Saturday, February 15, 2014

Model Antropologis Teologi Kontekstual



MAKNA PERKAWINAN KRISTIANI DITINJAU DARI SUDUT
PANDANG BUDAYA PERKAWINAN MANGGARAI
(PENERAPAN MODEL ANTROPOLOGIS
TEOLOGI KONTEKSTUAL)


TEOLOGI KONTEKSTUAL



OLEH:
CHRISPINUS H. JEBARUS
NIM 13.536



Description: C:\Users\Seven\Pictures\STFK FOTO\Foto Logo STFK Ledalero.jpg
 


                                                                                                                



                                                                                                                                                  
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO
MAUMERE
                                                                         
2013
I.              PENGANTAR
Tujuan utama perkawinan adalah mewujudkan cinta kasih antara suami isteri, melaksanakan tugas “melanjutkan keturunan”  dan “pendidikan”. Suami-isteri diajak untuk membentuk keluarga yang penuh cinta karena perkawinan itu adalah sebuah ikatan yang suci sifatnya.
Perkawinan bagi orang Manggarai bukan saja menjadi urusan kedua mempelai, melainkan juga melibatkan kedua keluarga besar dari kedua mempelai. Keluarga dari mempelai wanita disebut anak rona dan keluarga dari mempelai pria disebut anak wina. Dan dalam perkawinan Manggarai, dikenal dua (2) tipe perkawinan, yaitu perkawinan endogami dan perkawinan eksogami. Perkawinan endogami berarti perkawinan antara warga dalam satu suku saja. Menikah dengan orang dari luar suku dianggap menentang adat sendiri. Sedangkan perkawinan eksogami menurut adat Manggarai adalah perkawinan dengan wa’u atau warga dari kampung atau suku lain.
Berkaitan dengan teologi kontekstual, menurut Stephen Bevans ada beberapa model teologi kontekstual. Salah satunya adalah model antropologis. Model antropologis merupakan salah satu model teologi kontekstual yang menekankan pelestarian jati diri budaya seseorang yang beriman Kristen. Maka, tujuan dari tulisan ini adalah mengkaji hakikat perkawinan dalam budaya Manggarai dan hakikat perkawinan Kristiani, serta menarik benang merah antara dua tradisi itu. Dengan demikian, penulis dapat menjelaskan hakikat perkawinan Kristiani dalam hubungannya dengan perkawinan dalam budaya Manggarai. Karena itu, tulisan ini diulas di bawah judul: “MAKNA PERKAWINAN KRISTIANI DITINJAU DARI SUDUT PANDANG BUDAYA PERKAWINAN MANGGARAI (PENERAPAN MODEL ANTROPOLOGIS TEOLOGI KONTEKSTUAL).




II.           PERKAWINAN MENURUT BUDAYA MANGGARAI
2.1         Arti Perkawinan dalam Budaya Manggarai
Dalam kebudayaan Manggarai, perkawinan diartikan sebagai hubungan yang kurang lebih mantap dan stabil antara pria dan wanita yang diatur, diakui, dan dilegalisasikan oleh masyarakat.[1] Pengakuan publik ini mutlak perlu karena hanya melalui perkawinan, pria dan wanita yang bersangkutan memperoleh suatu status baru dalam masyarakat. Karena itu, upacara perkawinan merupakan suatu upacara inisiasi ke dalam suatu status dan peran sosial yang baru yang juga melibatkan pihak-pihak terkait sebagai saksi.
2.2         Dasar dan Tujuan Perkawinan dalam Budaya Manggarai
Dasar perkawinan adat Manggarai adalah cinta laki-laki dan perempuan yang ingin dilembagakan dalam sebuah institusi yang bernama keluarga. Dalam beberapa ungkapan, digambarkan bagaimana seorang laki-laki memperjuangkan cintanya untuk memperoleh si jantung hati, seperti: wa’a wae toe lelo, usang mela toe kira (demi cinta, banjirpun tak dihiraukan, hujan pembawa penyakitpun diacuhkan), bahkan demi cinta sotor wae botol agu ata mbeko (meminta bantuan dukun untuk menggaet gadis impian).[2]
Tujuan perkawinan adat Manggarai terungkap lewat beberapa ungkapan. Pertama, “kudut beka weki one-beka salang pe’ang” yang berarti untuk mendapat keturunan. Anak dilihat sebagai pelanjut subsistensi keluarga yang terungkap lewat pernyataan: “eme wakak betong  asa-manga waken nipu tae, eme muntung pu’u gurung-manga wungkutn te ludung” yang berarti bambu tua mesti mati, mesti diganti dengan bambu tunas-tunas muda. Dalam upacara nempung atau wagal (peresmian pernikahan secara adat), terungkap doa begini: “ra’ok lobo sapo-renek lobo kecep, borek cala bocel-ta’i cala wa’i” yang berarti duduk berhimpun di atas tungku api, duduk berderet-deret bagai tutupan periuk, membuang air besar mengenai betis-buang air besar  mengenai kaki. Makna dari ungkapan ini adalah suatu doa meminta keturunan. Kedua, perkawinan adat juga bertujuan untuk menambah keeratan jalinan kekerabatan antara keluarga besar. Ketiga, perkawinan bertujuan untuk kebahagiaan pasangan yang menikah itu. Hal itu tersembul dari pernyataan: “kudut ita le mose di’as ise wina-rona” yang berarti  agar suami-isteri hidup sejahtera. Sifat perkawinan adat Manggarai terungkap dalam ungkapan: acer nao-wase wunut (tak terpisahkan) dan wina rona paka cawi neho wuas-dole neho ajos (perkawinan itu menyatukan secara abadi).[3]
2.3         Jenis-Jenis Perkawinan dalam Budaya Manggarai
Perkawinan dalam budaya Manggarai dibedakan atas tiga jenis, yaitu perkawinan cangkang, perkawinan tungku dan perkawinan cako.[4]
2.3.1   Perkawinan Cangkang/Antara Klan/Suku
Perkawinan cangkang merupakan perkawinan yang tidak ada hubungan darah dengan perkawinan sebelumnya dari kedua keluarga. Jenis perkawinan ini amat bersesuaian dengan tradisi Gereja, yakni suatu perkawinan yang bertujuan untuk membentuk kekerabatan baru (woe nelu agu ine ame weru), sehingga terjadi keterjalinan kekerabatan karena perkawinan dengan suku-suku lain.
2.3.2   Perkawinan Tungku
Tungku merupakan suatu perkawinan yang terjadi antara anak laki-laki dari saudari dengan anak perempuan dari saudara. Jenis perkawinan ini disebut juga perkawinan tungku dungka dan tungku neteng nara, artinya anak perempuan dari pihak saudara sepupu. Perkawinan tungku bertujuan untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang telah terjalin dalam satu garis biologis agar tidak terputus. Ada beberapa macam tungku, yakni:[5]

1.        Tungku cu/tungku dungka merupakan perkawinan antara laki-laki dari saudari dengan anak gadis saudara (cross cousin).
2.        Tungku sa’i/tungku ulu merupakan perkawinan antara anak laki-laki saudari dengan anak laki-laki dari saudara dalam satu garis keturunan.
Istilah-istilah lain untuk menggambarkan perkawinan jenis tungku adalah tungku anak de due, tungku salang manga, tungku neteng nara, atau juga tungku dondot. Untuk mengetahui suatu perkawinan disebut tungku atau tidak maka diperlukan suatu penceritaan kembali suatu genealogi keluarga yang disebut turuk empo. Perkawinan tungku cu sangat dilarang oleh Keuskupan Ruteng dan Gereja Katolik pada umumnya.
2.3.3   Perkawinan Cako
Jenis perkawinan cako merupakan perkawinan dalam klan/intra-klan. Perkawinan cako disebut juga cako sama ase kae atau cako sama wa’u atau cako cama salang yang berarti perkawinan yang terjadi dalam lingkup kesukuan tertentu, atau dalam satu garis keturunan.
2.4         Tahap-Tahap Upacara Perkawinan dalam Budaya Manggarai
Ada beberapa tahap upacara perkawinan dalam budaya Manggarai, yaitu cumang cama koe, tuke mbaru, paluk kila, pongo dan kawing.[6]
2.4.1   Cumang Cama Koe[7]
Tahap awal dari perkawinan dalam budaya Manggarai adalah cumang cama koe. Pada tahap ini, seorang lelaki bertemu dengan kekasihnya sebagai tanda bahwa keduanya telah saling mengenal dan bersedia untuk melangsungkan pernikahan.

2.4.2   Tuke Mbaru[8]
Tuke mbaru berarti masuk ke dalam rumah, atau naik ke atas rumah. Kata ini jarang dipakai oleh orang Manggarai dalam percakapan sehari-hari. Kata yang biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari untuk menyebutkan kata masuk ke dalam rumah atau naik ke atas rumah adalah ngo one mbaru (pergi ke dalam rumah). Sedangkan istilah tuke mbaru adalah istilah yang berkaitan dengan kegiatan adat, dalam hal ini dalam hubungan dengan perkawinan dalam budaya Manggarai.
   Istilah tuke mbaru berarti pergi melamar seorang gadis. Dalam kegiatan ini, keluarga pria yang didampingi seorang tongka (juru bicara) mendatangi keluarga wanita. Pihak keluarga wanita sebagai pihak yang dilamar juga berkumpul di rumah orang tua kandung dari si wanita yang akan dilamar dan mereka secara resmi menerima keluarga pria sebagai pelamar. Dalam upacara ini, inti pembicaraan adalah melamar secara adat, dan melakukan upacara paluk kila (tukar cincin). Dan istilah kehadiran pertama waktu peminangan resmi ini disebut dalam sebuah ungkapan Manggarai, yaitu weda lewang tuke mbaru (injak pintu gerbang kampong dan naik ke dalam rumah). Artinya, peminangan itu secara resmi dilaksanakan.
2.4.3   Paluk Kila[9]
Paluk kila berarti tukar cincin. Acara tukar cincin ini dilaksanakan pada waktu peminangan awal secara resmi. Pada waktu acara tukar cincin ini, ditunjuklah beberapa saksi (pihak ketiga) untuk menyaksikan upacara tersebut. Saksi akan sangat berperan jika di kemudian hari salah satu pihak membatalkan kembali hubungan cinta itu dan tidak mau meneruskannya.
   Dalam upacara paluk kila, pihak wanita menyiapkan cincin, dan selanjutnya pada waktu upacara tukar cincin berlangsung, pihak wanita mengenakan cincin tersebut pada jari manis dari si pria. Sedangkan dari pihak pria menyiapkan uang secukupnya untuk diberikan kepada pihak wanita, dan uang tersebut sebagai ganti cincin. Selain itu disiapkan juga uang tukar cincin secara adat untuk umum. Dan besarnya uang tukar cincin tersebut tergantung dari hasil pembicaraan adat kedua belah pihak.
2.4.4   Pongo[10]
Pongo adalah istilah dalam budaya Manggarai untuk menyebutkan acara ikatan cinta antara laki-laki dan perempuan.  Acara ini dibuat setelah acara paluk kila. Dan biasanya, jika sudah dibuat acara pongo, maka artinya hubungan cinta sang pria dan sang wanita berada pada masa tunangan. Dan agar ikatan ini resmi dan kuat secara adat, maka pihak keluarga laki-laki menyiapkan seng pongo (uang ikatan).
Acara pongo bermaksud agar si pria dan si wanita saling setia, saling percaya pada janji untuk tidak memilih atau tidak menerima laki-laki lain atau perempuan lain. Karena itu, jika ada pihak yang melanggar janjinya, maka pihak tersebut akan mendapatkan sanksi adat (teging). Jika yang melanggar adalah pihak laki-laki, maka semua harta dan pengorbanannya tidak dikembalikan lagi oleh keluarga wanita. Tetapi, jika yang melakukan pelanggaran adalah pihak wanita tanpa alasan yang jelas, maka keluarga wanita akan menanggung semua sanksi adat sesuai aturan yang berlaku.
2.4.5   Kawing
Kawing (kawin, nikah, pernikahan) berarti pernikahan antara kedua mempelai, sebagai suami-isteri yang dikukuhkan atau yang direstui oleh kedua keluarga.
2.5         Beberapa Istilah dalam Budaya Perkawinan Manggarai
Dalam hubungan dengan perkawinan dalam budaya Manggarai, ada beberapa istilah yang mesti dijelaskan.
2.5.1   Tongka
Tongka adalah juru bicara keluarga, baik dari keluarga pria maupun dari keluarga wanita. Tongka berperan dalam menentukan berhasil atau tidak berhasilnya urusan peminangan atau perkawinan. Dan seorang tongka adalah orang yang tahu secara pasti tentang seluruh upacara adat, bersikap bijaksana, berjiwa memimpin, dan sudah menikah.
2.5.2   Kala dan Kempu
Kala memiliki dua arti, yakni uang dan sebagai ungkapan untuk menyebutkan wanita. Sedangkan kempu (putusan) adalah putusan akhir pembicaraan adat perihal berapa seluruh biaya atau belis sejak peminangan awal sampai  upacara adat yang terakhir.
2.5.3   Reke Kawing, Kole Kawing dan Rame Kawing
Reke kawing (reke: janji; kawing: nikah, kawin) adalah rencana penentuan pelaksanaan pernikahan atau perkawinan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Kole kawing (kole: pulang; kawing: kawin, nikah) artinya kembali dari tempat pemberkatan nikah suci. Sedangkan rame kawing (rame: ramai, ramah-tamah; kawing: kawin, nikah) berarti pesta pernikahan atau perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua belah pihak.
2.5.4   Karong Loang
Karong loang (karong: antar, tunjuk jalan; loang: kamar) berarti menghantarkan mempelai ke ranjang pengantin dengan upacara yang dibuat mengikuti kebiasaan adat Manggarai.
2.5.5   Gerep Ruha
Gerep ruha (gerep: injak; ruha: telur) adalah upacara menginjak telur ayam oleh mempelai perempuan saat pergi atau memasuki kampong suami untuk yang pertama kali. Sang mempelai wanita menginjak telur ayam dengan kaki kiri di pintu depan masuk rumah adat sampai telur ayam kampong itu pecah. Setelah itu dilanjutkan dengan acara manuk kapu (manuk: ayam; kapu: memangku), yaitu acara yang dibuat sebagai tanda diterimanya mempelai wanita dalam keluarga tersebut.
2.6         Makna Perkawinan dalam Budaya Manggarai
Perkawinan dalam budaya Manggarai memiliki beberapa makna. Pertama, perkawinan mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan yang lain dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera, subur dan berkembang, seperti ungkapan “saung bembang ngger-eta, wake seler ngger-wa”. Kedua, perkawinan bertujuan agar manusia dapat melanjutkan subsistensi dirinya lewat keturunan, seperti suatu ungkapan seorang suami: “wua raci tuke, lebo kala ako” (istriku sudah hamil). Ketiga, perkawinan membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan orang lain dan kelompok lain, sehingga terjalinlah suatu kekeluargaan dan persaudaraan manusia seperti ungkapan: “cimar neho rimang, cama rimang rana, kimpur kiwung cama lopo” (persaudaraan itu ibarat lidi yang tak mudah dipatahkan, kuat seperti batang enau)”. Keempat, perkawinan merupakan ruang pembentukan keluarga yang nantinya akan menjadi ruang transimisi nilai budaya dan moral, seperti tanggung jawab dan jiwa besar. Itu tersembul dalam ungkapan: “nai nggalis tuka ngengga” (kearifan dan jiwa besar) atau ungkapan: “mese bekek, langkas nawa” (pribadi yang bertanggung jawab dan bermoral). Kelima, perkawinan menjadikan kebebasan manusia terlembaga dalam suatu tatanan moral dan etika, seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami. Hal ini nampak dalam ungkapan: “lopan pado olo, morin musi mai” (sudah ada yang punya).
III.        HAKIKAT PERKAWINAN KRISTIANI
3.1         Pengertian Perkawinan
Pada hakekatnya, perkawinan merupakan suatu ikatan yang suci dan dianugerahkan oleh Allah kepada manusia sebagai wujud cinta Allah. Perwujudan cinta Allah itu dinyatakan melalui sakramen perkawinan. Dalam sakramen perkawinan, pasangan suami-isteri hidup dalam suatu persekutuan yang diselamatkan. Melalui perkawinan, suami-isteri menyebarkan buah cinta kasih kepada sesama, sebab cinta kasih merupakan suatu syarat untuk melanjutkan hubungan yang rukun dan tenteram.
3.1.1   Pengertian Umum
Secara umum, perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera. Dalam perkawinan itu ada relasi antara pribadi yang bersifat eksklusif yang diungkapkan dalam kesepakatan perkawinan dan diwujudkan melalui hubungan seksual yang intim. Suami-isteri saling melengkapi dengan kelebihan masing-masing agar dapat mengembangkan kepribadian mereka berdua dalam mencapai kesejahteraan lahir-batin.[11]
Perkawinan diartikan sebagai persatuan antara pria dan wanita yang didasarkan atas cinta yang kemudian cinta itu disatukan di dalam Sakramen Perkawinan. Perkawinan sah antara dua orang Kristen diakui oleh Gereja Katolik apabila telah diikatkan dalam sebuah sakramen. Dengan demikian, Sakramen Perkawinan menunjukkan bahwa Tuhan sungguh hadir dalam hidup suami-isteri dan menawarkan rahmat-Nya kepada keduanya. Kehadiran Tuhan itu terjadi sejak mereka menikah secara sah sampai salah satu dari mereka meninggal dunia.[12]
3.1.2   Pandangan Biblis
Pengertian tentang perkawinan dijelaskan juga di dalam Kitab Suci, baik Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Kitab Suci Perjanjian Baru.

3.1.2.1  Menurut Kitab Suci Perjanjian Lama
Para penulis Perjanjian Lama percaya bahwa kasih perkawinan merupakan bagian dari maksud Allah menciptakan manusia. Dalam Kitab Kejadian (bdk. Kej. 2: 23-24) tertulis: “lalu berkatalah manusia itu: inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku... sebab itu, laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu”. Para penulis Perjanjian Lama juga berpendapat bahwa kasih perkawinan harus bersifat kreatif dan memberi kehidupan. Dalam hal ini, perkawinan dilihat sebagai sesuatu yang suci. Perkawinan merupakan bagian dari rencana Allah menciptakan manusia. Perkawinan merupakan awal keluarga baru, suatu hubungan yang begitu dekat, sehingga Kitab Suci mengatakan keduanya “menjadi satu”.[13] Ciri khas perkawinan menimbulkan komitmen seumur hidup.
3.1.2.2  Menurut Kitab Suci Perjanjian Baru
Di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, ditegaskan bahwa manusia diciptakan sebagai pria dan wanita karena cinta kasih Allah. Mereka diutus agar saling mencintai (bdk. Kej. 2:18-25). Sikap saling mencintai itu dipersatukan dalam ikatan perkawinan, tempat pria dan wanita saling menyerahkan diri secara total untuk selama-lamanya atas dasar kesadaran dan kebebasan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Perkawinan antara dua manusia, pria dan wanita, yang sudah dipermandikan merupakan lambang perjanjian antara Kristus dan Gereja (bdk. Ef. 5:25). Sebagaimana Kristus mencintai Gereja-Nya, maka suami pun harus mencintai isterinya dan isteri harus mencintai suaminya. Suami dan isteri yang telah diikat dalam perkawinan merupakan dua saudara yang saling melayani. Mereka menjadi tanda kehadiran Allah di tengah Gereja mini (Ecclesia Domestica).

Perkawinan merupakan tanda kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Karena itu, perkawinan Katolik juga merupakan lambang yang tampak dari peristiwa penyelamatan Allah. Untuk itu, suami harus senantiasa menyelamatkan isteri, isteri harus berusaha menyelamatkan suami dan orang tua harus menyelamatkan anak-anak mereka atas dasar nilai-nilai cinta kasih yang menyeluruh dan total serta tanpa pamrih.
Mengingat peran dan fungsi suami dan isteri dalam proses penyelamatan tersebut, Allah mengangkat peristiwa perkawinan itu sebagai sakramen, tanda atau lambang kehadiran-Nya. Tanda kehadiran Allah tersebut mempersatukan suami-isteri. Persatuan ini tidak terceraikan oleh siapa pun, kecuali oleh kematian, sehingga cinta kasih suami-isteri itu menjadi lestari dan abadi atas dasar saling mencintai dan saling setia. Apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia (bdk. Mat. 19:6). Sakramen perkawinan memiliki beberapa makna, yaitu sebagai tanda cinta Tuhan kepada umat-Nya, tanda kehadiran Tuhan, dan tanda cinta Tuhan bagi seluruh umat.
3.1.3   Kitab Hukum Kanonik
Dalam Gereja Katolik, martabat perkawinan selalu dijunjung tinggi. Usaha Gereja ini paling nampak pada pengakuan bahwa perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen. Melalui sakramen, seseorang melakukan perjanjian dan persekutuan hidup dalam cinta mesra.
Di dalam Kitab Hukum Kanonik (bdk. Kan. 1055) dijelaskan bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian. Perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup. Dari sifat kodratnya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak. Oleh karena itu, perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat menjadi satu sakramen (KWI, 2011: 303). Selanjutnya, Kitab Hukum Kanonik (bdk. Kan. 1057 ayat 2) menegaskan bahwa kesepakatan nikah adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.
Berdasarkan kedua hukum di atas, dapat dijelaskan bahwa perkawinan merupakan hubungan yang erat dan mesra di antara suami dan isteri. Perjanjian tersebut dinamakan kebersamaan seluruh hidup antara suami-isteri yang merupakan perjanjian dan kesepakatan bebas dari pasangan suami-isteri. Perjanjian itu merupakan persetujuan bebas tanpa syarat. Tidak ada cinta yang dipaksakan atau terpaksa. Cinta memerlukan kebebasan, tanggung jawab dan kesadaran. Perjanjian itu bersifat permanen dan berlangsung seumur hidup. Dengan demikian, perkawinan dalam Gereja Katolik bukanlah kontrak, melainkan perkawinan yang kekal dan abadi.[14] Karena itu, tidak seorang pun dapat memisahkan perkawinan itu.
3.2         Inti Perkawinan
Hakekat atau inti dari suatu perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup antara seorang pria dan wanita yang berdasarkan pada perjanjian cinta kasih menuju kebahagiaan bersama.[15] Ada beberapa unsur dari definisi ini, yaitu:
1)    Perkawinan adalah sebuah perjanjian. Istilah perjanjian atau kesepakatan mau membaharui istilah hukum “kontrak”. Kata perjanjian dipilih karena lebih bernuansa religius yang merujuk pada perjanjian antara Allah dan manusia yang bernuansa cinta kasih;
2)    Bentuk perkawinan. Perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup antara pria dan wanita. Persekutuan seluruh hidup menyangkut kesatuan hati dan perasaan walaupun mereka adalah dua pribadi yang berbeda.
3)    Subyek yang mengadakan perkawinan itu adalah seorang pria dan wanita yang sungguh-sungguh. Artinya, pria dan wanita yang normal, baik secara fisik maupun psikis;
4)    Dasar dari sebuah perkawinan adalah cinta kasih yang tampak dalam persetujuan bebas dari kedua calon mempelai. Secara yuridis, persetujuan bebas itu menjadi dasar dari sebuah perjanjian perkawinan yang sah;
5)    Dalam Gereja Katolik, hakekat perkawinan dipahami secara lebih mendalam sebagai sakramen, yaitu ikatan cinta mesra dan hidup bersama antara suami dan isteri yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindugi dengan hukum-hukum-Nya yang menampakan cinta kasih Allah kepada umat-Nya.
3.3         Sifat Perkawinan
Perkawinan Katolik memiliki dua sifat utama, yaitu monogam atau unitas dan tak terceraikan atau indissolubilitas (KHK, 1983: 303-304 § 1).
3.3.1   Monogami
Seorang suami hanya mempunyai satu isteri, demikian pula isteri mempunyai satu suami saja. Oleh karena itu, cinta antara seorang pria dan wanita adalah cinta yang esklusif, artinya cinta mereka penuh dan utuh, tak terbagi. Hal ini mencerminkan prinsip bahwa pria dan wanita mempunyai martabat yang sama. Sifat monogam menolak perkawinan poliandri, yaitu perkawinan yang berlangsung antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria atau perkawinan poligami, yaitu perkawinan yang berlangsung antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita baik secara hukum maupun moral.[16]
Sifat monogam (unitas) bertentangan dengan poligami dalam dua cara, yakni sebagai poligami dan poliandri. Poligami berarti seorang pria memiliki lebih dari satu isteri, sedangkan poliandri berarti seorang wanita memiliki lebih dari satu suami. Konsekuensi yuridis dari ajaran tentang sifat monogam menurut hukum sipil adalah:
1)    Seseorang dilarang di bawah klausul “batal” atau “gagal” (nullitas) untuk melangsungkan perkawinan baru sambil mempertahankan ikatan perkawinan terdahulu yang sah dan halal;
2)    Seseorang yang berzinah dianggap terkena delik yang dihukum dengan menerapkan hukum pidana;


3)    Perzinahan yang dilakukan seseorang menjadi motif yang cukup untuk melakukan perpisahan resmi sekurang-kurangnya apabila pihak lain yang tidak bersalah (innocent) tidak mengampuni pihak yang bersalah.
Pengecualiaan (exclusio) atau penolakan terhadap sifat unitas perkawinan yang juga disebut kesetiaan pada perkawinan sendiri, pada saat melangsungkan perkawinan oleh salah satu pihak, menurut norma Kitab Hukum Kanonik 1983 (bdk. Kan. 1101 ayat 2) dianggap sungguh merupakan perbuatan kehendak positif. Jadi, apabila seseorang menginginkan dan memang melangsungkan perkawinan, tetapi ia mengecualikan atau menolak sifat monogaminya, maka perkawinan tersebut tidak sah.[17]
3.3.2   Tak Terceraikan
Dalam perkawinan, suami-isteri telah mempersatukan diri dengan bebas, bahkan disatukan oleh rahmat Tuhan sendiri. Ikatan perkawinan hanya bisa diputuskan oleh kematian salah satu pasangan atau keduanya. ”Apa yang dipersatukan oleh rahmat Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia” (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut adanya kesetiaan dalam untung dan malang, dalam suka dan dalam duka. Dalam hal ini diperlukan saling pengertian dan pengampunan dalam kehidupan suami-isteri.[18]
Sifat tak terceraikan memiliki stabilitas khusus dan jauh lebih kuat, karena perkawinan Kristiani yang telah dilangsungkan tidak dapat dibatalkan. Dalam perkawinan, suami-isteri telah mempersatukan diri secara bebas seumur hidup. Maka, cinta kasih mereka harus bercirikan kesetiaan seumur hidup dalam segala aspek kehidupan.[19]
Sifat perkawinan yang tak terceraikan ini berarti juga ikatan perkawinan yang kekal dan karena itu tidak mungkin ada perceraian. Sifat perkawinan tidak terceraikan dalam perkawinan Kristiani memiliki stabilitas khusus dan jauh lebih kuat karena perkawinan Kristiani yang sekali telah dilangsungkan secara sah tidak dapat lagi dibatalkan.
Kitab Hukum Kanonik (bdk. Kan. 1056) menegaskan sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogam (unitas) dan tak terceraikan (indissolubilitas) yang mendapat pengukuhannya di dalam sakramen. Kedua sifat ini memberikan suatu stabilitas yang khusus pada perkawinan Kristiani berkat sakramen. Stabilitas tersebut diwujudnyatakan dalam praksis apabila perkawinan itu disempurnakan dengan persetubuhan secara manusiawi di mana suami-isteri menjadi satu daging dan dengan sendirinya terbuka untuk kelahiran anak. Oleh karena itu, suatu perkawinan tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusia manapun dan dengan alasan apapun, kecuali kematian (bdk. Kan. 1141). Dalam kaitan dengan hal ini, fungsi tribunal Gerejawi bukan untuk membatalkan perkawinan yang sah dan sakramental, melainkan hanya untuk membuktikan apakah suatu perkawinan itu sudah sah sejak awal atau tidak.
Ajaran resmi Gereja menegaskan bahwa perkawinan bersifat monogam dan tak terceraikan atas dasar tuntutan hukum ilahi positif (Wahyu dan Kitab Suci). Perkawinan yang sah dan halal serta telah disempurnakan dengan persetubuhan (ratum et consummatum), termasuk ikatan perkawinan yang kodrati merupakan perkawinan dua orang yang sudah dibaptis, tidak mungkin diceraikan, baik melalui suatu hukum perceraian (pengadilan Gerejawi) maupun melalui campur tangan siapa pun.
3.4         Tujuan Perkawinan
Perkawinan Katolik memiliki beberapa tujuan, antara lain saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-isteri, kelahiran dan pendidikan anak, serta pemenuhan kebutuhan seksual.
3.4.1   Saling Membahagiakan dan Mencapai Kesejahteraan Suami-Isteri
Di dalam perkawinan, suami-isteri saling menyerahkan diri dan saling menerima. Hal ini diungkapkan melalui perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali (bdk. Kan. 1057, ayat 2). Suami dan isteri adalah subyek perjanjian. Penyerahan diri dan sikap saling menerima merupakan sumber dan dasar dari kesejahteraan suami-isteri.
Tujuan penting dari perkawinan adalah saling mendukung dan mengisi di dalam cinta antara suami dan isteri. Di dalam perkawinan, laki-laki dan perempuan “saling membantu dan melayani berdasarkan ikatan pribadi dan kerjasama” (bdk. GS 48). Kesejahteraan suami-isteri merupakan suatu elemen baru yang dipertimbangkan untuk mengintegrasikan tujuan dari institusi perkawinan. Perjanjian perkawinan dari kodratnya terarah bukan hanya pada kelahiran dan pendidikan anak, melainkan juga kesejahteraan suami-isteri.[20]
Kesatuan suami-isteri harus diperjuangkan setiap harinya dengan saling memberi perhatian, komunikasi yang baik serta keterbukaan dalam segala segi kehidupan dengan kesediaan untuk saling menerima apa adanya, dengan kasih sayang, kelembutan, kesabaran tanpa paksaan, rela berkorban, saling membantu dan saling memaafkan.[21] Kesejahteraan suami-isteri yang dimaksud adalah:
1)    Kemampuan serta kemauan untuk hidup dan tinggal bersama secara layak agar mencapai tujuan perkawinan;
2)    Kemauan serta kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari pasangan;
3)    Kemampuan dan kemauan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang hidup perkawinan dan tentang keluarga. Hal ini didasarkan pada kesamaan martabat antara suami-isteri dalam semua aspek.
3.4.2   Kelahiran dan Pendidikan Anak
Menghasilkan keturunan merupakan salah satu tujuan yang penting dalam lembaga perkawinan.  Hubungan seksual antara suami dan isteri sebagai bentuk pemberian diri satu sama lain dalam perkawinan memiliki tujuan yang hakiki yakni menghasilkan keturunan baru. Anak yang dihasilkan dalam hubungan tersebut merupakan buah cinta yang amat berharga dari suami dan isteri. Menghasilkan keturunan dalam perkawinan merupakan bentuk partisipasi yang konkret dari suami dan isteri dalam karya penciptaan Allah.  Karena itu, hubungan seksual antara suami dan isteri bersifat sakral atau suci. Kesucian dari hubungan tersebut terletak pada keterlibatan Allah dalam perkawinan yang bertujuan untuk menghasilkan makhluk baru dan mendidiknya.[22]
Kitab Hukum Kanonik (bdk. Kan. 1055 ayat 1) menekankan: “ikatan perkawinan terarah pada kesejahteraan suami-isteri dan anak-anak”. Ungkapan “terarah kepada” perlu ditekankan, sehingga orang bisa keluar dari kesulitan kasus sterilitas akibat penyakit atau kecelakaan tertentu. Kesejahteraan suami-isteri adalah suatu elemen baru yang dipertimbangkan untuk mengintegrasikan tujuan dari institusi perkawinan. Teks kanon di atas menjelaskan bahwa perjanjian (foedus) perkawinan dari kodratnya terarah  bukan saja pada kelahiran dan pendidikan anak-anak, melainkan juga pada kesejahteraan suami-isteri.[23]
3.4.3   Pemenuhan Kebutuhan Seksual
Setiap orang dewasa (laki-laki dan wanita) yang normal memiliki kebutuhan akan pemenuhan dorongan seksual yang ada dalam dirinya. Kebutuhan ini dapat terpenuhi melalui hubungan seksual antara suami-isteri dalam lembaga perkawinan yang sah. Lembaga perkawinan merupakan satu-satunya institusi yang sah dan legal di mana pria dan wanita yang saling mencintai dapat saling memenuhi kebutuhan seksualnya.
IV.         MAKNA PERKAWINAN KRISTIANI DITINJAU DARI SUDUT PANDANG BUDAYA MANGGARAI (PENERAPAN MODEL ANTROPOLOGIS TEOLOGI KONTEKSTUAL)
Perkawinan dalam budaya Manggarai memiliki keterkaitannya dengan perkawinan Kristiani. Dalam kaitannya dengan usaha inkulturasi, perkawinan Kristiani mesti dimaknai kembali secara kultural. Karena itu, ada beberapa hal yang mesti dijelaskan berkaitan dengan usaha memaknai kembali perkawinan Kristiani.
4.1         Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu realitas yang amat fundamental dan eksistensial pada manusia. Fakta historis membuktikan bahwa realitas perkawinan sudah ada sejak manusia ada. Oleh karena itu, kehidupan perkawinan telah secara amat mendalam mewarnai dan menjiwai seluruh perjalanan sejarah hidup umat manusia hingga dewasa ini. Lembaga perkawinan menjadi penting guna menjamin kontinuitas eksistensi generasi umat manusia di bumi ini.
Dalam kebudayaan Manggarai, perkawinan bisa terwujud jika ada kesepakatan kedua belah pihak, baik secara pribadi maupun melibatkan keluarga besar. Hal yang sama juga ditekankan dalam perkawinan Kristiani, meski kesepakatan yang disebutkan dalam perkawinan Kristiani hanya menyinggung kesepakatan antara dua belah pihak yang hendak menikah. Karena itu, Gereja mesti mengambil apa yang telah menjadi tradisi dalam budaya Manggarai bahwa kesepakatan untuk melangsungkan perkawinan bukan saja dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang hendak menikah, melainkan juga dilakukan oleh kedua keluarga. Dengan demikian, ikatan perkawinan menjadi kuat dan langgeng.
4.2         Sifat Perkawinan
Perkawinan dalam budaya Manggarai berarti persatuan seumur hidup yang diikat oleh perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita. Melalui perkawinan, mereka menjadi suami-istri yang berbagi kehidupan secara utuh, saling mengembangkan diri secara penuh dan dalam cinta melahirkan dan mendidik anak-anak. Perkawinan dalam budaya Manggarai mengandung unsur keterikatan seumur hidup yang tertuang dalam ciri khasnya, yakni monogami (wina rona paka cawi neho wuas-dole neho ajos yang berarti perkawinan itu menyatukan secara abadi) dan tak terceraikan (acer nao-wase wunut yang berarti tak terpisahkan). Dalam kaitannya dengan sifat perkawinan ini, budaya perkawinan pada masyarakat Manggarai memberi penekanan pada sanksi bagi pasangan yang tidak konsisten pada perjanjian dan sifat perkawinan. Apabila ada seorang suami hendak menceraikan isterinya, maka pengadilan adat akan memberikan sanksi, seperti seluruh belis yang telah diberikan tidak dapat dikembalikan atau suami yang bersangkutan harus membayar dua kali lipat dari angka belis yang telah ditentukan. Demikian sebaliknya, apabila seorang isteri hendak menceraikan suaminya, maka sang isteri mesti mengembalikan dua kali lipat seluruh belis yang telah diberikan oleh sang suami.
Dewasa ini, banyak pasangan suami-isteri Kristiani yang tidak konsisten dengan sifat perkawinan yang berujung pada perceraian. Sejauh ini, Gereja hanya berusaha agar proses perceraian dapat dilaksanakan secepatnya tanpa usaha memberikan efek jera kepada pasangan-pasangan yang memperjuangkan perceraian. Karena itu, Gereja mesti memaknai kembali sifat perkawinan Kristiani. Bercermin pada budaya Manggarai, maka Gereja seyogyanya juga menerapkan sanksi-sanksi bagi pasangan yang tidak konsisten dengan janji perkawinan.
4.3         Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam budaya Manggarai Manggarai adalah untuk mendapatkan keturunan, sebab anak dilihat sebagai pelanjut subsistensi keluarga. Selain itu, perkawinan dalam budaya Manggarai juga bertujuan untuk menambah keeratan jalinan kekerabatan antara keluarga besar, serta untuk mencapai kebahagiaan bagi pasangan yang menikah. Dalam perkawinan Kristiani, yang menjadi tujuan perkawinan adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan suami-isteri, serta untuk mendapatkan keturunan dan mendidik anak-anak.
Dewasa ini, sering terjadi bahwa setelah perkawinan, hanya dua individu (suami dan isteri) yang terikat dengan tujuan perkawinan. Sedangkan kedua keluarga besar tidak menjalin keeratan satu sama lain. Karena itu, bercermin pada budaya Manggarai, Gereja mesti memberi penekanan bahwa salah satu tujuan perkawinan bukan untuk menambah keeratan dua belah pihak yang mengikat perjanjian, melainkan juga kedua keluarga besar.

 
4.4         Makna Perkawinan
Perkawinan dalam budaya Manggarai memiliki beberapa makna, seperti mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan yang lain dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera, subur dan berkembang, membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan orang lain dan kelompok lain, menjadikan keluarga sebagai ruang transimisi nilai budaya dan moral, serta menjadikan kebebasan manusia terlembaga dalam suatu tatanan moral dan etika, seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami.
Perkawinan Kristiani seringkali dimaknai sebagai gambaran relasi antara Kristus dengan Gereja-Nya. Makna ini terlalu konsepsional, sehingga setiap pasangan suami-isteri menemui kesulitan untuk memaknai perkawinannya. Karena itu, Gereja mesti bercermin pada budaya Manggarai bahwasanya yang menjadi penekanan dari perkawinan adalah mau menampilkan hakikat manusia sebagai makhluk yang membutuhkan keberadaan orang lain. Apabila makna ini yang lebih ditekankan, maka tidak mustahil setiap pasangan Kristiani lebih membuka diri terhadap sesama. Dengan demikian, setiap pasangan Kristiani dapat menjadi garam dan terang dunia.
V.            PENUTUP
Perkawinan dalam budaya Manggarai tidak bertolak belakang dengan perkawinan Kristiani. Keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain, seperti dalam hal arti, sifat, tujuan dan makna perkawinan. Meski demikian, keduanya mesti saling melengkapi. Jelaslah bahwa perkawinan dalam budaya Manggarai sesempurna apapun dan walaupun sifatnya sudah sangat mengikat, monogam dan takterceraikan, tetap bukanlah merupakan sebuah sakramen. Karena itu, pada akhir tahapan-tahapan perkawinan adat, sebaiknya dipikirkan juga untuk sesegera mungkin menindaklajutinya dengan proses-proses yang lazim dalam tahap-tahap perkawinan Kristiani agar perkawinan tersebut bernilai sakramental dan bukan hanya menjadi realitas manusiawi belaka.
Sebaliknya, perkawinan Kristiani yang sakramental mesti sungguh-sungguh menjadi tanda yang menyelamatkan. Karena itu, pemaknaan kembali perkawinan Kristiani mesti dilakukan dengan bercermin pada budaya Manggarai. Apa yang positif dalam budaya Manggarai, mesti diambil dan dihidupkan dalam Gereja. Dengan demikian, pewartaan tentang Kerajaan Allah tidak saja bersumber pada tradisi Gereja, tetapi juga berakar pada tradisi budaya Manggarai.
























VI.         DAFTAR PUSTAKA
Bagul Dagur, Anthony. Kebudayaan Manggarai sebagai Salah Satu Khasanah Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhara Press, 1997
Danes, Christoper & Simon. Masalah-Masalah Moral  Sosial Aktual dalam Perspektif Iman Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 2000
Fau, Eligius Anselmus. Persiapan Perkawinan Katolik. Ende: Nusa Indah, 2000
Hadiwardoyo, Purwa. Perkawinan dalam Tradisi Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1988
I. Ketut Adi Hardana, Timotius. Kursus Persiapan Perkawinan. Jakarta: Obor, 2010
Konferensi Waligereja Indonesia. Pedoman Pastoral Keluarga. Jakarta: Obor, 2011
M. Nggoro, Adi. Budaya Manggarai – Selayang Pandang. Ende: Nusa Indah, 2006
Minulyo, Brayat. Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2007
N. Toda, Dami. Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi. Ende: Nusa Indah, 1999
Peschke, Karl Heinz. Etika Kristiani Jilid III- Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi. Maumere: Ledalero, 2003
Roger, R. “Sistem Perkawinan Adat Manggarai: Menelisik Makna Belis”, dalam www.wordpress.com/tag/budaya-perkawinan-Manggarai, 2011



[1] Anthony Bagul Dagur, Kebudayaan Manggarai sebagai Salah Satu Khasanah Kebudayaan Nasional (Surabaya: Ubhara Press, 1997), p. 39
[2] R. Roger, “Sistem Perkawinan Adat Manggarai: Menelisik Makna Belis”, dalam www.wordpress.com/tag/budaya-perkawinan-Manggarai, 2011, Diakses pada 3 April 2012
[3] Ibid.                            
[4] Ibid.
[5] Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (Ende: Nusa Indah, 1999), pp. 23- 25
[6] Adi M. Nggoro, Budaya Manggarai – Selayang Pandang (Ende: Nusa Indah, 2006), pp. 110- 125
[7] Secara etimologis, ungkapan cumang cama koe terdiri dari kata cumang (bertemu), cama (sama) dan koe (kecil).
[8] Ungkapan tuke mbaru terdiri dari dua kata dasar, yaitu tuke (naik) dan mbaru (rumah)
[9] Istilah paluk kila terdiri dari kata dasar paluk (menukar) dan kila (cincin)
[10] Secara etimologis, kata pongo berarti mengikat
[11] Konferensi Waligereja Indonesia, Pedoman Pastoral Keluarga (Jakarta: Obor, 2011), p. 6
[12] Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1988), p. 9
[13] Christoper Danes & Simon, Masalah-Masalah Moral  Sosial Aktual dalam Perspektif Iman Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 49
[14] Timotius I. Ketut Adi Hardana, Kursus Persiapan Perkawinan (Jakarta: Obor, 2010), p. 10
[15] Ibid., p. 11
[16] Ibid., p. 13
[17] Eligius Anselmus Fau, Persiapan Perkawinan Katolik (Ende: Nusa Indah, 2000), p. 59
[18] Brayat Minulyo, Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Kanisius, 2007), p.18
[19] Eligius Anselmus Fau, Op. Cit., p. 60
[20] Ibid., pp. 58-59
[21] Timotius I. Ketut Adi Hardana, Op. Cit., pp. 36-37
[22] Karl Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III- Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi (Maumere: Ledalero, 2003), p. 327
[23] Eligius Anselmus Fau, Op. Cit., p. 57

2 comments: