Thursday, January 24, 2013

bahan kuliah Filsafat Pendidikan. Prodi Teologi STKIP St. Paulus Ruteng. oleh : Pino Jebarus, S. Fil

BAGIAN I
PENGANTAR  DAN SEJARAH FILSAFAT PENDIDIKAN

BAB I
HAKEKAT FILSAFAT

1.1.  Filsafat  Timbul dari Dorongan Untuk Mengetahui
Disadari atau  tidak, setiap manusia  selalu berfilsafat. Karena manusia yang normal selalu bertanya  dan mencari jawaban  tentang  segala sesuatu yaitu Tuhan,  dunia dan dirinya termasuk apa yang dilakukannya.  Menurut Aristoteles (384-322) dari kodratnya semua manusia  memiliki hasrat ingin tahu.[1] Dalam diri manusia ada dorongan  untuk mengetahui (desiderium sciendi) lebih banyak tentang  kenyataan  yang mengitarinya dan tentang dirinya sendiri.  Manusia memiliki  akal budi yang haus  akan pengetahuan batu (an inquistive mind), yang  terbuka  untuk menyelidiki segala kejadian  dan gejala.[2]
Filsafat bertolak dari keinginan mendasar ini. Manusia selalu mempertanyakan segala sesuatu. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki akal budi yang memungkinkan  dia untuk berpikir.  Dengan ini manusia memiliki kemampuan yang melebihi makhluk-makhluk  infra-human seperti  tumbuhan dan hewan.  Sesekor  hewan, misalnya  tidak memiliki kesadaran diri, dia tidak sadar bahwa ia tahu, tidak tidak tahu bahwa  ia menginginkan sesuatu. Manusia sebaliknya, tidak hanya menangkap peristiwa-peristiwa  khusus yang  terjadi dengan indera-indera seperti makhluk-makhluk lain.  Dengan akal budinya dia mampu membentuk pengertian-pengertian  dan merumuskan  putusan-putusan  logis. Dia tidak hanya puas mengenal fakta-fakta, tetapi juga ingin  mengetahui ”alasan, sebab” dari fakta-fakta itu.
Pengetahuan  yang diperoleh  dengan akal budi menyata dalam dua bentuk utama. Yang satu bersifat  rasional atau logis, yang bekerja dengan konsep-konsep umum. Bentuk ini bersifat  spekulatif, abstrak dan refleksif.  Aristoteles menjelaskan  manusia  sebagai makhluk berakal budi (animal rationale). Tetapi ada bentuk lain yang juga  penting, yaitu pengetahuan  yang bersifat  simbolis atau figuratif  yang bekerja  dengan  gambar-gambar, simbol-simbol, mitos-mitos dan perbandingan (kiasan). Ernst Cassirer,  seorang filsuf terkemuka aliran Neokantian  abad ini  mendefinisikan manusia sebagai makhluk  yang menggunakan  simbol-simbol (animal symbolicum). Jadi ada dua hal yang  saling melengkapi.
1.2.  Jenis-Jenis Filsafat
Manusia pada hakekatnya adalah fisuf. Sejauh sebagai makhluk berakal budi, dia terdorong  untuk bertanya dan mencari jawaban tentang semua yang ada dan tentang semua  yang terjadi. Pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan bukanlah monopoli orang-orang terpelajar melulu, tetapi menyangkut semua orang. Pada umumnya dibedakan  dua jenis  filsafat[3], yaitu:
1.         Filsafat  elementer (alamiah) yang ada pada semua bangsa  dan menjadi milik semua orang. Filsafat alamiah ini pada umumnya  bersifat naratif (dalam bentuk  cerita-cerita) dan  bukan argumentatif dan sistematis.  Filsafat jenis ini diungkapkan dalam bentuk mitos-mitos, disajikan  dalam kisah-kisah, diabadikan dalam syair-syair dan dipadatkan  dalam kata-kata bijaksana. Dalam arti ini filsafat terdapat pada semua suku bangsa dan peradaban pada  segala  momen sejarah dan bukan monopoli suku bangsa tertentu.  
2.         Filsafat ilmiah  yang bersifat sistematis dan metodis.  Secara historis,  filsafat ini dimulai dan dikembangkan pertama kali di Dunia Barat sama seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa Yunani, leluhur peradaban  manusia Barat, pertama kali  berhasil  menemukan  dan menetapkan sarana-sarana seperti logika, yaitu  aturan-aturan  untuk penalaran logis yang perlu untuk mengangkat  filsafat dari tingkat alamiah ke tingkat ilmiah.  Pada bangsa-bangsa asli Timur sezaman Yunani Kuno ketika  filsafat lahir, unsur-unsur  filsafat selalu berhubungan dengan kehidupan religius dan karena itu tidak dapat disebut sebagai filsafat  dalam arti yang sesungguhnya.  Parmenides, Herakleitos, Pythagoras, Sokrates, Plato dan Aristoteles adalah pemikir-pemikir besar pertama yang mengembangkan  tehnik-tehnik  baru untuk menghadapi dan memecahkan  persoalan-persoalan  mendasar menyangkut kehidupan dengan  bertumpu pada penalaran murni (penalaran yang dikontrol secara ketat oleh hukum-hukum logika). Tokoh-tokoh ini  mengembangkan   filsafat  sebagai ilmu  yang sistematis  dan metodis. Filsafat  sistematis  adalah hasil temuan manusia  Yunani.

Dalam pembicaran selanjutnya,  kita akan menggunakan  filsafat  dalam pengertian kedua ini. 
1.3.  Pengertian Filsafat
Istilah  filsafat  berasal dari kata bahasa Yunani philosophia. Kata ini terbentuk  dari dua kata  dasar, yakni philia (kata benda) berarti cinta atau philein (kata kerja) berarti mencintai dan sophia (kata benda) yang berarti kebijaksanaan, kebenaran. Menurut tradisi filsafat, orang yang pertama kali memakai kata philosophos atau filsuf orang yang mencintai kebijaksanaan) adalah Phytagoras.
Dari tinjauan etimologis ini menjadi jelas bahwa filsafat  secara harafiah berarti cinta akan kebijaksanaan dan filsuf berarti orang yang  mencintai kebijaksanaan. Dengan demikian, segera tampak bahwa filsafat adalah suatu aktivitas  intelektual yang bersifat  dinamis dan bukan suatu pengertian yang statis. Cinta (philia)  atau hasrat  menunjuk kepada suatu  aspirasi, keterarahan seluruh diri kepada sesuatu yang dicita-citakan, yang belum dimiliki sepenuhnya. Kebijaksanaan dan kebenaran (sophia)  menunjuk kepada sasaran yang dituju oleh aspirasi itu.[4] Berdasarkan pengertian ini, ada beberapa unsur hakiki yang perlu digarisbawahi, yaitu:
1.         Sebagai aktivitas  intelektual, filsafat selalu terarah kepada kebenaran (objek intelek adalah kebenaran). Filsafat  tidak pernah berhenti pada suatu pendapat yang sudah mapan dan diterima umum; ia tidak pernah berhenti mempertanyakan.  Ia selalu  mempertanyakan secara kritis semua pendapat dan pandangan dan tidak menerima begitu secara buta.[5]
2.         Filsafat  mau mencari sampai ke akar (memikirkan secara radikal, radix; akar), mau mencari sampai kepada sesuatu yang  paling mendalam yang mendasari kenyataan.  Dengan kata lain, filsafat mau menggapai syarat-syarat yang memungkinkan adanya  atau terjadinya sesuatu.  Inilah  yang dalam filsafat  dikenal sebagai metode transendental (to transcend; melampaui dan mengatasi fakta-fakta dan gejala-gejala yang tampak).
3.         Ketulusan dan kejujuran  untuk selalu memihak  kepada kebenaran, kerendahan hati untuk terus menerus mencari.  Dalam hal ini  orang perlu  membuat suatu  pertobatan  terus menerus.  Ada tiga jenis pertobatan yang perlu untuk mencapai kebenaran, yaitu:
a.       Pertobatan intelektual. Orang harus terus menerus menjernihkan pandangannya  tentang  realitas yaitu bahwa kebenaran ada dan harus ditemukan.
b.      Pertobatan moral. Orang harus selalu mengarahkan diri kepada nilai yang akan membantu perwujudan dirinya  dalam penggunaan kebebasan yang memihak kepada nilai.
c.       Pertobatan religius. Orang harus membuka diri  kepada realitas yang lebih  tinggi.
1.4.  Filsafat dan Ilmu-ilmu Empiris
Secara singkat filsafat  yang dimaksudkan di sini  selain sebagai ilmu adalah  juga sikap hidup. Sikap hidup yang dituntut oleh  filsafat  adalah kepekaan dan keterbukaan untuk senantiasa  membuat refleksi kritis rasional yang tak berkesudahan tentang penghayatan hidup sendiri, tentang  tindakan  dan tentang realitas secara keseluruhan. Plato pernah mengatakan  bahwa hidup yang tidak direflesikan  tidak layak untuk dibanggakan. Sebagai ilmu, sebenarnya filsafat  merupakan suatu  bentuk pengetahuan  yang bersifat metodis, sistematis, dan kritis tentang seluruh kenyataan yang dibahas menurut aspek kedalamannya, sampai ke akar-akarnya.  Filsafat  dengan ini  berupaya  mencari sebab-sebab terdalam  dan prinsip-prinsip[6] dasar dari kenyataan.  Dengan kata lain, filsafat  adalah ilmu mengenai prinsip-prinsip dasar.[7]
Adapun yang menjadi persamaan antara ilmu-ilmu dan filsafat, yakni filsafat dan ilmu-ilmu timbul dari  dorongan  untuk mengetahui  dan keinginan dasar  untuk mengerti. Filsafat dan ilmu-ilmu  timbul dari manusia sebagai mahkluk rasional, yang bertanya  dan mencari jawaban.  Semuanya terarah  kepada kepentingan manusia. Tidak ada filsafat untuk filsafat, seperti juga  tidak ada ilmu  untuk ilmu.  Karena apa  yang dilakukan  manusia  dengan sadar dan sengaja  selalu bersifat  intensional dalam arti memiliki tujuan tertentu.  Demikian juga filsafat  dan ilmu selalu merupakan abdi manusia, demi kepentingan manusia.
Sementara yang menjadi perbedaan antara ilmu-ilmu dan filsafat terletak pada objek kajian (obyek material) dan sudut pandang  dari mana  suatu  segi dari  realitas  dibahas (objek formal). Objek material  dari filsafat adalah seluruh kenyataan; tak  ada aspek yang diabaikan. Maka objek filsafat adalah yang paling luas. Objek formal adalah sebab-sebab  pertama dan terdalam (first and ultimate causes) dari kenyataan.  Sementara ilmu-ilmu lain membatasi  diri pada bagian  tertentu dari kenyataan. Misalnya, objek kajian biologi  terbatas pada makhluk-makhluk hidup; objek kajian geografi adalah letak tempat-tempat  di permukaan  bumi, iklim, fauna, flora,  dan populasi suatu daerah; ilmu kedokteran mempelajari perlbagai hal tentang kesehatan dan penyakit-penyakit. Ilmu-ilmu lain bekerja mulai dengan kata-kata  dan gejala-gejala  yang dapat  diamati diobservasi  dan dikuantifikasi. Ilmu-ilmu lain menyelidiki  sebab-sebab  sejauh  dapat  diamati dan dapat diukur, bukan sebab terdalam, yaitu kenyataan sebagaimana  adanya. Boleh dikatakan  bahwa ilmu-ilmu  membahas sebab-sebab  kedua dan terdekat (secondary and immediate  causes).
1.5. Filsafat dan Ideologi
            Ditilik dari segi kata, Ideologi berarti ilmu tentang  ide-ide; ilmu yang  mengambil ide-ide sebagai objek kajiannya. Pada umumnya  ideologi  diartikan sebagai berikut: [8]
1.         Teori  tidak berorientasi  pada kebenaran, melainkan pada kepentingan fisik pihak yang memperjuangkannya. Dalam hal ini  ideologi  menjadi sarana untuk  membenarkan  dan mengabadikan  kekuasaan dan kepentingan  sebuah  kelompok sosial;
2.         Keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap-sikap dasar  rohani suatu kelompok sosial. Di sini  pengertian ideologi  bersifat netral. Baik buruknya  suatu ideologi  tergantung pada isinya;
3.         Segala penilaian etis, anggapan-anggapan normatif, teori-teori serta paham-paham keagamaan, yang tidak dapat diuji secara matematis-logis atau empiris (tuntutan positivisme). Dalam arti ini ideologi tidak bersifat rasional, karena bersifat subyektif dan tidak dapat  dipertanggungjawabkan  secara  objektif.

            Filsafat berbeda  dari ideologi. Perbedaan keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut : [9]
1.             Filsafat bersifat  refleksif dan spekulatif, sedangkan  ideologi  bersifat instrumental dan pragmatis digunakan  sebagai sarana  untuk  mencapai tujuan  tertentu  yang dianggap berguna secara praktis;
2.             Filsafat bersifat revelatif, dalam arti bertujuan  menyingkapkan  kebenaran,  sedangkan  ideologi  menetapkan  ide-ide dasar  yang berguna  untuk menunjang  sukses praktis;
3.             Filsafat akan tetap bertahan  selama sifat refleksif kritis  dan spekulatifnya ada dan akan mati  kalau ia berubah menjadu ideologi  yang digunakan sebagai alat  untuk mencapai suatu tujuan praktis dan langsung.

1.6. Tujuan  Belajar Filsafat
1.6.1. Tujuan Umum[10]
            Pada umumnya studi  filsafat menjadikan orang mampu menangani  pertanyaan-pertanyaan dasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu lain, tapi tentang  kenyataan dan tanggung jawab manusia. Dalam hal ini filsafat memberikan:
1.             Pengertian  lebih mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan mempelajari  pendekatan-pendekatan  pokok terhadap pertanyaaan-pertanyaan  dasar manusia  serta mendalami jawaban-jawaban yang pernah  diberikan oleh pemikir-pemikir besar sepanjang  sejarah, wawasan seseorang  diperluas;
2.             Kepekaan kritis  dan kemampuan untuk menganalisis secara tepat argumentasi; pendapat dan tuntutan pelbagai  ideologi yang selalu muncul dan membujuk orang untuk mempercayakan diri secara buta. Filsafat di sini berperan  sebagai kritik ideologi;
3.             Pendasaran metodis dan sistematis dalam menjalani studi  dalam ilmu-ilmu lain;
4.             Filsafat  dapat membantu orang untuk melihat kenyataan secara keseluruhan  yang utuh  dan menangkap bagian-bagian  dalam dimensi kedalamannya.
1.6.2.      Fungsi Filsafat untuk Indonesia
Pada zaman sekarang, filsafat memiliki banyak fungsi. Berkaitan dengan situasi dan kondisi Indonesia, maka filsafat memiliki beberapa fungsi, yakni :
1.             Filsafat merupakan sarana untuk mengambil sikap kritis terhadap tantangan  mordenisasi dan globalisasi yang sedang  membawa  perubahan  dalam  pandangan hidup, nilai-nilai dan norma-norma yang baku  dari bangsa kita;
2.             Filsafat merupakan sarana yang tepat  untuk menggali kekayaan  kebudayaan, tradisi  dan pandangan  hidup bangsa  kita serta mengaktualisasikannya kembali  sesuai dengan derap perkembangan  bangsa. Warisan rohani  yang direfleksikan  dapt menjadi modal bagi pembentukan  terus menerus jati diri bangsa;
3.             Filsafat merupakan alat bantu untuk membuka kedok-kedok ideologis pelbagai bentuk penyelewengan seperti ketidakadilan sosial, pelecehan terhadap martabat manusia, pemerkosaan hak-hak asasi manusia yang masih sering terjadi;
4.             Filsafat memberikan sarana  dan dasar bagi dialog antar umat beragama.
1.6.3. Fungsi Filsafat untuk Pendidikan Keagamaan
Filsafat hadir bukan untuk menentang eksistensi agama yang mapan. Filsafat memiliki fungsi untuk agama, khususnya berkaitan dengan pendidikan keagamaan. Fungsi filsafat untuk Pendidikan Keagamaan adalah :

1.             Studi filsafat membimbing orang untuk memahami secara mendalam  martabat, kebebasan  dan hubungan manusia dengan Tuhan dan dunia. Filsafat  yang sehat akan membantu untuk membina kesadaran yang semakin mendalam tentang hubungan antara roh manusia dan kebenaran yang diwahyukan  secara penuh  dalam diri Yesus Kristus;
2.             Filsafat membantu pembentukan  intelektual seorang yang beriman dan beragama dalam usahanya untuk mencintai  dan menghormati kebenaran  (loving veneration of truth) dan membimbing  dia untuk mengakui bahwa kebenaran tidak diciptakan  oleh manusia, tetapi diterima sebagai hadiah dari Allah, kebenaran Tertinggi;
3.             Filsafat membuat orang sadar bahwa budi manusia mencapai kebenaran objektif dan universal, bahkan kebenaran tentang Allah dan arti terakhir  hidup manusia meskipun dalam bentuk terbatas dan sering kali sulit;
4.             Pentingnya filsafat bagi orang yang beriman dan beragama memperlihatkan kebenaran bahwa iman tidak dapat bertahan tanpa daya nalar. Karena itu usaha yang tidak berkesudahan  untuk memikirkan untuk memikirkan secara mendalam iman merupakan seuatu yang sangat manusiawi.
1.7.  Metode Filsafat
Istilah metode berasal dari kata bahasa Yunani Meta yang berarti sesudah atau di belakang atau bersama dengan dan odos  yang berarti perjalanan. Berdasarkan arti etimologis ini, metode bisa menunjuk kepada apa yang ingin dicapai pada akhir suatu pencarian. Jadi, suatu metode selalu mengandaikan dua unsur itu, yaitu:
1.             Apa yang hendak dicapai atau tujuan;
2.             Cara kerja macam mana yang memungkinkan  pencapaian tujuan yang dimaksud secara paling efektif dan memberikan hasil paling memuaskan.[11]

Perlu dibedakan dua cara memandang  metode  dalam uraian filosofis, yaitu metode umum dan khusus.[12]
1.7.1.      Metode Umum
Pada umumnya dalam filsafat, seperti juga dalam karya ilmiah umumnya, dikenal dua metode sejak lama.
1.             Metode deduksi. Metode ini selalu  bertolak  dari hukum-hukum umum untuk menilai dan menguji kasus-kasus khusus. Cara yang lazim untuk metode ini adalah silogisme di mana ada satu premis mayor dan satu premis minor,  dan kesimpulan  akan ditarik  dari hubungan antara kedua premis itu;
2.             Metode deduksi. Metode yang bertolak dari kasus-kasus khusus, sambil melihat unsur umum  yang ada pada banyak kasus khusus, menetapkan hukum-hukum umum.
1.7.2.      Metode Khusus
1.7.2.1.Metode Fenomenologi
Metode ini kembangkan oleh Edmund Husserl sebagai metode untuk menjelaskan arti dari sesuatu  sejauh sesuatu itu muncul dari kesadaran. Kesadaran menurut Husserl memiliki dua kurub, yaitu kutub subjektif  dan kutub objektif. Penjelasan fenomenologis  harus memperhatikan kedua aspek dari kesadaran (pengalaman). Dalam filsafat  pendidikan, metode ini ingin menjelaskan pendidikan  sebagai  suatu fenomen (gejala-gejala) dalam kehidupan manusia. 
Ada tiga tahap dalam metode fenomenologi  yang secara singkat  dapat dilukiskan sebagai berikut:
1.             Mengurungkan  semua pengetahuan  yang sudah ada, yaitu pendapat  orang dan memusatkan perhatian  pada fenomen, yaitu bagaimana sesuatu itu  menampakkan diri dalam kesadaran;
2.             Reduksi eidetis, yaitu dengan mengurungkan semua aspek tambahan yang tidak perlu sehingga yang tinggal hanya aspek  yang paling inti, hakiki, yang universal dan yang mengatasi ruang dan waktu, yang disebut eidos (hakikat);
3.             Reduksi transendental, yaitu setelah menyisihkan pelbagai  pendapat dan  unsur-unsur  tambahan, maka orang mencapai subjek murni, aku murni yang mengatasi semua pengalaman.  Yang diperlukan dalam penjelasan  tentang fenomen pendidikan  adalah reduksi eidetis.
1.7.2.2.Metode Kritis
Metode ini penting dalam membicarakan aliran-aliran filsafat pendidikan nanti. Metode ini menyelidiki  paham-paham tentang pendidikan, meneliti sistem-sistem dan teori-teori yang sudah ada. Yang diteliti secara kritis adalah anggapan dasarnya, entah diterima atau tidak. Juga diteliti ketetapan (konsistensi) dan hubungan logis (koherensi) teori-teori atau sistem-sistem itu. Konsistensi berarti sesuai dengan asas atau prinsip-prinsip yang dianut. Koherensi berarti keselarasan  atau persesuaian satu bagian  dengan bagian lain, yang membuat sistem itu menjadi satu kesatuan yang utuh. 
1.7.2.3.Metode Transendental
Metode transendental bertitik tolak  dari fenomena manusiawi yang paling sentral, yaitu  fakta  kegiatannya (berpikir, berbicara, memilih). Tidak dianalisis arti dan  nilai yang  diungkapkan  sebagai isi eksplisit  dalam kegiatan itu, melainkan  dicari  pengandaian-pengandaian yang tersirat atau syarat-syarat mutlak yang memungkinkan  pelaksanaan fakta kegiatan tersebut.  Pengandaian-pengandaian  yang  tersirat  atau syarat-syarat mutlak yang memungkinkan pelaksanaan fakta kegiatan tersebut. Pengandaian-pengandaian  itu ditemukan  baik pada phak subjek  sendiri yang bertindak, maupun pada pihak objek yang dilibatkan.  Setiap  kali dibentangkan  lagi konsekuensi  syarat atau pengandaian  yang ditemukan. Dengan  demikian secara sistematis disingkapkan  struktur-struktur hakiki dalam manusia dan dunianya yang merupakan  dasar konstitutif bagi kegiatannya yang faktual.
1.8. Pembagian Filsafat
            Setiap filsuf biasanya memilih  bidang tertentu dari kenyataan sebagai objek pokok refleksinya. Berdasarkan  pemilihan ini maka dapat  dilihat persoalan-persoalan  yang selalu muncul  dalam sejarah  filsafat,  seperti:
1.             Logika, membahas  aturan-aturan  penalaran yang baik  dan tertib;
2.             Epistemologi mempersoalkan tentang asal-usul pengetahuan  dan bagaiamana  orang mencapai kebenaran;
3.             Kritik ilmu-ilmu (filsafat ilmu pengetahuan);
4.             Bahasa (filsafat bahasa);
5.             Kosmologi, yaitu filsafat alam dunia; alam dunia tersusun dari pelbagai unsur  yang bersama-sama  membentuk suatu keseluruhan  yang teratur atau kosmos;
6.             Mmetafisika umum atau ontologi: membahas tentang dasar  dari segala yang ada sejauh ada;
7.             Agama, yaitu filsafat tentang hubungan manusia  dengan suatu pribadi  yang memperlihatkan  manusia sebagai manusia;
8.             Eestetika (filsafat keindahan; sejauh mana sesuatu dikatakan indah);
9.             Pedagogi (filsafat pendidikan)
10.         Politik (filsafat tentang dimensi sosial dan politis manusia);
11.         Sejarah (filsafat sejarah);
12.         Kebudayaan (filsafat kebudayaan);
13.         Aksiologi (filsafat tentang nilai)

            Tetapi persoalan-persoalan itu  dapat dikembalikan  kepada 9 (sembilan) cabang filsafat dan kesembilan cabang  ini dapat dikelompokkan  lagi ke dalam  tiga  bagian utama. Pembagian ini dikenal sebagai pembagian filsafat  yang klasik.[13]
1.8.1.          Filsafat tentang Pengetahuan
1.             Logika, menyelidiki dan menetapkan aturan-aturan  yang harus diperhatikan  supaya  cara berpikir manusia lurus dan tidak sesat.
2.             Epistemologi, merupakan pengetahuan tentang pengetahuan
3.             Kritik ilmu-ilmu  menyelidiki  titik pangkal, metode dan objek ilmu-ilmu
1.8.2.     Filsafat tentang  Keseluruhan Kenyataan
1.       Ontologi, merupakan pengetahuan  tentang ’semua yang ada sejauh ada’
2.       Teologi Metafisik (filsafat ketuhanan) membahas tentang  apakah Tuhan  ada dan tentang nama-nama Allah
3.       Antropologi (filsafat manusia) berbicara tentang manusia
4.       Kosmologi (filsafat alam dunia) membahas tentang alam dunia sebagai suatu  susunan yang teratur (kosmos).
Ontologi disebut juga metafisika umum, sedangkan  teologi metafisik, antropologi metafisik dan kosmologi filosofis merupakan  bagian-bagian  dari metafisika khusus.
1.8.3.   Filsafat tentang Tindakan Manusia
1.       Etika (filsafat moral) membahas tentang tindakan manusia yang dilakukan  secara sadar  dan segaja.
2.       Estetika (filsafat keindahan) berusaha menyelidiki ,mengapa sesuatu  dialami sebagai yang indah.  

BAB II
HAKEKAT FILSAFAT PENDIDIKAN

2.1. Pengertian Pendidikan
2.1.1. Pendidikan Sebagai Aktivitas  Eksistensial dan  Fundamental
Fenomena pendidikan merupaka sesuatu  yang hakiki dan eksistensial bagi kehidupan manusia.[14] Pendidikan merupakan  fenomen bukan  hanya karena  tampak  bagi mata sebagai  data dan gejala,  melainkan tampak  bagi kesadaran  manusia: pikiran, jiwa dan pribadinya. Fenomen itu disebut hakiki  karena di mana pun  manusia ada  bersama  selalu ada pendidikan. Pendidikan diartikan sebagai aktivitas eksistensial dan fundamental. Pengertian ini mengandung 3 unsur penting, yaitu :
1.             Pendidikan disebut eksistensial karena menyangkut  eksistensi manusia. Eksistensi berarti  cara manusia  berada yang khas  di dunia.  Aliran yang berakaitan dengan eksistensi adalah Eksistensi. Eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat abad  ke-20  yang merasakan misinya sebagai pemberantas  dua pandangan  yang berat sebelah  tentang manusia, yakni materialisme dan idealisme. Materialisme adalah paham yang melihat manusia  hanya sebagai  bagian dari  alam jasmani (materi) yang tidak berbeda  dari benda-benda jasmani lain. Sedangkan idealisme adalah paham yang  berpendapat bahwa manusia itu  hanya subyek, di mana subyek itu disamakan  dengan pikirannya sendiri. Dunia di luar pikiran manusia tidak ada, kalaupun ada, tidak mungkin  dimengerti;[15] 
2.             Pendidikan menyangkut cara orang  berelasi dengan  orang lain. Manusia tidak bisa berkembang  dan menjadi diri  sendiri tanpa hubungan  dengan manusia-manusia lain.  Dunia manusia adalah  dunia arti-arti, dan arti-arti  itu juga  berlaku  untuk manusia-manusia lain  sebagai subjek. Jelas bahwa manusia  hanya dapat  hidup sebagai manusia kalau ia hidup bersama dengan manusia lain. L. Binswanger menegaskan bahwa  cara berada  manusia  adalah ada bersama dengan subjek-subjek, dalam cinta kasih,  yang saling membangun  dan menyempurnakan. Cita-cita dari individu diarahkan kepada cinta tanpa pamrih  sebagai pemenuhannya. Cinta  menciptakan  persekutuan. Karena itu, persekutuan, ada bersama bersifat  hakiki bagi manusia;
3.             Fenomena  pendidikan begitu nyata dalam hubungan antarmanusia.  Dalam hal ini, hubungan bersifat saling memberi arti, hubungan membangun dan menyempurnakan  dalam cinta kasih.  Suatu  perbuatan disebut  fenomen mendidik karena  hasilnya apakah baik atau buruk. Pendidikan adalah  suatu  aktivitas  fundamental  karena pendidikan  itu menyentuh  akar-akar hidup manusia sehingga mengubah dan menentukan  hidup itu.



2.1.2.      Pendidikan  Sebagai Proses  Pemanusiaan

            Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia muda.[16] Dalam proses  pendidikan,  dua pribadi (aku) bertemu, yaitu aku  dari pendidik dan aku dari  yang dididik, sehingga  yang dididik diangkat ke tingkat  aku pendidik. Pengangkat itu  yang disebut  pemanusiaan.  Pemanusiaan itu  dibedakan  atas dua, yakni :
1.             Proses hominisasi (homo; manusia), yaitu perkembangan menjadi manusia. Pendidikan  disebut  hominisasi  bukan karena proses bertumbuh  dan berkembang  yang diharapkan dari  pendidikan secara  lambat laun membawa kepada  kesempurnaan diri sebagai manusia, baik  dari aspek biologis maupun dari aspek psikologis. Homonisasi itu mengarah kepada menjadi  seorang pribadi, seorang subjek  yang mengerti diri dan  tahu  menempatkan  diri dalam situasi;
2.             Proses humanisasi (humanus; manusiawi, humanisme; kehidupan manusia dan masyarakat yang sempurna karena cocok  dengan tuntutan dan cita-cita manusia), yaitu proses perkembangan manusia yang lebih  tinggi  dari tingkat yang minimal (hominisasi) kepada perkembangan  ke tingkat yang lebih sempurna. Tingkat  lebih tinggi itu adalah kebudayaan yang lebih tinggi.  Kebudayaan adalah hasil pengangkatan alam (kodrat) ke tingkat lebih tinggi  dengan kekuatan  akal budi manusia. 

Tujuan pendidikan  adalah membantu manusia  yang muda, sehingga bisa bergerak, bertindak dan bersikap sebagai manusia.  Pendidikan tidak hanya  bermaksud memimpin manusia menjadi homo tetapi menjadi homo yang human (homo humanus). Jadi, pendidikan  sebenarnya bertujuan  untuk membantu seorang manusia muda untuk menjadi pribadi atau subjek yang human.
2.2. Aktivitas  Pendidikan  Sebagai Persoalan Filsafat
2.2.1. Ilmu Pendidikan
Ilmu pendidikan sering disebut dengan istilah Pedagogi. Istilah Pedagogi yang merupakan bahasa Yunani,yang berarti ”seni membimbing  seorang anak”. Pada umumnya, istilah ini sinonim dengan ”ilmu pendidikan.[17]
            Pendidikan merupakan  suatu kebutuhan dasar manusia  yang lahir  dengan kemampuan yang  hampir tidak terbatas untuk bertindak , tetapi tanpa  kecakapan untuk menerjemahkan  kemampuan itu ke dalam perbuatan nyata. Manusia terlebih dahulu  harus  belajar dari orang lain tentang  bagaimana mengungkapkan  kemampuan-kemampuan itu  seperti berjalan, merawat dan memelihara  diri,  berbicara, membaca dan menulis,  menghargai dan mencintai. Seekor hewan, sebaliknya, sudah ’mahir’  dan ’terspesialisasi’ sejak lahir; ia memiliki kecakapan dan kepandaian secara instingtif. Manusia pada saat kelahirannya hanya memiliki kemampuan  untuk berkembang.  Kecakapan dan kepandaian  serta  penghalusan budi  dicapai lewat pendidikan  dan proses belajar. Lewat proses belajar dan pendidikan  dia serentak menspesialisasikan diri, menjadi pribadi yang matang dan berbudaya.



2.2.2. Subyek Pendidikan
            Pedagogi  modern  telah membalikan  hubungan  tradisional  antara guru dan  murid. Dalam proses pendidikan,  peranan yang  dididik ditegaskan  di depan pendidik.  Dewasa ini,  telah terjadi revolusi dalam bidang pendidikan yang dikenal dengan nama ”revolusi Kopernikus”.  Yang dimaksudkan dengan revolusi ini adalah  seperti Kopernikus  dalam bidang astronomi telah mengubah secara radikal  pandangan  lama yang  menganggap bumi sebagai pusat alam  semesta (geosentrisme), dengan menegaskan  bahwa  matahari adalah  pusat alam semesta (heliosentrisme). Demikian juga dalam pendidikan, pendidik tidak lagi menjadi  pusat  kegiatan  edukatif, tetapi yang dididik atau peserta didik. Maka, tugas pendidik adalah  menemukan  kebutuhan  yang dididik dan menciptakan  situasi  yang tepat agar  yang dididik  dapat mengembangkan  dan menyempurnakan diri.
            Dalam perspektif ini,  subjek dalam proses pendidikan  adalah yang  dididik.  Konsep pendidikan  seperti ini dikenal  sebagai pedosentrisme (paidos; anak). Anak  adalah  seorang pribadi yang aktif dan orisinal.  Yang dididik ini tidak hanya si anak,  si remaja, kaum muda melainkan manusia.  Karena pendidikan tidak mengenal batas umur, tetapi berlangsung seumur hidup, maka subjek pendidikan  itu adalah  manusia. Dia adalah pribadi yang harus memwujudkan diri.  Ia harus menjadi seorang pribadi.  Kepribadian merupakan hasil perpaduan antara  unsur-unsur yang dibawa sejak lahir, unsur yang diwariskan  dari lingkungan  dan unsur yang  diperoleh dari belajar. Akan tetapi unsur-unsur itu selalu bersifat  dinamis dan karena itu kepribadian manusia  merupakan kenyataan yang bersifat plastis karena ditentukan menurut sikap yang berbeda-beda,  berdasarkan situasi-situasi yang dihadapi dan dihayati individu secara konkret.  Manusia tidak dapat dideterminasi (ditentukan lebih dahulu). Dia selalu dapat berubah menjadi lebih baik, atau lebih buruk. Dan kalau ada kemungkinan  untuk selalu berubah, maka benar apa yang sudah dikatakan ”pendidikan  berlangsung seumur hidup” (long life education).
2.2.3.      Tiga  Dimensi Dasar  Pendidikan
Pendidikan memiliki beberapa dimensi. Pada umumnya, terdapat 3 dimensi dasar pendidikan, yakni :
1.             Personal. Pendidikan berlangsung di antara pribadi-pribadi.  Peserta didik bukanlah objek atau benda melainkan subjek dengan berbagai kemampuan  dan kreativitas  yang khas. Aktivitas pendidikan harus mampu memajukan pribadi dan  membuat ia mengembangkan diri;
2.             Sosial. Pendidikan adalah suatu aktivitas antar-subjektif  dan bersifat sosial. Pendidikan mampu membantu orang untuk saling mengenal, untuk hidup bersama  dan menjamin harmoni sosial dan peka terhadap kepentingan umum suatu kelompok sosial di mana ia hidup, dan ikut memberikan sumbanganya  untuk kesejahteraan umum;
3.             Kultural. Pendidikan mengalihkan nilai-nilai dari generasi  yang lebih dahulu kepada generasi berikutnya dalam bentuk pengetahuan, nilai sosial, moral dan agama, yang telah diolah dengan tujuan membuat individu yang menerima menjadi pribadi  yang memberikan sumbangannya bagi perkembangan peradaban lebih lanjut.  Dalam hal ini, perlu diingat  tiga unsur penting dalam perkembangan manusia, yaitu :
a.       Unsur kemampuan dasar, bakat (nature; alam yang dibawa sejak lahir);
b.      Unsur pemberdayaan, bantuan (nurture; secara harafiah berarti gizi, tetapi dapat diperluas  dengan semua bantuan  yang memudahkan  perkembangan  seorang pribadi termasuk pendidikan);
c.       Pengolahan sendiri oleh pribadi yang bersangkutan (culture; secara harafiah berarti kebudayaan, tetapi dapat  dialihkan  kepada hasil olah budidaya sendiri).  Di sini pendidikan bertujuan  supaya seseorang  dapat mengolah sendiri entah itu  dirinya sendiri atau juga  dunianya  untuk pada  gilirannya  memberikan  sumbangan  bagi peradaban.
2.2.4. Autoedukasi dan Heteroedukasi
Dalam dunia pendidikan dikenal istilah autoedukasi dan heteroedukasi. Autoedukasi  bermaksud menjamin perkembangan harmonis  berbagai  daya  dan kemampuan yang ada  dalam diri peserta didik tanpa merujuk pada ideal-ideal yang ada di luar individu.  Secara negatif, autoedukasi  menolak campur tangan  dari luar yang  bersifat otoriter. Secara positif, autoedukasi  memajukan  spontanitas  dan melindungi  yang dididik  terhadap  dikte-dikte  manipulasi dari  luar. Sedangkan heteroedukasi  bermaksud  menyesuaikan  subjek  yang dididik dengan tuntutan struktur-struktur  sosial, ekonomis, moral, agama dan politik. Proses pendidikan mencapai sasarannya  kalau yang dididik menyesuaikan diri, juga tahu  bersikap dan bertindak sesuai dengan tatanan yang ada.
Ketiga, kedua hal ini tidak saling bertentangan dalam konteks pendidikan yang integral.  Proses pendidikan di sini mendasari  tuntutan akan kebebasan, orisinalitas  setiap pribadi  tanpa mengabaikan  kehadiran kondisi-kondisi  sosial dan  tuntutan lingkungan. Autoedukasi akan memajukan  kematangan  dan kedewasaan  integral dan menumbuhkan kesadaran  dan tanggung jawab personal,  sedangkan  heteroedukasi akan menumbuhkan  dalam diri yang dididik kesadaran akan keterlibatan  sosial dan  tanggung jawab  pribadi di tengah-tengah lingkungan sosial atau religius.
2.3. Filsafat Pendidikan
2.3.1. Filsafat dan Pendidikan
            Setiap praksis pendidikan  selalu mencerminkan  suatu pandangan  tentang  manusia, dunia dan Tuhan.[18] Seringkali pandangan itu tidak bersifat refleksif, kritis dan sistematis. Seringkali pandangan itu diandaikan saja dan  dihayati secara praktis. Tetapi pandangan itu diberi bentuk  yang lebih ilmiah dalam ilmu mendidik, yang memiliki objek yang jelas dan dilengkapi dengan metode yang khusus.  Pada langkah terakhir ada suatu pandangan  yang diberi  bentuk yang sistematis  dengan diberi dasar-dasar  mengenai hakikat manusia, dunia dan Tuhan, dan melihat implikasinya bagi praksis pendidikan.  Pada tahap ini disusunlah  suatu filsafat  yang menguraikan tentang latar belakang  dan menjelaskan fenomen  dan praksis pendidikan secara kristis.
            Pengertian tentang pendidikan selalu  berkaitan erat dengan  pengertian  tentang manusia dan tujuan hidup manusia.  Maka jelas ada hubungan antara filsafat dan ilmu pendidikan.  Ilmu pendidikan merupakan mahkota logis  dari  antropologi filsafat  dan etika. Sesudah memahami pertanyaan  tentang siapakah manusia  dan apa tujuan akhir  hidupnya,  harus diajukan pertanyaan tentang  bagaimana menjadi manusia  yang sesungguhnya  dan bagaimana mencapai tujuan  akhir manusia itu. Maka ilmu pendidikan harus dibangun di atas dasar  filsafat manusia  yang sehat dan  juga atas dasar  etika yang seimbang.


            Setiap filsafat yang sistematis akan menyusun suatu  konsepsi  mengenai  pendidikan, entah  dalam garis besar atau juga  secara  lengkap dan filsafat itu  dapat memberikan  pengarahan  kepada ilmu pendidikan  dan praksis mendidik (misalnya; komunisme, nasionalisme, eksistensialisme, personalisme, pragmatisme, dan sebagainya).  Maka selalu ada hubungan timbal balik antara filsafat  (pendidikan), ilmu pendidikan dan praksis pendidikan.
            Terutama seorang pendidik yang memiliki keahlian harus menyadari latar belakang ini. Juga seorang  guru dengan bidang  spesialisasinya pertama-tama menjadi pendidik.  Baik kepada spesialisasi itu, maupun kepada unsur-unsur pedagogi, sosiologi, psikologi dan didaktik, perlu memiliki perspektif yang lebih luas. Filsafat pendidikan  berusaha untuk  memberikan kerangka (frame) lebih luas itu.
            Secara singkat, filsafat pendidikan adalah  cabang  filsafat  yang memberikan  landasan teoritis  dan kritis  tentang data-data, gejala-gejala dan teori-teori pendidikan.  Data-data, gejala-gejala, dan teori-teori itu tidak diterima saja tetapi diterima dan dianalisis secara kritis untuk melihat  sejauh mana data, gejala dan teori itu  mencerminkan  suatu pandangan  tentang manusia yang  utuh. Karena bagaimanapun, seperti yang sudah dikatakan di atas, subjek pendidikan  adalah manusia,  dan praksis pendidikan  itu berlangsung  di antara pribadi-pribadi.
2.3.2. Kaitan antara  Filsafat  dan Ilmu Pendidikan
            Filsafat pendidikan dan Ilmu Pendidikan  menyelidiki  data-data dan gejala-gejala yang sama, tetapi  dengan  metode yang berbeda  dan pada taraf  berbeda. Mereka memakai istilah yang sama tetapi dengan memakai arti yang berbeda. Masing-masing memiliki keuntungan dan kelemahan. 
Filsafat merumuskan  prinsip-prinsip  dan asas  yang mendasari pelaksanaan pendidikan. Ia tidak  memperhatikan  detail-detail  seperti susunan  ruang sekolah, metode ilmu-ilmu sosial,  isi kebudayaan nasional, juga tidak membahas  tentang  bagaimana memberi motivasi belajar. Gayanya  adalah lebih luas dan tidak  langsung bersifat praktis.  Maka walaupun hal-hal yang konkret  lekas berubah,  filsafat tidak berkembang dengan pesat.  Bahayanya, filsafat kurang mengindahkan fakta.  Akibatnya, baik ilmu pendidikan  dan praksis pendidikan  yang diinspirasikannya, mengabaikan banyak segi.
            Ilmu Pendidikan sebaliknya berdasarkan fakta-fakta dan gejala-gejala konret.  Hal-hal umum muncul dari kenyataan objektif,  dan langsung dihubungkan dengan  pengalaman.  Namun bahayanya, ilmu pendidikan  sering  terlalu dangkal  dan kurang terbuka  bagi unsur-unsur  yang hakiki.  Sering kali ilmu pendidikan  yang dangkal  memberikan  interpretasi  yang  keliru tentang kenyataan.
Maka, filsafat pendidikan dan ilmu pendidikan saling melengkapi.  Mereka  tidak mengambil alih  hasil ilmu lainnya sehingga  todak terjadi pinjaman  logis. Masing-masing mereka memakai metodenya sendiri dan mencapai pemahamannya sendiri.  Tetapi mereka saling memperkaya secara psikologis dan saling memberikan inspirasi. Filsafat harus menguji hasil pencariannya dengan data-data  ilmu pendidikan;  dan kadang-kadang harus membetulkan pandangannya  yang terlalu a priori. Ilmu pendidikan dipihaknya, harus memeriksa teorinya  di hadapan  prinsip-prinsip dasar dari sudut filsafat; dan sering  kali harus  membuka  diri terhadap pengarahan lain juga tersembunyi di balik gejala-gejala.




2.3.3. Objek Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan memiliki obyek kajiannya. Pada umumnya, ada 2 obyek filsafat pendidikan, yakni :
1.             Objek material. Objek material filsafat pendidikan adalah:
a.       Segala gejala (fenomen) pendidikan sebagai fakta dan peristiwa;
b.      Segala sistematisasi ilmiah; teori, data, eksperimen (psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya);
c.       Segala bentuk  refleksi kritis filsafat  dalam sejarah mengenai pendidikan.  Segala  bahan itu  merupakan pertanyaan, dorongan dan tantangan.  Tetapi, filsafat  pendidikan terutama tertarik  dengan struktur  dan arah dasar. Misalnya,  relasi pendidikan, perkembangan  ekspresi,  segi intelektual dan kebebasan.
2.             Obyek Formal. Objek formal filsafat pendidikan ialah  menghubungkan segala gejala dan teori itu dengan hakikat manusia. Filsafat pendidikan  mencoba mengakarkan  kembali semua  unsur  dalam struktur-struktur dasar, seperti berlaku bagi manusia dengan mutlak.  Misalnya, proses belajar, mata pelajaran ilmu eksata, kebudayaan dan sejarah.
2.3.4. Fungsi Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan memiliki beberapa fungsi. Pada umumnya dibedakan 5 macam fungsi filsafat pendidikan, yakni: [19]  
1.             Fungsi spekulatif. Filsafat pendidikan berusaha mengerti secara  menyeluruh  persoalan-persoalan mengenai pendidikan  dan hubungan persoalan itu dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan;
2.             Fungsi normatif. Filsafat pendidikan  memberikan  arah dan pedoman  bagi praksis pendidikan. Arah dan  pedoman ini biasanya  ditentukan  berdasarkan  tujuan pendidikan, norma-norma moral dan agama yang dianut  dan cita-cita yang ingin dicapai;
3.             Fungsi kritis. Filsafat pendidikan memberikan kerangka untuk menguji dan menafsirkan data-data ilmiah  dan praksis pendidikan. Dalam hubungan dengan  teori-teori filsafat  pendidikan  menilai secara kritis anggapan-anggapan dasar yang menjadi penopang pelbagai teori dan berusaha melihat konsistensi dari teori-teori itu sert a kesesuaiannya dengan pandangan tentang manusia yang dianut;
4.             Fungsi teoritis. Filsafat pendidikan dapat memberikan konsepsi, ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan yang dapat  menjadi dasar pijakan bagi praksis pendidikan;
5.             Fungsi integratif. Filsafat pendidikan dapat memberikan suatu gambaran  yang dapat menyatukan  berbagai bidang  keilmuan yang masing-masing berdiri sendiri dengan  metode  sendiri-sendiri, sehingga membuka pintu bagi dialog antara berbagai ilmu itu.





2.3.5. Metode Filsafat Pendidikan
Filsafat Pendidikan memiliki metode pembahasan. Pada umumnya, dapat dibedakan dua cara sesuai dengan metode filsafat umumnya, yaitu:
1.             Bertolak dari data-data dan teori-teori ilmu pendidikan. Dianalisis oleh filsafat, dan dicari  dasar-dasar hakiki yang tersembunyi di dalamnya dengan memakai metode kritis dan fenomenologi. Lama kelamaan muncullah pemahaman lebih luas, mendalam dan menyeluruh. Bahaya dari metode ini, yaitu bahwa orang  terlalu terikat pada konsep-konsep empiris;
2.             Bertitik tolak dari suatu filsafat sistematik  yang cukup lengkap. Dari situ ditarik kesimpulan  mengenai fenomen pendidikan. Misalnya, pandangan umum mengenai sosialitas manusia, dikhususkan  dalam hubungan  dengan pendidikan. Namun ada bahaya bahwa filsafat  ini terlalu teoritis dan jauh dari praksis;

Dalam kuliah ini, titik tolak pertama (metode kritik dan fenomenologi) khusus dalam pembahasan bagian pertama dan titik tolak kedua (pendekatan sistematis) khusus dalam bagian kedua.


















BAB III
FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM LINTASAN SEJARAH

3.1. Filsafat  Yunani – Abad Pertengahan[20]
3.1.1. Kebudayaan-Kebudayaan Kuno
            Dalam masyarakat primitif  hampir tidak ada refleksi kritis  dan sadar tentang  proses pendidikan.  Di situ  pendidikan  bertujuan  melestarikan  masa lampau  dan mengamankan  diri terhadap lingkungan hidup yang mengancam. Asumsi  dasar pendidikan  di dalam kebudayaan itu adalah  apa yang ada, sudah benar.  Karena kebiasaan  dan adat  berubah sangat  perlahan,  maka mudah  disimpulkan  bahwa apa yang ada, selalu sudah  ada.  Dan karena sudah selalu ada, maka itu sudah merupakan  hakikat dari kenyataan. Dalam kebudayaan  ini, fungsi  pendidikan demikian jelas sehingga  tidak diperlukan lagi  suatu  filsafat pendidikan  untuk mengarahkan  proses pendidikan.
            Pada awal abad 5 SM, orang Yunani mulai memberikan  perhatian  istimewa  pada persoalan-persoalan mengenai pendidikan.  Kondisi-kondisi sosial yang sebelumnya terikat  dengan kebiasaan-kebiasaan yang kaku mulai dipertanyakan  dan cara hidup yang lama dianggap tidak lagi memadai. Sukses dalam perang-perang dengan Persia dan kemakmuran  ekonomi yang mencolok dibandingkan dengan keadaan sebelumnya menuntut adaptasi  sosial baru. Semakin orang  menjadi sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan lama tidak lagi cocok  dengan keadaan-keadaan baru, persoalan-persoalan  mengenai pendidikan semakin  tajam mendesak. Bagaimana manusia muda harus dididik bila kebiasaan-kebiasaan lama tidak lagi memadai, sedangkan  cara hidup yang baru  belum mendapat pengakuan umum? Di sini situasi menuntut pemikiran kritis  dan sadar dari filsafat.
3.1.2. Sofisme
            Para sofis Yunanilah yang pertama kali  mengabdikan  diri terhadap persoalan-persoalan  mengenai pendidikan  yang ditimbulkan  oleh keresahan-keresahan  sosial zamannya. Mereka mulai menyadari bahwa  tatanan lama  tidak memadai lagi dan memberikan kritik-kritik yang  tajam. Mereka menggunakan penalaran rasional untuk mengkritik  pola-pola  pendidikan tradisional, yang sebagian bersifat  transmitif (mengalihkan) dan berusaha melestarikan  bentuk-bentuk  kehidupan sosial yang sudah mapan. Dalam melawan pelestarian kebiasaan-kebiasaan  lama tanpa sikap kritis, mereka menetapkan kurikulum berdasarkan penalaran  rasional  dan kebutuhan-kebutuhan orang  yang mereka ajar.  Mereka tidak menggunakan kebiasaan-kebiasaan sosial lama sebagai ukuran penilaian. Mereka menegaskan bahwa ”manusia adalah ukuran dari segala sesuatu” (homo mensura).
Prinsip homo mensura ini  berasal dari Protagoras. Manusia di sini adalah individu. Kaum sofis mengajarkan bahwa tentang sesuatu orang bisa mengatakan apa saja. Segala sesuatu bersifat relatif. Kaum sofis juga menuntut pembayaran atas pengajaran mereka (komersialisasi), maka yang mereka ajarkan adalah yang individu butuhkan, bukan apa yang benar.
            Keinginan para sofis untuk mengajarkan  sisi apa saja, dengan tidak terikat oleh kebenaran dan norma tertentu, tujuannya adalah untuk mendapatkan bayaran. Hal ini jelas menimbulkan keraguan mengenai kemungkinan mengajarkan prinsip-prinsip moral yang stabil, yang menyebabkan mereka dituduh  tidak tulus.
            Mengenai teori pendidikan, para Protagonis membuat kritik terhadap aliran sofisme dengan menggunakan metode-metode rasional seperti bahasa dan dialektika yang pernah diajarkan oleh para sofis. Menurut mereka, dengan cara dan metode pengajaran  yang dilakukan oleh para sofis, jelas menimbulkan rasa skeptis bahwa orang dapat  memiliki keutamaan (arete). Menurut tradisi lama, norma keutamaan adalah contoh dan teladan kaum ningrat atau bangsawan. Keutamaan diwariskan dan bukan diajarkan.  Keutamaan dimiliki dengan melatih diri  dalam tindakan melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur dan bukan melalui latihan akal atau intelek.  Karena itu usaha para sofis  yang  bersifat  demokratis  dan populer  untuk mengajarkan  keutamaan kepada kaum muda  dari kelompok sosial rendah  dengan sendirinya ditolak.
            Persoalan yang muncul antara kaum  sofis  dan kelompok konservatif  adalah persoalan  pendidikan yang  ditambahkan  pada perjuangan yang berbasis politis untuk menggantikan  sistem aristokratis lama dengan sistem demokratis  dalam masyarakat Yunani.  Dengan para sofis mulailah  suatu proses emansipasi dan demokratisasi dalam bidang pendidikan dan dalam masyarakat secara keseluruhan. Hubungan erat ini penting  karena ia  memberikan kepada persoalan  pendidikan  suatu prioritas  tingkat tinggi  dalam pikiran guru-guru terbaik zaman itu.
3.1.3. Sokrates (469-399 SM)
            Sokrates memberikan  perhatian sangat besar  terhadap implikasi-implikasi pengetahuan teoritis. Ia mengambil sisi demokratis  dan sejalan dengan  kaum sofis menegaskan  bahwa keutamaan dapat diajarkan.  Ia menegaskan  bahwa tidak ada tindakan  yang kayak  disebut baik kalau tidak dilakukan  dengan pengetahuan  tentang  hal yang  baik itu.  Dengan kata lain, untuk melakukan yang baik, mula-mula orang harus memiliki pengetahuan tentang apa yang baik. Tetapi, pengetahuan teoritis dapat diajarkan. Karena itu, sejauh suatu tindakan  bergantung  pada pengetahuan teoritis, keutamaan tentu saja dapat diajarkan.  Tetapi, apakah pengetahuan  semata-mata  tentang  keutamaan menjamin  tindakan yang keutamaan? Karena Sokrates  berpendapat bahwa  tak seorangpun  dengan kesadaran melakukan  hal yang  buruk, maka dalam bahasa Sokrates, ”Mengetahui yang baik adalah melakukannya”, berarti  ”keutamaan adalah pengetahuan”.
            Sokrates mengkritik para sofis  yang menyangkal  adanya pengetahuan  yang bersifat umum dan norma-norma yang bersifat mutlak. Ia juga menilai mereka tidak tulus karena menggunakan  pengetahuan  untuk memperoleh  keuntungan  praktis, yaitu untuk memperkaya diri. Bagi Sokrates dan keyakian orang Yunani sezaman, pengetahuan yang sejati selalu tanpa pamrih.
            ”Metode Sokrates” adalah metode dialog (pertemuan antara dua logos, dua pihak yang memiliki akal budi  dengan kesadaran kritis). Ada dua tahap dari metodenya, yakni :
1.             Metode sangkalan atau ironi.  Dengan metode ini, Sokrates tidak bermaksud untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi terutama menggali dan mencapai pengetahuan  yang sahih secara bersama-sama.  Usaha bersama dalam dialog (memberi dan menerima), dipandu Sokrates dengan mengajukan sejumlah pertanyaan dan dijawab oleh mitra bicara. Jawaban atas pertanyaan itu dipertanyakan seterusnya sampai mencapai jawaban yang tidak dapat dipertanyakan lagi.  Dalam dialog itu, Sokrates  tidak pernah memperlihatkan bahwa ia telah mengetahui jawaban atas segala persoalan.  Dialog  merupakan pergumulan bersama untuk menemukan  kebenaran  bersama-sama dan untuk memperlihatkan bahwa tentang banyak hal  orang tidak tahu. Ia tidak menyebut diri sophos seperti para sofis. Ia hanyalah  seorang philosophos, orang yang mencintai dan mencarikebijaksanaan;
2.             Tehnik kebidanan (Tehnik Maieutik). Sokrates tidak berpretensi telah memiliki kebijaksanaan  dan pengetahuan  yang utuh  tentang sesuatu persoalan ketika memulai suatu dialog. Sokrates yakin bahwa dalam diri orang lain ada juga unsur-unsur kebijaksanaan. Maka tugasnya sebagai guru adalah membantu orang lain mengungkapkan  dan menyadari pengetahuan  dan kebenaran yang sudah  terkandung  dalam dirinya.  Sokrates melihat diri hanya sebagai  bidan intelektual.  Seperti seorang  ibu yang akan melahirkan  sudah memiliki bayi dalam kandungannya dan seorang bidan hanya membantu ibu itu  untuk melahirkan  bayinya, demikian juga seorang  guru tidak  memiliki kebenaran  untuk diberikan kepada para murid.[21] Seorang guru hanya membantu  agar seorang murid dengan mudah mengungkapkan pengetahuan  yang sudah dimiliki tanpa disadari.

            Relevansi metode Sokrates untuk pendidikan dewasa ini, antara lain diperlihatkan  oleh pemikir-pemikir radikal  dalam pendidikan seperti Paulo Freire dari Brazil. Freire mengkritik ”pendidikan gaya bank” di mana guru memberikan bahan (aktif) dan murid  tinggal menerima (reseptif) tanpa kesempatan mempersoalkan.  Ia menegaskan peranan dialog dalam pendidikan  sebagai cara  paling baik, karena menghargai anak didik sebagai pribadi. Dialog yang benar harus dilandasi  cinta dan pengharapan  terhadap sesama. Pendidikan  dialogal inilah yang akan membawa pembebasan  dari situasi masyarakat yang menindas.[22]
3.1.4. Plato (427-347 SM)
            Sumbangan Plato dalam filsafat pendidikan  terdapat dalam buku The Republic (judul asli; Politeia). Pandangannya  tentang pendidikan  didasarkan  atas analisis-analisisnya mengenai beberapa hal berikut:
1.             Mengenai manusia. Menurutnya, manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu: [23]
a.       Bagian keinginan yang terikat  dengan indera-indera dan dorongan badani. Keinginan ini berkaitan dengan  hawa nafsu. Keutamaan yang berkaitan dengan keinginan adalah pengendalian diri.
b.      Bagian keberanian  atau semangat yang berkaitan  dengan kecenderungan  ke arah  sikap suka menonjolkan  diri. Bagian ini berkaitan dengan kehendak. Keutamaan yang cocok dengan  keberanian  adalah kegagahan (keperkasaan).
c.       Bagian bagian akal budi, intelek yang berfungsi untuk mengerti dan mengarahkan  bagian-bagian lain. Keutamaan dari akal budi adalah  kebijaksanaan. Keanekaan fungsi dalam diri manusia ini akan diselaraskan  oleh prinsip harmoni, yaitu suatu hierarki  yang adil  di mana akal budi dengam bantuan keberanian mengatur keinginan.
2.             Mengenai masyarakat. Menurutnya, ada tiga kelompok sosial yang menjamin  kesatuan  masyarakat, yakni :
a.       Kelompok para petani, para tukang dan pengrajin, yaitu kelompok yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia: kecenderungan  dominan kelompok  ini adalah keinginan. Keutamaan yang cocok adalah pengendalian diri;
b.      Kelompok para serdadu, yaitu kelompok yang bertugas menjaga  keamanan negara terhadap serangan dari luar dan dari dalam; pada mereka yang dominan  adalah keberanian. Keutamaan yang cocok adalah kegagahan. 
c.       Kelompok para filsuf adalah kelompok yang berwewenang  untuk memimpin negara. Dalam kelompok ini yang dominan adalah kemampuan intelektual. Keutamaan yang perlu adalah kebijaksanaan. Keutamaan keadilan adalah  prinsip yang mengatur  dan menyelaraskan  ketiga kelompok dalam masyarakat.

3.             Mengenai praksis pendidikan. Plato menegaskan  bahwa kelompok pertama tidak memerlukan  pendidikan lama, karena keterampilan yang  diperlukan  oleh profesi  mereka dapat dipelajari  dengan mengerjakannya.  Kelompok  kedua memerlukan pendidikan yang  intensif  dalam musik dan olah raga.  Kelompok ketiga  memerlukan  pendidikan  yang jauh  lebih intensif dan lama karena pada mereka  tergantung  masa depan  negara.  Mereka  inilah calon-calon pemimpin negara yang harus  mengetahui  dengan baik  konsep tentang  ”yang baik” yang perlu  untuk menjamin  kesejahteraan negara.

Menurut Plato pengetahuan adalah  produk  dari kodrat manusia dan pendidikan. Pengetahuan adalah mengingat kembali (anamnesis). Ini disebabkan  karena jiwa manusia sebelum bersatu dengan tubuh sudah ada  lebih dahulu dalam dunia ide-ide. Dalam keadaan itu ia mengenal segala hal. Tepai dengan bersatu dengan tubuh ia diasingkan  dari pengetahuan itu.  Maka  pendidikan  membantu untuk  mengingat kembali apa yang sudah ada  lebih dahulu. Pendidikan adalah latihan terhadap naluri-naluri dalam diri anak untuk mencapai keutamaan  yang sesuai. Maka pendidikan yang tepat bagi individu dan setiap kelompok  dalam masyarakat adalah melatih  naluri-naluri atau fungsi-fungsi  khas  untuk memiliki  keutamaan-keutamaan yang sesuai.  Lebih dari itu, pendidikan  yang tepat adalah  pendidikan  di mana individu dididik dalam kelasnya; di situ ia belajar menghayati suatu  kehidupan  di mana keinginan  dikontrol oleh akal.
3.1.5. Aristoteles (384-322 SM)
            Gagasan Aristoteles  tentang  pendidikan  disajikan  dalam dua bukunya, yaitu Etika Nikomachea dan Politika. Dalam hal pendidikan, ia memusatkan  perhatian  pada bagaimana mengajarkan keutamaan, yang merupakan  suatu tema etika.  Ia tidak menerima bahwa pengetahuan  adalah keutamaan.  Ada tiga hal  yang membuat manusia baik dan berkeutamaan, yaitu kodrat, kebiasaan, dan akal budi.
1.             Mengenai kodrat ditegaskan bahwa anak didik adalah manusia. Tidak ada gunanya mendidik makhluk  bukan manusia dalam kebaikan  dan kebajikan.  Yang  membedakan  manusia dari makhluk-makhluk lain adalah jiwanya. Sifat khas jiwa adalah  aktivitasnya. Ada tiga  jenis aktivitas, yaitu:
a.       Yang paling sederhana adalah tingkat vegetatif  yang diperlihatkan  dalam pertumbuhan, reproduksi dan kebinasaan.
b.      Tingkat yang mengantarai adalah tingkat hewani  yang  dihadirkan  dalam sensasi, keinginan  dan gerak lokal.
c.       Tingkat rasional (akal budi) mengatur dan mengarahkan  kedua tingkat lain.  Akal budi adalah unsur  yang khas pada manusia yang menentukan manusia sebagai manusia.
2.             Kebiasaan. Menurut Aristoteles seperti juga  untuk Plato, anak-anak kecil lebih dekat  dengan hewan dalam arti  tindakan-tindakan awal mereka lebih dimotivasi oleh keinginan. Dalam tindakan-tindakan awal mereka, belum ada bukti tentang  adanya keutamaan moral yang muncul dari bakat alam mereka.  Sebaliknya, keutamaan adalah kebiasaan yang harus dipelajari. Katanya, ”karena hal-hal yang harus kita pelajari sebelum kita lakukan, kita pelajari dengan melakukannya.”  Karena itu keutamaan harus dipelajari, yaitu  dengan membiasakan akal budi menguasai keinginan. Orang menjadi baik karena terbiasa melakukan hal yang baik dan menjadi buruk karena berulang kali  melakukan  hal yang buruk.
3.             Aristoteles membedakan antara akal budi praktis dan akal budi teoritis. Akal budi praktis berkaitan  dengan kedua aktivitas jiwa yang  lebih rendah.  Ia mengekang  dan mengarahkan kedua aktivitas jiwa itu  agar dapat  diungkapkan  secara tepat.  Bidang khasnya adalah moral dan politik. Akal budi teoritis berkaitan dengan aktivitas  yang murni teoritis. Dalam hal ini, peranan akal sepenuhnya bersifat kognitif dan asyik  dalam spekulasi mengenai hakikat kebenaran universal.

            Norma bagi pendidik  untuk menilai aktivitas-aktivitas ini adalah kebahagiaan. Kebahagiaan dicapai  dengan melaksanakan keutamaan khas manusia. Karena kekhasan  manusia adalah akal budi maka kebahagiaan manusia  akan tercapai dalam aktivitas terluhur akal budi, yaitu pemikiran murni. Maka pengolahan intelek adalah keutamaan  utama karena mengantar kepada kebahagiaan.
3.1.6. Tomisme
            Pendiri Tomisme adalah Thomas Aquinas (1224-1274), yang diberi gelar Doctor Angelicus. Filsafat pendidikannya yang disajikan dalam karya berjudul De Magistero, untuk waktu yang agak lama mempengaruhi ajaran  Gereja Katolik  mengenai  pendidikan. Thomas Aquinas hidup pada zaman  yang dikenal sebagai zaman Skolastik. Ada 8 pemikiran Thomas Aquinas, yakni :
1.             Mengenai kodrat manusia yang dididik, Thomas Aquinas  sependapat dengan Aristoteles mengenai jiwa sebagai prinsip aktivitas.  Maka, pendidikan melibatkan  aktivitas  dari anak didik.  Thomas Aquinas  membandingkan cara kerja seorang  dokter. Dokter tidak dapat menyembuhkan tubuh  orang sakit, tetapi dengan terapinya ia hanya membantu  tubuh untuk  menyembuhkan dirinya.  Tubuh memiliki potensi alamiah  untuk dapat  mempertahankan  keseimbangan kesehatan, dan hal-hal ini perlu dirangsang oleh dokter. Seorang guru tidak ”mengajar” seorang anak. Guru hanya membantu seorang anak untuk menyadari  dan mengaktualisasikan potensi-potensi alamiah yang sudah ia miliki untuk belajar;
2.             Thomas Aquinas menjelaskan  proses belajar dengan menggunakan pembedaan Aristoteles atas materi dan forma, potensi dan aktualitas. Ide-ide, pengertian-pengertian  merupakan hasil aktualisasi dari  beberapa potensi. Dan aktualisasi itu dicapai melalui proses belajar. Potensi utama yang dimiliki pelajar adalah kemampuan  untuk membentuk pengertian-pengertian  umum. Akan tetapi, potensi ini hanya efektif  bila dikembangkan sejalan dengan kontak dengan objek khusus tertentu yang  merupakan  contoh dari hal-hal yang umum. Bila indera-indera  melaporkan objek-objek, esensinya dilepaskan dari kualitas-kualitas aksidental dan disajikan kepada intelek. Intelek lalu, berkat potensi yang dimiliki untuk membuat konsep-konsep, membuat objek yang diinderai menjadi dimengerti. Jadi, proses belajar  sebagai aktualisasi potensi  adalah menghubungkan  hal yang umum dengan hal yang khusus, yang universal dengan yang partikular, menghubungkan materi  dan forma. Dari segi logika, belajar adalah mengidentifikasi  objek  dan memberikan  kepada mereka  klasifikasi yang tepat dan khas;
3.             Menempatkan Allah sebagai pusat  filsafat Kristen  memiliki konsekuensi  yang menentukan bagi pendidikan.  Hal ini membuat  filsafat  pendidikan  Skolastik sangat berwibawa. Karena Yesus ”mengajar sebagai seorang yang berwibawa” (Injil Matius. 7;29), dalam semangat yang sama Gereja  perdana dan abad pertengahan melaksanakan  perintas Gurunya; ”Pergilah dan ajarilah segala bangsa.., Ajarilah mereka  mentaati semua yang kuperintahkan kepada kamu.”(Injil Matius 28:19-20). Maka pengajaran Skolastik  tidak hanya berwibawa  tetapi juga  bersifat dogmatis. Tetapi akan sangat baik kalau  doktrin dimaklumkan  bukan hanya berdasarkan akal yang benar, tetapi berdasarkan  wibawa  wahyu ilahi  yang tidak diragukan lagi;
4.             Filsafat pendidikan  Kristen bersifat teosentris dengan tujuan jauh dan dekat. Tujuan akhir pendidikan Kristen berkaitan dengan  tujuan akhir manusia. Untuk menemukan itu manusia harus  kembali ke asalnya  untuk mengenal penciptanya, yaitu Allah yang telah menciptakan  manusia menurut gambarannya untuk mengabdi dan mencintai  Dia  dan sesudah  kematian menikmati kebahagiaan kekal, menjadi orang kudus. Tujuan dekat pendidikan bersifat langsung, karena berhubungan dengan soal kehidupan sebagai warga negara (masyarakat) tertentu, panggilan dan akhirnya untuk kesejahteraan diri dan nasionalisme. Walaupun tujuan dekat filsafat Kristen berkaitan dengan  kehidupan  di sini dan kini, tidak boleh dilupakan bahwa tujuan itu selalu harus dinilai dalam perspektif sasaran terakhir yang bersifat teosentris;
5.             Sumbangan lain dari kekristenan kepada filsafat pendidikan adalah pandangan  tentang dosa asal. Sofisme mengajarkan  tentang manusia sebagai ukuran. Jadi ada optimisme  tentang kodrat manusia. Dalam kekristenan, optimisme ini harus diwaspadai. Menurut tradisi Yahudi-Kristen kodrat manusia telah dirusakkan oleh dosa asal. Maka dalam dirinya selain ada kecenderungan  yang teratur dan dipuji, juga ada  beberapa yang tidak baik dan harus dijauhi. Kecenderungan  terakhir ini terutama terikat dengan tubuh  yang dipertentangkan  dengan jiwa. Pertentangan ini terutama  dipengaruhi  dualisme Plato tentang jiwa dan badan, yang masuk dalam pandangan  Kristen sejak lama. Filsafat pendidikan Kristen, cenderung  tidak percaya pada praksis pendidikan yang  didasarkan  hanya pada kodrat manusia. Kendatipun demikian, ada unsur yang memberikan harapan. Kodrat manusia walaupun  terpengaruh  dosa asal, tidak sepenuhnya rusak. Kodrat manusia diselamatkan  oleh rahmat Allah  dan teladan Yesus Kristus. Dalam pengertian Thomas Aquinas, dengan aktivitas diri dan dengan bantuan  ajaran Gereja yang didasarkan atas wahyu, orang punya harapan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dalam hakikatnya  yang terluka dosa;

3.2. Masa Modern – Masa Kini
3.2.1. Reformasi Protestan
            Protestanisme menegaskan  peranan individu sebagai  pelaku tindakan  yang bebas  dan pemikir yang mandiri. Karena itu, pemikiran yang mandiri  dan keputusan yang  bebas  selalu didorong.  Tokoh dari reformasi Protestan adalah Marthin Luther King (1483-1546) yang sukses melepaskan  diri dari otoritas  Gereja  di Roma, mencari otoritas  lain yang  memiliki  wibawa  untuk memecahkan  semua konflik yang muncul, yaitu Kitab Suci. Tokoh lain adalah J. Calvin (1509-1564) memberikan beberapa modifikasi atas doktrin  Tomistik tentang kodrat manusia yang rusak.  Menurut dia, kodrat manusia sama sekali  rusak  karena dosa asal. Hanya Allah saja yang dapat  menyelamatkan manusia.
            Protestanisme  mengambil alih beberapa aspek dari pandangan Aristoteles-Tomistik  mengenai tujuan pendidikan.  Tujuan akhir  pendidikan ditentukan  oleh hakikat  manusia yang tidak binasa. Tujuan dekat pendidikan  menyiapkan  orang  untuk bekerja  dan menyumbang bagi kepentingan  orang lain. 
3.2.2. Naturalisme dan Empirisme
            Pemacu  naturalisme adalah perkembangan  baru dan cepat  dalam ilmu pengetahuan  pada abad 17  dan 18. Pelopor gerakan baru ini  adalah Francis Bacon (1561-1623), penulis karya berjudul Advancement of Learning dan Novum Organum. Perlahan-lahan dan melalui beberapa penulis, unsur-unsur  baru dari  pemahaman baru  tentang dunia  menjadi jelas pengaruhnya  dalam filsafat pendidikan. Berkaitan dengan pendidikan, Naturalisme mengemukakan beberapa dimensi, yaitu :
1.             Pendidikan harus  dilaksanakan sesuai  dengan tuntutan alam dan kodrat (natura). Orang pertama yang memberikan pendasaran  teoritis  bagi orientasi  pendidikan ini adalah  Johann Amos Comenius.[24] Sebagai  seorang pendeta,  ia menegaskan  bahwa kodrat manusia menjadi rusak  karena dosa. Tetapi ia tidak merendahkan kodrat manusia. Dalam Didactica Magna ia menegaskan bahwa ”jika kita ingin mencari penyembuhan  atas  cacat celah kodrat, maka itu harus dicari dalam kodrat itu sendiri. Ia mengusahakan  suatu sistem  pendidikan  yang bekerjasama dengan alam  dan bukan memperkosa alam.  Dari kodratnya segala sesuatu berkembang  dari alam. Perkembangan alam selalu teratur, tahap demi tahap. Manusia harus dididik  menjadi makhluk  yang saleh, berbudi pekerti dan bijaksana;
2.             Tekanan pada peran sentral indera-indera dalam proses belajar. Comenius menegaskan  pentingnya  pengalaman mengenai indera-indera. Landasan teoritis bagi penekanan pendidikan  pada indera-indera berasal dari pietisme. Pietisme adalah  suatu reaksi  dari rasionalisme dalam agama  yang melihat  agama sebagai suatu pengalaman  vital batin. Pembenaran agama oleh rasa puas batiniah diungkapkan di bidang  pendidikan  dalam proses  belajar, juga dibenarkan  dalam pengalaman inderawi.

            Dimensi inderawi filsafat pendidikan naturalistik  lebih jauh  ditegaskan dalam empirisme (empeiria; pengalaman inderawi) John Locke (1632-1704). Dalam karyanya  yang berjudul Essay Concerning Human Understanding, Locke menegaskan  bahwa semua  pengetahuan  dalam akal budi  berasal dari pengamatan  atas fakta-fakta yang disampaikan  oleh pengalaman inderawi. Ia menegaskan  bahwa pada saat kelahiran, akal budi  seseorang ibarat suatu papan bersih (tabula rasa). Anggapan dasarnya berbunyi: ”Tidak ada sesuatu dalam jiwa yang sebelumnya tidak ada dalam indera-indera.” Hal ini berarti bahwa  tidak ada  pengertian  dalam pikiran  yang masuk  tanpa melalui penginderaan. Locke membedakan dua jenis pengetahuan, yaitu :
1.             Pengetahuan yang dibentuk oleh kesan langsung  mengenai objek-objek empiris oleh indera-indera, yang disebut sensation, sebagai hasil penginderaan dunia luar;
2.             Pengetahuan yang dibentuk oleh gagasan yang berasal  dari reflexion, yaitu pengalaman  dalam jiwa  sebagai hasil pengolahan dari sensation. Akal budi memiliki  kemampuan untuk membedakan, membandingkan dan membuat generalisasi atas kesan-kesan yang disampaikan oleh indera-indera.

            Dalam pendidikan, Locke menekankan  harmoni  antara unsur  rohani dan unsur jasmani. Prinsip  yang dipegang teguh adalah ungkapan tua yang berbunyi : mens sana in copore sano; jiwa yang sehat  berada dalam tubuh yang sehat. Pendidikan bertujuan  membantu anak menjadi orang yang  sehat jasmani dan  berkepribadian  yang utuh.   
3.2.3. Rasionalisme
            Abad 18 boleh disebut  zaman akal budi. (the age of reason).  Yang baru dari zaman ini adalah keyakinan tak terbatas yang diberikan  kepada akal budi, terlepas dari pengaruh  otoritas karya-karya klasik dan juga  dari wahyu Kristen. Kemampuan manusia untuk bertumpu hanya pada akal budinya, membawa pandangan baru tentang dirinya. Manusia adalah hasil ciptaan alam semata. Manusia sebagai hasil ciptaan alam, harus diperintah oleh hukum-hukum yang seragam, seperti aspek-aspek  lain dari alam. Dengan mengembalikan  manusia kepada alam, martabat dan harkat  manusia justru ditinggikan.
Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1927) dari Swiss adalah pendidik pertama  yang sukses memaklumkan  teori dan praksis pendidikan berdasarkan observasi  atas hukum-hukum seragam tentang kodrat manusia. Menurut dia, jalannya kodrat itu tidak menyimpang. Maka,  hanya ada satu metode pendidikan, yaitu  mengikuti  tuntutan kodrat. Ia sering  menggunakan frasa-frasa seperti ”keharusan psikologis”, ”mekanisme kodrat manusia”, atau ”bentuk mekanis dari semua pengajaran”. Frasa-frasa ini bersama-sama  dengan metode pendidikannya memperlihatkan bahwa Pestalozzi berusaha membawa pendidikan ke arah  harmoni  dengan naturalisme zamannya.
            Tujuan pendidikan adalah memimpin  anak menjadi orang yang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya alamiah yang ada padanya.  Proses pendidikan harus disesuaikan  dengan  tuntutan perkembangan kodrat anak, sebab pendidikan pada hakikatnya  adalah  pemberian  pertolongan agar anak  kemudian menolong  diri sendiri. Pendidikan adalah  Hilfe zur Selbsthilfe: menolong untuk menolong diri sendiri. Dalam pengajaran ia menganjurkan agar orang  mengamati alam, sebab asal  semua pengetahuan adalah pengamatan.  Pengamatan menimbulkan  pengertian, bahkan  pengertian tanpa pengamatan adalah kosong.
            Akibat rasionalisme juga jelas dalam teori sosial tentang pendidikan. Ini jelas dalam pemikiran Helvetius (1715-1771), seorang  filsuf Perancis. Jika manusia diperintah oleh hukum-hukum alam, maka penemuan hukum-hukum  alam akan  memampukan  dia untuk menyesuaikan pendidikan dengan kondisi-kondisi sosial yang selalu berkembang maju. Helvetius berpikir bahwa ia menemukan itu dalam empirisme Locke.  Dengan bergerak lebih maju  dari Locke ia mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan dalam budi, juga tidak ada  kemampuan-kemampuan untuk membuat  perbandingan dan generalisasi, kecuali kalau diterima budi oleh indera-indera. Dari sini  harus disimpulkan  bahwa manusia hanyalah produk dari pendidikan.  Perbedaan antara manusia diakibatkan  oleh hukum-hukum yang tidak adil dan ketidaksamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Imaginasi, lembaga-lembaga sosial juga harus takluk kepada metode-metode kritis rasionalisme dan empirisme. Maka lembaga-lembaga  harus dinilai secara  rasional berdasarkan  pengaruhnya atas manusia dan bukan oleh otoritas ilahi atau manusia. Untuk mencapai perkembangan pendidikan maksimal bagi manusia, lembaga-lembaga sosial harus fleksibel dan progresif.
            Apa yang menjadi norma kemajuan pendidikan bagi  seorang naturalis? Condore (1743-1794), seorang  pemikir revolusioner Perancis mengemukakan  kepercayaan akan kemampuan manusia untuk menjadi sempurna secara tak terbatas. Dengan kata lain, kemajuan tidak punya akhir kecuali kemajuan lebih besar lagi.
3.2.4. Idealisme
Kebanyakan filsuf sebelumnya  melihat proses belajar kurang lebih sebagai suatu proses fotografis yang rumit. Dalam proses mengenal, budi memuat rekaman atas realitas.  Semua ini rupanya harus diganti. Dalam proses pengenalan itu, akal budi yang sedang belajar harus membangun dalam dirinya sendiri ide-idenya sendiri tentang dunia.  Maka, filsafat pendidikan ini dikenal sebagai idealisme. Tekanannya adalah  pada keadaan intern budi atau perasaan  individu.
            Perkembangan  terbesar idealisme dalam filsafat pendidikan terjadi di Jerman.  Tema sentral kuliah-kuliah Kant mengenai pendidikan bersifat moral.  Anak-anak harus dilatih untuk bertindak, bukan seperti mereka mau, tetapi sebagaimana seharusnya.  Rasa wajib adalah produk struktur dari kehendak dan bukan dari pengalaman.  Meskipun pada dasarnya kehendak ini terarah dari hal yang benar dan baik, ia dihalangi dalam mewujudkan dirinya oleh keinginan-keinginan. Karena itu, pendidikan merupakan  suatu fase  untuk melatih kehendak  yang baik untuk mewujudkan  dirinya sendiri.
            Akan tetapi, memiliki kehendak baik saja tidak cukup. Kehendak harus juga diberi beberapa petunjuk tentang arah perwujudan dirinya. Petunjuk ini ditempatkan Kant  dalam suatu  imperatif praktis. ”Bertindaklah sedemikian, dalam memperlakukan  kemanusiaan, entah itu dalam diri Anda sendiri atau dalam diri pribadi lain, dalam segala hal sebagai tujuan dan tidak pernah hanya sebagai sarana.” [25] ”Hormat terhadap kemanusiaan” dengan ini menjadi suatu  imperatif kategoris (perintah  tak bersyarat) dalam filsafat pendidikan yang demokratis.
Idealisme berasal dari kata bahasa Latin idea yang berarti gagasan, ide. Idealisme menekankan gagasan, ide, isi pikiran. Tokoh-tokohnya adalah Kant, Hegel, Bradley, J. D. Butler. Pokok-pokok pembahasan Filsafat Pendidikan menurut Idealisme adalah :
1.              Realitas paling obyektif dan mendasar adalah sesuatu yang spiritual (konsep-konsep abstrak);
2.              Unsur spiritual dan material bertentangan;
3.              Dunia yang tampak bersifat material dan tergantung dari konsep yang ada dalam pikiran. Realitas adalah bayangan dari realitas sesungguhnya, yaitu konsep atau ide;
4.              Tujuan Pendidikan adalah:
a.       memelihara nilai-nilai luhur dalam kehidupan kultural, sosial dan spiritual;
b.      mengembangkan hal-hal yang berkaitan dengan hidup spiritual (kemampuan intelektual).
5.             Unsur personal dalam pendidikan lebih penting dari fakta atau data pendidikan. Pengenalan diri lebih penting dari ilmu pengetahuan yang dimiliki;
6.             Kebenaran obyektif selalu dicari, tetapi kebenaran obyektif itu terletak dlm (1) koherensi gagasan/konsep dan (2) dalam memahami dan mengerti segala sesuatu dengan bantuan Ide Kebaikan (Plato) atau Allah (St. Agustinus).
3.2.5        Realisme
Realisme berasal dari kata bahasa Latin realis yang berarti sungguh-sungguh, nyata, benar.
Menurut Realisme, obyek persepsi inderawi dan pengertian sungguh-sungguh ada. Obyek itu dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari. Tokoh-tokohnya adalah Th. Aquinas, Descartes, Baruch Spinoza, John Locke, J. Rousseau, Th. Hobbes, Alfref North Whitehead, Adler.
Menurut aliran Realisme, realitas paling mendasar dan nyata tidak tergantung dari konsep akal budi atau pikiran manusia, tetapi dapat diketahui oleh budi manusia. Bagi Descartes, ide atau pikiran dan materi adalah ciptaan Allah yang adalah substansi (ada dari dirinya sendiri dan keberadaannya tidak tergantung dari sesuatu yang lain). Bagi Spinoza, akal budi dan materi adalah aspek-aspek dari Allah yang adalah substansi. Bagi Whitehead, budi dan materi adalah kedua aspek dari proses. Dalam proses itu, Allah menjadikan pikiran dan materi itu menjadi konkret.
Berkaitan dengan pendidikan, menurut Realisme tujuan aktivitas pendidikan adalah transmisi atau pengalihan atau penerusan dari :
1.              kebenaran-kebenaran universal yang tidak tergantung dari budi. Di sini pengetahuan intelektual sangat ditekankan;
2.              pengetahuan tentang Allah dan pengetahuan ttg manusia dan dunia ciptaan lain;
3.              nilai-nilai kultural yang luhur.

Karena itu, pendidikan harus membuat orang sadar akan dunia nyata termasuk berbagai nilai dan kemungkinan hidup. Kebenaran adalah sesuatu yang obyektif dan dapat ditemui oleh manusia. Manusia yang rasional adalah penemu kebenaran obyektif.
3.2.6. Pragmatisme
             Pragmatisme berasal dari kata bahasa Yunani pragmatikos (Latin : pragmaticus). Arti pragmatikos adalah cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, perkara negara dan dagang. Bahasa Inggris pragmatic berarti berkaitan dengan hal-hal praktis. Pragmatisme adalah pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoretis/ideal. Berhubungan dengan tindakan,  bukan abstraksi. Menurut Pragmatisme, pengetahuan dicari bukan sekedar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk mengerti masyarakat dan dunia. Pragmatisme sudah ada sejak zaman Pytagoras. Tokoh utamanya adalah John Dewey dan Brameld.
Berkaitan dengan pendidikan, ada beberapa pandangan yang diberikan oleh Pragmatisme, yaitu :
1.              Realitas paling mendasar adalah proses pengalaman pada umumnya. Subyek (budi manusia) dan obyek (materi) dibedakan;
2.              Tujuan pendidikan adalah:
a.       mengorganisasikan dan merekonstruksi berbagai pengalaman sebagai proses adaptasi pada hidup atau tujuan akhir pendidikan adalah memiliki pengetahuan;
b.      memajukan dan menumbuhkan suatu kehidupan yang sukses dan significan;
c.       memenuhi proses transformasi sosial yang dibutuhkan;
3.              Pengetahuan bersifat relatif dan instrumental.
4.              Pendidikan berkaitan dengan kemampuan memecahkan masalah (solving problem) berdasarkan pengalaman;
5.              Kebenaran adalah sesuatu yang dilakukan dan berfungsi untuk menjalankan nilai tertentu. Nilai itu diwujudkan dan dilaksanakan.

Brameld kemudian mengembangkan aliran ini menjadi Rekonstruksionisme. Menurutnya, pendidikan mempunyai beberapa cirri, yaitu :
1.             Esensialis. Pendidikan dilihat sbg jalan untuk mentransfer nilai-nilai esensial dalam kebudayaan (sama dengan idealisme dan realisme);
2.             Perennialis. Pendidikan adalah proses transmisi kebenaran-kebenaran universal secara berkelanjutan tanpa henti;
3.             Progresif. Pendidikan dilihat sbg proses memecahkan masalah secara metodologis;
4.             Rekonstruksionis. Pendidikan dilihat sebagai sumber dan implementasi rekonstruksi tujuan-tujuan sosial dalam masyarakat. Karena itu, sangat ditekankan metode dan tujuan pendidikan.
3.2.7. Eksistensialisme
            Eksistensialisme[26]  adalah  aliran pemikiran filsafat  yang timbul setelah Perang Dunia yang serentak merupakan  reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Eksistensialisme juga merupakan  reaksi  terhadap idealisme.         
Menurut Eksistensialisme, manusia adalah eksistensi. Eksistensi  berarti cara berada manusia yang khas di dunia. Tokoh-tokohnya adalah Kierkegaard, Nietsche, Sartre, Heidegger, Jaspers, Merleau Ponty, Gabriel Marcel, Martin Buber.
Berkaitan dengan pendidikan, Eksistensialisme mengemukakan beberapa pandangannya, yaitu :
1.              Pendidikan adalah suatu realitas dasar di mana perspektif atau tujuannya dipilih oleh manusia;
2.              Dunia dalam arti sesungguhnya adalah sesuatu yang netral, tak bermakna, sia-sia (absurd). Dunia akan menjadi arti ketika manusia memberinya arti untuk kepentingannya;
3.              Eksistensi manusia itu khas dan unik;
4.              Tujuan Pendidikan adalah :
a.       menjadikan hidup manusia bermakna dan penuh tanggung jawab;
b.      mendorong manusia agar bertindak bebas;
c.       membantu manusia agar terbuka pada keasliannya sebagai manusia/menjadi dirinya sendiri;
d.      membantu manusia mengalami kebenaran tentang dirinya sendiri;
e.       mencapai makna diri lewat aktivitas, bukan lewat refleksi intelektual;
f.       memajukan proses humanisasi dan hominisasi;

5.              Kebenaran itu diciptakan dan bukan ditemukan;
6.              Pendidik harus mendorong peserta didik agar yakin dan komit pada apa yang dianggapnya benar;
7.              Masalah-masalah hidup manusia lebih penting dari pengetahuan tentang sikap-sikap manusia.
3.2.8. Marxisme
Marxisme adalah suatu kumpulan ajaran yang menjadi dasar sosialisme dan komunisme pada abad ke-19 dan ke-20.  Perumusnya adalah Karl Marx dan Friedrich Engels. Tujuan utama marxisme adalah menghapuskan kapitalisme yang sangat merugikan kaum proletar. Marxisme mengemukakan prinsip-prindip pendidikan, yaitu
1.              Realitas paling mendasar adalah proses perubahan alam dan kultur yang bersifat dinamis. Dalam proses ini, pikiran adalah ungkapan kesadaran kelas atau kelompok masyarakat;
2.              Tujuan pendidikan adalah membuka peluang bagi peserta didik untuk bertindak dan berpartisipasi dalam perubahan sosial dan kultural yang tak terelak dalam mencapai masyarakat ideal tanpa kelas;
3.              Kebenaran bersifat relatif dalam kaitan dengan kebutuhan-kebutuhan revolusi. Kebenaran adalah produk atau hasil dari kesadaran sosial dan tak terikat oleh waktu;
4.              Sosialisme dan kemudian komunisme adalah cita-cita yang harus dicapai oleh pendidikan.















BAGIAN II
FILSAFAT PENDIDIKAN SISTEMATIS

BAB IV
SOSIALITAS MANUSIA

4.1.    Sosialitas  Manusia pada Umumnya
4.1.1.      Arti Umum
Sosialitas memiliki beberapa arti. Pada umumnya, ada 4 arti sosialitas yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.             Setiap manusia adalah aku, pribadi dan subjek yang sadar. Ini merupakan fakata mutlak dan kenyataan dasar yang tidak tersangkalkan. Sebagai  pribadi setiap manusia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Tertentu dan khusus;
b.      Utuh dan tak terbagi;
c.       Otonom dan unik.
2.             Aku selalu menyadari  diri dalam hubungan dengan orang lain  dan dengan dunia infra human (benda-benda inorganik, tumbuh-tumbuhan dan hewan), menurut semua aspek. Misalnya: guru dan murid, tukang ojek dan penumpang. Aku ditentukan oleh orang lain: nama dan fungsi. Yang lain memberikan tempat dan peranan.  Saya menjadi aku yang konkret ini, sejauh  saya mengakui  keberadaan yang lain dan sejauh mereka  mengakui saya. Aku menentukan mereka pula.  Semua saua beri nama; misalnya: air, hutan, seorang petani, nelayan, mahasiswa mempunyai dunia lain. Orang lain tergantung  padaku, merek saya tentukan.  Duniaku  adalah seperti  saya artikan. Penilaianku  terhadap orang lain  menampakkan diriku;
3.             Otonomi  dan ko-relasiku (hubungan timbal balik dengan yang lain) saling menentukan.  Ada kesesuaian  mutlak antara kesadaranku akan diri dan pengakuanku  akan yang lain  dan pengakuan mereka akan aku sejauh saya terima. Otonomi dan korelasi saling menentukan.  Aku ada, sejauh aku berperan dan berfungsi  di antara yang lain. Aku hanya  mempunyai  identitas  dalam relasi dengan  yang lain. Tetapi  aku baru  berhubungan sejauh ’aku’ ini ’ada’.  Bukan soal memilih, misalnya  antara watak atau lingkungan.  Sosialitas  ini bukan kekurangan atau kelemahan, yang hanya membantu saja. Adaikata begitu, maka sosialitas akan berkurang, sejauh aku ini otonom. Tetapi  semakin otonom, semakin pula  aku berkorelasi;
4.             Maka kepentingan  pribadi dan kepentingan  orang lain  (juga kepentingan bersama) tidak saling  bertentangan. Yang baik atau yang  buruk bagi kita bersama, adalah baik dan buruk  bagi aku pribadi dan sebaliknya.  Demikian ditemukan suatu norma dosa. Cinta  akan diri sendiri pada dasarnya  sejajar dengan cinta akan orang lain; dan sebaliknya. Korban nyata itu bukan kerugian bagi diriku, dan kebahagiaanku bukan kerugian bagi orang lain. Dosa paling fundamental ialah iri hati (ingin agar orang lain tidak memiliki.....tidak berhasil dalam usaha).


4.1.2.      Lingkaran dan Gradasi
Manusia memiliki hubungan dengan yang lain. Dalam hubungan dengan yang lain, dibedakan  macam-macam bidang lingkaran dan gradasi.
4.1.2.1.Hubungan dengan Manusia Lain
Dalam hubungannya dengan manusia lain, ada beberapa hal yang perlu ditekankan, yaitu :
1.             Ada bidang  dan kesatuan hidup tertentu:  kebudayaan dan bangsa, keluarga, negara sebagai kelompok sosial politik, kelompok agama atau ideologi. Ada antar-aksi besar antara semua kelompok tersebut;
2.             Hubungan  dengan orang lain mempunyai intensitas  yang berbeda-beda, yakni:
a.       Hubungan yang ekonomis, pragmatis, utilitaristis: hubungan fungsional, seperti perdagangan;
b.      Hubungan personal. Hubungan dalam keluarga, dengan sahabat. Tetapi taraf-taraf itu tidak dapat saling lepas karena saling membutuhkan.
4.1.2.2.Hubungan  dengan Dunia Infra Human
Berbeda dengan hubungan dengan manusia lain, sebab hewan, pohon dan batu bertaraf lebih rendah  daripada manusia. Manusia  dan makhluk-makhluk infra human bertumbuh bersama-sama. Makhluk-makhluk infra human menjadi dasar dan landasan bagi kehidupan dan perkembangan pada taraf human.
4.1.2.3.Integrasi Harmonis
Kesadaran  akan adaku sebagai pribadi hanya dapat  terbentuk harmonis, jikalau manusia mengintegrasikan secara harmonis lingkaran dan gradasi yang  terdapat dalam relasinya dengan yang lain ini merupakan suatu norma etis.
4.1.3.      Komunikasi dan Partisipasi
4.1.3.1.Sebagai Kegiatan Umum
Dalam hubungan  satu dengan yang lain, manusia  saling mengadakan. Manusia tidak hanya mengembangkan  dirinya secara imanen,  tetapi juga secara transenden mengembangkan  orang lain. Dalam hubungan dengan itu, ia memberikan dirinya sendiri kepada yang lain, namun tanpa kehilangan  dirinya.  Dan pemberian diri itu diterima oleh yang lain, namun menurut  gayanya pribadi dan tanpa merasa terpaksa. Tetapi sebaliknya iapun memberikan dirinya sendiri kepada orang pertama, dan ditampung olehnya pula.
Dalam komunikasi diri itu, kedua belah pihak masing-masing aktif dan pasif. Masing-masing  hanya dapat memberi  seukuran dengan menerima  dan hanya menerima sejajar dengan memberi.  Dengan demikian, terjadilah  kesatuan benar (entah dalam kebahagian, entah  dalam kemalangan), tanpa membahayakan  otonomi masing-masing. Malahan semakin bersatu, semakin berbeda pula. Semakin berbeda, semakin  mereka bersatu.



4.1.3.2.Komunikasi dengan  Dunia Infra Human
Dengan dunia infra human manusia juga berkomunikasi, saling mengadakan. Dalam  komunikasi, manusia mendunia.  Dunia infra human membentuk manusia, dan manusia memanusiakan dunianya.  Mereka bersatu. Hubungan itu terwujud secara menyolok dalam (ilmu) pengetahuan.
Manusia hanya dapat  semakin menjadi manusia, kalau pengertian tentang  dunia infra human ikut dikembangkan menjadi pertanian, teknik,  dan transportasi serta komunikasi. Tetapi pengetahuan  itu baru nyata, kalau berciri efektif. Manusia menghidupkan dunia infra human dalam karyanya; menerimanya sebagai patner kecil: makanan, alat, kebun, kerbau. Ia memberikan  arti dan menghargai mereka menurut kekhususannya. Ia menerima pula bahwa mereka mengadakan dia, memberi tempat kepadanya dan memperkaya dia.
4.1.3.3.Beberapa Sifat Komunikasi
Komunikasi timbal balik itu mempunyai beberapa ciri. Ciri-ciri komunikasi adalah sebagai berikut:
1.             Sasaran. Komunikasi sejati selalu bertujuan pemanusiaan.  Dalam hubungan mana saja selalu manusia mau memanusiakan  diri dan  yang lain  dan memanusiakan dunia;
2.             Satu dan berbeda. Dalam setiap hubungan manusia menyatukan diri dengan yang lain. Dan sejajar dengan itu  ia juga  membedakan diri, dan menyendirikan yang lain;
3.             Objektif dan subjektif. Manusia mengartikan  dan menilai yang lain menurut adanya yang lain itu, yang berbeda dari aku.  Aku bergerak menuju keberlainannya. Tetapi juga ia hanya  diartikan  dan dinilai menurut keterlibatanku, atau sejauh  berarti dan bernilai bagiku;
4.             Singular-universal.  Yang lain dinilai menurut  keunikan dan kekhususannya. Tetapi yang lain itu sekaligus dialami dalam seluruh komunikasinya dengan lingkungannya sebagai titik fokus dari seluruh dunianya.  Dengan demikian, yang singular itu mendapat status unibersal pula.
4.1.3.4.Komunikasi Antar Subjektivitas
Komunikasi tersebut harus dihayati menurut harmoni yang  maksimal, dengan semua orang dan seluruh  dunia infra human. Interpretasi pada filsuf berbeda-beda: J.P. Sartre mengatakan  bahwa orang lain merupakan  sumber dosa dan neraka bagiku; hanya dalam  hubungan dengan dunia infra human aku tidak terancam dalam otonomi. Sementara Emmanueil Levinas mengatakan bahwa orang lain menuntut  pelayananku sebagai keadilan; wajahnya mendorong saya meninggalkan duniaku yang tertutup dan aman.  Selanjutnya G. Marcel dan M. Buber mengatakan bahwa hanya dengan keluar dari diri dan terbuka terhadap engkau saya dapat menjadi aku.
4.1.4.      Kebebasan
4.1.4.1.Pengertian Yang Salah
Kebebasan digambarkan  sebagai lepas dari pengaruh yang lain, dari nasihat, peraturan, norma moral, semua ketentuan dan juga kebebasan orang lain, membatasi cita-cita itu. De facto, orang semakin jauh dari kebebasan itu. Dan secara prinsipil, jikalau  ia mau  mencapai  cita-cita itu, ia harus  menolak segala respons terhadap  manusia lain  dan dunia infra human, dan tidak boleh berbuat apa-apa. Kebebasan itulah yang disebut kekosongan.
4.1.4.2.Unsur-unsur Kebebasan Sejati
Kebebasan memiliki beberapa unsur. Secara umum, ada 5 unsur kebebasan sejati, yaitu :
1.             Mengambil sikap.  Kebebasan  adalah penghayatan diri yang otonom. Itu hanya mungkin dalam mengambil sikap terhadap yang lain (entah menerima atau menolak). Hanya dalam pertemuan, identitas  seseorang  jadi jelas. Kebebasan berarti bertanggung jawab terhadap yang lain;
2.             Konfrontasi. Pengaruh, situasi, tuntutan, peraturan tidak merupakan ancaman  bagi kebebasan, tetapi sarana dan kondisi yang menunjang perkembangan. Kebebasan orang lain bukan merupakan ancaman bagiku, melainkan syarat mutlak bagi otonomiku.  Kebebasan orang lain melengkapi kebebasanku. Kebebasan adalah keterlibatan;
3.             Bukan paksaan struktural.  Tidak semua pengaruh, peraturan, atau larangan merupakan  paksaan.  Pengaruh dapat menjadi paksaan struktural, jikalau menghampiri orang  bukan secara utuh, misalnya paksaan fisik (dipenjara), paksaan biotis (dibius), paksaan psikis (hipnosis), paksaan moril (mengancam keselamatan saudaraku).  Dengan  jalan demikian, diharap memaksa pengambilan  posisi personal. Orang dipaksa  untuk mengambil keputusan yang bertentangan  dengan kehendak bebasnya.
4.2.    Sosialitas Manusia dan Pendidikan Pada Umumnya
4.2.1.      Pengertian Pendidikan
Pendidikan berkaitan dengan hubungan antara orang  dewasa dengan orang yang belum dewasa (anak), yaitu pengaruh yang mau mengarahkan anak menuju kedewasaan. Pada hakikatnya, pendidikan adalah  humanisasi, menolong anak untuk menjalankan  hidupnya sebagai manusia. Mendidik ialah memanusiakan manusia muda, memimpin pertumbuhan sampai dapat bersikap sendiri, bertanggung jawab dan berbuat sendiri.
4.2.2.      Arah Inti Pendidikan: Sosialitas
Anak harus dibimbing  menuju harmoni  yang seoptimal mungkin  dari struktur otonomi-korelasi.  Hal-hal penting yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut.
4.2.2.1.Otonomi-Korelasi
Anak dididik agar  menyadari  bahwa  otonominya hanya tumbuh dalam korelasi, dan korelasi hanya dapat  dijalankan berdasarkan otonomi. Kedua unsur ini harus diharmonikan, sehingga anak tidak  mengalami pertentangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Harus dipupuk kesatuan antara kepribadian dan keanggotaan, dengan dihindari  dua penyelewengan ekstrim, yaitu :
1.             Individualisme. Sikap yang menekankan kepentingan pribadi yang terisolasi. Ini disebabkan karena semua keinginan anak dituruti, anak dimanjakan.  Untuk mencegahnya anak harus dididik untuk memiliki kepekaan sosial dan rasa tanggung jawab;
2.             Kolektivisme. Sikap yang terlalu  menyesuaikan  diri dengan tuntutan lingkungan.
4.2.2.2.Integrasi dalam Lingkungan
Anak harus dididik menncapai integrasi dalam kelompok dan lingkungan, sebab hanya dengan demikian ia mencapai otonominya. Bidang-bidang khusus yang menentukan  integrasi adalah:
1.             Kebudayaan. Konteks pendidikan yang  utama tidak boleh bersifat terlalu sempit, terlalu pragmatis, tetapi harus lebih integral. Integrasi ke dalam kebudayaan dapat berupa:
a.       Inkulturasi, yakni pemasukan anak ke dalam suatu kebudayaan dan pemasukan  kebudayaan dalam diri anak.  Anak diantar mengintegrasikan  kebudayaan bangsanya, adat-istiadat, kesenian, bahasa, segala arti dan nilai, religiositas. Hal itu mutlak perlu agar anak mendapat identitas. Dan anak harus memberi sumbangan pribadinya. Hal itu mutlak perlu bagi kebudayaan;
b.      Alkulturasi. Komunikasi antar kebudayaan-kebudayaan dan bangsa-bangsa lain.  Sebab kebudayaan-kebudayaan  lain juga  menghayati  nilai kemanusiaan.
2.             Negara. Dari satu pihak, integrasi  dalam negara sebagai kesatuan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan tidak boleh menguasai pendidikan. Itu akan mengarah kepada  statosentrisme. Nilai kemanusiaan  yang  disatukan dalam negara hanya merupakan  bagian saja. Mengabdikan anak seluruh kepada negara dan kebutuhannya (politik) itu merupakan tendensi totalitaristik. Dari pihak lain, sudut pragmatis harus ada pula.  Anak harus  belajar memberikan sumbangan  bagi kehidupan negara.
3.             Bidang-bidang lain. Juga aspek  lain dalam  anak hanya  dapat  dikembangkan sejauh berintegrasi; agama tau ideologi, bidang ekonomis, olah raga,  dan sebagainya.
4.2.2.3.Komunikasi Hidup
Komunikasi hidup dibedakan  atas dua jenis, yaitu:
1.             Komunikasi antar manusia. Anak dididik melihat dunia insani sebagai dunia bersama,  dan dirinya sebagai ada bersama. Segala hal menunjukkan kebersamaan; jalan, bahasa, alat. Harus diusahakan komunikasi yang harmonis; saling memahami, mencintai, saling melayani dalam keadilan;
2.             Komunikasi dengan dunia infra human. Anak harus dididik untuk mengenal dan menghargai makhluk-makhluk  hidup lain dalam alam yang lain. Ia mempunyai tugas  untuk melestarikan  lingkungannya dan menerima sendiri tempatnya dalam dunia makhluk itu. Ia harus merasa diri ’at home’ dengan  tehnik, dengan flora dan fauna. Ia harus mengetahui  jalan-jalan, desa dan daerah.
4.2.2.4.Penggunaan Kebebasan
Anak didik menjadi orang bebas, yaitu orang yang dapat  bertanggung  jawab, mengambil posisi pribadi. Di sini diperhatikan dua hal, yaitu:
1.             Sikap berani. Sikap ini dimaksudkan agar anak tidak boleh bingung menghadapi tugas, tidak mudah  merasa diri dikuasai oleh situasi, diintimidasi oleh orang  lain; tidak mudah dipaksa agar bersikap pasrah saja. Ia harus perlahan-lahan berani dan tegas dalam mengambil keputusan, dalam penilaian dan tindakan. Dalam otonomi  ia berani menerima tanggung jawab; bukan  tinggal menerima saja tanpa sikap kritis
2.             Perlunya tantangan. Untuk mencapai sikap yang berani itu, anak tidak boleh ’dibebaskan’, diserahkan  kepada kerelaan sendiri, kecuali dalam hal-hal yang kurang penting. Pendidikan harus menghadapkan anak dengan keyakinan jelas,  dengan arti dan nilai tegas.  Hanya dengan demikian anak sendiri dapat mencapai keyakinan dan sikap tegas, dan menjelaskan alasan mengapa orang menerima atau menolak hal tertentu. Pengarahan ’non directive’ hanya berlaku  bagi situasi tertentu; dan itupun terutama bersifat  terapeutis.

Sedapat mungkin makin lama makin dijauhi  sikap yang memaksa. Dalam hal tertentu anak harus  diberi kemungkinan untuk  berbuat kesalahan pula. Tetapi dalam arti ini pendidikan harus memperlihatkan bahwa ia terlibat  secara pribadi; ia perlu  mengajukan tuntutan; memperlihatkan emosi pribadi (marah, kecewa, senang), memberikan perintah  dan peraturan. Ia tidak perlu takut menghukum dan menurut pertanggungjawaban pribadi dari anak, yaitu dengan menjelaskan  dan memberikan alasan atas perbuatannya. Tanpa tantangan itu anak tetap ragu-ragu, tidak mampu melibatkan diri, kurang mencapai keyakinan pribadi.
4.2.3.      Sosialitas Proses Pendidikan    
4.2.3.1.Secara Umum
Proses pendidikan harus berlangsung dalam sosialitas.  Arah  dan harmoni tersebut di atas  harus dilatih dalam hubungan antara  pendidik dan anak. Otnomi, keunikan dan kebebasan anak harus  dicermati.anak harus diberi fungsi dan peranan terhadap yang lain. Seluruh proses pendidikan  perlu diresapi  undur seperti: otonomi -korelasi,  lingkaran, komunikasi, dan kebebasan.
4.2.3.2.Pendidik Utama
Di dalam proses pendidikan terdapat beberapa pendidik utama. Pendidik utama yang dimaksud adalah :
1.             Orang tua. Suasana sosialitas total personal terutama diwujudkan  dalam keluarga;  dalam lingkungan ini  perlu terjamin  suasana cinta  dan keterlibatan  total. Hanya dalam hubungan total-personal demikian, anak  mampu berkembangan dalam  otonomi – korelasi secara harmonis. Maka yang pertama-tama berhak dan wajib mendidik anak adalah orang tua. Pendidikan menjadi pribadi itu merupakan  kelangsungan  propagasi fisik. Orang paling terlibat, sebab anak merupakan kesatuan  dan kontinuitas dari hidup mereka.
2.             Peranan negara. Objek  formal kegiatan  negara adalah keteraturan dan ketertiban hidup bersama menurut segi-segi  pragmatis-praktis: Sos-pol-ek.  Dengan hukum-hukumnya negara menentukan  suatu batas minimal bagi hak dan  kewajiban  segala warga negara,  sejauh itu perlu  untuk memungkinkan hidup bersama itu. Pengaturan itu tidak boleh bersifat  totalitaristik: harus tetap memperhatikan prinsip  subsidiaritas  dan pluriformitas yang wajar.

Mengenai segi-segi lebih pribadi dan prinsipiil, negara  bertugas mengawasi agar terjaminlah  hak-hak azasi, baik bagi orang tua maupun bagi anak. Negara harus mengakui, melindungi dan membantu pelaksanaan hak dan kewajiban orang tua. Bukan bersifat laissez faire, laissez aller, membiarkan segala sesuatu berlangsung apa adanya.
Terutama dalam  hal pendidikan harus dihindari statosentrisme. Sebab negara menurut hakikatnya terutama menekankan  segi pragmatis, politis, dan eknomis belaka. Itu hanya salah satu  bagian  dari hidup manusia.
4.2.3.3.Kualifikasi Pendidik
Pendidik harus memiliki kematangan pribadi, bukan saja struktural, melainkan juga etis.  Ia harus telah menyadari kesimbangan  dan harmoni  dari  otonomi-korelasi. Terutama dalam  hubungan dengan anak ia harus sanggup hidup menurut pola itu, dan mengusahakan  otonomi korelasi anak yang setinggi-tingginya.
4.3.    Sosialitas  Manusia dan Pendidikan di Sekolah
4.3.1.      Pendidikan di Sekolah
4.3.1.1.Kedudukan Sekolah
Pengertian pada umumnya penting  untuk menjadi manusia dan untuk mendunia, dan perlu bagi kemajuan. Pengertian spontan tidak cukup  untuk menghadapi kemajuan. Pengertian spontan harus dikembangkan dengan  pengajaran  yang sistematis dan metodis. Anak  memerlukan  pengajaran agar dapat mengerti kemanusiaannya, masyarakat,  sejarah,  bahasanya. Diperlukan  pengetahuan sistematis metodis. Itu  diberikan di sekolah.  Sekolah hanya meliputi sebagian  dari pendidikan. Tujuannya yang pokok hanya beberapa segi, yaitu pengertian dan keterampilan.
Sekolah harus diberi tempat  dalam lingkup pendidikan.  Proses belajar di sekolah  harus terarah pada memanusiakan  anak sesuai dengan hakekatnya.  Mata pelajaran-mata pelajaran (kurikulum) harus bersifat  mendidik ke arah itu pula.
4.3.1.2.Fungsi Edukatif  dalam Mata Pelajaran
Pengajaran harus berlangsung  secara seimbang. Macam-macam mata pelajaran harus melatih anak supaya mempunyai cara memandang  dari macam-macam segi, selengkap mungkin. Fungsi edukatif  dalam suatu mata pelajaran menyangkut akibat mata pelajaran tertentu pada tabiat anak, dan pengaruhnya pada pertumbuhan anak.  Fungsi edukatif mencari tujuan mata pelajaran. Tujuan itu dapat dipandang secara kurang  fundamental. Misalnya, menggambar dapat bermaksud  mengajar menggambar, memenuhi  dorongan  estetika, atau melatih membuat bentuk. Pada filsafat pendidikan dicari  fungsi paling  fundamental ialah  fungsi humanisasi.
4.3.1.3.Hubungan Pengertian dan Keterampilan
Pengajaran  tidak boleh dipisahkan dari hidup sehari-hari. Anak dididik agar berintegrasi dengan  masyarakatnya. Ia harus ikut serta  menyelenggarakan  masyarakatnya.  Jadi ia harus bertumbuh dalam keadaan  dan dari keadaan yang dialaminya.  Bacaan, pelajaran, peraga-peraga harus mencerminkan masyarkatnya, dan membawa anak kembali  kepadanya. Maka pelajaran perlu  dihubungkan dengan latihan,  untuk memperoleh keterampilan  dalam  bidang-bidang  yang bersifat praktis. Harus terjadi dalam konteks kegiatan : pattern of behaviour:  pola tingkah  laku. Misalnya; pertama, penyelidikan dan observasi sederhana,  dengan memberikan laporan. Kedua, ekskursi. Dengan penglihatan yang dipimpin dan  diarahkan. Fungsi praktis ini  terutama ditekankan dalam sekolah kejuruan dan sekolah pembangunan.
4.3.1.4.Kurikulum dan Sosialitas Anak
Tujuan fundamental  bagi kurikulum ialah otonomi  dan korelasi  anak. Anak  dapat mencapai  otonomi dewasa  dalam hubungan dengan manusia dan dengan dunia infra human (dan sebaliknya). Segi sosial dari hubungan itu termuat pada segala macam mata pelajaran (misalnya sejarah, bahasa dan kebudayaan). Tetapi ada kelompok mata pelajaran yang secara khusus mengajar hal itu. Disebut tiga kelompok : Mata pelajaran sosial (Mit-sein), mata pelajaran ”tengah”, dan mata pelajaran  eksakta (Mit-welt).
4.3.1.5.Mata Pelajaran Sosial
4.3.1.5.1.      Sifatnya
Mata pelajaran ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, tata negara, hukum. Langsung mempelajari kebersamaan  manusia dan perbuatan manusia lain.
4.3.1.5.2.      Fungsi Edukatif
Mata pelajaran sosial memiliki beberapa fungsi. Mata pelajaran ilmu-ilmu sosial bertujuan:
1.             Membantu anak untuk menghayati dunia dan masyarkatnya  menurut struktur  otonomi-korelasi;
2.             Melatih anak untuk melihat dunia insani sebagai dunia bersama, dan dirinya sendiri sebagai berada bersama.  Dipelajari stuktur, prinsip-prinsip yang sehat bagi hidup bersama, penghayatan hidup bersama yang harmonis,  dan penghayatan yang menyeleweng dan merusak. Dengan  contoh-contoh yang konkret diperlihatkan keharusan  saling mencintai, saling membantu, gotong royong dan bertindak adil;
3.             Membantu anak mencapai pengertian  yang lebih lengkap dan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hidup bersama sehingga anak didik menjadi manusia yang bertanggung jawab dan rela terlibat.     
4.3.1.6.Mata Pelajaran  ”Tengah”
Ada mata pelajaran  yang tidak mempelajari hubungan antar-manusia secara langsung, tetapi  hubungan  manusia sebagai kelompok dengan dunia infra human.  Misalnya, ilmu bumi sosial. Ilmu bumi pada umumnya menguraikan  lingkungan hidup manusia. Tetapi, ilmu bumi sosial membahas hubungan  antara ruang hidup dan kelompok manusia yang  hidup di dalamnya. Keadaan ruang hidup (gunung, rawa, sungai) mempengaruhi  cara dan bentuk hidup, kemajuan, perkembangan dan peradaban. Manusia terpengaruh sebagai kelompok.
4.3.1.7.Mata Pelajaran Eksakta
4.3.1.7.1.      Objek dan Metode
Pertama, kekhasan ilmu eksakta ialah  abstraksi dan penggunaan bahasa simbolis.  Semua dapat  dipelajari  dengan metode ini, dan  hasilnya mengagumkan, tehnik dan mekanisasi.
Kedua, objek formal ilmu eksakta bersifat terbatas, dan metodenya sesuai dengan objek itu. Ada bahaya orang menganggap bahwa hanya  metode eksakta ini sah,  sebagai satu-satunya  metode yang ilmiah,  dan bahwa tingkah laku manusia hanya dapat dipelajari secara integral  dan objektif dengan metode ini. Sikap ini disebut scietisme.
4.3.1.7.2.      Fungsi Edukatif
Mata pelajaran ilmu eksakta memiliki beberapa fungsi. Pengajaran  mata pelajaran ilmu eksakta  bertujuan  untuk:
1.             Membantu anak untuk menyelami dunia infra human. Menguasai alam secara progresif, namun belum sebagai sarjana;
2.             Membantu anak menjadi manusia penuh pengertian rasional tentang alam.  Dengan menguasainya, ia dapat membuat hidupnya lebih manusiawi. Belum dimaksudkan  pengetahuan  berupa keahlian, melainkan sikap atau pendirian;sehingga anak merasa ’at home’ di dalam dunianya. Sekaligus anak belajar  menghormati alam,  mentaati hukum-hukumnya. Dengan  demikian, ia juga harus menyelami  arti dan nilai personal dari alam.
4.3.1.8.Segi Keterampilan
Segi pengajaran dilengkapi dengan aspek praktis, baik untuk menyadari kebersamaan dengan orang lain, maupun  dengan dunia infra human. Anak dibimbing untuk membuka mata terhadap lingkungannya sendiri secara sadar dan refleksif.  Perlu ditegaskan keterlibatan dan keaktifan untuk memperhatikan, memahami dan mengevaluasi. Di laboratorium mereka mendapat pengalaman terbatas dan terisolasi. Misalnya obyek observasi lain di kota, lain di desa. Diobservasi barang apa yang  dibawa orang  ke pasar dari daerah utara atau selatan. Lebih psikologis: observasi tentang  cara dan reaksi orang tawar menawar di pasar atau diberi tugas menawar sendiri. Ekskursi ke kolam perikanan; berapa dalamnya, mengapa air mengalir. Sistem pengairan sawah; kekeringan.
4.3.2.      Sosialitas Proses Lingkungan
4.3.2.1.Lingkungan
Pertama, sebagian dari waktu hidup anak dihabiskan  di sekolah.  Untuk waktu yang lama  sekolah menjadi  lingkungannya. Maka, proses pengajaran dan hidup di sekolah harus melatih sosialitas anak.  Harus dilatih pola tingkah laku (pattern of behaviour) dan  cara-cara bertindak (ways of doing). Sekolah baru adalah situasi baru yang harus diselami anak. Disiplin di kelas merupakan  cara  untuk  mengatur  cara bertingkah  laku  dalam hidup bersama yang baru.
Kedua, anak menemukan otonomi dan korelasinya pada bidang moral dan pribadi di sekolah. Karena itu di sekolah  anak harus  dilatih dalam hal kejujuran, kerjasama, persahabatan, kepemimpinan, keberanian dan  dibina dengan hukuman dan ganjaran.  Terutama juga kebebasan dan tanggung jawab.  Ia harus dihadapkan dengan tawaran, tantangan, tuntutan dan keyakinan; dipengaruhi dan dibimbing. Di sekolah anak belajar mengorganisasi hidup bersama: demokrasi  praksis, gotong royong, ekonomi dan perdagangan.
Ketiga, dalam mata pelajaran ia sendiri  belajar membaca, menulis, mengukur. Pada laboratorium ia belajar bergaul  dengan dunia infra human. Di pekarangan sekolah diadakan pertanian, peternakan, perikanan, kebersihan.
Keempat, pendidikan di sekolah harus dilandasi  suasana sosialitas  dan komunikasi.
4.3.2.2.Pengajar Utama
4.3.2.2.1.      Guru
Penanggung jawab utama bagi pengajaran dan tempatnya  dalam pendidikan adalah  orang tua, karena mereka membuat anak berintegrasi dengan masyarakat. Namun untuk pengajaran teratur, dibutuhkan keahlian khusus.  Maka, guru menjadi  wakil orang tua, dan sedapat mungkin  orang tua  tetap ikut  berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam bidang pengajaran. Tetapi guru juga mempunyai tanggung jawab sendiri, dengan  keterlibatan dan keyakinan pribadi. Ia bukanlah alat, melainkan  partner yang terpercaya, dengan inisiatif  pribadi. Tetapi ia tetap harus  mengakui hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya.
4.3.2.2.2.      Negara
Oleh karena sifat personal dalam pengajaran, maka negara harus mengakui, melindungi, mendorong dan membantu pelaksanaannya di mana proses pengajaran sudah terlaksana atas inisiatif pribadi, misalnya swasta. Negara harus menghindari manipulasi  sekolah  dengan maksud sempit yang merugikan pribadi anak; itu sikap totaliter.  Keinginan monopoli dari negara itu secara prinsipil salah.  Dalam hal pribadi dan prinsipilitu, guru harus lebih memihak  kepada orang tua  daripada negara. 
Dari lain pihak, negara berhak  dan wajib mengawasi dan mengkoordinasi  proses pengajaran. Negara harus menjamin pula agar dibentuk tenaga yang cakap untuk menghidupkan  negara. Dalam hal ini, negara dapat menentukan  syarat-syarat minimal  untuk pengajaran. Negara harus menjamin agar dibedakan  secara tegas macam-macam fungsi dan  macam-macam tipe sekolah.
4.3.2.2.3.      Kualifikasi Guru
Baik menurut aspek struktural maupun menurut segi normatif, guru harus mencapai kedewasaan otonomi-korelasi. Ia harus menguasai keahliannya sebagai pengajar, dan terutama menyadari  dan melaksanakan  segi sosialitas di dalamnya.

BAB V

HISTORISITAS MANUSIA

5.1. Historisitas  Manusia pada Umumnya
5.1.1. Dinamika Waktu
5.1.1.1. Struktur Statis
            Waktu yang merupakan  dasar untuk historisitas  (kesejarahan) manusia terdiri dari tiga dimensi, yaitu masa sekarang, masa lampau  dan masa depan.
Pertama,  satu-satunya  dimensi waktu  yang real hanyalah sekarang.  Sekarang  adalah batas antara masa lampau dan masa depan.  Tetapi sekarang  tidak  kosong dan umum saja karena saat sekarang  berisi aku, jadi sangat tertentu dan  sangat pribadi.
Kedua, saat sekarang ini seluruh isinya saya alami  sebagai hasil warisan masa lampau: bahasaku, tingkah laku, kebudayaanku. Saya seakan-akan  terlemparkan  dalam masa sekarang. Masa lampauku  hanya riil sejauh termuat  pada sekarangku.
Ketiga, sekarangku tidak tertutup atau tidak ’fixed’, melainkan  terbuka ke masa depan yang merupakan  suatu proyek. Sekarangku adalah janji, ramalan, harapan, dan tugas. Masa depanku hanya real sejauh termuat pada sekarangku. Yang serba baru itu mustahil.
Keempat, ketiga dimensi waktu ini bersatu dalam sekarang.  Seluruh masa lampau  mengendap dalam sekarang dan seluruh masa depan mengalir dalam sekarang. Mereka saling berhubungan, dan sama padatnya. Misalnya bagi anak kecil, baik masa lampaunya (pengalaman) maupun masa depannya (proyek) masih kecil.
5.1.1.1.2. Dinamika Sekarang
Pertama, sekarangku tidak statis, tetapi  bergerak, selalu berubah menjadi sekarang yang baru. Di sini dapat  dibedakan  beberapa aspek penting, yaitu:
1.             Yang ’baru’ mengalir dari aku yang telah tertentu;
2.             Aku sejauh telah jadi masuk dalam yang-baru;
3.             Aku berkembang dalam yang baru;
4.             Aku berkembang dalam yang baru. Dan kemudian yang baru mengendap dan melarut dalam aku  yang telah  dipercaya, sehingga aku siap bagi sekarang berikutnya lagi. Jadi aku  secara total hadi dalam  sekarang  baru itu; namun kekayaanku hanya dieksplisitasikan  secara terbatas.

Kedua,  dalam tindakan baru masa –lampauku  diolah kembali  dan ditatar; jadi ikut berkembang dan diarahkan  sesuai dengan tindakan itu. Tidak ada apa-apa yang hilang.  Itu juga berlaku bagi dosa.
Ketiga, masa depan, yaitu proyek atau prospek, ikut  berkembang. Bukan menjadi rumusan statis (blue print), melainkan ditinjau kembali.  Dapat disebut, cita-citaku induk, yaitu: untuk memanusia, tetapi dikonkritkan  dalam cita-cita praktis, misalnya menjadi guru, dokter, juara. Cita-citaku selalu disegarkan dan ditatar.


5.1.2. Perkembangan
5.1.2.1. Perkembangan selalu Memuncak
Pertama, manusia tetap aku yang lama dan baru, kontinu dan diskontinu, stabil dan labil, nisbi dan relatif. Aku selalu serentak merupakan rutinitas dan kreasi, tradisi dan inovasi (pembaharuan).aku hanya dapat tinggal aku yang sama karena membaharui diri. Tetapi hanya dapat menjadi aku yang baru, karena berakar pada aku yang lama.
Kedua, perkembangan struktural itu terus menerus memuncak. Tidak dapat dibalik menurun, tidak dapat merosot. Sebab semua mengendap dan  yang baru bertambah. Aku menjadi makin luas dan padat. Setiap sekarang  baru menemukan dasar gema yang semakin kaya. Aku seperti gunung api yang terus meninggikan kubahnya sendiri.
Ketiga, di lain pihak tidak ada jalan pintas atau loncatan. Perkembangan membutuhkan landasan dan pematangan. Perkembangan membutuhkan waktu  dan tidak dapat dipaksakan (Kairos: tidak dipercepat, juga tidak diperlambat).
5.1.2.2. Diferensiasi
            Perkembangan manusia berlangsung  antara kelahiran  dan kematian. Walaupun menurut segi-segi khusus perkembangan itu mengenal urut-urutan (makan, bergerak, bicara), namun menurut aspek-aspek hakiki, semua berkembang bersama. Tetapi perkembangan itu tidak selalu merata. Hal ini tergantung dari pada dan luasnya tindakan baru. Ada tindakan baru yang  sentral, ada yang dangkal dan marginal. Misalnya kuliah, prasaran, baca roman, bermalas-malas. Waktu sendiri dirasa berjalan cepat atau pelan (misalnya waktu ujian).
5.1.2.3. Integrasi dan Desintegrasi
            Perkembangan  bukan saja merupakan pembesaran linear, melainkan  integrasi atau sintesis segala endapan. Pada waktu tertentu sintesis lama terlalu sempit untuk menampung pengalaman baru. Harus terjadi desintegrasi, untuk memungkinkan  sintesis lebih luas. Seperti  seekor ular mengelupas kulitnya. Desintegrasi itu merupakan krisis, misalnya pubertas; tetapi terjadinya krisis itu normal.
5.1.2.4. Konsistensi
            Historisitas tidak berarti  bahwa manusia selalu hanya berubah-ubah. Manusia  berkembang dengan arah tertentu, yaitu menuju kemanusiaan. Menurut arti struktural ia makin menjadi manusia, makin menjadi aku. Dalam arah kodrat yang diambil ada konsistensi  pula, walaupun juga mungkin bahwa  toh terjadi perombakan. Tindakan-tindakan baru mengendap dalam aku, sehingga ada kecenderungan untuk melanjutkan arah yang  telah diambil. Kalau orang toh membanting stir, pengarahan yang Cuma marginal lebih mudah dibalik (mis. Tukan kebun), dari pada arah yang sentral, misalnya menjadi guru.
5.1.2.5. Arah: Otonomi dan Korelasi
            Dinamika dan arah ini pertama-tama berarti bahwa orang makin menjadi otonom sambil makin berkorelasi (entah secara harmonis, entah dengan menyeleweng). Secara konkret integrasi dalam pelbagai lingkungan dan kelompok terus-menerus mengalami perkembangan, peralihan dan keterarahan itu; terutama integrasi dalam keluarga dan bangsa, tetapi juga  dalam kelompok agama, sekolah, dunia ekonomi, dan dunia teknis.
            Pertemuan dengan kebudayaan lain menggoncangkan integrasi yang telah tercapai. Misalnya, dalam adat-istiadat, kepemimpinan, ekonomi. Integrasi lama ditinggalkan. Banyak hal baru belum menjadi sikap pribadi. Masing-masing anggota bangsa main peranannya dalam pencarian integrasi baru.
5.1.2.6. Perkembangan Komunikasi
Pertama, manusia makin saling mengadakan dalam kegiatan timbal balik dalam pengartian dan dalam penilaian. Self centeredness dan other centeredness berkembang secara sejajar, walaupun mungkin dalam pertentangan. Pengertian itu bukan saja hafalan. Pemahaman akan masyarakat dan alam menjadi kebijaksanaan atau kebandelan. Penilaian terhadap orang dan dunia sekitar bersifat setia (kalau bercinta) atau menjadi ketegangan hati (kalau benci).
Kedua, pada komunikasi dan partisipasi yang sadar ini tampaklah segi masa lampau dan masa depan, yakni berupa:
1.             Ingatan ialah pengolahan dan penataran masa lampau dalam pergaulanku sekarang;
2.             Imaginasi adalah antisipasi dan persiapan masa depan yang terjadi dalam pertemuan baru. Mereka bersama menjadi kebiasaan dan pengarahan pada setiap kegiatan sadar yang baru.
5.1.3. Kebebasan dan Perkembangan
5.1.3.1. Pemahaman Tradisional
 Menurut pendapat spontan,  pengaruh  dari masa lampau bertentangan  dengan kebebasan, misalnya  pengaruh pendidikan, pengalaman traumatis. Pada  setiap langkah orang baru bebas,  lalu ia lepas dari masa lampau, bebas dari konsekuensi, dan dapat menghadapi mada depan  dengan serba segar dan baru.  Cita-citanya ialah kreativitas murni. Orang setiap saat dapat memilih lain sekali (teman, rumah, karya), lepas dari segala rutinitas  dan kebebasan.
            Beberapa penilaian: Pertama, kebebasan  itu merupakan  sikap plin-plan. Orang tidak mempunyai arah dalam hidup. Kedua, orang makin jauh dari cita-cita itu; anak masih paling dekat. Menurut pandangan itu orang itu hanya bebas sebelum memilih; tetapi  setiap pilihan menyempitkan bidang  gerak; masuk teropong. ”sudah tidak bebas”. Ketiga, untuk mencapai cita-cita itu sebaiknya  orang jangan pilih apa-apa. Namun itupun sudah merupakan pilihan.
5.1.3.2. Pengambilan Sikap yang  Terarah
            Kebebasan terjadi di dalam pengambilan  sikap terhadap tawaran  dan tantangan. Intisari kebebasan bukanlah  kekosongan melainkan penentuan sikap. Dalam penentuan sikap ini dikembangkan pengarahan dalam hubungan dengan yang lain. Endapan masa lampau memberikan arah dan kecenderungan tertentu.  Tetapi pada setiap tindakan baru, arah itu ditinjau kembali. Jadi  pengambilan sikap membawa konsekuensi: pilih sekolah, kerja, atau pacar. Pengambilan  sikap itu menjadi landasan bagi kepentingan berikut. Maka langkah baru dapat diramalkan. Dalam situasi baru manusia tidak serba tak tertentu.  Dengan spontan ia telah bergerak ke arah tertentul seakan-akan dikenal (Aha Erlebnis) tanpa mempertimbangkan lama-lama; misalnya; pacar, profesi, dll.  Dan setiap penentuan baru  menjadi kunci interpretasi lagi bagi hidup selanjutnya.
5.1.3.3. Masa Lampau Bukan Ancaman
            Maka pengarah masa lampau bukan  ancaman.  Endapan  itu  merupakan  bagian integral  dalam kebebasanku. Arah motivasi bawah-sadar yang telah dibentuk, bukan  dengan sendirinya mencemarkan putusan melainkan sebaliknya menjamin kelancaran pilihan. Kebiasaan dan rutinitas melandasi kreativitas.
5.1.3.4. Kestabilan
            Kebebasan  yang dewasa  itu bukan bersifat plin-plan dan opotunis (misalnya seorang guru bersikap lain terhadap anak bimbingan tertentu).  Berdasarkan pengarahan historis, manusia bertendensi melangsungkan arah yang telah diambil. Jika diubah arahnya, dia mengalami krisis. Kebebasan  yang dewasa makin stabil dalam sikap dan keterikatan pada orang  dan situasi konkret, misalnya orang tua dan guru. Segala situasi baru akan dihadapi orang secara dinamis, namun dengan makin mantap dan konsekuen; ia  dapat  diandalkan.
5.2. Historisitas  Manusia dan Pendidikan pada Umumnya.
5.2.1. Pendidikan Menuju Kedewasaan
            Pendidikan dimaksudkan  ssebagai pembinaan anak  oleh orang dewasa, agar berkembang menuru kedewasaan. Pendidikan memperhitungkan bahwa perkembangan  itu  dapat diberi arah. Maka arah dasar pendidikan (utimate aims) adalah historisitas. Anaka harus dididik agar memilik kesadaran historis. Anak harus dibimbing menuju harmoni  yang seoptimal mungkin dari struktur masa lampau dan masa depan, tradisi dan inovasi.
5.2.2. Dialektika Masa Lampau dan Masa  Depan
Pertama, anak harus menerima  warisan  yang telah dibawa atau dibentuk  dalam dirinya (fisik, psikis, human). Landasan ini  memberikan arah. Namun ia tidak  terpaku pada modal itu, melainkan harus mengembangkannya secara pribadi. Ia bukan fixed nature (saya memang begini), tetapi juga bukan serba dapat dimodifikasi. Intellingence Quotients (IQ) dapat berkembang, tetapi hanya dalam batas-batas tertentu.  Anak harus memeluk tradisinya sepenuh-penuhnya, dan sekaligus berusaha sekuat tenaga untuk membaharuinya. Tidak hanya mau mempertahankan tradisi  (menjadi tradisionalis), tidka hanya mau mengambil jalan revolusioner (menjadi revolusioner). Bukan berubah-ubah saja, melainkan  berkembang dengan kontinu dan secara harmonis.
Kedua, di satu pihak masa lampau dapat  dirubah dalam tindakan murtad atau dalam tobat, dengan memperbaiki akibat-akibat  tindakannya. Di pihak lain, masa depan  atau cita-cita harus  realistis, berdasarkan landasan ‘sekarang’; tetapi selalu ditinjau kembali dan diarahkan  lagi dan dibersihkan  dari khayalan dan harapan palsu. Tidak terlalu optimistis atau pesimistis.
Ketiga, pada permulaannya anak bukanlah suatu  himpunan dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu yang liar dan kacau, sehingga itu kemudian harus diatur, disiplinkan. Bukan pula suatu kekosongan yang harus diisi saja.  Sejak kelahirannya anak mempunyai segala unsur manusia yang hakiki. Ia membawa serta warisan dari orang tua dan dari nenek moyang. Tetapi pembawaan itu dihayati sebagai pribadi otentik; lama dan baru. Maka keseluruhan pribadi anak, menurut semua seginya, dari semula harus dikonfrontasikan  dengan tawaran, pengaruh dan tantangan.  Ia harus belajar bahwa tidak dapat berhenti.perkembangan itu hanya dapat memuncak. Tetapi perkembangan itu harus bertahap dan tidak dapat meloncati  fase-fase tertentu. Ia harus berusaha maksimal, dan dengan sabar menunggu kematangan landasan bagi langkah baru.
5.2.3. Diferensiasi
Pertama, anak harus menyadari pentingnya  setiap tindakan  khusus dalam perkembangannya. Kalau ia terlalu tegang; akan retak; kalau ia terlalu santai, akan menjadi kacau. Ia harus belajar menemukan ritme yang cocok bagi dia, dan membawa hasil optimal.

Kedua, dalam desintegrasi, anak tidak kehilangan harapan akan integrasi baru. Ia harus menghadapi krisis dengan berani dan sabar.
Ketiga, secara konkret  anak harus membangun arah  yang konsisten dalam relasi  dengan masyarakat dan dunianya, juga visi dan suara hatinya. Dari satu pihak, anak harus dididik supaya dapat memanusia pada akhir pendidikannya, sesuai dengan situasi masyarakat pada waktu itu; kebudayaan, ekonomi, keluarga, ilmu. Dari lain pihak, anak harus dibimbing agar memanusia sekarangpun. Ia harus hidup sekarang, tetapi dengan terarah ke masa depan.  Jadi sekarang pun dalam komunikasi ia harus dihadapi dan dilatih  dalam  arti nilai yang benar-benar manusiawi. Tidak hanya asal dilatih  dengan salah satu hal, tetapi dengan sendirinya akan terbuku dan terarah ke masa depan.
5.2.4. Inkulturasi dan Alkulturasi
Pertama, berhadapan dengan arti dan nilai bangsanya, anak harus menggembalai tradisi. Tetapi tidak boleh menganggap tradisi sebagai suatu  susunan yang telah terbuka. Tidak boleh diterima dengan hanya  mengulanginya secara steoreotip.  Tradisi harus dihadapi dengan sikap kritis, dengan memberi jalan-jalan baru untuk menghayatinya dengan  lebih efektif lagi untuk hidup bersama. Kedua, anak harus dapat menghadapi tantangan yang sekarang  belum jelas; harus mampu mengambil sikap terhadap situasi baru dan orang baru. Ketiga, nilai tradisi tidak terletak dalam bentuk-bentuk yang telah jadi. Mencari jalan baru untuk mengungkapkan inspirasi asli, yang ada dalam bentuk-bentuk itu. Keempat, anak harus dididik untuk berani berkomunikasi dengan kebudayaan lain.
5.2.5. Komunikasi
            Komunikasi bersifat kreatif. Terutama dalam pelaksanaan spontan, harus diperhatikan dua hal, yakni:
1.             Pengertian bukan saja ensiklopedis; tumpukan fakta, melainkan mengembangkan kesetiaan dan sikap konsisten. Anak harus belajar mengikatkan diri dalam janji dan tidak meninggalkan  sesamanya. Tetapi kesetiaan itu  tidak boleh dipahami harafiah saja, melainkan kreatif. Dalam situasi baru dicari jalan baru; partner yang berubah dicintai  secara sesuai;
2.             Dalam hubungan dengan ingatan dan imajinasi, anak harus dilatih mengintegrasikan  masa lampau (ingatan) ke dalam pengalaman baru, dan harus dapat mengantisipasi masa depan  dengan imajinasi; orang baru situasi baru.
5.2.6. Kebebasan
Pertama, anak harus membentuk kebiasaan yang sehat dan efektif (terutama dalam komunikasi), melalui rutinitas  yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia harus dilatih sehingga dapat membentuk suatu feelling (aha Erlebnis)  yang  dapat  dipercaya. Kecuali itu, anak harus belajar  membawa konsekuensi dari pilihan dan putusannya.
Kedua, anak dididik agar setiap kali mengambil sikap kreatif terhadap situasi. Ia perlu belajar meninjau kembali pengertian-pengertian yang lampau. Ia harus berani bertobat dan berani mengampuni orang lain yang memberikan  masa depan dan harapan.
5.2.7. Historisitas Proses Pendidikan
5.2.7.1. Umum
Pertama, proses pendidikan sendiripun harus menghayati historisitasnya. Hubungan anak didik mengalami pengaruh dari hubungan sebelumnya, terbuka secara kreatif bagi perkembangan relasi selanjutnya. Perkembangan itu akan memuncak tahap demi tahap. Kadang-kadang bersemangat, sering kali juga bersantai. Hubungan itu mengalami desintegrasi dan integrasi baru, juga krisis dan kelancaran.  Hubugan itu harus setia dan penuh pemahaman (tidak menguasai anak); harus bersifat konsekuen, dan makin menimbulkan kepercayaan.
Kedua, pendidikan dengan tawaran dan tantangan selalu harus  disesuaikan  dengan perkembangan otonomi anak menurut fase-fasenya, juga  sesuai dengan kemampuannya untuk memberikan respons. Itu berbeda untuk masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Andaikan terlalu berat, mustahil diolah anak,  dan menghasilkan kegagalan, frustrasi, trauma dan neorosis.  Ketidaksabaran orang tua terhadap perkembangan  anaknya membuat rugi besar. Anak harus diberi waktu. Otonominya harus semakin diindahkan; ia harus diberi kemungkinan mengambil sikap pribadi (konflik-konflik sekitar ketaatan).
5.2.7.2. Pendidik Utama
Pertama, pertama-tama orang tualah yang mampu membimbing  proses historisasi anak dengan pengarahannya. Mereka mampu mengikuti perkembangan, menghantar akselerasi dan perubahan relasi mendidik.  Mereka sendiri ikut  berkembang  dalam proses itu;  sehingga relasi mendidik stabil dan  tidak mengalami diskontinu. Sejarah orang tua adalah sejarah anak.
Kedua, mengenai kualifikasi pendidik. Pendidik sendiri harus menghayati historisitas, sehingga mempunyai keluwesan untuk mengembangkan relasi mendidik secara kontinu.
5.3. Historisitas Manusia dan Pendidikan di Sekolah
5.3.1. Kurikulum Harus Bertujuan Historisitas Anak
            Tujuan fundamental bagi kurikulum ialah historisitas anak. Anak harus dapat mencapai identitas pribadi, dan diresapi  dengan  dinamika kreatif.
5.3.2. Mata Pelajaran Sejarah
5.3.2.1. Sifat Mata Pelajaran Sejarah
            Sebenarnya banyak mata pelajaran mengandung aspek sejarah. Di samping penelitian struktur-struktur, dipelajari  pula perkembangan yang dialami pada objeknya.  Paling minim itu  terjadi pada ilmu pasti dan alam. Tetapi sudah ada dalam geologi,  dalam ilmu hayat (evolusi), dalam ekonomi, sosiologi, politik, kebudayaan, dan sebagainya.  Secara khusus segi sejarah dibicarakan  pada ilmu sejarah (masa lampau), dan pada futurologi (masa depan). Namun di situpun diselidiki perkembangan  pada bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
5.3.2.2. Fungsi Edukatif Mata Pelajaran Sejarah
            Ilmu sejarah membantu agar anak masuk dalam sejarah, dan sejarah masuk dalam anak. Anak harus memahami diri sendiri dan masyarakatnya  dalam perspektif historis. Dirinya dan masyarakatnya merupakan hasil perkembangan lama, dan bahwa sedang berkembang terus. Mata pelajaran ilmu sejarah tidak hanya mempelajari tahun-tahun, fakta-fakta, peristiwa-peristiwa, dan tokoh-tokoh, sebagai batu-batu lepas. Semua data dilihat dalam hubungan historis. Walaupun rupanya simpang  siur urutannya, tetapi satu tergantung dari yang lain; bahkan ada ritme di dalamnya. Anak harus dilatih melihat bahwa ada proses yang berlangsung bahwa ada faktor-faktor riil yang menyebabkan  peristiwa; bahwa tidak ada nasib atau penyelenggaraan ilahi saja.
5.3.2.3. Ilmu Sejarah dan Persitiwa Masa Lampau
            Pemahaman atas mitos memberikan  keterangan dengan  cerita-cerita; misalnya Borobudur dibangun oleh anak raja dalam 3 hari, raksasa menumpukkan gunung, lakon wayang. Menurut  pemahaman ini segala-galanya terjadi serentak dan dalam bentuk selesai. Tetapi ilmu sejarah menampakkan, bahwa revolusi Perancis mempunyai pra sejarah; begitu pula revolusi kemerdekaan Indonesia.  Ada hubungan antara  sistem-sistem kenegaraan dan ide-ide filosofis. Gelombang-gelombang imigran menyebabkan adanya banyak suku bangsa di Indonesia. Ada alasan bahwa bangsa Jawa bukanlah bangsa pelaut.  Ada konstelasi politik yang memungkinkan  G 30 S. Selalu dapat ditunjukkan  alasan geologis, biologis, sosial, ekonomis,  politis dan keagamaan.
5.3.2.4. Jaman Sekarang adalah Hasil Masa Lampau
            Terutama anak harus belajar bahwa keadaan sekarang dihasilkan oleh masa lampau. Masa lampau akhirnya selalu dipelajari dalam sorotan sekarang; dicari relevansinya  bagi sekarang. Pemahaman mistis bersifat siklis; satu peristiwa asli menjadi eksemplaris (model atau contoh riil) bagi segala peristiwa sekarang.  Sebenarnya tidak pernah ada lagi yang sungguh-sungguh baru, tetapi proses kosmis mengulang kembali dan semua peristiwa baru ditempatkan  kembali dalam peristiwa asli. Peristiwa itu diceritakan dalam mythos; juga wayang mempunyai segi mitos itu.
Anak belajar bahwa  memang  ada yang baru, tetapi berakar dalam yang lampau. Ada alasan  yang menyebabkan  sekarang; hal kebudayaan, konstelasi politik, ekonomi, sikap hidup. Pemahaman sejarah memberi perspektif.  Misalnya  oleh generasi muda, sejarah  sebelum 1945 dianggap tidak ada.  Sejarah dunia barat tidak dilihat  dalam hubungan  dengan keadaan Indonesia. Orang muda membaca surat khabar tanpa perspektif historis.
ASEAN, konferensi hukum laut, kerjasama ekonomi internasional, keadaan  ekonomis-politik di Indonesia. Banyak orang mempergunakan hasil teknologi, AC, TV, Mobil, Hanphone, dll tetapi mereka tidak tahu menahu pra sejarahnya fase-fase latar belakang budaya.  Lebih lagi dalam hal ide-ide dan nilai-nilai, seperti kebebasan, demokrasi, uang, kurang ada perspektif historis.
5.3.2.5. Sejarah dan Masa Depan
            Situasi aktual dunia membuka pemahaman  bagi yang  akan datang; sosial, politik, ekonomi, budaya, agama.  Segi tersebut dipeljari dalam futurologi. Yang akan terjadi itu berakar pada sekarang dan dapat dibuat prognosis (usaha untuk memprediksi apa yang akan terjadi  di masa depan berdasarkan kejadian-kejadian saat sekarang).
            Banyak orang kurang menyadari bahwa masa depan berlandaskan sekarang, dan bahwa perkembangan  membutuhkan  waktu dan usaha.  Selekas mungkin  mau mendapat  pekerjaan baik, gaji tinggi, mobil dan rumah.  Diharapkan mukjizat, diharapkan  banyak dari lotre, main angka untung. Begitu kematangan manusia mengambil waktu; kebaikan, kepercayaan, kewibawaan.
5.3.2.6. Ilmu Sejarah dan Peranan Tokoh-Tokoh
            Dengan melihat pengaruh tokoh-tokoh besar, anak menyadari peranan individual  dalam terbentuknya  sejarah. Sejarah itu bukan anonim, tidak begitu saja disebabkan  oleh faktor-faktor di luar kemampuan manusia. Melainkan bersandarkan  keunikan  dan inisiatif perorangan, entah di bidang ilmu, politik, budaya dan agama.
5.3.3. Pembinaan Rasa Kesejarahan  dan Segi Keterampilan
            Segi pengajaran di sekolah  dilengkapi dengan aspek praktis untuk menyadari historisitas. Hal ini dilaksanakan dengan:
5.3.3.1. Dalam Peristiwa Bersekolah
Karena anak berada di sekolah sekian banyak tahun, perlu ditumbuhkan  rasanya bagi perkembangan dalam rangka sekolah pula.  Di sini perlu diperhatikan aspek-aspek berikut ini: Pertama, moral personal. Perkembangan hubungan antar pribadi dengan guru dan kawan dalam pengalaman konkret persahabatan; kepercayaan, tobat dan ampun. Pembentukan sikap akan membutuhkan waktu. Kedua, pengetahuan dan studi. Pengalaman  bersekolah dari tahun ke tahun, memberi pemahaman bahwa  bagi perkembangan pengetahuan  dan kemampuan belajar tidak ada jalan pintas; membutuhkan waktu. Anak tidak mengalami secara refleksif, melainkan spontan. Baru lambat laun anak mampu mengutarakan  pendapat orisinil, terutama dalam hal bahasa dengan  sulit sekali  dirasakan kemajuan.  Anak mengalami  hubungan  antara hafalan (tradisi)  dan pemecahan baru (inovasi).
5.3.3.2. Dalam Rangka Mata Pelajaran
Pertama, untuk memberikan rasa kesejarahan, anak-anak diajak  ikut berpikir dalam perencanaan  perbaikan  sekolah: tambahan lokal, pemakaian lapangan, lebih-lebih kalau  berjalan bertahun-tahun lamanya. Dalam memelihari kebun,  mereka belajar tentang  lambatnya proses pertumbuhan. Dalam koperasi sekolah mereka melihat lambatnya tambahan modal.
Kedua, anak diberi pengalaman  mengenai hal-hal rutin, dan kesempatan  bagi kreativitas spontan.
Ketiga, sebagai pekerjaan rumah, anak diberi tugas untuk menanyakan  sejarah mengenai candi tertentu; darimana? Menyelidiki sejarah desanya sendiri, keluarganya dan nama keluarga. Menanyakan bencana alam tertentu yang terjadi dulu dengan  akibatnya bagi pertanian.




5.3.4. Historisitas Proses Pelajaran
5.3.4.1. Lingkungan Sejarah
            Kurikulum dan pengajaran  harus disesuaikan  dengan perkembangan anak; dalam hal urutan-urutan matapelajaran, tuntutan. Harus  diperhitungkan proses belajar dalam anak; didaktik akan berkembang dari TK, SD, SMP, SMA. Pengetahuan bukan hanya  ditumpuk saja, keberlangsungan pengajaran  memperhatikan  pengalaman anak, hasil lampau, arah depan. Pertanyaan-pertanyaan  anak yang muncul, harus ditampung.
5.3.4.2. Pengajar
            Guru menjadi wakil orang tua selama beberapa tahun. Ia mempunyai sejarahnya pribadi, dan rasa (feeling) sejarah pribadi. Ia juga mengalami sejarah  sambil mengajar. Negara hanya memperhatikan segi praktis efisien bagi masa depan negara. Terutama harus menjadi dan melindungi proses historis dalam anak; dan menentukan syarat-syarat minimal.
5.3.4.3. Kualifikasi Guru
            Guru harus mempunyai historisitas yang harmonis. Ia harus dapat menghayati arti edukatif  dalam mata pelajaran keahliannya.

BAB VI

MATERIALITAS MANUSIA


6.1. Materialitas Manusia Pada Umumnya
6.1.1. Jiwa dan Badan
6.1.1.1. Kesatuan

Pertama, dalam aku yang satu dan tertentu  ditemukan  dua aspek: Jiwa dan Badan. Aku sebagai pribadi merupakan  kompleksitas  meluas; pada saat yang sama aku terdiri dari banyak unsur dan segi; kegiatan dan relasi. Tetapi kompleksitas aku aku itu  disusun  dan disatukan  oleh intesitas  mendalam; dalam keanekaannya manusi tetap aku.  Kompleksitas itu hanya dapat dipahami  sebagai aku, sejauh  diresapi oleh intensitas tadi. Dan sebaliknya intensitas  hanya menjadi aku, sejauh Dibentuk dalam kompleksitas itu. Mereka bersatu sebagai  wujuda dan gaya, sebagai not-not musik dan lagu.  Mereka tidak dapat dipahami  lepas satu sama lain; mereka menjadi dua segi dari satu kenyataan dan saling menentukan.
Kedua, dalam diri manusia, badan dan jiwa, materi dan roh berada dalam kesatuan; badan yang menjiwa, dan jiwa yang membadan. Menurut badan (kompleksitas, wujud) keunikan manusia itu individual sifatnya, seperti signalement polisi. Sedangkan menurut jiwa (intensitas, gaya), keunikan manusia bersifat personal; seperti fokus yang mapan. Tetapi individu dan persona tidak dapat dipikirkan terlepas satu sama lain; yang satu hanya dapat ada dalam kesatuan  dengan yang lainnya.
Ketiga, badan manusia bukan hanya kulit dan daging, melainkan juga meliputi cara bicara, cara bergaul, cara kerja,  cara hidup (way of life). Badannya ialah kebudayaan pribadi.  Kebudayaan adalah bentuk (gestalt) dari pribadi manusia. Jiwa manusia bukan  saja kebatinan, melainkan juga  meliputi cahaya wajah, pijar mata, dan sikap hidup (tune of life); yang dapat dilihat. Jiwanya adalah kepribadian manusia. Kebudayaan pribadi dan  kepribadian  itu bersatu  sebagai ekspresi  dan intensi; yang satu hanya ada, sejauh ada pula yang lain.
6.1.1.2. Jiwa dan Badan  Selalu Ada Bersama: Sama Rata
            Jiwa dan badan (atau kepribadian  dan kebudayaan pribadi) tidak dapat  dilawankan sebagai  tinggi dan rendah, sebagai malaekat dan hewan. Jiwa tidak mengatasi badan itu; bukan transenden begitu, melainkan hanya riil sejauh terwujudkan  dalam badan. Badan baru menjadi dewasa, sejauh digayakan dalam jiwa. Semua menjadi manusiwi; wajah, tangan, kaki; lebih supel, lebih pribadi, lebih berdikari. Terutama cara bergaul, bertingkah laku, makan dan minum, semuanya menjadi human. Maka jiwa dan badan itu sama rata  dan selalu sejajar. Setiap kegiatan dan tindakan  manusia selalu jasmani dan rohani.
6.1.1.3. Perkembangan
            Dalam setiap kegiatan khusus, jiwa dan badan mengkhususkan  diri juga: bertamu, belajar, makan, berdoa. Pelaksanaan itu mengendap kembali  dalam jiwa-badan induk (kepribadian dan kebudayaan pribadi), dan mengembangkannya. Perkembangan itu baik, baru dan kreatif, kontinu dan berlangsung terus. Kerohanian dan kejasmanian sama-sama berkembang.  Semakin  badan (gaya) manusia menjadi padat dan kompak; semakin jiwa (wujud) muncul ekspresif dan menyolok. Kompleksitasnya  makin halus dan terkoordinasi; intensitasnya makin berpusat dan terfokus. Manusia  makin spiritual  dan semakin material.
6.1.2. Kesatuan Taraf-Taraf
6.1.2.1. Empat Taraf
            Kesatuan  jiwa dan badan  tersebut tidak  dapat menerangkan  ketegangan yang dialami  dalam diri manusia. Ketegangan  itu harus diterangkan  secara lain.  Dalam jiwa  dan badan manusia dialami taraf-taraf  kesadaran yang berbeda. Ada empat (4) taraf: fisiko-kimis (anorganis), biotis (sel; jaringan), psikis (persepsi dan naluri), dan sadar refleksif (mengerti, mau). Keempat taraf  itu ditemukan  sebagai bagian rendah dan tinggi dalam kesatuan manusia. Mereka semua serupa dalam unsur-unsur hakiki, tetapi berbeda  sebagai padat dan kempes.
6.1.2.2. Hubungan  Taraf-Taraf
Pertama, taraf-taraf  dalam gejala dan kegiatannya cukup jelas dibedakan  satu sama lain dan berdikari, misalnya bernafas, pencernaan, emosi-emosi, pikiran. Dari lain pihak mereka berhubungan erat dalam satu kesatuan, dan saling  meresapi secara mendalam.
Kedua, taraf yang rendah mendasari yang tinggi dan mengarahkannya. Namun yang rendah tidak menentukan secara mutlak; tetapi memberikan ruang gerak yang luas. Misalnya sakit kepala, bercacat, rasa marah.
Ketiga, taraf yang tinggi mewarnai dan menatar yang rendah, sehingga lain dari besi, pohon, hewan (dalam hal peredaran  darah, panca indera).  Namun yang tinggi tidak dapat menyingkirkan yang rendah, dan harus  menghormatinya.
Keempat, taraf-taraf itu mempunyai susunan subordinatif, dan saling  membutuhkan. Yang paling  rendahpun sudah manusiawi, dan yang paling  tinggipun tetap berakar dalam alam. Sebetulnya menurut struktur manusia, mereka seimbang  dan cocok satu sama lain: mensana in corpore sano.  Begitu juga dalam seksualitas.
6.1.2.3. Perkembangan Taraf-Taraf
            Keempat taraf berkembang bersama-sama, dengan adanya dua gerak. Yang rendah seakan-akan terus memancarkan  yang lebih tinggi. Tetapi juga yang lebih tinggi seakan-akan memancing  dan mengatur yang rendah. Kesatuan mereka berkembang, tetapi sekaligus mereka mengakui  dan mengandalkan yang lainnya.
6.1.2.4. Kemungkinan Ketegangan
            Perbedaan taraf-taraf memungkinkan ketegangan seperti lazimnya dikatakan antara  ada antara roh dan materi. Yang paling  normal ialah ketegangan antara kecenderungan biotis, psikis (nafsu) dan kesadaran (pikiran sehat). Mungkin 4 tipe orang menurut penghayatan moril.  Dalam batas-batas tertentu dapat ada  ketegangan struktural, sedangkan manusia tetap dapat cukup normal, misalnya body builder yang bodoh, orang bercacat yang baik hati, orang tidak seimbang yang sehat. Banyak tergantung dari cara menghayatinya. Lebih berat lagi adalah ketegangan  dalamm orang yang trans seksual. Akhirnya juga, kekurangan dalam taraf rendah  membuat manusia idiot; atau kekurangan pikiran sehat (orang fanatik) menyebabkan  ia bunuh diri. Ketegangan ini semua  bukan  antara jiwa dan badan, melainkan  antara keempat taraf.
6.1.3. Kegiatan dan Komunikasi
6.1.3.1. Tingkah Laku (Behaviour)
            Manusia hanya mencapai otonominya  dalam komunikasi.  Dalam setiap kegiatan, pertemuan, komunikasi itu rohani dan jasmani, dan mengalir dari jiwa badan induk. Komunikasi merupakan ekspresi diri atau behaviour  sebagai respons terhadap yang lain: tanah, bunga, sapi, manusia, dll. Kegiatanku ialah  reaksiku total terhadap situasi, misalnya, melarikan diri dari bahaya: memukul orang. Membudaya ialah  melaksanakan  diri; dan melaksanakan diri adalah membudaya. Pertemuan itu  juga selalu  mengandung  empat taraf, terjadi pada taraf fisiko-kismis, biotis, dan psikis pula.
6.1.3.2. Pengertian dan Penghendakan
Pertama, pengertian menerima dan memberi arti dalam hubungan dengan yang lain.  Baik subyek maupun obyek itu jasmani-rohani dan meliputi 4 taraf: reaksi fisiko kimis, inderawi, dan sadar (manusia, hewan, pohon, batu). Pengertian itu  mengekspresikan  diri menjadi behaviour pada 4 taraf pula: non-verbal dan verbal. Tetapi ekspresi non verbal, dalam tingkah laku, baru menjadi jelas dan formal dalam bahasa. Tanpa bahasa tidak ada pengertian.
Kedua, penghendakan menerima dan memberi nilai. Selalu terjadi dalam behaviour spiritual material. Selalu  meliputi 4 taraf dan mengekspresikan diri dalam reaksi biotis, nafsu dan cinta atau benci, misalnya membelai, mencium, terutama sangat menyolok dalam seksualitas.
6.1.3.4. Pria dan Wanita
Pertama,  dua penghayatan behaviour yang fundamental ialah penghayatan hidup sebagai pria dan wanita. Kepribadian dan kebudayaan pribadi selalu sebagai pria dan wanita; jiwa dan badan, seluruh sikap dan cara hidup. Dalam pria dan wanita selalu ada 4 taraf yang memainkan  peranan, baik dalam dialog biasa (seksualitas umum), maupun dalam hubungan seksualitas khusus.
Kedua, dialog behaviour ini dapat  dapat membentuk bermacam-macam, sesuai dengan kondisi dan situasi kebudayaan. Tetapi dialog inilah yang  secara fundamental menentukan  warna hidup bersama.
6.1.4. Kebudayaan
            Dialog dengan manusia lain dan dunia infra human, sejauh dikhususkan  dalam sikap dan cara hidup ini, menjadi kebudayaan.
6.1.4.1. Taraf dan Bidang
Pertama, kebudayaan ialah hasil pengangkatan  taraf-taraf  lebih rendah, baik dalam manusia pribadi maupun dalam dunia infra human, ke dalam taraf human, sehingga  diwarnai olehnya. Taraf-taraf  diintegrasikan  dalam kegiatan dan pergaulan human, jadi dimanusiakan. Taraf-taraf itu menjadi bagian integral  dalam behaviour –nya.
Kedua, maka sesuai dengan keempat taraf dalam manusia,  dan dalam pergaulannya dengan yang lain, kebudayaan  meliputi sejumlah bidang. Taraf 4: bidang khas-human, seperti bahasa, ilmu, agama, etika. Taraf 3: bidang instingtif, seperti kekuasaan, nasionalisme, penjinakkan hewan, gensi dan iri hati. Taraf 2: bidang biotis, seperti pertanian, kedokteran, penataan alam (flora). Taraf 1: bidang pragmatis: seperti ekonomi, tehnik, perindustrian, perumahan.
6.1.4.2. Tiga Lingkaran
            Dalam ekspresi atau kebudayaan sendiri dapat dibedakan 3 lingkungan.
6.1.4.2.1. Arti Luas
            Kebudayaan dalam arti luas meliputi setiap cara hidup, atau behaviour yang human dalam pergaulan dengan yang lain. Misalnya, bicara dan bergaul dalam hidup sehari-hari. Contoh lain, menggali selokan, menanam pohon, membuat bendungan, membangun tempat berlindung, memasak, membuat tempat duduk, menjahit pakaian, bergerak biasa-biasa.
6.1.4.2.2. Arti Terbatas atau Khusus
            Kebudayaan mendapat arti khusus, jika ekspresi dan behaviour bukan hanya praktis-pragmatis saja, melainkan mendapat bentuk lebih terperinci.  Dengan kebudayaan manusia lebih  mengekspresikan  diri sebagai insani, dengan lebih  terwujud, lebih bebas, lebih menguasai diri, lebih berarti dan bernilai. Misalnya, menyusun syair, menanam pohon,  memahat arca, melaksanakan ibadat, mementaskan tarian, melakukan adat istiadat. Tampak bahwa ia memakai simbol.
6.1.4.2.3. Penghalusan Karya dan Gerak; Seni
            Puncak kebudayaan dalam arti luas dan terbatas ialah perhalusan sedemikian rupa sehingga membuat kehidupan menjadi lancar dan lincah, sedap dan senang, nikmat dan lezat. Baik dalam  hal praktis: masakan  sebagai seni, perkakas, rumah tangga, pakaian, peralatan, perumahan. Sering nilai seni itu terlalu tinggi, sehingga hampir jarang dipakai  lagi  secara biasa.  Juga dalam hal tingkah laku, bahasa, cara bergaul, tarian, sehingga menjadi seni yang tidak digunakan  dalam hidup sehari-hari.
6.1.5. Materialitas  dan Kebebasan
6.1.5.1. Taraf-taraf
Pertama, menurut pendapat tradisional, taraf  lebih rendah (menurut arti struktural: sub-conscious; bawah sadar) dipandang sebagai rintangan bagi kebebasan murni. Misalnya, taraf  biotis, nafsu, panca indera. Dicita-citakan  kebebasan  melulu rohani.  Demikian  pula pendapat banyak psikolog.
Kedua, akan tetapi dalam kenyataan, kebebasan sedemikian  itu masih ilusi, khalayan, karena memang  tidak ada perlawanan struktural antara ke-4 taraf, antara bebas dan tidak bebas. Ke-4 taraf  merupakan bagian integral bagi keakuan manusia. Taraf 1,2,3, bukan ancaman, melainkan syarat mutlak bagi kebebasan. Mereka mendasari dan mengarahkan kebebasan.  Reaksi biotis dan instingtif  menyiapkan putusan dan pilihan  sadar, dan melancarkanya.





6.1.5.2. Gaya dan Wujud
6.1.5.2.1. Pandangan Populer
            Perwujudan dirasakan  sebagai rintangan  dan pembatasan  bagi kerohanian. Setiap langkah yang khusus seperti membaca, makan, olah raga menyempitkan  kekayaan kepribadian  pada saat dan situasi tertentu. Dan pada umumnya manusia terpenjara dalam cara bergaul, bicara, tingkah laku yang tertentu. Dicita-citakan kebebasan rohani yang tidak terikat pada behaviour dan kebudayaan pribadi tertentu. Diinginkan  improvisasi total dan ekspresi serba bebas.
6.1.5.2.2. Kesatuan  Jiwa dan Badan
Pertama, baru dalam perwujudan dan kebudayaan pribadi saja kerohanian manusia menjadi real. Wujud itu bukan ancaman, melainkan syarat mutlak bagi kebebasan. Keterbatasan  bukan berarti negatif, melainkan positif, yaitu untuk menjamin kejelasan dan ketepatan.
Kedua, intensitas unik hanya dapat  ada dalam ekspresi ketat dan kompleks: cara berjalan, bicara, bergaul. Improvisasi hanya dapat lepas dari bentuk primitif, dan menjadi sungguh-sungguh personal, jika perwujudan benar-benar dikuasai dan didisiplinkan, maka kreativitas dan spontanitas hanya dapat berkembang, jika dengan  latihan  kontinu, perwujudan  dan kebudayaan  pribadi makin ditempa dan diperhalus, kontinu dan baru pula.
6.2. Materialitas  Manusia dan Pendidikan pada Umumnya.
            Pendidikan dimaksudkan  sebagai  pembentukan  anak menjadi orang  dewasa.  Arah inti pendidikan (ultimate aims) adalah ke materialitas. Anak harus dibimbing menuju harmoni yag seoptimal mungkin, dalam hal ini keberadaannya. Dalam hal tertentu mendidik berarti  membudayakan.
6.2.1. Empat Taraf
            Dalam pribadinya  anak harus memupuk  harmoni ke-4 taraf yang sebesar mungkin. Pertama, taraf-taraf yang lebih rendah harus diberikan tempat yang wajar, diakui dan diintegrasi, supaya dapat menyediakan motorik dan dinamik spontan, dari bawah. Tidak ditolak, dihinakan  dan ditindas. Harus diperhatikan  dan ditaati kebijaksanaan masing-masing  taraf: sakit kepala, rasa marah. Harus dibina dan dikembangkan, sebab bukan merupakan ancaman melainkan bagian integral bagi kebebasan.  Semua itu berkaitan dengan kesehatan dan emosionalitas. Keterbatasan harus diterima. Aspek fisik; potongan badan, bentuk hidup, jenis kelamin. Aspek psikis; watak, nafsu, juga cacat, dan lain-lain.
Kedua, taraf tertinggi harus menguasai  dan mendominasi  taraf-taraf lainnya; mengatur, menyalurkan, supaya berkembang menjadi seefektif mungkin; dan agar janganlah  salah satu  taraf lebih rendah mendominasi, supaya anak didik  mencapai disiplin dan tahu mengendalikan diri (askese). Supaya  dia tidak hanya  hidup menurut selera biotis, atau naluri atau nafsu.
6.2.2. Intensi dan Ekspresi
            Anak dibimbing menuju harmoni kerohanian-kejasmanian atau intensi ekspresi. Tidak boleh ada pertentangan. Pertama, intensitas diekspresikan  selengkap mungkin dalam gerak-gerik, dalam cara  jalan dan duduk, memandang, berbicara, bergaul dan melayani.  Tidak malu mempunyai tangan, mulut, kaki; dapat membawakan diri  secara luwes dan atletis. Emosionalitas tidak disembunyikan, seakn ditelan, melainkan diwujudkan. Inteligensi dan tekad dinyatakan. Hanya dalam individualitas yang terbentuk, tercapai pula identitas yang jelas dan teratur. Kalau kurang diwujudkan dalam bentuk tertentu (gestalt), orang hanya tinggal kabur dan tanpa ketentuan; itu bukan kesederhanaan, melainkan sikap kasar. Anak harus dididik agar membentuk (gestalt) diri menjadi terdidik, halus, sopan, tepat dalam tindak-tanduknya.
Kedua, ekspresi anak harus dipusatkan dalam kebatinannya. Harus diperketat dan disinari dari dalam. Jangan asal saja bergerak, berteriak, dan mengeluarkan emosi; itu mungkin sekali masih primitif dan kasar. Tetapi semua bisa terkondisi dan terarah, baik dalam pergaulan dan pekerjaan harian;  maupun dalam budaya menurut arti  lebih khusus: berpidato, menari, bernyanyi, bermain sandiwara, wayang orang. Mencapai kehalusan bukan saja seperti cat pernis, melainkan  bersinar dan mendalam;  yang sekaligus kaya dan padat dan sederhana.  Kebudayaan pribadi bukan saja seperti pakaian, kalau tidak dari dalam, hanya kosong dan semu.
Ketiga, bentuk (gestalt) pribadi itu terbatas, dan membatasi anak. Tetapi anak harus belajar bahwa  keterbatasan  itu tidak berarti  negatif. Perkembangan  perwujudan anak mulai dari nol.  Setiap  perwujudan sudah  berarti kemajuan positif.  Dalam gestalt  yang terbatas, anak mengatasi keliaran dan kekaburan.  Ia belajar meruncingkan dan menentukan kepribadiannya; memberikan volume dan kompleksitas pada arti  dan idenya, pada nilai dan cita-citanya. Keterbatasan itu membuat anak menjadi utuh dan tegas. In der Beschraenkung zeigt sich  der Meister; dalam keterbatasan tampaklah kemahiran alhi dan keberdaulatan sebagai pribadi yang matang. Tetapi perwujudan itu semakin berkembang pula.
6.2.3. Komunikasi
Pertama,  perwujudan anak bersifat sosial. Kepribadian dan kebudayaannya pribadi harus dihayati dalam komunikasi harmonis yang setinggi mungkin. Hanya dalam komunikasi, anak dapat belajar mewujud; hanya  dalam mewujud anak dapat berkomunikasi.
Kedua, tingkah lakunya menjadi social behaviour, dalam dialog multikompleks.  Tingkah lakunya harus terbentuk  dalam kesesuaian  dengan lingkungan, -dengan identitas bangsa: misalnya adat-istiadat, pergaulan, perwujudan  hidup bersama, perumusan cita-cita bersama. Harus ada keserupaan  bersama. Untuk sementara masih mungkin  anak berekspresi sendirian tanpa maksud tampil di depan umum. Namun itupun diintegrasikan dalam komunikasi. Terutama kesenian tanpa komunikasi  akan menjadi  steril dan mati.
Ketiga, ekspresi sosial itu  akan bersifat cukup umum  dan uniform pada taraf teknis dan praktis-pragmatis; makan, jabatan, cara bicara, pakaian. Namun pada taraf khas manusiawi akan makin personal pula: seni, sastra, agama, cinta dan seksualitas.
Keempat, pengertian diwujudkan dalam simbol-simbol bersama, terutama dalam bahasa bersama. Anak harus belajar bahasa, agar dapat berpikir. Bahasa itu hanya mungkin sebagai bahasa bersama, baik bahasa daerah maupun bahasa nasional.
Kelima, penilaian (penghendakan) diwujudkan dalam  nilai-nilai konkret bersama pula; tentang kesusilaan, keindahan dan kesenangan.
Keenam, anak harus mewujudkan diri sebagai pria atau perempuan. Dalam hubungan  seks, badan harus mencapai harmoni yang halus, yang spontan dan natural, sehingga menjadi ekspresi seluruh pribadinya. Hanya dapat  direalisasikan  dalam konteks hidup bersama, dalam tradisi kepriaan dan kewanitaan yang telah dibentuk.
6.2.4. Kreativitas
Pertama, tradisi. Anak dididik dalam kebudayaan yang hidup. Anak harus diajar dalam bentuk-bentuk, adat-istiadat, bahasa, seni. Hanya dalam konfrontasi  dengan perwujudan, ia sendiri  dapat belajar mengenal bentuk-bentuk,  dan mencerminkan diri kembali  dalam bentuk yang  dapat dikenal juga. Janganlah bentuk kosong; tetapi hanya yang vital human.  Pendidikan ini membutuhkan latihan  yang lama. Anak harus menyelami warisan, harus dibimbing  memperoleh suatu behaviour.
Kedua, spontanitas. Ada bahaya bahwa bentuk-bentuk itu hanya ada belaka, hanya mekanisme. Maka disamping latihan diberi kesempatan ekspresi bebas. Anak diajak berimprovisasi, agar segi pribadi dilatih, agar perwujudan yang tumbuh, juga berakar kembali. Misalnya; dalam permainan sandiwara, tarian, bicara. Ekspresi bebas ini bukan tujuan, melainkan sarana dan suatu segi saja. Tanpa tradisi dan latihan, maka ekspresi bebas hanya tinggal primitif, dan kepribadian anak sendiri tetap kasar.
Ketiga, kreativitas. Lama kelamaan, kreativitas  pribadi anak muncul, terutama dalam kebudayaan khusus, dalam hal-hal khas human; pergaulan, mengarang, mencari, membaut syair. Meliputi semua empat taraf. Bukan saja sebagai ekspresi bebas dan improvisasi spontan, melainkan berkat penguasaan  bentuk-bentuk yang ketat. Dengan demikian, tercapai spontanitas natural yang berbobot, dan kesederhanaan yang berakar mendalam. Baru sekarang  dapat disadari relativitas segala bentuk dan ekspresi; selalu bersifat sementara. Dengan dinamis diatasi dan dibentuk kembali  menjadi perwujudan lebih tepat kagi, dan halus; pluriform, namun dalam kesatuan  dengan orang lain. Makin perwujudan mendalam, menjadi padat dan lebih berarti sebagai ekspresi intensitas.
6.2.5.      Materialitas Proses Pendidikan
6.2.5.1.Umum
Proses pendidikan  menuju harmoni jiwa dan badan sendiripun harus menghayati materialitas. Pertama, hubungan dengan anak berlaku pada empat taraf: bau, kelembutan tubuh, memberi makan dan merawat, bergulat secara fisik, kadang-kadang menghukum fisik, komunikasi instingtif emosional dengan rasa senang dan marah; memahami dan mengungkapkan cinta-kasih. Pendidik harus mengatur kontak pada empat taraf  itu secara harmonis. Kedua, proses pendidikan seluruhnya  berlangsung  dalam behaviour. Komunikasi  dengan anak terjadi dalam jiwa yang membadan; bergaul, berbicara, menegur, mengemong. Hanya didalam komunikasi behaviour  itu juga pribadi-pribadi bertemu, terutama menurut kemanusiaan mereka. Maka pendidik ialah dialog behaviour.
6.2.5.2.Pendidik utama
Pertama-tama orang tualah yang berhak dan wajib membimbing proses materialisasi dan spiritualiasi anak. Mereka mampu untuk mengarahkan proses pembudayaan itu dengan  terlibat secara total dan pribadi. Dan mereka sendiripun akan terwujudkan  dalam proses itu secara progresif.
6.2.5.3.Kualifikasi Pendidikan
Pendidik sendiri  harus memiliki harmoni  jiwa dan badan keempat taraf tersebut. Ia pun harus mampu melaksanakan dalam behaviour harmonis terhadap anak, dan sesuai dengan  kebutuhan dan kemampuan anak.
6.3.          Materialitas Manusia dan Pendidikan di Sekolah
6.3.1. Kurikulum Harus Bertujuan Materialitas Anak
            Tujuan pokok kurikulum ialah materialitas anak. Anak harus  dibimbing  agar mencapai kepribadian  dan kebudayaan pribadi dalam kesatuan yang semaksimal mungkin.
6.3.1.1. Sifat Mata Pelajaran Kebudayaan
            Setiap mata pelajaran menyentuh kebudayaan; pasti-alam, teknologi, biologi, sosiologi, psikologi, sejarah dan agama. Semua mata pelajaran mengantar ke pergaulan  dan behaviour dalam hubungan dengan  dunia infra human dan manusia. Semua juga memakai bahasa dan  mendidik dalam hal bahasa. Namun ada mata pelajaran  yang secara khusus mengarahkan  perhatian  pada perwujudan kemanusiaan sendiri, yaitu kelompok sastra dan budaya. Misalnya bahasa, antropologi budaya, kesenian, lebih konkret yang memperlajari; adat-istiadat, musik, tarian, lukisan, pakaian, pemakian alat-alat, rumah, cara mengolah tanah, dan sebagainya. Sebenarnya juga mata pelajaran oleh raga dan senam termasukk kelompok budaya ini, sebab  berhubungan dengan  kebudayaan  pribadi pada taraf biotis.
6.3.1.2. Fungsi Edukatif dalam Mata Pelajaran  Kebudayaan
            Mata pelajaran kebudayaan membimbing  anak supaya membentuk diri menurut bentuk-bentuk kebudayaan. Pertama, anak dihadapkan  dengan bentuk-bentuk kebudayaan. Dalam perwujudan itu ia memahami dan membaca suatu (atau lebih) konkretisasi kemanusiaan  dan kepribadian komunal. Kedua, anak belajar berpikir dan mengartikan  dengan cara lain daripada dalam dunia eksata atau dunia praktis belaka. Ia berpikir dengan verstehen (memahami), dengan interpretasi dan invensi. Ketiga, anak diberi inspirasi  bagi kebudayaannya pribadi, sehingga juga kepribadiannya dapat menjadi.
6.3.1.3.    Fungsi Edukatif Mata Pelajaran Bahasa
Pertama, anak hanya dapat berpikir secara logis dan konsekuen, berpikir sejelas-jelasnya, sejauh  cakap mewujudkan pengartian dan penilaian dalam bahasa yang tepat. Untuk itu ia harus belajar menggunakan bahasa tanpa kesalahan, baik dalam bicara, maupun dalam menulis.
Kedua, anak hanya dapat berkembang  dengan cara cukup luas  dan universal, jika ia belajar mengungkapkan diri dalam bahasa yang  cukup umum (dipakai banyak orang) dan padat (dipelajari dan diselami  secara ilmiah). Itu hanya terjadi dalam hal bahasa nasional. Bahasa nasional (lebih daripada bahasa daerah) tidak hanya mencerminkan  alam pikiran dan kebudayaan bangsa sendiri, tetapi mencerminkan aliran dan cara berpikir bangsa lain pula.
6.3.1.4.    Segi Keterampilan
6.3.1.4.1.      Aspek Umum
Dalam aspek personal-moral ada pengaruh terbatas. Tetapi dalam pergaulan, macam-macam kebiasaan dan upacara, anak mengalami perkenalan dengan kebudayaan dan perhalusan  budi dan tingkah laku. Misalnya pakian seragam, upacara penaikan bendera, pertemuan pesta, kebersihan. Segi keterampilan  selalu meliputi empat taraf.
6.3.1.4.2.      Pengajaran Secara Umum
Anak dididik agar duduk tertib  dan bergaul secara baik. Ia harus berbicara dengan tepat, bila menjawab pertanyaan; membuat catatan dengan teratur dan rapi; memelihara buku pelajaran, membuat karangan tentang pokok tertentu. Demikian ia belajar mewujudkan diri.
6.3.1.5.    Mata Pelajaran  Ekspresif
Pertama, dalam setiap mata pelajaran keterampilan yang diberikan, anak belajar mengungkapkan dirinya dalam bidang tertentu, memakai tangan dalam menukang kayu, mencangkul, menjahit. Kedua, mata pelajaran olah raga dan senam masih terutama terletak pada taraf ke-2 (biotis), walaupun secara tidak langsung juga menyangkut taraf lebih tinggi. Ketiga, anak harus melatih diri dengan tekun. Dari pihak lain anak harus diberi kesempatan bagi ekspresi bebas, yang bersifat sementara. Supaya inspirasi dan spontanitas tetap hidup. Dalam sintesis yang lama kelamaan muncul, anak tidak melekat pada rutinitas dan latihan belaka, melainkan menjiwainya  dengan spontanitas pribadi. Dari lain pihak, tidak tertinggal pada taraf  improvisasi primitif dan kasar, melainkan  mencapai  kebudayaan  dan perhalusan sejati.
6.3.2.          Materialitas Proses Pengajaran
6.3.2.1. Lingkungan  Sekolah
Pertama, pengajar sendiri harus mewujudkan diri dalam bahasa dan behaviour yang komunikatif, pada semua taraf. Hanya dalam kontak kebudayaan secara pribadi ada pula kontak  dan komunikasi kepribadian. Kedua, pengajaran harus bersifat estetis pula pada semua taraf untuk mencapai perwujudan  yang tepat. Pengajar harus tahu  memperhatikan hal-hal pokok dan memotong hal yang kurang relevan; harus menyederhanakan  bahan sehingga jelas. Mata pelajaran disajikan  secara jelas dan dinamis, dalam bentuk yang menarik. Harus dicapai sintesis atas rutinitas (bahan yang sudah agak pasti) dan kreativitas (keunikan dalam pengajaran), agar dihindari dua ekstrem, yaitu rutinitas yang membosankan  dan kreativitas yang kacau. Ketiga, setiap pelajaran  bagi anak harus menjadi suatu peristiwa personal, sedikit pesta; tetapi berdasarkan  latihan  yang lama dan  persiapan yang teratur oleh pengajar. Pengajar harus selalu mencari bentuk dan contoh baru yang  lebih tepat lagi.
6.3.2.2. Pengajar
            Guru menjadi wakil orang tua. Ia menjadi sumber bagi perwujudan anak bagi pembentukan kepribadiannya. Maka ia harus mempunyai loyalitas terhadap kepentingan  orang tua. Ia sendiri harus mempunyai kebudayaan pribadi, tetapi juga akan dibudayakan oleh pertemuan dengan sekian banyak anak. Negara hanya dapat menentukan syarat-syarat minimal bagi kebudayaan itu, yaitu dalam hal bahasa dan budaya.
6.3.2.3.    Kualifikasi Guru
Guru harus mempunyai harmoni ke-4 taraf dan mencapai harmoni, kepribadian dan kebudayaan pribadi (jiwa dan badan). Dan ia harus dapat menghayati fungsi edukatif dalam mata pelajaran keahliannya.

BAGIAN  III

BAB VII

PEMIKIR PENDIDIKAN KONTEMPORER

7.1.       PAULO FREIRE
Paulo Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Timur Laut Brazil. Ia berasal dari kelas menengah, namun situasi kemiskinan dan penindasan merupakan bagian integral dari seluruh hidupnya bersama ayahnya Joachim Jhemistocles Freire dan ibunya Edeltrus Neves Freire.[27] Freire menamatkan pendidikan dasar dan menengah di kota pelabuhannya dengan sukses. Kemudian Freire melanjutkan studinya pada fakultas hukum sambil mempelajari filsafat dan psikologi bahasa. Pada tahun 1944, Freire menikahi Elza Maia Costa Olivera dari Recife, seorang guru sekolah dasar, dan dikaruniai tiga orang putri dan dua orang putra.
Pemikirannya tentang filsafat pendidikan diungkapkan pertama kali pada tahun 1959 dalam disertasinya sebagai doktor di Universitas Recife dan kemudian dalam karya-karyanya sebagai maha guru sejarah dan filsafat di universitas yang sama. Freire mengembangkan pengajaran bagi kaum buta huruf di kota yang sama. Namun, Freire dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah dan kemudian ia dipenjara pada tahun 1964. Tiga puluh hari kemudian, Freire dibebaskan dan diperintahkan segera meninggalkan negerinya. Di Chile, Freire bekerja sebagai konsultan Unesco dan Odira (sebuah lembaga pembaharuan pertanian Chile dalam program pendidikan masyarakat).
Pada tahun 1970, Freire dipindahkan ke Genewa- Swiss dan bekerja sebagai konsultan khusus pada kantor pendidikan Dewan Gereja sedunia. Di samping itu, Freire juga memberi kuliah pada universitas Cambrigde dari tahun 1972 hingga 1973. Sebagai pendidik, Freire mempunyai beberapa karya tulis, seperti Cultural Action for Freedom, Paedagogis of The Opressed, Education for Critical Consciousness, Paedagogis in The Process, Education : The Practice of Freedom.
7.1.1. Pendidikan A la Bank
            Paulo Freire memberikan kritikan yang pedas terhadap system pendidikan yang dipandangnya sebagai bank. Kepada anak didik dimasukkan  atau ditanamkan  sejumlah ilmu  untuk diperganda. Dialah sumber deposita yang potensial. Guru adalah pemilik tunggal dari semua ilmu yang ada. Murid adalah wadah kosong yang perlu diisi. Proses pendidikan yang dianut tidak lain dari proses pengisian ilmu ke dalam  wadah yang kosong itu. Guru lalu sendiri aktif dan murid menjadi pasif. Guru menjadi subyek dan murid adalah obyek. Pendidikan lalu bersifat naratif, dimana guru memberikan informasi  yang  harus ditelan, diingat dan dihafal.
            Paulo Freire menganut juga  pendidikan a la bank yang sedikit berbeda dari yang sebelumnya. Manusia sendiri harus berusaha mempunyai milik, terlebih semua mereka yang tidak bermilik, seperti orang-orang  marginal dan orang-orang pinggiran. Mereka harus ditolong  untuk memiliki kreativitas dan aktivitas. Karenanya, ‘pendidikan itu harus bersifat kritis’. Manusia atau anak didik harus  diberi pendidikan  sekian sehingga  mereka menjadi kritis  terhadap situasi. Untuk Paulo Freire, pendidikan harus berusaha mengadakan rekonsiliasi dan merubah arah pendidikan kepada pendidikan  yang membebaskan. Dia memakai sistem ’aksi’ dan ’refleksi’. Pendidikan harus dapat merangsang anak didik sekian sampai mereka itu mampu mengadakan aksi atau tindakan.  Setiap tindakan dan aksi harus direfleksikan. Refleksi  yang dibuat harus membantu  mereka untuk membuat aksi  dan tindakan yang baru. Dan begitu seterusnya.
            Kalau pendidikan a la bank membuat orang pasif dan tidak kreatif, maka pendidikan kritis harus sanggup mendorong orang untuk  menjadi subjek, menjadi aktif, harus sadar akan realitas secara terus menerus. Hubungan guru murid tidak lagi  sebagai subjek dan objek, melainkan sebagai patner yang sama-sama harus belajar. Karena itu, di dalam pendidikan yang kritis sangat ditekankan kesatuan bahan yang diajarkan. Dan apa yang diajarkan harus diambil dari dunia lingkungan  anak sendiri. Murid-murid  harus dihadapkan  pada problem-problem yang ada di sekitarnya.
7.1.2. Pendidikan Sebagai Proses Pembebasan
            Situasi konkret Brasilia menuntut suatu ”pembebasan”. Malah sementara itu situasi politik menjelang ’coup militer’ pada tahun 1964 merupakan situasi yang sangat inspiratif bagi Paulo Freire. Dia semakin yakin bahwa pendidikan adalah  satu-satunya  jalan yang  dapat dipakai untuk pembebasan  bagi orang-orang yang mengalami ketertindasan dan penjajahan. Pendidikan adalah proses pembebasan  yang bisa  dijalankan  dalam bentuk alfabetisasi dan pendidikan dengan cara dialog.
7.1.2.1. Alfabetisasi dan Konsientisasi
            Konsep  Paulo Freire tentang metode ini  lebih pada melihat peranan kata dalam alfabetisasi. Menurutnya, pendidikan  adalah satu proses untuk mengerti dan menghafal. ”Kata” lalu mempunyai peranan yang sangat besar. Untuk mengerti satu ’kata’ terlebih dahulu orang harus mengunyah sebelum ditelan. Tetapi untuk menghafal kata-kata, orang dapat menelannya secara langsung. Konsep ini disebut konsep digestive  dalam pengajaran. Sartre perkata, ”to know is to eat”.  Baiklah diingat bahwa setiap kata itu mempunyai arti, lebih dari hanya sebagai alat untuk memungkinkan dialog. Kata harus menjadi satu interaksi  antara aksi dan refleksi. Memakai satu kata yang benar berarti merubah realitas dunia, karena kata identik dengan praksis. Karena itu kata harus dipakai seharusnya keluar dari perbendaharaan sendiri. Kata yang dipakai harus  dimengerti  dan harus diperoleh  dari kehidupan sehari-hari yang seharusnya  menjadi pengekspresian  diri yang sadar dan aktif. Bagi Paulo Freire, buta huruf merupakan keterbelakangan suatu  daerah dan  bangsa, dan akan memanifestasikan  kebudayaan diam. Untuk mengatasi hal ini, Paulo Freire membuat propanganda tentang alfabetisasi baik dari segi teknis maupun moralnya. Huruf dan kata-kata harus diperkenalkan. Mereka harus dibantu  untuk mengerti  arti dan pengaruhnya  dalam hidup sosial dan politis.
            Ada beberapa cara pengajaran alfabetisasi kepada orang-orang yang buta huruf menurut Paulo Freire, yaitu:
1.         Kodifikasi dan dekodifikasi. Kodifikasi ialah cara mengabstrakan realitas yang konkret. Umpamanya memperlihatkan sebuah gambar atau foto dari satu benda. Dekodifikasi ialah menganalisa secara kritis apa yang sudah dihasilkan dalam kodifikasi. Diharapkan dengan dekodifikasi ini, timbul kesadaran dalam diri anak didik untuk mengubah  realitas konkret tadi. Hasil yang mau diperoleh lewat sistem kodifikasi dan dekodifikasi  ini ialah siswa dan guru memperoleh  fakta  atau data konkret, dan akhirnya  mereka lalu mulai berdialog;
2.         Kelompok  diskusi kultural. Paulo Freire juga membentuk kelompok-kelompok diskusi kultual. Mengapa? Pendidikan  a la bank telah menghasilkan satu interiorisasi yang bersifat kultur. Karena itu tindakan untuk menghilangkan  interiorisasi itu juga harus bersifat kultural. Untuk pendidikan harus dijalankan lebih intesif dan kontinu dalam kelompok-kelompok dengan menggunakan ’kata-kata kuci’ (generative words). Kelompok-kelompok kultural dibentuk untuk membahas kata-kata kunci itu bersama-sama, agar murid tidak hanya bisa membaca dan menulis, tetapi juga bisa mengerti situasi lingkungannya dan merasa terdorong untuk mengubahnya;
3.         Konsientisasi. Konsientisasi adalah proses manusia memperoleh kesadaran yang makin lama makin dalam mengenai realitas  kulturil dan akan kemampuannya merubah realitas tersebut.
7.1.2.2. Pendidikan dengan Cara Dialog
Pendidikan dengan cara dialog adalah metode lain yang digunakan oleh Paulo Freire untuk melawan pendidikan  dengan cara bercerita (narrative education) yang berlaku  waktu itu. Prinsip dasarnya ialah ”teori harus sejalan dengan praktek”. Pembahasan secara teoritis harus disertai dengan latihan praktis. Guru dan murid harus bermain  bersama di dalam pendidikan. Mereka harus bersama-sama memecahkan masalah dengan cara berpikir, mencari, bertanggung jawab dan mengajar dan belajar.  Metode ini dikenal juga dengan nama problem posing  education. Guru melontarkan permasalahan, kemudian guru dan murid  coba mencari pemecahannya  dengan cara berdialog. Ciri-ciri metode ini digambarkan sebagai berikut:
1.         Guru belajar dari murid, dan murid belajar dari guru;
2.         Guru menjadi patner murid yang melibatkan diri dan menstimulasi daya pemikiran murid; mereka saling memanusiakan dan memanusiawikan;
3.         Manusia tidak boleh menjauhkan dirinya dari dunia, tetapi harus memperkembangkan kemampuannya untuk mengerti secara kritis mengenai dirinya dan dunia serta berada bersama dunia;
4.         Masalah-masalah pendidikan senantiasa membuka rahasia realitas yang menantang manusia dan kemudian menuntut jawaban  terhadap tantangan tersebut. Jawaban terhadap tantangan itu akan membawa dan mendorong  manusia kepada satu dedikasi secara penuh.  Dengan demikian, bukan saja guru tetapi juga murid merasa selalu terlibat  dalam situasi hidupnya.
7.2. DR. MARIA MONTESSORI
7.2.1. Riwayat Hidup
            Maria Montessori adalah  seorang ahli pendidikan berkebangsaan Italia. Dia terkenal karena bisa  menemukan sistem pendidikan dan filsafat  pembangunan manusia yang dikenal dengan istilah Montessori Method. Di samping  itu Maria Montessori juga seorang ahli psikiatri yang meraih gelar dokter di Italia tahun 1894. Dia adalah psikiater pada sebuah klinik psikiatri Universitas Roma.
            Maria Montessori dilahirka di Roma pada tahun 1870. Ia adalah putri pertama Italia yang meraih gelar dokter pada tahun 1894 dan bekerja sebagai psikiater pada sebuah klinik di Roma. Ia sering melayani anak-anak yang lemah pikiran. Fokus perhatiannya pada pendidikan anak terbelakang, yang cacat mental lalu kemudian kepada anak-anak yang normal. Ia memimpin kursus guru  untuk anak yang kurang ingatannya. Tanggal 6 Januari 1907, ia mendirikan  Sekolah Taman Kanak-Kanak di Milan yang bernama ”Casa del Bambini”. Tahun 1900-1911 menjadi maha guru di beberapa universitas. Tahun 1935 ia berdiam di Belanda sampai dengan kematiannya tanggal 6 Mei 1952.
7.2.2. Latar Belakan Kehidupan Sosial
            Maria Montessori sebagai psikiater  di sebuah klinik, selalu bergaul dengan anak-anak yang terbelakang pendidikannya, lemah ingatannya, cacat mental dan gila. Dia menaruh perhatian penuh pada mereka. Akhirnya tahun 1907 mendirikan sebuah sekolah TKK untuk pertama kalinya. Perkembangan mental dan kemampuan anak di sekolah mengagumkan dan menarik perhatian dunia.  Dari sekolah itu ditingkatkan  lagi ke sekolah dasar. Selanjutnya Maria Montessori berkeliling dunia sambil menyebarkan pendapatnya. Orang bergerak menerima kedatangan dan programnnya sebagai upaya pembaharuan  dalam pendidikan dan pengajaran. Dimana-mana didirikan  sekolah Montessori, yaitu dari TKK sampai dengan sekolah lanjutan.
7.2.3. Metode
            Menurut Maria Montessori, anak didik harus berperan utama; guru dan metodenya sebagai penunjang  demi perkembangan anak secara cerdas. Untuk itu mengutamakan Metode Pedosentris. Dasar metode ini, sebagai berikut:
7.2.3.1. Pendidikan adalah Oktoaktivitas Anak
            Anak mempunyai bakat dan pembawaan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Mereka mempunyai perkembangan dalam tempo dan iramanya masing-masing. Anak berusaha sendiri dengan otoaktivitasnya guna mengembangkan  dirinya. Pendidik hanya menyediakan sarana, kesempatan dan pertolongan sebagai rangsangan. Anak menemukan jalan, memecahkan kesulitan hidupnya dengan cerdas. Kecakapan dan ketangkasan yang ada padanya adalah hasil dari usahanya sendiri.
7.2.3.2. Pusat dari Pendidikan adalah Anak (Pedosentris)
            Gejala jiwa anak berbeda dengan gejala jiwa orang dewasa. Antara satu anak dengan anak yang lain pun berbeda.  Dengan demikian, pelajaran klasikal berubah menjadi pelajaran perorangan atau individual. Guru berperan untuk menyediakan  kesempatan dan sarana yang menunjang perkembangan diri sesua minatnya. Menurut Maria Montessori setiap anak mempunyai kebutuhan jiwa  yang secara spontan minta dipuaskan. Saat  fungsi jiwa meminta kesempatan untuk berkembang itulah yang disebut ”masa peka”. Kesempatan  diberikan sesuai masa peka ini. Catatan masa peka ini sebagai berikut: Pertama,  tidak dapat dipastikan kapan timbulnya, sebab muncul secara spontan dan tidak dapat dipaksa. Kedua, tiap anak mempunyai masa pekanya sendiri-sendiri. Ketiga, kesempatan masa peka anak itu dipergunakan guru untuk melatih atau mengembangkan fungsi itu demi tercapainya hasil maksimal. Keempat, guru hanya mengetahui masa peka setiap anak dari alat-alat dan perbuatan yang menarik perhatian anak itu pada suatu waktu.
            Guru mengamatinya dengan teliti, membandingkan, mengumpulkan dan menarik kesimpulan. Kemudian menyediakan alat pengajaran (permainan) dan memberi petunjuk tentang pemakainya.
7.2.4. Anak Didik Bebas Mengembangkan Diri
            Hasil usaha pendidikan adalah hasil usaha anak mendidik dirinya sendiri. Perkembangan anak tidak bisa dipaksakan dari luar, tetapi timbul dari dalam anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk bertingkah laku menurut kemauannya.  Menurut Maria Montessori, bukan kebebasan ’liar’ tetapi anak bergerak bebas dalam peraturan yang  berguna untuk kepentingan bersama. Anak yang tidak mengindahkan peraturan diberi sanksi seperti: diasingkan dari kelas, tidak diperbolehkan turut dalam keaktifan kelas, diberi tempat sendiri.
7.2.5. Semua Indra Anak Harus Mendapat Kesempatan untuk Berkembang
            Maria Montessori berpendapat, indra merupakan gerbang jiwa anak. Segala pengertian yang terdapat dalam pikiran anak diterima melalui indera. Indera erat hubungannya dengan intelek anak.  Dengan demikian, indera harus mendapat kesempatan untuk melatih diri. Untuk itu, Maria Montessori memakai alat  pelajaran ciptaan Ed Seguin, Itard, dan lain-lain, tetapi tidak memenuhi cita-citanya, maka ia menciptakan alat-alat sendiri. Alat-alat itu untuk melatih penglihatan, peraba, pendengar, perasa dan penciuman. Waktu dilatih haruslah diindahkan  agar hanya  satu indera saja yang digunakan, yang lain tidak ikut bekerja.
7.2.6.      Beberapa Kesimpulan Pemikirannya
            Maria Montessori mendapat penghargaan besar  dalam dunia pendidikan atas jasa-jasanya dalam pemikiran tentang pendidikan dewasa ini.
Pertama, dari sudut ilmu jiwa anak. Perkembangan tiap-tiap anak haruslah diamati. Pendidikan dan pengajaran wajib disesuaikan  dengan perkembangan anak itu. Maria Montessori-lah yang membuka mata bagi adanya masa peka pada setiap anak.
Kedua, dari sudut pendidikan. Ia menegaskan bahwa pendidikan  hanya mungkin  dengan pendidikan itu sendiri. Ia menggunakan kebebasan dan keaktifan anak dalam metode yang dikembangkan  agar setiap anak berkesempatan untuk berkembang sesuai pembawaan dan bakatnya masing-masing. Pendidikan  dan pengajaran harus berjalan secara individual. Segala usaha wajib keluar dari diri anak.
Ketiga, dalam dunia pengajaran anak, khususnya TKK ia adalah seorang tokoh besar, selain F.W.A. Frobel. Dan dalam dunia pengajaran pada umumnya ia dipandang sebagai pelopor, penyusun dasar-dasar sekolah aliran baru. Ia yang mengalihkan pusat pendidikan itu dari materiosentris ke pedosentris, dan dari teacher central ke child central. Selanjutnya,  sesuai dengan  timbulnya masa peka, maka sangat baik kalau memperhatikan  minat spontan otoaktivitas dan keaktifan dalam pengajaran.
7.2.7.      Penilaian Para Ahli
            Di samping sisi kebaikan di atas, ternyata begitu banyak para ahli yang tidak sepaham dan menentang teorinya. Salah satu ahli yang tidak sepaham dengannya adalah Prof. Gunning dengan menyatakan beberapa catatan:
7.2.7.1.  Dari Sudut Ilmu Jiwa
Pertama, lmu jiwa yang dipakai Maria Montessori sebagai dasar metode pengajarannya masih mempergunakan ilmu jiwa lama, yaitu ilmu jiwa unsur.  Dimana ia mengatakan bahwa pada wakatu melatih sala satu indera, indera yang lain tidak boleh mempengaruhinya; belajar menulis dan membaca dimulai dari huruf. Padahal para ahli pada umumnya sudah berubah ke ilmu jiwa keseluruhan dan ilmu jiwa gestalt. Keseluruhan maupun strukturlah yang primer (utama), unsur ditentukan nilainya oleh kedudukan dan keseluruhannya.
Kedua, dunia fantasi anak. Di sini muncul suara yang paling banyak menentang Maria Montessori. Pendapatnya tentang fantasi atau khayal menunjukkan kemiskinan kerohanian dan tidak sesuai dengan kenyataan. Ia melarang anak bermain khayal seperti bermain kereta api, anak laki-laki menjadi kondektur, anak perempuan menjadi kondektur sedang boneka dijadikan anaknya. Berhubungan dengan diperkecilnya fantasi, maka diabaikan pula mata pelajaran ekspresi; seperti menyanyi, bermain-main, mengucapkan syair, mengambar, bercerita, mendongeng, dan lain sebagainya. Prof. Gunning menyamakan pendirian Maria Montessori mengenai fantasi itu sebagai perkosaan khuluk anak.
7.2.7.2.  Dari Sudut Pendidikan
Pertama, sistem pendidikan Maria Montessori, terlalu individual, tidak ada kesempatan untuk pendidikan sosial, sebab tidak ada latihan sosial dalam rombongan. Pendidikan keindahan kurang mendapat perhatian. Pendidikan agama pada permulaan diabaikan. Percobaannya baru dimulai pada tahun 1920. Pengalaman itu ditulis oleh Mortimer Standing dalam bahasa  Inggris yang tertuang  pada buku Anak di dalam Gereja, pada tahun 1934.
Kedua, anak itu sepanjang hari tinggal di Casa del Bambini, maka pendidikan dalam keluarganya  sedikit sekali. Anak seakan-akan datang ke rumah hanya untuk tidur. Tetapi hal ini sesuai  dengan keadaan Italia kota, yang para ibu sepanjang hari bekerja di pabrik, dan sehabis bekerja barulah menjemput anaknya ke rumah.
7.2.7.3.   Dari Sudut Pengajaran
Pertama, semua alat pelajaran Maria Montessori biarpun sudah diperbaiki, pada hakekatnya dipertunjukkan bagi anak yang tidak normal. Tidak semua alat adalah buatannya sendiri, maka harganya mahal. Untuk itu tinggal pula uang sekolahnya guna menyiapkan alat-alat tersebut. Hal itu mengakibatkan sekolah Maria Montessori hanya dikunjungi oleh anak-anak dari orang tua yang mampu keadaan ekonominya.
Kedua, kebebasan menurut Maria Montessori, bukan kebebasan yang sepenuhnya, melainkan kebebasan yang terbatas. Alat pelajaran dari dia sendirilah yang harus dipakai. Para guru dan murid tidak boleh  memakai alat-alat lain. Alat-alat itu juga harus dipakai menurut tujuan tertentu.
Ketiga, keaktifan anak untuk membuat sendiri, mengadakan latihan tidak untuk kesenangan hidup. Jadi dalam sekolah Montessori tidak ada keaktifan bermain dalam arti yang sebenarnya. 
7.3.          PESTALOZZI
7.3.1.  Riwayat Hidup        
            Johan Heinrich Pestalozzi seorang  tokoh pendidikan sosial dan aliran devolopmentalisme. Ia berkebangsaan Swiss.  Dia mulai terkenal tahun 1781 dengan bukunya yang berjudul Leinhard und Getrund (Jerman) atau Leonard and Gertrud (Inggris). Buku ini berubah menjadi sebuah roman yang menjelaskan  cita-cita pendidikannya. Tujuan pendidikannya untuk mempertinggi derajat rakyat, mengembangkan  potensi jiwa anak secara wajar.  Dia adalah  seorang  pendidik rakyat  yang sangat cinta kepada anak miskin dan telantar.
            Pestalozzi lahir pada tanggal 12 Januari 1746 di Zurich-Swiss. Ayahnya  meninggal dunia pada waktu ia berumur lima tahun. Kehidupan dan pendidikan selanjutnya  ditangani  oleh ibunya  dan oleh kakeknya  seorang pendeta. Pengabdian kakeknya terhadap orang-orang  yang menderita dan miskin, membekas  dalam hidupnya.  Dan yang mengharukan dia adalah  tindakan pengejaran  anak-anak miskin  oleh petugas negara  untuk diusir keluar daerah.
            Pestalozzi memperoleh pendidikan dasar dan menengah  termasuk Collegium Carolinum,  yaitu  sekolah humanis. Dia pernah mengalami kegagalan  dalam mewujudkan cita-citanya, antara lain gagal menjadi pendeta dan gagal menjadi ahli hukum. Kegagalan ini mendorong dia banting stir  kehidupannya untuk mencurahkan tegananya  dalam bidang pertanian.  Setelah delapan tahun belajar pertanian, dan sudah beristeri dengan nama Anna Schutes, dibelinya sebudang tanah di Argau dan membuat rumah yang dinamakan Neuhop pada tahun 1768.
            Tahun 1774, ia mengumpulkan lima puluh orang anak terlantar sebagai akibat timbulnya  indutrialisasi di Neuhof. Ia mengajar anak-anak itu dengan bertenun, beternak, dan membuat keju. Sambil bekerja, anak-anak diajar membaca, menulis dan berhitung.  Setelah lima tahun kemudian karena kehabisan uang, tanah itu dijual kembali karena kehabisan uang. Hanya sisa rumahnya, tempat di mulai menuliskan  cita-cita pendidikannya.
7.3.2.   Latar Belakang Kehidupan Sosial
            Johan Heinrich Pestalozzi merupakan  seorang tokoh pendidikan yang hidup pada abad ke-19. Situasi dan keadaan pada waktu itu sangat mempengaruhi pola pikir dan konsep pendidikannya.
7.3.2.1.  Revolusi  Perancis
            Timbulnya revolusi Perancis pada tahun 1789, memyebabkan bangkitnya kasta ketiga. Kasta ketiga ini mulai menuntut haknya dalam berbagai bidang kehidupan. Yang termasuk kasta ketiga adalah pada buruh dan kaum tani. Sedangkan yang tergolong kasta pertama adalah para kaum bangsawan dan agama serta orang kaya. Bangkitnya kasta ini (kasta ketiga) disebabkan meluasnya cita-cita aufklarung, yang mempunyai pandangan bahwa semua manusia berderajat sama, termasuk di bidang pendidikan. Karena pada waktu itu orang  yang berhak memperoleh pendidikan hanyalah orang kaya, golongan bangsawan, sedangkan orang kecil, kaum petani tidak diperkenankan.
7.3.2.2.  Revolusi Industri
            Revolusi industri membawa kemajuan dalam segala bidang kehidupan. Hal-hal baru muncul, misalnya pekerjaan atau kegiatan yang biasa dilakukan dengan tangan, kini  dikerjakan dengan mesin. Hal ini mempengaruhi bidang pendidikan dan pengajaran Pengajaran diberikan secara massal atau klasikal. Sistem pendidikan  tersebut menimbulkan tuntutan  akan pendidikan  sosial, yakni pendidikan bagi segenap lapisan rakyat.
7.3.2.3.Tipe Pendidikan yang Diberikan oleh Jhon Locke dan Rousseau
Pertama, John Locke dan Rousseau menekankan pendidikan  untuk kaum bangsawan dan golongan atas. Locke menekankan  tipe pendidikan  disipliner melalui suatu bimbingan belajar dan pembentukan  kebiasan-kebiasan moral yang baik, agar anak dapat membangun tubuh dan pikirannya yang sehat. Rosseau menekankan pendidikan secara alamiah melalui hubungan-hubungan dengan alam.  Pestalozzi melihat adanya kesenjangan dan diferensiasi antara kedua pandangan tersebut, sehingga ia menggabungkan dan menyatukan keduanya. Dia mengatakan  bahwa anak memerlukan pedoman-pedoman dalam hubungan dengan alam. Pedoman dalam pemikiran  serta pembuatan kesimpulan  sehubungan dengan berbagai pengalaman yang telah dijalani.
Kedua, adanya tindakan yang tidak manusiawi. Para buruh dan anak yatim piatu diperlakukan  secara tidak manusiawi oleh golongan  atas. Pestalozzi melihat sendiri bagaimana orang –orang kecil  dibunuh dan diusir  keluar dari  daerahnya, yang dilakukan oleh pada prajurit.
Ketiga, peranan ibu dalam mendidik anak kurang diperhatikan. Peranan ibu dan keluarga dalam pendidikan kurang diperhatikan, karena anak dididik secara individual oleh guru yang dibayar oleh orang tua. Dia menekankan pentingnya peranan orang tua  dalam pendidikan anak. Anak jangan hanya  dipercayakan kepada orang lain, tetapi perlu mendapat pendidikan langsung  dari ibu dan bapak.
Keempat, sarana dan prasarana sekolah relatif kurang, malah kodisinya sangat buruk. Hal ini mendorong dia  untuk memikirkan cara dan metode yang baik  dalam pendidikan dan pengajaran.
Kelima, anak-anak dipaksakan untuk menghafal teks-teks kitab suci dan bidang studi lainnya. Kalau anak-anak tidak mampu, mereka mendapat perlakuan yang kejam dari gurunya. Misalnya anak-anak dipukul dan dimaki. Dengan melihat keadaan ini, Pestalozzi menekankan bahwa tugas pendidik adalah  membantu dan menolong anak untuk menjadi manusia sejati. Pendidikan bertujuan agar anak di kemudian hari dapat menolong atau membantu  dirinya sendiri (hilfe zur selbshilfe) atau pertolongan untuk pertolongan diri.
Keenam, kebobrokan moral dari kalangan atas, yang mempengaruhi kalangan bawah, usaha untuk mempersalahkan  orang lain atau budaya kambing hitam (betes noires). Karena itu ia menekankan  sekali lagi peranan keluarga dalam pendidikan. Usaha memecahkan masalah  yang kita hadapi harus mulai dari diri sendiri.
7.3.3.  Metode Pendidikan
            Sesuai dengan filsafat pendidikannya, bahwa pendidikan  itu untuk  membantu anak  dan menolong anak didik, maka metode yang dipakai adalah:
7.3.3.1.    Metode Peraga
            Segala sesuatu yang diajarkan hendaknya diperlihatkan  kepada anak-anak, kemudian dihubungkan  dengan bercakap-cakap. Pestalozzi membedakan tiga unsur yang harus dikembangkan dalam pengajaran, yakni:
1.         Bunyi (kata). Pelajaran bercakap-cakap, membaca dan tata bahasa. Apa yang diamati, segera disebut namanya. Murid-murid menguranginya bersama-sama dengan kalimat-kalimat yang makin lama makin sulit. Maksudnya sangat baik, tetapi implementasinya membuat akibat yang tidak diinginkan, yakni verbalisme yang buruk.  Demikian pula dalam pelajaran sejarah, ilmu bumi dan ilmu hayat;
2.         Unsur kedua ini dikembangkan oleh ilmu ukur, menulis setelah menggambar. Yang digambar khusus yang ada hubungannya dengan ilmu ukur, seperti persegi panjang, bujur sangkar, jendela, pintu dan sebagainya;
3.         Bilangan. Yang menyebabkan anak-anak  dapat  membedakan jumlah. Asas keberupaan dilaksanakan  juga pada pengajaran berhitung. Peragaan yang jelas alan membantu tercapainya  pengertian yang tepat pada bilangan-bilangan. Dia yang  pertama kali memasukkan  pelajaran berhitung  menjadi pelajaran di kelas.



7.3.3.2.  Metode Keaktifan Anak Sendiri
            Keaktifan anak sendiri untuk mempraktekkan  pandangannya tentang pendidikannya, yaitu hilfe zur selbsthilfe (pertologan untuk pertolongan diri). Anak sendirilah yang menolong dirinya sendiri atau mendidik dirinya.
7.3.3.3.  Metode Pendidikan Sosial
            Masyarakat dan umat manusia mempunyai pengaruh dalam pendidikan  dan harus dididik untuk masyarakat dan kemanusiaan. Pestalozzi memandang anak tidak secara individual, melainkan  sebagai anggota masyarakat.
7.3.4.  Implikasinya
            Tujuan pendidikan mengembangkan daya anak agar menjadi orang baik, mengabdi pada masyarakat, kemanusiaan dan Tuhan. Kepercayaan pada Tuhan tidak hanya melalui rasio, melainkan melalui cinta dan lain-lain.
            Jenis pendidikan harmonis, multipurpose atau bertujuan banyak. Lingkungan  pendidikan, terutana adalah keluarga. Peran utama dalam pendidikan adalah ibu. Keaktifan  dan hilfe zur selbsthilfe  sangat penting. Dalam mengajar orang wajib  memakai pedoman. Pedoman didaktiknya adalah:
1.         Pengamatan langsung (anschauung der natur);
2.         Keaktifan jiwa raga anak sendiri untuk mengolah  pengamatan dan menolong dirinya sendiri;
3.         Kemajuan pengajaran harus teratur, setingkat demi setingkat;
4.         Seluruh kegiatan pengajaran  berpusat pada suara, bentuk dan bilangan.

            Usaha-usaha pelaksanaan cita-cita Pestalozzi: Pertama, mendirikan sekolah pertanian untuk musim panas dan pekerjaan tangan untuk musim dingin. Kedua, mendirikan sekolah yatim piatu. Ketiga, mendirikan sekolah rakyat untuk semua anak.Keempat, mendirikan sekolah guru.
7.4.                FREDERICH AUGUST FROBEL
7.4.1.     Riwayat Hidup
            F.W. Frobel adalah seorang pendidikan yang terkenal dari Jerman. Ia adalah pendiri TKK modern  dan merupakan pengikut Pestalozzi. Dalam perjalanan karirnya di bidang pendidikannya, Frobel lebih menekankan kebebasan pada anak untuk mengungkapkan  diri melalui permainan,  aktivitas tertentu, minat spontan dan pengalaman  anak sendiri.
            Filsafat pendidikan Frobel dipengaruhi oleh  filsafat idealisme dari Scheling yang menekankan pada persatuan alam dan jiwa. Lebih dari pada itu dipengaruhi oleh keyakinannya pada Tuhan sebagai pengatur kehidupan manusia yang  merupakan bagian dari alam. Anak-anak merupakan bagian dari alam. Anak-anak menjadi perantara bagi perwujudan kemauan Tuhan dalam alam manusia. Dan melalui  pendidikan anak dapat memiliki persatua dengan  Tuhan.
            Setiap anak memiliki kemampuan dasariah. Karena itu tujuan pendidikannya adalah membantu  anak untuk mengembangkan  kesanggupan dan daya-daya  agar tercapainya  persatuan rohaniah dengan Tuhan. Peranan orang tua, guru dan lingkungan  juga turut  menentukan pertumbuhan dan perkembangan  anak untuk  mengaktualisasikan  diri dan memanfaatkan  kemampuan alamiahnya.
            F.W. Frobel lahir di Oberweiusbach  Jerman pada tahun 1782. Pada masa kecil ia tidak mendapat perhatian dari oran tua kandungnya. Kenyataan yang ada mendorong dirinya pergi dan tinggal bersama pamannya. Berkat dukungan pamannya, Frobel memperoleh peluang  untuk mengenyam pendidikan  sekolah desa.  Dalam bangku pendidikan itu, Frobel merasa tidak memperoleh  suatu sumbangan  dan dukungan bagi proses  pembentukan diri  dan masa depannya. Hal ini disebabkan karena  dalam proses belajar mengajar guru kurang memberi peluang bagi siswa  untuk menumbuhkan kreativitas dan aktivitasnya. Kenyataan yang ada akhirnya  menuntut Frobel meninggalkan bangku pendidikan yang ada.  Sebagai batu loncatan dalam pendidikannya,  terpaksa Frobel meminta pekerjaan pada seorang pegawai kehutanan di Thurigian. Berkat kemampuan dan dukungan usianya yang muda, Frobel diberi kesempatan untuk  mengamati rahasia alam sehubungan  dengan keberadaan  tanaman  dan binatan yang ada.
            Setelah cukup lama Frobel bergumul dengan dunia pekerjaannya, kembali ia melanjutkan niatnya  untuk memperoleh pendidikan. Niat yang ada mendorong Frobel masuk pada Universitas Jena. Di sana ia memperoleh pendidikan selama empat tahun. Setelah itu, tepatnya pada tahun 1805-1807, Frobel mengajar di sekolah Pestalozzi di Frankurt-am-Main dan menjadi guru pembimbing  pada Yverdon Institute  of Pestalozzi. Berkat kesadaran akan kekurangan ilmu pengetahuan dan keahlian  dalam dirinya, akhirnya pada tahun 1816, Frobel kembali melanjutkan  studinya  di Universitas  Berlin.
            Pada tahun 1816, setelah Frobel menyelesaikan pendidikannya, perhatian dan konsentrasinya mengarah kepada dunia usaha. Ruang lingkup usahanya  adalah dunia pendidikan. Sejak saat itu pula, Frobel mulai mendirikan   sebuah sekolah  di sebuah desa kecil Thurigian. Sekolah tersebut  akhirnya menjadi pusat penelitian yang unik. Berdasarkan hasil penelitian yang ada, akhirnya Frobel menuangkan gagasan pendidikannya  dalam karangan  yang berjudul The Education of Man. Buku ini menguraikan metode dan prinsip-prinsip pendidikannya bagi anak-anak yang berumur 1-7 tahun. Sadar akan pentinganya pendidikan kanak-kanak, akhirnya pada tahun 1837 Frobel  mendirikan kindergarten (TKK) di desa Blankenburg.
            Sebagai lanjutan dari karyanya, Frobel menciptakan  sarana dan fasilitas bagi pendidikan kanak-kanak dan memberikan ceramah-ceramah tentang teori pendidikannya ke seluruh  Jerman. Ceramah-ceramah yang diberikan akhirnya membuahkan hasil bagi perkembangan dunia pendidikan kanak-kanak. Tanpa diduga sejak tahun 1849-1852 (sesudah Frobel meninggal) muncul sekolah taman kanak-kanak dan sekolah kejuruan seperti di Eropa, Finlandia, Swedia, Prancis, Inggris dan empat puluh  kota besar di Amerika.
7.4.2.  Latar Belakang Kehidupan Sosial
            Pada dasarnya gagasan  dari sistem pendidikan Frobel, dipengaruhi  oleh latar belakang situasi sosial. Pada permulaan abad 19, muncul berbagai perkembangan yang cukup pesat di Eropa. Yang nampak pada saat itu adalah perkembangan ilmu pengetahuan  dan teknologi. Demi memahami latar belakang  pendidikan Frobel, kita perlu melihat  beberapa  latar belakang  perkembangan berikut ini.
7.4.2.1.  Perkembangan Ilmu Pengetahuan
            Perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa ditandai dengan munculnya  berbagai aliran pendidikan, seperti: Pertama, aliran Roamnatik. Aliran yang menempatkan perasaan dan ilham  serta khalayan sebagai pusat utama untuk memahami dunia. Kedua, aliran Positivisme.Aliran yang menghendaki  sesuatu  yang serba nyata demi dijadikan bahan  bagi ilmu dan filsafat. Ketiga, aliran kebangsaan. Aliran ini giat menuntut  pendidikan nasional yang  berorientasi pada suatu tujuan  untuk memisahkan  agama (gereja) dari negara sehingga sekolah-sekolah  pemerintah netral  dalam soal agama.
7.4.2.2.    Sistem Pendidikan di Eropa
            Dalam dunia pendidikan terdapat suatu sistem pendidikan yang lebih berpusat pada subyek pendidikan itu sendiri, yakni guru. Dalam dunia pendidikan, guru lebih dilihat  sebagai orang yang berwewenang. Konsekuensinya  dalam proses pendidikan, guru  menduduki peran utama dan pertama. Kenyataan yang ada membawa dampak yang cukup tinggi bagi proses pembentukan diri siswa. Siswa lebih banyak pasif. Sistem pendidikan yang berpusat pada guru mengakibatkan kreativitas dan  aktivitas anak mandek. Siswa akan mengalami tantangan  dalam mengembangkan diri, memiliki keterampilan dan memahami lingkungan  atau dunia sekitarnya.
7.4.2.3.    Perkembangan Industri
            Perkembangan industri  di Eropa menuntut suatu sumbangan  dari para tenaga kerja. Pertumbuhan dan perkembangan indutri  tidak hanya didukung oleh banyaknya modal dan peralatan, tetapi lebih menuntut keahlian  dan keterampilan  dari para tenaga kerja selaku subyek pertama dan utama. Kenyataan seperti ini menuntut sumbangan  dari dunia pendidikan pada umumnya.
            Dalam latar belakang situasi seperti ini, Frobel mengemukakan gagasan  tentang  pendidikan manusia yang dituangkan dalam bukunya The Education of Man. Sasarannya adalah anak-anak yang berumur 1-7 tahun. Gagasan pendidikan Frobel memberi penekanan utama pada kebebasan beraktivitas yang pada akhirnya mampu mendorong anak  untuk mengerti dan memahami eksistensi  dirinya, alam dan lingkungan sosialnya.
7.4.3. Pengertian dan Gagasan Pendidikan Frobel
            Pengertian dan gagasan pendidikan Frobel didasari oleh filsafat pendidikannya. Dalam filsafat pendidikannya, Frobel menunjukkan suatu  keyakinan tentang kesatuan  alam, adanya hukum alam yang universal dan keyakinannnya pada Tuhan sebagai pengantar kehidupan manusia yang merupakan bagian dari alam.
            Berangkat dari gagasan yang ada, pendidikan Frobel dilihat sebagai suatu upaya untuk dapat memahami persatuan dengan Tuhan. Pendidikan yang dimaksud adalah  pendidikan yang memberi kebebasan  kepada anak untuk beraktivitas. Karena dengan pendidikan beraktivitas, anak mampu mengembangkan kemampuannya untuk memahami berbagai perubahan bentuk dalam kehidupan dunia dan  mengetahui  hukum-hukum alam.
            Pendidikan Frobel berorientasi pada tujuan, yakni supaya anak dapat mengenal lingkungan alamnya, lingkungan sosial dan sifat  serta eksistensi dirinya sebagai manusia yang dapat berpikir, bertindak, berkembang, memiliki keinginan, minat dan kemampuan-kemampuan dalam dirinya.  Berhubungan dengan hal itu, Frobel menekankan bahwa pendidikan seperti itu hendaknya diberikan pada anak sejak umur 1-7 tahun.  Dengan dan melalui cara ini kemampuan dan sifat anak dapat ditumbuhkembangkan.
            Dalam perspektif Frobel, lembaga pendidikan bagi anak-anak dinamakan kindergarten atau TKK. Di dalamnya anak-anak diberi peluang untuk melatih diri dalam mengamati, mempelajari dan bekerja dengan alam termasuk flora dan fauna serta benda mati lainnya. Sehingga mereka memperoleh pengertian yang jelas tentang berbagai perubahan bentuk dalam kehidupan dunia dan mengetahui hukum-hukum alam anorganik.
            Gagasan pendidikan Frobel ini didasari oleh suatu pemahaman bahwa anak-anak sejak lahir telah memiliki kemampuan khusus masing-masing. Perkembangan, kemampuan dan pemenuhan kebutuhan diri berasal dari dorongan hati anak tersebut melalui aktivitas yang dilakukannya secara spontan anak, sebab dengan berpikir tentang  sesuatu anak sampai pada perbuatan atau tindakan nyata. Dalam hubungan dengan kebebasan anak untuk bertindak, Frobel menganjurkan agar pribadi-pribadi pendamping seperti orang tua, guru dan lingkungan hendaknya mampu memberikan sumbangan yang bersifat konstruktif.  Dengan dan melalui cara ini anak mampu mengaktualisasikan diri dan memanfaatkan  kemampuan alamiahnya.
7.4.4.  Metode Pendidikan Frobel
            Demi memahami metode pendidikan Frobel, terdahulunya kita perlu melihat beberapa prinsip pendidikan Frobel. Hal ini sangat perlu karena metode pendidikan Frobel didasari  oleh prinsip-prinsip pendidikannya. Ada beberapa prinsip yang dijadikan  sebagai pedoman  bagi metode pendidikan Frobel, antara lain:
1.             Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Tetapi lebih merupakan  pengalaman  hidup yang  mampu menyatukan pikiran  dan tindakan;
2.             Ekspresi diri dan belajar dari kerja adalah cara terbaik untuk belajar, memperoleh pengetahuan  dan keterampilan  serta mengembangkan bakat;
3.             Anak-anak harus dibimbing sehingga mereka mampu belajar melalui pengalaman dalam suatu kelompok kerja sama, dapat membentuk sikap dan kebiasaan moral yang baik, dan menciptakan persahabatan antara mereka;
4.             Spontanitas. Kegembiraan dan disiplin yang diberikan kepada anak-anak harus wajar dan mampu menampakkan ciri khas terhadap sekolah tersebut dan program-programnya;
5.             Manusia adalah bagian dari alam dan tunduk kepada hukum alam. Karena itu, alam harus dipelajari oleh para guru dan ahli ilmu pengetahuan.

            Berdasarkan kelima prinsip pendidikan tersebut di atas, akhirnya Frobel menawarkan beberapa metode yang bakal dipakai dalam proses pendidikan. Metode pendidikan Frobel adalah sebagai berikut:
7.4.4.1.  Metode Belajar dan Permainan
            Frobel menggunakan permaian  sebagai sarana untuk memperkenalkan dunia kepada anak didik. Dalam metode ini Frobel menciptakan berbagai bentuk alat permainan untuk melatih dan mengembangkan kreativitas anak. Bagi Frobel, melalui permainan, anak akan memperoleh kebebasan, serta tolong menolong dan memperoleh peluang untuk menjalin hubungan sosial antar sesama.
7.4.4.2.  Metode Kerjasama dalam Kelompok
            Menurut Frobel, TKK adalah miniatur masyarakat yang ideal. Oleh karena itu, dalam bangku pendidikannya dijadikan  sebagai sekelompok masyarakat kecil. Dengan dan melalui cara ini, anak mampu belajar tolong menolong, moral, menghargai teman dan bersahabat  dengan teman-temannya.

7.4.4.3.  Metode Naratif atau Cerita
            Menurut Frobel, materi pelajaran yang diberikan kepada anak-anak hendaknya wajar atau sesuai  dengan tingkat kemampuan dan perkembangan diri anak. Menjawabi hal ini Frobel menganjurkan agar setiap materi yang tampaknya abstrak bagi anak-anak hendaknya perlu dikonkretkan. Usaha mengkonkretkan materi harus  menggunakan berbagai sarana seperti cerita atau dongeng. Dengan cara ini, anak tidak pasif melainkan aktif bersama pendidik. Keaktifan mereka nampak karena daya imajinasi anak mampu mengakui apa yang kita berikan.
7.4.4.4.  Metode Problem Solving
            Menurut Frobel, anak-anak akan menerima dan mewujudkan dorongan hari mereka melalui aktivitas-aktivitas, baik yang diatur maupun yang dilihatnya berdasarkan pengalaman dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan anak, hendaknya  pendidik mampu menghadapkan anak pada satu masalah. Dengan cara ini, tingkat berpikir atau analisa anak berkembang.
7.4.4.5.  Metode Latihan atau Drill
            Berhubungan dengan peningkatan  dan pengembangan kreativitas dan aktivitas anak, Frobel juga menganjurkan agar proses pendidikan anak perlu memperoleh latihan-latihan kerajinan tangan anak, baik dari TK maupun untuk anak yang lebih tua.
7.4.4.6.  Kesimpulan
            Pada dasarnya filsafat pendidikan Frobel menggabungkan prinsip-prinsip psikologi dan pendidikan yang merupakan inti dari teori dan praktek pendidikan zaman modern. Metode pendidikan dalam pendidikan anak-anak yang menekankan aktivitas spontan anak, merupakan sumbangan yang berharga bagi dunia pendidikan modern oleh para ahli psikologi dan pendidikan.
            Singkatnya filsafat pendidikan Frobel menekankan kebebasan aktivitas, belajar dari perbuatan, minat spontan yang dimiliki anak serta pengalaman-pengalaman mereka. Dengan demikian, anak dapat mengembangkan kemampuan untuk memahami berbagai perubahan bentuk dalam kehidupan dunia, mengetahui hukum-hukum alam, lingkungan sosial dan sifat serta eksistensi dirinya  sebagai manusia yang dapat berpikir, bertindak, berkembang, minat dan kemampuan-kemampuan tertentu.
7.5.    JOHN DEWEY
7.5.1.  Riwayat Hidup
             John Dewey sangat terkenal sebagai seorang tokoh pendidikan. Selain itu, beliau dikenal sebagai seorang filsuf, psikolog dan politikus. Ia mulai dikenal sebagai  tokoh dalam dunia pendidikan ketika ia membuka sebuah sekolah laboratorium tahun 1886. Setelah itu menyusul usaha-usaha lainnya, seperti mendirikan sebuah institute, yaitu Sekolah dan Masyarakat (The Society and the School), mendirikan sebuah serikat para professor di Amerika.
            Perjuangan penting dalam dunia pendidikan yang diusahakannya adalah menyatukan teori dan praktek lewat teorinya yang terkenal, yaitu  Learning by Doing, yang senantiasa  berorientasikan kemasyarakatan. Untuk mengejahwantahkannya dalam pendidikan,maka pendidikan anak dikembangkan menurut bakat, potensi, minat yang berorientasi pada proses.
            John Dewey dilahirkan di Burlington, Amerika Serikat pada tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1879, ia menamatkan studinya pada Universitas Vermont pada tahun 1882 ia melanjutkan studinya pada Universitas John Hopkins. Setelah tamat tahun 1884, ia langsung menjadi asisten professor filsafat pada Universitas Mineseto.
            Semenjak tahun 1889, Dewey mulai dikenal di seluruh dunia, berkat keberhasilan usaha dan karyanya dalam bidang pendidikan. Usaha-usaha seperti mendirikan sebuah lembaga kerja sama The Society and The School, mendirikan sebuah sekolah laboratorium dari tahun 1896-1904, menjadi kepala perhimpunan psikologi Amerika sejak tahun 1904-1906.
            Sejak tahun 1917, John Dewey mulai berkiprah dalam dunia politik, di mana pada tahun 1929 ia diangkat menjadi Ketua DPR di Washington. Setelah itu ia diangkat menjadi Ketua Liga untuk Demokrasi Industri (League Industrial Democracy) sampai beliau meninggal pada tanggal 1 Juni 1952.
7.5.2.  Latar Belakang Kehidupan Sosial
            Seluruh konsep pendidikan John Dewey sangat dipengaruhi oleh situasi masyarakat, dunia pendidikan pada zamannya serta pandangan historisitas zaman antik Yunani.
7.5.2.1.  Historisitas Zaman Antik Yunani
            Dari sudut social John Dewey berpendapat bahwa ada pertentangan antara kebudayaan liberal dan kebudayaan profesional yang mencirikan kehidupan manusia. Pendapat ini dilatabelakangi oleh historisitas zaman antik Yunani. Di mana pada zaman itu, pembagian kota berada dalam kelas-kelas atau hirarki, yang lain memiliki hak privelese, terdapat tuan-tuan tanah yang kaya raya, sementara terdapat pula hamba-hamba. Ada pula kelompok-kelompok elit terdidik yang mampu membuat kebijakan  dan rencana, tetapi ada juga manusia-manusia budak yang hanya tahu menjalankan  tugas atau kerja berdasarkan rancangan orang lain.  Dengan itu berarti daya kreatif manusia dimatikan.
            Dalam hubungan dengan faktor social, John Dewey juga menolak pola pikir E. Durkheim yang mengatakan bahwa cita-cita social dipenetrasikan dalam kesadaran individu lewat paksaan walau tidak sadar dijalankan oleh masyarakat. Menurut John Dewey, antara pertumbuhan masyarakat dan perkembangan individu terdapat saling ketergantungan yang timbal balik. Masa kanak-kanak dan masa muda tidak merupakan suatu periode negative murni  dalam kehidupan, yang ditempatkan saja dalam perlindungan orang dewasa, yang juga tidak berarti suatu kepastian anak yang dibentuk dari luar, melainkan menampilkan potensi positif dan aktif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak kepada kemajuan masyarakat.
7.5.2.2.  Perkembangan Industri  Modern Kota
            Pada waktu itu di kota telah berkembang industri modern. Hal ini menarik minat masyarakat pedalaman untuk berpindah ke kota, sementara mereka sendiri belum memiliki keterampilan untuk memanfaatkan  peralatan-peralatan industri tersebut. Di daerah pedalaman yang mereka tinggalkan, kebanyakan memiliki perusahan kecil dan sederhana (perusahan rumah tangga). Seluruh anggota keluarga ikut bekerja dalam perusahan rumah tangga tersebut. Hal ini tentu karena ada kerja sama, rasa tolong menolong, keinginan untuk menyelidiki sesuatu, rasa kemasyarakatan dan rasa tanggung jawab antara anggota keluarga.
            Pengaruh perkembangan industri tersebut, keadaan kehidupan masyarakat kota menjadi sangat industrialistis. Hal ini mengurangi relasi sosial antar mereka, rasa kerja sama semakin menurun, demikian juga sikap tolong menolong. Selain itu juga menghilangkan industri-industri kecil di pedesaan. Bersama dengan itu, lenyap pula faktor-fakor pendidikan yang turut membentuk watak manusia seperti kerja sama, gotong royong dan kekeluargaan.
            Karena situasi tersebut, John Dewey menjadikan sekolahnya sebagai sekolah kerja yang  dapat menghidupkan kembali rasa kerja dan tolong menolong. Kerja sama dan tolong menolong inilah yang dijadikan guidance principle dari sekolah Dewey.
7.5.2.3.      Pertentangan antara Teori dan Praktek
            Pendidikan yang berkembang zaman itu lebih menekankan  teori dari pada praktek. Hal ini membawa konsekuensi bagi guru dan siswa itu sendiri. Siswa menjadi pasif dan tidak bebas berkomunikasi serta mengungkapkan diri. Sedangkan  bagi pendidik sendiri, siswa dipandang  sebagai papan tulis kosong  yang siap ditulis oleh guru. Dalam arti siswa dijadikan sebagai obyek yang mati tanpa kreasi. Atas dasar itu, guru berusaha menyalurkan teorinya sebanyak mungkin.
7.5.3.  Pengertian dan Beberapa Gagasan Pendidikan Dewey
7.5.3.1. Pengertian
            Pendidikan merupakan suatu proses dan bukan merupakan hasil. Proses pendidikan itu harus dibimbing ke dalam aneka  kegiatan serta  diarahkan pada maksud hidup bermasyarakat. Pendidikan sebagai proses  harus menyusun ulang pengalaman serta memberinya nilai  yang lebih sosial dalam pribadi  anak secara tepat guna.  Pendidikan  sebagai proses, memiliki beberapa tahap penting, yaitu:
1.         Pendidikan sebagai proses: Meletakkan  arti bagi pendidikan itu sendiri dalam proses. Konsep ini sebetulnya mau menepis pola lama yang menyatakan bahwa pendidikan  dimulai apabila seorang  mengawali pendidikannya pada jenjang tertentu dan berakhir pula pada jenjang tertentu dari suatu institut pendidikan. Sedangkan menurut pandangan baru menurut Dewey, pendidikan itu dimulai sejak  seorang anak baru dilahirkan dan berlangsung hingga akhir hidupnya. Atau dengan kata lain: Long life education sehingga dalam sekolah Dewey tidak menetapkan sistem pendidikan  sebagai satu persiapan untuk hidup;
2.         Tujuan pendidikan.
a.       Tujuan pendidikan ditemukan  dalam proses pendidikan itu sendiri. Karena tujuan pendidikan tetap mengacu pada proses perbaikan, pembaharuan serta organisasi pengalaman. Karena itu tidak ada satu tujuan terakhir yang dicapai setelah  menyelesaikan suatu tugas belajar. Pendidikan akan terus berjalan  hingga berhenti mengajar.  Sehingga  tujuan pendidikan yang cocok bagi peserta didik hanya  dapat ditentukan oleh keberadaan anak itu sendiri dan bukan oleh sekolah;
b.      Alasan lain yang menyangkal adanya tujuan akhir dari pendidikan ialah sangat mustahil bahwa dapat ditentukan  secara fungsional tujuan untuk seorang anak. Keberadaan anak hanya dapat dipengaruhi oleh situasi  dan masanya. Karena dalam kenyataannya, seorang anak tidak dapat memikirkan  akan masa depan: ”kapan saya akan menjadi manusia” (when I will be a man). Hal ini bisa dimengerti mengingat proses pendidikan  memiliki  rantai unitas dan  berkesinambungan selama hidup. Sehingga proses pendidikan diidentikan dengan proses hidup.
7.5.3.2. Faktor-Faktor Penting dalam Pendidikan
            Dalam proses pendidikan ala Dewey terdapat dua faktor utama, yakni Pertama, faktor individual. Pendidikan seorang anak dimulai dengan aktivitas tertentu. Jika anak tidak mampu beraktivitas secara normal, maka secara tidak normal pula anak tidak mampu melaksanakan kegiatan pendidikan di sekolah. Pendidikan di sini harus dimulai dari pandangan psikologis yang meliputi kapasitas, kemampuan, minat, bakat dan kebiasaan anak yang mempunyai kecenderungan untuk merealisasikannya secara nyata. Hal ini dapat dimungkinkan bila anak dibimbing  ke dalam latihan yang berhubungan dengan situasi sosial masyarakat. Karena sifat-sifat anak diperoleh dalam dan melalui aktivitas sosial.
            Selanjutnya Dewey menyebutkan empat macam minat dasar dari basis pendidikan: minat dalam percakapan dan berkomunikasi, minat dalam bertanya atau berkeinginan untuk menemukan sesuatu hal, minat untuk menciptakan sesuatu yang bersifat konstruktif, dan minat dalam mengungkapkan sesuatu hal yang seni atau ekspresi sosial.  Menurut Dewey, minat bahasa merupakan bentuk yang paling sederhana dari ekspresi sosial anak sehingga bahasa diasumsikan  sebagai yang paling terkenal dari semua sumber pengetahuan.
Kedua, menurut Dewey setiap individu tidak bisa terlepas dari masyarakat. Umat manusia adalah satu organisme yang memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai  dengan apa yang telah dikembangkan  atau dihantar ke dalam aktivitas fungsional dalam hubungannya dengan masyarakat.  Di lain pihak, masyarakat bukanlah suatu perjubelan individu secara bersama dalam satu organisme. Masyarakat merupakan satu kesatuan individu, kesatuan kehidupan, kegiatan-kegiatan dan fungsi sosial yang diperoleh melalui individu-individu. Interaksi, relasi, hubungan sosial merupakan faktor-faktor sentral dalam evolusi kegiatan-kegiatan manusia. Tanpa ada hubungan dengan masyarakat, tak seorangpun akan mampu mengembangkan kemampuannya. Pengetahuan juga memiliki kemampuannya hanya karena ada pengertian sosial. Untuk itu sekali lagi bahasa merupakan sarana yang sangat diperlukan  dalam hubugan sosial.
7.5.3.3. Kehidupan Sosial dan Kemampuan Anak
            Situasi sosial khususnya keluarga berkepentingan dalam mengaktualkan aktivitas anak sesuai kemampuannya. Sesua pernyataan ini, Dewey berpendapat bahwa pendidikan yang benar berasal dari daya dorong kemampuan anak yang dihadapkan pada situasi sosial. Anak perlu diikutsertakan  dalam kegiatan rumah sebab dengan itu anak menemukan kegiatan-kegiatan yang memiliki arti sosial atau kepuasan hati baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama.
            Pada permulaan hidupnya, kemapanan anak belum dikembangkan. Mereka berekspresi dan berkembang jika mereka turut memainkan peranan dalam hubungan dengan orang lain. Karena dengan mengikutsertakan mereka ke dalam hubungan sosial, kemampuan anak dapat dikembangkan.
            Konsep-konsep penting Dewey tentang hidup sosial dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pengaruh filsafat Hegel yang melihat masyarakat sebagai organisme, studi doktoralnya pada Universitas John Hopkins menghantarnya pada konsep tentang evolusi sosial, dan studinya tentang revolusi industri dan hubungannya dengan kehidupan individualisme Amerika yang semakin menjadi-jadi menyadarkan bahwa kebutuhan manusia yang terbesar dewasa ini ialah hidup dalam semangat kerja sama.
7.5.3.4. Sekolah Sebagai Sarana Sosial
            Biasanya konsep tentang sekolah diartikan  sebagai tempat bagi anak untuk belajar beberapa keterampilan dan memperoleh berbagai informasi pendidikan bagi pemenuhan kebutuhannya sebagai manusia. Bagi Dewey, sekolah lebih merupakan institusi pokok bagi masyarakat. Sekolah bukan semata sebagai sarana temporal tetapi sekolah selalu dilihat sebagai satu kepentingan absolut bagi proses sosialisasinya individu.
            Bagi Dewey, industri dilihat sebagai perampokan terhadap peran industri rumah tangga. Tetapi di lain pihak, industri juga memiliki nilai positif, yaitu memiliki arah pengertian sosial dan pengetahuan di mana kegiatan-kegiatan industri merangsang kreativitas anak. Karena melalui hubungan dengan aktivitas-aktivitas ini, inteligensi anak dihidupkan, dan melalui partisipasi anak, maksud dan tujuan hidup sosial dilatih. Karena itu, kesibukan sekolah yang terutama adalah mendidik anak untuk bisa ”bekerja sama dan hidup saling menolong”.
7.5.4. Metode yang Dipakai
            John Dewey adalah seorang filsuf yang menganut filsafat pragmatis. Karena kepragmatisannya, Dewey menekankan pertama-tama bukan teori melainkan kerja dan pengalaman serta berpikir sebagai titik tolak metode pendidikannya. Ketiga unsur ini saling berkaitan satu sama lain secara timbal balik.
7.5.4.1. Metode Learning by Doing
            Metode ini menitikberatkan pada aktivitas anak. Proses pendidikan dijalankan bukan hanya melulu pemberian informasi pengetahuan atau teori tetapi lebih pada pembinaan atau skill yang dapat menunjang dalam kehidupan selanjutnya.
7.5.4.2. Metode Proyek
            Metode ini juga termasuk metode problem solving yang digunakan sebagai suatu kegiatan pemecahan masalah. Adapun proses penyelesaiannya adalah: Pertama, murid-murid harus benar-benar tertarik pada kegiatan atau pekerjaan yang edukatif. Kedua, murid harus menemukan dan memecahkan kesukaran atau masalah yang dihadapinya. Ketiga, mengumpulkan data-data melalui ingatan, pikiran dan pengalaman pribadi atau penelitian. Keempat, menentukan cara pemecahan kesukaran atau masalah. Kelima, mencari cara terbaik pemecahan masalah melalui penerapan dalam pengalaman percobaan atau keinginan sehari-hari.
            Ada pun yang menjadi tujuan metode proyek, yaitu: Pertama,memberi kesempatan kepada seseorang untuk hidup dan menyelesaikan diri dengan masyarakat. Kedua, supaya anak mendapat  pengalaman langsung sehingga dapat berpikir kritis dan produktif serta berkelakuan susila.
7.5.4.3. Metode Eksperimen
            Metode ini digunakan pada waktu memperlihatkan suatu proses untuk mengambil suatu kesimpulan sendiri melalui kegiatan tertentu. Maka sangatlah perlu pengajaran melalui latihan-latihan dan percobaan-percobaan seperti kegiatan bertukang, memasak, laboratorium, berpolitik dan kegiatan hidup sosial.

7.5.4.4. Metode Problem Solving
            Melalui metode ini, anak-anak dihadapkan dengan masalah-masalah, lalu anak-anak disuruh untuk memecahkan sendiri sampai mendapat kesimpulannya. Dasar dari metode ini adalah mendorong anak untuk berpikir secara sistematis.
            Sehubungan dengan metode ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: Pertama, Dewey menyuburkan dan mengembangkan kreativitas anak serta kerja sama antar anak. Oleh karena itu, kursus dan lokakarya perlu mendapat perhatian. Sehingga diharapkan uotputnya menjadi manusia yang siap pakai di lapangan. Kedua, sistem pendidikan yang diterapkan Dewey dan metodenya bersumber pada filsafat pragmatis. Aliran ini bersumber pada manusia dan anak.
7.6. KI HAJAR DEWANTARA
7.6.1.  Riwayat Hidup
            Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta, tanggal 18 Mei 1889, sebagai putra dari KPH Suryaningrat dan cucu Paku Alam III. Nama yang yang asli adalah R.M. Suwardisuryanigrat. Namun pada umur 39 tahun digantikan namanya  dengan Ki Hajar Dewantara. Ia mendirikan perguruan Taman Siswa, yang didirikan pada tahun 1922.
7.6.2. Pendidikannya
            Setelah tamat ELS ia melanjutkan pelajarannya ke Stivia. Dan setelah ia tinggalkan sekolah ini, ia masuk dalam gelanggang politik. Selama dieksternir ke Belanda ia belajar soal-soal pendidikan dan pengajaran secara mendalam.
7.6.3. Perjuangan Sebelum dan Sesudah Mendirikan Taman Siswa
7.6.3.1. Sebelum
            Sebelum memasuki lapangan pendidikan, terlebih dahulu ia berjuang di bidang politik sehingga pada tahun 1912 ia bersama M.R. Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo mendirikan satu partai politik, yaitu Indische Partai (IP) yang bersifat revolusioner. Pada tahun 1912 mereka berdua mendirikan Komite Bumi Putra sebagai aksi protes  terhadap adanya perayaan memperingati  kemerdekaan Nederland 100 tahun yang dirayakan di negara Indonesia. Tak lama kemudian, keluarlah brosur yang berjudul ”Seandainya Aku Seorang Belanda” (Als Cens Cen Nederlands Was). Yang isi singkatnya mengungkapkan bahwa tidak selayaknya bangsa Indonesia yang ditindas Belanda ikut merayakan kemerdekaan bangsa yang menindasnya.
            Karena dianggap sangat tajam sindiran, maka ia  diinternir Belanda ke Bangka. Tetapi atas permintaan sendiri maka ia dieksternir ke Belanda semala 4 tahun. Lalu kemudian kembali ke Indonesia. Sekembalinya, ia masuk lagi dalam kancah politik tahun 1919, yaitu menjadi Sekretaris Nasional Indische Partai (NIP) yang diorganisir oleh Dr. Cipto Mangunkusumo, sekaligus  menjadi redaktur ketiga majalah NIP (De Beweging). Persatuan, Hindia, dan Penggugah. Karena terasa kian kejamnya pemerintahan Belanda, ia meninggalkan dunia politik, lalu meleburkan diri  dalam bidang  pendidikan di sekolah Adi Dharma miliki kakaknya, R.M. Suryopranoto tahun 1921.
7.6.3.2. Setelah Mendirikan Taman Siswa
            Taman Siswa didirikan pada tanggal 34 Juli 1922. Mulanya bernama Onderwijs Institut, Taman Siswa. Di Yogyakarta lalu menjadi Perguruan Kebangsaan Taman Siswa. Mulanya hanya dibuka untuk taman kanak dan kursus guru. Dalam perkembangannya banyak mendapat tantangan.
Pertama, tahun 1924, dikenai pajak rumah tangga. Melihat kondisi seperti ini, K.H. Dewantara menjadi sangat tidak setuju. Dia tidak membayar pajak, lalu akhirnya barang-barang Taman Siswa di lelang di depan umum. Tetapi karena ia protes keras, maka barang-barangnya dikembalikan.
Kedua, pada tanggal 17 Agustus 1932 muncul ordinansi sekolah liar, yaitu sekolah partikelir. Sebelum mengajar harus ijin terlebih dahulu, dan isi pelajarannya tidak boleh melanggar aturan negeri. Aturan ordinansi itu ditantang K.H. Dewantara hingga batal tahun 1933.
Ketiga, muncul tipu muslihat berupa larangan mengajar (Onderwijs Verbod 1934-1936). Selama setahun, Taman Siswa ditutup, dan banyak gutu Taman Siswa  menjadi korban.
Keempat, pada bulan Februari 1935, Taman Siswa mendapat lagi cobaan. Pemerintah kolonial menetapkan tunjangan hanya diberikan kepada pegawai negeri yang anaknya sekolah pada Sekolah Negeri, Sekolah Partikelir yang mendapat subsidi, dan sekolah-sekolah lain yang mendapat hak memakai salah satu nama seperti HIS, FOLKS, SCHOOL, dan lain-lain.
Kelima, perjuangan menentang pajak. Di Taman Siswa, tidak ada majikan dan buruh tetapi berdasarkan atas kekeluargaan. Tuntutannya berhasil, sehingga guru-guru dibebaskan dari pajak upah.
            Pada jaman Jepang, dikeluarkan  peraturan bahwa sekolah partikelir yang berhak dibuka hanyalah sekolah kejuruan, kecuali sekolah guru. Dalam perjuangannya, akhirnya K.H. Dewantara bergabung dengan Bung Karno dan Moh. Hatta serta Ki Mansoer, yang dikenal dengan empat serangkai.
            Pada tahun 1944 K.H. Dewantara diangkat menjadi Kepala Kebudayaan (Nai Mubu Buukyoku Sanjo). Selanjutnya pada zaman Indonesia merdeka berturut-turut menjadi Menteri PPK, anggota dan wakil ketu DPA, anggota Parlemen, dan mendapat gelar Doktor Honoris Causa (Doktor Kehormatan) dalam ilmu Kebudayaan dari Universitas Gajah Mada pada tanggal 19 Desember 1956.
7.6.4. Latar Belakang Kehidupan Sosial
            Masa muda K.H. Dewantara dipengaruhi oleh suasana kesusasteraan Jawa, agama Islam serta pembicaraan tentang Hindu oleh ayahnya. Dia juga memiliki tokoh idola. Tokoh pahlawan yang dipujanya adalah Yudistira dalam Mahabarata, lambang perdamaian dan cinta kasih dari Sri Krisna, penjelmaan Wisnu yang bijaksana serta guru politik yang cerdas.
            Jiwa mereka bersikap menentang ditampilkan  padanya sejak masa kanak-kanak, yakni ia suka bermain  dengan anak rakyat dan suka mengadakan  perkelahian  dengan anak Belanda. Setelah tamat sekolah Belanda, yakni sekolah rendah berbahasa Belanda (ELS) kemudian  Suwardi masuk menjadi pelajar Sekolah Dasar (STOVIA) di Batavia tahun 1903-1909. keadaan intern Stovia ini mendorong K.H. Dewantara untuk terjun ke dunia politik. Banyak peraturan Stovia yang tidak memuaskan pada pelajar, seperti: larangan memakai pakaian seragam ala Eropa, khususnya pakaian seragam sekolah dan larangan merayakan Idul Fitri.
            Dengan demikian muncullah kesadaran nasional.  Tahun 1908, Suwardi terpaksa keluar dari Stovia karena biaya tidak mencukupi. Hal ini tidak membuat ia putus asa, tetapi terus berjuang. Kemudian ia berkecimpung dalam dunia kewartawanan terlebih pada saat pembuangan ke negeri Belanda. Bakat mengarang yang ada padanya merupakan senjata untuk menyebarkan cita-cita politik nasional. Salah satu karyanya yang terkenal Andaikata Aku Seorang Belanda. Ia menyindir penjajah karena bertindak tidak adil. Dari kegiatannya menjadi ahli politik praktis mendorong ia juga menjadi aktivis budaya.
            Untuk menjadi pendidik dan pengajar yang baik, Suwardi belajar lagi untuk mendapat akte Eropa yang sangat sulit didapat waktu itu. Dalam masa pembuangan, ia memiliki kesempatan untuk mempelajari masalah-masalah pendidikan dan berhasil merumuskan program pengajaran nasional di Indonesia.  Sekembalinya ke Indonesia, ia mendirikan Perguruan Taman Siswa yang berarti ia mengesampingkan  masalah revolusi. Meskipun demikian K.H. Dewantara berhasil mewujudkan keinginan bangsanya, karena usaha untuk mendidik angkatan muda merupakan bagian penting dari pergerakan Indonesia dan juga merupakan dasar usaha perjuangan meningkatkan derajat rakyat.
            Lembaga Pendidikan Taman Siswa  selalu dihubungkan dengan politik karena: Pertama, berdirinya Taman Siswa merupakan tantangan terhadap politik pelajaran kolonial dengan mendirikan pranata tandingan. Kedua, kedudukannya sebagai tempat swadaya anggota partai politik dan secara tidak langsung memupuk kader-kader bangsa Indonesia untuk masa datang. Ketiga, perlawanan terhadap asasi dengan pemerintah penjajah.
7.6.5. Gagasan Dasar K.H. Dewantara
            K.H. Dewantara adalah  seorang tokoh pendidikan Indonesia. Dengan didirikannya Perguruan Taman Siswa maka menjadi sumbangan yang sangat bermanfaat bagi perjuangan bangsa Indonesia. Pentas sejarah yang merupakan ruang lingkup kegiatan taman siswa menjadi pola pikirnya menuju kemerdekaan, sampai terbinanya negara RI yang merupakan perkembangan  sejarah pemikiran tentang bangsa, negara dan usaha-usaha kesejahteraan bangsa serta rakyat di kemudian hari. K.H. Dewantara mempunyai suatu gagasan dasar yang sangat diwarnai situasi seperti yang dilukiskan di atas. Dan gagasan itu ialah Pendidikan  Berdasarkan  Kesadaran  Kebangsaan dan Kebudayaan. Taman Siswa  dan programnnya menekankan  nasionalisme kebudayaan yang menjadi aliran jiwa yang bercorak religi. Perguruan Taman Siswa yang berlandaskan budaya nasional ini berisikan unsur-unsur sebagai berikut:
7.6.5.1. Dasar Falsafanya
Pertama, kodrat alam. Bahwa pada hakekatnya manusia adalah makhluk Tuhan satu dengan  kodrat alam ini. Ia tak dapat lepas dari kehendaknya tetapi mengalami kebahagiaan bila menyatukan diri dengan kodrat alam yang  mengandung kemajuan. Kemajuan itu ialah kemajuan yang digambarkan dengan benih-benih satu pohon yang kemudian berkembang menjadi besar dan akhirnya hidup dengan yakin bahwa tumbuh dengan benih-benih baru yang akan disebarkan.
Kedua, dasar kemerdekaan. Harus diartikan disiplin pada diri sendiri atas dasar nilai hidup yang tinggi baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota mansyarakat. Maka masyarakat harus menjadi alat yang dapat mengembangkan pribadi yang kuat  serta sadar dalam suasana dan pertimbangan  serta keselarasan dengan masyarakat, tertib, damai, di tempatnya.
Ketiga, dasar kebangsaan. Taman Siswa tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan. Malahan menjadi bentuk dan dasar kemanusiaan yang nyata. Merasa satu dengan  bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka, satu dalam kehendak menuju kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa.
Keempat, dasar kebudayaan. Taman Siswa tidak berarti asal memelihara kebudayaan bangsa, tetapi pertama-tama membawa kebudayaan bangsa itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Kemajuan dunia dan ketertiban manusia lahir batin pada setiap keadaan zaman.
Kelima, dasar kemanusiaan. Bahwa kehidupan setiap manusia itu adalah mewujudkan kemanusiaan, yakni kemajuan dan kesejahteraan lahir dan batin yang setingginya.  Kemajuan manusia yang tinggi dapat dilihat pada hati orang  dan adanya rasa cinta kasih terhadap makhluk Tuhan seluruhnya. Karena dasar cinta kasih kemanusiaan itu harus nampak pula sebagai kesimpulan untuk berjuang melawan sesuatu yang merintangi kemajuan.
7.6.5.2. Tujuannya: Hidup Tertib dan Damai
7.6.5.3. Isinya: Mengutamakan Kebudayaan
7.8.5.4. Iramanya: Tut Wuri Handayani. Suatu kewajiban bagi guru untuk berperan sebagai pemimpin yang berdiri di belakang, tetapi mempengaruhi, dengan memberi kesempatan kepada anak-anak didik untuk mewujudkan diri sendiri. Dan semboyan ini telah diterima dan dikaitkan  dengan lambang  Depdikbud dewasa ini.
7.6.6. Pengertian menurut K.H. Dewantara. Mendidikan adalah menuntun segala kekuatan  yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat  dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
7.6.7. Metode dan Asa yang dipakai K.H. Dewantara
7.6.7.1. Metode
            Metode yang dipakai oleh K.H. Dewantara  ialah Metode Montessori-Tagore. Unsur Metode Montessori-Tagore yang diambilnya adalah memelihara suasana kebebasan dan menghormati karakter individualitas. Tentang Metode Montessori-Tagore pandangan K.H. Dewantara adalah pembongkaran dunia pendidikan lama paserta membangun aliran baru, di mana sesuai dengan aliran kita yang sesungguhnya diangkat dari adat yang hidup dalam masyarakat kita yang disebut: Cultural National. Montessori- Tagore, keduanya berpendapat bahwa pendidikan dan pengajaran di Eropa sungguh sangat menyuburkan intelek, tetapi mematikan perasaan. Oleh karena itu, membalikkan manusia dari derajat budi menjadi mesin belaka. Kedua ahli ini hendak melepaskan ikatan-ikatan yang menyempitkan manusia serta menurunkan derajat kemanusiaan itu. Keduanya hendak memerdekakan manusia. Di mana rakyat di Barat itu sudah lama menantikan datangnya pemimpin-pemimpin dunia, yang dapat mengembalikan zaman ke arah keselamatan dan ketenteraman.  Timbulnya kedua aliran pendidikan ini, menggoncangkan dunia barat.
            Perbedaan aliran Montessori dan Tagore adalah terletak oada tujuan. Kehidupan kanak-kanak khususnya mengenai jasmaninya, teristimewa hidup panca indera, sesungguhnya berorientasi pada kecerdasan budi, akan tetapi hidup batin menurut Montessori  itu semata-mata bersifat psikologis. Tagore membentuk sistem pendidikan kanak-kanak semata-mata sebagai alat  dan sarat untuk memperkukuh hidup kemanusiaan dalam arti yang sedalam-dalamnya.
            Menurut K.H. Dewantara, pada tahun pertama anak didik sebanyak mungkin dibiasakan dengan suasana rumah tangga dan lingkungan sendiri. Dasar-dasar dan alam pikiran sendiri ditanamkan sekuat-kuatnya  melalui menyanyi dan bermain-main sebelum ke tingkat sekolah  lebih tinggi.  Dan pendidikan diberikan untuk mengarahkan anak-anak memiliki rasa kebebasan dan bertanggung jawab, berkembang secara merdeka dan menjadi orang yang serasi serta terikat erat dengan milik kebudayaan sendiri.
7.6.7.2. Asas-Asas yang Dipakai
            Perguruan Taman Siswa berisi tujuh pasal yang dapat diringkas sebagai berikut:
1.         Pasal 1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang  untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan dalam pelaksanaan maka itu merupakan usaha mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikir dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan mencapai tertib damainya hidup bersama. Dalam pasal 1, terdapat pula dasar kodrat alam yang  diterangkan perlunya ketertiban agar kemajuan sejati dapat diperoleh dengan perkembangan kodrat yang terkenal dengan evolusi;
2.         Pasal 3 menyinggung  kepentingan sosial, ekonomi dan politik. Kecenderungan bangsa kita untuk menyesuaikan  diri dengan hidup dan kehidupan kebarat-baratan akan menimbulkan kekacauan. Sistem pengajaran yang timbul dianggap terlalu mementingakan kecerdasarn berpikir yang melanggar dasar-dasar kodrat yang terdapat dalam kebudayaan sendiri sehingga tidak menjamin keserasian dan dapat memberikan kepuasan. Inilah yang disebut kebudayaan;
3.         Pasal 4 mengandung dasar kerakyatan. Pernyataan tidak ada pengajaran bagaimanapun juga tingginya dapat berguna apabila hanya diberikan kepada sebagian kecil orang dalam pergaulan hidup. Daerah pengajaran harus diperluas, menjadi pelaksana wajib belajar bagi segenap mereka yang  sudah waktunya mendapat pengajaran;
4.         Pasal 5 merupakan asas yang paling penting bagi semua orang yang  sudah waktunya mengejar kemerdekaan hidup sepenuh-penuhnya. Pokok dari asas ini adalah percaya pada kekuatan sendiri untuk tumbuh dan berkembang;
5.         Pasal 6. Berisi persyaratan dalam mengejar kemerdekaan diri  dengan jalan  keharusan untuk memenuhi segala kebutuhan;
6.         Pasal 7 mengharuskan adanya keiklasan lahir batin bagi anak didiknya. Sesungguhnya persyaratan asas di atas merupakan perpaduan pengalaman K.H. Dewantara tentang aliran pendidikan barat dan aliran kebatinan yang mengusahakan kebahagiaan diri, bangsa dan kemanusiaan.










[1] Aristoles, Metaphysics, I,1.
[2] P. Leenhouwers, Manusia dan Lingkungannya, Gramedia, Jakarta, 1988, pp. 4-6
[3] B. Mondin, Introduzione alla Filosofia, Milano: Editrice Massimo, 1990, pp. 10-14
[4] V. Mathieu, “Filosofia” dalam Dizionario delle Idee , Firenze; Sanson, 1997, pp. 425-426
[5] Kata kritik berasal  dari kata Yunani, Krinein yang berarti  menilai, mengapresiasi, memilah-milah dan membedakan  yang benar  dari  yang salah, yang baik dari yang buruk dan yang otentik dari yang palsu dan bukan sekedar  mencerca  orang seperti biasa kita bayangkan kalau mendengar kata kritik. Sering dibedakan antara kritik yang konstruktif dan kritik yang desturktif, tetapi dalam arti asli kata kritik lebih dekat kepada kritik yang  konstrukrif. Kritik yang dimaksud di sini adalah suatu  bentuk  komunikasi sambung nalar yang bertujuan  untuk mempertanggungjawabkan secara argumentatif semua pernyataan dan tindakan kita.  Dengan demikian sedapat mungkin dibatasi  upaya untuk  menyelesaikan  segala persoalan hanya pada taraf komunikasi sambung rasa yang sering  hanya mempertenggangkan dalam mengambil keputusan.
[6] Prinsip (Latin: principium, Yunani: arkhe) berarti awal, titik tolak  dari mana sesuatu berasal, Prinsip juga berarti sebab, alasan jadinya sesuatu yang baru.
[7] L. Bagus, Metafisika, Gramedia, Jakarta, 1991, p. 8
[8] F. Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, 1993, pp. 130-131
[9] Frans Magnis Suseno, “Ideologia”, dalam Dizionario delle Idee, Firenze: Sansoni, 1977, p 512
[10] Frans Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks, Jakarta, Gramedia, 1992, pp. 20-23
[11] P. Gilbert, La Semplicita del Principio, Alba: Piemme, 1992, pp. 77-78
[12] Suatu aliran yang agak lengkap dalam Bahasa Indonesia  tentang Metode filsafat dibaca dalam Anton Bakker, Metode-metode filsafat,, Jakarta; Ghalia Indonesia, 1984
[13] H. Hamersma, Pintu Masuk ke Alam Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1993,pp. 14-15
[14] N. Drikarya, Kumpulan Karangan tentang  Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1980, pp. 37-41
[15] P. Feire mengungkapkan  kedua sikap esktrem ini dengan nama objektivisme materialistis yang kasar dan solipsisme. Dalam sikap yang pertama, unsur subjek  ditindas dan  diabaikan. Dalam  sikap yang  kedua realitas objektif  di luar subjek  dianggap tidak ada dan tidak berarti. Bdk. Paulo Freire, Pendidikan  Sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta: Gramedia, 1984, pp. 114-115
[16] N. Driyarkarya, Op. Cit., pp. 81-86
[17] B. Mondin, Op. Cit., pp. 132-137
[18] A. Bakker, Filsafat Pendidikan, (ms), 1977
[19] Muhamad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya; Usaha Nasional, 1986, pp. 51-52
[20] Kerangka dasar pokok ini didasarkan  pada uraian John S. Brubacher, A History of The Problems of Education, New York and London, McGraw –Hill Book Company, Inc. 1994, pp. 96-112
[21] Teori Sokrates ini juga diperjelas oleh kata kerja Latin educare, yang berarti ”membawa keluar”. Dari kata Latin ini diturunkan kata kerja Latin lain  yang berarti ”membawa keluar”. Dari kata Latin ini diturunkan kata kerja Latin lain educare yang kemudian menghasilkan  kata-kata  dalam bahasa Barat seperti edukatif dan edukasi.  Kata kerja Jerman  er-ziehen yang berarti mendidik, juga memberikan nuansa arti yang sama.
[22] Ide dasar Paulo Freire ini ditulis dalam bab 2 dan 3  dari bukunya yang terkenal yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1985
[23] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta:Kanisius, 1990, pp. 111-130
[24] Tentang  J.A. Comenius, lihat  Ag. Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, I , Bandung; 1978, pp.  8-16
[25] Immanuel Kant, Ethical Philosophy, Indianapolis, Indiana, Hackett Publishing Company, 1988, p. 36
[26] N. Drijarkara, Pertjikan Filsafat, Jakarta: PT. Pembangunan, 1964, pp. 57-89
[27] Hendry Heynardhi & Avastasia P. (penerj.), Paulo Freire : Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, Yogyakarta : APIRU, 1999, p. 6

3 comments:

  1. ini bisa menjadi referensi bagi mahasiswa jurusan ilmu keguruan

    ReplyDelete
  2. ini bisa menjadi referensi bagi mahasiswa jurusan ilmu keguruan

    ReplyDelete
  3. Terimakasih pak...sangat berguna sekali.

    ReplyDelete