MAKNA PERKAWINAN
KRISTIANI DITINJAU DARI SUDUT
PANDANG BUDAYA
PERKAWINAN MANGGARAI
(PENERAPAN MODEL
ANTROPOLOGIS
TEOLOGI
KONTEKSTUAL)
TEOLOGI
KONTEKSTUAL
OLEH:
CHRISPINUS H. JEBARUS
NIM 13.536
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO
MAUMERE
2013
I.
PENGANTAR
Tujuan utama perkawinan adalah
mewujudkan cinta kasih antara suami isteri, melaksanakan tugas “melanjutkan
keturunan” dan “pendidikan”.
Suami-isteri diajak untuk membentuk keluarga yang penuh cinta karena perkawinan
itu adalah sebuah ikatan yang suci sifatnya.
Perkawinan bagi orang Manggarai bukan
saja menjadi urusan kedua mempelai, melainkan juga melibatkan kedua keluarga
besar dari kedua mempelai. Keluarga dari mempelai wanita disebut anak rona dan keluarga dari mempelai
pria disebut anak wina. Dan dalam
perkawinan Manggarai, dikenal dua (2) tipe perkawinan, yaitu perkawinan endogami dan perkawinan eksogami. Perkawinan endogami berarti perkawinan antara warga
dalam satu suku saja. Menikah dengan orang dari luar suku dianggap menentang
adat sendiri. Sedangkan perkawinan eksogami
menurut adat Manggarai adalah perkawinan dengan wa’u atau warga dari kampung atau suku lain.
Berkaitan dengan teologi kontekstual,
menurut Stephen Bevans ada beberapa model teologi kontekstual. Salah satunya
adalah model antropologis. Model antropologis merupakan salah satu model
teologi kontekstual yang menekankan pelestarian jati diri budaya seseorang yang
beriman Kristen. Maka, tujuan dari tulisan ini adalah mengkaji hakikat
perkawinan dalam budaya Manggarai dan hakikat perkawinan Kristiani, serta
menarik benang merah antara dua tradisi itu. Dengan demikian, penulis dapat
menjelaskan hakikat perkawinan Kristiani dalam hubungannya dengan perkawinan
dalam budaya Manggarai. Karena itu, tulisan ini diulas di bawah judul: “MAKNA
PERKAWINAN KRISTIANI DITINJAU DARI SUDUT PANDANG BUDAYA PERKAWINAN MANGGARAI
(PENERAPAN MODEL ANTROPOLOGIS TEOLOGI KONTEKSTUAL).
II.
PERKAWINAN MENURUT BUDAYA MANGGARAI
2.1
Arti Perkawinan dalam Budaya Manggarai
Dalam kebudayaan Manggarai, perkawinan diartikan
sebagai hubungan yang kurang lebih mantap dan stabil antara pria dan wanita
yang diatur, diakui, dan dilegalisasikan oleh masyarakat.[1] Pengakuan publik ini
mutlak perlu karena hanya melalui perkawinan, pria dan wanita yang bersangkutan
memperoleh suatu status baru dalam masyarakat. Karena itu, upacara perkawinan
merupakan suatu upacara inisiasi ke dalam suatu status dan peran sosial yang
baru yang juga melibatkan pihak-pihak terkait sebagai saksi.
2.2
Dasar dan Tujuan Perkawinan dalam Budaya Manggarai
Dasar perkawinan
adat Manggarai adalah cinta laki-laki dan perempuan yang ingin dilembagakan
dalam sebuah institusi yang bernama keluarga. Dalam beberapa ungkapan,
digambarkan bagaimana seorang laki-laki memperjuangkan cintanya untuk
memperoleh si jantung hati, seperti: wa’a
wae toe lelo, usang mela toe kira (demi cinta, banjirpun tak dihiraukan,
hujan pembawa penyakitpun diacuhkan), bahkan demi cinta sotor wae botol agu ata mbeko (meminta bantuan dukun untuk menggaet
gadis impian).[2]
Tujuan perkawinan
adat Manggarai terungkap lewat beberapa ungkapan. Pertama, “kudut beka weki one-beka salang pe’ang” yang berarti
untuk mendapat keturunan. Anak dilihat sebagai pelanjut subsistensi keluarga yang
terungkap lewat pernyataan: “eme wakak betong
asa-manga waken nipu tae, eme muntung pu’u gurung-manga wungkutn te
ludung” yang berarti bambu tua mesti mati, mesti diganti dengan bambu
tunas-tunas muda. Dalam upacara nempung
atau wagal (peresmian pernikahan
secara adat), terungkap doa begini: “ra’ok lobo sapo-renek lobo kecep, borek
cala bocel-ta’i cala wa’i” yang berarti duduk berhimpun di atas tungku api, duduk
berderet-deret bagai tutupan periuk, membuang air besar mengenai betis-buang
air besar mengenai kaki. Makna dari
ungkapan ini adalah suatu doa meminta keturunan. Kedua, perkawinan adat juga bertujuan untuk menambah keeratan
jalinan kekerabatan antara keluarga besar. Ketiga,
perkawinan bertujuan untuk kebahagiaan pasangan yang menikah itu. Hal itu
tersembul dari pernyataan: “kudut ita le mose di’as ise wina-rona” yang
berarti agar suami-isteri hidup
sejahtera. Sifat perkawinan adat Manggarai terungkap dalam ungkapan: acer nao-wase wunut (tak terpisahkan)
dan wina rona paka cawi neho wuas-dole
neho ajos (perkawinan itu menyatukan secara abadi).[3]
2.3
Jenis-Jenis Perkawinan dalam Budaya Manggarai
Perkawinan dalam budaya Manggarai dibedakan atas
tiga jenis, yaitu perkawinan cangkang, perkawinan
tungku dan perkawinan cako.[4]
2.3.1
Perkawinan Cangkang/Antara Klan/Suku
Perkawinan cangkang
merupakan perkawinan yang tidak ada hubungan darah dengan perkawinan
sebelumnya dari kedua keluarga. Jenis perkawinan ini amat bersesuaian dengan
tradisi Gereja, yakni suatu perkawinan yang bertujuan untuk membentuk
kekerabatan baru (woe nelu agu ine ame
weru), sehingga terjadi keterjalinan kekerabatan karena perkawinan dengan
suku-suku lain.
2.3.2
Perkawinan Tungku
Tungku merupakan suatu perkawinan yang terjadi antara anak laki-laki dari saudari
dengan anak perempuan dari saudara. Jenis perkawinan ini disebut juga
perkawinan tungku dungka dan tungku neteng nara, artinya anak
perempuan dari pihak saudara sepupu. Perkawinan tungku bertujuan untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang telah
terjalin dalam satu garis biologis agar tidak terputus. Ada beberapa macam tungku, yakni:[5]
1.
Tungku cu/tungku dungka merupakan perkawinan antara laki-laki dari
saudari dengan anak gadis saudara (cross
cousin).
2.
Tungku sa’i/tungku ulu merupakan perkawinan antara anak laki-laki
saudari dengan anak laki-laki dari saudara dalam satu garis keturunan.
Istilah-istilah lain
untuk menggambarkan perkawinan jenis tungku
adalah tungku anak de due, tungku
salang manga, tungku neteng nara, atau juga tungku dondot. Untuk mengetahui suatu perkawinan disebut tungku atau tidak maka diperlukan suatu
penceritaan kembali suatu genealogi keluarga yang disebut turuk empo. Perkawinan tungku
cu sangat dilarang oleh Keuskupan Ruteng dan Gereja Katolik pada umumnya.
2.3.3
Perkawinan Cako
Jenis perkawinan cako merupakan perkawinan dalam klan/intra-klan. Perkawinan cako disebut juga cako sama ase kae atau cako
sama wa’u atau cako cama salang
yang berarti perkawinan yang terjadi dalam lingkup kesukuan tertentu, atau
dalam satu garis keturunan.
2.4
Tahap-Tahap Upacara Perkawinan dalam Budaya
Manggarai
Ada beberapa tahap upacara perkawinan dalam budaya
Manggarai, yaitu cumang cama koe, tuke
mbaru, paluk kila, pongo dan kawing.[6]
2.4.1 Cumang Cama Koe[7]
Tahap awal dari perkawinan dalam budaya Manggarai
adalah cumang cama koe. Pada tahap
ini, seorang lelaki bertemu dengan kekasihnya sebagai tanda bahwa keduanya
telah saling mengenal dan bersedia untuk melangsungkan pernikahan.
2.4.2 Tuke Mbaru[8]
Tuke mbaru berarti masuk ke
dalam rumah, atau naik ke atas rumah. Kata ini jarang dipakai oleh orang
Manggarai dalam percakapan sehari-hari. Kata yang biasa dipakai dalam percakapan
sehari-hari untuk menyebutkan kata masuk ke dalam rumah atau naik ke atas rumah
adalah ngo one mbaru (pergi ke dalam
rumah). Sedangkan istilah tuke mbaru
adalah istilah yang berkaitan dengan kegiatan adat, dalam hal ini dalam
hubungan dengan perkawinan dalam budaya Manggarai.
Istilah
tuke mbaru berarti pergi melamar
seorang gadis. Dalam kegiatan ini, keluarga pria yang didampingi seorang tongka (juru bicara) mendatangi keluarga
wanita. Pihak keluarga wanita sebagai pihak yang dilamar juga berkumpul di rumah
orang tua kandung dari si wanita yang akan dilamar dan mereka secara resmi
menerima keluarga pria sebagai pelamar. Dalam upacara ini, inti pembicaraan
adalah melamar secara adat, dan melakukan upacara paluk kila (tukar cincin). Dan istilah kehadiran pertama waktu
peminangan resmi ini disebut dalam sebuah ungkapan Manggarai, yaitu weda lewang tuke mbaru (injak pintu
gerbang kampong dan naik ke dalam rumah). Artinya, peminangan itu secara resmi
dilaksanakan.
2.4.3 Paluk Kila[9]
Paluk kila berarti tukar
cincin. Acara tukar cincin ini dilaksanakan pada waktu peminangan awal secara
resmi. Pada waktu acara tukar cincin ini, ditunjuklah beberapa saksi (pihak
ketiga) untuk menyaksikan upacara tersebut. Saksi akan sangat berperan jika di
kemudian hari salah satu pihak membatalkan kembali hubungan cinta itu dan tidak
mau meneruskannya.
Dalam
upacara paluk kila, pihak wanita
menyiapkan cincin, dan selanjutnya pada waktu upacara tukar cincin berlangsung,
pihak wanita mengenakan cincin tersebut pada jari manis dari si pria. Sedangkan
dari pihak pria menyiapkan uang secukupnya untuk diberikan kepada pihak wanita,
dan uang tersebut sebagai ganti cincin. Selain itu disiapkan juga uang tukar
cincin secara adat untuk umum. Dan besarnya uang tukar cincin tersebut
tergantung dari hasil pembicaraan adat kedua belah pihak.
2.4.4 Pongo[10]
Pongo adalah istilah dalam
budaya Manggarai untuk menyebutkan acara ikatan cinta antara laki-laki dan
perempuan. Acara ini dibuat setelah
acara paluk kila. Dan biasanya, jika
sudah dibuat acara pongo, maka
artinya hubungan cinta sang pria dan sang wanita berada pada masa tunangan. Dan
agar ikatan ini resmi dan kuat secara adat, maka pihak keluarga laki-laki
menyiapkan seng pongo (uang ikatan).
Acara pongo bermaksud agar si pria dan si wanita saling setia, saling
percaya pada janji untuk tidak memilih atau tidak menerima laki-laki lain atau
perempuan lain. Karena itu, jika ada pihak yang melanggar janjinya, maka pihak
tersebut akan mendapatkan sanksi adat (teging).
Jika yang melanggar adalah pihak laki-laki, maka semua harta dan pengorbanannya
tidak dikembalikan lagi oleh keluarga wanita. Tetapi, jika yang melakukan
pelanggaran adalah pihak wanita tanpa alasan yang jelas, maka keluarga wanita
akan menanggung semua sanksi adat sesuai aturan yang berlaku.
2.4.5 Kawing
Kawing (kawin, nikah, pernikahan) berarti pernikahan
antara kedua mempelai, sebagai suami-isteri yang dikukuhkan atau yang direstui
oleh kedua keluarga.
2.5
Beberapa Istilah dalam Budaya Perkawinan Manggarai
Dalam hubungan dengan perkawinan dalam budaya
Manggarai, ada beberapa istilah yang mesti dijelaskan.
2.5.1 Tongka
Tongka adalah juru bicara keluarga, baik dari
keluarga pria maupun dari keluarga wanita. Tongka berperan dalam menentukan
berhasil atau tidak berhasilnya urusan peminangan atau perkawinan. Dan seorang
tongka adalah orang yang tahu secara pasti tentang seluruh upacara adat,
bersikap bijaksana, berjiwa memimpin, dan sudah menikah.
2.5.2 Kala dan Kempu
Kala memiliki dua arti, yakni uang dan sebagai
ungkapan untuk menyebutkan wanita. Sedangkan kempu (putusan) adalah putusan akhir pembicaraan adat perihal
berapa seluruh biaya atau belis sejak peminangan awal sampai upacara adat yang terakhir.
2.5.3 Reke Kawing, Kole Kawing dan Rame Kawing
Reke
kawing (reke: janji; kawing:
nikah, kawin) adalah rencana penentuan pelaksanaan pernikahan atau perkawinan
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Kole
kawing (kole: pulang; kawing: kawin, nikah) artinya kembali
dari tempat pemberkatan nikah suci. Sedangkan rame kawing (rame: ramai,
ramah-tamah; kawing: kawin, nikah)
berarti pesta pernikahan atau perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua belah
pihak.
2.5.4 Karong Loang
Karong
loang (karong: antar, tunjuk jalan; loang:
kamar) berarti menghantarkan mempelai ke ranjang pengantin dengan upacara yang
dibuat mengikuti kebiasaan adat Manggarai.
2.5.5 Gerep Ruha
Gerep
ruha (gerep: injak; ruha:
telur) adalah upacara menginjak telur ayam oleh mempelai perempuan saat pergi
atau memasuki kampong suami untuk yang pertama kali. Sang mempelai wanita
menginjak telur ayam dengan kaki kiri di pintu depan masuk rumah adat sampai
telur ayam kampong itu pecah. Setelah itu dilanjutkan dengan acara manuk kapu (manuk: ayam; kapu:
memangku), yaitu acara yang dibuat sebagai tanda diterimanya mempelai wanita
dalam keluarga tersebut.
2.6
Makna Perkawinan dalam Budaya Manggarai
Perkawinan dalam budaya Manggarai memiliki
beberapa makna. Pertama, perkawinan
mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan yang lain
dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera, subur dan berkembang, seperti
ungkapan “saung bembang ngger-eta, wake seler ngger-wa”. Kedua, perkawinan bertujuan agar manusia dapat melanjutkan subsistensi
dirinya lewat keturunan, seperti suatu ungkapan seorang suami: “wua raci tuke,
lebo kala ako” (istriku sudah hamil). Ketiga,
perkawinan membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan orang lain dan
kelompok lain, sehingga terjalinlah suatu kekeluargaan dan persaudaraan manusia
seperti ungkapan: “cimar neho rimang, cama rimang rana, kimpur kiwung cama lopo”
(persaudaraan itu ibarat lidi yang tak mudah dipatahkan, kuat seperti batang
enau)”. Keempat, perkawinan merupakan
ruang pembentukan keluarga yang nantinya akan menjadi ruang transimisi nilai
budaya dan moral, seperti tanggung jawab dan jiwa besar. Itu tersembul dalam
ungkapan: “nai nggalis tuka ngengga” (kearifan dan jiwa besar) atau ungkapan: “mese
bekek, langkas nawa” (pribadi yang bertanggung jawab dan bermoral). Kelima, perkawinan menjadikan kebebasan
manusia terlembaga dalam suatu tatanan moral dan etika, seperti menghargai
perempuan yang sudah bersuami. Hal ini nampak dalam ungkapan: “lopan pado olo,
morin musi mai” (sudah ada yang punya).
III.
HAKIKAT PERKAWINAN KRISTIANI
3.1
Pengertian Perkawinan
Pada hakekatnya, perkawinan
merupakan suatu ikatan yang suci dan dianugerahkan oleh Allah kepada manusia
sebagai wujud cinta Allah. Perwujudan cinta Allah itu dinyatakan melalui
sakramen perkawinan. Dalam sakramen perkawinan, pasangan suami-isteri hidup dalam
suatu persekutuan yang diselamatkan. Melalui perkawinan, suami-isteri
menyebarkan buah cinta kasih kepada sesama, sebab cinta kasih merupakan suatu
syarat untuk melanjutkan hubungan yang rukun dan tenteram.
3.1.1
Pengertian Umum
Secara umum,
perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga,
melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera. Dalam
perkawinan itu ada relasi antara pribadi yang bersifat eksklusif yang
diungkapkan dalam kesepakatan perkawinan dan diwujudkan melalui hubungan
seksual yang intim. Suami-isteri saling melengkapi dengan kelebihan
masing-masing agar dapat mengembangkan kepribadian mereka berdua dalam mencapai
kesejahteraan lahir-batin.[11]
Perkawinan diartikan
sebagai persatuan antara pria dan wanita yang didasarkan atas cinta yang
kemudian cinta itu disatukan di dalam Sakramen Perkawinan. Perkawinan sah
antara dua orang Kristen diakui oleh Gereja Katolik apabila telah diikatkan
dalam sebuah sakramen. Dengan demikian, Sakramen Perkawinan menunjukkan bahwa
Tuhan sungguh hadir dalam hidup suami-isteri dan menawarkan rahmat-Nya kepada
keduanya. Kehadiran Tuhan itu terjadi sejak mereka menikah secara sah sampai
salah satu dari mereka meninggal dunia.[12]
3.1.2
Pandangan Biblis
Pengertian tentang
perkawinan dijelaskan juga di dalam Kitab Suci, baik Kitab Suci Perjanjian Lama
maupun Kitab Suci Perjanjian Baru.
3.1.2.1
Menurut Kitab Suci Perjanjian Lama
Para penulis
Perjanjian Lama percaya bahwa kasih perkawinan merupakan bagian dari maksud
Allah menciptakan manusia. Dalam Kitab Kejadian (bdk. Kej. 2: 23-24) tertulis:
“lalu berkatalah manusia itu: inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku... sebab itu, laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu”. Para penulis Perjanjian Lama
juga berpendapat bahwa kasih perkawinan harus bersifat kreatif dan memberi
kehidupan. Dalam hal ini, perkawinan dilihat sebagai sesuatu yang suci.
Perkawinan merupakan bagian dari rencana Allah menciptakan manusia. Perkawinan
merupakan awal keluarga baru, suatu hubungan yang begitu dekat, sehingga Kitab
Suci mengatakan keduanya “menjadi satu”.[13] Ciri khas perkawinan
menimbulkan komitmen seumur hidup.
3.1.2.2
Menurut Kitab Suci Perjanjian Baru
Di dalam Kitab Suci
Perjanjian Baru, ditegaskan bahwa manusia diciptakan sebagai pria dan wanita
karena cinta kasih Allah. Mereka diutus agar saling mencintai (bdk. Kej.
2:18-25). Sikap saling mencintai itu dipersatukan dalam ikatan perkawinan,
tempat pria dan wanita saling menyerahkan diri secara total untuk
selama-lamanya atas dasar kesadaran dan kebebasan dengan kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Perkawinan antara dua manusia, pria dan wanita,
yang sudah dipermandikan merupakan lambang perjanjian antara Kristus dan Gereja
(bdk. Ef. 5:25). Sebagaimana Kristus mencintai Gereja-Nya, maka suami pun harus
mencintai isterinya dan isteri harus mencintai suaminya. Suami dan isteri yang
telah diikat dalam perkawinan merupakan dua saudara yang saling melayani.
Mereka menjadi tanda kehadiran Allah di tengah Gereja mini (Ecclesia Domestica).
Perkawinan merupakan
tanda kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Karena itu, perkawinan Katolik juga
merupakan lambang yang tampak dari peristiwa penyelamatan Allah. Untuk itu,
suami harus senantiasa menyelamatkan isteri, isteri harus berusaha
menyelamatkan suami dan orang tua harus menyelamatkan anak-anak mereka atas
dasar nilai-nilai cinta kasih yang menyeluruh dan total serta tanpa pamrih.
Mengingat peran dan
fungsi suami dan isteri dalam proses penyelamatan tersebut, Allah mengangkat
peristiwa perkawinan itu sebagai sakramen, tanda atau lambang kehadiran-Nya.
Tanda kehadiran Allah tersebut mempersatukan suami-isteri. Persatuan ini tidak
terceraikan oleh siapa pun, kecuali oleh kematian, sehingga cinta kasih
suami-isteri itu menjadi lestari dan abadi atas dasar saling mencintai dan
saling setia. Apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan
oleh manusia (bdk. Mat. 19:6). Sakramen perkawinan memiliki beberapa makna,
yaitu sebagai tanda cinta Tuhan kepada umat-Nya, tanda kehadiran Tuhan, dan
tanda cinta Tuhan bagi seluruh umat.
3.1.3
Kitab Hukum Kanonik
Dalam Gereja Katolik,
martabat perkawinan selalu dijunjung tinggi. Usaha Gereja ini paling nampak
pada pengakuan bahwa perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan
sakramen. Melalui sakramen, seseorang melakukan perjanjian dan persekutuan
hidup dalam cinta mesra.
Di dalam Kitab Hukum
Kanonik (bdk. Kan. 1055) dijelaskan bahwa perkawinan merupakan suatu
perjanjian. Perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan
seluruh hidup. Dari sifat kodratnya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan
suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak. Oleh karena itu, perkawinan
antara orang-orang yang dibaptis diangkat menjadi satu sakramen (KWI, 2011:
303). Selanjutnya, Kitab Hukum Kanonik (bdk. Kan. 1057 ayat 2) menegaskan bahwa
kesepakatan nikah adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling
menyerahkan diri dan menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang
tak dapat ditarik kembali.
Berdasarkan kedua
hukum di atas, dapat dijelaskan bahwa perkawinan merupakan hubungan yang erat
dan mesra di antara suami dan isteri. Perjanjian tersebut dinamakan kebersamaan
seluruh hidup antara suami-isteri yang merupakan perjanjian dan kesepakatan
bebas dari pasangan suami-isteri. Perjanjian itu merupakan persetujuan bebas
tanpa syarat. Tidak ada cinta yang dipaksakan atau terpaksa. Cinta memerlukan
kebebasan, tanggung jawab dan kesadaran. Perjanjian itu bersifat permanen dan
berlangsung seumur hidup. Dengan demikian, perkawinan dalam Gereja Katolik
bukanlah kontrak, melainkan perkawinan yang kekal dan abadi.[14] Karena itu, tidak seorang
pun dapat memisahkan perkawinan itu.
3.2
Inti Perkawinan
Hakekat atau inti dari
suatu perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup antara seorang pria dan
wanita yang berdasarkan pada perjanjian cinta kasih menuju kebahagiaan bersama.[15] Ada beberapa unsur dari
definisi ini, yaitu:
1) Perkawinan adalah sebuah perjanjian. Istilah
perjanjian atau kesepakatan mau membaharui istilah hukum “kontrak”. Kata
perjanjian dipilih karena lebih bernuansa religius yang merujuk pada perjanjian
antara Allah dan manusia yang bernuansa cinta kasih;
2) Bentuk perkawinan. Perkawinan adalah
persekutuan seluruh hidup antara pria dan wanita. Persekutuan seluruh hidup
menyangkut kesatuan hati dan perasaan walaupun mereka adalah dua pribadi yang
berbeda.
3) Subyek yang mengadakan perkawinan itu adalah
seorang pria dan wanita yang sungguh-sungguh. Artinya, pria dan wanita yang
normal, baik secara fisik maupun psikis;
4) Dasar dari sebuah perkawinan adalah cinta
kasih yang tampak dalam persetujuan bebas dari kedua calon mempelai. Secara
yuridis, persetujuan bebas itu menjadi dasar dari sebuah perjanjian perkawinan
yang sah;
5) Dalam Gereja Katolik, hakekat perkawinan
dipahami secara lebih mendalam sebagai sakramen, yaitu ikatan cinta mesra dan
hidup bersama antara suami dan isteri yang diadakan oleh Sang Pencipta dan
dilindugi dengan hukum-hukum-Nya yang menampakan cinta kasih Allah kepada
umat-Nya.
3.3
Sifat Perkawinan
Perkawinan Katolik memiliki
dua sifat utama, yaitu monogam atau unitas dan tak terceraikan atau
indissolubilitas (KHK, 1983: 303-304 § 1).
3.3.1
Monogami
Seorang suami hanya
mempunyai satu isteri, demikian pula isteri mempunyai satu suami saja. Oleh
karena itu, cinta antara seorang pria dan wanita adalah cinta yang esklusif,
artinya cinta mereka penuh dan utuh, tak terbagi. Hal ini mencerminkan prinsip
bahwa pria dan wanita mempunyai martabat yang sama. Sifat monogam menolak
perkawinan poliandri, yaitu perkawinan yang berlangsung antara seorang wanita
dengan lebih dari satu pria atau perkawinan poligami, yaitu perkawinan yang
berlangsung antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita baik secara hukum
maupun moral.[16]
Sifat monogam (unitas)
bertentangan dengan poligami dalam dua cara, yakni sebagai poligami dan
poliandri. Poligami berarti seorang pria memiliki lebih dari satu isteri, sedangkan
poliandri berarti seorang wanita memiliki lebih dari satu suami. Konsekuensi
yuridis dari ajaran tentang sifat monogam menurut hukum sipil adalah:
1) Seseorang dilarang di bawah klausul “batal”
atau “gagal” (nullitas) untuk melangsungkan perkawinan baru sambil
mempertahankan ikatan perkawinan terdahulu yang sah dan halal;
2) Seseorang yang berzinah dianggap terkena
delik yang dihukum dengan menerapkan hukum pidana;
3) Perzinahan yang dilakukan seseorang menjadi
motif yang cukup untuk melakukan perpisahan resmi sekurang-kurangnya apabila
pihak lain yang tidak bersalah (innocent)
tidak mengampuni pihak yang bersalah.
Pengecualiaan (exclusio) atau penolakan terhadap sifat
unitas perkawinan yang juga disebut kesetiaan pada perkawinan sendiri, pada
saat melangsungkan perkawinan oleh salah satu pihak, menurut norma Kitab Hukum
Kanonik 1983 (bdk. Kan. 1101 ayat 2) dianggap sungguh merupakan perbuatan
kehendak positif. Jadi, apabila seseorang menginginkan dan memang melangsungkan
perkawinan, tetapi ia mengecualikan atau menolak sifat monogaminya, maka
perkawinan tersebut tidak sah.[17]
3.3.2
Tak Terceraikan
Dalam perkawinan,
suami-isteri telah mempersatukan diri dengan bebas, bahkan disatukan oleh
rahmat Tuhan sendiri. Ikatan perkawinan hanya bisa diputuskan oleh kematian
salah satu pasangan atau keduanya. ”Apa yang dipersatukan oleh rahmat Allah,
tidak boleh diceraikan oleh manusia” (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu,
dituntut adanya kesetiaan dalam untung dan malang, dalam suka dan dalam duka.
Dalam hal ini diperlukan saling pengertian dan pengampunan dalam kehidupan suami-isteri.[18]
Sifat tak terceraikan
memiliki stabilitas khusus dan jauh lebih kuat, karena perkawinan Kristiani
yang telah dilangsungkan tidak dapat dibatalkan. Dalam perkawinan, suami-isteri
telah mempersatukan diri secara bebas seumur hidup. Maka, cinta kasih mereka
harus bercirikan kesetiaan seumur hidup dalam segala aspek kehidupan.[19]
Sifat perkawinan yang
tak terceraikan ini berarti juga ikatan perkawinan yang kekal dan karena itu
tidak mungkin ada perceraian. Sifat perkawinan tidak terceraikan dalam
perkawinan Kristiani memiliki stabilitas khusus dan jauh lebih kuat karena
perkawinan Kristiani yang sekali telah dilangsungkan secara sah tidak dapat lagi
dibatalkan.
Kitab Hukum Kanonik
(bdk. Kan. 1056) menegaskan sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogam (unitas) dan tak terceraikan (indissolubilitas) yang mendapat
pengukuhannya di dalam sakramen. Kedua sifat ini memberikan suatu stabilitas
yang khusus pada perkawinan Kristiani berkat sakramen. Stabilitas tersebut
diwujudnyatakan dalam praksis apabila perkawinan itu disempurnakan dengan
persetubuhan secara manusiawi di mana suami-isteri menjadi satu daging dan
dengan sendirinya terbuka untuk kelahiran anak. Oleh karena itu, suatu
perkawinan tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusia manapun dan dengan alasan
apapun, kecuali kematian (bdk. Kan. 1141). Dalam kaitan dengan hal ini, fungsi
tribunal Gerejawi bukan untuk membatalkan perkawinan yang sah dan sakramental,
melainkan hanya untuk membuktikan apakah suatu perkawinan itu sudah sah sejak
awal atau tidak.
Ajaran resmi Gereja
menegaskan bahwa perkawinan bersifat monogam dan tak terceraikan atas dasar
tuntutan hukum ilahi positif (Wahyu dan Kitab Suci). Perkawinan yang sah dan
halal serta telah disempurnakan dengan persetubuhan (ratum et consummatum), termasuk ikatan perkawinan yang kodrati
merupakan perkawinan dua orang yang sudah dibaptis, tidak mungkin diceraikan,
baik melalui suatu hukum perceraian (pengadilan Gerejawi) maupun melalui campur
tangan siapa pun.
3.4
Tujuan Perkawinan
Perkawinan Katolik memiliki
beberapa tujuan, antara lain saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan
suami-isteri, kelahiran dan pendidikan anak, serta pemenuhan kebutuhan seksual.
3.4.1
Saling Membahagiakan dan Mencapai Kesejahteraan
Suami-Isteri
Di dalam perkawinan,
suami-isteri saling menyerahkan diri dan saling menerima. Hal ini diungkapkan
melalui perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali (bdk. Kan. 1057, ayat 2).
Suami dan isteri adalah subyek perjanjian. Penyerahan diri dan sikap saling
menerima merupakan sumber dan dasar dari kesejahteraan suami-isteri.
Tujuan penting dari
perkawinan adalah saling mendukung dan mengisi di dalam cinta antara suami dan
isteri. Di dalam perkawinan, laki-laki dan perempuan “saling membantu dan
melayani berdasarkan ikatan pribadi dan kerjasama” (bdk. GS 48). Kesejahteraan
suami-isteri merupakan suatu elemen baru yang dipertimbangkan untuk
mengintegrasikan tujuan dari institusi perkawinan. Perjanjian perkawinan dari
kodratnya terarah bukan hanya pada kelahiran dan pendidikan anak, melainkan
juga kesejahteraan suami-isteri.[20]
Kesatuan suami-isteri
harus diperjuangkan setiap harinya dengan saling memberi perhatian, komunikasi
yang baik serta keterbukaan dalam segala segi kehidupan dengan kesediaan untuk
saling menerima apa adanya, dengan kasih sayang, kelembutan, kesabaran tanpa
paksaan, rela berkorban, saling membantu dan saling memaafkan.[21] Kesejahteraan
suami-isteri yang dimaksud adalah:
1) Kemampuan serta kemauan untuk hidup dan
tinggal bersama secara layak agar mencapai tujuan perkawinan;
2) Kemauan serta kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dari pasangan;
3) Kemampuan dan kemauan untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan tentang hidup perkawinan dan tentang keluarga. Hal
ini didasarkan pada kesamaan martabat antara suami-isteri dalam semua aspek.
3.4.2
Kelahiran dan Pendidikan Anak
Menghasilkan keturunan
merupakan salah satu tujuan yang penting dalam lembaga perkawinan. Hubungan seksual antara suami dan isteri
sebagai bentuk pemberian diri satu sama lain dalam perkawinan memiliki tujuan
yang hakiki yakni menghasilkan keturunan baru. Anak yang dihasilkan dalam
hubungan tersebut merupakan buah cinta yang amat berharga dari suami dan isteri.
Menghasilkan keturunan dalam perkawinan merupakan bentuk partisipasi yang
konkret dari suami dan isteri dalam karya penciptaan Allah. Karena itu, hubungan seksual antara suami dan
isteri bersifat sakral atau suci. Kesucian dari hubungan tersebut terletak pada
keterlibatan Allah dalam perkawinan yang bertujuan untuk menghasilkan makhluk
baru dan mendidiknya.[22]
Kitab Hukum Kanonik
(bdk. Kan. 1055 ayat 1) menekankan: “ikatan perkawinan terarah pada
kesejahteraan suami-isteri dan anak-anak”. Ungkapan “terarah kepada” perlu
ditekankan, sehingga orang bisa keluar dari kesulitan kasus sterilitas akibat
penyakit atau kecelakaan tertentu. Kesejahteraan suami-isteri adalah suatu
elemen baru yang dipertimbangkan untuk mengintegrasikan tujuan dari institusi
perkawinan. Teks kanon di atas menjelaskan bahwa perjanjian (foedus) perkawinan
dari kodratnya terarah bukan saja pada
kelahiran dan pendidikan anak-anak, melainkan juga pada kesejahteraan
suami-isteri.[23]
3.4.3
Pemenuhan Kebutuhan Seksual
Setiap orang dewasa
(laki-laki dan wanita) yang normal memiliki kebutuhan akan pemenuhan dorongan
seksual yang ada dalam dirinya. Kebutuhan ini dapat terpenuhi melalui hubungan
seksual antara suami-isteri dalam lembaga perkawinan yang sah. Lembaga
perkawinan merupakan satu-satunya institusi yang sah dan legal di mana pria dan
wanita yang saling mencintai dapat saling memenuhi kebutuhan seksualnya.
IV.
MAKNA PERKAWINAN KRISTIANI DITINJAU DARI SUDUT
PANDANG BUDAYA MANGGARAI (PENERAPAN MODEL ANTROPOLOGIS TEOLOGI KONTEKSTUAL)
Perkawinan dalam budaya Manggarai memiliki
keterkaitannya dengan perkawinan Kristiani. Dalam kaitannya dengan usaha
inkulturasi, perkawinan Kristiani mesti dimaknai kembali secara kultural.
Karena itu, ada beberapa hal yang mesti dijelaskan berkaitan dengan usaha
memaknai kembali perkawinan Kristiani.
4.1
Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu realitas
yang amat fundamental dan eksistensial pada manusia. Fakta historis membuktikan
bahwa realitas perkawinan sudah ada sejak manusia ada. Oleh karena itu,
kehidupan perkawinan telah secara amat mendalam mewarnai dan menjiwai seluruh
perjalanan sejarah hidup umat manusia hingga dewasa ini. Lembaga perkawinan menjadi
penting guna menjamin kontinuitas eksistensi generasi umat manusia di bumi ini.
Dalam kebudayaan Manggarai, perkawinan
bisa terwujud jika ada kesepakatan kedua belah pihak, baik secara pribadi
maupun melibatkan keluarga besar. Hal
yang sama juga ditekankan dalam perkawinan Kristiani, meski kesepakatan yang
disebutkan dalam perkawinan Kristiani hanya menyinggung kesepakatan antara dua
belah pihak yang hendak menikah. Karena itu, Gereja mesti mengambil apa yang
telah menjadi tradisi dalam budaya Manggarai bahwa kesepakatan untuk
melangsungkan perkawinan bukan saja dilakukan oleh seorang pria dan seorang
wanita yang hendak menikah, melainkan juga dilakukan oleh kedua keluarga.
Dengan demikian, ikatan perkawinan menjadi kuat dan langgeng.
4.2
Sifat Perkawinan
Perkawinan dalam budaya Manggarai
berarti persatuan seumur hidup yang diikat oleh perjanjian antara seorang pria
dan seorang wanita. Melalui perkawinan, mereka menjadi suami-istri yang berbagi
kehidupan secara utuh, saling mengembangkan diri secara penuh dan dalam cinta
melahirkan dan mendidik anak-anak. Perkawinan dalam budaya Manggarai mengandung
unsur keterikatan seumur hidup yang tertuang dalam ciri khasnya, yakni monogami
(wina rona paka cawi neho wuas-dole neho
ajos yang berarti perkawinan itu menyatukan secara abadi) dan tak
terceraikan (acer nao-wase wunut yang
berarti tak terpisahkan). Dalam kaitannya dengan sifat perkawinan ini, budaya
perkawinan pada masyarakat Manggarai memberi penekanan pada sanksi bagi
pasangan yang tidak konsisten pada perjanjian dan sifat perkawinan. Apabila ada
seorang suami hendak menceraikan isterinya, maka pengadilan adat akan
memberikan sanksi, seperti seluruh belis yang
telah diberikan tidak dapat dikembalikan atau suami yang bersangkutan harus
membayar dua kali lipat dari angka belis yang
telah ditentukan. Demikian sebaliknya, apabila seorang isteri hendak
menceraikan suaminya, maka sang isteri mesti mengembalikan dua kali lipat
seluruh belis yang telah diberikan
oleh sang suami.
Dewasa ini, banyak pasangan
suami-isteri Kristiani yang tidak konsisten dengan sifat perkawinan yang
berujung pada perceraian. Sejauh ini, Gereja hanya berusaha agar proses
perceraian dapat dilaksanakan secepatnya tanpa usaha memberikan efek jera
kepada pasangan-pasangan yang memperjuangkan perceraian. Karena itu, Gereja
mesti memaknai kembali sifat perkawinan Kristiani. Bercermin pada budaya
Manggarai, maka Gereja seyogyanya juga menerapkan sanksi-sanksi bagi pasangan
yang tidak konsisten dengan janji perkawinan.
4.3
Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam
budaya Manggarai Manggarai adalah untuk mendapatkan keturunan, sebab anak
dilihat sebagai pelanjut subsistensi keluarga. Selain itu, perkawinan dalam
budaya Manggarai juga bertujuan untuk menambah keeratan jalinan kekerabatan
antara keluarga besar, serta untuk mencapai kebahagiaan bagi pasangan yang
menikah. Dalam perkawinan Kristiani, yang menjadi tujuan perkawinan adalah
mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan suami-isteri, serta untuk mendapatkan
keturunan dan mendidik anak-anak.
Dewasa ini, sering
terjadi bahwa setelah perkawinan, hanya dua individu (suami dan isteri) yang
terikat dengan tujuan perkawinan. Sedangkan kedua keluarga besar tidak menjalin
keeratan satu sama lain. Karena itu, bercermin pada budaya Manggarai, Gereja
mesti memberi penekanan bahwa salah satu tujuan perkawinan bukan untuk menambah
keeratan dua belah pihak yang mengikat perjanjian, melainkan juga kedua
keluarga besar.
4.4
Makna Perkawinan
Perkawinan dalam budaya Manggarai
memiliki beberapa makna, seperti mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk
berada bersama dengan yang lain dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera,
subur dan berkembang, membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan orang
lain dan kelompok lain, menjadikan keluarga sebagai ruang transimisi nilai
budaya dan moral, serta menjadikan kebebasan manusia terlembaga dalam suatu
tatanan moral dan etika, seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami.
Perkawinan Kristiani seringkali
dimaknai sebagai gambaran relasi antara Kristus dengan Gereja-Nya. Makna ini
terlalu konsepsional, sehingga setiap pasangan suami-isteri menemui kesulitan
untuk memaknai perkawinannya. Karena itu, Gereja mesti bercermin pada budaya
Manggarai bahwasanya yang menjadi penekanan dari perkawinan adalah mau
menampilkan hakikat manusia sebagai makhluk yang membutuhkan keberadaan orang
lain. Apabila makna ini yang lebih ditekankan, maka tidak mustahil setiap
pasangan Kristiani lebih membuka diri terhadap sesama. Dengan demikian, setiap
pasangan Kristiani dapat menjadi garam dan terang dunia.
V.
PENUTUP
Perkawinan dalam budaya Manggarai
tidak bertolak belakang dengan perkawinan Kristiani. Keduanya memiliki
keterkaitan satu sama lain, seperti dalam hal arti, sifat, tujuan dan makna
perkawinan. Meski demikian, keduanya mesti saling melengkapi. Jelaslah bahwa
perkawinan dalam budaya Manggarai sesempurna apapun dan walaupun sifatnya sudah
sangat mengikat, monogam dan takterceraikan, tetap bukanlah merupakan sebuah
sakramen. Karena itu, pada akhir tahapan-tahapan perkawinan adat, sebaiknya
dipikirkan juga untuk sesegera mungkin menindaklajutinya dengan proses-proses
yang lazim dalam tahap-tahap perkawinan Kristiani agar perkawinan tersebut
bernilai sakramental dan bukan hanya menjadi realitas manusiawi belaka.
Sebaliknya, perkawinan Kristiani yang
sakramental mesti sungguh-sungguh menjadi tanda yang menyelamatkan. Karena itu,
pemaknaan kembali perkawinan Kristiani mesti dilakukan dengan bercermin pada
budaya Manggarai. Apa yang positif dalam budaya Manggarai, mesti diambil dan dihidupkan
dalam Gereja. Dengan demikian, pewartaan tentang Kerajaan Allah tidak saja
bersumber pada tradisi Gereja, tetapi juga berakar pada tradisi budaya
Manggarai.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Bagul Dagur, Anthony.
Kebudayaan Manggarai sebagai Salah Satu
Khasanah Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhara Press, 1997
Danes, Christoper &
Simon. Masalah-Masalah Moral Sosial Aktual dalam Perspektif Iman Kristen.
Yogyakarta: Kanisius, 2000
Fau, Eligius
Anselmus. Persiapan Perkawinan Katolik.
Ende: Nusa Indah, 2000
Hadiwardoyo, Purwa.
Perkawinan dalam Tradisi Katolik. Yogyakarta:
Kanisius, 1988
I. Ketut Adi
Hardana, Timotius. Kursus Persiapan
Perkawinan. Jakarta: Obor, 2010
Konferensi
Waligereja Indonesia. Pedoman Pastoral
Keluarga. Jakarta: Obor, 2011
M. Nggoro, Adi. Budaya Manggarai – Selayang Pandang. Ende:
Nusa Indah, 2006
Minulyo, Brayat. Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga. Yogyakarta:
Kanisius, 2007
N. Toda, Dami. Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi.
Ende: Nusa Indah, 1999
Peschke, Karl Heinz.
Etika Kristiani Jilid III- Kewajiban
Moral dalam Hidup Pribadi. Maumere: Ledalero, 2003
Roger, R. “Sistem
Perkawinan Adat Manggarai: Menelisik Makna Belis”, dalam
www.wordpress.com/tag/budaya-perkawinan-Manggarai, 2011
[1] Anthony Bagul Dagur, Kebudayaan Manggarai sebagai Salah Satu Khasanah Kebudayaan Nasional (Surabaya:
Ubhara Press, 1997), p. 39
[2] R. Roger, “Sistem Perkawinan Adat Manggarai: Menelisik Makna
Belis”, dalam www.wordpress.com/tag/budaya-perkawinan-Manggarai, 2011, Diakses
pada 3 April 2012
[5] Dami N. Toda, Manggarai
Mencari Pencerahan Historiografi (Ende: Nusa Indah, 1999), pp. 23- 25
[6] Adi M. Nggoro, Budaya
Manggarai – Selayang Pandang (Ende: Nusa Indah, 2006), pp. 110- 125
[7] Secara etimologis,
ungkapan cumang cama koe terdiri dari
kata cumang (bertemu), cama (sama) dan koe (kecil).
[13] Christoper Danes &
Simon, Masalah-Masalah Moral Sosial Aktual dalam Perspektif Iman Kristen (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), p. 49
[22] Karl Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III-
Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi (Maumere: Ledalero, 2003), p. 327
mantap abang...bisa menggantikan Dr. John Prior juga ne....
ReplyDeleteHehehe.. Terima kasih
ReplyDelete