspek fisik; potongan badan, bentuk hidup, jenis kelamin. Aspek psikis; watak, nafsu, juga cacat, dan lain-lain.
Kedua, taraf tertinggi harus menguasai dan mendominasi taraf-taraf lainnya; mengatur, menyalurkan, supaya berkembang menjadi seefektif mungkin; dan agar janganlah salah satu taraf lebih rendah mendominasi, supaya anak didik mencapai disiplin dan tahu mengendalikan diri (askese). Supaya dia tidak hanya hidup menurut selera biotis, atau naluri atau nafsu.
6.2.2. Intensi dan Ekspresi
Anak dibimbing menuju harmoni kerohanian-kejasmanian atau intensi ekspresi. Tidak boleh ada pertentangan. Pertama, intensitas diekspresikan selengkap mungkin dalam gerak-gerik, dalam cara jalan dan duduk, memandang, berbicara, bergaul dan melayani. Tidak malu mempunyai tangan, mulut, kaki; dapat membawakan diri secara luwes dan atletis. Emosionalitas tidak disembunyikan, seakn ditelan, melainkan diwujudkan. Inteligensi dan tekad dinyatakan. Hanya dalam individualitas yang terbentuk, tercapai pula identitas yang jelas dan teratur. Kalau kurang diwujudkan dalam bentuk tertentu (gestalt), orang hanya tinggal kabur dan tanpa ketentuan; itu bukan kesederhanaan, melainkan sikap kasar. Anak harus dididik agar membentuk (gestalt) diri menjadi terdidik, halus, sopan, tepat dalam tindak-tanduknya.
Kedua, ekspresi anak harus dipusatkan dalam kebatinannya. Harus diperketat dan disinari dari dalam. Jangan asal saja bergerak, berteriak, dan mengeluarkan emosi; itu mungkin sekali masih primitif dan kasar. Tetapi semua bisa terkondisi dan terarah, baik dalam pergaulan dan pekerjaan harian; maupun dalam budaya menurut arti lebih khusus: berpidato, menari, bernyanyi, bermain sandiwara, wayang orang. Mencapai kehalusan bukan saja seperti cat pernis, melainkan bersinar dan mendalam; yang sekaligus kaya dan padat dan sederhana. Kebudayaan pribadi bukan saja seperti pakaian, kalau tidak dari dalam, hanya kosong dan semu.
Ketiga, bentuk (gestalt) pribadi itu terbatas, dan membatasi anak. Tetapi anak harus belajar bahwa keterbatasan itu tidak berarti negatif. Perkembangan perwujudan anak mulai dari nol. Setiap perwujudan sudah berarti kemajuan positif. Dalam gestalt yang terbatas, anak mengatasi keliaran dan kekaburan. Ia belajar meruncingkan dan menentukan kepribadiannya; memberikan volume dan kompleksitas pada arti dan idenya, pada nilai dan cita-citanya. Keterbatasan itu membuat anak menjadi utuh dan tegas. In der Beschraenkung zeigt sich der Meister; dalam keterbatasan tampaklah kemahiran alhi dan keberdaulatan sebagai pribadi yang matang. Tetapi perwujudan itu semakin berkembang pula.
6.2.3. Komunikasi
Pertama, perwujudan anak bersifat sosial. Kepribadian dan kebudayaannya pribadi harus dihayati dalam komunikasi harmonis yang setinggi mungkin. Hanya dalam komunikasi, anak dapat belajar mewujud; hanya dalam mewujud anak dapat berkomunikasi.
Kedua, tingkah lakunya menjadi social behaviour, dalam dialog multikompleks. Tingkah lakunya harus terbentuk dalam kesesuaian dengan lingkungan, -dengan identitas bangsa: misalnya adat-istiadat, pergaulan, perwujudan hidup bersama, perumusan cita-cita bersama. Harus ada keserupaan bersama. Untuk sementara masih mungkin anak berekspresi sendirian tanpa maksud tampil di depan umum. Namun itupun diintegrasikan dalam komunikasi. Terutama kesenian tanpa komunikasi akan menjadi steril dan mati.
Ketiga, ekspresi sosial itu akan bersifat cukup umum dan uniform pada taraf teknis dan praktis-pragmatis; makan, jabatan, cara bicara, pakaian. Namun pada taraf khas manusiawi akan makin personal pula: seni, sastra, agama, cinta dan seksualitas.
Keempat, pengertian diwujudkan dalam simbol-simbol bersama, terutama dalam bahasa bersama. Anak harus belajar bahasa, agar dapat berpikir. Bahasa itu hanya mungkin sebagai bahasa bersama, baik bahasa daerah maupun bahasa nasional.
Kelima, penilaian (penghendakan) diwujudkan dalam nilai-nilai konkret bersama pula; tentang kesusilaan, keindahan dan kesenangan.
Keenam, anak harus mewujudkan diri sebagai pria atau perempuan. Dalam hubungan seks, badan harus mencapai harmoni yang halus, yang spontan dan natural, sehingga menjadi ekspresi seluruh pribadinya. Hanya dapat direalisasikan dalam konteks hidup bersama, dalam tradisi kepriaan dan kewanitaan yang telah dibentuk.
6.2.4. Kreativitas
Pertama, tradisi. Anak dididik dalam kebudayaan yang hidup. Anak harus diajar dalam bentuk-bentuk, adat-istiadat, bahasa, seni. Hanya dalam konfrontasi dengan perwujudan, ia sendiri dapat belajar mengenal bentuk-bentuk, dan mencerminkan diri kembali dalam bentuk yang dapat dikenal juga. Janganlah bentuk kosong; tetapi hanya yang vital human. Pendidikan ini membutuhkan latihan yang lama. Anak harus menyelami warisan, harus dibimbing memperoleh suatu behaviour.
Kedua, spontanitas. Ada bahaya bahwa bentuk-bentuk itu hanya ada belaka, hanya mekanisme. Maka disamping latihan diberi kesempatan ekspresi bebas. Anak diajak berimprovisasi, agar segi pribadi dilatih, agar perwujudan yang tumbuh, juga berakar kembali. Misalnya; dalam permainan sandiwara, tarian, bicara. Ekspresi bebas ini bukan tujuan, melainkan sarana dan suatu segi saja. Tanpa tradisi dan latihan, maka ekspresi bebas hanya tinggal primitif, dan kepribadian anak sendiri tetap kasar.
Ketiga, kreativitas. Lama kelamaan, kreativitas pribadi anak muncul, terutama dalam kebudayaan khusus, dalam hal-hal khas human; pergaulan, mengarang, mencari, membaut syair. Meliputi semua empat taraf. Bukan saja sebagai ekspresi bebas dan improvisasi spontan, melainkan berkat penguasaan bentuk-bentuk yang ketat. Dengan demikian, tercapai spontanitas natural yang berbobot, dan kesederhanaan yang berakar mendalam. Baru sekarang dapat disadari relativitas segala bentuk dan ekspresi; selalu bersifat sementara. Dengan dinamis diatasi dan dibentuk kembali menjadi perwujudan lebih tepat kagi, dan halus; pluriform, namun dalam kesatuan dengan orang lain. Makin perwujudan mendalam, menjadi padat dan lebih berarti sebagai ekspresi intensitas.
6.2.5. Materialitas Proses Pendidikan
6.2.5.1.Umum
Proses pendidikan menuju harmoni jiwa dan badan sendiripun harus menghayati materialitas. Pertama, hubungan dengan anak berlaku pada empat taraf: bau, kelembutan tubuh, memberi makan dan merawat, bergulat secara fisik, kadang-kadang menghukum fisik, komunikasi instingtif emosional dengan rasa senang dan marah; memahami dan mengungkapkan cinta-kasih. Pendidik harus mengatur kontak pada empat taraf itu secara harmonis. Kedua, proses pendidikan seluruhnya berlangsung dalam behaviour. Komunikasi dengan anak terjadi dalam jiwa yang membadan; bergaul, berbicara, menegur, mengemong. Hanya didalam komunikasi behaviour itu juga pribadi-pribadi bertemu, terutama menurut kemanusiaan mereka. Maka pendidik ialah dialog behaviour.
6.2.5.2.Pendidik utama
Pertama-tama orang tualah yang berhak dan wajib membimbing proses materialisasi dan spiritualiasi anak. Mereka mampu untuk mengarahkan proses pembudayaan itu dengan terlibat secara total dan pribadi. Dan mereka sendiripun akan terwujudkan dalam proses itu secara progresif.
6.2.5.3.Kualifikasi Pendidikan
Pendidik sendiri harus memiliki harmoni jiwa dan badan keempat taraf tersebut. Ia pun harus mampu melaksanakan dalam behaviour harmonis terhadap anak, dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak.
6.3. Materialitas Manusia dan Pendidikan di Sekolah
6.3.1. Kurikulum Harus Bertujuan Materialitas Anak
Tujuan pokok kurikulum ialah materialitas anak. Anak harus dibimbing agar mencapai kepribadian dan kebudayaan pribadi dalam kesatuan yang semaksimal mungkin.
6.3.1.1. Sifat Mata Pelajaran Kebudayaan
Setiap mata pelajaran menyentuh kebudayaan; pasti-alam, teknologi, biologi, sosiologi, psikologi, sejarah dan agama. Semua mata pelajaran mengantar ke pergaulan dan behaviour dalam hubungan dengan dunia infra human dan manusia. Semua juga memakai bahasa dan mendidik dalam hal bahasa. Namun ada mata pelajaran yang secara khusus mengarahkan perhatian pada perwujudan kemanusiaan sendiri, yaitu kelompok sastra dan budaya. Misalnya bahasa, antropologi budaya, kesenian, lebih konkret yang memperlajari; adat-istiadat, musik, tarian, lukisan, pakaian, pemakian alat-alat, rumah, cara mengolah tanah, dan sebagainya. Sebenarnya juga mata pelajaran oleh raga dan senam termasukk kelompok budaya ini, sebab berhubungan dengan kebudayaan pribadi pada taraf biotis.
6.3.1.2. Fungsi Edukatif dalam Mata Pelajaran Kebudayaan
Mata pelajaran kebudayaan membimbing anak supaya membentuk diri menurut bentuk-bentuk kebudayaan. Pertama, anak dihadapkan dengan bentuk-bentuk kebudayaan. Dalam perwujudan itu ia memahami dan membaca suatu (atau lebih) konkretisasi kemanusiaan dan kepribadian komunal. Kedua, anak belajar berpikir dan mengartikan dengan cara lain daripada dalam dunia eksata atau dunia praktis belaka. Ia berpikir dengan verstehen (memahami), dengan interpretasi dan invensi. Ketiga, anak diberi inspirasi bagi kebudayaannya pribadi, sehingga juga kepribadiannya dapat menjadi.
6.3.1.3. Fungsi Edukatif Mata Pelajaran Bahasa
Pertama, anak hanya dapat berpikir secara logis dan konsekuen, berpikir sejelas-jelasnya, sejauh cakap mewujudkan pengartian dan penilaian dalam bahasa yang tepat. Untuk itu ia harus belajar menggunakan bahasa tanpa kesalahan, baik dalam bicara, maupun dalam menulis.
Kedua, anak hanya dapat berkembang dengan cara cukup luas dan universal, jika ia belajar mengungkapkan diri dalam bahasa yang cukup umum (dipakai banyak orang) dan padat (dipelajari dan diselami secara ilmiah). Itu hanya terjadi dalam hal bahasa nasional. Bahasa nasional (lebih daripada bahasa daerah) tidak hanya mencerminkan alam pikiran dan kebudayaan bangsa sendiri, tetapi mencerminkan aliran dan cara berpikir bangsa lain pula.
6.3.1.4. Segi Keterampilan
6.3.1.4.1. Aspek Umum
Dalam aspek personal-moral ada pengaruh terbatas. Tetapi dalam pergaulan, macam-macam kebiasaan dan upacara, anak mengalami perkenalan dengan kebudayaan dan perhalusan budi dan tingkah laku. Misalnya pakian seragam, upacara penaikan bendera, pertemuan pesta, kebersihan. Segi keterampilan selalu meliputi empat taraf.
6.3.1.4.2. Pengajaran Secara Umum
Anak dididik agar duduk tertib dan bergaul secara baik. Ia harus berbicara dengan tepat, bila menjawab pertanyaan; membuat catatan dengan teratur dan rapi; memelihara buku pelajaran, membuat karangan tentang pokok tertentu. Demikian ia belajar mewujudkan diri.
6.3.1.5. Mata Pelajaran Ekspresif
Pertama, dalam setiap mata pelajaran keterampilan yang diberikan, anak belajar mengungkapkan dirinya dalam bidang tertentu, memakai tangan dalam menukang kayu, mencangkul, menjahit. Kedua, mata pelajaran olah raga dan senam masih terutama terletak pada taraf ke-2 (biotis), walaupun secara tidak langsung juga menyangkut taraf lebih tinggi. Ketiga, anak harus melatih diri dengan tekun. Dari pihak lain anak harus diberi kesempatan bagi ekspresi bebas, yang bersifat sementara. Supaya inspirasi dan spontanitas tetap hidup. Dalam sintesis yang lama kelamaan muncul, anak tidak melekat pada rutinitas dan latihan belaka, melainkan menjiwainya dengan spontanitas pribadi. Dari lain pihak, tidak tertinggal pada taraf improvisasi primitif dan kasar, melainkan mencapai kebudayaan dan perhalusan sejati.
6.3.2. Materialitas Proses Pengajaran
6.3.2.1. Lingkungan Sekolah
Pertama, pengajar sendiri harus mewujudkan diri dalam bahasa dan behaviour yang komunikatif, pada semua taraf. Hanya dalam kontak kebudayaan secara pribadi ada pula kontak dan komunikasi kepribadian. Kedua, pengajaran harus bersifat estetis pula pada semua taraf untuk mencapai perwujudan yang tepat. Pengajar harus tahu memperhatikan hal-hal pokok dan memotong hal yang kurang relevan; harus menyederhanakan bahan sehingga jelas. Mata pelajaran disajikan secara jelas dan dinamis, dalam bentuk yang menarik. Harus dicapai sintesis atas rutinitas (bahan yang sudah agak pasti) dan kreativitas (keunikan dalam pengajaran), agar dihindari dua ekstrem, yaitu rutinitas yang membosankan dan kreativitas yang kacau. Ketiga, setiap pelajaran bagi anak harus menjadi suatu peristiwa personal, sedikit pesta; tetapi berdasarkan latihan yang lama dan persiapan yang teratur oleh pengajar. Pengajar harus selalu mencari bentuk dan contoh baru yang lebih tepat lagi.
6.3.2.2. Pengajar
Guru menjadi wakil orang tua. Ia menjadi sumber bagi perwujudan anak bagi pembentukan kepribadiannya. Maka ia harus mempunyai loyalitas terhadap kepentingan orang tua. Ia sendiri harus mempunyai kebudayaan pribadi, tetapi juga akan dibudayakan oleh pertemuan dengan sekian banyak anak. Negara hanya dapat menentukan syarat-syarat minimal bagi kebudayaan itu, yaitu dalam hal bahasa dan budaya.
6.3.2.3. Kualifikasi Guru
Guru harus mempunyai harmoni ke-4 taraf dan mencapai harmoni, kepribadian dan kebudayaan pribadi (jiwa dan badan). Dan ia harus dapat menghayati fungsi edukatif dalam mata pelajaran keahliannya.
BAGIAN III
BAB VII
PEMIKIR PENDIDIKAN KONTEMPORER
7.1. PAULO FREIRE
Paulo Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Timur Laut Brazil. Ia berasal dari kelas menengah, namun situasi kemiskinan dan penindasan merupakan bagian integral dari seluruh hidupnya bersama ayahnya Joachim Jhemistocles Freire dan ibunya Edeltrus Neves Freire.[27] Freire menamatkan pendidikan dasar dan menengah di kota pelabuhannya dengan sukses. Kemudian Freire melanjutkan studinya pada fakultas hukum sambil mempelajari filsafat dan psikologi bahasa. Pada tahun 1944, Freire menikahi Elza Maia Costa Olivera dari Recife, seorang guru sekolah dasar, dan dikaruniai tiga orang putri dan dua orang putra.
Pemikirannya tentang filsafat pendidikan diungkapkan pertama kali pada tahun 1959 dalam disertasinya sebagai doktor di Universitas Recife dan kemudian dalam karya-karyanya sebagai maha guru sejarah dan filsafat di universitas yang sama. Freire mengembangkan pengajaran bagi kaum buta huruf di kota yang sama. Namun, Freire dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah dan kemudian ia dipenjara pada tahun 1964. Tiga puluh hari kemudian, Freire dibebaskan dan diperintahkan segera meninggalkan negerinya. Di Chile, Freire bekerja sebagai konsultan Unesco dan Odira (sebuah lembaga pembaharuan pertanian Chile dalam program pendidikan masyarakat).
Pada tahun 1970, Freire dipindahkan ke Genewa- Swiss dan bekerja sebagai konsultan khusus pada kantor pendidikan Dewan Gereja sedunia. Di samping itu, Freire juga memberi kuliah pada universitas Cambrigde dari tahun 1972 hingga 1973. Sebagai pendidik, Freire mempunyai beberapa karya tulis, seperti Cultural Action for Freedom, Paedagogis of The Opressed, Education for Critical Consciousness, Paedagogis in The Process, Education : The Practice of Freedom.
7.1.1. Pendidikan A la Bank
Paulo Freire memberikan kritikan yang pedas terhadap system pendidikan yang dipandangnya sebagai bank. Kepada anak didik dimasukkan atau ditanamkan sejumlah ilmu untuk diperganda. Dialah sumber deposita yang potensial. Guru adalah pemilik tunggal dari semua ilmu yang ada. Murid adalah wadah kosong yang perlu diisi. Proses pendidikan yang dianut tidak lain dari proses pengisian ilmu ke dalam wadah yang kosong itu. Guru lalu sendiri aktif dan murid menjadi pasif. Guru menjadi subyek dan murid adalah obyek. Pendidikan lalu bersifat naratif, dimana guru memberikan informasi yang harus ditelan, diingat dan dihafal.
Paulo Freire menganut juga pendidikan a la bank yang sedikit berbeda dari yang sebelumnya. Manusia sendiri harus berusaha mempunyai milik, terlebih semua mereka yang tidak bermilik, seperti orang-orang marginal dan orang-orang pinggiran. Mereka harus ditolong untuk memiliki kreativitas dan aktivitas. Karenanya, ‘pendidikan itu harus bersifat kritis’. Manusia atau anak didik harus diberi pendidikan sekian sehingga mereka menjadi kritis terhadap situasi. Untuk Paulo Freire, pendidikan harus berusaha mengadakan rekonsiliasi dan merubah arah pendidikan kepada pendidikan yang membebaskan. Dia memakai sistem ’aksi’ dan ’refleksi’. Pendidikan harus dapat merangsang anak didik sekian sampai mereka itu mampu mengadakan aksi atau tindakan. Setiap tindakan dan aksi harus direfleksikan. Refleksi yang dibuat harus membantu mereka untuk membuat aksi dan tindakan yang baru. Dan begitu seterusnya.
Kalau pendidikan a la bank membuat orang pasif dan tidak kreatif, maka pendidikan kritis harus sanggup mendorong orang untuk menjadi subjek, menjadi aktif, harus sadar akan realitas secara terus menerus. Hubungan guru murid tidak lagi sebagai subjek dan objek, melainkan sebagai patner yang sama-sama harus belajar. Karena itu, di dalam pendidikan yang kritis sangat ditekankan kesatuan bahan yang diajarkan. Dan apa yang diajarkan harus diambil dari dunia lingkungan anak sendiri. Murid-murid harus dihadapkan pada problem-problem yang ada di sekitarnya.
7.1.2. Pendidikan Sebagai Proses Pembebasan
Situasi konkret Brasilia menuntut suatu ”pembebasan”. Malah sementara itu situasi politik menjelang ’coup militer’ pada tahun 1964 merupakan situasi yang sangat inspiratif bagi Paulo Freire. Dia semakin yakin bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan yang dapat dipakai untuk pembebasan bagi orang-orang yang mengalami ketertindasan dan penjajahan. Pendidikan adalah proses pembebasan yang bisa dijalankan dalam bentuk alfabetisasi dan pendidikan dengan cara dialog.
7.1.2.1. Alfabetisasi dan Konsientisasi
Konsep Paulo Freire tentang metode ini lebih pada melihat peranan kata dalam alfabetisasi. Menurutnya, pendidikan adalah satu proses untuk mengerti dan menghafal. ”Kata” lalu mempunyai peranan yang sangat besar. Untuk mengerti satu ’kata’ terlebih dahulu orang harus mengunyah sebelum ditelan. Tetapi untuk menghafal kata-kata, orang dapat menelannya secara langsung. Konsep ini disebut konsep digestive dalam pengajaran. Sartre perkata, ”to know is to eat”. Baiklah diingat bahwa setiap kata itu mempunyai arti, lebih dari hanya sebagai alat untuk memungkinkan dialog. Kata harus menjadi satu interaksi antara aksi dan refleksi. Memakai satu kata yang benar berarti merubah realitas dunia, karena kata identik dengan praksis. Karena itu kata harus dipakai seharusnya keluar dari perbendaharaan sendiri. Kata yang dipakai harus dimengerti dan harus diperoleh dari kehidupan sehari-hari yang seharusnya menjadi pengekspresian diri yang sadar dan aktif. Bagi Paulo Freire, buta huruf merupakan keterbelakangan suatu daerah dan bangsa, dan akan memanifestasikan kebudayaan diam. Untuk mengatasi hal ini, Paulo Freire membuat propanganda tentang alfabetisasi baik dari segi teknis maupun moralnya. Huruf dan kata-kata harus diperkenalkan. Mereka harus dibantu untuk mengerti arti dan pengaruhnya dalam hidup sosial dan politis.
Ada beberapa cara pengajaran alfabetisasi kepada orang-orang yang buta huruf menurut Paulo Freire, yaitu:
1. Kodifikasi dan dekodifikasi. Kodifikasi ialah cara mengabstrakan realitas yang konkret. Umpamanya memperlihatkan sebuah gambar atau foto dari satu benda. Dekodifikasi ialah menganalisa secara kritis apa yang sudah dihasilkan dalam kodifikasi. Diharapkan dengan dekodifikasi ini, timbul kesadaran dalam diri anak didik untuk mengubah realitas konkret tadi. Hasil yang mau diperoleh lewat sistem kodifikasi dan dekodifikasi ini ialah siswa dan guru memperoleh fakta atau data konkret, dan akhirnya mereka lalu mulai berdialog;
2. Kelompok diskusi kultural. Paulo Freire juga membentuk kelompok-kelompok diskusi kultual. Mengapa? Pendidikan a la bank telah menghasilkan satu interiorisasi yang bersifat kultur. Karena itu tindakan untuk menghilangkan interiorisasi itu juga harus bersifat kultural. Untuk pendidikan harus dijalankan lebih intesif dan kontinu dalam kelompok-kelompok dengan menggunakan ’kata-kata kuci’ (generative words). Kelompok-kelompok kultural dibentuk untuk membahas kata-kata kunci itu bersama-sama, agar murid tidak hanya bisa membaca dan menulis, tetapi juga bisa mengerti situasi lingkungannya dan merasa terdorong untuk mengubahnya;
3. Konsientisasi. Konsientisasi adalah proses manusia memperoleh kesadaran yang makin lama makin dalam mengenai realitas kulturil dan akan kemampuannya merubah realitas tersebut.
7.1.2.2. Pendidikan dengan Cara Dialog
Pendidikan dengan cara dialog adalah metode lain yang digunakan oleh Paulo Freire untuk melawan pendidikan dengan cara bercerita (narrative education) yang berlaku waktu itu. Prinsip dasarnya ialah ”teori harus sejalan dengan praktek”. Pembahasan secara teoritis harus disertai dengan latihan praktis. Guru dan murid harus bermain bersama di dalam pendidikan. Mereka harus bersama-sama memecahkan masalah dengan cara berpikir, mencari, bertanggung jawab dan mengajar dan belajar. Metode ini dikenal juga dengan nama problem posing education. Guru melontarkan permasalahan, kemudian guru dan murid coba mencari pemecahannya dengan cara berdialog. Ciri-ciri metode ini digambarkan sebagai berikut:
1. Guru belajar dari murid, dan murid belajar dari guru;
2. Guru menjadi patner murid yang melibatkan diri dan menstimulasi daya pemikiran murid; mereka saling memanusiakan dan memanusiawikan;
3. Manusia tidak boleh menjauhkan dirinya dari dunia, tetapi harus memperkembangkan kemampuannya untuk mengerti secara kritis mengenai dirinya dan dunia serta berada bersama dunia;
4. Masalah-masalah pendidikan senantiasa membuka rahasia realitas yang menantang manusia dan kemudian menuntut jawaban terhadap tantangan tersebut. Jawaban terhadap tantangan itu akan membawa dan mendorong manusia kepada satu dedikasi secara penuh. Dengan demikian, bukan saja guru tetapi juga murid merasa selalu terlibat dalam situasi hidupnya.
7.2. DR. MARIA MONTESSORI
7.2.1. Riwayat Hidup
Maria Montessori adalah seorang ahli pendidikan berkebangsaan Italia. Dia terkenal karena bisa menemukan sistem pendidikan dan filsafat pembangunan manusia yang dikenal dengan istilah Montessori Method. Di samping itu Maria Montessori juga seorang ahli psikiatri yang meraih gelar dokter di Italia tahun 1894. Dia adalah psikiater pada sebuah klinik psikiatri Universitas Roma.
Maria Montessori dilahirka di Roma pada tahun 1870. Ia adalah putri pertama Italia yang meraih gelar dokter pada tahun 1894 dan bekerja sebagai psikiater pada sebuah klinik di Roma. Ia sering melayani anak-anak yang lemah pikiran. Fokus perhatiannya pada pendidikan anak terbelakang, yang cacat mental lalu kemudian kepada anak-anak yang normal. Ia memimpin kursus guru untuk anak yang kurang ingatannya. Tanggal 6 Januari 1907, ia mendirikan Sekolah Taman Kanak-Kanak di Milan yang bernama ”Casa del Bambini”. Tahun 1900-1911 menjadi maha guru di beberapa universitas. Tahun 1935 ia berdiam di Belanda sampai dengan kematiannya tanggal 6 Mei 1952.
7.2.2. Latar Belakan Kehidupan Sosial
Maria Montessori sebagai psikiater di sebuah klinik, selalu bergaul dengan anak-anak yang terbelakang pendidikannya, lemah ingatannya, cacat mental dan gila. Dia menaruh perhatian penuh pada mereka. Akhirnya tahun 1907 mendirikan sebuah sekolah TKK untuk pertama kalinya. Perkembangan mental dan kemampuan anak di sekolah mengagumkan dan menarik perhatian dunia. Dari sekolah itu ditingkatkan lagi ke sekolah dasar. Selanjutnya Maria Montessori berkeliling dunia sambil menyebarkan pendapatnya. Orang bergerak menerima kedatangan dan programnnya sebagai upaya pembaharuan dalam pendidikan dan pengajaran. Dimana-mana didirikan sekolah Montessori, yaitu dari TKK sampai dengan sekolah lanjutan.
7.2.3. Metode
Menurut Maria Montessori, anak didik harus berperan utama; guru dan metodenya sebagai penunjang demi perkembangan anak secara cerdas. Untuk itu mengutamakan Metode Pedosentris. Dasar metode ini, sebagai berikut:
7.2.3.1. Pendidikan adalah Oktoaktivitas Anak
Anak mempunyai bakat dan pembawaan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Mereka mempunyai perkembangan dalam tempo dan iramanya masing-masing. Anak berusaha sendiri dengan otoaktivitasnya guna mengembangkan dirinya. Pendidik hanya menyediakan sarana, kesempatan dan pertolongan sebagai rangsangan. Anak menemukan jalan, memecahkan kesulitan hidupnya dengan cerdas. Kecakapan dan ketangkasan yang ada padanya adalah hasil dari usahanya sendiri.
7.2.3.2. Pusat dari Pendidikan adalah Anak (Pedosentris)
Gejala jiwa anak berbeda dengan gejala jiwa orang dewasa. Antara satu anak dengan anak yang lain pun berbeda. Dengan demikian, pelajaran klasikal berubah menjadi pelajaran perorangan atau individual. Guru berperan untuk menyediakan kesempatan dan sarana yang menunjang perkembangan diri sesua minatnya. Menurut Maria Montessori setiap anak mempunyai kebutuhan jiwa yang secara spontan minta dipuaskan. Saat fungsi jiwa meminta kesempatan untuk berkembang itulah yang disebut ”masa peka”. Kesempatan diberikan sesuai masa peka ini. Catatan masa peka ini sebagai berikut: Pertama, tidak dapat dipastikan kapan timbulnya, sebab muncul secara spontan dan tidak dapat dipaksa. Kedua, tiap anak mempunyai masa pekanya sendiri-sendiri. Ketiga, kesempatan masa peka anak itu dipergunakan guru untuk melatih atau mengembangkan fungsi itu demi tercapainya hasil maksimal. Keempat, guru hanya mengetahui masa peka setiap anak dari alat-alat dan perbuatan yang menarik perhatian anak itu pada suatu waktu.
Guru mengamatinya dengan teliti, membandingkan, mengumpulkan dan menarik kesimpulan. Kemudian menyediakan alat pengajaran (permainan) dan memberi petunjuk tentang pemakainya.
7.2.4. Anak Didik Bebas Mengembangkan Diri
Hasil usaha pendidikan adalah hasil usaha anak mendidik dirinya sendiri. Perkembangan anak tidak bisa dipaksakan dari luar, tetapi timbul dari dalam anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk bertingkah laku menurut kemauannya. Menurut Maria Montessori, bukan kebebasan ’liar’ tetapi anak bergerak bebas dalam peraturan yang berguna untuk kepentingan bersama. Anak yang tidak mengindahkan peraturan diberi sanksi seperti: diasingkan dari kelas, tidak diperbolehkan turut dalam keaktifan kelas, diberi tempat sendiri.
7.2.5. Semua Indra Anak Harus Mendapat Kesempatan untuk Berkembang
Maria Montessori berpendapat, indra merupakan gerbang jiwa anak. Segala pengertian yang terdapat dalam pikiran anak diterima melalui indera. Indera erat hubungannya dengan intelek anak. Dengan demikian, indera harus mendapat kesempatan untuk melatih diri. Untuk itu, Maria Montessori memakai alat pelajaran ciptaan Ed Seguin, Itard, dan lain-lain, tetapi tidak memenuhi cita-citanya, maka ia menciptakan alat-alat sendiri. Alat-alat itu untuk melatih penglihatan, peraba, pendengar, perasa dan penciuman. Waktu dilatih haruslah diindahkan agar hanya satu indera saja yang digunakan, yang lain tidak ikut bekerja.
7.2.6. Beberapa Kesimpulan Pemikirannya
Maria Montessori mendapat penghargaan besar dalam dunia pendidikan atas jasa-jasanya dalam pemikiran tentang pendidikan dewasa ini.
Pertama, dari sudut ilmu jiwa anak. Perkembangan tiap-tiap anak haruslah diamati. Pendidikan dan pengajaran wajib disesuaikan dengan perkembangan anak itu. Maria Montessori-lah yang membuka mata bagi adanya masa peka pada setiap anak.
Kedua, dari sudut pendidikan. Ia menegaskan bahwa pendidikan hanya mungkin dengan pendidikan itu sendiri. Ia menggunakan kebebasan dan keaktifan anak dalam metode yang dikembangkan agar setiap anak berkesempatan untuk berkembang sesuai pembawaan dan bakatnya masing-masing. Pendidikan dan pengajaran harus berjalan secara individual. Segala usaha wajib keluar dari diri anak.
Ketiga, dalam dunia pengajaran anak, khususnya TKK ia adalah seorang tokoh besar, selain F.W.A. Frobel. Dan dalam dunia pengajaran pada umumnya ia dipandang sebagai pelopor, penyusun dasar-dasar sekolah aliran baru. Ia yang mengalihkan pusat pendidikan itu dari materiosentris ke pedosentris, dan dari teacher central ke child central. Selanjutnya, sesuai dengan timbulnya masa peka, maka sangat baik kalau memperhatikan minat spontan otoaktivitas dan keaktifan dalam pengajaran.
7.2.7. Penilaian Para Ahli
Di samping sisi kebaikan di atas, ternyata begitu banyak para ahli yang tidak sepaham dan menentang teorinya. Salah satu ahli yang tidak sepaham dengannya adalah Prof. Gunning dengan menyatakan beberapa catatan:
7.2.7.1. Dari Sudut Ilmu Jiwa
Pertama, lmu jiwa yang dipakai Maria Montessori sebagai dasar metode pengajarannya masih mempergunakan ilmu jiwa lama, yaitu ilmu jiwa unsur. Dimana ia mengatakan bahwa pada wakatu melatih sala satu indera, indera yang lain tidak boleh mempengaruhinya; belajar menulis dan membaca dimulai dari huruf. Padahal para ahli pada umumnya sudah berubah ke ilmu jiwa keseluruhan dan ilmu jiwa gestalt. Keseluruhan maupun strukturlah yang primer (utama), unsur ditentukan nilainya oleh kedudukan dan keseluruhannya.
Kedua, dunia fantasi anak. Di sini muncul suara yang paling banyak menentang Maria Montessori. Pendapatnya tentang fantasi atau khayal menunjukkan kemiskinan kerohanian dan tidak sesuai dengan kenyataan. Ia melarang anak bermain khayal seperti bermain kereta api, anak laki-laki menjadi kondektur, anak perempuan menjadi kondektur sedang boneka dijadikan anaknya. Berhubungan dengan diperkecilnya fantasi, maka diabaikan pula mata pelajaran ekspresi; seperti menyanyi, bermain-main, mengucapkan syair, mengambar, bercerita, mendongeng, dan lain sebagainya. Prof. Gunning menyamakan pendirian Maria Montessori mengenai fantasi itu sebagai perkosaan khuluk anak.
7.2.7.2. Dari Sudut Pendidikan
Pertama, sistem pendidikan Maria Montessori, terlalu individual, tidak ada kesempatan untuk pendidikan sosial, sebab tidak ada latihan sosial dalam rombongan. Pendidikan keindahan kurang mendapat perhatian. Pendidikan agama pada permulaan diabaikan. Percobaannya baru dimulai pada tahun 1920. Pengalaman itu ditulis oleh Mortimer Standing dalam bahasa Inggris yang tertuang pada buku Anak di dalam Gereja, pada tahun 1934.
Kedua, anak itu sepanjang hari tinggal di Casa del Bambini, maka pendidikan dalam keluarganya sedikit sekali. Anak seakan-akan datang ke rumah hanya untuk tidur. Tetapi hal ini sesuai dengan keadaan Italia kota, yang para ibu sepanjang hari bekerja di pabrik, dan sehabis bekerja barulah menjemput anaknya ke rumah.
7.2.7.3. Dari Sudut Pengajaran
Pertama, semua alat pelajaran Maria Montessori biarpun sudah diperbaiki, pada hakekatnya dipertunjukkan bagi anak yang tidak normal. Tidak semua alat adalah buatannya sendiri, maka harganya mahal. Untuk itu tinggal pula uang sekolahnya guna menyiapkan alat-alat tersebut. Hal itu mengakibatkan sekolah Maria Montessori hanya dikunjungi oleh anak-anak dari orang tua yang mampu keadaan ekonominya.
Kedua, kebebasan menurut Maria Montessori, bukan kebebasan yang sepenuhnya, melainkan kebebasan yang terbatas. Alat pelajaran dari dia sendirilah yang harus dipakai. Para guru dan murid tidak boleh memakai alat-alat lain. Alat-alat itu juga harus dipakai menurut tujuan tertentu.
Ketiga, keaktifan anak untuk membuat sendiri, mengadakan latihan tidak untuk kesenangan hidup. Jadi dalam sekolah Montessori tidak ada keaktifan bermain dalam arti yang sebenarnya.
7.3. PESTALOZZI
7.3.1. Riwayat Hidup
Johan Heinrich Pestalozzi seorang tokoh pendidikan sosial dan aliran devolopmentalisme. Ia berkebangsaan Swiss. Dia mulai terkenal tahun 1781 dengan bukunya yang berjudul Leinhard und Getrund (Jerman) atau Leonard and Gertrud (Inggris). Buku ini berubah menjadi sebuah roman yang menjelaskan cita-cita pendidikannya. Tujuan pendidikannya untuk mempertinggi derajat rakyat, mengembangkan potensi jiwa anak secara wajar. Dia adalah seorang pendidik rakyat yang sangat cinta kepada anak miskin dan telantar.
Pestalozzi lahir pada tanggal 12 Januari 1746 di Zurich-Swiss. Ayahnya meninggal dunia pada waktu ia berumur lima tahun. Kehidupan dan pendidikan selanjutnya ditangani oleh ibunya dan oleh kakeknya seorang pendeta. Pengabdian kakeknya terhadap orang-orang yang menderita dan miskin, membekas dalam hidupnya. Dan yang mengharukan dia adalah tindakan pengejaran anak-anak miskin oleh petugas negara untuk diusir keluar daerah.
Pestalozzi memperoleh pendidikan dasar dan menengah termasuk Collegium Carolinum, yaitu sekolah humanis. Dia pernah mengalami kegagalan dalam mewujudkan cita-citanya, antara lain gagal menjadi pendeta dan gagal menjadi ahli hukum. Kegagalan ini mendorong dia banting stir kehidupannya untuk mencurahkan tegananya dalam bidang pertanian. Setelah delapan tahun belajar pertanian, dan sudah beristeri dengan nama Anna Schutes, dibelinya sebudang tanah di Argau dan membuat rumah yang dinamakan Neuhop pada tahun 1768.
Tahun 1774, ia mengumpulkan lima puluh orang anak terlantar sebagai akibat timbulnya indutrialisasi di Neuhof. Ia mengajar anak-anak itu dengan bertenun, beternak, dan membuat keju. Sambil bekerja, anak-anak diajar membaca, menulis dan berhitung. Setelah lima tahun kemudian karena kehabisan uang, tanah itu dijual kembali karena kehabisan uang. Hanya sisa rumahnya, tempat di mulai menuliskan cita-cita pendidikannya.
7.3.2. Latar Belakang Kehidupan Sosial
Johan Heinrich Pestalozzi merupakan seorang tokoh pendidikan yang hidup pada abad ke-19. Situasi dan keadaan pada waktu itu sangat mempengaruhi pola pikir dan konsep pendidikannya.
7.3.2.1. Revolusi Perancis
Timbulnya revolusi Perancis pada tahun 1789, memyebabkan bangkitnya kasta ketiga. Kasta ketiga ini mulai menuntut haknya dalam berbagai bidang kehidupan. Yang termasuk kasta ketiga adalah pada buruh dan kaum tani. Sedangkan yang tergolong kasta pertama adalah para kaum bangsawan dan agama serta orang kaya. Bangkitnya kasta ini (kasta ketiga) disebabkan meluasnya cita-cita aufklarung, yang mempunyai pandangan bahwa semua manusia berderajat sama, termasuk di bidang pendidikan. Karena pada waktu itu orang yang berhak memperoleh pendidikan hanyalah orang kaya, golongan bangsawan, sedangkan orang kecil, kaum petani tidak diperkenankan.
7.3.2.2. Revolusi Industri
Revolusi industri membawa kemajuan dalam segala bidang kehidupan. Hal-hal baru muncul, misalnya pekerjaan atau kegiatan yang biasa dilakukan dengan tangan, kini dikerjakan dengan mesin. Hal ini mempengaruhi bidang pendidikan dan pengajaran Pengajaran diberikan secara massal atau klasikal. Sistem pendidikan tersebut menimbulkan tuntutan akan pendidikan sosial, yakni pendidikan bagi segenap lapisan rakyat.
7.3.2.3.Tipe Pendidikan yang Diberikan oleh Jhon Locke dan Rousseau
Pertama, John Locke dan Rousseau menekankan pendidikan untuk kaum bangsawan dan golongan atas. Locke menekankan tipe pendidikan disipliner melalui suatu bimbingan belajar dan pembentukan kebiasan-kebiasan moral yang baik, agar anak dapat membangun tubuh dan pikirannya yang sehat. Rosseau menekankan pendidikan secara alamiah melalui hubungan-hubungan dengan alam. Pestalozzi melihat adanya kesenjangan dan diferensiasi antara kedua pandangan tersebut, sehingga ia menggabungkan dan menyatukan keduanya. Dia mengatakan bahwa anak memerlukan pedoman-pedoman dalam hubungan dengan alam. Pedoman dalam pemikiran serta pembuatan kesimpulan sehubungan dengan berbagai pengalaman yang telah dijalani.
Kedua, adanya tindakan yang tidak manusiawi. Para buruh dan anak yatim piatu diperlakukan secara tidak manusiawi oleh golongan atas. Pestalozzi melihat sendiri bagaimana orang –orang kecil dibunuh dan diusir keluar dari daerahnya, yang dilakukan oleh pada prajurit.
Ketiga, peranan ibu dalam mendidik anak kurang diperhatikan. Peranan ibu dan keluarga dalam pendidikan kurang diperhatikan, karena anak dididik secara individual oleh guru yang dibayar oleh orang tua. Dia menekankan pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan anak. Anak jangan hanya dipercayakan kepada orang lain, tetapi perlu mendapat pendidikan langsung dari ibu dan bapak.
Keempat, sarana dan prasarana sekolah relatif kurang, malah kodisinya sangat buruk. Hal ini mendorong dia untuk memikirkan cara dan metode yang baik dalam pendidikan dan pengajaran.
Kelima, anak-anak dipaksakan untuk menghafal teks-teks kitab suci dan bidang studi lainnya. Kalau anak-anak tidak mampu, mereka mendapat perlakuan yang kejam dari gurunya. Misalnya anak-anak dipukul dan dimaki. Dengan melihat keadaan ini, Pestalozzi menekankan bahwa tugas pendidik adalah membantu dan menolong anak untuk menjadi manusia sejati. Pendidikan bertujuan agar anak di kemudian hari dapat menolong atau membantu dirinya sendiri (hilfe zur selbshilfe) atau pertolongan untuk pertolongan diri.
Keenam, kebobrokan moral dari kalangan atas, yang mempengaruhi kalangan bawah, usaha untuk mempersalahkan orang lain atau budaya kambing hitam (betes noires). Karena itu ia menekankan sekali lagi peranan keluarga dalam pendidikan. Usaha memecahkan masalah yang kita hadapi harus mulai dari diri sendiri.
7.3.3. Metode Pendidikan
Sesuai dengan filsafat pendidikannya, bahwa pendidikan itu untuk membantu anak dan menolong anak didik, maka metode yang dipakai adalah:
7.3.3.1. Metode Peraga
Segala sesuatu yang diajarkan hendaknya diperlihatkan kepada anak-anak, kemudian dihubungkan dengan bercakap-cakap. Pestalozzi membedakan tiga unsur yang harus dikembangkan dalam pengajaran, yakni:
1. Bunyi (kata). Pelajaran bercakap-cakap, membaca dan tata bahasa. Apa yang diamati, segera disebut namanya. Murid-murid menguranginya bersama-sama dengan kalimat-kalimat yang makin lama makin sulit. Maksudnya sangat baik, tetapi implementasinya membuat akibat yang tidak diinginkan, yakni verbalisme yang buruk. Demikian pula dalam pelajaran sejarah, ilmu bumi dan ilmu hayat;
2. Unsur kedua ini dikembangkan oleh ilmu ukur, menulis setelah menggambar. Yang digambar khusus yang ada hubungannya dengan ilmu ukur, seperti persegi panjang, bujur sangkar, jendela, pintu dan sebagainya;
3. Bilangan. Yang menyebabkan anak-anak dapat membedakan jumlah. Asas keberupaan dilaksanakan juga pada pengajaran berhitung. Peragaan yang jelas alan membantu tercapainya pengertian yang tepat pada bilangan-bilangan. Dia yang pertama kali memasukkan pelajaran berhitung menjadi pelajaran di kelas.
7.3.3.2. Metode Keaktifan Anak Sendiri
Keaktifan anak sendiri untuk mempraktekkan pandangannya tentang pendidikannya, yaitu hilfe zur selbsthilfe (pertologan untuk pertolongan diri). Anak sendirilah yang menolong dirinya sendiri atau mendidik dirinya.
7.3.3.3. Metode Pendidikan Sosial
Masyarakat dan umat manusia mempunyai pengaruh dalam pendidikan dan harus dididik untuk masyarakat dan kemanusiaan. Pestalozzi memandang anak tidak secara individual, melainkan sebagai anggota masyarakat.
7.3.4. Implikasinya
Tujuan pendidikan mengembangkan daya anak agar menjadi orang baik, mengabdi pada masyarakat, kemanusiaan dan Tuhan. Kepercayaan pada Tuhan tidak hanya melalui rasio, melainkan melalui cinta dan lain-lain.
Jenis pendidikan harmonis, multipurpose atau bertujuan banyak. Lingkungan pendidikan, terutana adalah keluarga. Peran utama dalam pendidikan adalah ibu. Keaktifan dan hilfe zur selbsthilfe sangat penting. Dalam mengajar orang wajib memakai pedoman. Pedoman didaktiknya adalah:
1. Pengamatan langsung (anschauung der natur);
2. Keaktifan jiwa raga anak sendiri untuk mengolah pengamatan dan menolong dirinya sendiri;
3. Kemajuan pengajaran harus teratur, setingkat demi setingkat;
4. Seluruh kegiatan pengajaran berpusat pada suara, bentuk dan bilangan.
Usaha-usaha pelaksanaan cita-cita Pestalozzi: Pertama, mendirikan sekolah pertanian untuk musim panas dan pekerjaan tangan untuk musim dingin. Kedua, mendirikan sekolah yatim piatu. Ketiga, mendirikan sekolah rakyat untuk semua anak.Keempat, mendirikan sekolah guru.
7.4. FREDERICH AUGUST FROBEL
7.4.1. Riwayat Hidup
F.W. Frobel adalah seorang pendidikan yang terkenal dari Jerman. Ia adalah pendiri TKK modern dan merupakan pengikut Pestalozzi. Dalam perjalanan karirnya di bidang pendidikannya, Frobel lebih menekankan kebebasan pada anak untuk mengungkapkan diri melalui permainan, aktivitas tertentu, minat spontan dan pengalaman anak sendiri.
Filsafat pendidikan Frobel dipengaruhi oleh filsafat idealisme dari Scheling yang menekankan pada persatuan alam dan jiwa. Lebih dari pada itu dipengaruhi oleh keyakinannya pada Tuhan sebagai pengatur kehidupan manusia yang merupakan bagian dari alam. Anak-anak merupakan bagian dari alam. Anak-anak menjadi perantara bagi perwujudan kemauan Tuhan dalam alam manusia. Dan melalui pendidikan anak dapat memiliki persatua dengan Tuhan.
Setiap anak memiliki kemampuan dasariah. Karena itu tujuan pendidikannya adalah membantu anak untuk mengembangkan kesanggupan dan daya-daya agar tercapainya persatuan rohaniah dengan Tuhan. Peranan orang tua, guru dan lingkungan juga turut menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mengaktualisasikan diri dan memanfaatkan kemampuan alamiahnya.
F.W. Frobel lahir di Oberweiusbach Jerman pada tahun 1782. Pada masa kecil ia tidak mendapat perhatian dari oran tua kandungnya. Kenyataan yang ada mendorong dirinya pergi dan tinggal bersama pamannya. Berkat dukungan pamannya, Frobel memperoleh peluang untuk mengenyam pendidikan sekolah desa. Dalam bangku pendidikan itu, Frobel merasa tidak memperoleh suatu sumbangan dan dukungan bagi proses pembentukan diri dan masa depannya. Hal ini disebabkan karena dalam proses belajar mengajar guru kurang memberi peluang bagi siswa untuk menumbuhkan kreativitas dan aktivitasnya. Kenyataan yang ada akhirnya menuntut Frobel meninggalkan bangku pendidikan yang ada. Sebagai batu loncatan dalam pendidikannya, terpaksa Frobel meminta pekerjaan pada seorang pegawai kehutanan di Thurigian. Berkat kemampuan dan dukungan usianya yang muda, Frobel diberi kesempatan untuk mengamati rahasia alam sehubungan dengan keberadaan tanaman dan binatan yang ada.
Setelah cukup lama Frobel bergumul dengan dunia pekerjaannya, kembali ia melanjutkan niatnya untuk memperoleh pendidikan. Niat yang ada mendorong Frobel masuk pada Universitas Jena. Di sana ia memperoleh pendidikan selama empat tahun. Setelah itu, tepatnya pada tahun 1805-1807, Frobel mengajar di sekolah Pestalozzi di Frankurt-am-Main dan menjadi guru pembimbing pada Yverdon Institute of Pestalozzi. Berkat kesadaran akan kekurangan ilmu pengetahuan dan keahlian dalam dirinya, akhirnya pada tahun 1816, Frobel kembali melanjutkan studinya di Universitas Berlin.
Pada tahun 1816, setelah Frobel menyelesaikan pendidikannya, perhatian dan konsentrasinya mengarah kepada dunia usaha. Ruang lingkup usahanya adalah dunia pendidikan. Sejak saat itu pula, Frobel mulai mendirikan sebuah sekolah di sebuah desa kecil Thurigian. Sekolah tersebut akhirnya menjadi pusat penelitian yang unik. Berdasarkan hasil penelitian yang ada, akhirnya Frobel menuangkan gagasan pendidikannya dalam karangan yang berjudul The Education of Man. Buku ini menguraikan metode dan prinsip-prinsip pendidikannya bagi anak-anak yang berumur 1-7 tahun. Sadar akan pentinganya pendidikan kanak-kanak, akhirnya pada tahun 1837 Frobel mendirikan kindergarten (TKK) di desa Blankenburg.
Sebagai lanjutan dari karyanya, Frobel menciptakan sarana dan fasilitas bagi pendidikan kanak-kanak dan memberikan ceramah-ceramah tentang teori pendidikannya ke seluruh Jerman. Ceramah-ceramah yang diberikan akhirnya membuahkan hasil bagi perkembangan dunia pendidikan kanak-kanak. Tanpa diduga sejak tahun 1849-1852 (sesudah Frobel meninggal) muncul sekolah taman kanak-kanak dan sekolah kejuruan seperti di Eropa, Finlandia, Swedia, Prancis, Inggris dan empat puluh kota besar di Amerika.
7.4.2. Latar Belakang Kehidupan Sosial
Pada dasarnya gagasan dari sistem pendidikan Frobel, dipengaruhi oleh latar belakang situasi sosial. Pada permulaan abad 19, muncul berbagai perkembangan yang cukup pesat di Eropa. Yang nampak pada saat itu adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demi memahami latar belakang pendidikan Frobel, kita perlu melihat beberapa latar belakang perkembangan berikut ini.
7.4.2.1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa ditandai dengan munculnya berbagai aliran pendidikan, seperti: Pertama, aliran Roamnatik. Aliran yang menempatkan perasaan dan ilham serta khalayan sebagai pusat utama untuk memahami dunia. Kedua, aliran Positivisme.Aliran yang menghendaki sesuatu yang serba nyata demi dijadikan bahan bagi ilmu dan filsafat. Ketiga, aliran kebangsaan. Aliran ini giat menuntut pendidikan nasional yang berorientasi pada suatu tujuan untuk memisahkan agama (gereja) dari negara sehingga sekolah-sekolah pemerintah netral dalam soal agama.
7.4.2.2. Sistem Pendidikan di Eropa
Dalam dunia pendidikan terdapat suatu sistem pendidikan yang lebih berpusat pada subyek pendidikan itu sendiri, yakni guru. Dalam dunia pendidikan, guru lebih dilihat sebagai orang yang berwewenang. Konsekuensinya dalam proses pendidikan, guru menduduki peran utama dan pertama. Kenyataan yang ada membawa dampak yang cukup tinggi bagi proses pembentukan diri siswa. Siswa lebih banyak pasif. Sistem pendidikan yang berpusat pada guru mengakibatkan kreativitas dan aktivitas anak mandek. Siswa akan mengalami tantangan dalam mengembangkan diri, memiliki keterampilan dan memahami lingkungan atau dunia sekitarnya.
7.4.2.3. Perkembangan Industri
Perkembangan industri di Eropa menuntut suatu sumbangan dari para tenaga kerja. Pertumbuhan dan perkembangan indutri tidak hanya didukung oleh banyaknya modal dan peralatan, tetapi lebih menuntut keahlian dan keterampilan dari para tenaga kerja selaku subyek pertama dan utama. Kenyataan seperti ini menuntut sumbangan dari dunia pendidikan pada umumnya.
Dalam latar belakang situasi seperti ini, Frobel mengemukakan gagasan tentang pendidikan manusia yang dituangkan dalam bukunya The Education of Man. Sasarannya adalah anak-anak yang berumur 1-7 tahun. Gagasan pendidikan Frobel memberi penekanan utama pada kebebasan beraktivitas yang pada akhirnya mampu mendorong anak untuk mengerti dan memahami eksistensi dirinya, alam dan lingkungan sosialnya.
7.4.3. Pengertian dan Gagasan Pendidikan Frobel
Pengertian dan gagasan pendidikan Frobel didasari oleh filsafat pendidikannya. Dalam filsafat pendidikannya, Frobel menunjukkan suatu keyakinan tentang kesatuan alam, adanya hukum alam yang universal dan keyakinannnya pada Tuhan sebagai pengantar kehidupan manusia yang merupakan bagian dari alam.
Berangkat dari gagasan yang ada, pendidikan Frobel dilihat sebagai suatu upaya untuk dapat memahami persatuan dengan Tuhan. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang memberi kebebasan kepada anak untuk beraktivitas. Karena dengan pendidikan beraktivitas, anak mampu mengembangkan kemampuannya untuk memahami berbagai perubahan bentuk dalam kehidupan dunia dan mengetahui hukum-hukum alam.
Pendidikan Frobel berorientasi pada tujuan, yakni supaya anak dapat mengenal lingkungan alamnya, lingkungan sosial dan sifat serta eksistensi dirinya sebagai manusia yang dapat berpikir, bertindak, berkembang, memiliki keinginan, minat dan kemampuan-kemampuan dalam dirinya. Berhubungan dengan hal itu, Frobel menekankan bahwa pendidikan seperti itu hendaknya diberikan pada anak sejak umur 1-7 tahun. Dengan dan melalui cara ini kemampuan dan sifat anak dapat ditumbuhkembangkan.
Dalam perspektif Frobel, lembaga pendidikan bagi anak-anak dinamakan kindergarten atau TKK. Di dalamnya anak-anak diberi peluang untuk melatih diri dalam mengamati, mempelajari dan bekerja dengan alam termasuk flora dan fauna serta benda mati lainnya. Sehingga mereka memperoleh pengertian yang jelas tentang berbagai perubahan bentuk dalam kehidupan dunia dan mengetahui hukum-hukum alam anorganik.
Gagasan pendidikan Frobel ini didasari oleh suatu pemahaman bahwa anak-anak sejak lahir telah memiliki kemampuan khusus masing-masing. Perkembangan, kemampuan dan pemenuhan kebutuhan diri berasal dari dorongan hati anak tersebut melalui aktivitas yang dilakukannya secara spontan anak, sebab dengan berpikir tentang sesuatu anak sampai pada perbuatan atau tindakan nyata. Dalam hubungan dengan kebebasan anak untuk bertindak, Frobel menganjurkan agar pribadi-pribadi pendamping seperti orang tua, guru dan lingkungan hendaknya mampu memberikan sumbangan yang bersifat konstruktif. Dengan dan melalui cara ini anak mampu mengaktualisasikan diri dan memanfaatkan kemampuan alamiahnya.
7.4.4. Metode Pendidikan Frobel
Demi memahami metode pendidikan Frobel, terdahulunya kita perlu melihat beberapa prinsip pendidikan Frobel. Hal ini sangat perlu karena metode pendidikan Frobel didasari oleh prinsip-prinsip pendidikannya. Ada beberapa prinsip yang dijadikan sebagai pedoman bagi metode pendidikan Frobel, antara lain:
1. Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Tetapi lebih merupakan pengalaman hidup yang mampu menyatukan pikiran dan tindakan;
2. Ekspresi diri dan belajar dari kerja adalah cara terbaik untuk belajar, memperoleh pengetahuan dan keterampilan serta mengembangkan bakat;
3. Anak-anak harus dibimbing sehingga mereka mampu belajar melalui pengalaman dalam suatu kelompok kerja sama, dapat membentuk sikap dan kebiasaan moral yang baik, dan menciptakan persahabatan antara mereka;
4. Spontanitas. Kegembiraan dan disiplin yang diberikan kepada anak-anak harus wajar dan mampu menampakkan ciri khas terhadap sekolah tersebut dan program-programnya;
5. Manusia adalah bagian dari alam dan tunduk kepada hukum alam. Karena itu, alam harus dipelajari oleh para guru dan ahli ilmu pengetahuan.
Berdasarkan kelima prinsip pendidikan tersebut di atas, akhirnya Frobel menawarkan beberapa metode yang bakal dipakai dalam proses pendidikan. Metode pendidikan Frobel adalah sebagai berikut:
7.4.4.1. Metode Belajar dan Permainan
Frobel menggunakan permaian sebagai sarana untuk memperkenalkan dunia kepada anak didik. Dalam metode ini Frobel menciptakan berbagai bentuk alat permainan untuk melatih dan mengembangkan kreativitas anak. Bagi Frobel, melalui permainan, anak akan memperoleh kebebasan, serta tolong menolong dan memperoleh peluang untuk menjalin hubungan sosial antar sesama.
7.4.4.2. Metode Kerjasama dalam Kelompok
Menurut Frobel, TKK adalah miniatur masyarakat yang ideal. Oleh karena itu, dalam bangku pendidikannya dijadikan sebagai sekelompok masyarakat kecil. Dengan dan melalui cara ini, anak mampu belajar tolong menolong, moral, menghargai teman dan bersahabat dengan teman-temannya.
7.4.4.3. Metode Naratif atau Cerita
Menurut Frobel, materi pelajaran yang diberikan kepada anak-anak hendaknya wajar atau sesuai dengan tingkat kemampuan dan perkembangan diri anak. Menjawabi hal ini Frobel menganjurkan agar setiap materi yang tampaknya abstrak bagi anak-anak hendaknya perlu dikonkretkan. Usaha mengkonkretkan materi harus menggunakan berbagai sarana seperti cerita atau dongeng. Dengan cara ini, anak tidak pasif melainkan aktif bersama pendidik. Keaktifan mereka nampak karena daya imajinasi anak mampu mengakui apa yang kita berikan.
7.4.4.4. Metode Problem Solving
Menurut Frobel, anak-anak akan menerima dan mewujudkan dorongan hari mereka melalui aktivitas-aktivitas, baik yang diatur maupun yang dilihatnya berdasarkan pengalaman dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan anak, hendaknya pendidik mampu menghadapkan anak pada satu masalah. Dengan cara ini, tingkat berpikir atau analisa anak berkembang.
7.4.4.5. Metode Latihan atau Drill
Berhubungan dengan peningkatan dan pengembangan kreativitas dan aktivitas anak, Frobel juga menganjurkan agar proses pendidikan anak perlu memperoleh latihan-latihan kerajinan tangan anak, baik dari TK maupun untuk anak yang lebih tua.
7.4.4.6. Kesimpulan
Pada dasarnya filsafat pendidikan Frobel menggabungkan prinsip-prinsip psikologi dan pendidikan yang merupakan inti dari teori dan praktek pendidikan zaman modern. Metode pendidikan dalam pendidikan anak-anak yang menekankan aktivitas spontan anak, merupakan sumbangan yang berharga bagi dunia pendidikan modern oleh para ahli psikologi dan pendidikan.
Singkatnya filsafat pendidikan Frobel menekankan kebebasan aktivitas, belajar dari perbuatan, minat spontan yang dimiliki anak serta pengalaman-pengalaman mereka. Dengan demikian, anak dapat mengembangkan kemampuan untuk memahami berbagai perubahan bentuk dalam kehidupan dunia, mengetahui hukum-hukum alam, lingkungan sosial dan sifat serta eksistensi dirinya sebagai manusia yang dapat berpikir, bertindak, berkembang, minat dan kemampuan-kemampuan tertentu.
7.5. JOHN DEWEY
7.5.1. Riwayat Hidup
John Dewey sangat terkenal sebagai seorang tokoh pendidikan. Selain itu, beliau dikenal sebagai seorang filsuf, psikolog dan politikus. Ia mulai dikenal sebagai tokoh dalam dunia pendidikan ketika ia membuka sebuah sekolah laboratorium tahun 1886. Setelah itu menyusul usaha-usaha lainnya, seperti mendirikan sebuah institute, yaitu Sekolah dan Masyarakat (The Society and the School), mendirikan sebuah serikat para professor di Amerika.
Perjuangan penting dalam dunia pendidikan yang diusahakannya adalah menyatukan teori dan praktek lewat teorinya yang terkenal, yaitu Learning by Doing, yang senantiasa berorientasikan kemasyarakatan. Untuk mengejahwantahkannya dalam pendidikan,maka pendidikan anak dikembangkan menurut bakat, potensi, minat yang berorientasi pada proses.
John Dewey dilahirkan di Burlington, Amerika Serikat pada tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1879, ia menamatkan studinya pada Universitas Vermont pada tahun 1882 ia melanjutkan studinya pada Universitas John Hopkins. Setelah tamat tahun 1884, ia langsung menjadi asisten professor filsafat pada Universitas Mineseto.
Semenjak tahun 1889, Dewey mulai dikenal di seluruh dunia, berkat keberhasilan usaha dan karyanya dalam bidang pendidikan. Usaha-usaha seperti mendirikan sebuah lembaga kerja sama The Society and The School, mendirikan sebuah sekolah laboratorium dari tahun 1896-1904, menjadi kepala perhimpunan psikologi Amerika sejak tahun 1904-1906.
Sejak tahun 1917, John Dewey mulai berkiprah dalam dunia politik, di mana pada tahun 1929 ia diangkat menjadi Ketua DPR di Washington. Setelah itu ia diangkat menjadi Ketua Liga untuk Demokrasi Industri (League Industrial Democracy) sampai beliau meninggal pada tanggal 1 Juni 1952.
7.5.2. Latar Belakang Kehidupan Sosial
Seluruh konsep pendidikan John Dewey sangat dipengaruhi oleh situasi masyarakat, dunia pendidikan pada zamannya serta pandangan historisitas zaman antik Yunani.
7.5.2.1. Historisitas Zaman Antik Yunani
Dari sudut social John Dewey berpendapat bahwa ada pertentangan antara kebudayaan liberal dan kebudayaan profesional yang mencirikan kehidupan manusia. Pendapat ini dilatabelakangi oleh historisitas zaman antik Yunani. Di mana pada zaman itu, pembagian kota berada dalam kelas-kelas atau hirarki, yang lain memiliki hak privelese, terdapat tuan-tuan tanah yang kaya raya, sementara terdapat pula hamba-hamba. Ada pula kelompok-kelompok elit terdidik yang mampu membuat kebijakan dan rencana, tetapi ada juga manusia-manusia budak yang hanya tahu menjalankan tugas atau kerja berdasarkan rancangan orang lain. Dengan itu berarti daya kreatif manusia dimatikan.
Dalam hubungan dengan faktor social, John Dewey juga menolak pola pikir E. Durkheim yang mengatakan bahwa cita-cita social dipenetrasikan dalam kesadaran individu lewat paksaan walau tidak sadar dijalankan oleh masyarakat. Menurut John Dewey, antara pertumbuhan masyarakat dan perkembangan individu terdapat saling ketergantungan yang timbal balik. Masa kanak-kanak dan masa muda tidak merupakan suatu periode negative murni dalam kehidupan, yang ditempatkan saja dalam perlindungan orang dewasa, yang juga tidak berarti suatu kepastian anak yang dibentuk dari luar, melainkan menampilkan potensi positif dan aktif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak kepada kemajuan masyarakat.
7.5.2.2. Perkembangan Industri Modern Kota
Pada waktu itu di kota telah berkembang industri modern. Hal ini menarik minat masyarakat pedalaman untuk berpindah ke kota, sementara mereka sendiri belum memiliki keterampilan untuk memanfaatkan peralatan-peralatan industri tersebut. Di daerah pedalaman yang mereka tinggalkan, kebanyakan memiliki perusahan kecil dan sederhana (perusahan rumah tangga). Seluruh anggota keluarga ikut bekerja dalam perusahan rumah tangga tersebut. Hal ini tentu karena ada kerja sama, rasa tolong menolong, keinginan untuk menyelidiki sesuatu, rasa kemasyarakatan dan rasa tanggung jawab antara anggota keluarga.
Pengaruh perkembangan industri tersebut, keadaan kehidupan masyarakat kota menjadi sangat industrialistis. Hal ini mengurangi relasi sosial antar mereka, rasa kerja sama semakin menurun, demikian juga sikap tolong menolong. Selain itu juga menghilangkan industri-industri kecil di pedesaan. Bersama dengan itu, lenyap pula faktor-fakor pendidikan yang turut membentuk watak manusia seperti kerja sama, gotong royong dan kekeluargaan.
Karena situasi tersebut, John Dewey menjadikan sekolahnya sebagai sekolah kerja yang dapat menghidupkan kembali rasa kerja dan tolong menolong. Kerja sama dan tolong menolong inilah yang dijadikan guidance principle dari sekolah Dewey.
7.5.2.3. Pertentangan antara Teori dan Praktek
Pendidikan yang berkembang zaman itu lebih menekankan teori dari pada praktek. Hal ini membawa konsekuensi bagi guru dan siswa itu sendiri. Siswa menjadi pasif dan tidak bebas berkomunikasi serta mengungkapkan diri. Sedangkan bagi pendidik sendiri, siswa dipandang sebagai papan tulis kosong yang siap ditulis oleh guru. Dalam arti siswa dijadikan sebagai obyek yang mati tanpa kreasi. Atas dasar itu, guru berusaha menyalurkan teorinya sebanyak mungkin.
7.5.3. Pengertian dan Beberapa Gagasan Pendidikan Dewey
7.5.3.1. Pengertian
Pendidikan merupakan suatu proses dan bukan merupakan hasil. Proses pendidikan itu harus dibimbing ke dalam aneka kegiatan serta diarahkan pada maksud hidup bermasyarakat. Pendidikan sebagai proses harus menyusun ulang pengalaman serta memberinya nilai yang lebih sosial dalam pribadi anak secara tepat guna. Pendidikan sebagai proses, memiliki beberapa tahap penting, yaitu:
1. Pendidikan sebagai proses: Meletakkan arti bagi pendidikan itu sendiri dalam proses. Konsep ini sebetulnya mau menepis pola lama yang menyatakan bahwa pendidikan dimulai apabila seorang mengawali pendidikannya pada jenjang tertentu dan berakhir pula pada jenjang tertentu dari suatu institut pendidikan. Sedangkan menurut pandangan baru menurut Dewey, pendidikan itu dimulai sejak seorang anak baru dilahirkan dan berlangsung hingga akhir hidupnya. Atau dengan kata lain: Long life education sehingga dalam sekolah Dewey tidak menetapkan sistem pendidikan sebagai satu persiapan untuk hidup;
2. Tujuan pendidikan.
a. Tujuan pendidikan ditemukan dalam proses pendidikan itu sendiri. Karena tujuan pendidikan tetap mengacu pada proses perbaikan, pembaharuan serta organisasi pengalaman. Karena itu tidak ada satu tujuan terakhir yang dicapai setelah menyelesaikan suatu tugas belajar. Pendidikan akan terus berjalan hingga berhenti mengajar. Sehingga tujuan pendidikan yang cocok bagi peserta didik hanya dapat ditentukan oleh keberadaan anak itu sendiri dan bukan oleh sekolah;
b. Alasan lain yang menyangkal adanya tujuan akhir dari pendidikan ialah sangat mustahil bahwa dapat ditentukan secara fungsional tujuan untuk seorang anak. Keberadaan anak hanya dapat dipengaruhi oleh situasi dan masanya. Karena dalam kenyataannya, seorang anak tidak dapat memikirkan akan masa depan: ”kapan saya akan menjadi manusia” (when I will be a man). Hal ini bisa dimengerti mengingat proses pendidikan memiliki rantai unitas dan berkesinambungan selama hidup. Sehingga proses pendidikan diidentikan dengan proses hidup.
7.5.3.2. Faktor-Faktor Penting dalam Pendidikan
Dalam proses pendidikan ala Dewey terdapat dua faktor utama, yakni Pertama, faktor individual. Pendidikan seorang anak dimulai dengan aktivitas tertentu. Jika anak tidak mampu beraktivitas secara normal, maka secara tidak normal pula anak tidak mampu melaksanakan kegiatan pendidikan di sekolah. Pendidikan di sini harus dimulai dari pandangan psikologis yang meliputi kapasitas, kemampuan, minat, bakat dan kebiasaan anak yang mempunyai kecenderungan untuk merealisasikannya secara nyata. Hal ini dapat dimungkinkan bila anak dibimbing ke dalam latihan yang berhubungan dengan situasi sosial masyarakat. Karena sifat-sifat anak diperoleh dalam dan melalui aktivitas sosial.
Selanjutnya Dewey menyebutkan empat macam minat dasar dari basis pendidikan: minat dalam percakapan dan berkomunikasi, minat dalam bertanya atau berkeinginan untuk menemukan sesuatu hal, minat untuk menciptakan sesuatu yang bersifat konstruktif, dan minat dalam mengungkapkan sesuatu hal yang seni atau ekspresi sosial. Menurut Dewey, minat bahasa merupakan bentuk yang paling sederhana dari ekspresi sosial anak sehingga bahasa diasumsikan sebagai yang paling terkenal dari semua sumber pengetahuan.
Kedua, menurut Dewey setiap individu tidak bisa terlepas dari masyarakat. Umat manusia adalah satu organisme yang memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan apa yang telah dikembangkan atau dihantar ke dalam aktivitas fungsional dalam hubungannya dengan masyarakat. Di lain pihak, masyarakat bukanlah suatu perjubelan individu secara bersama dalam satu organisme. Masyarakat merupakan satu kesatuan individu, kesatuan kehidupan, kegiatan-kegiatan dan fungsi sosial yang diperoleh melalui individu-individu. Interaksi, relasi, hubungan sosial merupakan faktor-faktor sentral dalam evolusi kegiatan-kegiatan manusia. Tanpa ada hubungan dengan masyarakat, tak seorangpun akan mampu mengembangkan kemampuannya. Pengetahuan juga memiliki kemampuannya hanya karena ada pengertian sosial. Untuk itu sekali lagi bahasa merupakan sarana yang sangat diperlukan dalam hubugan sosial.
7.5.3.3. Kehidupan Sosial dan Kemampuan Anak
Situasi sosial khususnya keluarga berkepentingan dalam mengaktualkan aktivitas anak sesuai kemampuannya. Sesua pernyataan ini, Dewey berpendapat bahwa pendidikan yang benar berasal dari daya dorong kemampuan anak yang dihadapkan pada situasi sosial. Anak perlu diikutsertakan dalam kegiatan rumah sebab dengan itu anak menemukan kegiatan-kegiatan yang memiliki arti sosial atau kepuasan hati baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama.
Pada permulaan hidupnya, kemapanan anak belum dikembangkan. Mereka berekspresi dan berkembang jika mereka turut memainkan peranan dalam hubungan dengan orang lain. Karena dengan mengikutsertakan mereka ke dalam hubungan sosial, kemampuan anak dapat dikembangkan.
Konsep-konsep penting Dewey tentang hidup sosial dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pengaruh filsafat Hegel yang melihat masyarakat sebagai organisme, studi doktoralnya pada Universitas John Hopkins menghantarnya pada konsep tentang evolusi sosial, dan studinya tentang revolusi industri dan hubungannya dengan kehidupan individualisme Amerika yang semakin menjadi-jadi menyadarkan bahwa kebutuhan manusia yang terbesar dewasa ini ialah hidup dalam semangat kerja sama.
7.5.3.4. Sekolah Sebagai Sarana Sosial
Biasanya konsep tentang sekolah diartikan sebagai tempat bagi anak untuk belajar beberapa keterampilan dan memperoleh berbagai informasi pendidikan bagi pemenuhan kebutuhannya sebagai manusia. Bagi Dewey, sekolah lebih merupakan institusi pokok bagi masyarakat. Sekolah bukan semata sebagai sarana temporal tetapi sekolah selalu dilihat sebagai satu kepentingan absolut bagi proses sosialisasinya individu.
Bagi Dewey, industri dilihat sebagai perampokan terhadap peran industri rumah tangga. Tetapi di lain pihak, industri juga memiliki nilai positif, yaitu memiliki arah pengertian sosial dan pengetahuan di mana kegiatan-kegiatan industri merangsang kreativitas anak. Karena melalui hubungan dengan aktivitas-aktivitas ini, inteligensi anak dihidupkan, dan melalui partisipasi anak, maksud dan tujuan hidup sosial dilatih. Karena itu, kesibukan sekolah yang terutama adalah mendidik anak untuk bisa ”bekerja sama dan hidup saling menolong”.
7.5.4. Metode yang Dipakai
John Dewey adalah seorang filsuf yang menganut filsafat pragmatis. Karena kepragmatisannya, Dewey menekankan pertama-tama bukan teori melainkan kerja dan pengalaman serta berpikir sebagai titik tolak metode pendidikannya. Ketiga unsur ini saling berkaitan satu sama lain secara timbal balik.
7.5.4.1. Metode Learning by Doing
Metode ini menitikberatkan pada aktivitas anak. Proses pendidikan dijalankan bukan hanya melulu pemberian informasi pengetahuan atau teori tetapi lebih pada pembinaan atau skill yang dapat menunjang dalam kehidupan selanjutnya.
7.5.4.2. Metode Proyek
Metode ini juga termasuk metode problem solving yang digunakan sebagai suatu kegiatan pemecahan masalah. Adapun proses penyelesaiannya adalah: Pertama, murid-murid harus benar-benar tertarik pada kegiatan atau pekerjaan yang edukatif. Kedua, murid harus menemukan dan memecahkan kesukaran atau masalah yang dihadapinya. Ketiga, mengumpulkan data-data melalui ingatan, pikiran dan pengalaman pribadi atau penelitian. Keempat, menentukan cara pemecahan kesukaran atau masalah. Kelima, mencari cara terbaik pemecahan masalah melalui penerapan dalam pengalaman percobaan atau keinginan sehari-hari.
Ada pun yang menjadi tujuan metode proyek, yaitu: Pertama,memberi kesempatan kepada seseorang untuk hidup dan menyelesaikan diri dengan masyarakat. Kedua, supaya anak mendapat pengalaman langsung sehingga dapat berpikir kritis dan produktif serta berkelakuan susila.
7.5.4.3. Metode Eksperimen
Metode ini digunakan pada waktu memperlihatkan suatu proses untuk mengambil suatu kesimpulan sendiri melalui kegiatan tertentu. Maka sangatlah perlu pengajaran melalui latihan-latihan dan percobaan-percobaan seperti kegiatan bertukang, memasak, laboratorium, berpolitik dan kegiatan hidup sosial.
7.5.4.4. Metode Problem Solving
Melalui metode ini, anak-anak dihadapkan dengan masalah-masalah, lalu anak-anak disuruh untuk memecahkan sendiri sampai mendapat kesimpulannya. Dasar dari metode ini adalah mendorong anak untuk berpikir secara sistematis.
Sehubungan dengan metode ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: Pertama, Dewey menyuburkan dan mengembangkan kreativitas anak serta kerja sama antar anak. Oleh karena itu, kursus dan lokakarya perlu mendapat perhatian. Sehingga diharapkan uotputnya menjadi manusia yang siap pakai di lapangan. Kedua, sistem pendidikan yang diterapkan Dewey dan metodenya bersumber pada filsafat pragmatis. Aliran ini bersumber pada manusia dan anak.
7.6. KI HAJAR DEWANTARA
7.6.1. Riwayat Hidup
Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta, tanggal 18 Mei 1889, sebagai putra dari KPH Suryaningrat dan cucu Paku Alam III. Nama yang yang asli adalah R.M. Suwardisuryanigrat. Namun pada umur 39 tahun digantikan namanya dengan Ki Hajar Dewantara. Ia mendirikan perguruan Taman Siswa, yang didirikan pada tahun 1922.
7.6.2. Pendidikannya
Setelah tamat ELS ia melanjutkan pelajarannya ke Stivia. Dan setelah ia tinggalkan sekolah ini, ia masuk dalam gelanggang politik. Selama dieksternir ke Belanda ia belajar soal-soal pendidikan dan pengajaran secara mendalam.
7.6.3. Perjuangan Sebelum dan Sesudah Mendirikan Taman Siswa
7.6.3.1. Sebelum
Sebelum memasuki lapangan pendidikan, terlebih dahulu ia berjuang di bidang politik sehingga pada tahun 1912 ia bersama M.R. Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo mendirikan satu partai politik, yaitu Indische Partai (IP) yang bersifat revolusioner. Pada tahun 1912 mereka berdua mendirikan Komite Bumi Putra sebagai aksi protes terhadap adanya perayaan memperingati kemerdekaan Nederland 100 tahun yang dirayakan di negara Indonesia. Tak lama kemudian, keluarlah brosur yang berjudul ”Seandainya Aku Seorang Belanda” (Als Cens Cen Nederlands Was). Yang isi singkatnya mengungkapkan bahwa tidak selayaknya bangsa Indonesia yang ditindas Belanda ikut merayakan kemerdekaan bangsa yang menindasnya.
Karena dianggap sangat tajam sindiran, maka ia diinternir Belanda ke Bangka. Tetapi atas permintaan sendiri maka ia dieksternir ke Belanda semala 4 tahun. Lalu kemudian kembali ke Indonesia. Sekembalinya, ia masuk lagi dalam kancah politik tahun 1919, yaitu menjadi Sekretaris Nasional Indische Partai (NIP) yang diorganisir oleh Dr. Cipto Mangunkusumo, sekaligus menjadi redaktur ketiga majalah NIP (De Beweging). Persatuan, Hindia, dan Penggugah. Karena terasa kian kejamnya pemerintahan Belanda, ia meninggalkan dunia politik, lalu meleburkan diri dalam bidang pendidikan di sekolah Adi Dharma miliki kakaknya, R.M. Suryopranoto tahun 1921.
7.6.3.2. Setelah Mendirikan Taman Siswa
Taman Siswa didirikan pada tanggal 34 Juli 1922. Mulanya bernama Onderwijs Institut, Taman Siswa. Di Yogyakarta lalu menjadi Perguruan Kebangsaan Taman Siswa. Mulanya hanya dibuka untuk taman kanak dan kursus guru. Dalam perkembangannya banyak mendapat tantangan.
Pertama, tahun 1924, dikenai pajak rumah tangga. Melihat kondisi seperti ini, K.H. Dewantara menjadi sangat tidak setuju. Dia tidak membayar pajak, lalu akhirnya barang-barang Taman Siswa di lelang di depan umum. Tetapi karena ia protes keras, maka barang-barangnya dikembalikan.
Kedua, pada tanggal 17 Agustus 1932 muncul ordinansi sekolah liar, yaitu sekolah partikelir. Sebelum mengajar harus ijin terlebih dahulu, dan isi pelajarannya tidak boleh melanggar aturan negeri. Aturan ordinansi itu ditantang K.H. Dewantara hingga batal tahun 1933.
Ketiga, muncul tipu muslihat berupa larangan mengajar (Onderwijs Verbod 1934-1936). Selama setahun, Taman Siswa ditutup, dan banyak gutu Taman Siswa menjadi korban.
Keempat, pada bulan Februari 1935, Taman Siswa mendapat lagi cobaan. Pemerintah kolonial menetapkan tunjangan hanya diberikan kepada pegawai negeri yang anaknya sekolah pada Sekolah Negeri, Sekolah Partikelir yang mendapat subsidi, dan sekolah-sekolah lain yang mendapat hak memakai salah satu nama seperti HIS, FOLKS, SCHOOL, dan lain-lain.
Kelima, perjuangan menentang pajak. Di Taman Siswa, tidak ada majikan dan buruh tetapi berdasarkan atas kekeluargaan. Tuntutannya berhasil, sehingga guru-guru dibebaskan dari pajak upah.
Pada jaman Jepang, dikeluarkan peraturan bahwa sekolah partikelir yang berhak dibuka hanyalah sekolah kejuruan, kecuali sekolah guru. Dalam perjuangannya, akhirnya K.H. Dewantara bergabung dengan Bung Karno dan Moh. Hatta serta Ki Mansoer, yang dikenal dengan empat serangkai.
Pada tahun 1944 K.H. Dewantara diangkat menjadi Kepala Kebudayaan (Nai Mubu Buukyoku Sanjo). Selanjutnya pada zaman Indonesia merdeka berturut-turut menjadi Menteri PPK, anggota dan wakil ketu DPA, anggota Parlemen, dan mendapat gelar Doktor Honoris Causa (Doktor Kehormatan) dalam ilmu Kebudayaan dari Universitas Gajah Mada pada tanggal 19 Desember 1956.
7.6.4. Latar Belakang Kehidupan Sosial
Masa muda K.H. Dewantara dipengaruhi oleh suasana kesusasteraan Jawa, agama Islam serta pembicaraan tentang Hindu oleh ayahnya. Dia juga memiliki tokoh idola. Tokoh pahlawan yang dipujanya adalah Yudistira dalam Mahabarata, lambang perdamaian dan cinta kasih dari Sri Krisna, penjelmaan Wisnu yang bijaksana serta guru politik yang cerdas.
Jiwa mereka bersikap menentang ditampilkan padanya sejak masa kanak-kanak, yakni ia suka bermain dengan anak rakyat dan suka mengadakan perkelahian dengan anak Belanda. Setelah tamat sekolah Belanda, yakni sekolah rendah berbahasa Belanda (ELS) kemudian Suwardi masuk menjadi pelajar Sekolah Dasar (STOVIA) di Batavia tahun 1903-1909. keadaan intern Stovia ini mendorong K.H. Dewantara untuk terjun ke dunia politik. Banyak peraturan Stovia yang tidak memuaskan pada pelajar, seperti: larangan memakai pakaian seragam ala Eropa, khususnya pakaian seragam sekolah dan larangan merayakan Idul Fitri.
Dengan demikian muncullah kesadaran nasional. Tahun 1908, Suwardi terpaksa keluar dari Stovia karena biaya tidak mencukupi. Hal ini tidak membuat ia putus asa, tetapi terus berjuang. Kemudian ia berkecimpung dalam dunia kewartawanan terlebih pada saat pembuangan ke negeri Belanda. Bakat mengarang yang ada padanya merupakan senjata untuk menyebarkan cita-cita politik nasional. Salah satu karyanya yang terkenal Andaikata Aku Seorang Belanda. Ia menyindir penjajah karena bertindak tidak adil. Dari kegiatannya menjadi ahli politik praktis mendorong ia juga menjadi aktivis budaya.
Untuk menjadi pendidik dan pengajar yang baik, Suwardi belajar lagi untuk mendapat akte Eropa yang sangat sulit didapat waktu itu. Dalam masa pembuangan, ia memiliki kesempatan untuk mempelajari masalah-masalah pendidikan dan berhasil merumuskan program pengajaran nasional di Indonesia. Sekembalinya ke Indonesia, ia mendirikan Perguruan Taman Siswa yang berarti ia mengesampingkan masalah revolusi. Meskipun demikian K.H. Dewantara berhasil mewujudkan keinginan bangsanya, karena usaha untuk mendidik angkatan muda merupakan bagian penting dari pergerakan Indonesia dan juga merupakan dasar usaha perjuangan meningkatkan derajat rakyat.
Lembaga Pendidikan Taman Siswa selalu dihubungkan dengan politik karena: Pertama, berdirinya Taman Siswa merupakan tantangan terhadap politik pelajaran kolonial dengan mendirikan pranata tandingan. Kedua, kedudukannya sebagai tempat swadaya anggota partai politik dan secara tidak langsung memupuk kader-kader bangsa Indonesia untuk masa datang. Ketiga, perlawanan terhadap asasi dengan pemerintah penjajah.
7.6.5. Gagasan Dasar K.H. Dewantara
K.H. Dewantara adalah seorang tokoh pendidikan Indonesia. Dengan didirikannya Perguruan Taman Siswa maka menjadi sumbangan yang sangat bermanfaat bagi perjuangan bangsa Indonesia. Pentas sejarah yang merupakan ruang lingkup kegiatan taman siswa menjadi pola pikirnya menuju kemerdekaan, sampai terbinanya negara RI yang merupakan perkembangan sejarah pemikiran tentang bangsa, negara dan usaha-usaha kesejahteraan bangsa serta rakyat di kemudian hari. K.H. Dewantara mempunyai suatu gagasan dasar yang sangat diwarnai situasi seperti yang dilukiskan di atas. Dan gagasan itu ialah Pendidikan Berdasarkan Kesadaran Kebangsaan dan Kebudayaan. Taman Siswa dan programnnya menekankan nasionalisme kebudayaan yang menjadi aliran jiwa yang bercorak religi. Perguruan Taman Siswa yang berlandaskan budaya nasional ini berisikan unsur-unsur sebagai berikut:
7.6.5.1. Dasar Falsafanya
Pertama, kodrat alam. Bahwa pada hakekatnya manusia adalah makhluk Tuhan satu dengan kodrat alam ini. Ia tak dapat lepas dari kehendaknya tetapi mengalami kebahagiaan bila menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan. Kemajuan itu ialah kemajuan yang digambarkan dengan benih-benih satu pohon yang kemudian berkembang menjadi besar dan akhirnya hidup dengan yakin bahwa tumbuh dengan benih-benih baru yang akan disebarkan.
Kedua, dasar kemerdekaan. Harus diartikan disiplin pada diri sendiri atas dasar nilai hidup yang tinggi baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota mansyarakat. Maka masyarakat harus menjadi alat yang dapat mengembangkan pribadi yang kuat serta sadar dalam suasana dan pertimbangan serta keselarasan dengan masyarakat, tertib, damai, di tempatnya.
Ketiga, dasar kebangsaan. Taman Siswa tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan. Malahan menjadi bentuk dan dasar kemanusiaan yang nyata. Merasa satu dengan bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka, satu dalam kehendak menuju kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa.
Keempat, dasar kebudayaan. Taman Siswa tidak berarti asal memelihara kebudayaan bangsa, tetapi pertama-tama membawa kebudayaan bangsa itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Kemajuan dunia dan ketertiban manusia lahir batin pada setiap keadaan zaman.
Kelima, dasar kemanusiaan. Bahwa kehidupan setiap manusia itu adalah mewujudkan kemanusiaan, yakni kemajuan dan kesejahteraan lahir dan batin yang setingginya. Kemajuan manusia yang tinggi dapat dilihat pada hati orang dan adanya rasa cinta kasih terhadap makhluk Tuhan seluruhnya. Karena dasar cinta kasih kemanusiaan itu harus nampak pula sebagai kesimpulan untuk berjuang melawan sesuatu yang merintangi kemajuan.
7.6.5.2. Tujuannya: Hidup Tertib dan Damai
7.6.5.3. Isinya: Mengutamakan Kebudayaan
7.8.5.4. Iramanya: Tut Wuri Handayani. Suatu kewajiban bagi guru untuk berperan sebagai pemimpin yang berdiri di belakang, tetapi mempengaruhi, dengan memberi kesempatan kepada anak-anak didik untuk mewujudkan diri sendiri. Dan semboyan ini telah diterima dan dikaitkan dengan lambang Depdikbud dewasa ini.
7.6.6. Pengertian menurut K.H. Dewantara. Mendidikan adalah menuntun segala kekuatan yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
7.6.7. Metode dan Asa yang dipakai K.H. Dewantara
7.6.7.1. Metode
Metode yang dipakai oleh K.H. Dewantara ialah Metode Montessori-Tagore. Unsur Metode Montessori-Tagore yang diambilnya adalah memelihara suasana kebebasan dan menghormati karakter individualitas. Tentang Metode Montessori-Tagore pandangan K.H. Dewantara adalah pembongkaran dunia pendidikan lama paserta membangun aliran baru, di mana sesuai dengan aliran kita yang sesungguhnya diangkat dari adat yang hidup dalam masyarakat kita yang disebut: Cultural National. Montessori- Tagore, keduanya berpendapat bahwa pendidikan dan pengajaran di Eropa sungguh sangat menyuburkan intelek, tetapi mematikan perasaan. Oleh karena itu, membalikkan manusia dari derajat budi menjadi mesin belaka. Kedua ahli ini hendak melepaskan ikatan-ikatan yang menyempitkan manusia serta menurunkan derajat kemanusiaan itu. Keduanya hendak memerdekakan manusia. Di mana rakyat di Barat itu sudah lama menantikan datangnya pemimpin-pemimpin dunia, yang dapat mengembalikan zaman ke arah keselamatan dan ketenteraman. Timbulnya kedua aliran pendidikan ini, menggoncangkan dunia barat.
Perbedaan aliran Montessori dan Tagore adalah terletak oada tujuan. Kehidupan kanak-kanak khususnya mengenai jasmaninya, teristimewa hidup panca indera, sesungguhnya berorientasi pada kecerdasan budi, akan tetapi hidup batin menurut Montessori itu semata-mata bersifat psikologis. Tagore membentuk sistem pendidikan kanak-kanak semata-mata sebagai alat dan sarat untuk memperkukuh hidup kemanusiaan dalam arti yang sedalam-dalamnya.
Menurut K.H. Dewantara, pada tahun pertama anak didik sebanyak mungkin dibiasakan dengan suasana rumah tangga dan lingkungan sendiri. Dasar-dasar dan alam pikiran sendiri ditanamkan sekuat-kuatnya melalui menyanyi dan bermain-main sebelum ke tingkat sekolah lebih tinggi. Dan pendidikan diberikan untuk mengarahkan anak-anak memiliki rasa kebebasan dan bertanggung jawab, berkembang secara merdeka dan menjadi orang yang serasi serta terikat erat dengan milik kebudayaan sendiri.
7.6.7.2. Asas-Asas yang Dipakai
Perguruan Taman Siswa berisi tujuh pasal yang dapat diringkas sebagai berikut:
1. Pasal 1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan dalam pelaksanaan maka itu merupakan usaha mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikir dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan mencapai tertib damainya hidup bersama. Dalam pasal 1, terdapat pula dasar kodrat alam yang diterangkan perlunya ketertiban agar kemajuan sejati dapat diperoleh dengan perkembangan kodrat yang terkenal dengan evolusi;
2. Pasal 3 menyinggung kepentingan sosial, ekonomi dan politik. Kecenderungan bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dan kehidupan kebarat-baratan akan menimbulkan kekacauan. Sistem pengajaran yang timbul dianggap terlalu mementingakan kecerdasarn berpikir yang melanggar dasar-dasar kodrat yang terdapat dalam kebudayaan sendiri sehingga tidak menjamin keserasian dan dapat memberikan kepuasan. Inilah yang disebut kebudayaan;
3. Pasal 4 mengandung dasar kerakyatan. Pernyataan tidak ada pengajaran bagaimanapun juga tingginya dapat berguna apabila hanya diberikan kepada sebagian kecil orang dalam pergaulan hidup. Daerah pengajaran harus diperluas, menjadi pelaksana wajib belajar bagi segenap mereka yang sudah waktunya mendapat pengajaran;
4. Pasal 5 merupakan asas yang paling penting bagi semua orang yang sudah waktunya mengejar kemerdekaan hidup sepenuh-penuhnya. Pokok dari asas ini adalah percaya pada kekuatan sendiri untuk tumbuh dan berkembang;
5. Pasal 6. Berisi persyaratan dalam mengejar kemerdekaan diri dengan jalan keharusan untuk memenuhi segala kebutuhan;
6. Pasal 7 mengharuskan adanya keiklasan lahir batin bagi anak didiknya. Sesungguhnya persyaratan asas di atas merupakan perpaduan pengalaman K.H. Dewantara tentang aliran pendidikan barat dan aliran kebatinan yang mengusahakan kebahagiaan diri, bangsa dan kemanusiaan.
[1] Aristoles, Metaphysics, I,1.
[2] P. Leenhouwers, Manusia dan Lingkungannya, Gramedia, Jakarta, 1988, pp. 4-6
[3] B. Mondin, Introduzione alla Filosofia, Milano: Editrice Massimo, 1990, pp. 10-14
[4] V. Mathieu, “Filosofia” dalam Dizionario delle Idee , Firenze; Sanson, 1997, pp. 425-426
[5] Kata kritik berasal dari kata Yunani, Krinein yang berarti menilai, mengapresiasi, memilah-milah dan membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk dan yang otentik dari yang palsu dan bukan sekedar mencerca orang seperti biasa kita bayangkan kalau mendengar kata kritik. Sering dibedakan antara kritik yang konstruktif dan kritik yang desturktif, tetapi dalam arti asli kata kritik lebih dekat kepada kritik yang konstrukrif. Kritik yang dimaksud di sini adalah suatu bentuk komunikasi sambung nalar yang bertujuan untuk mempertanggungjawabkan secara argumentatif semua pernyataan dan tindakan kita. Dengan demikian sedapat mungkin dibatasi upaya untuk menyelesaikan segala persoalan hanya pada taraf komunikasi sambung rasa yang sering hanya mempertenggangkan dalam mengambil keputusan.
[6] Prinsip (Latin: principium, Yunani: arkhe) berarti awal, titik tolak dari mana sesuatu berasal, Prinsip juga berarti sebab, alasan jadinya sesuatu yang baru.
[7] L. Bagus, Metafisika, Gramedia, Jakarta, 1991, p. 8
[8] F. Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, 1993, pp. 130-131
[9] Frans Magnis Suseno, “Ideologia”, dalam Dizionario delle Idee, Firenze: Sansoni, 1977, p 512
[10] Frans Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks, Jakarta, Gramedia, 1992, pp. 20-23
[11] P. Gilbert, La Semplicita del Principio, Alba: Piemme, 1992, pp. 77-78
[12] Suatu aliran yang agak lengkap dalam Bahasa Indonesia tentang Metode filsafat dibaca dalam Anton Bakker, Metode-metode filsafat,, Jakarta; Ghalia Indonesia, 1984
[13] H. Hamersma, Pintu Masuk ke Alam Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1993,pp. 14-15
[14] N. Drikarya, Kumpulan Karangan tentang Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1980, pp. 37-41
[15] P. Feire mengungkapkan kedua sikap esktrem ini dengan nama objektivisme materialistis yang kasar dan solipsisme. Dalam sikap yang pertama, unsur subjek ditindas dan diabaikan. Dalam sikap yang kedua realitas objektif di luar subjek dianggap tidak ada dan tidak berarti. Bdk. Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta: Gramedia, 1984, pp. 114-115
[16] N. Driyarkarya, Op. Cit., pp. 81-86
[17] B. Mondin, Op. Cit., pp. 132-137
[18] A. Bakker, Filsafat Pendidikan, (ms), 1977
[19] Muhamad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya; Usaha Nasional, 1986, pp. 51-52
[20] Kerangka dasar pokok ini didasarkan pada uraian John S. Brubacher, A History of The Problems of Education, New York and London, McGraw –Hill Book Company, Inc. 1994, pp. 96-112
[21] Teori Sokrates ini juga diperjelas oleh kata kerja Latin educare, yang berarti ”membawa keluar”. Dari kata Latin ini diturunkan kata kerja Latin lain yang berarti ”membawa keluar”. Dari kata Latin ini diturunkan kata kerja Latin lain educare yang kemudian menghasilkan kata-kata dalam bahasa Barat seperti edukatif dan edukasi. Kata kerja Jerman er-ziehen yang berarti mendidik, juga memberikan nuansa arti yang sama.
[22] Ide dasar Paulo Freire ini ditulis dalam bab 2 dan 3 dari bukunya yang terkenal yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1985
[23] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta:Kanisius, 1990, pp. 111-130
[24] Tentang J.A. Comenius, lihat Ag. Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, I , Bandung; 1978, pp. 8-16
[25] Immanuel Kant, Ethical Philosophy, Indianapolis, Indiana, Hackett Publishing Company, 1988, p. 36
[26] N. Drijarkara, Pertjikan Filsafat, Jakarta: PT. Pembangunan, 1964, pp. 57-89
[27] Hendry Heynardhi & Avastasia P. (penerj.), Paulo Freire : Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, Yogyakarta : APIRU, 1999, p. 6
ini bisa menjadi referensi bagi mahasiswa jurusan ilmu keguruan
ReplyDeleteini bisa menjadi referensi bagi mahasiswa jurusan ilmu keguruan
ReplyDeleteTerimakasih pak...sangat berguna sekali.
ReplyDelete