Sunday, January 27, 2013

bahan kuliah TEOLOGI DASAR PRODI TEOLOGI, STKIP ST. PAULUS RUTENG

MATA KULIAH TEOLOGI DASAR
OLEH: PINO JEBARUS, S. FIL
NIDN: 0809068002
PRODI PENDIDIKAN TEOLOGI, STKIP ST. PAULUS RUTENG

BAB I
PENDAHULUAN


            Teologi secara luas didefinisikan sebagai studi sistematis tentang agama. Istilah ini sangat broad term that covers many other areas of study luas yang mencakup banyak bidang studi lain. Under the umbrella of “theology”, we could Di bawah payung "teologi", kita bisa study Sotieriology (the study of Salvation) or Angelogy (the study of Angels).studi Sotieriology (studi tentang Keselamatan) atau Angelogy (studi tentang Angels), dan sebagainya. Teologi adalah pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis dan koheren tentang apa yang diimani sebagai Wahyu Allah atau berkaitan dengan wahyu itu. [1]
            Teologi harus digolongkan dalam kegiatan intelektual manusia yang disebut “tahu” dan “mengetahui”. Akan tetapi, berbeda dengan pengetahuan harian, pengetahuan teologi bersifat metodis, sistematis dan koheren atau bertalian. Ini berarti bahwa teologi merupakan pengetahuan yang bersifat ilmiah. Meski teologi bersifat ilmiah, teologi tidak termasuk ilmu-ilmu empiris. Adapun alasannya yaitu asas pengetahuan teologi tidaklah terbatas pada pengalaman indrawi dan logika sebagaimana halnya ilmu empiris. Pengetahuan teologi bersifat “adi-kodrati” (melebihi daya kodrat insani), karena didasarkan pada wahyu Allah yang diterima manusia dalam iman.
            Apakah yang mendorong manusia untuk tidak hanya menuntut ilmu-ilmu empiris dan filsafat, tetapi juga teologi ? Salah satu unsur yang termasuk pengetahuan harian adalah bahwa kita beragama. Banyak orang diperkenalkan dengan keyakinan dan kelakuan keagamaan tertentu berkat pewartaan yang terjadi di tempat tinggalnya. Pewartaan yang telah disampaikan kepada orang Katolik dan yang telah mereka terima ialah pewartaan Gereja Katolik yang berakar dalam suatu tradisi religius tertentu, yakni tradisi Yahudi- Kristiani. Dengan menanggapi pewartaan itu secara positif, mereka menjadi orang beriman kristiani, warga Gereja Katolik. Sebagai orang yang menganut agama Katolik, mereka mempunyai pengetahuan harian yang bersifat adi-kodrati. Tidak mungkin untuk sampai pada pengetahuan ini bila hanya menempuh jalan yang demi kodrat sudah terbuka bagi manusia, yaitu jalan rasio, sebab pengetahuan tersebut mengatasi kemampuan kodrat insani. Allah sendiri membukakan suatu jalan lain bagi manusia dengan pewahyuan diri-Nya sendiri melalui peristiwa-peristiwa Israel dan terutama melalui “peristiwa Yesus”. Berkat wahyu Allah, manusia dapat mengetahui hal-hal tertentu mengenai Tuhan, dunia, hidup dan mati, baik-buruknya kelakuan yang tidak mungkin diketahui hanya berdasarkan kemampuan insani saja. Pengetahuan harian tentang segala sesuatu yang diwahyukan Tuhan itu merupakan isi iman kristiani.
            Pengetahuan iman bersifat adi-kodrati karena didasarkan pada wahyu Allah yang mengatasi daya kemampuan insani. Sifat adi-kodrati ini tidak hanya berlaku bagi pengetahuan iman dalam hidup sehari-hari, tetapi juga bentuknya yang ilmiah, yakni teologi. Kebenaran yang dicari dalam teologi, yang direnungkan dan diuraikan olehnya bukanlah kebenaran yang dapat dibuktikan secara empiris, bukan pula kebenaran yang dengan sendirinya jelas karena masuk akal, melainkan kebenaran yang diterima dalam iman berdasarkan wahyu Allah. Apa yang diwahyukan Tuhan itu diterima manusia dalam iman karena Tuhanlah yang menyatakannya.
            Teologi Kristiani adalah refleksi ilmiah orang Kristen atas iman yang mereka hayati sebagai orang beragama Kristiani. Teologi bertumbuh dan berkembang di dalam sejarah umat manusia, terutama sejarah Israel dan sejarah Gereja. Karena itu, Ilmu Teologi dapat dikelompokkan atas :
  1. Teologi Dasar atau Pengantar Teologi :
    • Teologi Wahyu
    • Teologi Iman
    • Apologetika
  2. Tafsir Kitab Suci
·         Eksegese Perjanjian Lama
·         Eksegese Perjanjian Baru
·         Teologi Alkitabiah
  1. Teologi Dogma
·         Antropologi Teologis yang mencakupi Protoloi dan Eskatologi serta Soteriologi.
·         Kristologi yang mencakup Pneumatologi dan Trinitas.
·         Eklesiologi yang mencakup Ekumene dan Hubungan Antaragama.
·         Sakramentologi
  1. Teologi Praksis
·         Teologi Moral yang terdiri dari Moral Dasar dan Morak Khusu.
·         Teologi Spiritual yang terdiri dari Asketik dan Mistik
·         Teologi Pastoral
·         Liturgi
·         Teologi Kerigmatik yang mencakup Homiletik dan Kateketik.

Teologi Dasar atau Teologi Fundamental membahas apa yang menjadi dasar (asas atau prinsip) pengetahuan kita di bidang teologi, yakni wahyu dan iman. Selain itu, teologi dasar bertugas juga untuk mempertanggungjawabkan iman terhadap akal-budi dan membelanya terhadap mereka yang menolak atau menyangkalnya. Dilihat dari segi ini, maka Teologi Dasar disebut juga APOLOGETIKA.

































BAB II
PERKENALAN DENGAN TEOLOGI

Tujuan Pembahasan :
            Pokok ini akan menjelaskan definisi teologi, sejarah penggunaan istilah teologi, perkembangan penggunaan istilah teologi, istilah teologi di dunia modern, penggunaan istilah teologi di era modern, istilah teologi dewasa ini, tempat teologi dan pentingnya mempelajari teologi secara sistemati, sumber dan metode teologi, pembagian teologi dan teologi apologetika. Tujuannya agar mahasiswa memahami, mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan teologi pada umumnya.

2.1    Definisi Teologi

Kata teologi berasal dari kata bahasa Yunani, yakni theos yang bearti Allah dan logos yang berarti perkataan, uraian, pikiran atau ilmu. Secara etimologis, teologi berarti ilmu tentang Allah. Teologi dapat dimengerti dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, teologi berarti usaha meneliti iman Kristen dari aspek doktrinnya saja yang sering disebut sebagai Teologia Sistematika. Sedangkan dalam arti luas, teologi mencakup seluruh pokok studi (disiplin ilmu) dalam pendidikan teologi.
Teologi ialah pengetahuan yang rasional tentang Allah dan hubungannya dengan karya/ ciptaan-Nya seperti yang dipaparkan oleh Alkitab. Teologi meskipun tidak memiliki fakta-fakta yang dapat diukur secara empiris (seperti ilmu-ilmu modern sekarang ini), tetapi dapat disebut sebagai ilmu, karena sesuai dengan salah satu definisi "ilmu", teologi adalah suatu usaha untuk memberikan penjelasan tentang Allah, yang diperoleh dari Alkitab (sebagai penyataan Allah yang tidak berubah), dengan cara yang sistematis. Dengan demikian Teologi Kristen memenuhi unsur-unsur ilmu:
a.             Dapat dimengerti oleh pikiran manusia dengan cara teratur dan rasional.
b.            Menuntut adanya penjelasan secara metodologis
c.             Menyajikan kebenaran
d.            Mempunyai nilai yang universal
e.             Memiliki objek yang diteliti
2.2    Sejarah Penggunaan Istilah Teologi

Filo (20 sM.-50 M., seorang Yahudi Helenis dan pemimpin komunitas Yahudi di Aleksandria dan juga seorang pengarang yang produktif menafsiran Pentateukh secara alegori serta menyebut Musa seorang "theologos", yakni seseorang yang berbicara tentang Allah atau seorang juru bicara Allah. Namun, tidak ada bentuk bahasa Yunani yang menunjukkan istilah ini di dalam Perjanjian Lama Septuaginta (LXX) atau di dalam Perjanjian Baru (kecuali sebutan "theologos" di dalam manuskrip Wahyu kepada Yohanes).
Istilah teologi mulai digunakan oleh kaum Apologis (sebuah kelompok kecil para pengarang Yunani abad kedua yang mengadakan pembelaan bagi kekristenan pada masa penganiayaan, fitnahan, dan serangan intelektual). Teologi kadang-kadang "merujuk kepada sesuatu yang ilahi", "sebutan Allah", sebuah makna yang seringkali muncul dalam perdebatan tentang keilahian Kristus (Christology) dan Roh Kudus. Pada tahun 200 M., kedua istilah Yunani dan istilah Latin untuk teologi disesuaikan terjemahannya untuk dipakai dalam pengajaran, biasanya dalam pengajaran Kristen tentang Allah. Athanasius memakai istilah teologia sebagai cara untuk memahami tentang keberadaan Allah, yang dibedakan dengan dunia dan sebagainya, seperti yang dilakukan Agustinus untuk mengajarkan tentang Allah. Sesekali, dalam tulisan-tulisan bapak-bapak gereja istilah teologi merujuk kepada pemahaman yang luas dari doktrin-doktrin gereja. Dalam komunitas-komunitas iman, tidak ada pemisahan antara pengajaran tentang Allah dan pengetahuan (misalnya, pengertian dan pengalaman) tentang Allah. Dalam hal ini, teologia dapat berarti "memuji Allah".
2.3    Perkembagan Penggunaan Istilah Teologi

Istilah "teologi" dipakai oleh para penulis Skolastik (istilah yang digunakan oleh kaum humanis dan pada abad ke-16 digunakan oleh para sejarahwan filsafat untuk menjelaskan pandangan para filosof dan teolog pada abad pertengahan) dan universitas-universitas Baru di Eropa, di mana teologi menjadi sebuah pelajaran yang sangat sistematis, sebuah ladang studi dan pengajaran, bahkan sebagai sebuah disiplin atau sebuah ilmu. Pemakaian istilah teologi tidak sepenuhnya baru -- ini telah dimulai sebelumnya oleh komunitas Yunani Kristen dan beberapa di dalam tulisan-tulisan bapak-bapak gereja, tetapi hal ini masih merupakan bayangan perkembangan teologi sebagai sebuah disiplin akademis yang tidak hanya menjadi bagian dari komunitas Kristen. Pada saat yang sama para pelajar di universitas-universitas memperluas perbedaan antara macam-macam teologia yang beragam, di samping pembedaan umum antara teologi dan filafat, seperti halnya perbedaan antara iman (faith) dan alasan (reason). Walaupun para Reformator secara umum tidak sabar dengan perbedaan yang dibuat oleh para pelajar di universitas-universitas, namun para pendahulunya, pada zaman Konfesional Ortodoksi atau Protestan Skholastisme telah mengadopsi atau mengembangkan sebuah kategori yang luas tentang macam-macam teologi.

2.4    Istilah Teologi di Era Modern

Di era modern, teologi sering dipakai dalam pengertian yang luas dan cakupan yang komprehensif, yang merangkum semua disiplin ilmu, baik di universitas-universitas maupun dalam pelayanan-pelayanan gerejani (contohnya, bahasa alkitab, sejarah gereja, homiletika, dll.). Teologi adalah sebuah disiplin akademik, contohnya, literatur atau fisika. Lebih tepat, istilah teologi merujuk kepada pengajaran tentang Allah dan hubungannya dengan dunia dari penciptaan sampai penyempurnaan (consummation). Pengajaran ini telah dirangkum dalam sebuah catatan rasional yang dibuat secara spesifik oleh seseorang atau lebih dari suatu kualifikasi yang luas, yang mengindikasikan gereja atau tradisi, termasuk Monastik, Katolik Roma, Reformed, Evangelikal, Ekumenikal. Bahan-bahan dasar teologi, seperti alamiah, alkitab, konfesi-konfesi, simbol-simbol (misalnya, didasarkan pada sebuah 'simbol' gereja, yang artinya di sini adalah kredo-kredo, dll.). Teologi mengandung doktrin, seperti doktrin baptisan, doktrin Trinitas, dll. Pusat organisasi atau motif atau fokus teologi, misalnya perjanjian (covenan), liberasi, inkarnasional, feminisme, teologi salib -- masing-masing merujuk kepada lebih dari satu pokok bahasan. Tujuan teologi untuk memberi keputusan bagi pendengarnya, misalnya dalam apologetika, polemik, dll.

2.5    Penggunaan Istilah Teologi “Hari Ini”

Disiplin utama studi teologi hari ini dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, di antaranya, teologi biblika, teologi historika, teologi sistematika, teologi filsafat, teologi pastoral dan teologi praktikal dan yang kurang dikenal secara luas, seperti teologi dogmatika (dogmatic theology), teologi liturgika dan teologi fundamental. Sebenarnya, lebih banyak lagi ragam teologi; setidaknya bersifat konfesional atau mencirikan suatu denominasi.

2.6    Tempat Teologi dan Pentingnya Mempelajari Teologi secara Sistematis

Pertanyaan yang sering timbul adalah kalau Teologi adalah pengenalan tentang Allah dan karya-Nya, bagaimana hubungan Teologia dengan ilmu-ilmu yang lain, seperti musik, filsafat, sosiologi, kedokteran, dan sebagainya? Dengan percaya bahwa seluruh kebenaran adalah berasal dari Allah, maka tidak seharusnya Teologi bertentangan dengan disiplin-disiplin ilmu yang lain, baik itu kebenaran alam, filsafat, musik, dll., bahkan seharusnya mereka akan saling melengkapi.
Karena itu, teologi merupakan suatu disiplin ilmu yang penting untuk dipelajari secara sistematis. Alasannya adalah :
1.      Manusia sebagai mahluk ciptaan yang berasio. Manusia mempunyai kecenderungan untuk berpikir dan mempelajari sesuatu secara sistematis.
2.      Sifat Alkitab sendiri yang menuntut untuk disusun secara sistematis. Kebenaran tersebar secara acak di seluruh bagian Alkitab, sehingga perlu disusun secara sistematis.
3.      Bahaya pengajaran sesat. Untuk memberikan jawaban akan iman kepercayaannya dan sekaligus melawan setiap tantangan dari pengajaran palsu. 1Pe 3:15, Efe 4:14
4.      Alkitab adalah sumber doktrin Kristen. Tugas orang Kristen adalah untuk menjelaskan doktrin-doktrin itu dalam sistematika yang baik dan di dalam konteks yang tepat sehingga dapat menjawab pertanyaan, "Apa yang diajarkan oleh Alkitab kepada kita untuk jaman ini?"
5.      Alkitab adalah pedoman hidup Kristen. Mengerti Teologi bukan hanya sekedar sebagai pengetahuan teoritis, tapi juga sebagai gaya hidup yang berintegritas. 2 Tit 2:24-25; 2 Tit 3:15-16
6.      Keutuhan keseluruhan kebenaran Firman Tuhan yang bersistem sangat dibutuhkan oleh pekerja Kristen yang efektif.

2.7    Sumber dan Metode Teologi

Teologi memiliki tiga sumbernya, yakni :
1.      Alkitab, sebagai sumber yang paling utama yang menjadi otoritas tertinggi dan mutlak bagi iman dan kehidupan Kristen.
2.      Tradisi gereja, khususnya dari Bapak-bapak Gereja, dan perkembangan pengajaran di gereja dari jaman ke jaman, yaitu tentang apa yang diterima/ditolak oleh gereja sepanjang sejarah.
3.      Buku-buku Lain, sumber-sumber lain berasal dari buku-buku yang sudah "jadi" yang dihasilkan oleh teologia biblika, historika atau filosofika untuk dipergunakan sebagai sarana membantu menyelidiki Alkitab dengan lebih sehat.

Sedangkan metode-metode yang digunakan dalam teologi, antara lain :
a.       Metode Charles Hodge Memakai metode induktif, yaitu dengan mengumpulkan fakta-fakta, kemudian ditarik kesimpulan. Alkitab adalah gudang fakta (yang tidak dapat dicerna, disingkirkan, karena tidak diterima oleh rasio).

b.      Metode Karl Barth. Teori Barth mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengenal Allah (karena di luar jangkauan rasio manusia). Oleh karena itu, Allah yang mencari manusia. Imanlah yang membantu manusia untuk bisa bertemu Allah (yang mencari mereka). Karena Allah ada di luar jangkauan manusia, maka Allah menjadi "tersembunyi". Satu-satunya cara manusia untuk menerima kebenaran adalah melalui cara supranatural dan Allah harus menemui manusia langsung, sehingga manusia mempunyai bukti pengalaman tentang Dia. Maka pernyataan teologis harus didasarkan pada pengalaman supranatural itu.

c.       Metode Torrance Ilmu adalah suatu keterbukaan terhadap obyek. Ilmu terjadi karena manusia menaklukkan diri pada obyek penelitiannya yang intrinsik, yang untuk nantinya manusia mampu memberikan penjelasan rasionalitasnya terhadap obyek itu. Teologi juga demikian, meskipun teologi mempunyai jenis rasionalitas sendiri, tidak perlu sama dengan rasionalitas disiplin ilmu yang lain. Teologi yang obyektif adalah sejauh mana teologi tunduk dan terbuka pada obyek penelitiannya. Torrance menyangkal bahwa Obyeknya adalah Allah, karena Allah harus menjadi subyek, maka kalau begitu obyeklah (Allah) yang akan mempertanyakan tentang manusia.

d.      Metode Paul Tillich. Metode yang dipakai adalah Metode Korelasi. Keprihatinannya yang utama adalah bagaimana menyampaikan berita Alkitab kepada situasi dunia kontemporer sekarang ini. Untuk menjawab ini maka pertanyaan-pertanyaan manusia modern itu dihubungkan sedemikian rupa dengan jawaban dari tradisi kristen, sedangkan jawaban-jawabannya ditentukan oleh bahasa filsafat, sains, psikologi dan seni modern. Ia yakin tentu ada kaitan antara pikiran dan problema manusia dengan jawaban yang diberikan oleh kepercayaan dalam agama. Untuk itu, ia menolak jawaban yang supranaturalisme dari fundamentalisme, dan juga menolak naturalisme dari liberalisme. Penekanan metode Tillich adalah pada penggunaan bahasa simbolik religius. Ia yakin bahwa pengetahuan tentang Allah hanya dapat diuraikan melalui penggunaan kata-kata simbolik secara semantik. Tugas kita adalah menterjemahkan simbol religius dalam Alkitab ke dalam suatu urutan atau susunan simbol yang teratur melalui prinsip-prinsip dan metode-metode teologis.

e.       Metode Interpretasi Analitis. Teologi adalah ilmu tentang Allah yang memberikan paparan yang koheren (menyatu, berkaitan, teratur, logis) tentang doktrin-doktrin iman Kristen. Landasan utama yang dipakai dalam metode ini adalah percaya bahwa seluruh Alkitab adalah sebagai Firman Allah, kemudian sebagai respons mau tidak mau kita harus menginterpretasikan (menafsirkan) berita Alkitab ini lalu menterjemahkannya ke dalam bahasa kontemporer yang akan relevan dengan manusia di setiap jaman, budaya dan konteks. Dengan demikian unsur terpenting dalam metode ini adalah penafsiran (karena segala sesuatunya harus ditafsirkan). Penafsiran yang tepat akan menghasilkan produk teologi yang tepat. Untuk itu seorang penafsir harus melakukan hal-hal berikut ini:
1.      Penafsir harus setia pada kebenaran Alkitab sebagai sumber normatif dan tidak mungkin keliru bagi semua manusia (Biblikal).
2.      Penafsir harus memakai sistem penafsiran yang sehat (ilmu Hermeneutiks) yaitu: melihat dari sudut pandang dan maksud orisinil penulis (dilihat dari latar belakang historis, budaya, ekonomi dan gramatikal/bahasanya), lalu hasil penafsirannya itu (dari Kejadian - Wahyu) diteliti, dianalisa dan dipadukan. Kemudian ditarik kesimpulan dan prinsip-prinsip, apa yang sebenarnya Alkitab ingin ajarkan secara keseluruhan bagi kehidupan normatif sepanjang jaman.
3.      Untuk tugas di atas penafsir juga harus melihat dirinya sendiri (latar belakang, dll.) sehingga ia betul-betul terbuka kepada Alkitab dan tidak berbias, mengurangi, atau memanipulasinya. Selain itu, sifat penafsiran ini juga harus sesuai dengan sifat kekinian sehingga dapat diaplikasikan untuk menjawab kebutuhan manusia kontemporer.
4.      Keseluruhan hasil penafsiran ini perlu disusun sedemikian rupa untuk memenuhi standard ilmu (analistis, dengan metode yang tepat dan teratur, sistematik dan diungkapkan dengan bahasa yang jelas). Teologia yang dihasilkan dari penyusunan ini dijamin sifat biblikal, sistematik, kontekstual dan praktikalnya.

2.8    Pembagian Teologi

Teologi dapat dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas,  teologi mencakup seluruh pokok studi (disiplin ilmu) dalam pendidikan teologi. Dalam arti ini, teologi dibagi atas :
a.       Teologi Biblika (Eksegetis): Teologi yang berurusan dengan penelahaan isi naskah Alkitab dan alat- alat bantunya, untuk tujuan menggali, mengerti dan mengartikan apa yang ditulis dalam Alkitab.
b.      Teologi Historika (Sejarah): Teologi yang berurusan dengan sejarah umat Allah, Alkitab dan gereja, untuk tujuan mengikuti dan menyelidiki perkembangan iman/teologi dan sejarahnya dari jaman ke jaman.
c.       Teologi Sistematika (Doktrin Iman Kristen): Teologi yang berurusan dengan penataan doktrin-doktrin dalam Alkitab menurut suatu tatanan logis, untuk tujuan menemukan, merumuskan, memegang dan mempertahankan dasar pengajaran iman Kristen dan tindakan yang sesuai dengan Alkitab.
d.      Teologi Praktika (Pelayanan): Teologi yang berurusan dengan penerapan teologi dalam kehidupan praktis, untuk tujuan pembangunan, pengudusan, pembinaan pendidikan dan pelayanan jemaat dan umat manusia pada umumnya.

Sedangkan dalam arti sempit, teologi berarti usaha meneliti iman Kristen dari aspek doktrinnya saja yang sering disebut sebagai Teologia Sistematika. Dalam arti ini, teologi dapat dibagi atas :
a.       Bibliologi (Alkitab)
b.      Teologia Proper (Allah)
c.       Antropologi (Manusia)
d.      Soteriologi (Keselamatan)
e.       Kristologi (Yesus Kristus)
f.       Pneumatologi (Roh Kudus)
g.      Eklesiologi (Gereja)
h.      Eskatologi (Akhir zaman)

2.9    Teologi Apologetika

Apologetika atau apologetics adalah pembelaan keyakinan Kristiani mengenai Allah, Kristus, Gereja dan tujuan hidup umat manusia. Pembelaan ini dapat ditunjukkan kepada pemeluk agama lain, anggota komunitas Kristiani yang lain, warga komunitas sendiri yang ragu-ragu atau kepada orang beriman biasa yang ingin mengerti bahwa iman mereka dapat dipertanggungjawabkan.
Santo Petrus dalam suratnya yang pertama mengatakan: “Siap sedialah pada segala waktu untuk memberikan pertanggunganjawaban kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab tentang pengharapan yang ada padamu.” (1Ptr.3:15). Dengan demikian, apologetika berkaitan dengan teologi dasar, yaitu mengenai dasar-dasar iman Kristiani. Teologi Apologetika banyak dipakai oleh para Bapa Gereja (abad II – abad VIII) untuk membela iman Kristiani terhadap serangan dari pihak bidaah pada zaman itu.
Tidak sedikit terjadi bahwa umat Katolik kita dewasa ini tidak mampu memberikan pertanggunganjawaban terhadap berbagai persoalan iman yang sering ditanyakan, baik oleh agama lain, Gereja lain, maupun oleh kalangan anggota Gereja sendiri. Selain itu, umat Katolik banyak diombang-ambing oleh berbagai ajaran yang sebenarnya bukan ajaran Kristiani yang benar. Maka tujuan utama apologetika adalah memberi pertanggunganjawaban dan membela ajaran Kristiani yang benar yang didasarkan pada Kitab Suci dan ajaran Magisterium Gereja.

TEST :
  1. Jelaskan pengertian teologi !
  2. Jelaskan sejarah penggunaan istilah teologi sejak pertama kali digunakan sampai penggunaan istilah teologi dewasa ini !
  3. Jelaskan alasan mempelajari teologi menurut anda !
  4. Jelaskan sumber dan metode teologi !
  5. Jelaskan tentang teologi apologetika !




BAB II
WARTA IMAN


Tujuan Pembahasan :
            Pokok ini akan menjelaskan tentang isi iman Kristiani yang dalam teologi direfleksikan secara ilmiah, yaitu tentang iman. Tujuannya agar mahasiswa dapat mengenai dan mengakui iman, merayakan iman dalam liturgy dan sakramen, serta menghayati dan mewujudkan iman dalam hidup setiap hari.
           
2.1    IMAN YANG DIAKUI
Iman kristiani adalah kepercayaan kepada Allah yang telah mewahyukan diri sebgai Bapa dengan mengutus Yesus Kristus, Putera-Nya yang tunggal agar manusia dapat bersatu dengan-Nya dalam Roh Kudus. Iman kristiani pada hakikatnya bersifat trinitaris : iman kepada Allah Tritunggal.

2.1.1        ALLAH PENCIPTA
2.1.1.1  Hakikat Allah
A.                Keberadaan Allah

Allah memiliki keberadaan-Nya. Terdapat beberapa pra-anggapan umum yang menunjukkan bahwa Allah itu ada, yaitu :
  1. Bahwa Allah ada Pra-anggapan "Allah ada" adalah penting seperti apa yang dipaparkan oleh Alkitab: Kej 1:1 Maz 14:1 Ibr 11:6 Maz 53:1 Yoh 7:17 Maz 10:3-4 Keberadaan Allah bukan dalam "ide" atau "kuasa", tetapi sebagai "Pribadi".
  2. Bahwa Allah telah menyatakan Diri melalui PenyataanNya (wahyu). Allah menyatakan Diri melalui ciptaan, sejarah, hati nurani, Alkitab dan Yesus Kristus (Bdk. Mar 11:6; Kej 1:1; Yoh 7:17 )
  3. Bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan kemampuan untuk dapat mengenal/ mengerti tentang Allah. Pengetahuan manusia tentang Allah adalah pengetahuan yang sudah ada secara naluriah dan pengetahuan yang harus diusahakan ( Kej 1:26; Rom 10:7 ).
  4. Hanya dengan iluminasi Roh Kudus, manusia dapat mengenal Allah. Bahwa karena kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka manusia tidak lagi dapat mengenal Allah dengan benar, kecuali kalau Roh Kudus memberikan iluminasi kepada manusia (1Ko 2:14; Yoh 16:13; 2Pe 1:20-21).
Manusia sudah mempunyai kesadaran di dalam dirinya tentang keberadaan Allah (meskipun hanya samar-samar), tetapi menolak kesaksian ini. Tugas orang Kristen adalah menghadapkan orang bukan Kristen dengan Allah, bukan untuk mempertimbangkan perkiraan bahwa mungkin Allah ada. Orang berdosa hanya dapat memperoleh pengetahuan sesungguhnya tentang Allah melalui dilahirkan kembali oleh Roh Kudus pada waktu mereka mendengar Injil (Rom 1:18-32).
Warta iman tentang keberadaan Allah mendapat tantangan dari kelompok-kelompok yang menyangkal keberadaan Allah itu. Bentuk-bentuk penyangkalan terhadap keberadaan Allah itu, antara lain :
a.             Penyangkalan mutlak (Atheis). Mereka yang menyangkal keberadaan Allah digolongkan menjadi 2 kategori:
1.            Atheis teoritis/sejati Orang-orang yang mendasarkan penyangkalannya kepada Tuhan atas suatu proses pemikiran (2 Kor  4: 4, 5; 1 Ko 1:21)
2.            Atheis praktis. Orang-orang yang tak bertuhan, yang dalam hidup sehari-harinya tidak mengindahkan Tuhan (Maz 14:1, Maz 10:4b; Efe 2:12)

b.            Konsep-konsep kontemporer yang salah
1.            Allah yang imanen saja
2.            Allah yang transenden saja
3.            Allah yang terbatas
4.            Allah yang tidak berpribadi
5.            Allah sebagai suatu ide abstrak semata (proyeksi pikiran manusia).

            Terhadap kelompok-kelompok yang menyangkal keberadaan Allah, kita dapat menjelaskan keyakinan kita tentang Allah berdasarkan argumentasi rational, yakni :
a.       Teori Kosmologi (sebab-akibat). Pandangan ini adalah pernyataan klasik yang dibuat oleh Thomas Aguinas. Argumentasi rasional tentang keberadaan Allah sebagai berikut :
1)      keberadaan dunia memerlukan oknum tertinggi (tidak terbatas) yang menyebabkan keberadaanNya itu.
2)      Setiap kejadian selalu ada sebabnya, yang juga pada gilirannya mempunyai sebab dan seterusnya sampai pada sebab yang pertama yaitu Allah.
b.      Teleologi. Perluasan dari argumen kosmologis, yang sebenarnya adalah pandangan purba yang masuk ke dunia barat melalui Plato. Digambarkan dengan analogi jam yang ditemukan di atas tanah, tidak mungkin terjadi secara kebetulan saja, pasti ada seorang ahli yang pintar yang membuat jam itu. Begitu pula dengan semesta alam, diciptakan oleh seorang Perencana Agung.
c.       Moral/Antropologis. Imanuel Kant yang mempertahankan argumen ini. Kesadaran manusia akan adanya kebaikan yang Tertinggi, yaitu Allah adalah "landasan" kehidupan moral, sebagai nilai transenden, yang hanya dimiliki oleh Allah.
d.      Ontologi Pandangan klasik yang diberikan oleh Anselmus, bahwa manusia mempunyai ide tentang adanya suatu keberadaan yang sempurna secara mutlak. Maka yang mutlak itu harus ada.
e.       Historis/Etnologis. Adanya perasaan tentang yang ilahi yang bersifat universal dari sifat dasar manusia sehingga mengharuskan akan adanya keberadaan yang Maha Tinggi.

B.                 Pengenalan akan Allah
            Ada suatu pendapat dalam kalangan Kristen tertentu yang mengatakan bahwa pengertian yang benar, tepat dan real tentang Allah hanya terdapat di dalam wahyu lewat Sabda Kitab Suci. Dengan demikian, mengenal Allah hanya bisa diperoleh dalam iman, sambil mengerti iman (fideisme)[2] sebagai tindakan untuk menerima apa yang tidak bisa ditangkap akal budi manusia. Pendapat seperti ini ditemukan dalam tradisi Gereja Calvin, khususnya dalam teologi Karl Barth dan murid-muridnya.[3]
            Pada abad ke-19, orang sangat antusias dengan ilmu-ilmu pasti yang mulai berkembang pesat. Dalam antusiasme ini, orang mulai berpendapat bahwa pengertian yang benar dan pasti, pengetahuan yang dapat diandalkan hanya bisa diperoleh lewat metode-metode analitis dari ilmu-ilmu pasti/ alam. Dengan demikian, suatu pengalaman religius dianggap sebagai khayalan saja. Pengetahuan tentang Allah tidak mungkin dapat diperoleh. Pandangan seperti ini disebut agnostisisme.
            Terhadap kedua aliran di atas, yakni fideisme dan agnostisisme, Konsili Vatikan I mengajarkan pada tahun 1870 bahwa “terang alamiah” akal budi manusia bisa dengan pasti menyimpulkan Allah dengan bertolak dari dunia kelihatan. Ajaran ini mempunyai dasarnya dalam beberapa teks di dalam Kitab Suci, seperti di dalam kitab Kebijaksanaan (13 : 1- 9) di mana Allah bisa dikenal lewat keindahan dunia. Selain itu, di dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma (1 : 18- 21) mengatakan bahwa “ apa yang tidak nampak dari Allah, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya dapat nampak kepada pikiran dari karya-karya sejak dunia diciptakan”. Sedangkan di dalam Kisah Para Rasul (17 : 22- 30) dijelaskan bahwa ada kemungkinan bahwa orang-orang kafir dapat mengenal Allah.
            Terhadap ajaran dari Konsili Vatikan I di atas, muncul penilaian bahwa definisi Konsili Vatikan I hanya berbicara mengenai kemungkinan yang pada dasarnya diberikan Allah kepada kodrat manusia, kepada terang alamiah akal budi itu untuk mengenal-Nya.
            Menurut pandangan baru dalam teologi katolik, setiap pengertian manusia tentang Allah sungguh sekaligus merupakan pengertian yang diperoleh manusia dan yang dimungkinkan oleh suatu wahyu, suatu tindakan Allah untuk memperkenalkan atau mengkomunikasikan diri.

C.                Nama-Nama Allah
Nama-nama Allah tidak diberikan oleh manusia karena manusia tidak mengenal Allah. Allah sendirilah yang telah rela menyatakan diri kepada manusia supaya mereka mengenal Allah. Nama-nama Allah diberikan oleh Allah sendiri sebagai penyataan Diri (nomen editum). Dengan demikian berarti bahwa nama- nama Allah tersebut merupakan manifestasi dari Allah sendiri, baik itu sebagai penyataan akan sifat-sifat Allah atau hubungannya dengan manusia.
Cara Allah memberikan nama/ sebutan-Nya adalah dengan merendahkan diri, menemui manusia dan memakai bahasa manusia, yang terbatas, supaya manusia memahami dan mengerti. Oleh karena itu nama-nama yang diberikan kepada manusia bukanlah suatu penyataan lengkap (sempurna) yang daripadanya kita bisa mengetahui semuanya tentang Allah. Nama-nama Allah yang dikenal manusia ada dalam banyak kata/ ungkapan karena Pribadi Allah tidak mungkin bisa diungkapkan hanya dengan satu nama/ ungkapan sebutan saja.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, terdapat nama-nama Allah dan artinya, seperti :
a.       YHWH = Yahweh Musa adalah manusia pertama yang dikaruniai hak istimewa untuk mengenal nama pribadi Allah. Sebelumnya nama Allah yang dikenal adalah: Allah Abraham, Ishak, Yakub dan lain-lain; kepada Musa Tuhan menyatakan diri sebagai YaHWeH = "Aku adalah Aku" (Kel 3:15).
      Dalam Bahasa Ibrani: Ehyeh Asher Ehyeh = "Aku akan ada yang Aku ada." atau "Aku akan menjadi yang Aku akan menjadi.".  Nama ini menjadi nama yang sakral/agung. YaHWeH adalah Nama diri (par exellence) yang hanya dipakai untuk Allah, dalam bentuk tunggal dan tak berartikel. Nama ini dipakai 5321 kali dalam Perjanjian Lama dan memiliki arti teologis, seperti :
1.      Allah itu ada (Yer 2:11; Yes 46:1-9;)
2.      Allah itu untuk kita (Kel 3:12 )
3.      Allah itu tidak berubah (Yes 43:10-11; 48:12; Ibr 13:8 )
4.      Allah itu kekal (Yes 40:28 )
5.      Allah itu akan ada selamanya (Yes 46:13; 56:6-7; 60:3; 2:1-4; Wah 22:3-5; 22:20)
      Selain itu, terdapat juga beberapa napa yang dipakai dalam bentuk majemuk, yaitu :
6.      YHWH -- Yireh (Kej 22:14) Arti: Tuhan menyediakan
7.      YHWH -- Nissi (Kel 17:15) Arti: Tuhan adalah panji-panjiku
8.      YHWH -- Shalom (Hak 6:24) Arti: Tuhan itu damai sejahtera
9.      YHWH -- Sabbaoth (1Sam 1:3) Arti: Tuhan semesta alam
10.  YHWH -- Makkaadeshkem (Kel 31:13) Arti: Tuhan yang menguduskan
11.  YHWH -- Roi (Maz 23:1) Arti: Tuhan adalah gembalaku
12.  YHWH -- Tsidkenu (Yer 23:1) Arti: Tuhan Adalah keadilan kita
13.  YHWH -- Shammah (Yeh 48:35) Arti: Tuhan hadir disitu
14.  YHWH -- Elohim-Israel (Hak 5:3; Yes 17:6) Arti: Tuhan, Allah Israel.
b.      Adonai. Adonai berarti "Tuan" dalam bentuk tunggal seperti sebagai tuan yang berhak terhadap budak-budak jaman dahulu. Dalam bentuk jamak sama dengan Elohim. Kata ini menunjukkan suatu otoritas mutlak bahwa Allahlah yang memiliki Israel/ umat-Nya.

c.       El, Elohim, dan Elyon. Elohim adalah nama jenis dan berarti Allah. Ul 6:4: "YHWH adalah Elohim, YHWH itu Esa." Elohim (Bentuk tunggal: "Eloah"). El dari kata "ul", artinya kuat dan berkuasa. Elyon diturunkan dari kata "alah" yang  berarti ke atas atau ditinggikan. Nama Elohim kadang-kadang juga dipakai untuk menunjuk kepada allah palsu atau berhala (Kej 35:2,4; Kel 12:12; 18:11; 23:24).

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, terdapat beberapa nama Allah, seperti :

a.       Theos : Bentuk yang setara dengan Elohim dalam Perjanjian Lama (dipakai juga untuk allah orang kafir). Dalam pemakaian Perjanjian Baru, Theos memiliki arti:
1.      Ia satu-satunya Allah yang benar dan Esa (Mat 23:9; Rom 3:30; Gal 3:20; 1Ti 2:5 )
2.      Ia unik Yang benar, yang kudus, yang bijaksana (Yoh 17:3; Wah 15:4; Rom 16:27; Mat 6:24 )
3.      Ia Transenden Pencipta, pemelihara alam semesta (Kis 17:24; Ibr 3:4; Wah 10:6 )
4.      Ia Juruselamat mengutus Anak-Nya menjadi Penebus (Tit 1:3; 2:13; 3:4; Yoh 3:16)

b.      Kurios/Kyrios : Nama eksplisit Allah, seperti YHWH dalam Perjanjian Lama, artinya: "Alfa & Omega"; "Yang dulu ada, Yang sekarang ada dan Yang akan tetap ada"; "Yang awal dan Yang akhir" (Wah 1:4, 8, 17; 2:8; 21:6; 22:13). Arti kata ini menekankan supremasi (otoritas) sebagai Tuan, Bapak, Pemilik, Penguasa dan juga Suami. Berhubungan dengan Allah, maka arti kata ini adalah menyatakan kuasa- Nya dalam sejarah, dalam alam semesta dan kekhalikkan-Nya. Kristus disebut sebagai Kurios = Tuhan, juga Rabbi atau Tuan (Mat 8:6). Pernyataan Tomas, "Tuhan dan Allahku" (Yoh 20:28). Yesus disebut dengan kesetaraan Allah Perjanjian Lama oleh orang-orang Kristen mula-mula.

c.       Bapa/Pater : Allah juga disebut dengan nama Bapa dalam Perjanjian Baru. Hal ini dihubungkan dengan sifat hubungan antara Allah dan Bangsa Israel. Secara teokratis ini memberikan penyataan bagaimana Allah berdiri bagi Israel. Dalam Perjanjian Baru terdapat dalam Efe 3:15; Ibr 12:9; Yak 1:18. Dalam pengertian Trinitarian, ungkapan ini menunjukkan hubungan antara Allah Anak (Yesus) dan Allah Bapa. Dalam hal ini memberikan pengertian bahwa Allah berdiri bagi orang-orang percaya sebagai anak-anak rohani-Nya.

D.                Atribut-Atribut Allah
Istilah "atribut" berarti "yang melekat" atau "dimiliki”. Terdapat beberapa cara dalam menentukan atribut-atribut Allah, yaitu :
a.       Cara causalitas (sebab-akibat), yaitu mencari akibat-akibat yang ada di dunia ini.
b.      Cara negasi (penyangkalan), yaitu menyingkirkan segala ketidaksempurnaan yang ada pada ciptaanNya.
c.       Cara eminen (meninggikan), yaitu memberikan kesempurnaan pada Allah setinggi-tingginya.
d.      Cara penyataan (pewahyuan), yakni sesuai dengan Firman Allah; Hanya Allah yang berhak memberi penjelasan akan sifat-sifatNya.

Atribut-atribut Allah dapat dibagi atas dua, yakni atribut atau sifat-sifat unik (incommunicable) yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan-Nya, dan atribut atau sifat-sifat yang tidak unik yang juga dimiliki oleh ciptaan-Nya (incommunicable). Atribut atau sifat-sifat unik (incommunicable) yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan-Nya, antara lain :

1.            Ketidaktergantungan Allah. Allah tidak membutuhkan ciptaan-Nya untuk alasan apapun juga, namun demikian ciptaan-Nya dapat mempermuliakan Dia dan memberikan sukacita kepada Allah. (Kis 17:24-25; Ayu 41:11; Maz 50:10-12). Tuhan juga tidak menciptakan manusia karena Ia kesepian (Yoh 17:5, 24). Allah Tritunggal di dalam diri-Nya mempunyai kepenuhan kesempurnaan yang mutlak, baik dalam komunikasi, kasih atau kebutuhan-kebutuhan lain. Ketidaktergantungan Allah juga menyatakan bahwa Allah tidak diciptakan dan tidak ada peristiwa terjadinya keberadaan Allah (Wah 4:11; Yoh 1:3; Maz 90:2; Rom 11:35-36; Kel 3:14). Justru keberadaan Allahlah yang menyebabkan sagala sesuatu ada dan tetap ada untuk selama-lamanya. Kalau Tuhan tidak membutuhkan manusia dan apapun juga, lalu apa gunanya manusia ciptaan-Nya? Tuhan tidak harus menciptakan manusia, tetapi Tuhan memilih untuk menciptakan manusia. Tuhan menciptakan manusia dan ciptaan-Nya untuk kemuliaanNya. Suatu yang murni/tulus ditetapkan oleh Allah (Yes 62:3-5; Yes 43:7).
2.            Ketidakberubahan Allah Allah tidak berubah dalam hakekat/ jati diri-Nya, kesempurnaanNya, tujuanNya, dan janji-janji-Nya; namun demikian Allah memang bertindak dan merasakan emosi. Ia bertindak dan merasakan secara berbeda dalam meresponi situasi-situasi yang berbeda.
a.             Allah tidak berubah sesuai dengan yang dinyatakan dalam Alkitab (Maz 102:25-27; Yak 1:17 )
b.            Apakah Allah kadang-kadang berubah pikiran? (Kel 32:9-14; Yes 38:1-6; Yun 3: 4, 10;  Kej 6:6; )
c.             Tidak ada satupun tindakan manusia yang mempengaruhi/berarti untuk Tuhan. Oleh karena itu Allah harus berubah, supaya hidup/ tindakan manusia berarti.
d.            Pentingnya doktrin Ketidakberubahan Allah. Allah tidak mungkin berubah untuk lebih baik atau lebih buruk, Kalau Allah berubah maka berarti janji-janji Allah juga tidak mungkin bisa dipercaya.
3.            Kekekalan Allah Allah tidak mempunyai awal atau akhir; atau urutan-urutan momen dalam hakekat-Nya dan Ia melihat semua waktu secara jelas dan "sederajad"; Allah melihat semua peristiwa dalam waktu dan bertindak dalam waktu. Doktrin ini mengajarkan bahwa Allah tidak terbatas/ dibatasi oleh waktu. Allah tidak berubah dengan/ oleh waktu (Maz 90:2, 4; Ayu 36:26; Yoh 8:58; Kel 3:14). Bagi Allah peristiwa masa lampau atau yang akan datang dan juga sekarang adalah sama jelasnya bagi Allah.
4.            Kemahahadiran Allah. Allah tidak mempunyai dimensi bentuk atau tempat dan Ia ada/ hadir pada setiap tempat dengan seluruh hakekatNya; namun demikian Allah bertindak secara berbeda di tempat yang berbeda. Allah hadir dimana- mana (Ul 10:14; Yer 23:23-24; Maz 139:7-10). Allah ada dimana-mana (1Raj 8:27; Yes 66:1-2; Kis 7:48)
5.            Kesatuan Allah. Allah tidak terbagi-bagi dalam bagian-bagian; namun demikian kita melihat atribut-atribut Allah berbeda ditekankan pada saat-saat yang berbeda.

Sedangkan atribut atau sifat-sifat yang tidak unik yang juga dimiliki oleh ciptaan-Nya (incommunicable), antara lain :
1.      Keberadaan Allah - Spiritualitas Allah. Yoh 4:24: Allah adalah "Roh" dan Allah juga tidak kelihatan (artinya esensi total Allah dan semua hakekat spiritual Allah tidak akan pernah dilihat oleh manusia; namun demikian Allah masih memperlihatkan DiriNya kepada kita melalui hal-hal yang kelihatan dan yang diciptakan.

2.      Atribut-atribut Mental/Intelektual
a.             Kemahatahuan Allah. Allah mengetahui segala sesuatu tentang diriNya dan juga segala sesuatu apapun dalam tindakan kekekalan. Allah mengetahui segala sesuatu dan mengenalnya secara sempurna, mencakup masa waktu lampau ataupun yang akan datang. Ia adalah Pencipta segala sesuatu
b.            Kebijaksanaan Allah. Allah selalu memilih tujuan yang terbaik dan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan itu (Rm 16: 27; 8:28; Ayb 9:4 ; 12:13 Maz 104:24)
c.             Kebenaran dan kesetiaan Allah. Allah adalah Yang Benar dan semua pengetahuan kebenaranNya dan janji-janjiNya adalah benar dan menjadi standard akhir dari kebenaran (Yer 10:10-11; Yoh 17:3; Ayb 37:16)

3.      Atribut-atribut Moral
a.             Kebaikan Allah. Allah adalah standard akhir/ utama dari kebaikan, bahwa semua hal tentang Dia dan perbuatannya adalah baik (Mzm 100:5; 106:1-dst; 107:1-dst. 34:8)
b.            Kasih Allah. Allah dalam kekekalanNya memberikan DiriNya kepada orang lain (Rm 5:8 Yoh 3:16; 14:31; 17:24 )
c.             Belas kasihan, Kemurahan, Kesabaran Allah. Kebaikan Allah terhadap orang-orang yang menanggung derita, yang terhukum tetapi Allah sabar dengan menahan penghukuman yang seharusnya dijatuhkan sampai waktu yang ditentukanNya (Kel 34:6; Mzm 103:8; Ibr 4:16; 2:17 Mat 5:7; Rm 2:4; 11:6)
d.            Kesucian Allah. Allah terpisah dari dosa dan hanya Dia yang patut untuk disembah (Mzm 24:3; Kel 20:11 Ibr 12:10-14; Zak 14:20-21)
e.             Kedamaian Allah. Dalam hakekat DiriNya dan tindakan-tindakanNya Allah sangat tertib, teratur dan terkontrol (Rm 8:6; 14:17; Yoh 14:27)
f.             Keadilan, Kebenaran Allah. Allah selalu bertindak sesuai dengan apa yang benar dan Ia sendiri menjadi standard kebenaran itu (Ul 32:4; Ayb 40:2, 8; Rm 9:20-21)
g.            Kecemburuan Allah. Allah senantiasa melindungi kemuliaanNya (Yes 48:11; Why 4:11 )
h.            Kemurkaan Allah. Allah membenci dosa (Kel 32:9-10; Rm 1:18; 2; 5; 9 Ef 2:3)

4.      Atribut-atribut Tujuan
a.             Kebebasan Allah. Allah bertindak sesuai dengan kehendakNya yang bebas (Mzm 115:3; Ams 21:1; Dan 4:35)
b.            Kemahakuasaan Allah. Allah dapat melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendakNya yang suci (Mzm 24:8; Yer 32:27; Why 1:8)

5.      Atribut-atribut lain
a.             Kesempurnaan Allah. Allah secara mutlak mempunyai semua kualitas kesempurnaan dan tidak ada yang kekurangan dalam semua aspek kualitas yang baik (Mat 5:48; Mzm 18:30; Ul 32:4 )
b.            Kemuliaan Allah. Semua refleksi penyataan Allah tentang DiriNya yang dipancarkan oleh semua mahluk ciptaanNya ( Mzm 24:10; Yes 43:7; Yoh 17:5; Ibr 1:3; Why 21:23).

E.                 Teori-Teori Sekuler tentang Allah
Terdapat beberapa teori sekuler tentang Allah, yaitu :
1.      Deisme: Pandangan yang mengatakan bahwa dunia ini adalah mekanisme yang bisa mengatur dirinya sendiri dan Allah meninggalkannya segera setelah Ia menciptakannya dan membiarkannya berkembang sendiri.
2.      Atheisme: Penyangkalan akan kenyataan adanya Allah.
3.      Skeptisisme: Keraguan kenyataan akan adanya Allah (tidak percaya).
4.      Agnostisisme: Paham yang menyangkal bahwa Allah itu bisa dikenal/dimengerti.
5.      Pantheisme : Kepercayaan bahwa "segala sesuatu adalah allah", dalam imanensi allah ada sedemikian rupa dalam ciptaannya sehingga ia tidak mungkin terpisahkan dari segala ciptaannya itu.
6.      Polytheisme : Paham yang mengakui ada banyak allah.
7.      Monotheisme:  Paham yang mengakui hanya pada satu Allah

2.1.1.2  Penciptaan
Orang Kristen percaya akan Doktrin Penciptaan (Teori Kreasi) berdasarkan pada kesaksian Alkitab (Kej 1). Pengetahuan tentang penciptaan tidak mungkin diperoleh dari pemikiran manusia, karena manusia sendiri adalah hasil ciptaan itu. Oleh karena itu kalau bukan Allah sendiri yang menyatakannya (sebagai Pencipta) maka tidak mungkin manusia dapat mengetahuinya.
Penciptaan adalah tindakan bebas Allah di mana Allah menghasilkan dunia dan semua yang ada di dalamnya (baik materi maupun spiritual). Ia menciptakan untuk tujuan yang baik yaitu sebagai pernyataan akan kemuliaan, kekuasaan, kebijaksanaan dan kebaikanNya.
Dalam sejarah, terdapat doktrin atau ajaran tentang penciptaan, seperti :
a.             Gereja mula-mula percaya akan penciptaan sebagai tindakan bebas Allah dan juga ex-nihilo (diciptakan tanpa bahan). Ajaran ini sangat penting pada masa itu, karena untuk melawan ajaran Gnostik yang percaya bahwa materi adalah sesuatu yang jahat. Namun demikian ada perbedaan pendapat tentang sekitar istilah 'hari'; apakah sebagai arti literal atau suatu periode tertentu atau satu waktu tunggal yang tidak terbagi.
b.            Augustinus : Dari kekekalan penciptaan ada dalam kehendak Allah. Tidak ada waktu sebelum penciptaan, karena dunia dijadikan dengan waktu (bukan dalam waktu). Penciptaan adalah tanpa bahan (ex-nihilo). Hari- hari dalam penciptaan adalah sebuah momen waktu untuk memberikan kelengkapan pada keterbatasan intelegensi manusia.
c.             Pada masa Reformasi konsep ex-nihilo dipertahankan dengan kuat, karena :
§  suatu tindakan bebas Allah
§  diciptakan dalam waktu 6 hari dalam arti harafiah
d.            Sesudah Reformasi pengaruh ilmu pengetahuan dan konsep modern melahirkan kompromi teologi dengan menganggap bahwa cerita Kej 1 hanyalah cerita mitos/ alegoris. Ada jangka waktu putus sesudah Kej 1:1-2 dengan ayat- ayat selanjutnya. Dan satu hari adalah waktu yang lama sekali yaitu jutaan tahun.

            Meskipun banyak ahli yang memperdebatkan tentang Kisah Penciptaan berdasarkan Kej. 1, namun sesungguhnya terdapat bukti alkitab dan adanya dasar teologis yang berkaitan dengan penciptaan, yaitu :
a.             Tindakan Allah Tritunggal keluar dari Bapa, melalui Putra, di dalam Roh Kudus ( 1Yoh 1:30 Kej 1:2; Yes 40:12-13 )
b.            Tindakan bebas Allah yang menunjukkan akan kedaulatanNya bukan merupakan suatu kebutuhan, karena Allah sempurna adanya dan tidak tergantung pada apapun. Dan juga Allah tidak menciptakan alam semesta dari diriNya sendiri. Keberadaan alam semesta bukanlah perluasan dari keberadaan Allah, karena alam semesta adalah bebas, di luar Allah (Ef 1:11; Why 4:11; Ayb 22:2-3; Kis 17:25 )
c.             Tindakan temporal Allah Kej 1:1 "Pada mulanya...." Waktu diciptakan, sebelum itu tidak ada waktu. Dunia diciptakan dengan waktu, dan memang mempunyai permulaan (Mzm 90:2; 102:26 ).

2.1.1.3  Pemeliharaan Allah/ Providensi Allah
Secara etimologis, kata bahasa Yunani pronoia berarti pengetahuan awal atau kata bahasa Latin providentia yang berarti tindakan kemurahan Allah menyediakan segala sesuatu yang diperlukan ciptaanNya. Menurut Agustinus, Allah memelihara dan memerintahkan segala sesuatu dalam alam semesta berdasarkan kehendakNya yang berdaulat, bijaksana dan maksud baik.
Pemeliharaan Allah atau providensi Allah berarti aktivitas Allah (Pencipta) yang terus menerus oleh rahmatNya dan kebaikanNya yang melimpah menegakkan ciptaanNya dalam keadaan teratur, memimpin dan memerintahkan segala sesuatu kepada tujuan yang telah ditetapkan demi kemuliaanNya. Keterlibatan Allah secara terus menerus dengan semua ciptaanNya sedemikian rupa sehingga Allah selalu menjaga keberadaan ciptaan dan memelihara semua sifat-sifat yang dimiliki mereka sebagaimana Allah menciptakan mereka dan juga bekerja sama dengan semua ciptaanNya dalam setiap tindakkan dan menuntun serta mengarahkan semua sifat-sifat yang dimiliki mereka itu sebagaimana seharusnya, dan mengarahkan mereka untuk memenuhi semua kehendakNya.

2.1.1.4  Manusia Jatuh ke dalam Dosa
Walaupun manusia adalah partner Allah, namun ia tetaplah ciptaan, dan bukan Pencipta. Kebebasan yang telah diberikan Allah kepada manusia demi perealisasian diri itu disalahgunakan oleh manusia dengan memilih melawan Allah. Manusia menolak untuk menunaikan tugasnya sebagai partner Allah. Perbuatan seperti inilah yang disebut DOSA. Dosa ialah perbuatan manusia yang melawan Allah dan melawan hukum Allah. Perbuatan inilah yang dikisahkan dalam Perjanjian Lama (Kej 3), yaitu tentang jatuhnya manusia ke dalam dosa.
Berdasarkan Kej 3 dan Rm 5 : 12- 21, Gereja mengajarkan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan dosa, keadaan terpisah dengan Tuhan. Keadaan ini disebut DOSA ASAL, dan kekhususan dosa asal ialah bahwa keadaan itu tidak berdasarkan kesalahan sendiri , tetapi karena lahir dalam keadaan konkret umat manusia yang berupa keadaan dosa. Dosa asal atau dosa warisan memang berarti bahwa ada hubungan antara semua orang dalam dosa dan dalam maut, tetapi Kitab Suci tidak menerangkan bagaimana dosa manusia pertama telah “berpindah” kepada semua orang. Teologi modern menerangkan kesatuan dalam dosa itu bukan secara biologis (melalui proses pembiakan), bukan pula hanya secara psikologis atau sosiologis saja (pengaruh manusia yang satu terhadap yang lain atau pun pengaruh lingkungan), melainkan secara teologis, yakni berdasarkan kesatuan semua orang dalam rencana keselamatan.

2.1.2        ALLAH PENYELAMAT
Bagian kedua dari Syahadat menyangkut Allah sebagai “Allah Penyelamat”. Karya penyelamatan yang direncanakan Allah sejak semula itu sudah berlangsung pada waktu Perjanjian Lama, tetapi mencapai pemenuhannya dalam Perjanjian Baru ketika Allah menjelma menjadi manusia.
Sejarah Perjanjian Lama adalah sejarah jatuh bangun umat Allah yang lama. Israel sering murtad dan dihukum Tuhan, lalu bertobat dan diselamatkan oleh Allah. Selanjutnya Israel kembali murtad dan kembali dihukum, dan seterusnya. Akhirnya harus dikatakan bahwa bangsa Israel sebagai keseluruhan (yang mewakili bangsa-bangsa lain dan seluruh umat manusia) gagal memenuhi tugas dan panggilan yang dipercayakan Allah kepadanya. Tetapi kegagalan Israel tersebut tidak dapat menghalangi maksud dan rencana Allah dengan umat manusia. Melalui “sisa yang suci” yaitu pribadi-pribadi dalam umat Israel yang setia melakukan pekerjaan Allah (bdk. Yes 10 : 20- 27; 11 : 11- 16), Allah mempersiapkan umat manusia untuk menerima Putera Allah sendiri, Firman Allah yang menjelma menjadi manusia.
Puncak karya keselamatan terletak dalam kenyataan bahwa Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal menjadi solider dengan manusia yang berada dalam kegelapan maut sebagai “upah dosa” (bdk. Rm 6 : 23). Putera Allah yang sejak kekal bersatu dengan Bapa memasuki situasi dosa dunia, menerima kehampaan hidup manusia yang terpisah dari Allah itu dan rela mati bagi manusia. Solidaritas Yesus dengan manusia menjadi sumber keselamatan.
Dalam kebangkitan Yesus, keselamatan diberikan kepada manusia. Kristus bangkit sebagai “yang sulung”, permulaan dari proses penyelamatan yang meliputi dunia seluruhnya. Kebangkitan Kristus merupakan permulaan keselamatan umat manusia. Dalam Kristus, Allah telah menerima umat manusia kembali. Kebangkitan Yesus adalah jaminan masa depan kita. Penerimaan umat manusia oleh Allah dalam Kristus itu disebut sebagai penyelamatan obyektif. Akan tetapi, penerimaan itu masih  harus dinyatakan dalam hidup manusia masing-masing, yakni melalui iman kepercayaan kepada Kristus. Iman itu adalah langkah pertama dalam proses penyelamatan tiap-tiap manusia secara pribadi. Proses inilah yang disebut sebagai penyelamatan subyektif. Penyelamatan subyektif ini hanya mungkin dalam iman. Proses penyelamatan ini tidak selesai sebelum karya keselamatan diterima manusia masing-masing dalam hatinya oleh karena iman.

2.1.3        ALLAH PEMBAHARU
2.1.3.1  Roh Kudus

Karya Allah dalam Yesus Kristus adalah puncak dari penyelamatan-Nya, dan sebagai puncak maka bersifat menentukan. Ini berarti bahwa kelanjutan karya Allah setelah Yesus bangkit dan naik ke surga itu menurut garis kebijaksanaan yang telah ditetapkan-Nya dalam Kristus. Roh Kristuslah yang menjiwai dan meresapi karya Allah sejak semua sampai sekarang dan juga untuk masa mendatang.
Roh Kristus itu sama dengan Roh Bapa, yaitu Roh Kudus yang mempersatukan Bapa dan Putera dalam Allah Tritunggal yang Mahaesa. Roh Kudus adalah kasih yang berasal dari Bapa dan Putera, ikatan yang mempersatukan mereka. Yang menjadi pekerjaan Roh Kudus ialah yang menjadi pekerjaan cinta kasih : menghidupkan dan menggerakkan, membebaskan dan menyelamatkan, memelihara dan membaharui.
Pekerjaan Roh Kudus dalam Gereja dapat dibandingkan dengan pekerjaan jiwa-jiwa, prinsip hidup dalam tubuh. Pekerjaan yang dimaksudkan adalah menghidupkan, menggerakkan dan mempersatukan. Sebagai kumpulan orang-orang, sebagai badan sosial, Gereja merupakan kenyataan insani. Tetapi, karena dijiwai oleh Roh Kudus, maka kenyataan insani itu dijadikan kenyataan ilahi yang membuat Gereja menjadi Tubuh Kristus. Roh pemersatu yang mempersatukan Bapa dan Putera juga mempersatukan para anggota Gereja dengan Kristus sebagai Kepala Gereja.

2.1.3.2  Inspirasi/ Pengilhaman
Secara etimologis, kata inspirasi atau ilham berasal dari kata bahasa Latin inspirare, tetapi kata ini tidak memberikan arti yang tepat. Dalam Ayb 32 : 8, terdapat kata bahasa Yunani untuk inspirasi, yaitu theopneustos, sebuah kata majemuk (pneo + theos) yang berarti "dihembuskan (oleh) Allah”. Dalam kata ini jelas terlihat adanya penekanan pada faktor Allah dalam pekerjaan penulisan, dan sebagainya.
Inspirasi atau pengilhaman adalah pekerjaan Allah melalui RohNya yang menggerakkan, menguasai dan memimpin orang-orang yang telah dipilihNya untuk menuliskan perkataan- perkataan yang dikehendakiNya dalam Alkitab (PL dan PB), tanpa salah dalam bahasa aslinya. Dalam "Inspirasi", Allah menuntun orang-orang yang dipilihNya itu untuk menuliskan "Penyataan" Allah dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh manusia yang lain - (horisontal).
Doktrin Inspirasi membicarakan tentang bagaimana "Penyataan" Allah dituliskan menjadi Alkitab. Kegiatan penulisan "Penyataan" Allah ini menjadi sangat penting artinya karena berhubungan langsung dengan masalah keotentikan dan ketidakbersalahan isinya. Dengan mempercayai bahwa Allah sendirilah yang memilih dan memimpin orang-orang tertentu untuk menuliskan "Penyataan" Allah itu menjadi Alkitab, maka akan terjamin bahwa isinya tidak mungkin salah. Dengan demikian tidak sulit bagi orang Kristen untuk menerima otoritas Alkitab sebagai Kitab yang berperan mutlak memberikan pedoman iman dan kehidupan. Dengan mempercayai bahwa Allahlah yang menginspirasikan seluruh isi Alkitab, maka akan terjamin pula keabsahan dan juga kesatuan kanon Alkitab itu, karena berarti seluruh tulisan itu berasal dari satu sumber, yaitu Allah. Namun demikian, sejarah gereja membuktikan bahwa ada banyak pendapat yang menolak doktrin Inspirasi. Akibat langsung dari menolak doktrin Inspirasi berarti menolak keabsahan Alkitab sebagai Firman Tuhan dan berarti menolak pula otoritasnya yang mutlak. Meskipun terdapat banyak pendapat yang menolak inspirasi, namun sesungguhnya terdapat beberapa bukti yang menunjukkan adanya inspirasi dari Allah, yaitu :
a.       adanya penyataan-penyataan yang di luar kemampuan berpikir manusia, misalnya tentang dosa, manusia, keselamatan, Allah Tritunggal, dll.
b.      adanya penyataan-penyataan yang bersifat nubuatan, dan yang sekarang sebagian sudah terjadi, yang tidak mungkin muncul dari pikiran manusia.
c.       adanya penyataan-penyataan yang bersifat sejarah yang jauh di luar pengetahuan manusia, misalnya tentang kejadian penciptaan dll.
d.      adanya penyataan-penyataan yang mempunyai kuasa yang mengubahkan hidup manusia dari jaman ke jaman.
e.       adanya penyataan-penyataan yang berisi ajaran moral yang sangat tinggi, yang juga diakui oleh agama-agama yang lain.
f.       adanya kesatuan tema dan isi dari seluruh Alkitab, meskipun ditulis oleh penulis-penulis yang mempunyai latar belakang berbeda dan hidup pada jaman yang sangat berbeda.
g.      adanya bukti kelanggengan Alkitab, meskipun sudah dilakukan usaha berkali-kali untuk memusnahkannya.

2.1.3.3  Iluminasi
Kata iluminasi berasal dari kata bahasa Yunani photizo yang berarti menerangi, memberi penerangan batin. Ilmuniasi adalah pekerjaan Roh Kudus yang membantu membukakan pikiran orang percaya supaya mereka dapat mengerti dan mengaplikasikan Firman Allah itu (Alkitab) dalam kehidupan mereka. Iluminasi menjadi penting karena beberapa alasan berikut :
a.       karena pikiran dan hati manusia masih ada dalam kegelapan (Ef 4:17, 18 )
b.      sifat hati manusia yang bebal (Yes 6:9-10; Kis 28:26)
c.       melawan pekerjaan setan (2 Kor 4:3-4 )
d.      pengaruh kuasa kedagingan (1Kor 3:1-2; Ibr 5:12-14).

Inspirasi dan iluminasi memiliki hubungan. Dalam Inspirasi, Roh Kudus memberikan inspirasi kepada penulis-penulis Alkitab, sehingga mereka menuliskan Penyataan Tuhan dengan benar dan tepat sesuai dengan yang Allah kehendaki. Dalam Iluminasi Roh Kudus memberikan iluminasi kepada para pembaca Alkitab agar mereka dapat mengerti dan menerima apa yang dimaksudkan oleh Penyataan Tuhan yang tertulis itu dengan benar dan tepat. Namun demikian, kita harus ingat bahwa pekerjaan Roh Kudus dalam penginspirasian Alkitab sudah selesai. Tidak akan ada lagi inspirasi baru di luar Alkitab, karena Alkitab sudah sempurna. Tetapi pekerjaan Roh Kudus dalam memberikan iluminasi-iluminasi baru kepada orang-orang percaya masih berlaku hingga kini. Roh Kudus memberikan iluminasi tetapi tidak untuk menambah dari apa yang sudah ada dalam Alkitab. Dan Roh Kudus bekerja dengan Firman dan melalui Firman, tetapi tidak melawan Firman. Itu sebabnya, Alkitab harus menjadi tolok ukur untuk kita mengkonfirmasikan segala sesuatu yang kita percaya dan yang kita lakukan (Mzm 119:105).

2.2    IMAN YANG DIRAYAKAN
Kita mengakui iman kita. Kita pun merayakannya. Orang tidak hanya berkumpul untuk bersama-sama bekerja, tetapi juga untuk bersama-sama mengadakan perayaan. Bagaimanakah iman itu dirayakan ?

2.2.1        Makna Pengenangan
Orang beriman dikumpulkan oleh Allah di dalam Gereja atau di rumah masing-masing (Kis 2 : 46) pada kesempatan suka ataupun duka, dalam kecemasan dan pengharapan. Mereka berkumpul di sekitar Tuhan, dan mereka mengarahkan hati dan perhatian kepada Dia. Mereka mengenangkan Yesus : bagaimana Ia menjadi manusia, menyembuhkan orang sakit, memberkati anak-anak, berkeliling untuk mewartakan kabar gembira, menghadapi sengsara-Nya, wafat dan bangkit pada hari yang ketiga. Alkitab merupakan album keluarga kaum beriman. Mereka tidak hanya mengenangkan fakta masa lampau, peristiwa yang telah lewat. Dalam perayaan itu Tuhan hadir kini dan mengikutsertakan umat dalam hidupNya sendiri.
Gereja adalah persekutuan iman, harapan dan cinta. Gereja adalah persaudaraan orang yang menerima Yesus dengan iman dan cinta kasih. Maka, Roh Kuduslah yang menciptakan persekutuan umat beriman dengan menghimpun mereka dalam Kristus, sebagai prinsip kesatuan Gereja.
Konsili Vatikan II dalam Dokumen Lumen Gentium artikel 8 menyebutkan bahwa Gereja dibentuk karena perpaduan unsur manusiawi dan ilahi. Kesatuan Gereja bukanlah hanya karya Roh Kudus, melainkan juga sebagai hasil komunikasi antarmanusia, khususnya perwujudan komunikasi iman di antara para anggota Gereja. Komunikasi ini terjadi di dalam perayaan iman.
Komunikasi iman mengandaikan pengungkapan iman sebagai sarana komunikasi. Pengungkapan iman bukan hanya meliputi perayaan liturgi atau ibadah, tetapi juga segala pernyataan iman yang khusus dan eksplisit, termasuk perumusan dan pengajaran iman, merupakan pengungkapan iman. Selanjutnya,  pengungkapan iman harus dibedakan dari perwujudan iman. Meskipun kedua-duanya adalah penghayatan iman, namun yang disebut ”pengungkapan iman” ialah segala pernyataan iman dalam bentuk yang khusus dan eksplisit, terutama dalam bentuk pewartaan atau pengajaran dan perayaan gereja. Sedangkan yang disebut ”perwujudan iman” adalah segala perkataan dan tindakan yang memang dijiwai oleh semangat iman, namun tidak secara khusus dan jelas memperlihatkan sikap iman itu. Dalam hal ini, iman memang dihayati, tetapi perwujudannya tidak eksplisit.

2.2.2        Doa di dalam Gereja dan Doa Gereja
Dalam Gereja dibedakan antara doa pribadi dan doa bersama. Doa pribadi dapa disebut sebagai ”doa di dalam gereja”, dan doa bersama disebut sebagai ”doa gereja”. Doa tidak sama dengan mendaraskan rumus-rumus hafalan, melainkan pertama-tama dan terutama adalah soal pernyataan iman di hadapan Allah. Doa berarti mengarahkan hati kepada Tuhan. Karena itu, doa tidak membutuhkan banyak kata, dan tidak terikat pada waktu dan tempat tertentu, tidak menuntut sikap badan atau gerak-gerik yang khusus. Yang berdoa adalah hati, bukan badan. Maka, yang berdoa sebetulnya adalah Roh Kudus.
Doa Gereja merupakan doa resmi atau sebagai ”liturgi”, yang dapat disebut juga sebagai ”kebaktian” (kata Yunani Leitourgia : kerja bakti). Yang pokok bukanlah sifat ”resmi-nya” atau kebersamaan, melainkan kesatuan Gereja dengan Kristus dalam doa. Dengan demikian, liturgi adalah karya Kristus, Imam Agung dan karya TubuhNya, yaitu Gereja. Liturgi bukan hanya ”kegiatan suci yang istimewah”, melainkan wahana utama untuk menghantar umat Kristen ke dalam persatuan pribadi dengan Kristus.
Liturgi tidak hanya menawarkan aneka bentuk dan rumus doa, tetapi juga menjadi tempat bagi umat untuk merasakan dan menghayati komunikasi dengan Bapa, bersama Putra, dalam Roh Kudus. Di sinilah letak inti pokok dari doa, yaitu adanya kesatuan pribadi dengan Putra dalam penyerahanNya kepada Bapa.  Selain itu, karena liturgi adalah sebuah pujian, maka pokok liturgi adalah pengungkapan hubungan dengan Allah, dengan tekanan pada kehormatan dan kemuliaan Allah. Liturgi memiliki dua segi iman, yaitu kemuliaan Allah dan pengudusan manusia. Pemahaman lain tentan liturgi adalah bahwa liturgi bukanlah sebuah tontonan, melainkan perayaan. Melalui perayaan itu sebagai pengungkapan iman Gereja, orang mengambil bagian dalam misteri yang dirayakan dan tentu saja bukan hanya dengan partisipasi lahiriah. Yang pokok adalah hati yang ikut menghayati apa yang diungkapan dalam doa.

2.2.3        Sakramentali
Istilah sakramentali muncul pada abad XII, yakni pada tulisan Petrus Lombardus bersamaan dengan pembakuan istilah sakramen bagi ketujuh ritus Gereja. Konsili Vatikan II merumuskan arti sakramentali sebagai tanda-tanda suci yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen. Sakramentali itu menandakan kurnia-kurnia, terutama yang bersifat rohani dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja. Perayaan sakramentali merupakan suatu perayaan kerinduan akan sakramen dan perayaan yang diarahkan kepada perayaan sakramen. Sebab, perayaan sakramentali dapat mengantar dan mempersiapkan orang beriman kepada sakramen-sakramen Gereja. Dengan sakramentali itu, misteri yang dirayakan dalam sakramen semakin diperjelas dan disposisi umat bagi penerimaan sakramen dipersiapkan secara optimal dan berbuah. Hal ini nampak dalam berbagai upacara sakramentali, misalnya pemberkatan air suci, pemberkatan dengan tanda salib pada dahi anak-anak merupakan upacara atau pemberkatan dalam rangka menuju atau mengenangkan atau menghadirkan sakramen baptis;pemberkatan roti, atau doa sebelum dan sesudah makan mengingatkan kita pada ekaristi; berbagai doa untuk orang sakit bagi sakramen pengurapan orang sakit; upacara pertunangan bagi sakramen perkawinan; upacara tobat bagi sakramen tobat; selain itu, ada macam-macam sakramentali, seperti aneka ibadat dan pemberkatan atau juga prosesi.
Perbedaan dasar sakramentali dengan sakramen ialah bahwa sakramentali pertama-tama adalah doa permohonan Gereja, agar Allah memberkati dan menguduskan orang atau benda tertentu. Dengan kata lain, daya guna sakramentali itu terjadi menurut ex opere operantis atau berkat tindakan/ karya Gereja, yaitu karena Gereja memohon, sedangkan daya guna sakramen itu terjadi secara ex opere operato yaitu berkat tindakan atau karya Kristus. Dalam sakramen, Kristuslah yang mengubah dan menguduskan orang itu dan karya Kristus itu tidak berhubungan dengan moral si pelayan.

2.3    IMAN YANG DIHAYATI
Kita mengakui iman dan kita merayakannya, tetapi terutama yang paling penting adalah iman harus dilaksanakan. Menghayati iman berarti kita mengikuti jejak Kristus, mengikuti rencana Tuhan yang menuntun kita kepada kepenuhan hidup. Berkaitan dengan penghayatan iman, salah satu ketetapan dari Tuhan yang harus dilaksanakan oleh umat beriman adalah berkaitan dengan dasa firman (dekalog/ sepuluh perintah Allah).

2.3.1        Dasa Firman : Kesepuluh Titah Allah dalam Perjanjian Lama
Alkitab mengisahkan bagaimana Musa mengemukakan kepada umat Israel perintah-perintah kehidupan yang paling penting. Bertahun-tahun lamanya Yahwe sudah menyertai umat-Nya. Dari dalam kedekatan ini bertumbuhlah kesadaran yang semakin jelas akan nilai-nilai sejati yang ada pada kehidupan dan akan tuntutannya yang paling pokok. Itulah sebabnya “Kesepuluh Perintah” atau “Dasar Firman” itu bersifat serentah wahyu ilahi dan pengalaman insani : dirumuskan manusia berdasarkan pergaulan Allah yang ketat dengan umat-Nya bertahun-tahun lamanya. Rumusan Kesepuluh Firman itu terdapat dalam Kel 20 : 1- 17 & Ul 5 : 6- 21.
Konteks dekalog ialah kisah panjang pembebasan Israel. Dalam konteks itu, Dasa Firman harus dibaca. Orang yang mengamini perintah kehidupan ini akan dibebaskan bukan hanya dari wilayah perbudakan Firaun Mesir, melainkan juga dari segala macam kesewenang-wenangan dan kelaliman. Orang yang menaati perintah itu akan menjadi orang merdeka yang hanya tunduk pada hak-hak asasi manusia dan bagi Dia yang menjamin hak-hak tersebut.

2.3.2        Pendalaman Titah Kehidupan oleh Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru
Dasa Firman yang diproklamasi oleh Musa di gunung Sinai itu diperdalam oleh Yesus dalam Kotbah di Bukit. [4] Yesus tidak membatalkan perintah kehidupan itu, tetapi menekankan bahwa umat beriman (dalam menepati perintah itu) harus melebihi kesetiaan orang Farisi kepada Hukum Taurat. [5]
Sikap orang kristiani dalam menepati perintah itu berbeda dengan sikap kaum Farisi. Orang kristiani lebih percaya pada rahmat Allah daripada mengandalkan prestasinya sendiri. Orang kristiani pun tidak menunggu sampai dicintai orang sebelum mencintai mereka. Sebagai anak-anak Bapa Ilahi yang merangkul semua orang tanpa bersikap diskriminatif, orang Kristen pun berinisiatif mengasihi sesamanya, termasuk orang asing dan bahkan musuh.
Tuntutan Yesus sama radikalnya : “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari “. [6] Dan dalam “Sabda Bahagia” (Mat 5 : 1 – 7 : 28), Yesus mengajukan tuntutan dengan radikalitas itu juga bila berbicara tentang hal mengikuti Dia :
·               Menjadi miskini berarti bersandar pada Allah, dan bukan pada daya kekuatan, harta milik atau bakat kemampuan diri sendiri.
·               Menangis karena di dunia ini orang hanya mewujudkan sedikit saja dari kebaikan Allah.
·               Menjadi lemah lembut berarti siap sedia, rendah hati, setia dan sabar.
·               Lapar dan haus akan sumber keadilan yang berasal dari Allah dan yang melalui tangan kita hendak memuaskan orang lain.
·               Dengan murah hati memperhatikan orang sakit, telanjang, asing, tahanan dan orang berdosa.
·               Menjadi suci hatinya, ibarat kaca utuh dan tembus cahaya yang dapat ditembusi oleh Terang Allah.
·               Membawa kedamaian dan perdamaian : membangun bendungan melawan segala macam kekerasan, dan membangun jembatan untuk mempersatukan pihak-pihak yang berjauhan.

TEST :
1.      Jelaskan tentang keberadaan Allah !
2.      Jelaskan tentang Pengenalan akan Allah
3.      Jelaskan tentang nama-nama dan atribut-atribut Allah !
4.      Jelaskan tentang Penciptaan
5.      Jelaskan tentang Pemeliharaan Allah
6.      Jelaskan tentang Inspirasi dan Iluminasi dan kemukakan kesamaan dan perbedaan antara keduanya !
7.      Bagaimanakah iman itu dirayakan ?
8.      Bagaimanakah iman itu dihayati ?















BAB III
WAHYU : DASAR IMAN


Tujuan Pembahasan
            Teologi memperoleh pengetahuannya bukan hanya berdasarkan pengalaman indra, pikiran dan akal budi serta intuisi rohani, tetapi juga dan terutama berdasarkan wahyu Allah. Wahyulah yang mendasari iman. Oleh karena itu, teologi sebagai ilmu iman bersumberkan wahyu ilahi. Bagi pengetahuan teologis, wahyu merupakan sumber utama. Karena itu, pokok ini akan menjelaskan tentang wahyu itu. Tujuannya agar mahasiswa dapat mengetahui, mengenal dan memahami tentang wahyu yang menjadi dasar iman setiap orang, sebab di dalam wahyu, Allah menyapa manusia, memperkenalkan diri-Nya kepada manusia dan mengajak manusia untuk ikut serta dalam kehidupan Allah sendiri.

3.1    HAKIKAT WAHYU
3.1.1        Pandangan Konsili Vatikan II tentang Hakikat Wahyu
3.1.1.1  Sekilas tentang Konsili Vatikan II

KV II adalah konsili ekumenis ke-21 dari Gereja Katolik Roma yang dibuka oleh Paus Yohanes XXIII pada 11 Oktober 1962 dan ditutup oleh Paus Paulus VI pada 08 Desember 1965. Pembukaan Konsili ini dihadiri oleh hingga 2540 orang uskup Gereja Katolik Roma sedunia atau juga disebut para Bapa Konsili, 29 pengamat dari 17 Gereja lain, dan para undangan yang bukan katolik. Selama masa Konsili ini diadakan empat periode Sidang di mana jumlah uskup yang hadir lebih banyak  dan berasal dari lebih banyak Negara daripada Konsili-konsili sebelumnya. Jumlah dokumen yang dihasilkannya pun lebih banyak dan dampak pengaruhnya atas kehidupan Gereja Katolik lebih besar  dari peristiwa manapun sesudah zaman reformasi pada abad XVI.
Konsili Vatikan II menghasilkan beberapa dokumen penting, yaitu 4 Konstitusi, 3 Pernyataan/ Deklarasi dan 9 Dekrit. Yang termasuk dalam Konstitusi adalah :
1.           Dei Verbum : Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi
2.           Lumen Gentium : Konstitusi Dogmatis tentang Gereja
3.           Sacrosanctum Concillium : Konstitusi tentang Liturgi Suci
4.           Gaudium et Spes : Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini.
Yang termasuk dalam Pernyataan atau Deklarasi adalah :
1)            Gravissimum Educationis : Pernyataan tentang Pendidikan Kristen
2)            Nostra Aetate : Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan Kristiani
3)             Digni tatis  Humanae : Pernyataan tentang Kebebasan Beragama
Serta yang termasuk dalam Dekrit adalah :
1.            Ad Gentes : Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja
2.            Presbyterorum Ordinis : Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam
3.            Apostolicam Actuositatem : Dekrit tentang Kerasulan Awam
4.            Optatam Totius : Dekrit tentang Pendidikan Imam
5.            Perfectae Caritatis : Pembaharuan dan Penyesuaian HIdup Religius
6.            Christus Dominus : Dekrit tentang Tugas Pastoral Para Uskup Dalam Gereja
7.            Unitatis Redintegratio : Dekrit tentang Ekumenisme
8.            Oritentalium Ecclesiarum : Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur
9.            Inter Mirifica : Dekrit tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial

3.1.1.2  Pandangan Konsili Vatikan II tentang Hakikat Wahyu
Dokumen dari Konsili Vatikan II yang berbicara tentang Wahyu adalah Konstitusi Dei Verbum (Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi). Pokok tentang wahyu dan iman bukan baru dibicarakan untuk pertama kalinya oleh Konsili Vatikan II, tetapi juga oleh konsili-konsili sebelumnya, khususnya oleh Konsili Trente dan Vatikan I. Konsili Vatikan II berkesempatan mengembangkan pandangan menyeluruh tentang wahyu dan bertanya apakah wahyu itu pada hakikatnya. Konsili Trente dan Konsili Vatikan I tidak sempat membahas tentang wahyu karena kedua konsili ini menghadapi aliran sesat dan bermaksud mengoreksi pendapat-pendapat yang keliru. [7]
Konsili Trente (1545- 1563) menghadapi gerakan Reformasi yang berpendapat bahwa wahyu sampai kepada kita sekarang hanya melalui Kitab Suci saja (sola scriptura). Melawan pendapat Reformasi ini, Konsili Trente menegaskan bahwa wahyu diteruskan bukan hanya melalui Alkitab, melainkan  juga melalui tradisi lisan. Dalam hal ini Konsili Trente tidak membahas tentang hakikat wahyu, tetapi cara wahyu itu diteruskan.
Sedangkan Konsili Vatikan I (1869- 1870) menghadapi gerakan modernisme yang berusaha mengintegrasikan hasil ilmu pengetahuan modern ke dalam iman, tetapi dalam praktek sering cenderung mengorbankan iman demi ilmu pengetahuan. Kebenaran iman yang tidak dapat dimengerti dengan akal budi insani sering ditolak oleh kaum modernis. Melawan modernisme ini, Konsili Vatikan I menyatakan bahwa juga kebenaran iman yang tidak dapat dipahami dengan cahaya kodrati akal budi manusia harus diterima oleh orang beriman, sebab diwahyukan oleh Allah yang tidak dapat sesat atau pun menyesatkan. Dalam hal ini, Konsili Vatikan I juga tidak bertanya apakah wahyu itu sebenarnya, tetapi hanya menanyakan hubungan antara wahyu dan akal budi. Konsili Vatikan I tidak memandang wahyu secara menyeluruh, tetapi hanya memandangnya dari sudut pengetahuan saja.
Berbeda dengan Konsili Trente dan Konsili Vatikan I, Konsili Vatikan II bukan saja memandang wahyu dari satu aspek saja, tetapi juga memandangnya secara keseluruhan, lalu bertanya apakah wahyu itu sebenarnya dan apa hakikatnya. Untuk menjawab pertanyaan itu, Konsili Vatikan II bertolak bukan dari gagasan teoretis, melainkan dari fakta wahyu :
Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya, Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan menyatakan rahasia kehendak-Nya” (bdk. Ef 1 : 9).

“ Berdasarkan kehendak Allah ini, manusia melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, di dalam Roh Kudus menemukan jalan kepada Bapa dan mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (bdk. Ef 2 : 18; 2 Ptr 1 : 4).

Wahyu itu adalah suatu fakta, karena pada kenyataannya Allah memang telah mewahyukan diri-Nya dan menyatakan rahasia kehendak-Nya melalui Kristus. Wahyu adalah komunikasi pribadi antara Allah yang transenden dengan manusia yang ada di dunia ini. Dengan perkataan lain, menurut paham Kristiani, wahyu berarti Allah memperkenalkan diri-Nya sendiri dan rencana penyelamatan-Nya. [8] Jadi, menurut Konsili Vatikan II, wahyu pada hakikatnya merupakan penganugerahan diri dari Allah kepada manusia. Berpadanan dengan wahyu, iman sebagai jawaban manusia atas wahyu Allah itu dipandang sebagai penyerahan diri manusia kepada Allah. Dengan demikian, Konsili menekankan aspek personal yang terdapat pada wahyu  tanpa mengabaikan aspek-aspek wahyu yang digarisbawahi oleh Konsili Trente dan Konsili Vatikan I. Konsili Vatikan II berfokus pada aspek “pertemuan pribadi” antara Allah dan manusia. Dalam hubungan antara pribadi itu, Allah menyapa umat dan bergaul dengannya, sedangkan umat pada gilirannya mendengarkan Allah serta menjawabnya.

3.1.2        Sifat-Sifat yang Mendasar
Wahyu merupakan komunikasi antara Allah yang transenden dengan manusia yang di dunia. Ini berarti bahwa Allah yang transenden itu melangkah keluar dari rahasia “ada-Nya” dan masuk ke tengah-tengah umat manusia untuk bergaul dengannya dan berfirman kepadanya di dalam peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan demikian, dapat dibedakan antara empat aspek yang terdapat pada peristiwa wahyu sebagai penganugerahan diri Allah kepada manusia. Keempat aspek ini bersifat hakiki semua, karena merupakan bagian integral dari hakikat wahyu. Keempat aspek itu adalah :
a)            Aspek “Misteri Ilahi”, yaitu tindakan Allah yang transenden. Wahyu itu misteri, karena merupakan tindakan Allah sendiri, yaitu suatu aktivitas transenden yang berisikan kehendak atau rencana Allah untuk menyelamatkan manusia. “Menyelamatkan” di sini berarti menganugerahkan kepada manusia kebahagiaan yang penuh dan kekal.  
b)            Aspek Historis, yaitu Peristiwa Sejarah. Tindakan Allah yang bebas, kekal dan transenden mempunyai efek temporal, artinya wahyu juga bersifat sejarah. Rencana Allah untuk menyelamatkan umat manusia diwujudkan dalam rupa “turun tangan” Allah dalam sejarah. Melalui peristiwa-peristiwa sejarah serta penafsiran peristiwa itu Allah mewahyukan diri dengan melaksanakan rencana penyelamatan-Nya. Istilah teologi untuk segi pelaksanaan wahyu ilaha “ekonomi keselamatan”.
c)            Aspek Pengetahuan, yakni kesaksian, pewartaan dan ajaran. Supaya manusia dapat menanggapi rencana penyelamatan Tuhan dan menerimanya secara bebas dengan tahu dan mau, maka ia harus mengenal rencana itu. Oleh karena itu, terdapat juga segi pengetahuan pada wahyu. Melalui pengetahuan para Nabi, petunjuk dan janji Kristus, pewartaan para Rasul, dan seterusnya, Allah menyatakan rencana keselamatan kepada umat manusia. Allah sebagai Roh Kebenaran mengarahkan diri kepada manusia sebagai makhluk berbudi yang dapat mengerti.
d)            Aspek Personal, yakni pertemuan pribadi antara Allah dan manusia. Wahyu berupa pengetahuan tidak boleh dipisahkan dari Pribadi Allah sebagai subyek yang menyampaikan pengetahuan itu. Apa yang akhirnya mau dicapai dengan wahyu justrulah pertemuan intersuyektif antara  Allah Pewahyu yang membuka diri-Nya kepada manusia, dan orang beriman yang menanggapi pewahyuan diri Allah itu dengan menyerahkan dirinya kepada Allah. Aspek inilah yang paling ditekankan oleh Konsili Vatikan II, karena mengungkapkan hakikat wahyu dengan paling jelas.

Berdasarkan keempat aspek di atas, wahyu juga bersifat lahir- batin. Wahyu bersifat “lahir” sejauh merupakan pengalaman dan ajaran para Nabi, Yesus sendiri dan para Rasul-Nya dan sejauh disampaikan kepada kita “dari luar”, yakni melalui Kitab Suci dan pewartaan Gereja. Selain itu, wahyu juga bersifat “batin” sejauh merupakan persatuan personal antara kita dengan Tuhan, dan berupa pengaruh langsung dari Allah dalam batin manusia.

3.1.3        Asal-Usul Wahyu dan Maksud- Tujuannya
Asal-usul dan maksud-tujuan wahyu dirumuskan oleh Konsili Vatikan II secara eksplisit, sebagai berikut :
“ Maka dengan wahyu ini Allah yang tak kelihatan (bdk. Kol 1 : 15; 1 Tim 1 : 17) karena cinta kasih-Nya yang melimpah ruah, menyapa manusia sebagai sahabat (bdk. Kel 33 : 11; Yoh 15 : 14- 15) dan bergaul dengan mereka (bdk. Bar 3 : 38), guna mengundang dan menerima mereka ke dalam persekutuan-Nya”.

Asal usul wahyu adalah inisiatif Allah yang bebas. Fakta wahyu, yakni berpalingnya Allah kepada manusia terjadi semata-mata karena prakarsa Allah sendiri. Hanya karena cinta kasih yang melimpah ruah, maka Allah melangkah keluar dari rahasia “ada-Nya”. Asal usul wahyu ialah inisiatif Allah yang bebas. Allah sendirilah yang dengan bersabda menghentikan keheningan. Karena itu, wahyu itu bersifat anugerah belaka, rahmat melulu, yang diberikan dengan cuma-Cuma sebagai buah hasil kebaikan hati Tuhan saja.
Maksud- Tujuan wahyu adalah ikut-sertanya manusia dalam kehidupan Allah Tritunggal. Allah mewahyukan diri dengan tujuan mengundang manusia untuk ikut serta dalam persekutuan antara Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah yang kasih adanya masuk dalam percakapan dengan manusia untuk mengundang manusia masuk ke dalam arus cinta kasih yang mengalir antara ketiga Pribadi Ilahi.

3.1.4        Obyek Wahyu
Mengingat asal usul wahyu, jelaslah bahwa yang menjadi subyek wahyu (pelaksana pewahyuan) adalah Allah sendiri. Lalu apakah obyek atau apakah yang diwahyukan oleh Allah ?
Konstitusi Dogmatik Dei Verbum menyebut bahwa obyek wahyu ialah “Diri Allah sendiri dan rahasia kehendak-Nya”. Yang dimaksudkan dengan “rahasia kehendak-Nya” (Ef 1 : 19) ialah rencana Allah untuk menyelamatkan manusia. Keselamatan manusia justru terletak dalam persatuan mesra dengan Allah sendiri. Oleh karena itu, Allah sebagai “keselamatan  manusia” disebut sebagai keselamatan tak tercipta (gratia increata). Berpadanan dengan itu ada juga “keselamatan tercipta” (gratia creata), yaitu nilai-nilai seperti kesehatan, hidup sesudah mati, rasa bahagia, dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan keselamatan tak tercipta, keselamatan tercipta hanya bersifat akibat dan pelengkap.
Pada akhir abad ke-19 dan selama pertengahan pertama abad ke-20, terdapat arus kuat dalam teologi katolik yang cenderung membatasi obyek wahyu itu menjadi sekumpulan ajaran. Yang diwahyukan oleh Allah ialah berbagai kebenaran iman. Dalam hal ini , wahyu dilihat sebagai “Allah yang berfirman”, tetapi yang ditekankan adalah isi pembicaraan Allah itu. Lama-kelamaan, pandangan ini ditinggalkan. Konsili Vatikan II lalu mulai menyadari bahwa pada hakikatnya wahyu merupakan penganugerahan diri  dari Allah kepada manusia. Sifat utama wahyu bukan “berita tentang Allah atau keselamatan”, melainkan perwujudan keselamatan, perwujudan persatuan dengan Allah. Dengan demikian, obyek wahyu bukan pertama-tama semua ajaran dan kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam Kitab Suci dan dalam Tradisi Gereja, melainkan terutama diri Allah sendiri, dengan Siapa kita bersatu secara personal.

3.1.5        Puncak Wahyu
Wahyu pada hakikatnya merupakan pemberian diri Allah yang mempersatukan kita dengan-Nya. Wahyu dalam arti penuh terjadi di mana ada persatuan penuh Allah dengan manusia. Yesus telah bersatu dengan Bapa, dan dialah “kepenuhan wahyu”, sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an. [9]
Konstitusi Dei Verbum menguraikan lebih lanjut mengapa dalam Yesus Kristus terjadi kepenuhan wahyu. Dasarnya ialah Kristus itu Putera Allah sendiri, Sabda Allah sendiri, Sabda Kekal Allah yang diutus kepada manusia. Seluruh diri Kristus dan seluruh hidup-Nya merupakan pelaksanaan kehadiran Allah di tengah-tengah manusia. Hidup manusia Yesus sepenuhnya selaras dengan Allah. Maka, wahyu dalam arti penuh ialah Diri Yesus yang bersatu dengan Allah, Diri Yesus yang berkat kebangkitan-Nya kini ada di dalam kemuliaan Allah Bapa.

3.2    WAHYU UMUM DAN WAHYU KHUSUS
3.2.1        Maksud Istilah Wahyu Umum dan Wahyu Khusus

Dengan menjadikan langit dan bumi beserta segala isinya (makrokosmos), dan terutama dengan menciptakan manusia (mikrokosmos), Allah memperkenalkan diri kepada kita sebagai Pencipta semesta alam. Dengan demikian, Ia menyatakan bahwa Ia “mewahyukan” bahwa Dialah Khalik kita dan bahwa kita ini (beserta segala ciptaan lainnya) adalah makhluk-Nya. Pewahyuan diri Allah melalui karya-Nya sebagai Pencipta itu disebut wahyu umum/ wahyu alamiah/ wahyu kodrati, karena yang menjadi sarana pewahyuan ini ialah alam kodrat yang umum yang terdapat di seluruh dunia. Dengan alam kodrat, dimaksudkan baik semesta alam raya maupun kodrat manusia yang berakal budi. Apabila manusia merenungkan alam ciptaan maupun dirinya sendiri, sambil menggunakan kecerahan akal budi yang umum dimiliki manusia demi kodratnya, ia dapat mengenal Allah, walau pengenalan itu hanya bersifat samara-samar dan amat terbatas.
Untuk mengenal Allah dengan lebih sempurna, manusia memerlukan pewahyuan diri Allah yang lebih lanjut, yaitu pernyataan diri Allah melalui karya-Nya sebagai Penyelamat dan Penebus. Wahyu yang lebih lanjut itu disebut wahyu khusus, wahyu adikodrati, karena disampaikan Tuhan secara khusus, yaitu dengan mengadakan perjanjian dengan umat pilihan-Nya, yaitu umat Israel. Wahyu khusus ini melebihi wahyu kodrati, karena baik fakta maupun isi wahyu khusus itu tidak dapat ditangkap dengan “kemampuan kodrati akal budi”, tetapi hanya dengan budi yang diterangi oleh iman. Yang menjadi sarana pewahyuan khusus ini ialah terutama peristiwa-peristiwa sejarah yang dialami oleh umat Israel sejak panggilan Abraham sampai dengan peristiwa Yesus. Wahyu khusus yang memuncak dalam diri Yesus itu mencapai kepenuhannya dalam kebangkitan Yesus dari alam maut, lalu diteruskan oleh Kristus Mulia dengan mengutus Roh-Nya kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya, yakni Gereja, umat Allah yang baru, “Israel baru”.

3.2.2        Hubungan antara Wahyu Umum dan Wahyu Khusus
Pada masa lampau, teologi Katolik pernah berpendapat bahwa Allah menciptakan dunia dulu dan kemudian masih mau menyelamatkan manusia ciptaan-Nya dengan menambahkan sejarah keselamatan. Dewasa ini, pandangan yang salah itu sudah ditinggalkan berdasarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan erat antara wahyu umum dan wahyu khusus.
Dalam Konstitusi Dei Verbum, Konsili Vatikan II menyadari betul bahwa karya penciptaan dan karya penyelamatan tidak boleh dipisahkan, sebab Allah Pencipta yang menjadikan langit dan bumi adalah Allah yang sama dengan Allah Penyelamat yang membuka jalan keselamatan bagi manusia (bdk. 2 Kor 4 : 6). Tetapi, hubungan antara karya penciptaan (wahyu umum) dan karya penyelamatan (wahyu khusus) tidak hanya terbatas pada kesamaan sumber, yakni Allah sendiri sebagai asal-usul dari keduanya. Dalam pandangan Konsili, wahyu umum harus dilihat dalam perspektif wahyu khusus. Bahkan harus dikatakan bahwa karya penciptaan dirangkul oleh rencana penyelamatan, sebab Allah pertama-tama mau menyelamatkan manusia, dan oleh karena itulah diciptakan-Nya dunia kodrati. Oleh karena itu, dunia diciptakan dalam rangka rencana penyelamatan.
Dengan memandang wahyu umum dalam perspektif wahyu khusus, kita dapat mengerti bahwa juga wahyu umum sudah merupakan wahyu dalam arti yang sebenarnya, yaitu wahyu sebagai persatuan personal antara Allah dengan manusia. Di dalam Kristus, seluruh dunia sudah diarahkan kepada persekutuan dengan Allah.

3.2.3        Isi Wahyu Umum
Apa yang menurut Kitab Suci diwahyukan Tuhan melalui wahyu umum, yaitu isi tentang adanya Allah dengan sifat-sifat Allah, dan tuntutan serta kehendak Allah.
Adanya Allah dan juga beberapa sifat Allah dapat dikenal manusia dengan memandang, menikmati, mengagumi dan merenungkan alam ciptaan yang dijadikan oleh Allah Pencipta, seperti manusia mengenal seorang seniman serta beberapa sifatnya dengan memandang karya seni yang diciptakan oleh seniman itu. Banyak Mazmur Perjanjian Lama memberi kesaksian bagaimana umat Israel meyakni wahyu Tuhan itu di dalam makhluk ciptaan-Nya. Berdasarkan kebesaran dan keelokan ciptaan, manusia seharusnya sampai mengenal Sang Pencipta yang lebih besar dan mulia lagi (bdk Keb 13 : 1- 5). Begitu pula dalam kejadian-kejadian hidupnya, dalam hal keluarga, suku dan bangsanya, dalam sejarah dunianya, manusia dapat mengalami suatu Tangan yang menuntun serta memelihara, tetapi juga  mengadili dan menghukum. Karena manusia merasa dirinya disapa, wahyu umum pun bercorak personal, bersifat hubungan antara pribadi, yakni antara manusia yang hatinya tersentuh dan Allah Pencipta yang menyentuh hati manusia melalui alam ciptaan-Nya. Dan setelah hati manusia tergerak, akal budinya mengadakan refleksi. Rasio terutama menyinari kesadaran akan Tuhan yang masih bersifat afeksi itu dengan terang akal budi, sehingga kesadaran ini dapat juga dipertanggungjawabkan secara intelektual. Dengan demikian, timbullah pengetahuan akan Allah dengan jalan “wahyu umum”.
Isi wahyu umum juga mencakup tuntutan serta kehendak Allah. Bangsa-bangsa yang belum diberi wahyu khusus (yang tidak memiliki hukum taurat) mengenal kehendak Allah dan mengetahui tuntutan-tuntutan-Nya, sebab isi hukum taurat ada tertulis di dalam hati mereka. Kehendak Tuhan diketahui manusia bukan hanya secara khusus diwahyukan Tuhan kepadanya dalam sejarah keselamatan, tetapi juga berkat suara hati yang mengajarkan kepada setiap manusia tentang hukum moral. Suara batin ini dapat didengar oleh setiap orang demi kodratnya sebagai manusia. Mengetahui kehendak Tuhan berkat suara hati itulah yang menjadi isi wahyu umum.

3.2.4        Wahyu Khusus yaitu Sejarah Keselamatan
Tindakan khusus dari pihak Allah yang diperlukan manusia untuk dapat dibebaskan dari dosa terjadi dengan turun tangan Allah dalam sejarah bangsa manusia. Tindakan penyelamatan ini menjadikan sejarah umat manusia sebagai suatu sejarah keselamatan. Tindakan Allah itulah yang disebut wahyu khusus. Dalam wahyu khusus ini, dapat dibedakan antara dua fase, yakni (1) fase konstitusi (pembentukkan wahyu) dan (2) fase kontinuasi (penerusan wahyu).
Dalam fase konstitusinya, wahyu terjadi dan dikembangkan sejak permulaan sampai dengan puncaknya. Wahyu khusus dimulai dalam bentuk “wahyu asali” kepada manusia pertama. Kemudian wahyu khusus itu dikembangkan dalam bentuk perjanjian antara Tuhan Allah dengan umat pilihan-Nya. Bagian sejarah keselamatan inilah yang disebut sebagai Perjanjian Lama. Akhirnya, wahyu khusus mencapai puncaknya berupa “Perjanjian Baru dan Kekal” dalam diri Yesus Kristus, kegenapan segala wahyu. Setelah memuncak dalam peristiwa Paskah dan Pentekosta, fase konstitusi ini selesai dengan berakhirnya zaman Para Rasul.
Dalam fase kontinuasinya, wahyu Kristus itu berlangsung terus di dalam Gereja berdasarkan pewartaan Para Rasul, para “saksi kebangkitan” yang resmi. Pewartaan ini sampai kepada kita sekarang baik secara tidak tertulis (tradisi), maupun melalui Kitab Suci yang merupakan endapan tertulis dari wahyu khusus. Wahyu dalam Kristus itu berlangsung terus sampai dengan Parusia, yaitu penampakan Kristus Mulia pada akhir zaman di mana wahyu di bumi beralih kepada wahyu di surga.

3.3    WAHYU (KHUSUS) PERJANJIAN BARU TERJADI
3.3.1        Peristiwa Yesus Kristus sebagai Cara Wahyu Perjanjian Baru Terjadi

Diri Allah sendiri dan “rahasia kehendak-Nya” (Ef 1 : 9) secara penuh dan lengkap diwahyukan Allah dalam Yesus Kristus. Istilah Alkitab “rahasia” (bahasa Yunani musterion, bahasa Latin sacramentum) menunjuk kepada hal-hal ilahi, tersembunyi, tak kelihatan, yang oleh Allah sendiri dinyatakan dalam hal-hal insani, tampak dan kelihatan. Misteri terbesar ialah Yesus Kristus sendiri. Dialah “Rahasia Allah” (Kol 2 : 2) dalam arti yang paling benar, sebab dalam kemanusiaan Yesus itu berdiam secara jasmani seluruh kepenuhan ke-Allah-an (Kol 2 : 9). Dalam  manusia Yesus yang kelihatan itu dinyatakanlah Allah yang tak kelihatan.
Rahasia Allah yang adalah Kristus menyangkut baik rencana maupun pelaksanaan karya keselamatan. Maka, Kristus itu “rahasia Allah”, baik pada tahap perencanaan, maupun pada tahap pelaksanaan. Kristus merupakan “rahasia Allah” sebagai Sabda yang direncanakan untuk menjelma menjadi manusia. Dan Kristus merupakan “rahasia Allah” sebagai Sabda yang penjelamaan-Nya telah terlaksana.
Mengingat bahwa Allah-lah yang mewahyukan diri dengan sepenuhnya dalam manusia Yesus dari Nazaret, maka kita harus mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah sekaligus Tuhan yang memberi wahyu dan sekaligus juga manusia yang menerima wahyu, yakni manusia yang beriman dan percaya. Kesatuan antara wahyu (dari pihak Allah) dan iman (dari pihak manusia) tercapai secara sempurna dalam Yesus Kristus.
Secara konkret, wahyu Allah dan iman manusia dalam Yesus Kristus itu terjadi dalam perkataan dan perbuatan Yesus, dalam sengsara, wafat dan kebangkitan/ kenaikan Yesus, dalam diutusnya Roh Kudus oleh Yesus dan terbentuknya Gereja.

3.3.1.1  Wahyu (dan Iman) dalam Perkataan dan Perbuatan Yesus
Pada satu pihak, dalam perkataan dan perbuatan Yesus, Allah memberi wahyu, sebab di dalam kedua-duanya itu Allah memungkinkan manusia mengalami siapa Allah sebenarnya. Sabda Yesus, yaitu ajaran, khotbah, perumpamaan dan pewartaan-Nya. Karya Yesus, yaitu mukjizat-Nya, pergaulan-Nya dengan tiap-tiap orang, khususnya dengan mereka yang dianggap hina, yakni para pemungut cukai dan orang berdosa. Baik dalam sabda maupun dalam karya Yesus, kita boleh mengalami siapa Allah pada hakikatnya, yakni Dia yang menyelamatkan kita dari keburukan, entah dari kejahatan moral (dosa), entah dari kemalangan fisik dan psikis (penderitaan jasmani dan rohani, termasuk kematian). Orang yang berjumpa dengan Yesus mengalami bahwa dalam sabda dan karya Yesus, Kerajaan Allah diwujudkan.
Pada pihak lain, dalam perkataan dan perbuatan Yesus itu juga manusia menerima wahyu, sebab Yesus sendiri adalah manusia. Maka, dalam apa yang dikatakan oleh Yesus dan dalam apa yang diperbuat-Nya itu terungkaplah juga tanggapan manusia terhadap wahyu Allah. Yang dikatakan oleh Yesus yaitu “Ya” dan “Amin” kepada Bapa surgawi. Dalam diri Yesus yang sungguh manusia itu, untuk pertama kali umat manusia mengamini Allah dan melakukan kehendak-Nya dengan sepenuh-penuhnya.

3.3.1.2  Wahyu (dan iman) dalam Penderitaan, Wafat dan Kebangkitan Yesus
Kedua aspek dari wahyu dalam Yesus Kristus, yaitu pemberiannya oleh Allah dan penerimaannya oleh manusia mencapai puncaknya dalam sengsara dan wafat Yesus serta dalam kebangkitan-Nya dari alam maut dan kenaikan-Nya ke surga. Seluruh perikehidupan Yesus, segala perkataan dan pekerjaan-Nya menuju “saatnya”, yaitu saat pewahyuan tertinggi dari pihak Allah bertemu dengan penerimaan tertinggi dari pihak manusia. Saat itu adalah saat Yesus “ditinggikan” di kayu salib.
Yesus merupakan tindakan pewahyuan tertinggi dari pihak Allah. Di dalam dalam salib Kristus itu diwahyukanlah dengan sepenuhnya baik kasih Allah maupun dosa manusia. Kasih Allah diwahyukan pada salib Kristus, sebab begitu besar kasih Allah akan dunia, sehingga Ia tidak sayang akan Putera-Nya sendiri, tetapi menyerahkan-Nya kepada maut untuk menyelamatkan manusia. Selain itu, dosa manusia pun diwahyukan pada salib Kristus itu juga, sebab saliblah yang dengan paling tajam memperlihatkan betapa besar dosa manusia.
Salib Yesus juga merupakan tindakan iman tertinggi dari pihak manusia. Salib itu jawaban paling luhur yang dapat diberi manusia untuk menanggapi wahyu Allah. Manusia Yesuslah yang memberi jawaban ini. Kebangkitan Yesus bukan sesuatu dari masa lampau saja, melainkan merupakan permulaan hidup baru dan permulaan wahyu total dalam Kristus Mulia. Setelah bangkit dari alam maut, Kristus tidak mati lagi (bdk. Rm 6 : 9), tetapi hidup terus sebagai Penebus dan Penyelamat manusia.

3.3.1.3  Wahyu (dan iman) dalam Terbentuknya Gereja Berkat Dicurahkannya Roh Kudus oleh Tuhan Mulia
Wahyu dan penebusan berlangsung terus. Hal ini dimungkinkan oleh Roh Kudus yang diutus oleh Kristus yang Mulia, yakni oleh Yesus setelah Ia dimuliakan oleh Allah Bapa dalam kebangkitan-Nya dari alam maut dan dalam kenaikan-Nya ke surga. Roh Kudus adalah ikatan kasih yang mempersatukan Kristus dengan Bapa. Melalui Roh-Nya itu, Tuhan Mulia tetap hadir di dunia ini, dalam ruang dan waktu. Seperti para rasul pada hari Pentekosta, begitu pula semua orang yang percaya kepada Kristus itu didiami oleh Roh Kudus semenjak mereka dibaptis. Roh yang mempersatukan Kristus dengan Bapa itu jugalah yang di dunia ini mempersatukan kita dengan Kristus. Dicurahkannya Roh Kudus atas orang-orang percaya itu membuat mereka menjadi “umat Allah yang baru”, yaitu GEREJA.

3.3.2        Wahyu yang Berlangsung Terus
3.3.2.1  Wahyu di dalam Gereja

Melalui Roh-Nya, Kristus sendiri tetap hadir dalam dan pada Gereja. Tuhan yang kini hadir dalam Gereja ialah Tuhan Mulia, Yesus Kristus yang telah bangkit dan kini duduk di sisi kanan Allah Bapa dalam kemuliaan surgawi. Krustus tetap merupakan puncak wahyu dan satu-satunya “tempat” wahyu berlangsung terus dalam kepenuhannya. Secara konkret, keberlangsungan wahyu di dalam Gereja itu terjadi dalam Liturgi, dalam penghayatan cinta kasih kristiani dan dalam refleksi gerejawi atau wahyu.

a)            Dalam Liturgi
·         Bila wahyu pada pokoknya merupakan komunikasi pribadi antara Tuhan dan manusia, dalam liturgy terjadilah wahyu, sebab dalam liturgy itu Tuhan dan umat-Nya merayakan pergaulan dan hubungan  personal satu sama lain, sambil menggunakan tanda-tanda simbolis.
·         Dalam liturgy dibedakan antara liturgy sabda yang menekankan perkataan, dan liturgy sakramen yang menekankan perbuatan, pengalaman, isyarat.
·         Liturgy Sabda bersifat wahyu secara aktual-nyata, karena Tuhan sendiri hadir dalam sabda-Nya, yakni dalam teks Kitab Suci yang dibacakan.
·         Liturgi Sakramen bersifat wahyu, karena di dalamnya terbentuklah pengalaman intersubyektif antara umat kristiani dan Tuhan. Sakramen itu adalah perbuatan Kristus, dan sekaligus perbuatan orang beriman, perbuatan Gereja.

b)           Dalam Cinta Kasih Kristiani
·         Allah mewahyukan diri sebagai Allah cinta kasih (bdk. 1 Yoh 4 : 16b). Maka, setiap tindakan insani yang baik, artinya yang dijiwai cinta kasih bersifat wahyu dan menggemakan hidup batin Allah Tritunggal.
·         Kehidupan kristiani berdaya wahyu. Bila Kristus adalah wahyu Allah, orang kristiani pun secara partisipatif merupakan tanda wahyu, bukan hanya dengan mewartakan atau mengajar, melainkan dengan seluruh cara hidup dan kepribadiannya.

c)            Dalam Refleksi Gerejawi atas Wahyu
·         Wahyu berasal dari Allah Bapa yang dalam Yesus Kristus menganugerahkan diri-Nya kepada manusia sambil mencurahkan Roh Kudus ke dalam hati orang.
·         Refleksi atas penganugerahan diri Allah itu tidak tinggal terbatas pada zaman para Rasul saja. Sesudahnya pun umat tetap mengalami wahyu Allah dalam Kristus.   Gereja bukan hanya “tubuh Kristus”, melainkan juga badan sosial Gereja sungguh-sungguh manusiawi juga, dan karena itu bimbingan ilahi tadi diwujudkan secara manusiawi dalam stuktur hirarkis.                     

TEST :
1.            Jelaskan Konsep Konsili Vatikan II tentang Wahyu !
2.            Jelaskan sifat-sifat mendasar dari Wahyu !
3.            jelaskan tentang asal-usul dan maksud-tujuan wahyu !
4.            Jelaskan obyek dari wahyu !
5.            Jelaskan tentang wahyu umum dan wahyu khusus !
6.            Jelaskan tentang Wahyu di dalam Gereja !

BAB IV
IMAN : MANUSIA MENJAWAB ALLAH


Tujuan Pembahasan :
            Pembahasan ini akan menjelaskan tentang bagaimanakah iman itu sebagai tanda jawaban manusia atas Allah ? Tujuannya agar mahasiswa dapat mengenal, dan mengetahui apa itu iman sesungguhnya.

Pengantar
            Pihak yang memperkenalkan diri tentu saja mengharapkan tanggapan positif dari pihak yang disapanya. Tuhan pewahyu yang menyatakan diri kepada manusia, tentunya berharap agar manusia dengan senang dan penuh syukur menerima pewahyuan diri Allah itu dan menjawabnya dengan  menyerahkan diri pula kepada Allah pewahyu. Jawaban positif atas wahyu itu disebut “iman kepercayaan”.

4.1    Paham tentang Iman menurut Alkitab

Wahyu dan iman merupakan paham yang korelatif, artinya berhubungan timbal-balik. Dalam wahyu, Allah menyapa manusia, bergaul dengannya, menyatakan diri kepadanya. Dalam iman kepercayaan, manusia menerima secara positif pernyataan diri Alah itu yang dijawabnya dengan menyerahkan diri kepada Allah Pewahyu. Oleh karena itu, paham iman selalu berkaitan erat dengan paham wahyu.

4.1.1        Iman menurut Perjanjian lama
Dalam Kitab Suci, wahyu pertama-tama berarti Allah “berbicara”. Pembicaraan Allah itu khususnya terjadi melalui peristiwa sejarah umat-Nya. Makna peristiwa itu diartikan dan dimaklumkan oleh para nabi. Oleh karena itu, dalam Perjanjian Lama, iman sebagai sikap manusia yang menanggapi wahyu Allah itu dilukiskan sebagai berikut.
  • Pertama-tama iman berarti mendengarkan Sabda Allah. Allah menghubungi manusia melalui sabda-Nya yang bersifat wahyu. Dalam menghadapi sabda pewahyuan Allah itu, manusia harus bersikap “mendengarkan” dulu. Ketika Allah memanggilnya, Samuel menjawab : “Berbicaralah, hamba-Mu mendengarkan” (bdk. 1 Sam 3 : 10).
  • Tetapi, tidak cukup kalau manusia hanya mendengarkan secara fisik dan pasif. Yang perlu ialah mendengarkan dengan kehendak yang aktif. Oleh karena itu, beriman berarti menaati perintah Allah. Sekali sabda didengarkan, sabda itu perlu diresapkan ke dalam hati dengan suatu penyerahan diri yang total. Iman berarti ketaatan. Sikap “taat dan patuh” ini diperlihatkan dengan cemerlang oleh “bapak semua orang beriman”, yaitu Abraham, model iman yang sempurna. Setelah Tuhan memerintahkan kepadanya supaya pergi dari negeri dan dari familinya menuju negeri yang akan ditunjukkan Tuhan kepadanya, “Pergilah Abraham seperti yang difirmankan Tuhan kepadanya” (Kej 12 : 1- 4a). Reaksi Abraham berupa kepatuhan budi yang dijelmakan dalam kepatuhan tingkah laku. Tanggapan yang demikianlah yang dituntut Tuhan dari orang yang percaya kepada-Nya.
  • Orang yang telah mendengarkan sabda Tuhan dan menaati perintah-Nya harus tetap setia dalam melaksanakan kehendak Allah. Kesetiaan itu unsur ketiga dalam paham iman menurut Perjanjian Lama. Dengan setia, orang beriman harus hidup sesuai dengan tuntutan Perjanjian. Dalam situasi yang terus berubah, manusia harus memperbaharui kesetiaannya kepada Yahwe.
  • Beriman dalam Perjanjian Lama berarti juga menaruh percaya pada janji Allah. Dalam PL, wahyu mendapat bentuk konkret dalam hukum taurat dan dalam janji keselamatan. Itulah sebabnya, iman umat sebagai jawaban atas wahyu Allah itu memperoleh bentuk yang nyata bukan hanya dalam ketaatan dan kesetiaan, tetapi juga dalam kepercayaan akan genapnya janji. Dalam diri Maria, iman menjadi kepatuhan dan kepercayaan yang total : kepatuhan hamba Tuhan dan kepercayaan seorang wanita yang kepadanya Allah telah melakukan perbuatan-perbuatan besar.

4.1.2        Iman menurut Perjanjian Baru

Paham iman sebagaimana terdapat dalam Kitab-Kitab Perjanjian Baru diselidiki di bawah ini dengan membahas pandangan Injil Sinoptik, Kisah Para Rasul, Surat-Surat Paulus dan Injil Yohanes.

4.1.2.1  Injil Sinoptik : Mendengarkan – Memahami – Bertobat
  • Kristus mewartakan kabar gembira (Mrk 1 : 14 – 15). Orang yang percaya kepada-Nya dibawa masuk ke dalam persekutuan Roh antara Bapa dan Putera. Kepercayaanlah reaksi yang tepat terhadap pewartaan injil. Para Rasul menerima pewartaan Yesus dengan percaya, lalu meneruskan pewartaan itu (Mrk 16 : 15- 16; Mat 28 : 19- 20).
  • Pewarta mengajak orang untuk mendengarkan Sabda pewartaan : “Siapa mempunyai telinga untuk mendengarkan, hendaklah ia mendengar” (Mrk. 4 : 9). Akan tetapi, tidak cukup hanya mendengar saja tanpa memahami, sebab “kepada setiap orang yang mendengar firman tentang Kerajaan Surga tetapi tidak mengertinya, datanglah si jahat dan merampas yang ditaburkan dalam hati orang itu…” (Mat 13 : 19).
  • Yang dimaksudkan dengan “mengerti” atau “memahami”  ialah (1) menerima Sabda Allah sambil percaya, dan (2) hidup sesuai dengan sabda itu, melakukan sabda dalam praktek hidup sehari-hari
  • Orang yang percaya kepada Yesus akan  selalu melaksanakan sabda-Nya kapan pun dan di mana pun. Ia akan berbalik kepada Allah dengan seluruh pribadinya, sambil membina sikap batin untuk membiasakan diri melaksanakan sabda itu. Berbalik kepada Allah secara total itulah yang disebut bertobat.

4.1.2.2  Kisah Para Rasul : Melekat pada Kristus secara total sebagai anugerah
  • Kesaksian dan pewartaan Para Rasul berisikan berita gembira  tentang keselamatan yang dapat diperoleh melalui Kristus. Jawaban yang tepat atas kesaksian dan pewartaan ini ialah iman kepercayaan dalam arti “menerima sabda” (Kis 2 : 41; 11 : 1), menerima kabar tentang kerajaan )Kis 11 : 20).
  • Dalam Kisah Para Rasul, iman dilukiskan sebagai sikap batin yang menyeluruh, artinya sikap itu melibatkan manusia seluruhnya dan mengarahkan manusia kepada diri Yesus seluruhnya pula. Iman adalah sikap taat dan melekat pada Kristus secara total dan mutlak (Kis 3 : 16; 9 : 42; 11 : 17; 16 : 31). Sikap ini pun berarti bertobat (Kis 11 : 21)
  • Iman itu hasil karya Allah, maka bersifat anugerah. Anugerah iman disampaikan kepada manusia baik secara lahiriah, maupun secara batiniah. Dari luar ada undangan untuk percaya, disampaikan melalui pewartaan para rasul yang dikuatkan dengan tanda-tanda yang menyertainya dan yang memperlihatkan bahwa pewartaan itu atas perintah ilahi. Akan tetapi, bersamaan dengan pewartaan para rasul itu, Allah sedang berkarya dari dalam untuk membuat sabda-Nya diresapkan dalam hati. Kedua unsur ini, yakni unsur lahiriah (pewartaan para rasul) dan unsur batiniah (karya Allah dalam hati) menjadi hal yang penting.

4.1.2.3  Karangan St. Paulus : Mengenal Misteri Allah dalam Yesus Kristus
  • Santu Paulus menekankan iman sebagai jawaban yang diharapkan dari manusia sebagai reaksi terhadap sabda Injil. Melalui iman, orang mendekati Misteri, Injil dan Sabda, sehingga mengenal rencana penyelamatan yang dilaksanakan Allah dalam wafat dan kebangkitan Kristus (1 Kor 1 : 17- 30; 2 : 1- 4).
  • “Mengenal” Misteri Allah berarti bergaul dengan Allah secara akrab, dari hati ke hati, sehingga ada persekutuan pikiran dan kehendak antara manusia beriman dengan Tuhan yang diimaninya. “Pengenalan akan Kristus” itu (Flp 3 : 8) disebut juga “Ketaatan Iman” (Rm 16 : 26; 2 Kor 10 : 5) dan mencakup seluruh diri pribadi manusia.
  • Yang dimaksudkan Paulus dengan “Sabda Allah” bukan pertama-tama  pernyataan kebenaran-kebenaran, melainkan Diri Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat. Karena itu, pewartaan injil merupakan kesempatan bagi manusia untuk menentukan pilihannya : percaya kepada Allah atau tidak.

4.1.2.4  Injil Yohanes
  • Injil Yohanes secara lebih tegas lagi menyajikan pewahyuan diri Allah dalam  pribadi Yesus Kristus sedemikian rupa, sehingga hanya dapat dijawab dengan suatu “Ya” yang total atau suatu “Tidak” yang total pula.
  • Kehadiran Yesus dan sabda-Nya setiap kali menyebabkan para pendengar terbagi antara yang menerima dan yang menolak (Yoh 6 : 60- 71; 7 : 25- 36).
  • Iman berarti pilihan untuk memihak Yesus dan menerima Sabda-Nya. Tidak beriman berarti menolak Yesus.

4.2    Paham tentang Iman menurut Konsili Vatikan I dan II
Ajaran Gereja tentang iman sebagai jawaban manusia kepada Allah yang mewahyukan diri itu pada intinya tidak berubah dari Konsili Vatikan I ke Konsili Vatikan II. Akan tetapi, Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Dei Verbum, menyajikan ajaran itu secara baru dan secara lebih menyeluruh daripada Konsili Vatikan I dalam Konstitusi Dei Filius, yang hanya menekankan hubungan iman dengan akal budi manusia.

4.2.1        Konsili Vatikan I
4.2.1.1  Rasionalisme dan Fideisme : Dua Penyimpangan dalam Teologi Iman

  • Di bidang teologi iman, soal yang dihadapi Gereja menjelang Konsili Vatikan I ialah soal hubungan antara iman dan akal budi. Mengenai soal ini, terdapat dua pendirian ekstrem yang ditolak oleh Konsili karena menyimpang dari ajaran yang tepat. Kedua pendirian itu adalah rasionalisme dan fideisme.
  • Rasionalisme terlalu memperhatikan akal dan kodrat dan mengesampingkan iman yang adikodrati. Aliran ini mempengaruhi aliran modernisme dalam teologi katolik. Asal-usulnya adalah Protestantisme Liberal yang menolak kuasa mengajar dari Gereja dan berpandangan bahwa soal-soal keagamaan diserahkan kepada keputusan perorangan. Akibatnya, adalah muncul pelbagai sekte yang tidak lagi memandang Kitab Suci sebagai bersifat ilahi, tetapi menggolongkannya sebagai hasil karya insani. Protestantisme ini menyangkal sifat transenden wahyu, dan melihat wahyu sebagai kenyataan yang imanen belaka, sebagai suatu ungkapan padat dari perasaan religius insani. Dengan rasionalisme dimaksudkan pendapat bahwa tak suatu pun dapat diterima sebagai benar, kecuali kalau akal budi dapat menangkapnya sebagai yang benar. Kebenaran iman yang mengatasi daya tangkap akal budi ditolak. Ini berarti bahwa rasionalisme menolak wahyu yang adikodrati, misalnya Misteri Tritunggal dan Misteri Inkarnasi.
  • Sebagai reaksi atas munculnya rasionalisme, muncul aliran yang bertolak belakang dengan rasionalisme. Aliran itu adalah fideisme [10] dan tradisionalisme. Kedua aliran ini cenderung menyingkirkan peranan akal budi, lalu lari kepada iman semata-mata (fideisme) dan otoritas tradisi belaka (tradisionalisme).
  • Kaum fideis berpendapat bahwa akal budi sama sekali tidak berguna dalam memahami kebenaran-kebenaran kristiani. Menurut mereka, rasio tidak dapat membantu untuk memperlihatkan kewajaran iman.
  • Peranan akal budi diabaikan oleh kaum tradisionalis yang berpendapat bahwa orang harus bersandar pada iman kepercayaan saja sebagaimana dikomunikasikan dalam tradisi-tradisi Gereja. Untuk mengetahui kebenaran-kebenaran agama yang bersifat alamiah atau kodrati, manusia memerlukan tradisi yang mereka anggap sebagai hasil wahyu asali, wahyu pada zaman purbakala.

4.2.1.2  Ajaran Konsili Vatikan I tentang Iman
  • Mengingat situasi teologi yang dihadapi oleh Konsili Vatikan I, maka dapatlah dimengerti kalau Konsili Vatikan I hanya mengarahkan ajarannya kepada segi atau sudut tertentu dari iman, yaitu segi yang disalahpahamkan baik oleh rasionalisme maupun oleh fideisme (dan tradisionalisme). Konsili menitikberatkan satu segi saja dan tidak memberikan uraian yang menyeluruh tentang iman kepercayaan.
  • Konsili memandang iman dari segi intelektual, segi “pengetahuan”, dan membahas hubungan antara iman dengan akal budi. Konsili Vatikan I memandang iman sebagai penerimaan kebenaran-kebenaran oleh akal budi manusia sedemikian rupa sehingga kebenaran itu diterima berdasarkan pemberitahuan dari pihak Allah yang mewahyukan kebenaran tersebut.
  • Melawan rasionalisme, Konsili mengajarkan bahwa apa yang diwahyukan Allah itu kita imani sebagai benar, “bukan karena kebenarannya yang intrinsic itu dilihat dengan terang kodrati akal-budi, melainkan karena wibawa Allah sendiri yang mewahyukannya”, dan bahwa iman yang menyelamatkan itu tidak mungkin tanpa “penerangan” dan ilham Roh Kudus.
  • Melawan fideisme dan tradisionalisme, Konsili mengajarkan bahwa “ketaatan iman” itu harus “selaras dengan akal-budi” dan bahwa itulah sebabnya Allah menyediakan bermacam-macam tanda, khususnya mukjizat dan nubuat, yang memungkinkan kita mengakui bahwa wahyu berasal dari Allah.
  • Terdapat beberapa point penting dari ajaran Konsili Vatikan I tentang Iman, yaitu :
ü  Iman sebagai kewajiban. Kita wajib percaya kepada Allah yang mewahyukan diri sebagai Pencipta dan Tuhan. Dasar kewajiban itu terletak dalam kenyataan bahwa manusia sepenuhnya bergantung pada Allah.
ü  Akal budi dan kehendak ikut memainkan peranan dalam iman kepercayaan. Peranan itu terutama dilihat sebagai kepatuhan.
ü  Yang mendoron manusia untuk menerima kebenaran iman ialah wewenang Allah yang berbicara. Wewenang itulah yang oleh Konsili disebut sebagai “motivasi iman”.
ü  Iman itu adalah anugerah Allah dan tindakan manusia. Sebagai anugerah Allah, iman merupakan suatu “keutamaan teologis” atau “kebajikan adikodrati”. Iman juga merupakan tindakan manusia yang menjadi aktif berkat daya Roh Kudus.

4.2.2        Konsili Vatikan II
4.2.2.1  Tujuan Konsili Vatikan II : Aggiornamento

  • Konsili Vatikan II tidak dikumpulkan untuk menghadapi aliran-aliran sesat, tetapi untuk membuka jendela Gereja agar angin sejuk dapat masuk dan menyegarkan para warga Gereja.
  • Konsili Vatikan II memiliki tujuan, seperti yang disebutkan Paus Yohanes XXIII, aggiornamento Gereja [11]  yang berarti peremajaan Gereja sehingga sanggup menghadapi tuntutan zaman secara up to date.

4.2.2.2  Ajaran Konsili Vatikan II tentang Iman
  • Konsili Vatikan II melengkapi ajaran Konsili Vatikan I dengan mengembangkan pandangan yang lebih menyeluruh. Konsili Vatikan II mendekati wahyu dan iman sebagai komunikasi pribadi dan persatuan personal antara Allah dan manusia. Wahyu dipandang sebagai penganugerahan diri Allah kepada manusia. 
  • Iman dilihat sebagai penyerahan diri kepada Allah. Iman adalah tindakan bebas manusia yang menjawab kepada Allah. Jawaban itu melibatkan seluruh pribadi manusia, dan bukan hanya akal budi dan kehendak.
  • Ada beberapa point penting dari ajaran Konsili Vatikan II tentang iman :
ü  Iman merupakan penyerahan diri kepada Pribadi Allah secara bebas. Istilah alkitab “ketaatan iman” (Rm 16 : 26) diartikan oleh Konsili Vatikan II secara personal sebagai jawaban bebas dari pihak manusia yang dengan demikian menanggapi anugerah wahyu dari pihak Allah.
ü  Obyek yang diimani bukan pertama-tama kebenaran-kebenaran, melainkan terutama Allah sendiri sebagai pewahyu. Baru pada tempat kedua, diimani pula kebenaran-kebenaran yang diwahyukan oleh Allah.
ü  Iman sebagai pertemuan personal dengan Allah adalah anugerah kepada manusia. “Supaya iman itu ada”, perlu uluran tangan dan bantuan rahmat Allah serta pertolongan batin Roh Kudus.
ü  Roh Kudus memiliki 3 peranan, yaitu (1) Roh memegang peranan dalam penyerahan bebas kepada Allah, sebab Roh Kudus itu “menggerakkan hati” ; (2) Roh juga berperanan dalam penyetujuan intelektual yang bebas dengan wahyu Allah, sebab Roh itu “membuka mata budi”; (3) Roh memberi kepuasan dan kegembiraan dalam menyetujui dan mengimani kebenaran, sebab Roh itu “memberi kenikmatan”.

4.3    Struktur Wahyu dan Iman
Struktu iman kepercayaan ditentukan oleh struktur wahyu, sebab iman merupakan jawaban manusia terhadap wahyu Allah. Wahyu Allah pada hakikatnya merupakan wahyu dalam Yesus Kristus. Karena itu, iman pun ditentukan seluruhnya oleh misteri Kristus. Karena wahyu dan iman merupakan kenyataan korelatif, maka keempat segi yang sama terdapat juga pada iman kepercayaan, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
Sebagaimana wahyu, yaitu :                                       begitulah pula iman, yakni :
1.            peristiwa sejarah                                                1. iman historis
2.            tindakan Allah yang transenden                        2.  partisipasi dalam misteri Allah
3.            perintah Allah dalam teladan Kristus                3. mengikuti teladan Yesus Kristus
4.            ajaran suci                                                          4. menerima ajaran sebagai benar

4.3.1        Wahyu sebagai Peristiwa Sejarah dan Iman yang Historis

Iman Kristiani bersifat “histories” karena wahyu Allah yang memuncak dalam peristiwa Kristus merupakan fakta yang menyejarah.


A.                Factum Historicum
Dengan mengatakan bahwa wahyu Allah yang memuncak dalam peristiwa Yesus itu merupakan fakta historis, sebuah kejadian dalam sejarah bangsa manusia, kita menegaskan empat hal berikut :
a)            Perisitwa Yesus adalah peristiwa yang terjadi dalam ruang dan waktu dunia ini.
b)            Wahyu Allah di dalam Kristus dan pewartaan Kristus di dalam Gereja tidak merupakan sejarah belaka, tetapi sejarah penyelamatan. Kejadian-kejadian sejarah itu merupakan peristiwa dari Tuhan.
c)            Bila misteri Kristus adalah fakta sejarah, maka kebenarannya bukanlah “kebenaran akal budi”, melainkan “kebenaran fakta”.
d)           Sebagai peristiwa yang berlangsung dalam sejarah, misteri Kristus mempunyai ciri-ciri berikut :
·         Unik dan tak terulang. Korban Kristus di salib hanya satu kali dan tak dapat diulangi (Ibr 9 : 28).
·         Menentukan dan memutuskan. Kurban salib Yesus adalah keputusan historis dalam arti yang sebenarnya, bahkan sebagai keputusan terpenting dalam sejarah bangsa manusia. Peristiwa di salib merupakan pusat sejarah.
·         Kesaksian Allah tentangnya yang disampaikan kepada kita melalui pewartaan gerejawi.
·         Perkembangan dan tradisi.

B.                 Fides Historica
Iman kristiani dikatakan iman yang historis (fides historica). Dengan istilah ini mau diungkapkan dua hal :
1)            Orang beriman kristiani meng-amin-i corak historis yang terdapat pada misteri Kristus sebagai misteri penyelamatan.
2)            Orang beriman kristiani mau taat pada jalan penyelamatan yang telah ditentukan Tuhan, dan mau setia pada fakta-fakta penyelamatan itu.

Dipandang dari segi historisnya, iman kristiani dapat juga diberi nama memoria Christi, kenangan atau peringatan akan Kristus. Beriman Kristen berarti mengenangkan perkatan dan perbuatan yang diucapkan dan dilakukan dalam sejarah oleh Yesus Kristus, Putera Tunggal Allah yang diutus-Nya ke dunia. Istilah peringatan [12] menunjuk baik kepada perbuatan “memperingati/ mengenang” maupun kepada isi atau hal-hal yang diperingati/ dikenangkan :
1)            Dipandang sebagai isi, maka yang dimaksudkan dengan memoria Christi ialah isi pewartaan Kristiani dan isi liturgy Kristiani;
2)            Dipandang dari segi perbuatan, yang dimaksudkan dengan memoria Christi ialah tindakan “percaya kepada Kristus” sebagai tanggapan kita terhadap pewartaan dan liturgy.

4.3.2        Aksi Ilahi dan Partisipasi Insani

Wahyu bukan hanya fakta historis, melainkan juga merupakan tindakan ilahi yang permanen. Maka, iman merupakan partisipasi dalam aktualitas tindakan Allah.

A.                Actio Divina Permanens
Wahyu sebagai tindakan Allah yang permanen menyangkut penyelamatan manusia, baik pada tahap perencanaan, ketika “misteri Allah” ini masih tersembunyi dalam Allah, maupun pada tahap pelaksanaan, sejak “misteri” ini dinyatakan dalam sejarah keselamatan yang memuncak dalam peristiwa Kristus. Keselamatan tidak hanya berasal dari Allah, tetapi juga menuju kepada-Nya.
Kehadiran dan aktualitas permanen misteri Kristus di dalam Gereja menjadi nyata bagi kita melalui perbuatan-perbuatan dasariah Gereja, seperti :
·               Mewartakan sabda, dalam arti : (1) memberitakan perbuatan penyelamatan yang dilakukan Allah di masa lampau, (2) mewartakan kedatangan Kristus kelak dengan semarak dan mulia, serta (3) menghadirkan sapa-tegur Kristus yang sekarang ini dialamatkan-Nya kepada kita sebagai Sabda yang membebaskan, menghidupkan, menyemangati, menggairahkan, mengampuni dan menyembuhkan.
·               Merayakan sakramen, dalam arti : (1) peringatan akan perbuatan-perbuatan penyelamatan Kristus yang historis, (2) nubuat dan jaminan tentang kedatangan-Nya kembali, serta (3) perayaan kehadiran-Nya sekarang yang menghubungkan masa lampau dan masa depan.
·               Mengamalkan cinta kasih Kristiani; kepada tujuan inilah Sabda dan Sakramen terarah. Dalam pengamalan cinta kasih Kristiani, dihayatilah kehadiran Kristus sebagai kepada umat manusia yang baru (Ef 1 : 10).

B.                 Fides Participans
Dengan beriman, berarti kita mengambil bagian dalam misteri Kristus yang hadir dalam Gereja demi keselamatan seluruh bangsa manusia. Iman Kristiani secara hakiki bersifat ilahi, kristiani, gerejawi, justru karena berperan serta dalam wahyu Allah di dalam Yesus Kristus yang hadir di dalam Gereja, di mana :
·               Iman bersifat ilahi karena menanggapi wahyu Allah
·               Iman bersifat kristiani karena wahyu Allah adalah misteri Kristus
·               Iman bersifat Gerejawi karena misteri Kristus berlangsung terus dalam Gereja.

4.3.3        Suri Teladan Ilahi Diikuti secara Insani

Wahyu tidak hanya bersifat faktra historis, dan juga bukan hanya tindakan Allah yang menyelamatkan manusia, tetapi juga merupakan perintah Allah yang dinyatakan-Nya kepada kita terutama melalui teladan Kristus. Iman adalah ketaatan kepada perintah Allah dengan mengikuti teladan Yesus Kristus.

A.                Mandatum Dei in Exemplo Christi
Mandatum Dei in Exemplo Christi berarti Yesus mewahyukan kehendak Bapa kepada kita dengan sepenuhnya. Hukum Allah dan Pemerintahan Allah terlaksana sepenuhnya hanya dalam Yesus saja. Di dalam Kristus, manusia dipanggil sepenuhnya untuk mengabdi kepada Allah. Pewahyuan kehendak Bapa oleh Kristus terjadi di dalam Kristus juga sebagai exemplum, sebagai suri teladan bagi kita, umat Kristen. Oleh karena itu, pengabdian kepada Allah pada hakikatnya bersifat “mengikuti teladan Kristus”. Pengabdian ini terdiri dari cinta kasih kepada Allah dan sesama, sebab pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat (Mat 22 : 40).

B.                 Secundum Christum Vivere
Wahyu adalah pernyataan hukum Allah dalam teladan Kristus. Maka, iman akan berarti hidup dengan taat kepada hukum Allah menurut contoh Kristus. Itulah “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5 : 6). Beriman berarti “melakukan firman” (Yak 1 : 22). Tanpa kasih dan tanpa melakukan perintah Allah dengan menuruti teladan Kristus, iman itu “kosong” atau “mati”, tidak berbuah.



4.3.4        Ajaran Suci Diterima sebagai Benar

Iman juga mempunyai segi pengetahuan, karena orang beriman menerima sebagai benar apa yang disampaikan kepadanya dari pihak Allah. Dengan mewahyukan diri kepada manusia, Allah menyampaikan juga kebenaran-kebenaran tertentu kepadanya. Menurut segi ini, wahyu bersifat “ajaran suci”. Maka, iman berarti bahwa kita menerima ajaran itu sebagai benar.

A.                Sacra Doctrina
Dipandang dari sudut misteri ajaran, terdapat empat ciri yang berkaitan dengan wahyu, yaitu :
·               Apa yang disebut rahasia iman itu bersifat juga kebenaran. Kebenaran iman berarti bahwa misteri-misteri iman kristiani agak dimengerti sedikit oleh orang beriman, yakni oleh orang yang akal budinya diterangi iman kepercayaan. Kebenaran-kebenaran iman itu tidaklah bertentangan dengan rasio.
·               Kebenaran-kebenaran iman itu dibedakan atas dua macam, yakni :
ü   Kebenaran-kebenaran yang disebut misteri dalam arti luas (misteria late dicta), sebab walaupun kebenaran-kebenaran ini pada kenyataannya kita ketahui berkat wahyu khusus, namun sebenarnya tidak mustahillah bahwa kebenaran-kebenaran itu kita ketahui berkat wahyu umum, yakni terang kodrati akal budi. Dengan kata lain, kebenaran iman atau “misteri” ini disebut misteri dalam arti luas karena kebenaran ini sekaligus kebenaran akal budi.
ü   Kebenaran iman disebut misteri dalam arti ketat (misteria strictedicta), sebab kebenaran-kebenaran iman yang dimaksudkan di sini hanya dapat dikenal manusia karena wahyu khusus, dan tidak mungkin diketahuinya berdasarkan wahyu umum, yakni melalui terang alamiah akal budi yang merenungkan alam ciptaan. “Misteri dalam arti ketat” tidak bisa diketahui manusia tanpa wahyu khusus.
·               Kebenaran iman dapat diketahui, dirumuskan dan dipelajari. Oleh karena itu, misteri dapat dinyatakan dan diekspresikan sebagai “dogma”, artinya sebagai kebenaran yang diwahyukan Tuhan dan diwartakan oleh Gereja sebagai kebenaran wahyu, kebenaran iman yang mengikat.
·               Sejauh misteri itu mengatasi akal budi, maka kepercayaan akan misteri tersebut diwajibkan kepada akal budi dan kehendak manusia oleh wibawa Allah pewahyu yang tidak dapat sesat dan tidak mungkin menyesatkan.

B.                 Verum Esse Credere
Sejauh misteri Kristus dipandang dari sudut “ajaran suci”, iman yang sesuai dengan sudut pandang ini ialah menerima sebagai benar segala sesuatu yang diwahyukan Tuhan.

TEST
  1. Jelaskan secara singkat arti iman menurut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru !
  2. Jelaskan secara singkat situasi teologi yang dihadapi oleh Konsili Vatikan I ketika berbicara tentang iman !
  3. Jelaskan penjelasan Konsili Vatikan II tentang iman !
  4. Jelaskan tentang Factum Historicun  dan Fides Historica
  5. Jelaskan tentang Actio Divina Permanens dan Fides Participans !
  6. Jelaskan tentang Mandatum Dei in Exemplo Christi dan Secundum Christum Vivere !
  7. Jelaskan tentang Sacra Doctrina dan Verum Esse Credere !




BAB V
PEDOMAN IMAN


Tujuan Pembahasan
            Pokok ini akan menjelaskan tentang apa yang menjadi pedoman bagi kita dalam mengimani wahyu Allah. Apakah yang menjadi pegangan bagi kita zaman sekarang, supaya juga pada masa kini kita masih dapat mengenal Allah sebagaimana Ia telah mewahyukan diri-Nya di dalam Kristus? Tujuannya adalah agar mahasiswa dapat mengenal kehendak Allah yang menyata nyata dalam perintah Kristus untuk mewartakan injil sebagaimana para rasul telah melakukannya dengan pewartaan tidak tertulis dan pewartaan tertulis.
            Pokok ini juga akan membahas tentang pewartaan para Rasul dan para uskup, Kitab Suci dan Tradisi, dan tentang Magisterium Gereja.

5.1    PEWARTAAN PARA RASUL DAN USKUP

Pada pokok ini akan dibahas apa yang menjadi dasar penerusan wahyu, yakni kehendak Allah yang jelas dan yang terungkap dalam perintah Kristus.

5.1.1        Dasar Penerusan Wahyu

  • Dasar penerusan wahyu yaitu kehendak Allah yang jelas. Seperti wahyu sendiri didasarkan pada kehendak Allah yang ingin menyelamatkan semua orang (1 Tim 2 : 4), demikian pula penerusan wahyu didasari oleh kehendak penyelamatan yang sama.
  • Seluruh wahyu terpenuhi dalam diri Kristus. Maka, pantaslah Kristus itu juga mendasari penerusan wahyu, yakni dengan memberikan perintah kepada para Rasul untuk mewartakan injil kepada semua orang (Mat 28 : 19- 20; Kis 1 : 8).
  • “Ungkapan mewartakan injil” berarti “mewartakan Kristus”, sebab yang dimaksudkan dengan injil bukan hanya kesaksian tentang Kristus, melainkan juga Kristus sendiri yang hadir di dunia untuk menyelamatkan manusia.

5.1.2        Cara Pewartaan Para Rasul

Para rasul melaksanakan perintah Kristus untuk mewartakan injil itu dengan dua cara atau dua bentuk, yakni pewartaan tidak tertulis dan pewartaan tertulis.

5.1.2.1  Dengan Pewartaan Tidak Tertulis
Berhubungan dengan pewartaan tidak tertulis, terdapat 3 hal penting yang harus diperhatikan, yakni :
1)            Prioritas pewartaan tidak tertulis. Dibandingkan dengan pewartaan tertulis, maka pewartaan tidak tertulis mempunyai prioritas. Dipandang dari sudut waktu, pewartaan tidak tertulis menjadi prioritas karena mendahului terjadinya Kitab Suci. Dipandang dari sudut logika, karena pewartaan tertulis mengandaikan secara mutlak pewartaan tidak tertulis.
2)            Di bawah bimbingan Roh Kudus, para rasul mengembangkan ajaran Kristus.
3)            Berkenaan dengan paham tradisi, Konsili Vatikan II menaruh tekanan baru. Bentuk penerusan “tidak tertulis” lebih luas, sebab yang dicakup bukan hanya pewartaan dengan kata-kata yang meski tidak tertulis namun pada prinsipnya dapat ditulis, tetapi juga bahwa ada hal-hal yang tidak mungkin ditulis, seperti suasana pergaulan, dan sebagainya.


5.1.2.2  Dengan Pewartaan Tertulis
Dalam kaitannya dengan pewartaan tertulis, terdapat tiga (3) pokok yang perlu dibicarakan, yakni :
1)            Maksud- tujuan pembukuan amanat keselamatan, yaitu supaya dalam bentuk tertulis injil menjadi dasar dan tiang utama iman kita.
2)            Pewartaan para rasul yang tertulis (Kitab Suci) dan tidak tertulis (Tradisi) memiliki kesamaan, yaitu keduanya berasal dari dasar ilahi yang sama, yakni (1) karya dan sabda Kristus, dan (2) dorongan Roh Kudus.
3)            Yang termasuk dalam pengarang Kitab Suci adalah para rasul sendiri (bilangan keduabelas rasul), dan orang lain yang telah menerima pengaruh langsung dari para rasul.

5.1.3        Pewartaan Para Uskup

Untuk menjaga aktualitas injil secara utuh dan hidup sepanjang masa, Magisterium Para Rasul diteruskan kepada Para Uskup sedemikian rupa, sehingga antara pewartaan oleh para rasul dengan pelayanan oleh para Uskup terdapat kesatuan yang tak terpisahkan.

5.1.3.1  Maksud Penerusan Magisterium Para Rasul kepada Para Uskup
·         Yang dimaksudkan dengan “magisterium” adalah kuasa mengajar.
·         Magisterium para uskup ialah pelayanan yang mereka berikan kepada umat berupa tiap-tiap kegiatan penyelamatan yang meneruskan kegiatan rasuli dalam segala bentuk, baik pelayanan pengajaran sebagai guru, maupun pelayanan pengudusan sebagai pelaksanaan rahmat imamat serta pelayanan penggembalaan sebagai wakil dan utusan Kristus.

5.1.3.2  Kesatuan dan Perbedaan Pewartaan Rasuli dan Pelayan Espiskopal
Baik pewartaan para rasul (Kitab Suci dan Tradisi) maupun pelayanan para uskup merupakan unsur penerusan wahyu. Meskipun demikian, terdapat perbedaan hakiki antara pewartaan para rasul dan pewartaan para uskup :
·         Penerusan para rasul adalah identik dan berlandas pada pembentukkan wahyu, karena mereka adalah penerima langsung. Sedangkan penerusan wahyu para uskup dilakukan seturut fungsinya yaitu menjaga dan menafsirkan segalanya yang telah mereka terima dari para rasul, tanpa menambah, tanpa mengurangi atau mengubahnya.
·         Pewartaan para rasul menjadi dasar bagi tugas pelayanan para uskup. Pewartaan para uskup tetap terikat pada pewartaan apostolic

5.2    KITAB SUCI DAN TRADISI

Dalam Dei Verbum artikel 8 terdapat pandangan yang menyeluruh dan cukup lengkap tentang tradisi. Unsur-unsur yang dicakup oleh artikel 8 itu, antara lain tentang perlunya tradisi, isi dan hakikat tradisi, perkembangan tradisi, saksi-saksi tradisi, nilai dogmatis tradisi dan hubungan antara tradisi dan kitab suci.

5.2.1        Perlunya Tradisi
·         Karena keterbatasan Kitab Suci sebagai sarana penerusan wahyu. Kitab Suci hanya merupakan salah satu bentuk kesaksian. Pengalaman yang diperoleh para rasul dari kontak langsung dengan Kristus mengatasi danmelebihi tulisan-tulisan yang memberi kesaksian tentang-Nya.
·         Karena tingkah laku dan pengajaran para rasul sendiri. Dengan berbagai cara, para rasul meneruskan apa yang juga telah mereka terima dari Kristus.


5.2.2        Isi dan Hakikat Tradisi
·         Mengingat tradisi merupakan bentuk khusus penerusan wahyu, maka isi tradisi tentu saja sama dengan isi wahyu. Isi wahyu tidak hanya terdiri dari kata-kata, tetapi terdiri dari seluruh kenyataan kristiani, seperti pengajaran doctrinal, hidup bersama dalam kerukunan cinta kasih, dan perayaan ibadat yang pusatnya ialah sakramen-sakramen.
·         Tradisi bersifat verbal dan non verbal. Tradisi bersifat verbal sejauh meneruskan ajaran yang diwahyukan dan apabila diterima, maka membuat Gereja menjadi umat yang beriman. Tradisi juga bersifat non-verbal, sebab tidak hanya meneruskan ajaran, tetapi juga segalanya yang membentuk Gereja itu dan yang memungkinkan Gereja memenuhi tugas penyelamatannya.
·         Yang merupakan hakikat tradisi yaitu apa yang juga merupakan hakikat wahyu, yang terdiri dari perbuatan (karya) dan perkataan (sabda) yang secara intrinsic terjalin satu sama lain.
·         Tradisi dan alkitab harus dipandang sebagai saling melengkapi secara mutlak. Kesaksian Kitab Suci menuntut untuk dituangkan ke dalam kehidupan Gereja. Tradisi mewujudkan tuntutan itu secara keseluruhan. Justru karena itu, tradisi tetap terikat pada alkitab, dan bukan untuk menggantikan, melainkan untuk menghidupkan Kitab Suci.

5.2.3        Perkembangan Tradisi

Tradisi tetap terbuka untuk perkembangan yang kontinu. Keterbukaan tradisi bagi perkembangan yang terus-menerus itu disebabkan oleh obyek dan hakikat tradisi sendiri. Tradisi demi hakikatnya meneruskan pewartaan para rasul yang hidup. Oleh karena itu, tradisi juga ikut serta dalam daya hidup yang sama. Tradisi merupakan sesuatu yang hidup. Tradisi memberikan dalam Gereja suatu dorongan untuk bertumbuh, dan serentah juga menerima dorongan untuk tumbuh.
Tradisi yang perkembangannya dibahas di sini ialah tradisi yang berasal dari para rasul dan yang menyangkut wahyu. Selain tradisi ilahi-rasuli ini, ada juga tradisi-tradisi yang tidak bersifat ilahi, tetapi bersifat gerejawi semata. Di antara tradisi-tradisi gerejawi itu, ada yang timbul sesudah zaman para rasul, tetapi ada juga yang berasal dari para rasul, tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan wahyu.
Tradisi-tradisi gerejawi, sejauh terikat pada temporalitas Gereja, dapat ditinggalkan bila tidak diperlukan lagi dan bahkan harus ditinggalkan bila menghalangi jalannya Gereja. Akan tetapi, tradisi rasuli yang menyangkut wahyu itu tidak boleh terkena perubahan yang mengenai intinya. Di bidang wahyu, pewartaan para rasul harus tetap sama. Oleh karena itu, tradisi tidak boleh diubah, baik dengan menambahkan sesuatu, ataupun dengan mengurangi sesuatu.
Tradisi yang masuk dalam kehidupan Gereja membangkitkan suatu reaksi semua warga yang berkontak dengannya secara sadar. Setiap reaksi merupakan faktor aktif dalam kemajuan tradisi, meskipun dengan cara berlain-lainan. Faktor-faktor itu tidak dapat diklasifikasikan secara rinci dalam suatu daftar yang ketat, tanpa menghadapi resiko melampaui banyak hal dan menilai dengan terlalu gegabah. Secara umum, terdapat tiga (3) faktor yang menentukan perkembangan tradisi, yaitu :
1)            Pendalaman di bidang ajaran yang disatukan dengan pengalaman praktis. Umat beriman berusaha melalui permenungan memahami lebih baik kenyataan-kenyataan Tradisi yang tidak pernah habis sebagai obyek pemikiran dan sekaligus sebagai aturan hidup.
2)            Pengalaman konkret mengenai isi tradisi. Pendalaman intelektual tentang tradisi tidak boleh terpisah dari pengalaman konkret. Justru dari pengalaman konkret ini, pendalaman tersebut mendapat inspirasinya dan menerima peneguhannya.
3)            Pewartaan para uskup. Pewartaan para uskup tidak hanya merupakan “fungsi produktif” sebagai penyebab perkembangan yang utama dan langsung, tetapi juga “fungsi kritis”. Kedua fungsi ini didasarkan pada “karisma kebenaran yang pasti”.
5.2.4        Saksi-Saksi Tradisi

Setiap keaktifan kegerejaan yang otentik, setiap ungkapan dan lembaga gerejawi yang sejati secara tertentu membawa cap tradisi dan memberi kesaksian tentang hadir dan kerjanya Tradisi di dalam Gereja. Meskipun demikian, kesaksian-kesaksian itu tidak menghadirkan seluruh isi tradisi, tetapi hanya memberi kesaksian tentang tradisi pada tahap tertentu yang selalu terbuka untuk perkembangan yang lebih lanjut. Terdapat dua saksi tradisi yang istimewa, yaitu
a)      Ucapan-ucapan Bapa Gereja. Sebutan Bapa-Bapa Gereja di sini adalah para uskup yang telah menerima dari Kristus kekuatan dan perintah untuk meneruskan, menjaga dan menafsirkan wahyu. Mereka disebut “bapa” berkat pelayanan mereka untuk memperanakkan orang dalam iman. Para Bapa Gereja merupakan saksi tradisi yang istimewa, karena wibawa mereka sebagai orang yang mengumpulkan perbendaharaan wahyu dalam masa transisi dari zaman rasuli kepada turunan-turunan pertama yang menyusul. Kualitas mereka sebagai “saksi tradisi” terletak dalam kesepakatan mereka dalam memberikan pengungkapan-pengungkapan baru kepada pewartaan para rasul, dalam garis perkembangan yang teratur, sejalan dengan intinya yang asli.
b)      Liturgy Gereja, serta praktek-praktek dan hidup keagamaan seluruh persekutuan gerejawi. Liturgy sebagai kesaksian yang hidup itu dipersembahkan oleh Gereja dari dirinya sendiri. Sebagai umat yang percaya dan berdoa, Gereja merayakan misteri keselamatan dalam bentuk doa, dan menghadirkannya dalam bentuk ibadat. Dalam liturgy, tradisi bagaikan dipadatkan. Pewartaan rasuli yang masih giat-aktif itu bergema dalam Liturgi. Keseluruhan liturgy menghadirkan keseluruhan wahyu. Liturgi tidak menciptakan iman, tetapi memberikan kesaksian tentang adanya iman, karena  liturgy menghadirkan wahyu sebagaimana dinyatakan di dalam Gereja dan diminati oleh umat kristiani.
                                                                                                                 
5.2.5        Hubungan antara Tradisi dan Kitab Suci

Tradisi dan Kitab Suci merupakan dua cara yang dipakai para rasul untuk meneruskan injil. Antara keduanya ada hubungan ketergantungan timbal balik. Konstitusi Dei Verbum artikel 9 mengemukakan unsur-unsur umum yang sama, unsur-unsur yang berbeda, dan sikap Gereja terhadap Tradisi Suci maupun terhadap Kitab Suci.

a)      Kesamaan Tradisi dan Kitab Suci :
·         Kesatuan antara tradisi dan kitab suci terletak dalam kesamaan asal dan tujuan. Kedua-duanya berasal dari Allah sendiri yang telah menetapkan bahwa baik tradisi maupun kitab suci menjadi sarana penerusan. Maka, tujuannya pun identik. Baik tradisi maupun kitab suci bertujuan untuk meneruskan wahyu, meski tujuan ini dicapai dengan cara yang berbeda.
·         Tradisi dan Kitab Suci memuat Sabda Allah.
·         Kitab Suci, sejauh merupakan injil yang tertulis, selalu menghadiri pengungkapan-pengungkapannya dalam tradisi. Dan tradisi, sejauh merupakan injil yang dinyatakan dan diaktualkan, selalu memberi kesaksian yang tak tergantikan mengenai injil tertulis.
·         Apa yang diteruskan oleh Tradisi, terdapat juga dalam Kitab Suci.
b)      Perbedaan Tradisi dan Kitab Suci :
·         Keistimewahan Kitab Suci yaitu meneruskan Sabda Allah, bukan saja mengenai isinya , melainkan juga mengenai pengungkapan verbalnya. Ilham Kitab Suci berarti bahwa yang diwahyukan secara ilahi bukan hanya isinya, melainkan juga pengungkapannya. Kitab Suci merupakan “penuturan” [13] Allah. Kitab Suci merupakan Sabda Allah dalam arti Sabda dari Allah yang kini berbicara dan yang telah berbicara. Dengan beralih dari sabda yang diucapkan ke sabda yang dituliskan, maka sabda tersebut tidak kehilangan sesuatu pun dari kualitas ilahinya.
·         Sedangkan tradisi tidak dijamin pengungkapannya oleh inspirasi Allah. Tradisi tidak dapat dikatakan sebagai Sabda Allah. Tradisi hanya meneruskan sabda Allah. Tradisi meneruskan dan menghadirkan wahyu secara integral. Tradisi juga meneruskan kenyataan-kenyataan obyektif yang diberitakan dan diceritakan. Berkat kekuatan tradisi itulah petunjuk-petunjuk verbal dari Kitab Suci menerima dimensinya yang tepat, yaitu pewartaan ilahi yang hidup.

5.3    MAGISTERIUM GEREJA : Wewenang Mengajar Gereja
5.3.1        Pelaksanaan Magisterium Gereja dan Fungsinya

Tugas Magisterium atau wewenang mengajar dipercayakan kepada pimpinan Gereja, yaitu kepada Paus dan para Uskup[14], dan bermaksud untuk melayani Sabda Allah dan untuk keselamatan umat Allah.
Menurut Konsili Vatikan I, fungsi Magisterium adalah menjaga dan memberikan penjelasan yang benar dan otoritatif mengenai isi wahyu, depositum fidei, Sabda Allah yang terkandung dalam Kitab Suci dan yang ditransmisikan oleh Tradisi Suci. Sedangkan dalam Konsili Vatikan II, fungsi Magisterium ditempatkan secara lebih luas dalam perspektif kristologis dan eklesiologis (bdk. DV 10; LG 22).
Sebagai sebuah komunitas iman, Gereja yang dibangun oleh dan didasarkan pada Kristus merupakan sakramen keselamatan yang universal. Dari Kristus melalui Roh Kudus, umat Allah menerima kurnia KETIDAKSESATAN dalam beriman.

”Seluruh umat beriman, yang memiliki urapan dari Yang Kudus (bdk. 1 Yoh 2:20 dan 27), tidak dapat keliru dalam beriman. Sifat khusus ini diungkapkan lewat cita rasa iman adikodrati seluruh umat, apabila umat (dari para uskup sampai ke awam terkecil) menyataka kesepakatannya yang bulat tentang hal iman dan susila. Karena dengan cita rasa iman itu, yang didorong dan didukung oleh Roh Kebenaran, Umat Allah di bawah pimpinan Magisterium yang ditaati dengan setia, bukan lagi menerima sabda manusia, melainkan benar-benar menerima Firman Allah”(LG 12).[15]

            Kharisma kebal salah didasarkan pada ”sensus fidei” (kesadaran untuk beriman) dari seluruh umat Allah : bahwa umat seluruhnya tidak dapat menyeleweng dari kebenaran Kristus. Sensus Fidei diberikan kepada setiap anggota gereja dalam kesatuannya sebagai komunitas beriman dan dalam mengimani Allah. Dengan kata lain, sensus fidei dari seluruh umat berarti orang tidak dapat sesat dalam mengimani Allah karena Allah sendiri memberikan kemampuan interior-intuitif dalam hatinya untuk mengenal Allah.
            Sebagai suatu badan sosial, Gereja memerlukan instansi personal yang dapat bertindak agar kesatuan iman bisa dipertahankan. Dengan demikian, agar Gereja tetap bertahan dalam iman yang satu dan benar dibutuhkan pribadi yang dipercayakan untuk mengambil keputusan terakhir yang bersifat mengikat seluruh gereja. Paus dan para Uskup yang dilengkapi oleh Allah dengan kharisma khusus, dipercayakan untuk menjalankan fungsi ini bagi umat Allah.
Tradisi dan Kitab Suci merupakan sarana utama untuk meneruskan wahyu Allah dalam Yesus Kristus. Perbendaharaan wahyu Allah yang ada dalam Tradisi Suci dan Kitab Suci yang ditujukan demi keselamatan manusia dipercayakan kepada Gereja yang adalah sakramen keselamatan. Semua anggota gereja tetap berpegang pada warisan iman itu dan dengan bantuan Roh Kudus, Gereja menjaga kebenaran yang diwahyukan, mempertahankan dan melaksanakannya. Khazanah wahyu itu adalah hidup dan iman gereja yang dihayati oleh para rasul dan yang diwariskan kepada Gereja sesudahnya.
Namun, khazanah wahyu yang diwariskan oleh para rasul yang terdiri dari Tradisi dan Kitab Suci tidak begitu saja jelas bagi seluruh gereja. Karena itu, warisan ini harus digali kekayaannya, dijelaskan dan diungkapkan secara baru dan aktual di bawah bimbingan Roh Kudus untuk kehidupan gereja. Jadi, perbendaharaan wahyu Ilahi ini perlu diinterpretasi secara otentik. Wewenang untuk menginterpretasi wahyu itu dipercayakan kepada Paus yang menduduki kursi Petrus dan para Uskup sebagai pengganti para rasul.
Wewenang menafsir wahyu Allah dalam Yesus Kristus yang dikuasakan dan diemban oleh Paus dan para Uskup inilah yang disebut Magisterum Gereja atau kuasa mengajar Gereja. Hal ini sudah ditegaskan di dalam DEI VERBUM 10 :
”.... tugas menafsir Sabda Allah baik tertulis maupun yang ditradisikan secara otentik, dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup. Wewenang ini dijalankan atas nama Yesus Kristus. Kendati demikian, wewenang Mengajar Gereja tidak berada di atas Sabda Allah, tetapi melayaninya. Ia tidak mengajarkan lain dari apa yang diwariskan, sejauh hal itu didengarnya dengan saleh, diperliharanya dengan khidmat dan dijelaskan dengan setia, berdasarkan perintah Ilahi dan dibantu oleh Roh Kudus”.[16]

5.3.2        Infalibilitas Gereja

Semua orang katolik tahu dan mengakui wewenang Magisterium Gereja untuk menjelaskan soal-soal iman dan susila. Kuasa Magisterium Gereja ini bersifat INFALIBEL. Hal ini berarti bahwa Magisterium kebal salah dan tidak dapat sesat dalam mengajarkan atau mendefinisikan iman dan susila. Hal iman dan perkara kesusilaan yang tetap dipertahankan dan diteruskan oleh gereja seluruhnya sebagai umat Allah, yang karena kuasa Roh Kudus tidak bisa salah adalah isi wahyu Allah sendiri, yang sudah digenapi oleh Yesus Kristus. Karena itu, apapun ajaran atau penetapan dari Magisterium Gereja harus merupakan pemahaman dan aplikasi dari Kitab Suci dan Tradisi Apostolik dan bukan ajaran atau penetapan yang bersifat individualistis atau dari diri sendiri, melainkan dari Gereja Universal, umat Allah seluruhnya.
Karunia infalibilitas diberikan oleh Kristus melalui Roh Kudus untuk meneruskan wahyu Allah dalam Yesus Kristus secara otentik dan benar untuk keselamatan manusia, yaitu membawa manusia ke dalam persatuan cinta dengan Allah. Karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa infalibilitas yang dianugerahkan kepada Magisterium Gereja merupakan aspek penting dalam iman katolik.
Selain itu, ajaran Magisterium Gereja tentang iman dan susila juga bersifat IRREFORMABILIS, yaitu ajaran yang tidak dapat diubah-ubah. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa rumusan ajaran tersebut sudah lengkap atau sempurna dilihat dari seluruh aspeknya, melainkan karena ajaran yang dikemukakan itu tidak salah dan tidak perlu dibatalkan kembali di kemudian hari sebagai hal yang tidak sepadan dengan iman akan Yesus Kristus.
Meskipun sifat kebal sesat yang dimiliki, Magisterium tidak memberikan ajaran baru sebagai ganti wahyu, tetapi memimpin umat untuk menyelami dan menghayati iman kepada Kristus secara benar. Wewenang mengajar ini kebal salah karena apa yang diajarkan tentu tidak dapat sesat, yaitu tentang Wahyu Allah dalam Yesus Kristus.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka ada 3 (tigas) subyek yang infalibel[17], yaitu :
  1. Gereja Universal : Gereja secara keseluruhan baik pimpinannya maupun anggota-anggotanya karena daya Roh Kudus yang telah diterima dalam pembabtisan, tidak dapat sesat dalam mengimani Kristus. Sifat kebal sesat yang dimiliki oleh gereja sebagai keseluruhan itu terwujud apabila seluruh umat beriman menyatakan kesepakatan dan pengakuannya yang universal dalam hal-hal iman dan kesusilaan secara utuh. Infalibilitas ini dijamin oleh Roh Kudus yang dijanjikan oleh Kristus sendiri (LG 25)
  2. Dewan Para Uskup : Dewan para Uskup adalah pengajar dan pewarta dalam gereja dan bertugas menunjukkan apa yang harus disebut sesat. Pengajar dan Pewarta selalu dibimbing oleh Roh Kudus. Karena itu, pengajaran dan kesaksian mereka atas Wahyu Allah tidak dapat sesat dan harus diterima sebagai yang berwibawa dan otentik. Para Uskup harus menjelaskan dan menjaga wahyu yang diserahkan kepadanya oleh Kristus. Karena ada sifat kebal sesat, maka umat beriman harus mengikuti apa yang diajarkan oleh para Uskup mengenai iman dan susila atas nama Kristus dan menganutinya dengan ketaatan hati (LG 25; Kan 749 – 2). Dan dalam menjalankan fungsi magisterialnya, para Uskup menjalankannya atas 2 cara, yaitu MAGISTERIUM UNIVERSALE ORDINARIUM, yaitu pewartaan yang dilakukan oleh para uskup dalam gereja-gereja lokal, dan yang dilaksanakan berdasarkan actus stricte collegialis, suatu tindakan bersama dengan para uskup lain di dalam persekutuan para uskup. Selain itu, cara lain yang dilakukan oleh para Uskup dalam menjalankan fungsi magisterialnya adalah MAGISTERIUM UNIVERSALE EXTRAORDINARIUM, yaitu ajaran dan pernyataan dewan para uskup yang merupakan hasil dari sebuah konsili umum.
  3. Paus : Paus adalah pengganti Petrus dan Kepala Dewan Para Uskup.  Kuasa mengajar Paus  bisa juga dijalankan dengan menyelidiki pendapat gereja yang tersebar di seluruh dunia, dan juga melalui sinode-sinode. Kuasa mengajar Paus bersifat kebal salah dalam hal menetapkan ajaran-ajaran yang menyangkut iman, khazanah iman yang terdapat dalam Tradisi Suci dan Kitab Suci (DV 10; Kan 747- 1) dan kesusilaan (Kan 747- 2).  Konsili Vatikan II mengutarakan beberapa syarat bagi Paus dalam menggunakan kuasa mengajar yang kebal salah, yaitu :
v  Paus harus berada dalam kesatuan iman dengan gereja seluruhnya. Ia harus menegaskan maksudnya untuk mengungkapkan iman gereja universal
v  Paus harus bertindak sebagai gembala dan pengajar tertinggi umat beriman
v  Paus harus menegaskan maksudnya untuk berbicara EX CATHEDRA (berbicara dari kursi pengajaran santu Petrus). Hal ini berarti Ia berbicara sebagai pemimpin tertinggi Gereja berdasarkan wewenangnya dan secara resmi mengajarkan sesuatu mengenai iman dan susila untuk dipercaya
v  Bahan ajaran dan pernyataan Paus harus menyangkut hal-hal iman dan susila yang disampaikan secara jelas dan pasti

5.3.3        Hubungan Magisterium dan Teologi

Secara umum dapat dikatakan bahwa Magisterium diserahi Tugas untuk menjaga dengan setia wahyu Ilahi melalui penafsiran, ajaran dan penetapannya. Sedangkan para teolog dipercayakan tugas untuk mempelajari secara sistematis-metodis ajaran iman dari Magisterium. Kedua-duanya sama-sama melayani wahyu Allah.
Magisterium dan Teologi memiliki beberapa kesamaan, seperti :

  1. Secara analogis dapat dijelaskan bahwa tugas Magisterium dan para teolog adalah ”menjaga, meresapi dalam batin, menghayati, menjelaskan dan mempertahankan warisan suci wahyu Allah demi keselamatan seluruh dunia. Pelayanan ini pertama-tama memperlihatkan kepastian iman.
  2. Tugas Magisterium dan Teologi didasarkan pada :
v  Sabda Allah, sebab wewenang mengajar itu tidak berada di atas Sabda Allah, tetapi melayaninya.
v  ”Sensus Fidei”dari gereja seluruhnya baik di masa lalu maupun pada masa sekarang. Sabda Allah itu hadir pada setiap masa dalam cita rasa umat bersama dan seluruh umat Allah, yaitu bahwa ”seluruh umat beriman, yang memiliki urapan Roh Kudus tidak dapat keliru dalam beriman”.
v  Ajaran Tradisi, yang melaluinya dipresentasikan iman b ersama dari seluruh umat Allah. Magisterium dan para teolog dengan cara berbeda menelaah dan menggali kekayaan ajaran tradisi untuk kehidupan gereja seluruhnya
v  Pelayanan pastoral dan misioner. Bahwasanya pelaksanaan tugas Magisterium dan para teolog selalu berhubungan erat dengan karya-karya pastoral dan misioner.
  1. Magisterium dan para teolog sama-sama adalah anggota gereja. Karena itu, baik secara kolegial maupun secara perorangan, keduanya bertanggung jawab atas penghayatan iman kepada Kristus dalam gereja

Selain memiliki kesamaan, Magisterium dan Teologi juga memiliki beberapa perbedaan yang dilihat berdasarkan fungsi khas dari keduanya. Perbedaan keduanya,  seperti :

a.      Pada level Tugas/ Fungsi
·         Magisterium :
ü   Secara otoritatif mempertahankan integritas Gereja Katolik dari kesatuan iman dan tata susila.
ü   Menyatakan suatu pendapat itu sesat atau membahayakan iman dan tata susila yang berlaku di dalam Gereja Katolik
·         Teolog :
ü   Menjadi jembatan/ pengantara antara Magisterium dan Umat Allah.
ü   Menjadi pengantara antara iman gereja dan Magisterium.
ü   Mmebuat penelitian-penelitian baru terhadap pelbagai problem, isu dan pertanyaan yang timbul oleh tuntutan-tuntutan baru dari penelitian dan penemuan ilmu pengetahuan, sejarah dan filsafat.
ü   Para teolog menterjemahkan doktrin-doktrin Magisterium kepada umat Allah
ü   Para teolog berperanan untuk mendalami, memberi ilustrasi, membuktikan dan mempertahankan kebenaran iman yang diajarkan Magisterium

b.      Pada Level Kewenangan
Ø   Otoritas Magisterium berasal dari tahbisan sakramental dengan tugas pokok ”menguduskan, mengajar dan memimpin”, atau sebagai imam, guru dan raja
Ø   Para teolog mempunyai kewenangan teologis yang berasal dari kualifikasi ilmiah yang mereka miliki. Karena itu, otoritas ini tidak terlepas dari pengetahuan teologi sebagai ilmu tentang iman. Kualitas ilmiah dalam bidang teologi dapat diwujudkan berdasarkan suatu pengalaman hidup dan penghayatan iman.

c.       Pada level hubungannya dengan Gereja
Ø   Wewenang mengajar dari Magisterium merupakan tugas eklesial yang formal yang melekat pada sakramen tahbisan yang diterimanya, yakni menggembalakan domba-domba dalam kebenaran dan kekudusan. Hal ini dilakukan oleh gereja-gereja lokal oleh Uskup sebagai anggota kolegium para uskup untuk membangun gereja semesta
Ø   Teologi tidak bisa berperanan secara terpisah dari persekutuan dengan iman gereja, semua orang yang telah dibabtis, khususnya mereka yang mempunyai kompetensi ilmiah.

d.      Pada Level Kebebasan
Ø   Magisterium, karena hakekatnya, bebas melaksanakan tugasnya. Kebebasan ini mengandung suatu tanggung jawab yang besar untuk melindungi warisan iman dari kesesatan dan menjaga kesatuan gereja
Ø   Kebebasan para teolog muncul dari tanggung jawab ilmiah yang dimilikinya untuk menafsir dokumen-dokumen dari Magisterium baik yang berasal dari masa lalu maupun yang ada sekarang, yang semuanya berisi tentang kebenaran iman akan wahyu Allah dalam Yesus Kristus dan mencari pemahaman yang lebih baik tentangnya dengan menggunakan metode-metode ilmiah teologis.

5.3.4        Hubungan Magisterium Gereja dengan Tradisi dan Kitab Suci

Magisterium Gereja bukanlah satu instansi otonom, terpisah dari Tradisi dan Kitab Suci (depositum fidei). Magisterium ada untuk mengajarkan dan mengungkapkan depositum fidei secara baru dan aktual di dalam gereja. Magisterium berperanan menjaga keutuhan dan keotentikan isi warisan iman yang dipercayakan Kristus kepada para Rasul dan dari para rasul kepada Gereja. Magisterium adalah pelayan Sabda, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Karena itu, Magisterium mengajarkan hanya apa yang sudah dipercayakan atau diwariskan  para Rasul sepertii yang terkandung dalam Kitab Suci dan ditradisikan dalam Gereja.
Jadi, Magisterium bertindak sebagai pengemban tugas Gereja seluruhnya untuk meneruskan ”depositum fidei” atas nama Kristus di bawah bimbingan Roh Kudus, demi kesatuan Gereja dan keesaan imat umat Allah.


TEST
1)      Jelaskan dasar penerusan wahyu dan cara pewartaan para rasul !
2)      Jelaskan isi dan hakikat Tradisi !
3)      Jelaskan faktor-faktor yang menentukan perkembangan Tradisi !
4)      Jelaskan hubungan antara Tradisi dan Kitab Suci !
5)      Jelaskan pelaksanaan Magisterium Gereja dan Fungsinya !
6)      Jelaskan tentang Infalibilitas Gereja !
7)      Jelaskan hubungan antara Magisterium dan Teologi !













SOAL-SOAL PENUNTUN


  1. Jelaskan pengertian teologi secara !
  2. Jelaskan sejarah penggunaan istilah teologi sejak pertama kali digunakan sampai penggunaan istilah teologi dewasa ini !
  3. Jelaskan alasan mempelajari teologi menurut anda !
  4. Jelaskan sumber dan metode teologi !
  5. Jelaskan tentang teologi apologetika !
  6. Jelaskan tentang keberadaan Allah !
  7. Jelaskan tentang Pengenalan akan Allah
  8. Jelaskan tentang nama-nama dan atribut-atribut Allah !
  9. Jelaskan tentang Penciptaan
  10. Jelaskan tentang Pemeliharaan Allah
  11. Jelaskan tentang Inspirasi dan Iluminasi dan kemukakan kesamaan dan perbedaan antara keduanya !
  12. Bagaimanakah iman itu dirayakan ?
  13. Bagaimanakah iman itu dihayati ?
  14. Jelaskan Konsep Konsili Vatikan II tentang Wahyu !
  15. Jelaskan sifat-sifat mendasar dari Wahyu !
  16. jelaskan tentang asal-usul dan maksud-tujuan wahyu !
  17. Jelaskan obyek dari wahyu !
  18. Jelaskan tentang wahyu umum dan wahyu khusus !
  19. Jelaskan tentang Wahyu di dalam Gereja !
  20. Jelaskan secara singkat arti iman menurut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru !
  21. Jelaskan secara singkat situasi teologi yang dihadapi oleh Konsili Vatikan I ketika berbicara tentang iman !
  22. Jelaskan penjelasan Konsili Vatikan II tentang iman !
  23. Jelaskan tentang Factum Historicun  dan Fides Historica
  24. Jelaskan tentang Actio Divina Permanens dan Fides Participans !
  25. Jelaskan tentang Mandatum Dei in Exemplo Christi dan Secundum Christum Vivere !
  26. Jelaskan tentang Sacra Doctrina dan Verum Esse Credere !
  27. Jelaskan dasar penerusan wahyu dan cara pewartaan para rasul !
  28. Jelaskan isi dan hakikat Tradisi !
  29. Jelaskan faktor-faktor yang menentukan perkembangan Tradisi !
  30. Jelaskan hubungan antara Tradisi dan Kitab Suci !
  31. Jelaskan pelaksanaan Magisterium Gereja dan Fungsinya !
  32. Jelaskan tentang Infalibilitas Gereja !
  33. Jelaskan hubungan antara Magisterium dan Teologi !



GOOD LUCK






[1] Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi, Yogyakarta : Kanisius, 1991, p. 17
[2] Fideisme adalah suatu pandangan yang menggantungkan segala sesuatu pada iman.
[3] Georg Kirchberger, Allah- Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen, Maumere : Penerbit Ledalero, 1997, pp. 18- 19
[4] Bdk. Mat 5 : 1 – 7 : 28
[5] Bdk. Mat 5 : 19- 20
[6] Bdk. Luk 9 : 23
[7] Nico Syukur Dister, p. 87
[8] JB. Banawiratma, Wahyu, Iman dan Kebatinan, Yogyakarta : Kanisius, 1986, p. 15
[9] Bdk. Kol  1 : 19; 2 : 9
[10] Kata “Fideisme” berasal dari kata bahasa Latin fidei yang berarti iman.
[11] Kata aggiornamento berasal dari kata bahasa Italia giorno yang kemudian diturunkan kata aggiornamento yang berarti tindakan mengantar dan membawa Gereja kepada hari ini sehingga tidak ada lagi ketinggalan zaman.
[12] Dalam bahasa Latin disebut memoria, dan dalam bahasa Yunani disebut anamnesis.
[13] Istilah bahasa Latin untuk menyebut penuturan adalah locutio.
            [14] Remigius Ceme, Teologi Fundamental , BAHAN KULIAH, Maumere : STFK Ledalero, p. 175
            [15] Ibid., p. 176
                [16] Penjelasan tentang Wewenang Mengajar Gereja ini secara lebih terperinci telah dijelaskan dalam TONGGAK SEJARAH PEDOMAN ARAH, p. 229-230
                [17] Niko Syukur Diester, Pengantar Teologi , Yogyakarta : Kanisius, 1991, pp. 191-192

1 comment: