BAHAN
KULIAH SPIRITUALITAS
PRODI
PGSD STKIP ST. PAULUS RUTENG
OLEH;
CHRISPINUS H. JEBARUS, S. FIL
NIDN:
0809068002
PENGANTAR PERKULIAHAN
Kehidupan spiritualitas seseorang bukan hanya merupakan topik
perbincangan di kalangan orang beragama atau para teolog saja. Pada waktu buku
Daniel Goleman, seorang doktor psikologi dari Harvard, yang berjudul Emotional Intelligence (EI) terbit pada
1995, para pakar pendidikan dan bidang lain maupun orang awam mulai ramai
membahas dan menulis tentang kepentingan dan peran kecerdasan emosi yang
dikaitkan dengan keefektifan kecerdasan intelektual. Beberapa tahun kemudian,
yaitu tahun 2000 tema tentang kecerdasan spiritual (Spiritual Intelligence/SI) menggeser topik pembahasan dan
penulisan mengenai EI. SI dianggap sebagai faktor penentu bagi keefektifan
kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi. Orang-orang pun mulai memberikan
definisi mengenai kecerdasan spiritual.
Zohar memberikan definisi tentang kecerdasan spiritual sebagai
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang
lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual
adalah landasan yang diperlukan untuk mengfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Bahkan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi kita.[1]
Apabila EQ memampukan seseorang mengambil keputusan untuk bersikap
tepat dalam situasi yang dihadapinya, maka SI memampukan seseorang untuk
memutuskan apakah ia mau berada di dalam situasi seperti itu atau tidak. Jadi,
EQ bekerja dalam batasan situasi, sedangkan SQ memampukan seseorang untuk dapat
mengubah atau memperbaiki situasi yang dihadapinya.
Margot Cairnes, seorang pakar pendidikan dan pakar dalam menyusun
strategi memberikan definisi yang mengkonfirmasi apa yang telah dinyatakan oleh
Zohar dengan mengatakan bahwa SI adalah kemampuan seseorang untuk bertanya,
berpikir dengan kreatif, mengubah aturan-aturan, bekerja dengan efektif dalam
situasi yang berubah melampaui batasan-batasan yang ada, menembus
halangan-halangan yang ada dan membuat inovasi.[2] Gordon
Moyes menganjurkan seseorang untuk memiliki hubungan spiritual yang benar
dengan Allah jika ingin memiliki SI, IQ dan EQ yang produktif sebagaimana
seharusnya.[3]
Atau dengan perkataan lain, spiritualitas merupakan sesuatu yang penting dan
melandasi kecerdasan intelektual dan emosional.
Lawrence O. Richards menjabarkan beberapa definisi tentang
spiritualitas yang pada intinya menyatakan bahwa spiritualitas seseorang tidak
terpisahkan dari relasi orang tersebut dengan Allah. Sedangkan relasi dengan
Allah merupakan dasar relasi orang itu dengan sesama manusia dan yang lainnya
di dunia ini. Irish V. Cully, seorang edukator Protestan, percaya bahwa hidup
di hadapan Allah menolong seseorang untuk memiliki suatu kehidupan yang selaras
dengan tujuan Allah bagi dirinya dan dunia ini. Pada dasarnya kehidupan
spiritualitas seseorang tidak boleh dilepaskan dari realitas kehidupan orang
tersebut.
Setelah pembahasan definisi, orang-orang pun mulai membahas
bagaimana cara seseorang mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi. Apakah itu
dapat dipelajari? Tentu saja semua itu bergantung pada pendefinisian yang
dianut olch seseorang. Apabila definisi kecerdasan spiritual bertitik tolak
dari manusia dan diakhiri oleh manusia, maka kecerdasan spiritual dapat dicapai
atas usaha yang dimulai dan diakhiri oleh manusia. Dengan kata lain, sejauhmana
ia berusaha, sejauh itu jugalah kecerdasan spiritualnya. Apabila definisi
kecerdasan spiritual bertitik tolak dari kerja sama Tuhan dengan orang itu dan
dalam proses pertumbuhannya juga melibatkan kerja sama Tuhan dengannya, maka
ketinggian kecerdasan spiritual seseorang bergantung kerja samanya dengan
Tuhan. Jika definisi kecerdasan spiritual itu hanya bertitik tolak dari Tuhan
dan melibatkan kerja sama Tuhan dan manusia dalam proses pencapaian
ketinggiannya, maka kecerdasan spiritual hanya bisa diawali oleh campur tangan
Tuhan dan proses pertumbuhannya melibatkan Tuhan dan orang itu sendiri. Selain
itu, muncul pertanyaan lain, yakni bagaimana seseorang bisa tahu bahwa ia sudah
memiliki kecerdasan spiritual yang seharusnya jika ia tidak memiliki acuan yang
mutlak? Baik ateis, humanis ataupun yang lainnya, pada akhirnya akan mengacu
pada apa yang dianggap tolok ukur oleh diri mereka masing-masing. Berbicara
tentang definisi dan cara mencapai kecerdasan spiritual, sebagai orang Kristen
tentu saja acuan kita adalah Firman Tuhan. Karena itu, sesuai dengan konteks
dan maksudnya, maka pembahasan mengenai kecerdasan spiritual akan dibatasi
dalam konteks kekristenan saja.
Ada beberapa tolok ukur yang dipakai oleh orang Kristen pada zaman
ini untuk mengukur spiritualitas seseorang.
1.
Keterlibatan seseorang dalam
aktivitas-aktivitas kerohanian. Contohnya, semakin sering ia mengikuti
persekutuan doa atau ke Gereja, maka ia dinilai lebih rohani dari yang tidak
melakukannya;
2.
Keterlibatan seseorang dalam
berbagai pelayanan sosial, misalnya orang yang banyak terlibat dalam menolong
dan berjuang untuk orang lain yang terkena bencana atau dilecehkan oleh
sesamanya, maka orang tersebut dinilai memiliki kepekaan rohani yang lebih
tinggi dari yang lain;
3.
Penampakan fenomena
supranatural melalui kehidupannya, misalnya orang yang dapat mendemonstrasikan
berbagai macam mujizat atau orang yang mengalami berbagai macam kejadian yang
bersifat supranatural, maka ia dinilai lebih dekat hubungannya dengan Tuhan
dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengalaman yang demikian;
4.
Penampakan pola hidup yang
menjauhkan diri dari kegiatan "duniawi." Karena itu, orang yang tidak
pernah menonton film, tidak pernah ke kafe atau ke pesta dansa dinilai lebih
kudus dari orang yang suka pergi ke tempat-tempat seperti itu;
5.
Pemakaian atribut Kristiani.
Misalnya, orang yang selalu membawa Alkitab, memakai asesoris Kristen (kalung
salib, anting salib, T -Shirt berslogan atau bergambar Kristiani) atau selalu
mendengarkan lagu-lagu Kristen dianggap lebih cinta Tuhan dari yang tidak
memakainya.
Apakah itu semua
benar-benar dapat dipakai sebagai suatu ukuran untuk pencerminan spiritualitas
Kristen yang sejati? Untuk menjawabi pertanyaan ini, maka pembahasan
selanjutnya tentang SPIRITUALITAS KRISTIANI dimaksudkan agar
mahasiswa-mahasiswa memiliki pemahaman yang tepat tentang spiritualitas,
sehingga perwujudannya pun benar-benar mendalam.
BAB I
HAKEKAT SPIRITUALITAS
1.1 Pengertian Spiritualitas
1.1.1 Pengertian Secara
Etimologis
Spiritualitas berasal dari kata
bahasa Latin Spiritus yang berarti semangat, nafas hidup, roh, jiwa,
sikap, kesadaran diri dan keberanian. Kata spiritus ini berasal dari kata kerja spirare yang
berarti berhembus, bertiup, bersemangat. [4] Dalam percakapan sehari-hari, penggunaan kata spiritualitas sering
dipertentangkan dengan kata “material” atau “korporalitas”. Di sini,
spiritualitas berkaitan dengan roh yang berlawanan dengan materialitas yang
berkaitan dengan kebendaan atau korporalitas, berkaitan dengan tubuh atau
badan.
Dalam arti
sebenarnya, spiritualitas berarti hidup berdasarkan atau menurut Roh. Dalam
konteks hubungan dengan Yang Transenden, roh itu adalah Roh Allah sendiri.
Jadi, spiritualitas adalah hidup yang didasarkan pada pengaruh dan bimbingan
Roh Allah. Dengan spiritualitas, manusia bermaksud membuat diri dan hidupnya
dibentuk sesuai dengan semangat dan cita-cita Allah.
Spiritualitas adalah keberadaan seseorang yang tahu bagaimana ia
harus berelasi dengan Tuhan, sesama, dirinya sendiri dan ciptaan lain dan hidup
berdasarkan apa yang ia tahu tersebut. Pengetahuan itu sendiri tidak bersumber
dari pola pikir manusia, tetapi harus bersumber dari pola pikir Allah yang
telah dinyatakan melalui Firman-Nya. Ia sebagai Pencipta segala sesuatu di dunia
ini, la jugalah yang mengetahui bagaimana semua ciptaan-Nya harus menjalani
kehidupan mereka masing-masing. Spiritualitas jalan untuk memahami keberadaan
dan kehidupan manusia yang berkaitan dengan pencarian nilai-nilai luhur untuk
mencapai tujuan hidupnya. Spiritualitas adalah keterarahan batin dalam setiap
sikap yang diambil.[5]
Keterarahan itu berdasarkan sesuatu yang rohani yang mengatasi diri sendiri.
Istilah spiritualitas mengandung nada cita-cita yang menjiwai seluruh diri,
seluruh cara bersikap dan bertindak dari seseorang.
1.1.2 Pengertian Menurut Para
Ahli
1.1.2.1 Menurut Halkes
Halkes menegaskan dinamika Roh Kudus dalam memahami
spiritualitas ketika ia menyatakan : “Spiritualitas merupakan sebuah sikap
hidup yang berorientasi kepada Roh Kudus sebagai dorongan untuk hidup dalam
keadilan dan kasih suatu kehidupan yang di dalamnya Roh diberikan kesempatan
untuk berperan“. [6]
1.1.2.2 Menurut Lascaris
Lascaris berpendapat bahwa spiritualitas merupakan suatu
penghayatan iman yang di dalamnya penghayatan tidak hanya menyangkut suatu
pengalaman, tetapi sekaligus sebuah praktek beriman yaitu berbuat sesuatu. [7]
1.1.2.3 Menurut Tischler
Tischler
mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara, berhubungan dengan
emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang
yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih.
Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu
yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari
manusia”adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan diri
orang tersebut. Pengertian spiritualitas ini memiliki dua komponen, yaitu:
a)
Komponen Vertikal, yaitu
sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan waktu, sebuah kekuatan yang
tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa.
b)
Komponen Horizontal, yaitu
melayani teman-teman manusia dan planet secara keseluruhan.
Komponen vertikal sejalan dengan pengertian spiritualitas dari
Schreurs yang memberikan pengertian spiritualitas sebagai hubungan personal
terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu,
idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan pengharapannya terhadap Yang Mutlak.
Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya
dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,
spiritualitas diartikan sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang
datang melalui kesadaran akan dimensi transenden dan memiliki karakteristik
beberapa nilai yang dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri, kehidupan, dan
apapun yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang Kuasa.
Sedangkan komponen horizontal sejalan dengan pengertian
spiritualitas dari Fernando yang mengatakan bahwa spiritualitas juga bisa
tentang perasaan akan tujuan, makna, dan perasaan terhubung dengan orang lain.
Pendapat ini tidak memasukkan agama dalam mendefinisikan spiritualitas.
1.2 Komponen-Komponen
Spiritualitas
Menurut
Elkins, terdapat delapan (8) komponen spiritualitas, yaitu dimensi transenden,
makna dan tujuan dalam hidup, misi hidup, kesakralan hidup, nilai-nilai
material, altruisme, idealisme, serta kesadaran akan peristiwa tragis. Komponen-komponen
spiritualitas menurut Elkins mencakup hubungan seorang individu dengan daya
yang melebihi dirinya dan juga dengan orang-orang di sekitarnya. Seseorang
dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen-komponen di atas.
1.2.1 Dimensi Transenden
Individu
spiritual percaya akan adanya dimensi transenden dari kehidupan. Inti yang
mendasar dari komponen ini bisa berupa kepercayaan terhadap Tuhan atau apapun
yang dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden. Individu bisa jadi
menggambarkannya dengan menggunakan istilah yang berbeda, model pemahaman
tertentu atau bahkan metafora. Pada intinya penggambaran tersebut akan
menerangkan kepercayaannya akan adanya sesuatu yang lebih dari sekedar hal-hal
yang kasat mata. Kepercayaan ini akan diiringi dengan rasa perlunya
menyesuaikan diri dan menjaga hubungan dengan realitas transenden tersebut.
Individu yang spiritual memiliki pengalaman bersentuhan dengan dimensi
transenden.
1.2.2 Makna dan Tujuan dalam
Hidup
Individu
yang spiritual memahami proses pencarian akan makna dan tujuan hidup. Dari
proses pencarian ini, individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki
makna dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masingmasing. Dasar dan
inti dari komponen ini bervariasi namun memiliki kesamaan yaitu bahwa hidup
memiliki makna yang dalam dan bahwa eksistensi individu di dunia memiliki
tujuan.
1.2.3 Misi Hidup
Individu
merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada
kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin merasa akan adanya
takdir yang harus dipenuhi. Pada komponen makna dan tujuan hidup, individu
mengembangkan pandangan akan hidup yang didasari akan pemahaman adanya proses
pencarian makna dan tujuan. Sementara dalam komponen misi hidup, individu
memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam
target-target konkrit dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut.
1.2.4 Kesakralan Hidup
Individu
yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat kesakralan dalam semua hal
hidup. Pandangan akan hidup mereka tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara
yang sakral dan yang sekuler, atau yang suci dan yang duniawi, namun justru
percaya bahwa semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat
juga ditemui dalam hal-hal keduniaan.
1.2.5 Nilai-Nilai Material
Individu
yang spiritual menyadari akan banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk
pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material. Oleh karena itu,
individu yang spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau uang namun
tidak mencari kepuasaan sejati dari hal-hal material tersebut. Mereka menyadari
bahwa kepuasaan dalam hidup semestinya datang bukan dari seberapa banyak
kekayaan atau kebendaan yang dimiliki.
1.2.6 Altruisme
Individu
yang spiritual menyadari akan adanya tanggung jawab bersama dari masing-masing
orang untuk saling menjaga sesamanya (our brother’s keepers). Mereka
meyakini bahwa tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, bahwa umat manusia
terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini
sering dipicu oleh kesadaran mereka akan penderitaan orang lain. Nilai
humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen untuk melakukan tindakan nyata
sebagai perwujudan cinta altruistiknya pada sesama.
1.2.7 Idealisme
Individu
yang spiritual memiliki kepercayaan kuat pada potensi baik manusia yang dapat
diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan bukan saja
pada apa yang terlihat sekarang namun juga pada hal baik yang dimungkinkan dari
hal itu, pada kondisi ideal yang mungkin dicapai. Mereka percaya bahwa kondisi
ideal adalah sesuatu yang sebenarnya mungkin untuk diwujudkan. Kepercayaan ini
membuat mereka memiliki komitmen untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik,
setidaknya dalam kapasitasnya masing-masing.
1.2.8 Kesadaran akan Peristiwa
Tragis
Individu
yang spiritual menyadari akan perlu terjadinya tragedi dalam hidup seperti rasa
sakit, penderitaan atau kematian. Tragedi dirasa perlu terjadi agar mereka
dapat lebih menghargai hidup itu sendiri dan juga dalam rangka meninjau kembali
arah hidup yang ingin dituju. Peristiwa tragis dalam hidup diyakininya sebagai
alat yang akan membuat mereka semakin memiliki kesadaran akan eksistensinya
dalam hidup.
1.3 Aspek-Aspek Spiritualitas
Menurut
Schreurs, spiritualitas terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek eksistensial,
aspek kognitif, dan aspek relasional.
1.
Aspek eksistensial, di mana
seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya yang bersifat
egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini
dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self).
2.
Aspek kognitif, yaitu saat
seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden.
Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas
suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga
dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar
dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan
refleksi atas pengalaman tersebut. Disebut aspek kognitif karena aktivitas yang
dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.
3.
Aspek relasional, merupakan
tahap kesatuan di mana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan (dan atau bersatu
dengan cinta-Nya). Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan
memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan.
1.4 Kompetensi yang Didapat
dari Spiritualitas yang Berkembang
Tischler
mengemukakan empat (4) kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang
berkembang, yaitu :
1.
Kesadaran Pribadi (personal
awareness), yaitu bagaimana seseorang mengatur dirinya sendiri, penilaian
diri yang positif, harga diri, mandiri, dukungan diri, kompetensi waktu,
aktualisasi diri;
2.
Keterampilan Pribadi (personal
skills), yaitu mampu bersikap mandiri, fleksibel, mudah beradaptasi,
menunjukkan performa kerja yang baik;
3.
Kesadaran Sosial (social
awareness), yaitu menunjukkan sikap sosial yang positif, empati, altruisme;
4.
Keterampilan Sosial (social
skills), yaitu memiliki hubungan yang baik dengan teman kerja dan atasan,
menunjukkan sikap terbuka terhadap orang lain (menerima orang baru), mampu
bekerja sama, pengenalan yang baik terhadap nilai positif, menerima kritikan.
Seseorang
dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen-komponen di atas.
Sebagai contoh, pada sisi kesadaran sosial, orang-orang yang spiritualnya baik
memperlihatkan sikap sosial yang lebih positif, lebih empati, dan menunjukkan
altruisme yang besar. Mereka juga cenderung untuk merasa lebih puas dengan
pekerjaannya.
1.5 Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Spiritualitas
Dyson
menjelaskan tiga (3) faktor yang berhubungan dengan spiritualitas. Ketiga
faktor itu adalah:
1.
Diri sendiri. Jiwa seseorang
dan daya jiwa merupakan hal yang fundamental dalam eksplorasi atau penyelidikan
spiritualitas;
2.
Sesama. Hubungan seseorang
dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri. Kebutuhan untuk menjadi
anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah lama diakui sebagai bagian
pokok pengalaman manusiawi;
3.
Tuhan. Pemahaman tentang Tuhan
dan hubungan manusia dengan Tuhan secara tradisional dipahami dalam kerangka
hidup keagamaan. Tuhan dipahami sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup
atau hakikat hidup. Kodrat Tuhan mengambil berbagai macam bentuk dan mempunyai
makna yang berbeda bagi satu orang dengan orang lain. Manusia mengalami Tuhan
dalam banyak cara, seperti dalam suatu hubungan, alam, musik, seni, dan hewan
peliharaan.
Howard
menambahkan satu faktor yang berhubungan dengan spiritualitas, yaitu
lingkungan. Young mengartikan bahwa lingkungan adalah segala sesuatu yang
berada di sekitar seseorang. Young juga menjelaskan bahwa proses penuaan adalah
suatu langkah yang penting dalam perjalanan spiritual dan pertumbuhan spiritual
seseorang. Orang-orang yang memiliki spiritualitas berjuang mentransendensikan
beberapa perubahan dan berusaha mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang
hidup mereka dan maknanya.
BAB II
HAKEKAT SPIRITUALITAS
KRISTIANI
2.1
Pengertian Spiritualitas Kristiani
Spiritualitas Kristen adalah
keberadaan seseorang yang berada di dalam relasi yang benar dengan Allah,
sesama, dan ciptaan yang lain. Yang dimaksudkan dengan benar di sini bukan
berbicara tentang what is (apa yang
terjadi), melainkan what ought to
(apa yang seharusnya terjadi). Pada waktu kita berbicara tentang apa yang
seharusnya terjadi, maka tentu saja sebagai orang Kristen kita mengacunya pada
apa yang dinyatakan oleh Firman Tuhan.
Spiritualitas merupakan jalan untuk
memahami keberadaan dan kehidupan manusia yang berkaitan dengan pencarian
nilai-nilai luhur untuk mencapai tujuan hidupnya. Di dalam agama Kristiani,
‘jalan’ tersebut bukanlah berupa peraturan-peraturan, melainkan berupa ‘Seseorang‘. Dan ‘Seseorang’ ini adalah
Yesus Kristus, yaitu Allah yang
menjelma menjadi manusia. Dengan kata lain, Spiritualitas Kristiani tidak
diawali dengan ide gambaran tentang Allah, tetapi di dalam iman akan Sabda Allah yang menjadi manusia
(Yoh 1:14), yaitu Yesus Kristus. Kristuslah pemenuhan Rencana
Keselamatan yang dijanjikan Allah. Karena itu, kehidupan Spiritualitas
Kristiani berpusat pada Kristus.
Spiritualitas Kristiani adalah
pilihan yang kita ambil untuk “mengenal dan bertumbuh” dalam hubungan
sehari-hari dengan Tuhan Yesus Kristus dengan menaklukkan diri kepada pelayanan
Roh Kudus dalam kehidupan kita. Hal ini berarti bahwa sebagai orang-orang
percaya, kita memutuskan untuk menjaga agar komunikasi kita dengan Roh Kudus
tetap terbuka melalui pengakuan dosa (1 Yoh. 1:9). Ketika kita mendukakan Roh
Kudus dengan berdosa (Ef. 4:30; 1 Yoh. 1:5-8), kita mendirikan penghalang
antara kita dan Allah. Ketika kita tunduk kepada pelayanan Roh Kudus, hubungan
kita tidak akan dipadamkan (1 Tes. 5:19). Spiritualitas Kristiani adalah
kesadaran persekutuan dengan Roh Kristus yang tidak terputus oleh kedagingan
dan dosa.
Spiritualitas
Kristiani mengacu pada nilai- nilai religius yang mengarahkan tindakan seseorang.
Jika nilai-nilai yang dipegang tidak mengarah pada Tuhan, maka kebahagiaan yang
dicapai adalah ‘semu’, sedangkan jika nilai-nilai itu mengarah pada Tuhan, maka
kebahagiaan yang diperoleh adalah kebahagiaan sejati. Meskipun spiritualitas
ini tidak terbatas pada agama tertentu, namun, kita bisa memahami bahwa spiritualitas mengarah pada Tuhan Sang Pencipta,
karena semua manusia diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama, dan karena hanya
di dalam Tuhanlah kita mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan di dalam
kehidupan ini.
2.2
Titik Tolak Spiritualitas Kristiani
Spiritualitas Kristiani tidak berawal dari hadirnya seseorang di
tempat ibadah atau terlibatnya seseorang dalam aktivitas keagamaan. Kitab
Yesaya menyatakan bahwa keterlibatan seseorang dengan berbagai upacara dan
aktivitas keagamaan tidak menjamin bahwa orang tersebut sudah memiliki relasi
yang benar dengan Allah. Dan Tuhan telah berfirman:
"Oleh
karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan
bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku
hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,...” (Yes. 29:13).
Tuhan Yesus
dengan tegas menyatakan:
“Bukan
setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari
terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami
bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak
mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada
mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu
sekalian pembuat kejahatan!” (Mat. 7:21-23).
Spiritualitas Kristiani diawali pada saat seseorang menjadi pohon
yang baik, yaitu pada saat ia menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat
pribadinya. Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya
menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang
yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani
oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah (Yoh. 1:12-13).
Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon
yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang
baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu
menghasilkan buah yang baik (Mat. 7:17-18
Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, telah divonis dengan murka
Allah (Rm. 1:18). Maka, ia berada dalam status "pohon yang tidak
baik" yang tidak memungkinkannya untuk menghasilkan "buah yang
baik". Untuk kembali kepada keadaan sesuai dengan tujuan semula, Allah
menciptakan manusia, ia harus dilahirkan baru terlebih dahulu (lihat Yoh.
3:1-21).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Kristiani yang
alkitabiah merupakan inisiatif dari Allah dan manusia merespons sebagaimana
seharusnya sesuai dengan iman yang telah dianugerahkan kepadanya. Namun, itu
semua hanyaiah titik tolak yang harus dilanjutkan dengan proses pengudusan (Ef.
4:23, Kol. 3:10). Anugerah Allah memungkinkan terjadinya transformasi pada diri
seseorang untuk menjadi serupa dengan Kristus. Hal itu dimungkinkan dengan
adanya peran Roh Kudus dalam diri orang percaya (Tit. 3:5), sehingga manusia
kembali dimungkinkan untuk menjadi gambar Allah yang mempermuliakan Allah
sesuai dengan tujuan Allah sejak penciptaan (Ef. 2:1-10).
2.3
Visi Spiritualitas Kristiani
Kita patut senantiasa bersyukur atas kasih dan karunia Sang Khalik
yang nampak jelas dalam kehidupan, kematian, kebangkitan Yesus Kristus. Sampai
saat ini, Roh-Nya yang Kudus terus berkarya membarui dunia ini. Dalam
kasih-Nya, spiritualitas yang selayaknya kita bangun mengikuti jalan kasih,
sebagaimana Yesus sudah mengajarkan untuk mengasihi
Allah, mengasihi sesama dan mengasihi diri sendiri.
Karena itu, visi spiritualitas Kristiani berkaitan dengan sikap
mengasihi. Kasih Kristiani kepada Allah meliputi :
1.
Menyangkal diri, memikul salib
dan mengikuti jalan Yesus serta menerima, menghargai dan bekerjasama dengan
sesama yang berbeda jalan iman untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan
sebagai wujud kasih kepada Allah; (Mat. 16:24; Mrk. 8:34; Luk. 9:23; 1
Yoh. 4:20);
2.
Menyimak Firman Allah melalui
saat teduh yang rutin, pemahaman dan pendalaman Alkitab dan mengalami aktivitas
pembaruan yang Allah kerjakan di dalam dunia dengan menjadi rekan sekerja-Nya;
3.
Menghormati dan merayakan kuasa
Allah. yang Roh dan Kemuliaan-Nya tercerminkan dalam segenap ciptaan-Nya,
termasuk Bumi dan segenap ekosistem di dalamnya;
4.
Mengekspresikan kasih melalui
kebaktian dalam liturgi yang jujur, khidmat, jelas, menginspirasi dan
merefleksikan kebenaran Allah sebagaimana yang diungkapkan dalam Alkitab.
Lebih lanjut kasih
Kristiani kepada sesama manusia meliputi :
1.
Memandang dan memahami orang
lain secara otentik seperti yang telah dilakukan Yesus, dengan memperlakukan
orang lain sebagai yang diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, tanpa
perlakuan diskriminatif berdasarkan ras, jenis kelamin, usia, kemampuan fisik
dan mental, kebangsaan dan status ekonomi;
2.
Berpihak, sebagaimana yang
sudah Yesus lakukan, dengan yang tersisih dan tertekan, terbuang dan sakit,
memperjuangkan kedamaian dan keadilan dengan segenap upaya dan daya;
3.
Memperjuangkan kebebasan
beragama dan mengupayakan suara-suara kenabian kepada pemerintah terkait dengan
keadaan sosial yang membutuhkan perhatian bersama segenap komponen masyarakat;
4.
Berjalan dengan rendah hati
bersama Allah, menyadari kelemahan diri sendiri sambil dengan tetap jujur
memuji dan mencari kebaikan dalam diri orang lain termasuk terhadap mereka yang
menganggap kita sebagai musuh mereka.
Sedangkan kasih
Kristiani kepada diri sendiri meliputi :
1.
Mendasarkan kehidupan kita
dalam iman bahwa di dalam Kristus, segala sesuatu dijadikan baru dan kita
termasuk semua orang amat sangat dikasihi dengan kasih yang lebih besar dari
yang dapat kita bayangkan untuk selama-lamanya;
2.
Menyadari bahwa sebenarnya
pikiran dan hati kita pada dasarnya adalah ciptaan Allah yang kudus, oleh sebab
itu baik iman maupun ilmu pengetahuan juga iman dan keragu-raguan
merupakan proses yang patut dihargai dalam mencari, menemukan dan
mempermuni kebenaran yang membawa kepada kehidupan karena-Nya;
3.
Peduli akan kebugaran tubuh
dengan menyediakan waktu yang cukup untuk menikmati kuasa dan sukacita yang
didapat melalui doa, refleksi, ibadah dan rekreasi yang akan memperlengkapi
karya kinerja sehari-hari sebagai wujud pertanggungjawaban talenta yang
dipercayakan-Nya;
4.
Menghidupi iman dengan tindakan
karena sadar bahwa hidup kita ini bermakna dan memiliki tujuan. Tindakan iman
itu dihayati sebagai panggilan dan pelayanan yang memperkuat dan mempernyata
bukti kasih Allah kepada dan melalui kita.
2.4
Isi Spiritualitas Kristiani
Dalam Gereja Katolik, terdapat
banyak cara penghayatan iman dan spiritualitas. Tetapi, inti semua
spiritualitas Kristiani yang benar adalah keinginan untuk “mengikuti” Yesus.[8]
Spiritualitas Kristiani berdasarkan
identifikasi dalam iman dengan Yesus Kristus yang bagi orang-orang Kristiani
merupakan “jalan, kebenaran dan kehidupan” (Yoh. 1:46). Mengikuti Yesus berarti
membangun sikap-sikap yang diperlihatkan Yesus. Spiritualitas menjadi motivasi
untuk mengubah dunia yang penuh kekerasan, kebencian, penindasan, ketidakadilan
dan kedosaan, menjadi tempat di mana sentuhan cinta kasih Allah dapat
dirasakan.
2.5
Dasar Spiritualitas Kristiani : Kerendahan Hati
2.5.1 Pengertian Kerendahan Hati
2.5.1.1 Arti Etimologis Kerendahan
Hati
Kerendahan hati atau humility
berasal dari kata bahasa Latin humus
yang berarti tanah/ bumi. Jadi, kerendahan hati adalah menempatkan diri
‘membumi’ ke tanah. Secara khusus pada Rabu Abu, Gereja mengingatkan kita akan
hal ini: “Ingatlah bahwa kamu adalah debu, dan kamu akan kembali menjadi debu”
(Kej 3:19) Betapa dalamnya makna perkataan ini, dan jika kita renungkan, kita
akan semakin mengenal diri kita yang sesungguhnya.
2.5.1.2 Arti Substansial
Ada banyak definisi tentang kerendahan hati. Berikut ini
dijelaskan beberapa arti substansial dari kerendahan hati.
a.
Kerendahan Hati: Nilai yang Diperoleh dari Penghormatan kepada Tuhan
Dalam kehidupan rohani Kristiani, kerendahan hati
diartikan sebagai ‘nilai yang diperoleh dari penghormatan yang dalam kepada
Tuhan.’ Hal ini melibatkan pengenalan akan ‘tempat’ kita yang sebenarnya dalam
hubungan dengan Allah sebagai Pencipta dan dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang
lain, dan sikap ini menentukan perbuatan kita. Kerendahan hati juga mengantar
kita untuk mengakui bahwa kita dan segala ciptaan di dunia ini bukan apa-apa di
hadapan Tuhan, dan kerendahan hati mengarahkan kita untuk hidup sesuai dengan
pemahaman ini. Jadi, kerendahan hati membantu kita untuk melihat segalanya
dengan kaca mata Tuhan: kita melihat diri kita yang sesungguhnya, tidak
melebih-lebihkan hal positif yang ada pada kita, namun juga tidak mengingkari
bahwa segalanya itu adalah pemberian Tuhan. Dalam hal ini kerendahan hati
berhubungan dengan kebenaran dan keadilan yang membuat kita mengasihi kebenaran
lebih daripada kita mengasihi diri sendiri. Kebenaran ini memberikan kepada
kita pengetahuan akan diri sendiri, dengan kesadaran bahwa segala yang baik
yang ada pada kita adalah karunia Tuhan, dan sudah selayaknya sesuai dengan
keadilan, kita mempergunakan karunia itu untuk kemuliaan Tuhan (1Tim 1:17).
Dengan perkataan lain, kebenaran membuat kita mengenali karunia-karunia Tuhan,
dan keadilan mengarahkan kita untuk memuliakan Tuhan, Sang Pemberi.
b.
Kerendahan Hati: Hasil dari Pengenalan akan Diri Sendiri dan akan
Tuhan
Dasar dari kerendahan hati adalah pengenalan akan diri sendiri dan
Tuhan. St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa pengenalan akan diri sendiri bermula
pada kesadaran bahwa segala yang baik pada kita datang dari Allah dan milik
Allah, sedangkan segala yang jahat pada kita timbul dari kita sendiri.
Pengenalan yang benar tentang Tuhan menghantar pada pengakuan bahwa Tuhan telah
menciptakan manusia menurut gambaran-Nya, dan bahwa manusia diciptakan untuk
mengasihi, sebab Allah yang menciptakannya adalah Kasih. Dalam kasih ini, Allah
menginginkan persatuan dengan setiap manusia, sehingga Ia mengirimkan
Putera-Nya yang Tunggal untuk menghapuskan penghalang persatuan ini, yaitu
dosa. Kesadaran akan hal ini membawa kita pada kebenaran: yaitu bahwa kita ini
bukan apa-apa, dan Allah adalah segalanya. Di mata Tuhan kita ini pendosa,
tetapi sangat dikasihi oleh-Nya. Keseimbangan antara kesadaran akan dosa kita
dan kesadaran akan kasih Allah ini membawa kita pada pemahaman akan diri kita
yang sesungguhnya. Kesadaran ini menghasilkan kerendahan hati, yang menurut St.
Thomas adalah dasar dari bangunan spiritual atau ‘rumah rohani’ kita.
c.
Kerendahan Hati: Ketergantungan kepada Tuhan
Kerendahan hati membuat kita selalu menyadari kelemahan kita dan
bergantung kepada rahmat Tuhan. Hal ini juga dapat diterapkan dalam hal iman,
sehingga iman berarti kerendahan hati secara rohani yang melibatkan akal budi,
sehingga seseorang dapat menerima kesaksian Tuhan tentang Diri-Nya, tentang
manusia, dan semua realitas kehidupan, daripada memegang pendapat sendiri.
Jadi, kerendahan hati adalah sikap hati untuk tunduk kepada Tuhan. Selanjutnya,
menurut St. Agustinus kerendahan hati adalah penyerahan diri kepada Tuhan sehingga
kita berusaha untuk menyenangkan hati Tuhan (bukan diri kita sendiri) di dalam
segala perbuatan kita.
2.5.2 Tingkatan Kerendahan Hati
Ada bermacam tingkatan kerendahan hati, tetapi yang akan
kita bahas di sini adalah dua macam tingkatan yang dijabarkan oleh St.
Benediktus dan St. Ignatius.
2.5.2.1 Menurut St. Benediktus
Nilai-nilai yang termasuk kerendahan hati adalah ketaatan, kesabaran dan kesederhanaan. Ketaatan dan kesabaran
berkaitan dengan kerendahan hati yang berhubungan dengan sikap hati, sedangkan
kesederhanaan berhubungan dengan sikap yang dapat terlihat dari luar. St.
Benediktus membagi kerendahan hati menjadi 12 hal di mana tujuh di antaranya
berhubungan dengan sikap hati, dan lima di antaranya berhubungan dengan sikap
yang terlihat dari luar. Ketujuh sikap hati yang berdasarkan atas ketaatan dan
kesabaran tersebut adalah:
1)
Takut akan Tuhan;
2)
Ketaatan kepada Tuhan;
3)
Ketaatan kepada pembimbing
spiritual;
4)
Sabar dalam menanggung keadaan
yang sukar;
5)
Mau mengakui kesalahan kita
(terutama kepada pembimbing spiritual);
6)
Bersedia untuk menerima hal-hal
yang tidak nyaman;
7)
Melihat diri sendiri sebagai
yang tidak utama.
Sedangkan kelima sikap tubuh yang berhubungan dengan kesederhanaan
adalah:
1)
Menghindari pemegahan diri
sendiri;
2)
Hening;
3)
Tertawa tidak berlebihan;
4)
Tidak banyak bicara;
5)
Kesederhanaan dalam bersikap.
Meskipun pengajaran ini pertama-tama ditujukan untuk para religius,
namun toh dengan tingkatan yang wajar dapat diterapkan kepada kita kaum awam.
Apalagi jika kita mau bertumbuh dalam hal rohani, kita-pun perlu mempunyai
pembimbing rohani, yaitu umumnya bapa Pengakuan (pastor pembimbing).
2.5.2.2 Menurut St. Ignatius
Menurut St. Ignatius, terdapat tiga tingkatan kerendahan
hati, yaitu :
1)
Necessary Humility, yaitu penyerahan
diri kepada hukum Tuhan untuk menghindari dosa berat;
2)
Perfect Humility, yaitu
ketidak-terikatan pada kekayaan ataupun kemiskinan, kesehatan ataupun sakit.
Yang terpenting adalah menghindari dosa dan kecenderungan berbuat dosa;
3)
Most Perfect Humility, yakni sikap
meniru Kristus, termasuk menerima dengan rela penderitaan (salib) dan
penghinaan, dalam persatuan dengan Kristus, demi kasih kita kepada-Nya.
Kerendahan hati berlawanan dengan
kesombongan yang berhubungan dengan kelimpahan materi, dan anggapan bahwa diri
sendiri adalah yang paling berkehendak baik, paling pandai, dan paling maju
dalam hal spiritual (spiritual pride).
Kesombongan dalam hal materi berhubungan dengan hal yang kelihatan seperti
kecantikan, kekayaan, nama baik, pangkat dan kehormatan. Kesombongan materi
adalah jenis kesombongan yang paling rendah, dan paling mudah diatasi untuk
mencapai kerendahan hati.
Kesombongan dalam hal berkehendak
baik yaitu keinginan untuk tidak tunduk di bawah siapa pun, memiliki kuasa
untuk memerintah, yang menghasilkan ambisi untuk menguasai, menolak untuk
melayani atau tunduk pada otoritas, bahkan menolak untuk tunduk kepada Tuhan.
Bersamaan dengan ini adalah kesombongan akan kepandaian, yang berhubungan
dengan kebiasaan untuk menghakimi segala sesuatu berdasarkan pendapat sendiri,
dan enggan untuk menerima pernyataan sederhana dari pihak yang punya otoritas.
Sedangkan orang yang rendah hati adalah dia yang sadar akan dosa dan
kelemahannya, yang tahu bahwa ia-pun dapat menjadi ‘terhukum’, jika hanya
keadilan Tuhan yang berlaku di dunia ini. Belas kasihan yang ia terima dari Tuhan
harus menjadikannya berbelas kasih pada orang lain.
Tingkatan kesombongan yang paling
akhir adalah spiritual pride. Karena
spiritualitas adalah karunia, maka kesombongan akan hal ini menjadi sangat
‘berbahaya’. Karunia-karunia spiritual dapat menjadi ladang bagi kesombongan,
sebab jiwa yang sombong dapat menggunakan karunia-karunia tersebut untuk
meninggikan diri, menarik perhatian, mencari dominasi/ kekuasaan, atau untuk
memenangkan ide sendiri. Injil menampilkan jenis kesombongan ini dalam
perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai (Luk 18:9-14). Yesus menolak
kesombongan ini, sebab hal itu membuat orang hidup dalam ‘kebohongan’: dari
luar terlihat suci, tetapi sebenarnya jahat. Hal ini bertentangan dengan
kerendahan hati yang berlandaskan kebenaran.
Menurut St. Ignatius, mengikuti
teladan Yesus dan cara hidupNya adalah bentuk kerendahan hati yang paling
sempurna; yaitu jika seseorang dengan kehendak bebasnya memilih untuk hidup
miskin seperti Kristus, menderita bersama-Nya daripada menjadi kaya dan dihormati
dan dianggap bijak oleh dunia. Sikap ini didasari oleh kesadaran bahwa Allah
mengasihi kita lebih daripada kita mengasihi diri sendiri, sehingga Ia telah
menyerahkan DiriNya untuk membawa kita kepada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan
sejati ini tidak dapat dibandingkan dengan segala pemahaman kita akan
kebahagiaan menurut ukuran dunia. Ketetapan hati meninggalkan kebahagiaan
duniawi untuk mendapatkan kebahagiaan surgawi adalah sikap kerendahan hati yang
paling sempurna.
Kerendahan hati menghantarkan kita
kepada kesempurnaan kasih dan kekudusan Untuk mencapai kekudusan atau
kesempurnaan kasih, kita harus menggunakan kemampuan kita sebagai karunia dari
Kristus. Kita harus meniru teladan-Nya dan mencari kehendak Tuhan dalam segala
sesuatu.
Jadi agar dapat mengasihi, kita
harus rendah hati di dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Karena itu, ada
beberapa hal penting yang ditegaskan oleh St. Ignatius.
a.
Kerendahan hati di dalam
pikiran adalah kita tidak boleh cemburu
atau iri, jika orang lain dipuji, kita harus melihat kebaikan dalam diri orang
lain, dan kita harus bergembira atas kebaikan dan kesuksesan orang lain. Kita
harus ingat akan pengajaran Rasul Paulus, ”… dengan rendah hati, anggaplah
orang lain lebih utama dari diri kita” (Fil 2:3). Kita harus selalu menyadari
bahwa kita hanya semata-mata alat di tangan Tuhan, dan selayaknya segala pujian
ditujukan kepada-Nya.
b.
Kita tidak boleh bicara yang
buruk tentang siapapun dan bicara yang baik-baik tentang diri sendiri, atau
lebih tepatnya, sebaiknya kita membatasi pembicaraan tentang diri kita sendiri
supaya kita tidak jatuh dalam perangkap kesombongan. Jika ada orang berbuat
salah, kita tidak boleh menghakimi, atau memaki, tetapi lebih baik kita berdoa
untuk pertobatannya. Ada baiknya kita menyadari, jika kita berada persis di
dalam situasi mereka, bisa jadi kita berbuat lebih buruk daripada mereka. Kita
harus berjuang supaya tidak marah pada mereka yang menentang kita, tetapi
menerima koreksi dengan lapang hati, demi pertumbuhan rohani kita.
c.
Di dalam perbuatan kita harus
mau mengambil tempat yang rendah/ tidak utama, dan tidak menginginkan untuk
diperlakukan istimewa. Dalam segala sesuatu kita tidak mencari pujian, tetapi
mencari bagaimana agar dapat melakukan sesuatu yang berguna, untuk kebaikan.
Kita juga harus siap meminta maaf, untuk segala kesalahan yang kita lakukan,
baik terhadap Tuhan dan orang lain, dan rajin untuk mengucap syukur untuk
segala karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Sikap seperti ini adalah sikap
seorang pelayan, oleh karena itu, kerendahan hati menjadi dasar dari pelayanan
Kristiani.
2.5.3 Makna Kerendahan Hati
Kerendahan hati adalah salah satu dari nilai-nilai dasar
Spiritualitas Kristiani. Santo Agustinus mengatakan bahwa kerendahan hati
adalah jalan yang pasti membawa seseorang kepada Tuhan. Santo Agustinus bahkan
mengatakan, pertama-tama, kerendahan hati, kemudian, kerendahan hati, dan yang
terakhir, kerendahan hati; untuk menekankan pentingnya kerendahan hati untuk
mencapai kesempurnaan rohani. Dalam spiritualitas, kesempurnaan berarti
kekudusan, sehingga untuk menjadi kudus, kita harus pertama-tama menjadi orang
yang rendah hati. Kerendahan hati adalah dasar dari semua kebajikan yang lain,
sebab tanpa kerendahan hati, kita tidak dapat sungguh-sungguh memiliki kebajikan-kebajikan
yang lain. Kerendahan hati juga disebut sebagai ‘ibu’ dari semua kebajikan,
sebab ia melahirkan ketaatan, takut akan Tuhan, dan penghormatan kepada-Nya,
kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan dan damai.
2.5.4 Kerendahan Hati dan
Kekudusan adalah Yang Dikehendaki Allah bagi Kita
Tuhan Yesus menghendaki agar kita
belajar daripadaNya kelemahlembutan dan kerendahan hati (Mat 11:29). Ia juga
mengajarkan pada kita untuk mengejar kesempurnaan, yaitu kekudusan (Im 19:2;
Mat 5:48). Panggilan untuk hidup kudus inilah yang diserukan oleh Konsili
Vatikan II, yang dijelaskan secara mendalam pada Konstitusi Dogmatik tentang
Gereja (Lumen Gentium) Bab V.
Kekudusan dimaksudkan untuk semua orang, tidak saja untuk para religius. Untuk
mencapai kesempurnaannya, kita harus memulai dari langkah pertama, yaitu
kerendahan hati.
Kerendahan hati adalah lawan dari
kesombongan yang menjadi dosa pertama dari manusia pertama. Kesombongan adalah
sikap ‘menolak’ karunia Allah, seperti kita lihat pada kisah Adam dan Hawa (Kej
2:8-3:14), sedangkan kerendahan hati adalah sikap yang diperlukan untuk
menerima karunia Allah. Alkitab berkata, “Allah menentang orang yang congkak,
tetapi mengasihi orang yang rendah hati” (1 Pet 5:5). Kerendahan hati ini
begitu penting bagi Allah, sehingga menempati urutan pertama dari Delapan Sabda
Bahagia: “Berbahagialah orang-orang yang miskin hatinya, karena merekalah yang
memiliki Kerajaan Surga” (Mat 5:3). Mereka yang rendah hati, yang dimurnikan
dan diterangi Roh Kudus, adalah orang-orang yang siap untuk menerima
karunia-karunia Roh Kudus untuk maksud perutusan.
2.6
Kriteria dan Proses Pertumbuhan Spiritualitas Kristiani
Seseorang yang telah menjadi anak Tuhan tidak secara otomatis akan
langsung hidup sebagai anak Tuhan. Pola pikir manusia menghasilkan perilaku
yang bersumber dari pola pikir tersebut. Dengan kata lain, selama pohon itu
bukan pohon yang baik, maka ia tidak akan menghasilkan buah yang baik.
Seseorang harus memiliki pola pikir Ilahi dan hidup berdasarkan pola pikir
tersebut. Pada waktu Kitab Suci memakai kata "mengenal Allah," yang
dimaksudkan bukan hanya sekadar mengetahui secara kognitif, melainkan juga
hidup berdasarkan apa yang ia tahu.
Bagaimana kita mengetahui seseorang telah mencapai suatu kedewasaan
rohani yang sebagaimana seharusnya? Kuantitas keterlibatan seseorang dalam
aktivitas keagamaan tidak dapat dijadikan tolok ukur. Formasi spiritualitas
diawali dengan relasi yang benar dengan Allah, yaitu pada saat seseorang
menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya. Perubahan status dari orang
berdosa menjadi orang kudus tidak secara otomatis menjadikan seseorang dewasa
dalam kerohaniannya. Sebagai orang yang telah menerima anugerah keselamatan, ia
diharapkan untuk menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan iman yang telah
menyelamatkannya.
Orang kudus tidak dapat berbuah Roh Kudus di luar Firman Tuhan.
Karya Roh Kudus tidak pernah berlawanan dengan Firman Tuhan. Karena itu,
seperti yang dinyatakan Tuhan Yesus, setiap orang percaya harus dikuasai oleh Firman
Tuhan dan menjadi pelaku firman sehingga ia dapat berbuah banyak: "Jikalau
kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa
saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dalam hal inilah Bapa-Ku
dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah
murid-murid-Ku" (Yoh. 15:17-18).
Berbuah banyak tercakup di dalamnya adalah melakukan semua perintah
Tuhan. Perintah Tuhan itu adalah tetap berada di dalam persekutuan yang benar
dengan Allah, dengan memelihara kekudusan hidup, mengasihi sesama seperti
mengasihi diri sendiri, serta menjalankan amanat agung dan mandat budaya.
Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya,
memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan
nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya
karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia
tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti
nyawanya? (Mat. 16:24-26).
2.7
Ciri-Ciri Spiritualitas Kristiani
Tujuan akhir Spiritualitas Kristiani adalah
kemuliaan Tuhan, yang diwujudkan oleh kasih kepada Tuhan dan sesama. Untuk mencapai hal ini, bukan kesuksesan yang menjadi tolok
ukurnya melainkan kesetiaan untuk bergantung pada Kristus, sebab tanpa Dia kita
tidak bisa berbuah (bdk. Yoh 15:15). Spiritualitas Kristiani memiliki beberapa
ciri, yakni :
1.
Berpusat pada Kristus. Kristuslah yang menciptakan hidup spiritual, sebab di dalam Dia,
Tuhan menyatakan diriNya oleh kuasa Roh Kudus. Oleh karena itu spiritualitas tergantung dari semua pengajaran
Kristus.
2.
Melalui Kristus menuju kesatuan dengan Allah
Tritunggal. Karena Kristus adalah Pribadi kedua di dalam
kesatuan Tritunggal Maha Kudus, maka jika kita bersatu dengan Kristus, maka
kita akan bersatu dengan Allah Tritunggal.
3.
Keikutsertaan di dalam misteri Paska Kristus (salib, kebangkitan dan
kenaikan-Nya ke surga), melalui rahmat Tuhan, iman, kasih, dan nilai-nilai Kristiani lainnya. Singkatnya, Spiritualitas Katolik tak terlepas dari Salib
Kristus,[12] penderitaan dan
kesadaran diri akan dosa- dosa kita yang membawa kita pada kebangkitan di dalam
Dia. Karena misi Keselamatan Kristus diperoleh melalui Salib, maka sebagai
pengikutNya, kita-pun selayaknya mengambil bagian dalam penderitaan itu,
terutama dengan kesediaan untuk terus-menerus bertobat dan mau menanggung
penderitaan demi keselamatan sesama, dan dengan demikian kita dapat mengambil
bagian di dalam kemuliaan-Nya. Jika kita hanya mau mengambil bagian dalam
‘kemuliaan’ tanpa mau mengambil bagian dalam ‘penderitaan’ –yang dizinkan oleh
Tuhan untuk terjadi di dalam hidup kita- maka kita tidak menerapkan Injil dengan
seutuhnya.
4.
Berdasarkan kesaksian akan Kasih Tuhan. Kitab Suci bukan hanya wahyu Tuhan, tapi juga pernyataan akan
pengalaman manusia di dalam wahyu Tuhan itu. Apa yang dialami oleh Adam dan
Hawa, Nabi Abraham, Ayub, Bunda Maria, Rasul Petrus dan Paulus, dapat dialami
oleh kita semua.
5.
Disertai kesadaran akan dosa dan
belas kasihan Tuhan. Spiritualitas
Katolik berlandaskan atas keyakinan akan Kasih Tuhan di atas segalanya yang
mampu mengubah segala sesuatu. Pada saat Tuhan mengasihi kita, dan jika kita
membuang segala dosa yang menghalangi kita untuk menerima kasih-Nya, dan dengan
iman dan doa, maka kita dapat sungguh diubah, dikuduskan dan dimampukan berbuat
baik.
6.
Mengarah pada kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Allah.
7.
Melihat Bunda Maria sebagai contoh
teladan. Spiritualitas Katolik
menerima segala kebijaksanaan Tuhan yang selalu menggunakan peran pengantara,
yaitu Musa, para nabi, Yohanes Pembaptis, dan terutama Bunda Maria untuk
menyelenggarakan karya keselamatan-Nya. Karya Tuhan yang ajaib juga nampak
dalam mukjizat keperawanan Maria dan melalui ketaatan dan kesediaan Maria,
Allah menganugerahkan rahmat yang tiada batasnya, yaitu kelahiran Yesus
Kristus, Penyelamat kita di dunia.
8.
Mangacu pada Gereja-Nya, Gereja Katolik. Gereja merupakan sumber atau alat yang meneruskan rahmat Tuhan.
Rahmat Tuhan ini kita peroleh melalui sakramen-sakramen terutama Ekaristi; dan
juga melalui ketaatan kita pada para penerus Rasul Kristus yang telah dipilih
oleh- Nya. Gereja sebagai kesatuan (komuni) manusia dengan Tuhan, selalu
memperjuangkan martabat manusia, dan memperhatikan kesatuannya dengan para
orang kudus; sebab melalui kesatuan ini Allah dimuliakan.
BAB III
MAKNA SPIRITUALITAS
KRISTIANI
3.1
Spiritualitas Kristiani : Spiritualitas Tritunggal Mahakudus yang
Berpusat pada Kristus
Sebagai umat Kristiani, kita percaya
bahwa Tuhan telah menyatakan diri-Nya di dalam diri Yesus Kristus PuteraNya
oleh kuasa Roh Kudus-Nya. Oleh karena itu, spiritualitas
Kristiani bersumber
pada Allah Tritunggal Maha Kudus, yang berpusat kepada Kristus,
Penyelamat kita, karena hanya di dalam nama Kristus kita diselamatkan (Kis
4:12). Allah Bapa telah menciptakan kita sesuai dengan gambaran-Nya dan
menginginkan agar kita selalu tinggal di dalam kasih-Nya yang tak terhingga
sebagaimana ditunjukkan oleh Kristus dengan wafat dan kebangkitanNya, untuk
menghapus dosa-dosa kita (1 Yoh 4:10). Oleh Kristus, kita diangkat menjadi
anak-anak Allah (Rom 8:15) dan dipersatukan dengan Tuhan sendiri, Allah Bapa,
Putera dan Roh Kudus.
Jadi, persatuan kudus kita dengan Allah Tritunggal adalah tujuan hidup kita.
Persatuan dengan Tuhan yang membawa kita pada keselamatan adalah suatu karunia.
Hal ini merupakan pemberian, bukan karena usaha manusia (Ef 2:8). Karunia
keselamatan tersebut diberikan oleh Kristus melalui wafatNya di salib,
kebangkitan-Nya dan kenaikanNya ke surga. Misteri inilah yang sampai sekarang
selalu dihadirkan kembali oleh Gereja Katolik melalui sakramen sakramennya,
terutama Sakramen Ekaristi, di mana kita dipersatukan dengan Tubuh dan Darah
Kristus, Jiwa dan Ke–ilahianNya. Persatuan atau komuni kudus ini adalah cara
yang dipilih Allah untuk mengangkat kita menjadi serupa dengan Dia. Untuk
maksud persatuan kudus inilah, Kristus mendirikan Gereja Katolik untuk melanjutkan
karya Keselamatan-Nya kepada dunia sampai kepada akhir zaman.
Banyak orang yang mempertanyakan ajaran tentang Trinitas, bahkan
banyak orang yang bukan Kristen mengatakan bahwa orang Katolik percaya akan
tiga Tuhan. Tentu saja hal ini tidak benar, sebab iman Kristiani mengajarkan
Allah yang Esa. Namun bagaimana mungkin Allah yang Esa ini mempunyai tiga
Pribadi? Untuk memahami hal ini memang diperlukan keterbukaan hati untuk
memandang Allah dari sudut pandang yang mengatasi pola berpikir manusia. Jika
kita berkeras untuk membatasi kerangka berpikir kita, bahwa Allah harus dapat
dijelaskan dengan logika manusia semata-mata, maka kita membatasi pandangan
kita sendiri, sehingga kehilangan kesempatan untuk melihat gambaran yang lebih
luas tentang Allah. Kita mencukupkan diri kita dengan pandangan Allah yang
logis menurut pikiran kita dan tanpa kita sadari kita menolak tawaran Allah
agar kita lebih dapat mengenal DiriNya yang sesungguhnya.
3.1.1 Hakekat Trinitas
3.1.1.1 Arti Trinitas
Kata Trinitas berasal dari bahasa Latin yang berarti nomor tiga, tiga
serangkai atau tritunggal. Kata benda abstrak ini terbentuk dari kata sifat trinus yang berarti tiga kali lipat). Tertulianus, seorang teolog Latin yang menulis
pada awal abad ketiga, yang dianggap menggunakan kata-kata "Trinitas,
"persona" dan "substansi" menjelaskan bahwa Bapa, Anak dan
Roh Kudus adalah "satu dalam esensi - bukan satu dalam Persona".
Tritunggal
atau Trinitas adalah doktrin
Iman Kristiani
yang mengakui Satu
Allah Yang Esa, namun hadir dalam Tiga Pribadi: Allah
Bapa dan Putra
dan Roh
Kudus, di mana ketiganya adalah sama esensinya, sama
kedudukannnya, sama kuasanya, dan sama kemuliaannya. Istilah Tritunggal mengandung arti tiga
Pribadi dalam satu kesatuan esensi Allah. Istilah "pribadi" dalam
bahasa Yunani adalah hupostasis, diterjemahkan ke Latin sebagai persona
(Inggris: Person). Sejak awal abad ketiga doktrin Tritunggal telah
dinyatakan sebagai "Satu keberadaan Allah di dalam tiga Pribadi dan satu
substansi Bapa, Anak, dan Roh Kudus”.
3.1.1.2 Perkembangan Teologi
Trinitas
A. Usaha-Usaha Awal
Dalam Kitab Suci, kita
menemukan suatu ajaran tentang Trinitas, tetapi kita dapat menemukan
pernyataan-pernyataan yang menghasilkan ajaran tentang Trinitas itu. Misalnya
di dalam 2 Kor 13 : 13 : “ Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah
dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian”, atau Mat 28 : 19 : “ Pergilah, jadikanlah
semua bangsa muri-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh
Kudus”.
Rumusan di atas
digunakan juga oleh bapa-bapa apostolic sesudah zaman Perjanjian Baru. Dan
sejak abad ke-2 muncul usaha-usaha untuk mendalami dan memikirkan hubungan dari
Putra dan Roh dengan Allah yang esa. Usaha-usaha awal ini diwarnai oleh subordinatianisme
yang mengajarkan bahwa Putra dan Roh bergantung dari Bapa. Putra
melaksanakan tugas perutusan yang diberikan oleh Bapa dan Roh menyelesaikan
tugas Yesus Kristus itu. Dasar dari subordinatianisme adalah Yoh 14 : 28
: “ Bapa lebih besar daripada Aku”.
B. Aliran Monarkhianisme
Ada satu kelompok atau
aliran dalam kekristenan awal yang sangat prihatin. Mereka berusaha mencari
jalan bagaimana hubungan Yesus dengan Allah bisa dipikirkan tanpa membahayakan
ke-esa-an absolute Allah. Aliran ini disebut monarkhianisme. Aliran ini
dibagi atas dua kelompok, yaitu monarkhianisme dinamis dan monarkhianisme
modalis.
Menurut monarkhianisme
dinamis, Yesus dari Nazaret merupakan manusia biasa, tetapi Allah
melengkapinya dengan suatu kekuatan istimewa. Pelengkapan itu terjadi pada
pembaptisan Yesus di sungai Yordan atau ketika Yesus ditinggikan Allah dalam
pembangkitan. Dan aliran yang mengajar bahwa pada peninggian itu Yesus diangkat
sebagai Putera Allah tetapi tidak sungguh menjadi Allah disebut Adoptianisme.
Pendukung terkenal dari aliran monarkhianisme dinamis itu adalah Paulus dari
Samosata yang mengajarkan bahwa Logos, sabda ilahi, merupakan suatu sifat atau
kekuatan pada diri Allah. Kekuatan itu (logos) disamakannya dengan
Kebijaksanaan (Sophia) Allah dan dengan roh (pneuma) ilahi. Kekuatan ilahi ini
melengkapi manusia Yesus. Ajaran ini kemudian ditolak oleh sebuah Sinode di
Antiokhia pada tahun 269.
Sedangkan monarkhianisme
modalis [9] berpendapat bahwa Yesus adalah suatu
cara di mana Allah menyatakan diri. Aliran ini juga yakin bahwa Yesus
sungguh-sungguh Allah, karena hanya sebagai Allah, Ia bisa menyelamatkan dunia.
Menurut aliran ini, Bapa, Putra dan Roh Kudus hanya merupakan nama atau cara
penampakan (prosopa atau topeng) yang berbeda dari Allah yang sama.
Dengan memberi hukum pada Perjanjian Lama, Allah itu tampak sebagai Bapa.
Dengan menyelamatkan kita dalam inkarnasi sampai pengangkatan ke surga, Allah
yang sama tampak sebagai Putra dan dalam menguduskan jiwa-jiwa, Ia tampak
sebagai Roh Kudus. Maka, apa yang kita sebut Bapa, Putra dan Roh Kudus
merupakan semacam topeng yang pada kesempatan tertentu digunakan Allah untuk
menyatakan diri kepada manusia. Tetapi, tiga nama itu tidak menyangkut Allah
dalam diri-Nya sendiri, dan tidak berada serentak dalam diri Allah. Mulai
dengan saat inkarnasi, Allah tidak lagi Bapa, dan setelah pengangkatan ke
surga, Ia tidak lagi Putra. Ketiga nama yang tampak kepada kita itu bukan
merupakan kenyataan dalam diri Allah sendiri. Allah tidak memperkenalkan diri
seperti adanya, tetapi menyembunyikan diri di belakang macam-macam topeng. Oleh
sebab itu, penjelasan ini ditolak oleh Gereka karena tidak sesuai dengan iman
Kristen. Orang Kristen yakin dalam iman, Allah benar memperkenalkan diri dalam
wahyu seturut kenyataan-Nya.
C. Aliran
Subordinatianisme/Arianisme
Subordinatianisme disistematisir oleh Arius, seorang uskup di Alexandira. Karena itu,
aliran ini disebut juga Arianisme. Arius sangat dipengaruhi oleh
Platonisme yang menganggap Allah yang esa dan tertinggi itu tinggal jauh di
dalam transendensi yang tak terhampiri dan Ia tidak bisa berkontak dengan
dunia. Bagi Arius, Logos/ Putra tidak mungkin Allah benar dari Allah benar.
Karena, andaikata Logos itu Allah benar, maka Ia tidak bisa menjadi manusia.
Arius mengajarkan
bahwa pada satu pihak, Logos, Sabda Ilahi itu, selalu berada pada Allah. Ia
merupakan suatu sifat Allah. Pada pihak lain, Logos tidak abadi seperti Allah
Bapa, sebab sebelum adanya waktu, Ia memperoleh eksistensi-Nya langsung dari
Allah, tetapi bukan dari substansi Allah, melainkan dari ketidakadaan. Oleh
karena itu, Ia merupakan ciptaan pertama dan
paling utama, sebab Ia memperoleh eksistensi langsung dari Allah,
sedangkan ciptaan lain diciptakan oleh Allah dengan perantaraan Logos itu.
Namun demikian, Logos itu tetap ciptaan, sebab ada suatu waktu ketika ia belum
ada. Sehingga menurut Arius, Yesus itu tanpa jiwa manusiawi. Jiwanya langsung
digantikan oleh Logos itu. Selama hidupnya, Yesus semakin menyempurnakan diri,
sehingga pada akhirnya Ia patut dinamai Allah. Arianisme berkeyakinan bahwa Allah itu Maha Esa tanpa oknum (unitari faith) dan
bahwa Yesus Kristus itu adalah manusia biasa tetapi menjabat sebagai Rasul
Allah.
D. Tanggapan terhadap
Monarkhianisme
Dua teolog dari bagian
Barat Kekaiseran Romawi menjadi penting, terutama dalam tanggapan Gereja
terhadap monarkhianisme, yakni Tertullianus dan Novatianus.
Dalam sebuah tulisan
melawan Praxeas, seorang pengikut Monarkhianisme, Tertullianus
memasukkan beberapa gagasan filosofis ke dalam ajaran Trinitas yang kemudian
menjadi sangat penting. Untuk hakikat Allah, ia memakai kata substantia. Ia
mengatakan bahwa hanya bisa ada satu substansi rohani Allah. Substansi ilahi
yang esa ini menampakkan diri atas tiga “cara berada” dalam sejarah
keselamatan. Namun, ajaran Tertullianus ini bukan modalisme, karena
menurut Tertullianus, penampakan tigaganda itu mempunyai arti juga bagi Allah
dalam diri-Nya sendiri. Mereka bertiga yang tampak dalam Wahyu Kitab Suci
dinamakannya personae (pribadi). Tetapi mereka tidak sederajat. Pribadi
Bapa bisa dipikirkan tanpa hubungan dengan ciptaan dan umat manusia. Sedangkan
Putra dan Roh berasal dari Bapa sebagai tenaga dan status (bentuk) dari
substansi yang esa itu, agar melalui tangga/ status itu, Allah bisa berhubungan
dengan dunia. Rumusan yang dibentuk Tertullianus adalah TRES PERSONAE UNIUS
DIVINITATIS (tiga pribadi dari satu keallahan.
Sedangkan Novatianus
tidak bertolak dari kerohanian Allah, tetapi sama seperti filsafat Yunani, ia
bertolak dari sifat Allah yang sederhana (tidak tersusun dari bagian-bagian)
dan transenden. Menurutnya, munculnya Sabda (ia gunakan kata sermo) tidak
berhubungan dengan pengutusan ke dunia, tetapi dengan sesuatu yang terjadi di
dalam Allah yang esa, sederhana dan tidak berubah. Secara imanen dan abadi,
Allah mengucapkan sebuah sabda dan dengan demikian hakikat Allah yang abadi,
tak kelihatan dan tanpa awal berelasi dengan Sabda-Nya sendiri, di dalam-Nya,
hakikat itu mengungkapkan diri. Dengan demikian, Novatianus menentukan
perbedaan-perbedaan intra-ilahi. Perbedaan intra-ilahi itu sebagai berikut :
Bapa tidak dilahirkan dan inilah ciri-Nya yang khas. Putra atau Sabda itu
dilahirkan. Tetapi, dengan demikian, tidak terjadi perbedaan di dalam hakikat
ilahi yang esa : substansi Allah yang esa dan tak terbagi “dimiliki”
bersama-sama oleh keduanya.
E. Perkembangan Ajaran
Trinitas yang Resmi Gerejani Hingga
Konsili Konstantinopel
Konstantinus Agung
adalah kaiser imperium Roma yang pertama-tama memeluk agama Kristen. Pada tahun
325 M, atas anjurannya maka dilangsungkannya Sidang Gereja sedunia yang
pertama-tama yakni di Nicea yang kemudian dikenal dengan sebutan Konsili
Nicea.
Konsili ini
diadakan untuk menyelesaikan perbedaan pokok keyakinan di dalam agama Kristen
yakni antara aliran Arianisme dan aliran Athanasianisme. Arianisme berkeyakinan
bahwa Allah itu Maha Esa tanpa oknum (unitari faith) dan bahwa Yesus
Kristus itu adalah manusia biasa tetapi menjabat sebagai Rasul Allah. Sedangkan
Athanasianisme berkeyakinan bahwa Allah itu Maha Esa tetapi terdiri dari
tiga oknum (trinity faith) dan Yesus Kristus adalah Anak Allah yang
menjelma di bumi.
Konsili Nicea
memutuskan trinity faith sebagai keyakinan resmi dalam agama Kristen dan
Arianisme dinyatakan sebagai ajarah bida’ah (Heresy). Tetapi,
dalam perkembangan selanjutnya Kaisar Konstantinus Agung sendiri berbalik
menganut unitary faith itu dan mengumumkannya sebagai keyakinan resmi
dalam agama Kristen. Hal ini berkelanjutan sampai pada masa pemerintahan Kaisar
Theodosius (379-395 M) yang berbalik mengumumkan trinity faith sebagai
keyakinan resmi dalam agama Kristen.
Mayoritas konsili itu
menerima sebuah pengakuan iman (syahadat) dari Siria/ Palestina yang bagian
kristologisnya diperluas dengan rumusan yang jelas menolak ajaran Arius. Bagian
itu diterima oleh hampir semua Gereja dan berlaku sampai sekarang. Rumusan itu
adalah :
“ … Putra Allah yang tunggal, Ia lahir dari Bapa sebelum segala
abad. Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, Ia
dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa”.
Keputusan penting
lainnya dari Konsili Nicea adalah menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Yunani
di Athena dan Antiokia serta Roma dan melarang diadakannya pelajaran logika.
Sejak ini berhentilah perkembangan alam pikiran di Barat dan masa ini kemudian
disebut sebagai “Zaman Gelap” (Dark Ages).
Setelah Konsili,
Arianisme juga terpecah menjadi beberapa aliran. Yang satu mengajarkan bahwa
Putra tidak mirip (anhomoios) dengan Bapa. Yang lain tidak mau
berspekulasi dan mengatakan bahwa Putra itu mirip (homoios) dengan Bapa
“menurut Kitab Suci” dan aliran ketiga yang disebut semi arianisme menolak
pendapat Arius bahwa Putra diciptakan dari ketiadaan pada saat tertentu, tetapi
di pihak lain aliran ini menolak homo- ousios (sehakikat) yang tegas
dari Konsili Nicea. Aliran ini mengajarkan bahwa Putera dalam segala hal mirip
dengan Bapa (homoi- ousios). Dan Kaiser mendukung pendapat yang terakhir
ini.
Dalam membela
ajaran Nicea, Athanasius amat berperanan. Ia menekankan kesamaan hakikat antara
Bapa dan Putra. Homo-ousios dari Konsili Nicea menjadi pusat ajarannya.
Tetapi, ia tidak bisa menjelaskan perbedaan antara Bapa dan Putra. Karena ia
berbahasa Yunani, maka ia tidak menggunakan kata “persona” seperti
Tertullianus, atau kata “prosopon”, karena modalisme telah menggunakan kata itu
secara salah. Ia menggunakan kata ousia dan hupostasis yang
keduanya diberi arti sama, yakni hakikat.
Selannjutnya,
ketiga pujangga dari Kappadokia, yaitu Basillius Agung, Gregorius dari Nyssa
dan Gregorius dari Nazianz bisa menyelesaikan persoalan mengenai perbedaan itu.
Menurut mereka, hakikat ilahi yang tak terbatas, secara absolut tidak dapat
dipahami. Tetapi, hakikat yang esa itu mengembangkan diri ke dalam ketigaan :
Bapa, Putra dan Roh. Dan hakikat yang ada dalam ketigaan itu dapat dipahami.
Ketiganya memiliki sifat-sifat hupostasis, yaitu sifat-sifat khas, sifat yang
tidak dapat diberikan satu kepada yang lain. Hupostasis atau ciri khas Bapa
ialah bahwa Ia tidak dilahirkan, sebab Ia adalah sumber tanpa sumber, Ia sumber
terakhir. Hupostasis Putra ialah bahwa Ia dilahirkan. Dan Hupostasis Roh adalah
bahwa Ia dihembuskan. Dalam hakikat, ketiga-tiganya adalah satu, satu dalam
hakikat tak terbatas Bapa, dariNya Putra dan Roh berasal tanpa meninggalkannya.
Para pujangga
Kappadokia mempunyai minat khusus untuk menjelaskan posisi Roh Kudus, karena
pada pertengahan abad ke-4, muncul suatu ajaran yang sejajar dengan Arianisme
yang mengatakan bahwa Roh Kudus merupakan ciptaan, semacam wujud pengantara
antara Allah dan ciptaan, sehingga jelaslah Roh itu lebih rendah dari Allah
yang Esa. Aliran ini disebut PNEUMATOMAKHOI (penentang Roh Kudus). Melawan
pendapat ini, para pujangga Kappadokia menerapkan “homo-ousios” dari Syahadat
Nicea, yaitu adanya kesejajaran antara Putra dan Roh, sebab kedua-Nya berasal
dari Bapa. Roh berasal dari Bapa melalui Putra.
Pada tahun 381,
Kaiser Theodosius menyelenggarakan satu konsili, yaitu Konsili Konstantinopel
untuk membicarakan lebih lanjut tentang Trinitas. Hasilnya adalah lahirlah
syahadat Konsili Konstantinopel yang kemudian diterima oleh Konsili Khalcedon
(451). Syhadat itu berbicara tentang Roh Kudus sekian, sehingga jelas Ia
dianggap Allah juga. Rumusannya :
“Aku percaya akan Roh Kudus, Tuhan
dan Pemberi Hidup, Ia berasal dari Bapa. Bersama Bapa dan Putra Ia disembah dan
dimuliakan. Ia bersabda dengan perantaraan para nabi”.
3.1.2 Arti Substansi, Hakekat
dan Pribadi
Kata Substansi sering
diterjemahkan sebagai hakekat/kodrat dari diri kita, yakni manusia. Kodrat
sebagai manusia ini adalah sama untuk semua orang. Tetapi jika kita menyebut pribadi, maka kita tidak dapat
menyamakan orang yang satu dengan yang lain, karena setiap pribadi itu adalah
unik. Dalam bahasa sehari-hari, pribadi
kita masing-masing diwakili oleh kata aku (atau ‘I’ dalam bahasa
Inggris), di mana aku yang satu
berbeda dengan aku yang lain.
Sedangkan, substansi/ hakekat kita diwakili dengan kata manusia (atau
‘human’).
Analogi yang paling mirip (walaupun tentu tak sepenuhnya menjelaskan
misteri Allah ini) adalah kesatuan antara jiwa dan tubuh dalam diri kita. Tanpa
jiwa, kita bukan manusia, tanpa tubuh, kita juga bukan manusia. Kesatuan antara
jiwa dan tubuh kita membentuk hakekat kita sebagai manusia, dan dengan
sifat-sifat tertentu membentuk kita sebagai pribadi.
Dengan prinsip yang sama, maka di dalam Trinitas, substansi/hakekat yang ada adalah satu,
yaitu Tuhan, sedangkan di dalam kesatuan tersebut terdapat tiga Pribadi atau ada tiga Aku,
yaitu Bapa, Putera dan Roh Kudus. Tiga pribadi manusia tidak dapat menyamai
makna Trinitas, karena di dalam tiga orang manusia, terdapat tiga kejadian/instances kodrat
manusia, sedangkan di dalam tiga Pribadi ilahi, terdapat hanya satu kodrat
Allah, yang identik dengan ketiga Pribadi tersebut. Dengan
demikian, ketiga Pribadi Allah mempunyai kesamaan hakekat Allah yang
sempurna, sehingga ketiganya membentuk kesatuan yang sempurna. Yang membedakan
Pribadi yang satu dengan yang lainnya hanyalah terletak dalam hal hubungan
timbal balik antara ketiganya.
3.1.3 Dasar Kitab Suci dan
Pengajaran Gereja tentang Trinitas
3.1.3.1 Dasar Kitab Suci
Kitab Suci tidak secara eksplisit menyebut istilah
Trinitas atau Allah Tritunggal Mahakudus. Hal ini tidak berarti bahwa ajaran
tentang Trinitas tidak memiliki dasar biblis, tetapi justru dogma ini berpijak
pada Kitab Suci itu sendiri. Karena itu, terdapat beberapa dasar Alkitabiah
yang berbicara tentang Allah Tritunggal Mahakudus, yakni :
·
Pada saat penciptaan, dalam Kitab
Kejadian Allah berkata: "Marilah Kita ...",
kata Kita merupakan subjek jamak.
·
Saat Yesus dibaptis di sungai
Yordan, Ia menunjukkan kepribadian-Nya pada saat yang sama dan bermunculan
bersama-sama dengan Roh Kudus (dalam manifestasi burung merpati) turun ke atas Anak,
dan Bapa berfirman dengan lantang penuh kasih.
·
Saat penciptaan, di mana Bapa
mencipta, Anak berfirman, dan Roh Kudus yang memulihkan (melayang-layang)
sempurna.
·
Saat Pencurahan Pentakosta, di
mana Bapa mengutus, Anak yang memberikan Roh Kudus, dan Roh Kudus tercurah pada
murid-murid Yesus yang ada di atas loteng.
·
Saat Yesus berada di atas
gunung, setelah Ia meneladani manusia dengan berdoa, Ia menunjukkan
kemuliaan-Nya dan menampakkan kepribadian-Nya dengan wajah-Nya bercahaya
seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang,
kemudian Roh Kudus turun, dan awan yang terang menaungi 3 orang murid Yesus.
Bapa dari dalam awan itu memperdengarkan suara-Nya dan berkata: "Inilah
Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia."
Yesus menunjukkan persatuan yang tak terpisahkan dengan Allah Bapa,
“Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30); “Barangsiapa telah melihat Aku, ia
telah melihat Bapa…” (Yoh 14:9). Di dalam doa-Nya yang terakhir untuk
murid-murid-Nya sebelum sengsara-Nya, Dia berdoa kepada Bapa, agar semua
murid-Nya menjadi satu, sama seperti Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa
(lih. Yoh 17: 21). Dengan demikian, Yesus menyatakan Diri-Nya sama dengan Allah: Ia
adalah Allah. Hal ini mengingatkan kita akan pernyataan Allah
Bapa sendiri, tentang ke-Allahan Yesus, sebab Allah Bapa menyebut Yesus sebagai
Anak-Nya yang terkasih, yaitu pada waktu pembaptisan Yesus (lih. Luk 3: 22) dan
pada waktu Yesus dimuliakan di atas gunung Tabor (lih. Mat 17:5).
Yesus juga menyatakan keberadaan Diri-Nya yang telah ada
bersama-sama dengan Allah Bapa sebelum penciptaan dunia (lih. Yoh 17:5).
Kristus adalah sang Sabda/ Firman, yang ada bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah,
dan oleh-Nya segala sesuatu dijadikan (Yoh 1:1-3). Tidak mungkin Yesus
menjadikan segala sesuatu, jika Ia bukan Allah sendiri.
Selain menyatakan kesatuan-Nya dengan Allah Bapa, Yesus juga
menyatakan kesatuan-Nya dengan Roh Kudus, yaitu Roh yang dijanjikan-Nya kepada
para murid-Nya dan disebutNya sebagai Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa (lih.
Yoh 15:26). Roh ini juga adalah Roh Yesus sendiri, sebab Ia adalah Kebenaran
(lih. Yoh 14:6). Kesatuan ini ditegaskan kembali oleh Yesus dalam pesan
terakhir-Nya sebelum naik ke surga, “…Pergilah, jadikanlah semua bangsa
murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus…” (Mat 28:18-20).
Selanjutnya, kita melihat pengajaran dari para Rasul yang menyatakan
kembali pengajaran Yesus ini. Contohnya, Rasul Yohanes yang mengajarkan bahwa Bapa, Firman (yang adalah
Yesus Kristus), dan Roh Kudus adalah satu (lih 1 Yoh 5:7);
demikian juga pengajaran Petrus (lih. 1 Pet:1-2; 2 Pet 1:2); dan Paulus
(lih. 1Kor 1:2-10; 1Kor 8:6; Ef 1:3-14).
3.1.3.2 Dasar dari Pengajaran Bapa
Gereja
Para Rasul mengajarkan apa yang mereka terima dari Yesus, bahwa Ia
adalah Sang Putera Allah, yang hidup dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Allah
Roh Kudus. Iman akan Allah Trinitas ini sangat nyata pada Tradisi umat Kristen
pada abad-abad awal. Selain itu, para Bapa Gereja memberikan ajarannya tentang
Trinitas.
1.
St. Paus Clement dari Roma (menjadi Paus tahun 88-99) mengajarkan:
“Bukankah kita mempunyai satu Tuhan, dan satu Kristus, dan satu Roh Kudus yang melimpahkan rahmat-Nya kepada kita?;
“Bukankah kita mempunyai satu Tuhan, dan satu Kristus, dan satu Roh Kudus yang melimpahkan rahmat-Nya kepada kita?;
2.
St. Ignatius
dari Antiokhia (50-117) membandingkan jemaat dengan batu yang disusun untuk
membangun bait Allah Bapa yang diangkat ke atas oleh ‘katrol’ Yesus Kristus
yaitu Salib-Nya dan oleh ‘tali’ Roh Kudus;
3.
St. Polycarpus (69-155), dalam doanya sebelum ia dibunuh sebagai martir
menegaskan: “Aku
memuji Engkau (Allah Bapa), aku memuliakan Engkau, melalui Imam
Agung yang ilahi dan surgawi, Yesus Kristus, Putera-Mu yang
terkasih, melalui Dia dan bersama Dia, dan Roh Kudus, kemuliaan
bagi-Mu sekarang dan sepanjang segala abad. Amin”;
4.
St. Irenaeus
(115-202) mengajarkan : “Sebab bersama Dia (Allah Bapa) selalu hadir Sabda dan
kebijaksanaan-Nya, yaitu Putera-Nya dan Roh Kudus-Nya, yang
dengan-Nya dan di dalam-Nya, Ia menciptakan segala sesuatu, yang kepadaNya Ia
bersabda, “Marilah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran Kita”;
5.
St. Clement
dari Alexandria [150-215 AD] mengajarkan: “Sang Sabda, Kristus, adalah
penyebab, dari asal mula kita, karena Ia ada di dalam Allah dan penyebab dari
kesejahteraan kita. Dan sekarang, Sang Sabda yang sama ini telah menjelma
menjadi manusia. Ia sendiri adalah Tuhan dan manusia, dan sumber dari
semua yang baik yang ada pada kita”.
6.
St. Hippolytus [170-236 AD] mengajarkan: “Hanya Sabda Allah
yang adalah dari diri-Nya sendiri dan karena itu adalah juga Allah, menjadi substansi Allah,
sebab Kristus
adalah Allah di atas segala sesuatu yang telah merencanakan
penebusan dosa dari umat manusia”;
7.
St. Athanasius (296-373) menegaskan: “Sebab Putera ada di dalam Bapa dan Bapa ada di dalam Putera.
Mereka itu satu, bukan seperti sesuatu yang dibagi menjadi dua
bagian namun dianggap tetap satu, atau seperti satu kesatuan dengan dua nama
yang berbeda. Mereka adalah dua, dalam arti Bapa adalah Bapa dan bukan Putera,
demikian halnya dengan Putera. Tetapi kodrat/ hakekat mereka adalah satu,
sebab anak selalu mempunyai hakekat yang sama dengan bapanya, dan apa yang
menjadi milik BapaNya adalah milik Anak-Nya”;
8.
St. Agustinus (354-430) mengajarkan: “Allah Bapa dan Putera dan Roh Kudus
adalah kesatuan ilahi yang erat, yang adalah satu dan sama esensinya, di
dalam kesamaan yang tidak dapat diceraikan, sehingga mereka bukan tiga Tuhan,
melainkan satu Tuhan. Meskipun Allah Bapa telah melahirkan (has begotten)
Putera, dan Putera lahir dari Allah Bapa, namun Ia yang adalah Putera bukanlah
Bapa, dan Roh Kudus bukanlah Bapa ataupun Putera, namun Roh Bapa dan Roh
Putera; dan Ia sama (co-equal) dengan Bapa dan Putera, membentuk
kesatuan Tritunggal”. Selain itu, untuk menjelaskan konsep Trinitas, Agustinus
membuat contoh beberapa trilogy, yaitu :
a)
seorang pribadi yang mengasihi,
pribadi yang dikasihi dan kasih itu sendiri;
b)
trilogi pikiran manusia, yang
terdiri dari pikiran (mind), pengetahuan (knowledge) dan kasih (love) yang olehnya pikiran dapat
mengasihi dirinya;
c)
ingatan (memory),
pengertian (understanding) dan keinginan (will).
3.1.3.3 Dasar Pengajaran Gereja/
Dogma tentang Trinitas
Syahadat Aku Percaya
menyatakan bahwa rahasia sentral iman Kristiani adalah Misteri Allah
Tritunggal. Maka, Trinitas adalah dasar iman Kristen yang utama yang
disingkapkan dalam diri Yesus. Seperti kita ketahui di atas, iman kepada Allah
Tritunggal telah ada sejak zaman Gereja abad awal, karena didasari oleh
perkataan Yesus sendiri yang disampaikan kembali oleh para murid-Nya. Jadi,
tidak benar jika doktrin ini baru ditemukan dan ditetapkan pada Konsili
Konstantinopel I pada tahun 359. Konsili Konstantinopel I mencantumkan
pengajaran tentang Allah Tritunggal secara tertulis sebagai kelanjutan dari
Konsili Nicea (325), dan untuk menentang heresies (ajaran sesat) yang
berkembang pada abad ke-3 dan ke-4, seperti Arianisme
yang menentang kesetaraan Yesus dengan Allah Bapa dan Sabellianisme (oleh Sabellius 215) yang membagi Allah dalam tiga
modus, sehingga seolah ada tiga Pribadi yang terpisah.
Dari sejarah Gereja kita melihat bahwa konsili-konsili diadakan
untuk menegaskan
kembali ajaran Gereja yang sudah berakar sebelumnya dan
menjaganya terhadap serangan ajaran-ajaran sesat/ menyimpang. Jadi, yang
ditetapkan dalam konsili merupakan peneguhan ataupun penjabaran ajaran yang
sudah ada, dan bukannya menciptakan ajaran baru. Jika kita mempelajari sejarah
Gereja, kita akan semakin menyadari bahwa Tuhan Yesus sendiri menjaga
Gereja-Nya, sebab setiap kali Gereja ‘diserang’ oleh ajaran yang sesat, Allah
mengangkat Santo/Santa yang dipakai-Nya untuk meneguhkan ajaran yang benar dan
Yesus memberkati para penerus rasul dalam konsili-konsili untuk menegaskan
kembali kesetiaan ajaran Gereja terhadap pengajaran Yesus kepada para Rasul.
Karena itu, Gereja memberikan ajaran-ajarannya (Dogma) tentang Trinitas, yakni
:
1.
Tritunggal adalah Allah yang satu.[Pribadi
ini tidak membagi-bagi ke-Allahan seolah masing-masing menjadi sepertiga, namun
mereka adalah ‘sepenuhnya dan seluruhnya’. Bapa adalah yang sama seperti
Putera, Putera yang sama seperti Bapa; dan Bapa dan Putera adalah yang sama
seperti Roh Kudus, yaitu satu Allah dengan kodrat yang sama. Karena kesatuan
ini, maka Bapa seluruhnya ada di dalam Putera, seluruhnya ada dalam Roh Kudus;
Putera seluruhnya ada di dalam Bapa, dan seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Roh
Kudus ada seluruhnya di dalam Bapa, dan seluruhnya di dalam Putera;
2.
Ketiga Pribadi ini berbeda
secara real satu sama lain, yaitu di dalam hal hubungan asalnya, yaitu
Allah Bapa yang ‘melahirkan’, Allah Putera yang dilahirkan, Roh Kudus yang
dihembuskan;
3.
Ketiga Pribadi ini berhubungan satu dengan
yang lainnya. Perbedaan dalam hal asal tersebut tidak membagi
kesatuan ilahi, namun malah menunjukkan hubungan timbal balik antar Pribadi
Allah tersebut. Bapa dihubungkan dengan Putera, Putera dengan Bapa, dan Roh
Kudus dihubungkan dengan keduanya. Hakekat mereka adalah satu, yaitu Allah.
3.1.4 Trinitas adalah Suatu
Misteri
Trinitas hanya dapat dipahami dalam kacamata iman, karena ini adalah
suatu misteri, meskipun ada banyak hal juga yang dapat kita ketahui dalam
misteri tersebut. Manusia dengan pemikiran sendiri memang tidak akan dapat
mencapai pemahaman sempurna tentang misteri Trinitas, walaupun misteri itu
sudah diwahyukan Allah kepada manusia. Namun demikian, kita dapat mulai
memahaminya dengan mempelajari dan merenungkan Sabda Allah dalam Kitab Suci,
pengajaran para Bapa Gereja dan Tradisi Suci yang ditetapkan oleh Magisterium
(seperti hasil Konsili), juga dengan bantuan filosofi dan analogi seperti
diuraikan di atas. Selanjutnya, pemahaman kita akan kehidupan Trinitas akan
bertambah jika kita mengambil bagian di dalam kasih Trinitas itu, seperti
yang dikehendaki oleh Tuhan.
Di sinilah pentingnya peran Sakramen dan doa. Sakramen
Pembaptisan merupakan rahmat awal, ‘gerbang’ yang memungkinkan kita mengambil
bagian dalam kehidupan ilahi. Sakramen Ekaristi mengambil peranan utama, karena
di dalamnya kita menyambut Kristus sendiri, dan dengan demikian kita mengambil
bagian di dalam kehidupan Allah Tritunggal melalui Yesus. Di sinilah juga
pentingnya peran penghayatan akan Sakramen Perkawinan, sebab di dalam
Perkawinan, kita melihat bagaimana hubungan kasih antara suami dan istri yang
direncanakan oleh Allah untuk menjadi gambaran akan kasih Allah Tritunggal.
Demikian pula, kasih Allah Tritunggal pula yang mengilhami Sakramen Tahbisan
Suci, karena melalui Tahbisan Suci, para imam dipanggil untuk meniru teladan
hidup Yesus, terutama dalam hal mengasihi, yaitu dengan memberikan diri kepada
Allah dan sesama secara total. Memang, pada dasarnya sakramen-sakramen adalah
‘sarana’ yang diberikan oleh Allah kepada kita, agar kita dapat mengambil
bagian di dalam kehidupan ilahi-Nya.
3.2
Spiritualitas Kristiani adalah Spiritualitas yang Otentik
Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa spiritualitas yang
dinyatakan oleh Kristus adalah spiritualitas yang otentik,
meskipun Gereja Katolik tidak menolak apa yang benar dan kudus yang dinyatakan
oleh agama-agama lain. Dikatakan otentik karena spiritualitas
ini berasal dari Tuhan sendiri, yang kini berada di dalam Gereja Katolik yang
dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan para uskup pembantunya, meskipun ada
banyak unsur pengudusan dan kebenaran ditemukan di luar struktur Gereja
Katolik. Berakar dari Firman Tuhan dan ajaran Gereja inilah, kita mengetahui
bahwa panggilan hidup kita sebagai manusia adalah agar kita hidup kudus dan
mengasihi, karena Allah itu Kudus dan Kasih (Im 19:2, 1Yoh 4:16). Di sini
kekudusan berkaitan erat dengan memegang dan melakukan perintah Tuhan, yang
adalah perintah untuk mengasihi Tuhan dan sesama (Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31).
Hanya dengan cara ini, maka kita dapat bertumbuh untuk menjadi ‘serupa’ dengan
Allah, dan dikuduskan oleh Allah. Panggilan hidup kudus adalah panggilan bagi
semua orang Kristiani, bahkan panggilan untuk semua orang, karena kita semua
diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama. Jadi, kekudusan bukan monopoli
kelompok para pastor, suster dan religius lainnya tetapi harus menjadi tujuan
bagi kita semua.
Konsili Vatikan II menyerukan panggilan untuk hidup kudus kepada
semua orang. Siapapun kita, dalam kondisi yang berbeda satu dengan lainnya,
dipanggil Tuhan untuk menjadi kudus, sebab Allah sendiri adalah Kudus. Jadi,
panggilan ini berasal dari Allah yang satu, dan berlaku untuk semua orang,
karena Allah menciptakan semua orang di dalam kesatuan, dan menginginkan
kesatuan itu kembali di dalam diriNya, yang berlandaskan kasih. Maka, nyatalah
bahwa Spiritualitas Katolik mengarah kepada
kekudusan dan kasih di dalam kesatuan yang universal, yaitu
yang merangkul semua orang kepada persatuan di dalam Tuhan. Persatuan ini
adalah kesempurnaan dari hidup Kristiani, yang
dihasilkan dari penerapan pengajaran Tuhan di dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, spiritualitas yang otentik haruslah diikuti oleh penerapan di dalam
perbuatan, sebab jika tidak, spiritualitas
menjadi hanya sebatas teori.
3.3
Ekaristi adalah Sumber dan Puncak Spiritualitas Kristiani
3.3.1 Pengertian Liturgi
Ekaristi
Istilah Ekaristi berasal dari bahasa
Yunani eucharistia yang berarti puji syukur. Kata eucharistia merupakan
terjemahan Yunani untuk bahasa Yahudi birkat yang dalam perjamuan Yahudi
merupakan doa puji syukur sekaligus permohonan atas karya penyelamatan Allah. Istilah
perayaan ekaristi merupakan istilah yang sangat bagus untuk digunakan.
Istilah ini mau menekankan makna ekaristi sebagai puji syukur atas karya
penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus. Istilah ini lebih menekankan segi isi
dari apa yang dirayakan.
Sedangkan istilah misa digunakan
untuk menunjuk seluruh perayaan ekaristi dengan mau menekankan aspek perutusan
untuk melayani Tuhan dan sesama serta mewartakan kabar baik kepada segala
bangsa. Maka, istilah misa menghubungkan dengan erat antara perayaan atau
pengungkapan iman dengan perwujudan iman dalam hidup sehari-hari.
Konsili Vatikan II melahirkan
dokumen penting yang berbicara tentang Ekaristi, yaitu Konstitusi SACROSANCTUM
CONCILLIUM. Konstitusi ini memberikan rumusan yang sangat dogmatis tentang ekaristis,
yaitu :
“ dalam perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan,
Penyelamat kita mengadakan kurban ekaristi tubuh dan darahNya, untuk
melangsungkan kurban salib selama peredaran abad sampai Ia datang kembali.
Dengan demikian, Ia mempercayakan kepada Gereja, mempelaiNya yang tercinta
pengenangan akan wafat dan kebangkitanNya; sakramen kasih saying, tanda
kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah, di mana Kristus disantap, jiwa
dipenuhi rahmat, dan diberikan jaminan kemuliaan kelak (SC 47)”.
Bertolak dari rumusan yang bersifat dogmatis itu, maka
Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi “Sacrosanctum Concillium” menjelaskan
beberapa pokok penting tentang Ekaristi, yaitu :
1)
Pengenangan. Ekaristi adalah kenangan akan Paskah Kristus. Dalam “Doa Syukur
Agung”, sesudah kata-kata penetapan, ditemukan sebuah doa yang dinamakan
ANAMNESE atau pengenangan. Anamnese tidak hanya berarti mengenangkan
kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, tetapi juga berarti
mewartakan karya-karya agung yang telah dilakukan Allah untuk manusia (bdk.
Kel 13: 3).
2)
Kurban. Lumen Gentium 28 menyatakan bahwa para imam, dalam ekaristi atau Synaxis
(pertemuan), memaklumkan misteri Kristus, mempersatukan doa kaum beriman, dan
dalam kurban misa dihadirkan serta diterapkan satu-satunya kurban Perjanjian
Baru, yakni kurban Kristus yang mempersembahkan diri satu kali sebagai kurban
tak bernoda kepada Bapa. Ekaristi adalah ucapan syukur atau kurban pujian,
karena dengan merayakan ekaristi Gereja memuliakan Allah atas nama seluruh
ciptaan.
3)
Kehadiran Kristus. Kristus hadir dalam kurban misa, baik dalam pribadi pelayan, maupun
terutama dalam rupa ekaristi. Ekaristi berarti Kristus bersatu dengan
GerejaNya. Ekaristi juga berarti Kristus yang hadir dalam umatNya yang berdoa.
Seorang imam berbicara dan bertindak atas nama dan dalam pribadi Kristus demi
kepentingan umat. Selain itu, Kristus juga hadir dalam Sabda Kitab Suci, sebab
Kitab Suci adalah Sabda Tuhan.
4)
Tanda Kesatuan (aspek
eklesial). Ekaristi membangun gereja. Siapa yang
menerima ekaristi akan disatukan lebih erat dengan Kristus. Kristus menyatukan
dia dengan semua umat beriman lainnya menjadi satu tubuh, yaitu Gereja. Dalam
Ekaristi, Gereja lahir, hidup dan menampakkan dirinya atas cara yang paling
konkret. Ekaristi merangkum aspek yang tidak kelihatan (misteri), maupun aspek
kelihatan dari identitas Gereja itu sendiri.
5)
Sakramen. Ekaristi adalah sakramen keselamatan, karena ekaristi memberikan
inspirasi kepada kehidupan umat beriman.
6)
Jaminan Kemuliaan yang
akan datang. Ekaristi adalah jaminan yang paling
aman dan tanda yang paling jelas bahwa harapan besar akan surga baru dan dunia baru, di mana terdapat
keadilan, akan terpenuhi.
Perayaan Ekaristi
memiliki banyak nama. Penamaan yang bervariasi itu
sesungguhnya mau menekankan aspek-aspek tertentu dan menunjukkan kekayaan
sakramen ekaristi itu sendiri. Nama- nama sakramen ekaristi itu, adalah :
1)
Ekaristi disebut
Gratiarum Actio. Ekaristi adalah ucapan terima
kasih kepada Allah.
2)
Ekaristi disebut “Coena
Dominica” (bdk. 1 Kor 11: 20). Ekaristi adalah
perjamuan Tuhan
3)
Ekaristi disebut
“Fractio Panis”. Ekaristi adalah pemecahan roti,
karena ritus yang khas pada perjamuan Yahudi ini digunakan juga oleh Yesus pada
waktu perjamuan terakhir.
4)
Ekaristi disebut “Sacra
Synaxis”. Ekaristi berarti perhimpunan ekaristi,
karena ekaristi dirayakan dalam perhimpunan umat beriman (congregation
fidelium), di mana Gereja dinyatakan secara kelihatan.
5)
Ekaristi disebut
“memoriale atau anamnesis”. Ekaristi adalah kenangan,
karena perjamuan itu dibuat sebagai kenangan akan kesengsaraan dan kebangkitan
Tuhan.
6)
Ekaristi disebut “
Sacrificium Eucharisticum” atau “Sacrificium Missae”. Ekaristi adalah kurban kudus, karena ia menghadirkan kurban tunggal
Kristus. Ekaristi juga mencakup penyerahan diri Gereja.
7)
Ekaristi disebut juga
Liturgi Kudus dan Ilahi, karena seluruh liturgy
Gereja berpusat dalam perayaan sakramen ini dan paling jelas terungkap di
dalamnya.
8)
Ekaristi disebut juga
“Communio”, karena di dalam sakramen ini umat
menyatukan diri dengan Kristus, mengambil bagian dalam tubuh dan darahNya.
9)
Ekaristi disebut juga
Misa Kudus, karena liturgy berakhir dengan
pengutusan umat beriman (missio), supaya mereka melaksanakan kehendak Allah
dalam kehidupan sehari-hari.
3.3.2 Makna Liturgi Ekaristi
Di dalam kurban Ekaristi, para anggota Gereja menyatukan diri mereka
dengan Kristus, Sang Kepala, untuk mempersembahkan pujian dan syukur kepada
Allah Bapa. Di sini Kristus menjadi sekaligus Imam dan Kurban. Kata “Ekaristi”
sendiri berarti ‘ucapan terima kasih kepada Allah’,
dan sesungguhnya adalah doa Yesus Kristus kepada Allah Bapa. Keikutsertaan kita
dalam doa Yesus yang disampaikan kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus adalah
liturgi, sehingga liturgi adalah suatu tindakan Yesus sebagai Kepala dan Gereja
sebagai TubuhNya. Yesus yang sungguh hadir di dalam liturgi Ekaristi, mengubah
roti dan anggur oleh kuasa Roh Kudus menjadi Tubuh dan DarahNya, melalui
perkataan-Nya yang diucapkan oleh imam, “Inilah TubuhKu, yang diberikan bagi-Mu
dan Inilah DarahKu yang ditumpahkan bagimu (Mat 26:26-28; Mark 14:22-24; Lk 22:19-20).
Dengan mengambil bagian di dalam doa ini, kita menaikkan pikiran dan
hati kepada Tuhan, dan di dalam iman, kita menerima rahmat yang tak terhingga,
yaitu Kristus
sendiri di dalam rupa hosti kudus, yang menguduskan kita.
Dengan demikian kita mengalami kepenuhan doa sebagai karunia Tuhan. Kita
memberi kemuliaan kepada Tuhan, tidak hanya dengan menerima karunia itu, tetapi
juga dengan memberikan
diri kita kepada Tuhan, dalam arti kita ‘berdoa di dalam Roh’
(Ef 6:18) untuk menghidupkan di dalam batin kita kasih Bapa yang dinyatakan
dalam Kristus untuk mendatangkan keselamatan bagi kita. Dengan Allah sendiri
yang hidup di dalam kita, maka kita menjadi sungguh-sungguh ‘hidup’. Inilah
yang disebut kemuliaan
Tuhan.
Di dalam Ekaristi, kita menjadikan Karya Keselamatan Allah sebagai
bagian dari diri kita sendiri, karena kita mempersatukan diri dan dipersatukan dengan
Kristus yang menjadi Kurban satu-satunya yang dipersembahkan
kepada Allah, yaitu Kurban yang menyelamatkan umat manusia. Dengan demikian,
liturgi Ekaristi menjadi sumber doa dan tujuan doa kita. Karena itu,
Ekaristi dikatakan sebagai puncak kehidupan Gereja, kesempurnaan kehidupan
rohani dan arah tujuan dari segala sakramen Gereja.
Ekaristi adalah sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani, sebab Ekaristi
memiliki beberapa makna, yaitu :
1.
Mempersatukan kita dengan
Kristus terutama dalam penderitaan kita;
2.
Ekaristi adalah contoh
kerendahan hati Kristus;
3.
Ekaristi membawa kita pada
pertobatan terus-menerus;
4.
Ekaristi adalah sakramen kasih
yang mempersatukan;
5.
Ekaristi membawa perubahan
Sungguh luas dan dalamlah makna Ekaristi dalam kehidupan rohani
kita. Namun, buah dari penerimaan Ekaristi ini tergantung dari sikap kita. Semakin murni hati kita,
semakin berlimpahlah rahmat yang kita terima. Kita harus
menerima Ekaristi di dalam keadaan berdamai dengan Allah (tidak sedang dalam
dosa berat) dan di dalam iman. Di dalam liturgi Ekaristi, pikiran kita harus
bersatu dengan perkataan doa kita, dan kita harus bekerja sama dengan rahmat
itu. Jika tidak, kita menerimanya dengan sia-sia (lih. 2 Kor 6:1).
Kita harus memiliki pikiran dan hati seperti Bunda Maria yang
mengambil bagian secara penuh di dalam Misteri Paska Kristus, dengan jawaban
‘ya’ yang total kepada Tuhan. Ia mempersembahkan dirinya seutuhnya kepada Allah
sambil menanggung penderitaan sebagai ibu, yang mencapai puncaknya pada saat ia
melihat kesengsaraan dan kematian Anaknya di hadapan matanya sendiri atas
tuduhan dosa yang tidak pernah diperbuat oleh-Nya. Oleh karena itu, Bunda Maria
menjadi teladan dalam hal iman, kasih dan persatuan yang sempurna dengan
Kristus. Dengan menyerahkan segala kehendak bebasnya kepada Allah, Bunda Maria memberikan
contoh kepada kita untuk bekerjasama dengan Allah.
Ekaristi adalah “sakramen kasih, tanda kesatuan, dan ikatan kasih”,
sebuah Perjamuan Paska di mana Kristus dikurbankan untuk mengisi kita dengan
rahmat yang menghantar kita kepada kehidupan kekal. Sebagai sakramen kasih, Ekaristi menjadi sumber kekuatan bagi
kita untuk mencapai kesempurnaan kasih, yaitu kekudusan.
Sebagai tanda kesatuan, Ekaristi
menandai persatuan antara Tuhan dengan semua orang beriman (Gereja), dan
melalui Gereja, dengan seluruh dunia. Sebagai ikatan kasih,
Ekaristi mengarah pada persekutuan dengan
Tuhan
dan sesama. Sebagai Perjamuan Paska,
Ekaristi menggambarkan tujuan akhir kita di surga. Sungguh, Ekaristi
menjadi ‘Surga di Dunia’. Oleh karena itu, Ekaristi menjadi sumber dan puncak
Spiritualitas Kristiani.
BAB IV
PENGHAYATAN SPIRITUALITAS
KRISTIANI
DI ERA POSTMODERN
4.1
Spiritualitas dan Masyarakat Modern
Dewasa ini,
kehidupan manusia di era modern sarat dengan gejolak yang pada akhirnya
memunculkan pertanyaan mengapa seseorang
bisa beragama dan taat pada peraturan agamanya, sementara pada saat yang
bersamaan yang bersangkutan tidak memiliki kepedulian terhadap sesama manusia.
Mengapa sebuah keberagamaan bisa hanya berorientasi pada kesalehan individual
dan tidak disertai dengan kesalehan sosial. Alih-alih membawa kemaslahatan bagi
masyarakat banyak, justru tindakan orang-orang yang mengaku beragama tersebut
menimbulkan kerugian sosial, konflik sosial, dan bahkan luka dan trauma sosial
yang mengangga lebar.
Di sinilah letak
kegagalan spiritualitas yang dirasuki cara pandang dunia modern yang
berorientasi pada individualisme.
Bisa dikatakan semua pemikir modernitas menekankan individualisme sebagai
pusatnya. Secara filosofis, individualisme
memiliki arti sebagai suatu penolakan bahwa diri pribadi manusia secara
internal berhubungan dengan hal-hal lain, bahwa setiap individu manusia sangat
ditentukan oleh hubungannya dengan orang lain, dengan lembaga, dengan alam,
dengan masa lalunya, atau mungkin dengan suatu Pencipta Ilahi. Descartes
mengungkapkan individualisme ini dengan jelas sekali dalam definisinya tentang
substansi di mana jiwa manusia menjadi contohnya yang paling utama yang untuk
menjadi dirinya tidak memerlukan apa pun selain dirinya sendiri.
Mengapa
pemahaman individualistik tentang pribadi manusia diterima orang dalam
modernitas awal? Beberapa pemikir melihatnya sebagai hasil akhir kombinasi
antara kecenderungan manusia untuk memahami diri sendiri melalui analogi dengan
suatu realitas ilahi, dan pengertian tentang keilahian sebagai suatu makhluk
yang sepenuhnya independen dan kebal terhadap penderitaan. Para pemikir lain
menganggap perkembangan individualisme sebagai akibat pengaruh Kekristenan yang
berlangsung selama berabad-abad, di mana pada periode tersebut gagasan klasik
tentang Tuhan yang sepenuhnya independen secara partikular tidak dimasukkan.
Apapun
penjelasannya, modernitas menyangkut pergeseran dari pemahaman diri komunal ke
pemahaman diri individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat atau
komunitas sebagai yang utama, dengan “individu” sebagai produknya, tetapi
menganggap masyarakat hanya sebagai kumpulan individu-individu bebas yang
secara sukarela bergabung demi tujuan-tujuan tertentu. Penekanannya, sekaligus
juga cita-citanya, adalah kebebasan dasariah seseorang terhadap yang lain.
Dari sudut
pandang sosiologis, individualisme terutama berarti penghancuran komunitas dan
institusi organik yang kecil dan intim dalam satu proses sentralisasi.
Pergerakan ini merupakan transisi dari komunitas (Gemeinschaft) ke
masyarakat agregatif (Gesselschaft). Pergerakan ini juga disebut sebagai
transisi dari masyarakat yang berdasar pada adat istiadat kepada masyarakat
yang didasarkan pada kontrak; atau dari masyarakat yang didasarkan tradisi ke
masyarakat yang didasarkan pada perhitungan rasional. Intinya adalah bahwa
sebagian besar struktur yang di dalamnya manusia telah memiliki hubungan intim,
face to face, dan yang telah menjawab sebagian besar masalah manusia,
kini dihancurkan atau dilemahkan, sehingga hubungan-hubungan sosial antar
individu menjadi semakin terbatas pada kelompok-kelompok impersonal yang besar,
seperti pabrik besar, ekonomi besar, kota besar, negara besar, bahkan Gereja
besar atau mega church yang sebenarnya hanya melibatkan sekelumit kecil
dari kehidupan seseorang saja. Jadi, modernitas pada akhirnya hanya
menghasilkan dikotomisasi baru kehidupan sosial, yaitu antara struktur-struktur
besar dan kehidupan pribadi. Peter Berger mengungkapkan efek transisi dari
komunitas ke masyarakat impersonal terhadap spiritualitas modern, sebagai
berikut :[10]
“Komunitas bersifat nyata dan merangkul
tiap orang; entah baik ataupun buruk. Oleh sebab itu, individu jarang, meskipun
pernah terjadi, hanya mengandalkan dirinya sendiri. Sebaliknya, modernitas
dicirikan oleh ketiadaan tempat berteduh. Kekuatan modernisasi turun seperti
palu baja raksasa yang menghantam semua lembaga komunal yang lama seperti,
klan, desa, suku, dan wilayah. Tidak mengherankan jika transformasi ini
menghasilkan kekecewaan yang mendalam.”
Jika dikaitkan
dengan dimensi ekonomi, individualisme dianggap sebagai suatu landasan yang
bisa diterima. Diizinkannya kepentingan diri untuk bergerak leluasa dalam pasar
tanpa kendali moralitas, pada mulanya diberi pembenaran secara moral bahwa
sistem ekonomi yang didasarkan pada kepentingan individu pada umumnya akan
menghasilkan keuntungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan sistem yang
didasarkan pada perilaku moral individu. Dan bahkan kemudian dalam tahap
modernitas selanjutnya, kepentingan diri sebagai suatu prinsip berjalannya
kehidupan, semakin diperluas ke pelbagai dimensi kehidupan, sehingga tidak
mengherankan jika para penganut demokrasi kapitalistis seperti Daniel Bell pun
mengkuatirkan jika spiritualitas modern tidak hanya berpotensi menghancurkan
individu, tetapi juga menghancurkan masyarakat modern itu pula.[11]
Kekhawatiran
Bell dalam hal ini bukan tanpa alasan. Modernisme dalam kaitannya dengan
materialisme, menyebabkan semangat ekonomisme begitu kental merasuki masyarakat
modern. Hubungan antara manusia dan benda, yaitu kebutuhan material, adalah yang
primer; sedangkan hubungan antarmanusia, yaitu masyarakat, adalah yang
sekunder. Ini berarti bahwa masyarakat modern berada di bawah ekonomi, bukan
sebaliknya. Jadi, mereka hanya berpusat pada perolehan, kekayaan, kemakmuran
material dan mengganggap itu semua sebagai inti kehidupan sosial.
Akibat lain dari
anggapan bahwa hubungan antarmanusia merupakan hal sekunder dan kekayaan
dianggap sebagai inti kehidupan sosial, masyarakat pun diklasifikasikan dalam
pelbagai kelas-kelas sosial yang ditentukan melalui ukuran pendapatan per
kapita. Orang kaya boleh menjadi pengambil keputusan dalam komunitas, sedangkan
orang miskin dilarang berbicara, bahkan dilarang sakit. Orang kaya pasti
dianggap sosok kunci yang berpengaruh yang jika tidak diberikan posisi kepemimpinan,
dikhawatirkan akan terbang ke komunitas lain, sedangkan orang miskin jika perlu
disingkirkan saja karena bukan merupakan sebuah aset, melainkan beban atau liability.
Modernitas menyebabkan manusia yang berada pada kasta tertinggi memandang
manusia yang berada dalam kasta lebih rendah sebagai resources yang
dapat dipakai untuk kepentingannya, dan bukannya untuk dipedulikan.
4.2
Spiritualitas dan Masyarakat Postmodern
Dengan
ditempatkannya individualisme sebagai pusat dalam spiritualitas dan masyarakat
modern, tentu saja tidak ada aspek spiritualitas postmodern yang lebih
diunggulkan, selain realitas hubungan-hubungan internal. Bertolakbelakang
dengan pandangan modern yang beranggapan bahwa hubungan dengan orang lain dan
dengan benda-benda lain dianggap bersifat eksternal, kebetulan, dan turunan,
maka para pemikir postmodern menggambarkan hubungan-hubungan ini sebagai yang
bersifat internal, esensial, dan konstitutif. Seorang individu tidaklah
pertama-tama muncul sebagai suatu wujud yang sudah penuh dan baru kemudian dengan
kualitas-kualitas yang dimilikinya berinteraksi secara superfisial dengan
makhluk-makhluk lain yang tidak mempengaruhi esensinya. Justru sebaliknya, hubungan
seseorang dengan tubuhnya, lingkungan alamnya yang lebih besar, keluarganya,
dan kulturnya membentuk atau bersifat konstitutif terhadap identitas individu
itu.[12]
Aspek lain
spiritualitas postmodern adalah organisisme,
yang secara serentak mentransendensikan dualisme
dan materialisme modern. Tidak
seperti kaum modern yang dualistik, kaum postmodern tidak merasa seperti
makhluk asing yang hidup dalam alam yang jahat dan tidak peduli, melainkan
merasa “betah” hidup di dunia dan memiliki rasa persaudaraan dengan
spesies-spesies lain yang dipandang memiliki pengalaman, nilai, dan tujuan
mereka sendiri. Dengan rasa “betah” dan persaudaraan ini, keinginan kaum modern
untuk menguasai dan memiliki digantikan dengan spiritualitas postmodern yang
menikmati kegembiraan dalam kebersamaan dan keinginan untuk membiarkan yang
lain sebagaimana adanya.
Pemahaman
postmodern akan rasa ke-satu-an dengan alam ini sangat berbeda dengan
pemahaman modernitas materialistis, yang di dalamnya kesatuan itu sama dengan
reduksionisme yang deterministik dan relativistik. Spiritualitas postmodern
mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menentukan dirinya,
yang bisa dipakainya demi kebaikan atau kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat
adanya berbagai tingkat pengalaman nilai yang berbeda-beda dan penolakan bahwa
manusia itu adalah tuan segala ciptaan yang bisa memanfaatkan semua makhluk
lainnya, tidak berarti bahwa manusia tidak bernilai secara intrinsik daripada
seekor ngengat. Oleh sebab itu, pandangan postmodern menyarankan suatu
spiritualitas yang di dalamnya terdapat perhatian pada ekologi digabungkan
dengan perhatian khusus pada kesejahteraan manusia.
Aspek lain yang
penting dalam spiritualitas postmodern adalah bahwa spiritualitas postmodern
memiliki hubungan yang baru dengan waktu, yaitu dengan masa lalu dan masa
depan. Pemikir postmodern meyakini pengalaman masa lalu dalam arti tertentu dan
hingga batas tertentu, pengalaman masa kini merangkum seluruh masa lalu.
Sesungguhnya setiap individu adalah penyingkapan masa lalu dan reaksi masa
kininya terhadap masa lalu itu. Dengan kata lain, seseorang itu
mengejawantahkan banyak kebiasaan yang sudah berlangsung sekian lama.
Dan selain
menghargai masa lalu, spritualitas postmodern juga memiliki landasan untuk
memperhatikan masa depan. Karena masa depan tidak dipikirkan sebagai yang
berhubungan secara internal dengan masa kini, maka self-interest
rasional seorang individu dianggap tidak menjangkau keluar masa hidupnya.
Pemikiran postmodern sepakat masa depan tidak memiliki hubungan internal dengan
masa kini, berbeda dengan kaitan antara masa kini dan masa lalu. Akan tetapi
sudah terangkum di masa kini bahwa masa depan itu akan ada, dan masa depan itu
tumbuh dari masa kini dengan menyertakan kontribusi-kontribusinya. Pemikir
postmodern juga menyatakan bahwa manusia secara internal terbentuk oleh manusia
dengan keilahian.
Penekanan pada
hubungan internal mengakibatkan spiritualitas postmodern berusaha mengatasi
individualisme sosial. Pola masyarakat postmodern bersifat komunal atau
komunitarian, yakni menekankan bahwa kebijakan sosial harus diarahkan kepada
pelestarian dan penciptaan kembali pelbagai bentuk komunitas lokal.
Komunitas-komunitas lokal tersebut dapat berupa suatu masyarakat maupun
antarmasyarakat, yang digerakkan oleh agama sebagai sumber potensialnya. Secara
khas kaum postmodern menerima suatu masyarakat agama yang pluralistis, dan
berharap bahwa pelbagai agama tradisional akan mengakui kesamaan masing-masing
dan juga saling mentransformasikan diri dengan menyesuaikan nilai-nilai dan
kebenaran dari partikularitas masing-masing. Masyarakat postmodern juga
merupakan tatanan masyarakat di mana era materialistis ditolak.
4.3
Kesalehan Sosial sebagai Jati Diri Spiritualitas Kristiani di Era
Postmodern
Pada
masa kini, tradisi kesalehan sosial dapat dilakukan dalam wadah komunitas yang
bernama Gereja. Sebagai model dari umat pilihan dan representasi Kerajaan Allah
di bumi ini, Gereja harus menyadari bahwa mereka adalah umat yang kudus, yang dipanggil dari dunia untuk menjadi
milik Allah. Tetapi di lain pihak, Gereja juga adalah suatu umat yang duniawi, dalam arti bahwa mereka adalah orang-orang
yang diutus kembali ke dalam dunia untuk bersaksi dan melayani atau
untuk menunjukkan sebuah kesalehan sosial di tengah masyarakat.
Jati diri
ganda ini harus dilakukan secara seimbang pada saat yang bersamaan. Namun
sayangnya, Gereja
justru seringkali terlalu menitikberatkan pada satu jati diri
saja. Kadang-kadang akibat keinginan yang menggebu-gebu untuk hidup kudus, Gereja memisahkan diri dari dunia ini, sehingga
Gereja menjadi kolot dan tidak mengikuti perkembangan
zaman. Dan sebaliknya, kadang-kadang Gereja pun terlalu menonjolkan
keduniawiannya, akibatnya Gereja
secara keliru menyesuaikan diri kepada tolak ukur dan nilai-nilai yang dianut
dunia, dan pada akhirnya Gereja pun tercemar dengan zat polutan
duniawi. Yesus mengajarkan bahwa Gereja adalah garam dan terang dunia
(Mat 5:13-16). Agar garam dan terang dapat berfungsi dengan baik, maka garam itu harus meresap dalam daging dan
terang itu harus bersinar menerangi kegelapan. Artinya,
kesalehan individu itu harus dipertontonkan di tengah masyarakat, sehingga masyarakat pun dapat merasakan asinnya garam, dan melihat terang
yang bersinar. Sama seperti itulah Gereja dan orang Kristiani mempraktekkan kesalehannya di tengah era postmodern ini.
Semua
bentuk kesalehan sosial dalam komunitas Gereja
lokal sejatinya harus diilhami oleh kasih sayang terhadap sesama manusia. Rasa
kasih sayang terhadap sesama ini tentu saja sangat tergantung dari penilaian
seseorang terhadap manusia. Semakin seseorang menganggap tinggi nilai manusia,
maka semakin besar minat orang tersebut untuk melayani
kepentingannya.
Oleh
karena itu, kesalehan sosial dalam spiritualitas Kristiani postmodern adalah
kesalehan yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme, yaitu
mazhab filsafat agama yang menempatkan manusia sebagai subyek sentral dalam
jagad raya, tetapi inheren dalam kemanusiaannya tumbuh kesadaran spiritual yang
senantiasa berorientasi pada Tuhan. Kesalehan sosial ini akan memiliki ciri
khas yang menekankan dan menghargai persamaan nilai-nilai luhur pada setiap
agama. Kesalehan sosial ini pun memiliki kepedulian pada persoalan lingkungan
hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan, dengan mengandalkan pada
kekuatan ilmu pengetahuan empiris dan kesadaran spiritualitas yang bersifat
mistis.
Bagaimana wujud
kesalehan sosial yang konkrett dan Kristiani sesuai dengan konteks berbangsa
dan bernegara saat ini? Wujud umumnya adalah pemaksimalan peran pelayanan
diakonia yang sudah ada. Peran pelayanan diakonia ini bisa disempitkan lagi
dalam bentuk derma yang dilakukan satu jemaat yang berkecukupan kepada anggota
jemaat yang hidup di bawah garis kesejahteraan. Selain lewat pelayanan diakonia
yang ada dalam Gereja lokal, orang-orang Kristiani pun dapat menyalurkan
dermanya melalui pelbagai lembaga Kristen non-profit yang bergerak dalam
pengembangan masyarakat, seperti Compassion
International, World Vision Indonesia,
ataupun pelbagai lembaga pelayanan lainnya yang memiliki orientasi pelayanan
sosial dan memiliki program nyata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
miskin.
Wujud kedua
adalah memberdayakan ekonomi rakyat miskin. Gereja melalui pelayanan diakonia
yang ada dalam Gereja, bisa menyediakan Kredit Usaha Kecil tanpa agunan dan
tanpa bunga. Jemaat prasejahtera yang menerima kucuran pinjaman ini tentu bukanlah
sembarang jemaat. Mereka yang berhak menerima manfaat pinjaman ini tentu adalah
jemaat yang telah memiliki komitmen dalam berjemaat, memiliki integritas, dan
mempunyai keinginan yang kuat untuk bebas dari belenggu kemiskinan. Tentu
kemudian, sebelum dan sesudah mendapat pinjaman tersebut, jemaat yang
berpotensi mendapatkan pinjaman harus mendapat pelatihan mengenai bisnis kecil.
Selama proses usaha ini berjalan, maka Gereja harus menyediakan bimbingan usaha
yang terkait dengan pengembangan usaha. Bimbingan ini dapat dilakukan oleh
anggota jemaat lain yang sudah memiliki pengalaman dan kapabilitas dalam
berbisnis.
Wujud ketiga
adalah penyediaan kesempatan untuk mendapat pendidikan bagi anak-anak dari
keluarga prasejahtera. Kesempatan pendidikan yang dapat diberikan minimal
Sekolah Menengah Umum dengan skill keterampilan yang dapat diserap pasar. UUD
1945 menjamin setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali mendapatkan
pendidikan. Namun, pada prakteknya anak-anak miskin mendapatkan kesempatan yang
sangat minim terhadap akses pendidikan. Akibatnya, generasi muda bangsa ini
kembali berputar-putar dalam lumpur hidup kemiskinan. Ironisnya lagi,
sekolah-sekolah Kristiani yang pada awalnya dibangun sebagai upaya misi, justru
merupakan sekolah-sekolah termahal di negeri ini.
BAB V
NILAI-NILAI SPIRITUALITAS
KRISTIANI
Spiritualitas Kristiani mesti nampak
dalam kehidupan konkret. Perwujudannya nampak dalam sikap-sikap hidup
Kristiani. Cinta sesama
sejati harus mencakup sikap menghormati nilai-nilai yang bersifat spiritual dan
ideal. Cinta sesama akan mendukung nilai-nilai tersebut dan memelihara,
mempertahankan serta menumbuhkembangkannya. Di samping harta kehidupan jasmani,
yang termasuk nilai-nilai spiritual dan
ideal adalah kehormatan dan kejujuran.
Kehormatan
adalah nilai penting
untuk eksistensi manusia di dunia. Kehormatan memberikan kepada seseorang
tempat yang pantas dalam penilaian manusia selaras dengan nilai sejatinya dan
perannya dalam masyarakat. Kebenaran memungkinkan manusia hidup dan bertindak
dalam keselarasan dengan kenyataan. Kejujuran adalah kebaikan yang
mengindahkan kebenaran dalam setiap bentuknya dan memeliharanya dalam pergaulan
dengan sesama. Nilai yang bertalian erat dengan kedua nilai tersebut adalah kesetiaan,
yang membuat seorang manusia berpegang teguh secara jujur kepada keyakinan,
kata-kata dan janjinya. [13]
5.1
Kehormatan
5.1.1 Hakekat dan Pendasaran
Kehormatan
Nilai
kehormatan terletak dalam pengakuan akan martabat pribadi, bukan saja dengan
persetujuan batin, melainkan juga melalui sikap dan tingkah laku. Dalam arti
yang lebih luas, kehormatan adalah penghargaan seseorang terhadap diri sendiri,
hal yang membuatnya setia terhadap diri, dan itu berarti setia pada keyakinannya,
kata-katanya dan diri yang lebih baik. Inilah yang dimaksudkan bila seseorang
disebut sebagai pribadi yang patut dihormati. Bentuk paling mulia dari
kehormatan adalah kehormatan moral. Kehormatan diberikan untuk pribadi yang
secara moral tak tercela dan menghormati nilai-nilai moral.
Dasar
kehormatan adalah kesempurnaan, kebaikan dan kesucian seorang pribadi.
Penghormatan tertinggi di kalangan ciptaan material diberikan kepada manusia
karena dia merupakan gambaran Allah. Semakin citra Allah terwujud dalam satu
pribadi dan semakin pribadi itu merupakan anak Allah, maka semakin tinggi pula
penghormatan yang harus diberikan kepadanya. Kepasrahan dan sembah bakti tulus
seorang manusia kepada Allah layak mendapat penghormatan lebih besar daripada
kualitas kodrati keindahan, inteligensi, daya jasmani atau kekayaan material.
Penghormatan
adalah harta sosial yang penting. Suatu masyarakat yang tidak saling
menghormati akan kehilangan ikatan sosial dan tidak mampu menuntut yang terbaik
dari anggotanya. Setiap pribadi membutuhkan penghormatan agar dapat mengabdi
pada masyarakat dan menghasilkan buah melalui karyanya di tengah masyarakat.
Kehormatan juga memiliki peran penting secara pedagogis. Pengakuan dan
penghargaan atas jasa yang telah dihasilkan seseorang merupakan suatu dukungan
moral yang maha penting.
5.1.2 Kewajiban Utama Menyangkut
Kehormatan
5.1.2.1 Mengindahkan Kehormatan
Diri Sendiri
Nama
baik adalah harta paling tinggi di antara harta fana. Setiap orang harus
berusaha untuk memelihara nama baiknya. Sebab pujian manusia tidak dapat
diusahakan demi diri sendiri. Apabila seseorang melakukan perbuatan baik hanya
demi mendapat kehormatan lahiriah sementara ia tidak memiliki cinta yang tulus
terhadap Allah dan sesama, maka tidak ada kebajikan di dalam sikapnya.
Kepedulian
penuh tanggung jawab terhadap kehormatan diri sendiri dibenarkan dan kerapkali
bahkan merupakan kewajiban. Sikap tersebut merupakan bagian yang sah dari cinta
diri yang sehat. Kewajiban untuk memelihara kehormatan tidak berarti keharusan
untuk mempertahankannya secara picik. Gangguan kecil yang tidak terlalu
merusakkan kehormatan sebaiknya diabaikan saja. Namun, satu pribadi mempunyai
hak dan kerapkali kewajiban untuk membela diri terhadap serangan tidak adil
yang sangat merusakkan kehormatannya. Sebaliknya, dalam rangka mempertahankan
kehormatannya, seseorang tidak boleh melampaui batas-batas pertahanan diri yang
wajar dan benar dan harus membatasi dirinya pada apa yang perlu dan sepadan
untuk menghadapi fitnah.
Makna
sejati dari kehormatan seharusnya menghindarkan seseorang dari bualan mencari
pengakuan akan kebajikan yang dalam
kenyataan tidak pernah dimilikinya atau bukan merupakan prestasinya.
Kehormatan yang tidak layak diperoleh harus menjadi alasan untuk merasa malu
dan bukannya malah bergembira. Mencari kehormatan secara berlebihan adalah dosa
akibat ambisi yang kacau. Mencari kehormatan diri dengan melanggar penghormatan
terhadap Tuhan, hak orang lain dan kepentinganumum merupakan dosa berat.
5.1.2.2 Penghormatan terhadap
Sesama
Keadilan
menuntut bahwa kita harus memperhatikan k ehormatan orang lain yang berhak
menerima kehormatan itu. Seseorang yang berhati mulia sangat royal dalam
memberikan pujian. Ia tidak menanti hingga dihormati, tetapi selalu enteng dan
berbesar hati memberikan penghormatan kepada orang lain.
Penghormatan
terhadap orang lain dapat diungkapkan dalam berbagai cara, seperti bersikap
sopan santun, memberikan pujian dan pengakuan, memberikan kesaksian yang baik
tentang orang lain, dan sebagainya. Tidak seorang pun dilecehkan karena cacat
atau karena kemiskinannya. Yang buta dan lumpuh layak mendapat penghormatan
sebagaimana mereka yang sehat dan kuat. Kaum miskin sebagaimana juga orang
kaya, sejauh mereka menjalani hidup yang jujur layak mendapat penghormatan.
5.1.2.3 Pelayanan dan Kewajiban
untuk Mengoreksi
Kekurangan
dan kelemahan adalah faktor-faktor yang merugikan kehormatan secara pribadi, dan
sekaligus mendatangkan kerugian bagi orang lain. Membantu sesama untuk
menyadari dan mengoreksinya sungguh-sungguh merupakan karya cinta kasih.
Koreksi penuh persaudaraan merupakan karya istimewa dari cinta kasih kepada
sesama. Koreksi persaudaraan adalah petunjuk seseorang tentang kesalahan yang
dilakukan sesama untuk menjauhkan dia dari kesalahan. Koreksi seperti ini
bersifat privat dan bukan pengadilan.
Dasar
terdalam kewajiban untuk memberikan peringatan individual sebagaimana juga
kritik sosial adalah kewajiban untuk mengelakkan kejahatan dari sesama dan
persekutuan, dan memampukannya untuk mengejar panggilan mereka dan meningkatkan
kemuliaan Allah. Suatu peringatan acapkali dituntut oleh hak dan kewajiban
untuk mempertahankan orang lain atau diri.
Setiap
orang juga memiliki kewajiban untuk menerima teguran dan berusaha memperbaiki
kekurangan dan kekeliruan. Orang-orang yang menolak teguran, yang memberikan
reaksi yang sangat sensitif serta membalas dendam akan ditinggalkan, dan
apabila kekeliruannya berkaitan dengan masalah yang sangat serius, maka
akhirnya akan digunakan metode yanglebih keras dalam menghadapinya.
Obyek
teguran persaudaraan adalah kesalahan sesama yang membawa kerugian untuk diri
sendiri dan orang lain, terutama apabila kesalahan itu berkaitan dengan
kejahatan yang lebih besar. Obyek kritik sosial adalah situasi dalam kelompok
sosial, seperti kegagalan dalam memenuhi tugas bagi masyarakat, diskriminasi
terhadap kaum minoritas, sikap memihak pada kaum berada dan tindakan melecehkan
hak-hak asasi.
Teguran
harus mungkin terwujud tanpa pengorbanan yang luar biasa. Tindakan memberikan
peringatan atau teguran selalu membutuhkan upaya dan keberanian, dan karena itu
merupakan bagian dari kewajiban. Hal ini berlandas pada kenyataan bahwa teguran
terhadap orang lain acapkali mengandung resiko penolakan atau reaksi tidak
sopan dari pihaknya, bahkan kalau teguran itu diberikan dengan cara yang benar.
Teguran penuh persaudaraan harus dimotivasi oleh kepedulian yang tulus akan
kepentingan sesama, dan bukan karena kejengkelan pribadi, karena marah atau
balas dendam, karena kritik-kritik yang berasal dari alasan seperti itu tidak
konstruktif.
5.1.3 Pelanggaran terhadap
Kehormatan Sesama
Seorang
pribadi dapat bersalah dalam bidang kehormatan dengan berpikir jahat tentang
sesama. Pikiran benci adalah dosa yang kerap terjadi, tetapi agak diabaikan.
Terutama prasangka yang gegabah melanggar kehormatan sesama.
Penghormatan
terhadap sesama wajib diberikan jika ia layak memperolehnya dan tidak bersalah
melakukan pelanggaran. Jika penghargaan seperti itu tidak diberikan, sekalipun
hanya di dalam pikiran, maka hal itu merupakan suatu ketidakadilan.
5.1.3.1 Mencaci-maki dan Memfitnah
serta Pencemaran Nama Baik
Cara-cara
yang merugikan kehormatan, khususnya adalah mencaci-maki atau memfitnah, atau
mencemarkan nama baik orang lain. Fitnah berarti menceritakan kekurangan yang
tidak benar dengan kesadaran sepenuhnya bahwa hal itu salah. Salah satu bentuk
fitnah adalah campuran dari kebenaran dan kesalahan. Pencemaran nama baik
adalah perusakan secara tidak adil nama baik seseorang dengan mengumumkan
kesalahan yang memang benar dilakukan, namun pada waktu sebelumnya menjadi
sesuatu yang rahasia. Penghinaan dapat dilakukan dengan cara lain selain
ungkapan kata-kata.
Lidah
jahat merupakan yang hal yang memuakkan. Lidah jahat dan pemfitnah dikutuk
karena merusakkan kedamaian banyak orang. Makian dan umpatan merupakan suatu
bentuk perampokan terhadap hak orang lain. Perampokan itu merupakan dosa
ketidakadilan. Fitnah merupakan dosa terhadap keadilan dan kebenaran, karena
fitnah itu mengenakan kesalahan kepada sesama yang sebenarnya tidak
dilakukannya. Karena itu, hak atas nama baik yang berlandas pada kebenaran
adalah hak mutlak dan umum. Kebenaran dan keadilan menuntut bahwa seorang
pribadi yang dalam kenyataannya sebagai seorang yang baik tidak boleh
dipojokkan sebagai pribadi yang buruk. Pencemaran nama baik merupakan
ketidakadilan apabila kesalahan yang digugat hanya merupakan kekecualian dan
kelemahan yang sesekali terjadi. Pencemaran nama baik umumnya ditandai oleh
sikap melebih-lebihkan persoalan. Akibat negatif yang sering muncul pada korban
pencemaran nama baik adalah kenyataan bahwa semangat mereka dalam perjuangan
moral menurun atau bahkan berhenti sama sekali, karena apa pun perjuangannya
tetap saja posisi moralnya dalam pendapat umum sudah jatuh.
Pencemaran
nama baik adalah dosa yang lebih berat dari pencurian, karena nama baik lebih
tinggi dari kekayaan. Bobot keseriusannya tergantung dari kerugian yang bakal
timbul untuk kehormatan seorang pribadi, penderitaan yang bakal ditanggungnya,
kerugian untuk pekerjaannya, dan mungkin juga kerugian material (misalnya
hilangnya lapangan kerja). Karena itu, meskipun seseorang itu kehilangan nama
baik dalam satu hal, namun ia tetap dapat memiliki hak untuk dihargai dalam hal
lain.
5.1.3.2 Pemulihan Nama Baik
Pemulihan
dari kerugian yang ditimbulkan secara tidak adil merupakan kewajiban keadilan
dan cinta. Hal ini berlaku untuk semua orang yang telah melanggar kehormatan
sesama. Mereka mesti berusaha sejauh kemampuan untuk mengganti kerugian yang
telah ditimpakan pada nama baik pribadi korban, dan semua kerugian material yang
timbul darinya.
Pemulihan
dari makian dan umpatan mesti dibuat secara publik atau privat, tergantung dari
kenyataan entah makian itu bersifat
publik atau privat. Pemulihan itu dapat dilakukan oleh pelaku sendiri
atau melalui pribadi perantara. Permintaan maaf dapat dikirim secara tertulis
apabila pihak yang bersalah tidak dapat tampil di depan korban. Pemulihan harus
terjadi dengan cara yang mengungkapkan secara jelas penyesalan dan penghormatan
terhadap pribadi yang dilukai.
Pemulihan
dalam kasus pemfitnahan menuntut bahwa tuduhan yang salah harus ditarik kembali
secara jelas. Kesaksian palsu di depan pengadilan harus ditarik kembali, kalau
kerugian tidak dapat diatasi dengan cara lain. Pencemar nama baik tidak bisa
menarik kembali tuduhannya karena ia benar.
5.2
Kejujuran (Cinta akan Kebenaran)
Sebuah
pernyataan atau pemikiran disebut sebagai yang benar apabila pernyataan
tersebut selaras dengan kenyataan atau keyakinan batin dan pengetahuan seorang
pribadi.
Secara
etimologis, kata bahasa Ibrani untuk kebenaran atau emeth. Akar kata emeth
adalah aman yang berarti dapat dipercayai, diandalkan, teguh. Maka,
kata emeth dekat dengan konsep kesetiaan. Apabila emeth digunakan
untuk Allah, maka hal itu berarti bahwa Allah setia dan dapat dipercayai.
Apabila kita berbicara tentang kebenaran manusia, maka itu berarti kesetiaan
manusia terhadap Allah. Selain itu, emeth juga mengungkapkan hubungan
kesetiaan antara manusia.
5.2.1 Kebajikan Cinta Kebenaran
dan Kewajibannya
Cinta kebenaran adalah
keterarahan budi dalam mengakui kebenaran sebagai sebuah nilai yang senantiasa
menjadi titik pusat perhatian. Bersikap benar adalah sikap utama yang membuat
manusia untuk :
1. sedapat mungkin terbuka kepada
kebenaran
2. mutlak bertindak selaras dengan
kebenaran dalam perilakunya
3. dan kesediaan untuk mensharingkan
kebenaran kepada yang lain.
Bersikap
benar pada hakikatnya adalah reseptivitas (tunduk pada keberadaan,
kesediaan untuk menerima realitas). Kebenaran tidak dihasilkan oleh manusia,
tetapi manusia harus dibentuk oleh kebenaran dan membiarkan dirinya dikuasai
oleh kebenaran. Cinta kebenaran pada hakikatnya berarti bahwa orang dikuasai
oleh sumber kebenaran dan keberadaan, yakni Allah yang merupakan kebenaran itu sendiri
dalam artinya yang paling dalam.
Tuntutan
bersikap benar berlandas pada kenyataan bahwa tanpa kebenaran tidak mungkin
terwujud perkembangan wajar pribadi manusia, kehidupan sosial dan agama.
Pengetahuan dan pengakuan atas realitas merupakan landasan mutlak bagi tindakan
tepat guna dan berdaya guna.
5.2.1.1 Bersikap Benar di Dalam
Pikiran
Untuk
mencapai sikap mencintai kebenaran, manusia pertama-tama harus benar di dalam
pikirannya. Ia harus menerima kebenaran yang terbuka baginya dengan berbagai cara,
dan harus mencarinya dengan sepenuh hati. Kewajiban mencari kebenaran
pertama-tama menyangkut keberadaan manusia sendiri, menyangkut tugas yang
diberikan kepadanya di dalam dunia ini, dan dasar keberadaannya yakni Allah
yang memberikan makna tertinggi pada kehidupannya.
Kewajiban
mencari dan menerima kebenaran merupakan kewajiban utama. Tuntutan mendasar
dari hal bersikap benar adalah kebenaran untuk menghadapi kebenaran dalam
keberadaan kita sendiri. Hal ini menuntut keberanian untuk menerima diri dan
secara jujur mengakui batas-batasnya. Inilah yang disebut sebagai ketulusan, di
mana ketulusan batin mengandaikan penyangkalan diri yang penuh kerendahan hati
dan bebas dari sikap angkuh. Etika kejujuran atau bersikap benar harus juga
mengindahkan hukum-hukum tatanan obyektif dan kenyataan dunia.
5.2.1.2 Berlaku Benar dalam
Tindakan
Tindakan
seseorang haruslah jujur. Tindakannya harus selaras dengan prinsip-prinsip yang
dimiliki pribadi itu dan yang dianutnya. Berlaku benar dalam perbuatan berarti
bahwa seseorang bertindak selaras dengan pikiran dan kata-katanya. Karena itu,
setiap perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran yang dikenal dan keyakinan
iman adalah tidak jujur. Misalnya kemunafikan yang bertentangan dengan
kebenaran, karena sikap laku luar orang munafik memperlihatkan perbuatan baik,
sementara motivasi sesungguhnya bersifat lain.
Bertindak
benar menuntut bahwa seseorang menghadapi situasi tak menyenangkan dan tidak
lari dari dirinya. Kejujuran menuntut dari seseorang agar terbuka terhadap kritik
orang lain tanpa rasa antipati dan keinginan balas dendam. Manusia tulus dan
jujur menerima dengan serius pendapat orang lain, dan bersedia mengakui
kekeliruan dan kesalahannya.
5.2.1.3 Kejujuran dalam Perkataan
Kata-kata
lisan dalam cara tertentu harus merupakan ungkapan kata-kata dan pengetahuan
batin. Kejujuran dalam kata-kata menuntut apa yang diungkapkan dalam perkataan
harus selaras dan serasi dengan pemikiran dan pengetahuan dalam hati seseorang.
Kejujuran
dalam kata-kata adalah tuntutan keadilan, sikap hormat dan cinta kasih.
Sementara lawannya adalah dusta, tidak saja menyembunyikan kebenaran bagi orang
lain, tetapi membuat orang itu percaya pada apa yang tidak benar, membuatnya
terjebak di dalam kesalahan. Ia menerima fakta-fakta dan mengandalkannya
sebagai yang pasti yang sebenarnya dalam kenyataan tidak ada. Setiap dusta
memperlakukan orang lain seolah-olah tidak layak atau tidak berhak untuk
menerima kebenaran. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap martabat orang lain
sebagai pribadi yang memiliki nilai dan hak yang sama.
Kejujuran
tidak saja bertentangan dengan dusta yang gamblang, tetapi juga dengan
kemunafikan, sanjungan yang menjilat dan pujian berlebihan. Sanjungan yang
menjilat merupakan pelanggaran berat apabila menjadi jaran ke arah kejahatan.
Apabila tujuannya hanya untuk menyenangkan orang lain atau mencapai keuntungan yang halal, maka
pelanggaran itu kurang berat walaupun tetap bersifat tidak benar.
5.2.2 Dusta dan Sikap
Menyembunyikan Kebenaran yang Diizinkan
Dusta
adalah pernyataan yang bertentangan dengan keyakinan batin dan pengetahuan
seseorang. Atau dusta merupakan pembicaraan yang bertentangan dengan apa yang
dipikirkan (locutio contra mentem). Dusta (mendacium) juga
didefinisikan sebagai pembicaraan yang tidak benar yang melanggar hak lawan
bicara atas kebenaran. Maka, pembicaraan tidak benar yang tidak melanggar hak
atas kebenaran bukanlah dusta. Pembicaraan itu disebut salah (falsiloquium),
dan tidak dilihat sebagai pelanggaran terhadap kebenaran. [14]
Orang
kafir di zaman kuno tidak mengenal kewajiban menyangkut kebenaran mutlak. Dusta
diperbolehkan dan kadang-kadang bahkan dituntut demi kebaikan yang lebih tinggi. Aristoteles [15]
kerapkali disebut sebagai kekecualiaan. Ia memuji orang yang perkataannya benar
apabila tidak menarik keuntungan dari kata-katanya. Namun, para penafsir tidak
sependapat, apakah dengan itu ia mau secara mutlak menutup kemungkinan terhadap
setiap penipuan atau dusta, meskipun misalnya kepentingan-kepentingan negara
dipertaruhkan. Cicero secara agak umum menolak dusta. Ia mengecam dusta secara
keras, baik dalam urusan privat maupun dalam urusan publik.
Pengaruh
yang menentukan atas ajaran tentang dusta berasal dari Agustinus. Ia
mendefinisikan dusta sebagai pernyataan palsu dengan tujuan untuk menipu, dan
melihatnya sebagai buruk. Dusta dalam situasi apa pun dilarang. Pemikirannya
ini didukung oleh Thomas Aquinas. Ia melihat dusta sebagai hal yang
bertentangan dengan kodrat, dan karena itu di dalam dirinya buruk.
5.3
Kaum Awam dan Spiritualitas Kristiani
5.3.1 Kaum Awam
Secara umum dapat dikatakan bahwa definisi awam dipakai
untuk menyebutkan orang beriman pada umumnya. Pada intinya, sebutan kaum
beriman Kristen bagi semua warga umat Allah yang mempunyai landasan bersama
yang sama dalam pembaptisan. Dan dari konsili Vatikan II (LG 31) dapat dilihat
bahwa ciri keduniaan merupakan kekhususan kaum awam.
5.3.1.1 Pengertian Kaum Awam
A. Secara Etimologis
Kata Yunani untuk orang awam adalah laikos, dalam bentuk Latinnya Laicus
yang berarti orang. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kata itu sering dikenal
dengan sebutan laos yang sering
dipertentangkan dengan ta Eqnh dan
berarti umat Allah yang membedakannya dari bangsa-bangsa (kafir). Mula-mulanya
kata itu berarti menjadi bagian dari “laos”,
yakni umat pilihan Allah, dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam
terang ini, semua anggota Gereja adalah umat pilihan Allah dan hanya atas dasar
ini mereka bisa mendapatkan kedudukan-kedudukan lain, yakni kedudukan-kedudukan
lebih spesifik.[16]
B. Secara Teologis
Awam adalah mereka yang karena melalui pembaptisan menjadi
anggota-anggota tubuh Kristus, dibentuk menjadi umat Allah dan karena itu,
dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas imam, kenabian, dan rajawi
Kristus. Sesuai dengan kedudukan masing-masing, dipanggil untuk menjalankan
perutusan yang dipercayakan Allah kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia.[17]
C. Secara Tipologis
Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Dalam
arti ini, kata itu meliputi biarawan yang tidak ditahbiskan. Maka arti kaum awam
tidak lain adalah seluruh umat Allah yang menerima bagian sama dalam kerajaan
Allah, dan tidak membedakan apakah ia menjabat sesuatu (pendeta atau penginjil)
atau jemaat biasa, semua yang “terpanggil” adalah umat Allah.[18]
5.3.1.2 Identitas Kaum Awam
Identitas kaum awam harus dilihat
dalam konteks identitas Gereja sendiri. Dengan istilah “awam” dimaksudkan semua
orang beriman Kristen yang tidak termasuk golongan tahbisan suci dan status
kebiaraan yang diakui di dalam Gereja. Mereka adalah orang-orang yang dengan
pembaptisan menjadi anggota-anggota tubuh Kristus dan dijadikan umat Allah dan
dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi
dan raja. Karena itu, sesuai dengan peranan mereka dalam menjalankan perutusan
seluruh umat Kristen dalam Gereja dan dunia.[19] Bagi kaum awam ciri keduniaan adalah khas dan khusus. Tanggung
jawab kaum awamlah mencari kerajaan Allah dengan mengurus hal-ikhwal keduniaan
dan mengaturnya menurut kehendak Allah.
5.3.1.3 Kerasulan Awam
Kerasulan merupakan partisipasi
dalam perutusan Gereja. Kerasulan merupakan salah satu bentuk konkrit dari
panggilan utama setiap orang Kristen, yakni hidup merasul untuk mengembangkan
dan melestarikan warta tentang Kristus. Kerasulan terdiri atas tiga, yakni;
kerasulan umum, kerasulan awam dan kerasulan hierarki.[20]
Pertama, kerasulan umum. Panggilan hidup
semua orang beriman baik imam maupun awam untuk hidup merasul. Orang-orang
beriman Kristiani adalah mereka yang dengan permandian menjadi anggota tubuh
Kristus, dijadikan umat Allah dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam
tugas Kristus, sebagai imam, nabi dan raja.
Kedua, kerasulan awam. Mengambil bagian
dalam misi keselamatan Gereja dan semua ditugaskan oleh Tuhan bagi kerasulan
itu dengan pendasaran pada sakramen permandian dan penguatan. Kaum awam
dipanggil dan diutus untuk menghadirkan serta mengaktifkan Gereja di
tempat-tempat dalam situasi dimana Gereja tidak dapat menjadi garam dunia. Dengan
demikian, kerasulan awam berarti partisipasi dalam misi keselamatan Gereja
dengan dasarnya adalah sakramen permandian dan penguatan serta berarti
menghadirkan dan mengaktifkan Gereja khususnya, dimana melalui mereka Gereja
dapat hadir.
Ketiga, kerasulan hierarki. Kerasulan
hierarki adalah kerasulan yang membutuhkan mandat. Tugas kerasulan ini,
diberikan kepada hierarki sebagai jabatan atau suatu tugas resmi yang
dijalankan sebagai pejabat resmi Gereja. Menurut pendasaran lebih lanjut yang
bukan hanya berdasarkan pada sakramen permandian dan penguatan melainkan juga
berdasarkan imamat khusus, yakni dalam sakramen tahbisan.
Keempat, kerasulan religius. Tolak ukur
hidup religius ialah mengikuti Kristus menurut Injil. Maka semua tarekat
hendaknya memandang itu sebagai pedoman tertinggi. Tujuan utama hidup religius
pertama-tama yakni agar para anggotanya mengikuti Kristus dan dipersatukan
dengan Allah melalui pengikraran nasehat-nasehat Injil. Kekhasan hidup religius
yaitu dengan corak hidup mereka yang ditandai dengan keperawanan, kemiskinan,
dan ketaatan menurut teladan Kristus Tuhan sendiri.
5.3.2 Kaum Awam dan
Spiritualitas Kristiani
5.3.2.1 Spiritualitas Kristiani
Kaum Awam : Menghayati dan Melaksanakan Tiga Tugas Kristus sebagai Imam, Nabi
dan Raja
Kaum awam adalah bagian integral
dari kehidupan menggereja. Oleh karena itu, peran dan partisipasinya sangat
dibutuhkan demi membangun Kerajaan Allah di dunia. Kehadiran awam dalam Gereja
dapat membantu kaum klerus dalam menjalankan aktivitasnya. Awam dengan kemampuannya
masing-masing mengemban tugas yang telah diberikan oleh Kristus sendiri
kepadanya.
Peran dan partisipasi kaum awam ini
dalam Gereja dilihat dari dua dimensi, yaitu melibatkan diri dalam kehidupan
menggereja dengan mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan
raja serta menjalankan kerasulan. Kedua dimensi inilah yang akan dibahas dalam
bab ke-empat ini.
Kaum awam dituntut untuk mewujudkan
spiritualitas Kristiani dalam kehidupan konkret. Perwujudannya nampak dalam
tugas kaum awam. Tugas-tugas kaum awam didasarkan pada tritugas Kristus, yakni
sebagai imam, nabi dan raja.
Partisipasi awam dalam tugas Kristus
sebagai imam terutama dikaitkan dengan pengudusan yang dijalankan dalam
perayaan liturgi. Kaum awam dalam kehidupannya di tengah dunia harus memampukan
diri untuk hidup suci, artinya kaum awam harus mengikuti ajaran dari Kristus
sendiri dan menjauhkan segala larangan-Nya. Keterlibatan kaum awam dalam tugas
imamat Kristus dihayati dan diamalkanya dalam kehidupannya di tengah dunia bersama
anggota umat Allah yang lain.
Tugas kenabian yang dijalankan kaum
awam sangat erat hubungannya dengan usaha untuk memberikan kesaksian iman, baik
melalui pengalaman maupun lewat pengahayatan imannya. Keterlibatan kaum awam
dalam tugas kenabian Kristus nyata dalam pewartaan kabar gembira Kristus dan
ungkapan iman sebagai jawaban. Mewartakan adalah tugas merasul dan dalam hal
ini, kaum awam sebagai rasul juga diwajibkan untuk mewartakan Kristus. Tugas
kaum awam adalah mengajar, meneguhkan dan memperkaya iman umat beriman lewat
kegiatan katekese, shering pengalaman iman, ret-ret, sehingga umat beriman
semakin bersatu dengan Kristus sumber iman satu-satunya, selain itu lewat
kesaksian hidup. Umat beriman khususnya kaum awam dipanggil untuk menjadi saksi
iman dalam segala situasi demi Kristus yang diimaninya. Kekatolikan akan lebih
berarti jika umat beriman berani bersaksi dengan hidup yang baik sesuai dengan
kebenaran iman.
Sedangkan keterlibatan kaum awam
dalam tugas rajawi Kristus nampak dalam pelayanan kasih kepada sesama terutama
kepada sesama yang miskin dan menderita. Sebagai umat beriman, kaum awam wajib
bertanggung jawab atas kehidupan yang layak bagi anggota umat Allah dalam
segala bidang kehidupan. Kaum awam harus menghormati harkat dan martabat orang
lain dalam setiap situasinya, memiliki rasa persaudaraan, semangat sosial,
progresif dalam pelbagai nilai, memiliki sikap kreatif dan senantiasa sukarela
dalam aktivitas karitatif.
Pelayanan adalah suatu tugas krusial
dan suatu tanggung jawab bagi terwujudnya misi keselamatan yang diemban Gereja
demi pembangunan komunitas Gereja itu sendiri. Upaya mewujudkan misi yang
demikian, menuntut partisipasi semua orang baik yang menerima tahbisan suci,
maupun kaum awam. Tugas, hak, dan peranan kaum awam Kristiani ini datang dari
status yang mereka terima berdasarkan sakramen baptis dan panggilan khusus
mereka. Semua pelayanan adalah pelayanan gerejawi, yakni pelayanan dari umat
dan untuk umat, baik pelayanan imam maupun pelayanan awam agar seluruh umat
dapat menyerahkan diri secara total kepada Allah. Pelaku utama dalam pelayanan
itu adalah umat Allah, yang diperoleh dari sakramen baptis dan ekaristi. Oleh
karena itu, pelayanan awam bukanlah suatu bantuan kepada pelayanan hierarki.
Sebaliknya, pelayanan hierarki merupakan bantuan agar awam dapat menjalankan
pelayanan, saling melayani agar seluruh umat Allah menyerahkan diri kepada
Allah untuk membangun Kerajaan Allah di tengah dunia.
5.3.2.2 Spiritualtias Kristiani
Kaum Awam : Melaksanakan Kerasulan di Bidang Koinonia, Diakonia, Liturgya,
Kerygma dan Martyria
Kerasulan awam adalah peran serta
dalam perutusan penyelamatan Gereja. Untuk kerasulan ini, semua orang
ditugaskan Tuhan sendiri lewat permandian dan penguatan. Dengan sakramen babtis
dan sakramen penguatan yang diterima, semua anggota Gereja ditugaskan oleh
Tuhan untuk merasul. Dengan sakramen-sakramen, terutama ekaristi suci,
diberikan dan dipelihara cinta kasih terhadap Allah dan manusia yang menjiwai
seluruh kerasulan. Kaum awam dipanggil untuk menghadirkan dan mengaktifkan
Gereja dimana-mana, tempat Gereja tidak dapat menggarami dunia.[21]
Kaum awam dituntut untuk setia
terhadap identitas mereka yang khas di dalam Gereja. Identitas kaum awam
terletak dalam konteks identitas panggilan dan perutusan dari Gereja itu
sendiri. Kaum awam harus berada dalam Kristus dan dari Kristus, menjadi Gereja
di dalam dunia dan berada di dunia tanpa menjadi milik dunia. Inilah kerasulan
yang dituntut dari kaum awam. Dan pada umumnya terdapat beberapa karya
kerasulan yang dapat dilaksanakan oleh kaum awam, yakni kerasulan di bidang
koinonia, diakonia, liturgy, kerygma dan martyria. [22]
Koinonia adalah hidup komunitas,
persaudaraan, kesatuan, keutuhan, sebagai umat Allah yang sejati dan sejiwa.
Koinonia memiliki banyak tuntutan, namun sulit diwujudkan secara sempurna
tetapi tetap menjadi tugas yang harus dilaksanakan oleh semua orang beriman.
Adapun tantangan yang menghalangi terwujudnya koinonia, antara lain; minat,
kesukuan, perbedaan status sosial, asal-usul dan sikap acuh tak acuh. Tantangan
ini perlu dicegah dan diperangi agar tidak terjadi perpecahan dan permusuhan di
antara umat beriman.
Diakonia adalah pelayanan kasih
kepada sesama dalam wujud konkret. Pelayanan kasih kepada sesama tanpa menuntut
imbalan atau balasan merupakan suatu bentuk pelayanan yang harus dijalankan
oleh kaum awam. Pelayanan yang benar-benar datang dari hati yang tulus tanpa
paksaan dari orang lain. Dalam kehidupannya di tengah dunia, kaum awam harus
selalu hidup dalam kasih persaudaraan, saling membagi kepada sesama yang lemah
dan menderita. Setiap umat beriman wajib mengambil bagian dalam seluruh
perutusan Kristus. Inilah Gereja pelayan. Pelayanan ini bertujuan agar seluruh
umat beriman dapat menyerahkan diri secara total kepada Allah.
Liturgya merupakan wujud persatuan
dengan Allah dan persaudaraan iman. Dalam liturgi, khususnya dalam perayaan ekaristi
kita bersatu dengan Kristus sumber hidup kita. Sebagai anggota umat Allah, kaum
awam hendaknya benar-benar menghayati perayaan liturgi dan mengambil bagian
secara aktif dalam perayaan tersebut, dengan sikap tubuh yang penuh hormat
kepada Allah. Karena perayaan ini merupakan puncak kehidupan Kristiani.
Kerygma adalah pewartaan kabar
gembira Kristus dan ungkapan iman sebagai jawaban. Kaum awam dipanggil dan
diutus untuk mewartakan Kristus di tengah dunia, mewartakan Injil Kristus
kepada orang-orang yang belum beriman dan menghantar mereka kepada iman akan
Kristus.
Martirya dimengerti sebagai kesaksian
yang jelas dan setia kepada Kristus juga jika kesaksian itu menuntut
pengorbanan dengan kematian. Kaum awam dipanggil dan diutus untuk menjadi saksi
Kristus dan dituntut sebuah pengorbanan demi Kristus yang diimaninya. Umat
beriman khususnya kaum awam dipanggil untuk menjadi saksi iman dalam segala
situasi demi Kristus yang diimaninya. Kekatolikan akan lebih berarti jika umat
beriman berani bersaksi dengan hidup yang baik sesuai dengan kebenaran iman.
BAB VI
PENUTUP
Kecerdasan spiritualitas tidak pernah terlepas dari relasi seseorang
dengan Allah. Apabila ia menghendaki hidupnya diperkenan oleh Allah, maka tolok
ukur Allah harus menjadi acuan di dalam hidupnya. Kitab Suci memang sudah
menyatakan bahwa manusia harus bertumbuh dalam segala hal ke arah Kristus (Ef.
4:15), sehingga ia dapat mempersembahkan suatu kehidupan yang kudus dan yang
berkenan kepada Allah. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi sejak
awalnya memang tidak pernah boleh terpisah dari kecerdasan spiritual. Spiritual
yang sejati akan menghasilkan manusia yang tahu bagaimana menggunakan akal dan
emosinya di dunia ini sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuhan Yesus digambarkan
memiliki pertumbuhan yang semestinya selama Ia berada di dunia: "Anak itu bertambah
besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pads-Nya. Dan
Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besar-Nya, dan makin
dikasihi oleh Allah dan manusia" (Luk. 2:40, 52)”.
Tujuan akhir Spiritualitas
Kristiani adalah kemuliaan Tuhan, yang diwujudkan oleh kasih
kepada Tuhan dan sesama. Untuk mencapai hal
ini, bukan kesuksesan yang menjadi tolok ukurnya melainkan kesetiaan untuk
bergantung pada Kristus, sebab tanpa Dia kita tidak bisa berbuah (bdk. Yoh
15:15). Bentuk wujud kesatuan dengan Kristus yang paling nyata di dunia ini
adalah melalui Ekaristi kudus, di mana kita menyambut Tubuh dan Darah, Jiwa dan
ke-Ilahian Kristus, sehingga olehNya kita dipersatukan dengan Allah Tritunggal.
Oleh karena itu, Spiritulitas Katolik selalu berpusat dan bersumber pada
Ekaristi, yang adalah Allah sendiri, karena kekudusan adalah karunia yang
diberikan oleh Tuhan. Melalui Ekaristi, kita tinggal di dalam Kristus dan
dimampukan untuk mengikuti teladan-Nya, sehingga dapat berjalan menuju kekudusan,
yaitu persekutuan dengan Allah, yang menjadi sumber kebahagiaan kita. Di
sinilah kebahagiaan kita sebagai manusia menjadi juga kemuliaan bagi Allah,
karena Allah menciptakan kita agar kita berbahagia bersama-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Kusumawanta, D. Gusti.
“Gereja dan Politik”. http://www.Mirifica.net
uploadan/banner/kombig.jpg. Diakses 13 Oktober 2010
Comte
Sponville, Andre. Spiritualitas tanpa Tuhan. Jakarta: Pustaka Alvabet,
2007
Heinz Peschke, Karl. Etika
Kristiani Jilid III, Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi. Maumere: Penerbit
Ledalero, 2003
IQ, EQ & SQ ...
[www.leader-values.com/guest/cairnes%205.htm] 2
Konferensi Waligereja
Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta:
Kanisius, 1996
Konstitusi Lumen Gentium,
Artikel 31
Konstitusi Lumen Gentium,
Artikel 33
Magnis Suseno, Franz. Beriman dalam Masyarakat. Yogyakarta:
Kanisius, 1993
Meo, Ansel & Beo,
Kons. Memahami Awam dan Kerasulannya. Ende:
Nusa Indah, 2002
Moyes, Gordon. [www.wesleymission.org.au/ministry/tra/2001/010715.html
3
Ray Griffin, David. Visi-Visi
Post-Modern: Spiritualitas dan Masyarakat. Yogyakarta: Kanisius, 2005
Schippers, K. “Spiritualitas dan Pembangunan Jemaat”, dalam Seri Pastoral 367 Nomor 12. Yogyakarta,
2004
Taringan, Yakobus. Kesepakatan
Bersama Pertemuan Nasional IV Kerasulan Awam. Jakarta: Gramedia, 1997
Tim KKI. SOMA: Materi Pembinaan Animator-Animatris
Misioner. Jakarta: KKI, 2007
Zohar, Danah & Marshall, Ian. SQ: Memanfaatkan
Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai
Kehidupan. Bandung: Mizan, 2002
[1] Danah
Zohar & Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam
Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Bandung:
Mizan, 2002, pp. 3-4
[2] IQ,
EQ & SQ ... [www.leader-values.com/guest/cairnes%205.htm] 2
[3]
Gordon Moyes, [www.wesleymission.org.au/ministry/tra/2001/010715.html 3
[4] Tim KKI, SOMA :
Materi Pembinaan Animator-Animatris Misioner, Jakarta : KKI, 2007, p. 94
[5] Franz Magnis Suseno, Beriman dalam Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius, 1993, p. 114
[6] K. Schippers,
”Spiritualitas dan Pembangunan Jemaat”, dalam Seri Pastoral 367 No.
12, Yogyakarta, 2004, p. 8
[8] Franz Magnis Suseno, Op. Cit., p. 114
[9] Kata Modalis berasal dari kata bahasa
Latin modus yang berarti cara.
[10] David Ray Griffin, Visi-Visi Postmodern: Spiritualitas dan Masyarakat, Yogyakarta:
Kanisius, 2005, p. 25
[11] Andre Comte Sponville, Spiritualitas tanpa Tuhan, Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2007, p. 10
[12] David Ray Griffin, Op. Cit., p. 32
[13] Karl Heinz Peschke, Etika Kristiani
Jilid III, Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere:Penerbit Ledalero,
2003, p. 172
[14] Ibid.,
p. 200
[15] Aristoteles lahir pada tahun 384
sM di Stageira yang berada di wilayah Macedonia yang terletak di sebelah utara
Yunani. Ia berasal dari keluarga golongan menengah. Ia belajar di Akademika
Plato, di mana ia mempelajari matematika, politik, etika, dan berbagai ilmu
pengetahuan lainnya. Aristoteles adalah murid Plato, namun pemikirannya sering
kali bertentangan dengan pemikiran Plato. Plato adalah filsuf idealis (yang
lebih mementingkan ilmu pasti), sedangkan Aristoteles adalah filsuf realis yang
memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan alam dengan menyelidiki dan
mengumpulkan data-data konkret.
[16] D.
Gusti Bagus Kusumawanta, “Gereja dan Politik”, http://www.Mirifica.net/ uploadan/ banner/ kombig.jpg. diakses 13
Oktober 2010
[17] Bdk.
Konstitusi Lumen Gentium, Artikel 31
[18] Konferensi
Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta : Kanisius, 1996, p. 337
[19] Ansel
Meo dan Kons Beo, Memahami Awam dan
Kerasulannya, Ende: Nusa Indah, 2002, p. 41
[20] Yakobus
Taringan, Kesepakatan Bersama Pertemuan
Nasional IV Kerasulan Awam, Jakarta: Gramedia, 1997, p.24
[21] Bdk. Konstitusi Lumen Gentium, Artikel 33
[22] Frans Magnis Suseno, Op. Cit., pp. 154-159