Saturday, February 15, 2014

KDRT



 KDRT: Hakikat, Solusi dan Refleksi Teologis
1. Pengantar
Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa. Perselisihan pendapat lumrah terjadi. Tetapi, semua itu tidak serta merta disebut sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). KDRT jauh lebih buruk. Hal ini biasanya terjadi jika hubungan antara korban dan pelaku tidak setara. Lazimnya, pelaku kekerasan mempunyai status dan kekuasaan yang lebih besar baik dari segi ekonomi, kekuatan fisik, maupun status sosial dalam keluarga. Pelaku yang dimaksud dalam hal ini adalah kaum pria (suami). Dan karena posisinya yang khusus ini, maka kaum pria (suami) kerapkali memaksakan kehendaknya untuk diikuti oleh kaum perempuan (isteri). Untuk mencapai keinginannya, kaum pria (suami) akan menggunakan berbagai cara, kalau perlu dengan menggunakan cara kekerasan. KDRT, khususnya penganiayaan terhadap isteri merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Masalah KDRT merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan zaman ini. Inilah yang menjadi fokus dari tulisan ini.
2.             Kekerasan Pada Umumnya
2.1         Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras; kekuatan paksaan. Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Jadi, kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan.[1]
R. Rudi merumuskan kekerasan sebagai serangan atau pemyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan penghancuran, perusakan yang keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik sesorang. Menurut J. Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi  sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.[2]
Berdasarkan beberapa pemikiran di atas, dapat dikatakan bahwa kekerasan adalah salah satu tingkah laku sosio-patok (penyakit sosial) yang mempuyai  ciri merugikan dirinya dan orang lain serta lingkungan sekitar. Tingkah laku seperti ini tidak sesuai dengan norma kebaikan dan hukum formal, sehingga tidak diterima umum bahkan secara legal diberikan sanksi atau hukuman.
2.2         Rupa-Rupa Dimensi Kekerasan
Masyarakat Indonesia sangat majemuk, baik secara budaya, etnis, pekerjaan dan agama. Kemajemukan ini dapat membawa konflik dan kekerasan. Konflik mengakibatkan kerusuhan yang meningkat ke bentuk-bentuk kekerasan, seperti penjarahan, pemerkosaan, pembunuhan dan penghancuran atau pembakaran harta milik orang lain. Kekerasan yang sedang berlangsung di negeri bahkan di tempat kita tinggal menunjukkan rupa-rupa dimensi kekerasan, antara lain kekerasan psikologis, kekerasan lewat imbalan, kekerasan tidak langsung, kekerasan tersamar, kekerasan tidak disengaja, kekerasan tersembunyi atau laten[3] dan kekerasan gender.
3.             Hakikat Kekerasan dalam Rumah Tangga
3.1         Pengertian
Kekerasan dalam  rumah tangga atau kekerasam domestik  adalah  kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pihak keluarga terhadap anggota keluarganya dalam bentuk kekerasan fisik (yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat), kekerasan psikis (yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya), kekerasan seksual (yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu), dan kekerasan ekonomi yang berkaitan dengan penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Penelantaran itu berlaku juga bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.[4]
3.2         Penyebab KDRT
KDRT dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab. Ada beberapa sebab yang lazim menjadi dasar adanya KDRT, seperti pertengkaran soal uang, cemburu, problem seksual,[5] kurangnya komunikasi antara suami dan isteri, dan sebagainya.
3.2.1   Pertengkaran Soal Uang
Uang merupakan salah satu yang utama dalam kehidupan rumah tangga terutama dalam memenuhi semua kebutuhan hidup rumah tangga. Uang dikatakan sebagai faktor pencetus kekerasan dalam rumah tangga karena pengelolaan keuangan di dalam keluarga diatur sepenuhnya oleh suami dan dimanfaatkan hanya untuk kebutuhan harian keluarga, seperti kebutuhan memasak tanpa memperhitungkan kebutuhan lain dari seorang istri atau anak separti pakaian, kesehatan, dan lain sebagainya.
3.2.2   Cemburu
Istri yang memiliki pekerjaan dan mempunyai kedudukan atau penghasilan yang lebih tinggi, seringkali menyebabkan sang suami merasa rendah diri dan ini merupakan benih kecemburuan. Hal ini juga dikarenakan istri adalah seorang yang pandai bergaul sehingga sang istri memiliki banyak sahabat, baik laki-laki maupun perempuan yang pada akhirnya menyebabkan suami menjadi cemburu dan melahirkan tindakan kekerasan.
3.2.3   Problem Seksual
Problem-problem seksual yang muncul dalam keluarga berupa impotensi dan hiperseks, suami menunjukkan sikap atau cara yang brutal atau kasar dalam hubungan seks sehingga istri menarik diri secara fisik dan psikis yang menyebabkan suami merasa diri ditolak dan pada akhirnya melahirkan kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar untuk tujuan tertentu. Kekerasan seksual ini terdiri dari kekerasan seksual berat dan kekerasan seksual ringan.
Kekerasan seksual berat berupa pelecehan seksual dengan kontak fisik seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak atau jijik, pemaksaan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran atau tujuan tertentu, terjadinya hubungan seksual di mana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi, dan tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit atau luka. Sedangkan kekerasan psikis ringan berupa pelecehan seksual secara verbal seperti gurauan porno, siulan, ejekan dan pelecehan seksual secara non-verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban dan bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
3.2.4   Kurangnya Komunikasi antara Suami dan Isteri
Ada banyak faktor yang menjadikan sebuah keluarga dapat mencapai kebahagiaan, keharmonisan dan kelanggengan. Faktor-faktor itu antara lain kesamaan latar belakang kepercayaan, adanya sikap saling pengertian, adanya cinta dan komunikasi yang berjalan baik.

Komunikasi merupakan hal mendasar dalam kehidupan berkeluarga. Komunikasi yang tidak diolah dengan baik dapat memunculkan kesalahpahaman. Salah satu kunci keharmonisan rumah tangga  adalah komunikasi dan dialog yang intensif dan sehat antara suami dan isteri. Komunikasi hendaknya dijadikan sebagai seni untuk mempengaruhi orang lain, termasuk seni untuk membahagiakan pasangan.
Ketiadaan komunikasi dalam keluarga disebabkan oleh banyak hal, misalnya karena adanya kesibukan dalam kerja. Komunikasi yang hambar menyebabkan semakin berkurangnya kemesraan di antara suami-isteri dan bahkan bisa menimbulkan ketegangan dan perselisihan. Oleh karena itu, diperlukan pengertian dan usaha yang mendalam dari kedua pasangan agar komunikasi dapat berjalan secara kontinu.
3.3         Dampak-Dampak KDRT
Masalah kekerasan dalam rumah tangga akan membawa trauma bagi korban kekerasan. Trauma adalah luka-luka jiwa yang disebabkan oleh karena seseorang mengalami suatu peristiwa atau kejadian di luar situasi normal. Bertolak dari semua hal yang telah diuraikan, maka dapat dijelaskan bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga dapat melahirkan dampak jangka pendek dan jangka panjang.[6]
3.3.1   Dampak Jangka Pendek
Dampak jangka pendek yang dialami korban biasanya sesaat saja, seperti gangguan pada organ reproduksi (kerusakan selaput darah robek dan sebagainya) dan luka pada bagian tubuh lain sebagai akibat perlawanan atau penganiayaan fisik. Dampak lain adalah dampak psikologis di mana korban akan menjadi sangat marah dan jengkel, merasa bersalah, malu dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur dan kehilangan nafsu makan.
3.3.2   Dampak Jangka Panjang
Dampak jangka panjang dapat terjadi apabila korban kekerasan tidak mendapat penanganan atau bantuan (konseling psikologis) yang memadai. Dampak jangka panjang ini dapat berupa sikap atau persepsi yang negatif terhadap laki-laki atau terhadap seks dan juga mengalami sakit yang berkepanjangan sampai dengan cacat bahkan meninggal. Dampak lain yang muncul adalah perempuan dapat merasakan kehilangan kepercayaan dan konsep diri bahkan pada situasi tertentu dapat menjadi gila.
4.             Pentingnya Pendidikan Nilai di Dalam Keluarga: Salah Satu Solusi Mengatasi Masalah KDRT
Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya masalah KDRT adalah dengan memberikan pendidikan nilai di dalam keluarga. 
4.1         Pengertian Pendidikan Nilai
Pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Pendidikan nilai merupakan bantuan terhadap seseorang agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada seseorang agar memiliki modal nilai yang menjadi prinsip dan petunjuk dalam kehidupan.[7] Dengan demikian, mereka menyadari nilai kebenaran, kebaikan, kebersamaan, dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Dengan memiliki nilai moral, maka segala tindakan seseorang akan terkontrol karena dilakukan dengan pertimbangan nilai yang matang.
Pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai–nilai dalam diri sesorang. Pendidikan nilai dimaksudkan agar nilai-nilai tersebut dapat diinternalisasi dalam diri seseorang. Proses penanaman nilai dalam keluarga tidak dijalankan secara formal instruksional, tetapi dengan pendekatan familiaris antara orang tua dan anak-anak, yaitu melalui pengalaman hidup yang ada dalam keluarga tersebut. Pendidikan nilai mengarahkan keluarga pada situasi hidup yang dilandasi dengan nilai-nilai seperti cinta kasih, penuh damai dan keadilan.
4.2         Tujuan Pendidikan Nilai
Salah satu tujuan pendidikan nilai adalah membuat orang sadar bahwa nilai merupakan pedoman bertindak dan pola tingkah laku setiap orang. Kesadaran mengenai pentingnya nilai dalam kehidupan merupakan hal penting agar setiap orang dapat menghargai nilai dan menghayati nilai-nilai itu dalam kehidupan konkret. Kesadaran ini akan muncul dalam diri setiap anggota dalam rumah tangga melalui proses-proses tertentu. Rekoleksi, ret-ret, doa bersama adalah bentuk-bentuk penyadaran pada setiap anggota keluarga akan pentingnya nilai.
4.3         Landasan Pendidikan Nilai dalam Keluarga
Gereja memberikan perhatian yang besar terhadap kehidupan keluarga (suami, istri dan anak-anak), khususnya terhadap orang tua dalam hak dan kewajiban untuk melahirkan, mendidik dan membesarkan anak. Gereja tetap mengajak para orang tua untuk memperhatikan tugas pendidikan dalam keluarga, khususnya pendidikan terhadap anak-anak. Orang tua dari kodratnya mengemban tugas membesarkan dan mendidik anak. Orang tua berperanan sebagai pendidik utama dan pertama.
Gereja berkeyakinan bahwa tugas pendidikan ini begitu penting, sehingga bila tidak dijalankan oleh orang tua maka sulit dilengkapi. Kehadiran seorang ayah dan ibu dalam keluarga adalah kebutuhan dasar bagi anak-anak. Hubungan kasih antara ayah dan ibu merupakan pengalaman kasih Tuhan dan pengalaman kasih itu semakin nampak dalam kehadiran anak di tengah keluarga. Tugas orang tua adalah menjaga dan membina hubungan keluarga agar tetap kondusif, sehingga keluarga dapat memberikan jawaban yang nyata terhadap kasih Tuhan. Orang tua selaku pendidik utama harus memiliki pemahaman dasar tentang nilai-nilai agar kehidupan dalam rumah tangga tetap terjaga.
4.4         Pendidikan Nilai sebagai Solusi terhadap Masalah KDRT
Orang tua memiliki andil dan peranan yang sangat menentukan dalam keluarga. Merekalah yang menjadi pendidik yang paling utama dalam menentukan masa depan anak-anak.  Orang tua memberikan kasih sayang kepada anak-anak melalui kata-kata, tindakan, teladan dan hubungan yang penuh cinta dan damai. Pendidikan yang diwariskan orang tua dan dikembangkan dalam keluarga adalah pendidikan yang menyeluruh meliputi pendidikan iman, nilai dan moral.[8]
Orang tua hendaknya mengarahkan pendidikan dalam keluarga kepada nilai-nilai hakiki kehidupan manusiawi. Dalam pendidikan nilai, anak-anak dibimbing untuk memahami tingkatan yang baik dari bermacam-macam nilai. Pendidikan nilai didukung dengan kekayaan warisan nilai-nilai luhur dan mulia yang sudah dihayati dalam kehidupan Gereja dan masyarakat. Ada banyak nilai yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pendidikan nilai, antara lain seksualitas, solidaritas, keadilan, kejujuran, penolakan kekerasan dan kemajemukan.[9]
Pertama, seksualitas merupakan dimensi kehidupan yang penting dari setiap orang. Pemahaman dan sikap yang benar akan seksualitas membantu anak untuk memahami dirinya sebagai laki-laki atau wanita dan bersikap hormat pada lawan jenis. Dengan pemahaman tersebut, mereka akan siap menghayati panggilan hidup dalam perkawinan. Dewasa ini, ada tantangan yang besar dalam hal penghayatan seksual. Media massa dan alat-alat teknologi modern cenderung mengeksploitasi penyimpangan seksual, misalnya dengan menyebarluaskan pornografi, perselingkuhan, perceraian dan berita-berita sensasional lainnya. Perubahan pesat di bidang moral ini menimbulkan banyak kegelisaan dan pertanyaan. Ada banyak orang yang tidak lagi mempunyai pegangan tentang hidup, baik dalam soal hidup, seks maupun perkawinan.

Kedua, solidaritas, keadilan, kejujuran dan penolakan terhadap kekerasan merupakan beberapa nilai yang sangat penting dalam membangun kehidupan bersama. Dewasa ini, masyarakat kita diwarnai oleh sikap-sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Sikap egois mendorong banyak orang untuk menghalalkan segala cara demi memenuhi keinginan, kebutuhan dan ambisi pribadi.
Ketiga, kemajemukan adalah ciri khas masyarakat Indonesia yang berdasarkan latar belakang yang berbeda-beda, baik suku, budaya, maupun agama. Kemajemukan menjadi sarana dan wahana untuk saling melengkapi dan memperkaya. Perbedaan-perbedaan tersebut, khususnya agama dijadikan sumber konflik.
Berhadapan dengan situasi demikian, Gereja dapat membantu keluarga-keluarga untuk mengambil sikap yang tepat terhadap krisis nilai ini. Sikap yang dianjurkan menghadapi krisis tersebut adalah terbuka dan taat terhadap tanda-tanda zaman, berhati-hati, peka dan kritis dalam menilai serta mendengarkan Sabda Tuhan.
Pendidikan nilai harus menyadarkan anggota keluarga tentang hakikat dan tujuan hidupnya masing-masing. Keluarga dituntut untuk menata dan mengembangkan sebuah korelasi sosial yang harmonis dan seimbang, baik dengan dirinya sendiri, sesama anggota keluarga maupun dengan lingkungannya. Keluarga dituntut untuk senantiasa melakukan hal-hal yang baik dan mengalahkan yang jahat. Mereka dituntut untuk memenuhi tuntutan moral. Keluarga harus berani keluar dari diri sendiri, egosentrisme pribadi, keberanian untuk berkorban dan menanggung resiko demi mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai luhur seperti kebenaran, keadilan dan cinta kasih, karena kesadaran dan kesetiaan pada komitmen moral menghantar kehidupan keluarga kepada pemahaman yang benar mengenai hakikat dan martabatnya.
Kesadaran akan pentingnya nilai-nilai dalam kehidupan akan mendorong kehidupan rumah tangga untuk senantiasa setia menghayati nilai-nilai hidup Kristiani. Hal ini dapat memajukan kehidupan rumah tangga dan kehidupan sosial yang lebih manusiawi dan lebih harmonis. Peran pendidikan nilai dalam pembentukkan keluarga yang kondusif, bebas dari tindakan kekerasan sangat besar dan bermanfaat. Dengan demikian, menghidupkan nilai-nilai dalam kehidupan rumah tangga bukan diajarkan melalui teori-teori, melainkan dengan teladan dan pengalaman yang diperoleh dari pergaulan hidup keluarga sehari-hari.
Pendidikan nilai menjadi penting dalam mengurangi tindakan kekerasan dalam rumah tangga karena keluarga yang merupakan satu komponen kehidupan sosial kemasyarakatan telah dan sedang berada dalam situasi problematik. Ada sekian banyak problem dalam kehidupan rumah tangga yang mendesak untuk ditangani. Problem-problem tersebut adalah kurang adanya penghayatan nilai-nilai dan kurang adanya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai bagi kehidupan pribadi dan keluarga itu sendiri.
Pendidikan nilai yang diajarkan dalam keluarga Kristiani merupakan suatu yang sangat penting dalam menciptakan kehidupan rumah tangga yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan. Tujuan lain dari pendidikan nilai adalah membuat orang sadar bahwa nilai merupakan pedoman bertindak dan pola tingkah laku setiap orang. Mengarahkan, menjelaskan nilai, menganalisis arti dari situasi konkret itu dalam konteks yang lebih luas merupakan proses penyadaran.[10]  Dari kodratnya, manusia tahu membedakan apa yang baik dan apa yang jahat dan apa yang benar dan apa yang salah.
Pentingnya merevitalisasi nilai-nilai dalam kehidupan rumah tangga merupakan salah satu hal penting yang harus ditanamkan di dalam kehidupan rumah tangga, sebab pendidikan nilai akan melahirkan kebersamaan, solidaritas sosial, cinta kasih dan sebagainya. Kehidupan keluarga merupakan suatu panggilan untuk mengabdi Allah. Karena itu, setiap anggota keluarga dituntut untuk bertanggung jawab agar dapat membangun sebuah masyarakat yang lebih baik yang memiliki nilai-nilai Kristiani.



5.             Refleksi Teologis atas KDRT
Kehidupan rumah tangga Kristen merupakan suatu persekutuan pribadi-pribadi yang di dalamnya tercipta suatu sikap dan tindakan untuk saling menghormati, menghargai dan mencintai satu sama lain. Paus Yohanes Paulus II, dalam Ensiklik Familiaris Consortio, mengatakan bahwa:
“Dalam persekutuan serta rukun hidup antarpribadi, separti adanya dan seharusnya, keluarga menemukan dalam cinta kasih sumber serta dorongan terus menerus, untuk menyambut, menghormati dan mengembangkan masing-masing anggotanya dalam martabatnya yang luhur sebagai pribadi, artinya sebagai gambar Allah yang hidup” (FC 22).

Namun, dalam kenyataannya sudah sekian lama kehidupan dalam rumah tangga mengalami ketidakadilan, kekerasan dan lain sebagainya yang membuat kehidupan rumah tangga terus berada dalam kehancuran dan penderitaan, baik penderitaan yang terjadi pada kaum wanita maupun pada anak-anak. Kenyataannya menunjukkan bahwa sudah sekian sering ketidakadilan terjadi dalam keluarga. Media elektronik dan media masa seringkali menampilkan dan memaparkan kekerasan atau ketidakadilan yang terjadi dalam keluarga. Sasaran dari ketidakadilan dan kekerasan itu adalah kaum wanita dan anak-anak.
Situasi seperti di atas tentunya menciptakan suatu ketidakadilan dan menjadi petaka yang besar terhadap kehidupan dalam rumah tangga itu sendiri. Kehidupan keluarga Kristiani yang akan datang harus dapat mengubah tatanan yang tidak adil ini dengan meninggalkan nilai-nilai yang membedakan secara tajam dan mengagungkan serta membenarkan dominasi laki-laki dalam kehidupan rumah tangga. Kehidupan keluarga Kristen di masa yang akan datang diharapkan dibangun atas dasar nilai-nilai Kristiani. Bapa dan ibu merupakan kepala keluarga dan anak merupakan buah hati yang harus dididik dan dibina secara manusiawi. Keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga harus diambil dan dimusyawarahkan bersama agar keluarga Kristiani tetap kokoh dan selalu harmonis.

Kesadaran akan pentingnya nilai-nilai dalam kehidupan akan mendorong setiap individu untuk senentiasa setia menghayati nilai-nilai hidup keagamaan. Hal ini akan menjadikan setiap individu memajukan kehidupan keluarga, kehidupan sosial yang lebih manusiawi dan lebih harmonis. Penghayatan hidup relegius yang baik dan benar dapat mengendalikan dan mengatasi pelbagai bentuk kekerasan dan konflik yang terjadi dalam rumah tangga dan dalam kehidupan sosial.
Keluarga sebagai basis pendidikan nilai dapat menampilkan beberapa nilai. Pertama, menjalin hubungan yang akrab dengan Allah, lewat doa dan liturgi. Kedua, kebebasan yang bertangung jawab. Hidup di dalam rumah tangga yang serba terikat akan sulit berkembang. Setiap anggota keluarga harus diberi kebebasan bergerak sehingga anggotanya dapat kreatif dalam hidup, sehingga melahirkan hidup yang bermakna bagi diri dan keluarga serta masyarakat. Ketiga, merasa kehilangan dan mencari, karena ada cinta dan kemesrahan hidup dalam keluarga. Keempat, kelemah-lembutan dan tidak mau menang sendiri, sikap (kata-kata dan perbuatam) yang lemah lembut dan menghancurkan kekerasan hati, kemarahan dan balas dendam. Kelima, mau mendengarkan dan menerima apa adanya. Setiap anggota keluarga harus bisa mendengarkan satu sama lain dan mau menerima apa adanya, sehingga kehidupan keluarga akan tenteram.
Kelima nilai di atas merupakan suatu upaya untuk membangun kesadaran baru dalam kehidupan keluarga. Nilai tersebut dihayati dan dihidupkan di dalam keluarga Kristiani, sehingga tindakan kekerasan dalam keluarga dan masyarakat tidak akan terjadi.
Hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan  yang terjadi dalam rumah tangga antara lain pertama, membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial dan bukan individual serta merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan Hak Asasi Manusia. Kedua, dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sanksi hukum. Ketiga, mengkampanyekan sikap melawan penayangan acara-acara yang diwarnai aksi kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima pengharggaan. Keempat, mendampingi korban kekerasan dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta menempatkannya dalam tempat penampungan, sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.
6.             Penutup
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan tanggung jawab semua pihak. Salah satu solusi alternatifnya adalah kembali atau menghidupkan lagi pendidikan nillai dalam kehidupan keluarga. Pendidikan nilai harus diterapkan secara maksimal dalam lingkungan masyarakat, khususnya dalam kehidupan keluarga. Keluarga adalah wadah pendidikan nilai yang paling ideal dalam menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan. Peran orang tua sebagai pelaku pendidikan harus dioptimalkan dan kondisi keluarga juga harus memungkinkan proses pendidikan nilai itu dapat terwujud dengan baik. Dengan mengoptimalkan peran orang tua melalui tanggung jawab dan pengalaman-pengalaman yang baik dalam sikapnya sehari-hari, maka pendidikan nilai itu dapat terwujud dengan baik, sehimgga kehidupan keluarga tetap utuh dan penuh dengan nilai-nilai kehidupan.









DAFTAR PUSTAKA
                                                                             
Kaswardi, E. M. K. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Gramedia, 1993
Komisi Kateketik KWI. Persekutuan Murid-Murid Yesus- Buku Guru Pendidikan Agama Katolik untuk SMA kelas II. Yogyakarta: Kanisius, 2004
Konferensi Waligereja Indonesia. Pedoman Pastoral Keluarga. Jakarta: Obor, 2011
LBPP DERAP. Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak yang Menjadi Korban Kekerasan. Jakarta: Warapsari, 2003
Mulyana, Rachmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta, 2004
Nur Hayati, Elli. Panduan untuk Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan. Yogyakarta: Kanisius, 2000
Poerwadarminta,W. J. S. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976
S. Indra. Faktor-Faktor Penting dalam Kehidupan Keluarga Bahagia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980
Windhu, I. Marsana. Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius, 1992

 














                                               



[1] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), pp. 487-488
[2] I. Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung (Yogyakarta: Kanisius, 1992), pp. 1-8
[3] Komisi Kateketik KWI, Persekutuan Murid-Murid Yesus- Buku Guru Pendidikan Agama Katolik untuk SMA kelas II (Yogyakarta: Kanisius, 2004), p. 25
[4] Indra S., Faktor-Faktor Penting dalam Kehidupan Keluarga Bahagia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), p. 45
[5] LBPP DERAP, Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak yang Menjadi Korban Kekerasan (Jakarta: Warapsari, 2003), p. 23
[6] Elli Nur Hayati, Panduan untuk Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan (Yogyakarta: Kanisius, 2000), pp. 29-30
[7] Rachmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2004), pp. 55-56
[8] Konferensi Waligereja Indonesia, Pedoman Pastoral Keluarga (Jakarta: Obor, 2011), p. 28
[9] Ibid., pp. 37-38
[10] E. M. K. Kaswardi, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000 (Jakarta: Gramedia, 1993), pp. 27-29

No comments:

Post a Comment