Friday, March 1, 2013

BAHAN KULIAH SPIRITUALITAS
PRODI PGSD STKIP ST. PAULUS RUTENG
OLEH; CHRISPINUS H. JEBARUS, S. FIL
NIDN: 0809068002

PENGANTAR PERKULIAHAN

Kehidupan spiritualitas seseorang bukan hanya merupakan topik perbincangan di kalangan orang beragama atau para teolog saja. Pada waktu buku Daniel Goleman, seorang doktor psikologi dari Harvard, yang berjudul Emotional Intelligence (EI) terbit pada 1995, para pakar pendidikan dan bidang lain maupun orang awam mulai ramai membahas dan menulis tentang kepentingan dan peran kecerdasan emosi yang dikaitkan dengan keefektifan kecerdasan intelektual. Beberapa tahun kemudian, yaitu tahun 2000 tema tentang kecerdasan spiritual (Spiritual Intelligence/SI) menggeser topik pembahasan dan penulisan mengenai EI. SI dianggap sebagai faktor penentu bagi keefektifan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi. Orang-orang pun mulai memberikan definisi mengenai kecerdasan spiritual.
Zohar memberikan definisi tentang kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk mengfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi kita.[1]
Apabila EQ memampukan seseorang mengambil keputusan untuk bersikap tepat dalam situasi yang dihadapinya, maka SI memampukan seseorang untuk memutuskan apakah ia mau berada di dalam situasi seperti itu atau tidak. Jadi, EQ bekerja dalam batasan situasi, sedangkan SQ memampukan seseorang untuk dapat mengubah atau memperbaiki situasi yang dihadapinya.
Margot Cairnes, seorang pakar pendidikan dan pakar dalam menyusun strategi memberikan definisi yang mengkonfirmasi apa yang telah dinyatakan oleh Zohar dengan mengatakan bahwa SI adalah kemampuan seseorang untuk bertanya, berpikir dengan kreatif, mengubah aturan-aturan, bekerja dengan efektif dalam situasi yang berubah melampaui batasan-batasan yang ada, menembus halangan-halangan yang ada dan membuat inovasi.[2] Gordon Moyes menganjurkan seseorang untuk memiliki hubungan spiritual yang benar dengan Allah jika ingin memiliki SI, IQ dan EQ yang produktif sebagaimana seharusnya.[3] Atau dengan perkataan lain, spiritualitas merupakan sesuatu yang penting dan melandasi kecerdasan intelektual dan emosional.
Lawrence O. Richards menjabarkan beberapa definisi tentang spiritualitas yang pada intinya menyatakan bahwa spiritualitas seseorang tidak terpisahkan dari relasi orang tersebut dengan Allah. Sedangkan relasi dengan Allah merupakan dasar relasi orang itu dengan sesama manusia dan yang lainnya di dunia ini. Irish V. Cully, seorang edukator Protestan, percaya bahwa hidup di hadapan Allah menolong seseorang untuk memiliki suatu kehidupan yang selaras dengan tujuan Allah bagi dirinya dan dunia ini. Pada dasarnya kehidupan spiritualitas seseorang tidak boleh dilepaskan dari realitas kehidupan orang tersebut.
Setelah pembahasan definisi, orang-orang pun mulai membahas bagaimana cara seseorang mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi. Apakah itu dapat dipelajari? Tentu saja semua itu bergantung pada pendefinisian yang dianut olch seseorang. Apabila definisi kecerdasan spiritual bertitik tolak dari manusia dan diakhiri oleh manusia, maka kecerdasan spiritual dapat dicapai atas usaha yang dimulai dan diakhiri oleh manusia. Dengan kata lain, sejauhmana ia berusaha, sejauh itu jugalah kecerdasan spiritualnya. Apabila definisi kecerdasan spiritual bertitik tolak dari kerja sama Tuhan dengan orang itu dan dalam proses pertumbuhannya juga melibatkan kerja sama Tuhan dengannya, maka ketinggian kecerdasan spiritual seseorang bergantung kerja samanya dengan Tuhan. Jika definisi kecerdasan spiritual itu hanya bertitik tolak dari Tuhan dan melibatkan kerja sama Tuhan dan manusia dalam proses pencapaian ketinggiannya, maka kecerdasan spiritual hanya bisa diawali oleh campur tangan Tuhan dan proses pertumbuhannya melibatkan Tuhan dan orang itu sendiri. Selain itu, muncul pertanyaan lain, yakni bagaimana seseorang bisa tahu bahwa ia sudah memiliki kecerdasan spiritual yang seharusnya jika ia tidak memiliki acuan yang mutlak? Baik ateis, humanis ataupun yang lainnya, pada akhirnya akan mengacu pada apa yang dianggap tolok ukur oleh diri mereka masing-masing. Berbicara tentang definisi dan cara mencapai kecerdasan spiritual, sebagai orang Kristen tentu saja acuan kita adalah Firman Tuhan. Karena itu, sesuai dengan konteks dan maksudnya, maka pembahasan mengenai kecerdasan spiritual akan dibatasi dalam konteks kekristenan saja.



Ada beberapa tolok ukur yang dipakai oleh orang Kristen pada zaman ini untuk mengukur spiritualitas seseorang.
1.        Keterlibatan seseorang dalam aktivitas-aktivitas kerohanian. Contohnya, semakin sering ia mengikuti persekutuan doa atau ke Gereja, maka ia dinilai lebih rohani dari yang tidak melakukannya;
2.        Keterlibatan seseorang dalam berbagai pelayanan sosial, misalnya orang yang banyak terlibat dalam menolong dan berjuang untuk orang lain yang terkena bencana atau dilecehkan oleh sesamanya, maka orang tersebut dinilai memiliki kepekaan rohani yang lebih tinggi dari yang lain;
3.        Penampakan fenomena supranatural melalui kehidupannya, misalnya orang yang dapat mendemonstrasikan berbagai macam mujizat atau orang yang mengalami berbagai macam kejadian yang bersifat supranatural, maka ia dinilai lebih dekat hubungannya dengan Tuhan dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengalaman yang demikian;
4.        Penampakan pola hidup yang menjauhkan diri dari kegiatan "duniawi." Karena itu, orang yang tidak pernah menonton film, tidak pernah ke kafe atau ke pesta dansa dinilai lebih kudus dari orang yang suka pergi ke tempat-tempat seperti itu;
5.        Pemakaian atribut Kristiani. Misalnya, orang yang selalu membawa Alkitab, memakai asesoris Kristen (kalung salib, anting salib, T -Shirt berslogan atau bergambar Kristiani) atau selalu mendengarkan lagu-lagu Kristen dianggap lebih cinta Tuhan dari yang tidak memakainya.
Apakah itu semua benar-benar dapat dipakai sebagai suatu ukuran untuk pencerminan spiritualitas Kristen yang sejati? Untuk menjawabi pertanyaan ini, maka pembahasan selanjutnya tentang SPIRITUALITAS KRISTIANI dimaksudkan agar mahasiswa-mahasiswa memiliki pemahaman yang tepat tentang spiritualitas, sehingga perwujudannya pun benar-benar mendalam.

           



BAB I
HAKEKAT SPIRITUALITAS

1.1  Pengertian Spiritualitas
1.1.1   Pengertian Secara Etimologis
Spiritualitas berasal dari kata bahasa Latin Spiritus yang berarti semangat, nafas hidup, roh, jiwa, sikap, kesadaran diri dan keberanian. Kata spiritus ini berasal dari kata kerja spirare yang berarti berhembus, bertiup, bersemangat. [4] Dalam percakapan sehari-hari, penggunaan kata spiritualitas sering dipertentangkan dengan kata “material” atau “korporalitas”. Di sini, spiritualitas berkaitan dengan roh yang berlawanan dengan materialitas yang berkaitan dengan kebendaan atau korporalitas, berkaitan dengan tubuh atau badan.
Dalam arti sebenarnya, spiritualitas berarti hidup berdasarkan atau menurut Roh. Dalam konteks hubungan dengan Yang Transenden, roh itu adalah Roh Allah sendiri. Jadi, spiritualitas adalah hidup yang didasarkan pada pengaruh dan bimbingan Roh Allah. Dengan spiritualitas, manusia bermaksud membuat diri dan hidupnya dibentuk sesuai dengan semangat dan cita-cita Allah.
Spiritualitas adalah keberadaan seseorang yang tahu bagaimana ia harus berelasi dengan Tuhan, sesama, dirinya sendiri dan ciptaan lain dan hidup berdasarkan apa yang ia tahu tersebut. Pengetahuan itu sendiri tidak bersumber dari pola pikir manusia, tetapi harus bersumber dari pola pikir Allah yang telah dinyatakan melalui Firman-Nya. Ia sebagai Pencipta segala sesuatu di dunia ini, la jugalah yang mengetahui bagaimana semua ciptaan-Nya harus menjalani kehidupan mereka masing-masing. Spiritualitas jalan untuk memahami keberadaan dan kehidupan manusia yang berkaitan dengan pencarian nilai-nilai luhur untuk mencapai tujuan hidupnya. Spiritualitas adalah keterarahan batin dalam setiap sikap yang diambil.[5] Keterarahan itu berdasarkan sesuatu yang rohani yang mengatasi diri sendiri. Istilah spiritualitas mengandung nada cita-cita yang menjiwai seluruh diri, seluruh cara bersikap dan bertindak dari seseorang.

1.1.2   Pengertian Menurut Para Ahli
1.1.2.1  Menurut Halkes
Halkes menegaskan dinamika Roh Kudus dalam memahami spiritualitas ketika ia menyatakan : “Spiritualitas merupakan sebuah sikap hidup yang berorientasi kepada Roh Kudus sebagai dorongan untuk hidup dalam keadilan dan kasih suatu kehidupan yang di dalamnya Roh diberikan kesempatan untuk berperan“. [6]
1.1.2.2  Menurut Lascaris
Lascaris berpendapat bahwa spiritualitas merupakan suatu penghayatan iman yang di dalamnya penghayatan tidak hanya menyangkut suatu pengalaman, tetapi sekaligus sebuah praktek beriman yaitu berbuat sesuatu. [7]
1.1.2.3  Menurut Tischler
Tischler mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara, berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih. Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari manusia”adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Pengertian spiritualitas ini memiliki dua komponen, yaitu:
a)        Komponen Vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan waktu, sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa.
b)        Komponen Horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet secara keseluruhan.

Komponen vertikal sejalan dengan pengertian spiritualitas dari Schreurs yang memberikan pengertian spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan pengharapannya terhadap Yang Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, spiritualitas diartikan sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang datang melalui kesadaran akan dimensi transenden dan memiliki karakteristik beberapa nilai yang dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang Kuasa.
Sedangkan komponen horizontal sejalan dengan pengertian spiritualitas dari Fernando yang mengatakan bahwa spiritualitas juga bisa tentang perasaan akan tujuan, makna, dan perasaan terhubung dengan orang lain. Pendapat ini tidak memasukkan agama dalam mendefinisikan spiritualitas.
1.2  Komponen-Komponen Spiritualitas
Menurut Elkins, terdapat delapan (8) komponen spiritualitas, yaitu dimensi transenden, makna dan tujuan dalam hidup, misi hidup, kesakralan hidup, nilai-nilai material, altruisme, idealisme, serta kesadaran akan peristiwa tragis. Komponen-komponen spiritualitas menurut Elkins mencakup hubungan seorang individu dengan daya yang melebihi dirinya dan juga dengan orang-orang di sekitarnya. Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen-komponen di atas.
1.2.1   Dimensi Transenden
Individu spiritual percaya akan adanya dimensi transenden dari kehidupan. Inti yang mendasar dari komponen ini bisa berupa kepercayaan terhadap Tuhan atau apapun yang dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden. Individu bisa jadi menggambarkannya dengan menggunakan istilah yang berbeda, model pemahaman tertentu atau bahkan metafora. Pada intinya penggambaran tersebut akan menerangkan kepercayaannya akan adanya sesuatu yang lebih dari sekedar hal-hal yang kasat mata. Kepercayaan ini akan diiringi dengan rasa perlunya menyesuaikan diri dan menjaga hubungan dengan realitas transenden tersebut. Individu yang spiritual memiliki pengalaman bersentuhan dengan dimensi transenden.
1.2.2   Makna dan Tujuan dalam Hidup
Individu yang spiritual memahami proses pencarian akan makna dan tujuan hidup. Dari proses pencarian ini, individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki makna dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masingmasing. Dasar dan inti dari komponen ini bervariasi namun memiliki kesamaan yaitu bahwa hidup memiliki makna yang dalam dan bahwa eksistensi individu di dunia memiliki tujuan.
1.2.3   Misi Hidup
Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin merasa akan adanya takdir yang harus dipenuhi. Pada komponen makna dan tujuan hidup, individu mengembangkan pandangan akan hidup yang didasari akan pemahaman adanya proses pencarian makna dan tujuan. Sementara dalam komponen misi hidup, individu memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target-target konkrit dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut.
1.2.4   Kesakralan Hidup
Individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat kesakralan dalam semua hal hidup. Pandangan akan hidup mereka tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara yang sakral dan yang sekuler, atau yang suci dan yang duniawi, namun justru percaya bahwa semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui dalam hal-hal keduniaan.
1.2.5   Nilai-Nilai Material
Individu yang spiritual menyadari akan banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau uang namun tidak mencari kepuasaan sejati dari hal-hal material tersebut. Mereka menyadari bahwa kepuasaan dalam hidup semestinya datang bukan dari seberapa banyak kekayaan atau kebendaan yang dimiliki.
1.2.6   Altruisme
Individu yang spiritual menyadari akan adanya tanggung jawab bersama dari masing-masing orang untuk saling menjaga sesamanya (our brother’s keepers). Mereka meyakini bahwa tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, bahwa umat manusia terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini sering dipicu oleh kesadaran mereka akan penderitaan orang lain. Nilai humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen untuk melakukan tindakan nyata sebagai perwujudan cinta altruistiknya pada sesama.

1.2.7   Idealisme
Individu yang spiritual memiliki kepercayaan kuat pada potensi baik manusia yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan bukan saja pada apa yang terlihat sekarang namun juga pada hal baik yang dimungkinkan dari hal itu, pada kondisi ideal yang mungkin dicapai. Mereka percaya bahwa kondisi ideal adalah sesuatu yang sebenarnya mungkin untuk diwujudkan. Kepercayaan ini membuat mereka memiliki komitmen untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik, setidaknya dalam kapasitasnya masing-masing.
1.2.8   Kesadaran akan Peristiwa Tragis
Individu yang spiritual menyadari akan perlu terjadinya tragedi dalam hidup seperti rasa sakit, penderitaan atau kematian. Tragedi dirasa perlu terjadi agar mereka dapat lebih menghargai hidup itu sendiri dan juga dalam rangka meninjau kembali arah hidup yang ingin dituju. Peristiwa tragis dalam hidup diyakininya sebagai alat yang akan membuat mereka semakin memiliki kesadaran akan eksistensinya dalam hidup.
1.3  Aspek-Aspek Spiritualitas
Menurut Schreurs, spiritualitas terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek eksistensial, aspek kognitif, dan aspek relasional.
1.        Aspek eksistensial, di mana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self).
2.        Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut. Disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.
3.        Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan di mana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan (dan atau bersatu dengan cinta-Nya). Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan.
1.4  Kompetensi yang Didapat dari Spiritualitas yang Berkembang
Tischler mengemukakan empat (4) kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang, yaitu :
1.             Kesadaran Pribadi (personal awareness), yaitu bagaimana seseorang mengatur dirinya sendiri, penilaian diri yang positif, harga diri, mandiri, dukungan diri, kompetensi waktu, aktualisasi diri;
2.             Keterampilan Pribadi (personal skills), yaitu mampu bersikap mandiri, fleksibel, mudah beradaptasi, menunjukkan performa kerja yang baik;
3.             Kesadaran Sosial (social awareness), yaitu menunjukkan sikap sosial yang positif, empati, altruisme;
4.             Keterampilan Sosial (social skills), yaitu memiliki hubungan yang baik dengan teman kerja dan atasan, menunjukkan sikap terbuka terhadap orang lain (menerima orang baru), mampu bekerja sama, pengenalan yang baik terhadap nilai positif, menerima kritikan.
Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen-komponen di atas. Sebagai contoh, pada sisi kesadaran sosial, orang-orang yang spiritualnya baik memperlihatkan sikap sosial yang lebih positif, lebih empati, dan menunjukkan altruisme yang besar. Mereka juga cenderung untuk merasa lebih puas dengan pekerjaannya.
1.5  Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Spiritualitas
Dyson menjelaskan tiga (3) faktor yang berhubungan dengan spiritualitas. Ketiga faktor itu adalah:
1.        Diri sendiri. Jiwa seseorang dan daya jiwa merupakan hal yang fundamental dalam eksplorasi atau penyelidikan spiritualitas;
2.        Sesama. Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri. Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah lama diakui sebagai bagian pokok pengalaman manusiawi;
3.        Tuhan. Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan. Tuhan dipahami sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atau hakikat hidup. Kodrat Tuhan mengambil berbagai macam bentuk dan mempunyai makna yang berbeda bagi satu orang dengan orang lain. Manusia mengalami Tuhan dalam banyak cara, seperti dalam suatu hubungan, alam, musik, seni, dan hewan peliharaan.
Howard menambahkan satu faktor yang berhubungan dengan spiritualitas, yaitu lingkungan. Young mengartikan bahwa lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar seseorang. Young juga menjelaskan bahwa proses penuaan adalah suatu langkah yang penting dalam perjalanan spiritual dan pertumbuhan spiritual seseorang. Orang-orang yang memiliki spiritualitas berjuang mentransendensikan beberapa perubahan dan berusaha mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan maknanya.














BAB II
HAKEKAT SPIRITUALITAS KRISTIANI

2.1         Pengertian Spiritualitas Kristiani
Spiritualitas Kristen adalah keberadaan seseorang yang berada di dalam relasi yang benar dengan Allah, sesama, dan ciptaan yang lain. Yang dimaksudkan dengan benar di sini bukan berbicara tentang what is (apa yang terjadi), melainkan what ought to (apa yang seharusnya terjadi). Pada waktu kita berbicara tentang apa yang seharusnya terjadi, maka tentu saja sebagai orang Kristen kita mengacunya pada apa yang dinyatakan oleh Firman Tuhan.
Spiritualitas merupakan jalan untuk memahami keberadaan dan kehidupan manusia yang berkaitan dengan pencarian nilai-nilai luhur untuk mencapai tujuan hidupnya. Di dalam agama Kristiani, ‘jalan’ tersebut bukanlah berupa peraturan-peraturan, melainkan berupa ‘Seseorang‘. Dan ‘Seseorang’ ini adalah Yesus Kristus, yaitu Allah yang menjelma menjadi manusia. Dengan kata lain, Spiritualitas Kristiani tidak diawali dengan ide gambaran tentang Allah, tetapi di dalam iman akan Sabda Allah yang menjadi manusia (Yoh 1:14), yaitu Yesus Kristus. Kristuslah pemenuhan Rencana Keselamatan yang dijanjikan Allah. Karena itu, kehidupan Spiritualitas Kristiani berpusat pada Kristus.
Spiritualitas Kristiani adalah pilihan yang kita ambil untuk “mengenal dan bertumbuh” dalam hubungan sehari-hari dengan Tuhan Yesus Kristus dengan menaklukkan diri kepada pelayanan Roh Kudus dalam kehidupan kita. Hal ini berarti bahwa sebagai orang-orang percaya, kita memutuskan untuk menjaga agar komunikasi kita dengan Roh Kudus tetap terbuka melalui pengakuan dosa (1 Yoh. 1:9). Ketika kita mendukakan Roh Kudus dengan berdosa (Ef. 4:30; 1 Yoh. 1:5-8), kita mendirikan penghalang antara kita dan Allah. Ketika kita tunduk kepada pelayanan Roh Kudus, hubungan kita tidak akan dipadamkan (1 Tes. 5:19). Spiritualitas Kristiani adalah kesadaran persekutuan dengan Roh Kristus yang tidak terputus oleh kedagingan dan dosa.
Spiritualitas Kristiani mengacu pada nilai- nilai religius yang mengarahkan tindakan seseorang. Jika nilai-nilai yang dipegang tidak mengarah pada Tuhan, maka kebahagiaan yang dicapai adalah ‘semu’, sedangkan jika nilai-nilai itu mengarah pada Tuhan, maka kebahagiaan yang diperoleh adalah kebahagiaan sejati. Meskipun spiritualitas ini tidak terbatas pada agama tertentu, namun, kita bisa memahami bahwa spiritualitas mengarah pada Tuhan Sang Pencipta, karena semua manusia diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama, dan karena hanya di dalam Tuhanlah kita mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan di dalam kehidupan ini.
2.2         Titik Tolak Spiritualitas Kristiani
Spiritualitas Kristiani tidak berawal dari hadirnya seseorang di tempat ibadah atau terlibatnya seseorang dalam aktivitas keagamaan. Kitab Yesaya menyatakan bahwa keterlibatan seseorang dengan berbagai upacara dan aktivitas keagamaan tidak menjamin bahwa orang tersebut sudah memiliki relasi yang benar dengan Allah. Dan Tuhan telah berfirman:
"Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,...” (Yes. 29:13).
Tuhan Yesus dengan tegas menyatakan:
“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Mat. 7:21-23).
Spiritualitas Kristiani diawali pada saat seseorang menjadi pohon yang baik, yaitu pada saat ia menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat pribadinya. Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah (Yoh. 1:12-13). Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik (Mat. 7:17-18
Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, telah divonis dengan murka Allah (Rm. 1:18). Maka, ia berada dalam status "pohon yang tidak baik" yang tidak memungkinkannya untuk menghasilkan "buah yang baik". Untuk kembali kepada keadaan sesuai dengan tujuan semula, Allah menciptakan manusia, ia harus dilahirkan baru terlebih dahulu (lihat Yoh. 3:1-21).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Kristiani yang alkitabiah merupakan inisiatif dari Allah dan manusia merespons sebagaimana seharusnya sesuai dengan iman yang telah dianugerahkan kepadanya. Namun, itu semua hanyaiah titik tolak yang harus dilanjutkan dengan proses pengudusan (Ef. 4:23, Kol. 3:10). Anugerah Allah memungkinkan terjadinya transformasi pada diri seseorang untuk menjadi serupa dengan Kristus. Hal itu dimungkinkan dengan adanya peran Roh Kudus dalam diri orang percaya (Tit. 3:5), sehingga manusia kembali dimungkinkan untuk menjadi gambar Allah yang mempermuliakan Allah sesuai dengan tujuan Allah sejak penciptaan (Ef. 2:1-10).
2.3         Visi Spiritualitas Kristiani
Kita patut senantiasa bersyukur atas kasih dan karunia Sang Khalik yang nampak jelas dalam kehidupan, kematian, kebangkitan Yesus Kristus. Sampai saat ini, Roh-Nya yang Kudus terus berkarya membarui dunia ini. Dalam kasih-Nya, spiritualitas yang selayaknya kita bangun mengikuti jalan kasih, sebagaimana Yesus sudah mengajarkan untuk mengasihi Allah, mengasihi sesama dan mengasihi diri sendiri.
Karena itu, visi spiritualitas Kristiani berkaitan dengan sikap mengasihi. Kasih Kristiani kepada Allah meliputi :
1.        Menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti jalan Yesus serta menerima, menghargai dan bekerjasama dengan sesama yang berbeda jalan iman untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan sebagai  wujud kasih kepada Allah; (Mat. 16:24; Mrk. 8:34; Luk. 9:23; 1 Yoh. 4:20);
2.        Menyimak Firman Allah melalui saat teduh yang rutin, pemahaman dan pendalaman Alkitab dan mengalami aktivitas pembaruan yang Allah kerjakan di dalam dunia dengan menjadi rekan sekerja-Nya;
3.        Menghormati dan merayakan kuasa Allah. yang Roh dan Kemuliaan-Nya tercerminkan dalam segenap ciptaan-Nya, termasuk Bumi dan segenap ekosistem di dalamnya;
4.        Mengekspresikan kasih melalui kebaktian dalam liturgi yang jujur, khidmat, jelas, menginspirasi dan merefleksikan kebenaran Allah sebagaimana yang diungkapkan dalam Alkitab.
Lebih lanjut kasih Kristiani kepada sesama manusia meliputi :
1.        Memandang dan memahami orang lain secara otentik seperti yang telah dilakukan Yesus, dengan memperlakukan orang lain sebagai yang diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, tanpa perlakuan diskriminatif berdasarkan ras, jenis kelamin, usia, kemampuan fisik dan mental, kebangsaan dan status ekonomi;
2.        Berpihak, sebagaimana yang sudah Yesus lakukan, dengan yang tersisih dan tertekan, terbuang dan sakit, memperjuangkan kedamaian dan keadilan dengan segenap upaya dan daya;
3.        Memperjuangkan kebebasan beragama dan mengupayakan suara-suara kenabian kepada pemerintah terkait dengan keadaan sosial yang membutuhkan perhatian bersama segenap komponen masyarakat;
4.        Berjalan dengan rendah hati bersama Allah, menyadari kelemahan diri sendiri sambil dengan tetap jujur memuji dan mencari kebaikan dalam diri orang lain termasuk terhadap mereka yang menganggap kita sebagai musuh mereka.
Sedangkan kasih Kristiani kepada diri sendiri meliputi :
1.        Mendasarkan kehidupan kita dalam iman bahwa di dalam Kristus, segala sesuatu dijadikan baru dan kita termasuk semua orang amat sangat dikasihi dengan kasih yang lebih besar dari yang dapat kita bayangkan untuk selama-lamanya;
2.        Menyadari bahwa sebenarnya pikiran dan hati kita pada dasarnya adalah ciptaan Allah yang kudus, oleh sebab itu baik iman maupun ilmu pengetahuan juga iman dan keragu-raguan merupakan  proses yang patut dihargai dalam mencari, menemukan dan mempermuni kebenaran yang membawa kepada kehidupan karena-Nya;
3.        Peduli akan kebugaran tubuh dengan menyediakan waktu yang cukup untuk menikmati kuasa dan sukacita yang didapat melalui doa, refleksi, ibadah dan rekreasi yang akan memperlengkapi karya kinerja sehari-hari sebagai wujud pertanggungjawaban talenta yang dipercayakan-Nya;
4.        Menghidupi iman dengan tindakan karena sadar bahwa hidup kita ini bermakna dan memiliki tujuan. Tindakan iman itu dihayati sebagai panggilan dan pelayanan yang memperkuat dan mempernyata bukti kasih Allah kepada dan melalui kita.
2.4         Isi Spiritualitas Kristiani
Dalam Gereja Katolik, terdapat banyak cara penghayatan iman dan spiritualitas. Tetapi, inti semua spiritualitas Kristiani yang benar adalah keinginan untuk “mengikuti” Yesus.[8]
Spiritualitas Kristiani berdasarkan identifikasi dalam iman dengan Yesus Kristus yang bagi orang-orang Kristiani merupakan “jalan, kebenaran dan kehidupan” (Yoh. 1:46). Mengikuti Yesus berarti membangun sikap-sikap yang diperlihatkan Yesus. Spiritualitas menjadi motivasi untuk mengubah dunia yang penuh kekerasan, kebencian, penindasan, ketidakadilan dan kedosaan, menjadi tempat di mana sentuhan cinta kasih Allah dapat dirasakan.
2.5         Dasar Spiritualitas Kristiani : Kerendahan Hati
2.5.1   Pengertian Kerendahan Hati
2.5.1.1  Arti Etimologis Kerendahan Hati
Kerendahan hati atau humility berasal dari kata bahasa Latin humus yang berarti tanah/ bumi. Jadi, kerendahan hati adalah menempatkan diri ‘membumi’ ke tanah. Secara khusus pada Rabu Abu, Gereja mengingatkan kita akan hal ini: “Ingatlah bahwa kamu adalah debu, dan kamu akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19) Betapa dalamnya makna perkataan ini, dan jika kita renungkan, kita akan semakin mengenal diri kita yang sesungguhnya.
2.5.1.2  Arti Substansial
Ada banyak definisi tentang kerendahan hati. Berikut ini dijelaskan beberapa arti substansial dari kerendahan hati.

a.         Kerendahan Hati: Nilai yang Diperoleh dari Penghormatan kepada Tuhan
Dalam kehidupan rohani Kristiani, kerendahan hati diartikan sebagai ‘nilai yang diperoleh dari penghormatan yang dalam kepada Tuhan.’ Hal ini melibatkan pengenalan akan ‘tempat’ kita yang sebenarnya dalam hubungan dengan Allah sebagai Pencipta dan dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain, dan sikap ini menentukan perbuatan kita. Kerendahan hati juga mengantar kita untuk mengakui bahwa kita dan segala ciptaan di dunia ini bukan apa-apa di hadapan Tuhan, dan kerendahan hati mengarahkan kita untuk hidup sesuai dengan pemahaman ini. Jadi, kerendahan hati membantu kita untuk melihat segalanya dengan kaca mata Tuhan: kita melihat diri kita yang sesungguhnya, tidak melebih-lebihkan hal positif yang ada pada kita, namun juga tidak mengingkari bahwa segalanya itu adalah pemberian Tuhan. Dalam hal ini kerendahan hati berhubungan dengan kebenaran dan keadilan yang membuat kita mengasihi kebenaran lebih daripada kita mengasihi diri sendiri. Kebenaran ini memberikan kepada kita pengetahuan akan diri sendiri, dengan kesadaran bahwa segala yang baik yang ada pada kita adalah karunia Tuhan, dan sudah selayaknya sesuai dengan keadilan, kita mempergunakan karunia itu untuk kemuliaan Tuhan (1Tim 1:17). Dengan perkataan lain, kebenaran membuat kita mengenali karunia-karunia Tuhan, dan keadilan mengarahkan kita untuk memuliakan Tuhan, Sang Pemberi.
b.         Kerendahan Hati: Hasil dari Pengenalan akan Diri Sendiri dan akan Tuhan
Dasar dari kerendahan hati adalah pengenalan akan diri sendiri dan Tuhan. St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa pengenalan akan diri sendiri bermula pada kesadaran bahwa segala yang baik pada kita datang dari Allah dan milik Allah, sedangkan segala yang jahat pada kita timbul dari kita sendiri. Pengenalan yang benar tentang Tuhan menghantar pada pengakuan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia menurut gambaran-Nya, dan bahwa manusia diciptakan untuk mengasihi, sebab Allah yang menciptakannya adalah Kasih. Dalam kasih ini, Allah menginginkan persatuan dengan setiap manusia, sehingga Ia mengirimkan Putera-Nya yang Tunggal untuk menghapuskan penghalang persatuan ini, yaitu dosa. Kesadaran akan hal ini membawa kita pada kebenaran: yaitu bahwa kita ini bukan apa-apa, dan Allah adalah segalanya. Di mata Tuhan kita ini pendosa, tetapi sangat dikasihi oleh-Nya. Keseimbangan antara kesadaran akan dosa kita dan kesadaran akan kasih Allah ini membawa kita pada pemahaman akan diri kita yang sesungguhnya. Kesadaran ini menghasilkan kerendahan hati, yang menurut St. Thomas adalah dasar dari bangunan spiritual atau ‘rumah rohani’ kita.
c.         Kerendahan Hati: Ketergantungan kepada Tuhan
Kerendahan hati membuat kita selalu menyadari kelemahan kita dan bergantung kepada rahmat Tuhan. Hal ini juga dapat diterapkan dalam hal iman, sehingga iman berarti kerendahan hati secara rohani yang melibatkan akal budi, sehingga seseorang dapat menerima kesaksian Tuhan tentang Diri-Nya, tentang manusia, dan semua realitas kehidupan, daripada memegang pendapat sendiri. Jadi, kerendahan hati adalah sikap hati untuk tunduk kepada Tuhan. Selanjutnya, menurut St. Agustinus kerendahan hati adalah penyerahan diri kepada Tuhan sehingga kita berusaha untuk menyenangkan hati Tuhan (bukan diri kita sendiri) di dalam segala perbuatan kita.
2.5.2   Tingkatan Kerendahan Hati
Ada bermacam tingkatan kerendahan hati, tetapi yang akan kita bahas di sini adalah dua macam tingkatan yang dijabarkan oleh St. Benediktus dan St. Ignatius.
2.5.2.1  Menurut St. Benediktus
Nilai-nilai yang termasuk kerendahan hati adalah ketaatan, kesabaran dan kesederhanaan. Ketaatan dan kesabaran berkaitan dengan kerendahan hati yang berhubungan dengan sikap hati, sedangkan kesederhanaan berhubungan dengan sikap yang dapat terlihat dari luar. St. Benediktus membagi kerendahan hati menjadi 12 hal di mana tujuh di antaranya berhubungan dengan sikap hati, dan lima di antaranya berhubungan dengan sikap yang terlihat dari luar. Ketujuh sikap hati yang berdasarkan atas ketaatan dan kesabaran tersebut adalah:
1)            Takut akan Tuhan;
2)            Ketaatan kepada Tuhan;
3)            Ketaatan kepada pembimbing spiritual;
4)            Sabar dalam menanggung keadaan yang sukar;
5)            Mau mengakui kesalahan kita (terutama kepada pembimbing spiritual);
6)            Bersedia untuk menerima hal-hal yang tidak nyaman;
7)            Melihat diri sendiri sebagai yang tidak utama.

Sedangkan kelima sikap tubuh yang berhubungan dengan kesederhanaan adalah:
1)      Menghindari pemegahan diri sendiri;
2)      Hening;
3)      Tertawa tidak berlebihan;
4)      Tidak banyak bicara;
5)      Kesederhanaan dalam bersikap.
Meskipun pengajaran ini pertama-tama ditujukan untuk para religius, namun toh dengan tingkatan yang wajar dapat diterapkan kepada kita kaum awam. Apalagi jika kita mau bertumbuh dalam hal rohani, kita-pun perlu mempunyai pembimbing rohani, yaitu umumnya bapa Pengakuan (pastor pembimbing).
2.5.2.2  Menurut St. Ignatius
Menurut St. Ignatius, terdapat tiga tingkatan kerendahan hati, yaitu :
1)   Necessary Humility, yaitu penyerahan diri kepada hukum Tuhan untuk menghindari dosa berat;
2)   Perfect Humility, yaitu ketidak-terikatan pada kekayaan ataupun kemiskinan, kesehatan ataupun sakit. Yang terpenting adalah menghindari dosa dan kecenderungan berbuat dosa;
3)   Most Perfect Humility, yakni sikap meniru Kristus, termasuk menerima dengan rela penderitaan (salib) dan penghinaan, dalam persatuan dengan Kristus, demi kasih kita kepada-Nya.
Kerendahan hati berlawanan dengan kesombongan yang berhubungan dengan kelimpahan materi, dan anggapan bahwa diri sendiri adalah yang paling berkehendak baik, paling pandai, dan paling maju dalam hal spiritual (spiritual pride). Kesombongan dalam hal materi berhubungan dengan hal yang kelihatan seperti kecantikan, kekayaan, nama baik, pangkat dan kehormatan. Kesombongan materi adalah jenis kesombongan yang paling rendah, dan paling mudah diatasi untuk mencapai kerendahan hati.
Kesombongan dalam hal berkehendak baik yaitu keinginan untuk tidak tunduk di bawah siapa pun, memiliki kuasa untuk memerintah, yang menghasilkan ambisi untuk menguasai, menolak untuk melayani atau tunduk pada otoritas, bahkan menolak untuk tunduk kepada Tuhan. Bersamaan dengan ini adalah kesombongan akan kepandaian, yang berhubungan dengan kebiasaan untuk menghakimi segala sesuatu berdasarkan pendapat sendiri, dan enggan untuk menerima pernyataan sederhana dari pihak yang punya otoritas. Sedangkan orang yang rendah hati adalah dia yang sadar akan dosa dan kelemahannya, yang tahu bahwa ia-pun dapat menjadi ‘terhukum’, jika hanya keadilan Tuhan yang berlaku di dunia ini. Belas kasihan yang ia terima dari Tuhan harus menjadikannya berbelas kasih pada orang lain.
Tingkatan kesombongan yang paling akhir adalah spiritual pride. Karena spiritualitas adalah karunia, maka kesombongan akan hal ini menjadi sangat ‘berbahaya’. Karunia-karunia spiritual dapat menjadi ladang bagi kesombongan, sebab jiwa yang sombong dapat menggunakan karunia-karunia tersebut untuk meninggikan diri, menarik perhatian, mencari dominasi/ kekuasaan, atau untuk memenangkan ide sendiri. Injil menampilkan jenis kesombongan ini dalam perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai (Luk 18:9-14). Yesus menolak kesombongan ini, sebab hal itu membuat orang hidup dalam ‘kebohongan’: dari luar terlihat suci, tetapi sebenarnya jahat. Hal ini bertentangan dengan kerendahan hati yang berlandaskan kebenaran.
Menurut St. Ignatius, mengikuti teladan Yesus dan cara hidupNya adalah bentuk kerendahan hati yang paling sempurna; yaitu jika seseorang dengan kehendak bebasnya memilih untuk hidup miskin seperti Kristus, menderita bersama-Nya daripada menjadi kaya dan dihormati dan dianggap bijak oleh dunia. Sikap ini didasari oleh kesadaran bahwa Allah mengasihi kita lebih daripada kita mengasihi diri sendiri, sehingga Ia telah menyerahkan DiriNya untuk membawa kita kepada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati ini tidak dapat dibandingkan dengan segala pemahaman kita akan kebahagiaan menurut ukuran dunia. Ketetapan hati meninggalkan kebahagiaan duniawi untuk mendapatkan kebahagiaan surgawi adalah sikap kerendahan hati yang paling sempurna.
Kerendahan hati menghantarkan kita kepada kesempurnaan kasih dan kekudusan Untuk mencapai kekudusan atau kesempurnaan kasih, kita harus menggunakan kemampuan kita sebagai karunia dari Kristus. Kita harus meniru teladan-Nya dan mencari kehendak Tuhan dalam segala sesuatu.
Jadi agar dapat mengasihi, kita harus rendah hati di dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Karena itu, ada beberapa hal penting yang ditegaskan oleh St. Ignatius.
a.         Kerendahan hati di dalam pikiran  adalah kita tidak boleh cemburu atau iri, jika orang lain dipuji, kita harus melihat kebaikan dalam diri orang lain, dan kita harus bergembira atas kebaikan dan kesuksesan orang lain. Kita harus ingat akan pengajaran Rasul Paulus, ”… dengan rendah hati, anggaplah orang lain lebih utama dari diri kita” (Fil 2:3). Kita harus selalu menyadari bahwa kita hanya semata-mata alat di tangan Tuhan, dan selayaknya segala pujian ditujukan kepada-Nya.
b.        Kita tidak boleh bicara yang buruk tentang siapapun dan bicara yang baik-baik tentang diri sendiri, atau lebih tepatnya, sebaiknya kita membatasi pembicaraan tentang diri kita sendiri supaya kita tidak jatuh dalam perangkap kesombongan. Jika ada orang berbuat salah, kita tidak boleh menghakimi, atau memaki, tetapi lebih baik kita berdoa untuk pertobatannya. Ada baiknya kita menyadari, jika kita berada persis di dalam situasi mereka, bisa jadi kita berbuat lebih buruk daripada mereka. Kita harus berjuang supaya tidak marah pada mereka yang menentang kita, tetapi menerima koreksi dengan lapang hati, demi pertumbuhan rohani kita.
c.         Di dalam perbuatan kita harus mau mengambil tempat yang rendah/ tidak utama, dan tidak menginginkan untuk diperlakukan istimewa. Dalam segala sesuatu kita tidak mencari pujian, tetapi mencari bagaimana agar dapat melakukan sesuatu yang berguna, untuk kebaikan. Kita juga harus siap meminta maaf, untuk segala kesalahan yang kita lakukan, baik terhadap Tuhan dan orang lain, dan rajin untuk mengucap syukur untuk segala karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Sikap seperti ini adalah sikap seorang pelayan, oleh karena itu, kerendahan hati menjadi dasar dari pelayanan Kristiani.
2.5.3   Makna Kerendahan Hati
Kerendahan hati adalah salah satu dari nilai-nilai dasar Spiritualitas Kristiani. Santo Agustinus mengatakan bahwa kerendahan hati adalah jalan yang pasti membawa seseorang kepada Tuhan. Santo Agustinus bahkan mengatakan, pertama-tama, kerendahan hati, kemudian, kerendahan hati, dan yang terakhir, kerendahan hati; untuk menekankan pentingnya kerendahan hati untuk mencapai kesempurnaan rohani. Dalam spiritualitas, kesempurnaan berarti kekudusan, sehingga untuk menjadi kudus, kita harus pertama-tama menjadi orang yang rendah hati. Kerendahan hati adalah dasar dari semua kebajikan yang lain, sebab tanpa kerendahan hati, kita tidak dapat sungguh-sungguh memiliki kebajikan-kebajikan yang lain. Kerendahan hati juga disebut sebagai ‘ibu’ dari semua kebajikan, sebab ia melahirkan ketaatan, takut akan Tuhan, dan penghormatan kepada-Nya, kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan dan damai. 

2.5.4   Kerendahan Hati dan Kekudusan adalah Yang Dikehendaki Allah bagi Kita
Tuhan Yesus menghendaki agar kita belajar daripadaNya kelemahlembutan dan kerendahan hati (Mat 11:29). Ia juga mengajarkan pada kita untuk mengejar kesempurnaan, yaitu kekudusan (Im 19:2; Mat 5:48). Panggilan untuk hidup kudus inilah yang diserukan oleh Konsili Vatikan II, yang dijelaskan secara mendalam pada Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium) Bab V. Kekudusan dimaksudkan untuk semua orang, tidak saja untuk para religius. Untuk mencapai kesempurnaannya, kita harus memulai dari langkah pertama, yaitu kerendahan hati.
Kerendahan hati adalah lawan dari kesombongan yang menjadi dosa pertama dari manusia pertama. Kesombongan adalah sikap ‘menolak’ karunia Allah, seperti kita lihat pada kisah Adam dan Hawa (Kej 2:8-3:14), sedangkan kerendahan hati adalah sikap yang diperlukan untuk menerima karunia Allah. Alkitab berkata, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihi orang yang rendah hati” (1 Pet 5:5). Kerendahan hati ini begitu penting bagi Allah, sehingga menempati urutan pertama dari Delapan Sabda Bahagia: “Berbahagialah orang-orang yang miskin hatinya, karena merekalah yang memiliki Kerajaan Surga” (Mat 5:3). Mereka yang rendah hati, yang dimurnikan dan diterangi Roh Kudus, adalah orang-orang yang siap untuk menerima karunia-karunia Roh Kudus untuk maksud perutusan.
2.6         Kriteria dan Proses Pertumbuhan Spiritualitas Kristiani
Seseorang yang telah menjadi anak Tuhan tidak secara otomatis akan langsung hidup sebagai anak Tuhan. Pola pikir manusia menghasilkan perilaku yang bersumber dari pola pikir tersebut. Dengan kata lain, selama pohon itu bukan pohon yang baik, maka ia tidak akan menghasilkan buah yang baik. Seseorang harus memiliki pola pikir Ilahi dan hidup berdasarkan pola pikir tersebut. Pada waktu Kitab Suci memakai kata "mengenal Allah," yang dimaksudkan bukan hanya sekadar mengetahui secara kognitif, melainkan juga hidup berdasarkan apa yang ia tahu.
Bagaimana kita mengetahui seseorang telah mencapai suatu kedewasaan rohani yang sebagaimana seharusnya? Kuantitas keterlibatan seseorang dalam aktivitas keagamaan tidak dapat dijadikan tolok ukur. Formasi spiritualitas diawali dengan relasi yang benar dengan Allah, yaitu pada saat seseorang menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya. Perubahan status dari orang berdosa menjadi orang kudus tidak secara otomatis menjadikan seseorang dewasa dalam kerohaniannya. Sebagai orang yang telah menerima anugerah keselamatan, ia diharapkan untuk menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan iman yang telah menyelamatkannya.
Orang kudus tidak dapat berbuah Roh Kudus di luar Firman Tuhan. Karya Roh Kudus tidak pernah berlawanan dengan Firman Tuhan. Karena itu, seperti yang dinyatakan Tuhan Yesus, setiap orang percaya harus dikuasai oleh Firman Tuhan dan menjadi pelaku firman sehingga ia dapat berbuah banyak: "Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku" (Yoh. 15:17-18).
Berbuah banyak tercakup di dalamnya adalah melakukan semua perintah Tuhan. Perintah Tuhan itu adalah tetap berada di dalam persekutuan yang benar dengan Allah, dengan memelihara kekudusan hidup, mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, serta menjalankan amanat agung dan mandat budaya.
Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Mat. 16:24-26).
2.7         Ciri-Ciri Spiritualitas Kristiani
Tujuan akhir Spiritualitas Kristiani adalah kemuliaan Tuhan, yang diwujudkan oleh kasih kepada Tuhan dan sesama. Untuk mencapai hal ini, bukan kesuksesan yang menjadi tolok ukurnya melainkan kesetiaan untuk bergantung pada Kristus, sebab tanpa Dia kita tidak bisa berbuah (bdk. Yoh 15:15). Spiritualitas Kristiani memiliki beberapa ciri, yakni :
1.        Berpusat pada Kristus. Kristuslah yang menciptakan hidup spiritual, sebab di dalam Dia, Tuhan menyatakan diriNya oleh kuasa Roh Kudus. Oleh karena itu spiritualitas tergantung dari semua pengajaran Kristus.
2.        Melalui Kristus menuju kesatuan dengan Allah Tritunggal. Karena Kristus adalah Pribadi kedua di dalam kesatuan Tritunggal Maha Kudus, maka jika kita bersatu dengan Kristus, maka kita akan bersatu dengan Allah Tritunggal.
3.        Keikutsertaan di dalam misteri Paska Kristus (salib, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga), melalui rahmat Tuhan, iman, kasih, dan nilai-nilai Kristiani lainnya. Singkatnya, Spiritualitas Katolik tak terlepas dari Salib Kristus,[12] penderitaan dan kesadaran diri akan dosa- dosa kita yang membawa kita pada kebangkitan di dalam Dia. Karena misi Keselamatan Kristus diperoleh melalui Salib, maka sebagai pengikutNya, kita-pun selayaknya mengambil bagian dalam penderitaan itu, terutama dengan kesediaan untuk terus-menerus bertobat dan mau menanggung penderitaan demi keselamatan sesama, dan dengan demikian kita dapat mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. Jika kita hanya mau mengambil bagian dalam ‘kemuliaan’ tanpa mau mengambil bagian dalam ‘penderitaan’ –yang dizinkan oleh Tuhan untuk terjadi di dalam hidup kita- maka kita tidak menerapkan Injil dengan seutuhnya.
4.        Berdasarkan kesaksian akan Kasih Tuhan. Kitab Suci bukan hanya wahyu Tuhan, tapi juga pernyataan akan pengalaman manusia di dalam wahyu Tuhan itu. Apa yang dialami oleh Adam dan Hawa, Nabi Abraham, Ayub, Bunda Maria, Rasul Petrus dan Paulus, dapat dialami oleh kita semua.
5.        Disertai kesadaran akan dosa dan belas kasihan Tuhan. Spiritualitas Katolik berlandaskan atas keyakinan akan Kasih Tuhan di atas segalanya yang mampu mengubah segala sesuatu. Pada saat Tuhan mengasihi kita, dan jika kita membuang segala dosa yang menghalangi kita untuk menerima kasih-Nya, dan dengan iman dan doa, maka kita dapat sungguh diubah, dikuduskan dan dimampukan berbuat baik.
6.        Mengarah pada kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Allah.
7.        Melihat Bunda Maria sebagai contoh teladan. Spiritualitas Katolik menerima segala kebijaksanaan Tuhan yang selalu menggunakan peran pengantara, yaitu Musa, para nabi, Yohanes Pembaptis, dan terutama Bunda Maria untuk menyelenggarakan karya keselamatan-Nya. Karya Tuhan yang ajaib juga nampak dalam mukjizat keperawanan Maria dan melalui ketaatan dan kesediaan Maria, Allah menganugerahkan rahmat yang tiada batasnya, yaitu kelahiran Yesus Kristus, Penyelamat kita di dunia.
8.        Mangacu pada Gereja-Nya, Gereja Katolik. Gereja merupakan sumber atau alat yang meneruskan rahmat Tuhan. Rahmat Tuhan ini kita peroleh melalui sakramen-sakramen terutama Ekaristi; dan juga melalui ketaatan kita pada para penerus Rasul Kristus yang telah dipilih oleh- Nya. Gereja sebagai kesatuan (komuni) manusia dengan Tuhan, selalu memperjuangkan martabat manusia, dan memperhatikan kesatuannya dengan para orang kudus; sebab melalui kesatuan ini Allah dimuliakan.


BAB III
MAKNA SPIRITUALITAS KRISTIANI

3.1         Spiritualitas Kristiani : Spiritualitas Tritunggal Mahakudus yang Berpusat pada Kristus
Sebagai umat Kristiani, kita percaya bahwa Tuhan telah menyatakan diri-Nya di dalam diri Yesus Kristus PuteraNya oleh kuasa Roh Kudus-Nya. Oleh karena itu, spiritualitas Kristiani bersumber pada Allah Tritunggal Maha Kudus, yang berpusat kepada Kristus, Penyelamat kita, karena hanya di dalam nama Kristus kita diselamatkan (Kis 4:12). Allah Bapa telah menciptakan kita sesuai dengan gambaran-Nya dan menginginkan agar kita selalu tinggal di dalam kasih-Nya yang tak terhingga sebagaimana ditunjukkan oleh Kristus dengan wafat dan kebangkitanNya, untuk menghapus dosa-dosa kita (1 Yoh 4:10). Oleh Kristus, kita diangkat menjadi anak-anak Allah (Rom 8:15) dan dipersatukan dengan Tuhan sendiri, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.
Jadi, persatuan kudus kita dengan Allah Tritunggal adalah tujuan hidup kita. Persatuan dengan Tuhan yang membawa kita pada keselamatan adalah suatu karunia. Hal ini merupakan pemberian, bukan karena usaha manusia (Ef 2:8). Karunia keselamatan tersebut diberikan oleh Kristus melalui wafatNya di salib, kebangkitan-Nya dan kenaikanNya ke surga. Misteri inilah yang sampai sekarang selalu dihadirkan kembali oleh Gereja Katolik melalui sakramen sakramennya, terutama Sakramen Ekaristi, di mana kita dipersatukan dengan Tubuh dan Darah Kristus, Jiwa dan Ke–ilahianNya. Persatuan atau komuni kudus ini adalah cara yang dipilih Allah untuk mengangkat kita menjadi serupa dengan Dia. Untuk maksud persatuan kudus inilah, Kristus mendirikan Gereja Katolik untuk melanjutkan karya Keselamatan-Nya kepada dunia sampai kepada akhir zaman.
Banyak orang yang mempertanyakan ajaran tentang Trinitas, bahkan banyak orang yang bukan Kristen mengatakan bahwa orang Katolik percaya akan tiga Tuhan. Tentu saja hal ini tidak benar, sebab iman Kristiani mengajarkan Allah yang Esa. Namun bagaimana mungkin Allah yang Esa ini mempunyai tiga Pribadi? Untuk memahami hal ini memang diperlukan keterbukaan hati untuk memandang Allah dari sudut pandang yang mengatasi pola berpikir manusia. Jika kita berkeras untuk membatasi kerangka berpikir kita, bahwa Allah harus dapat dijelaskan dengan logika manusia semata-mata, maka kita membatasi pandangan kita sendiri, sehingga kehilangan kesempatan untuk melihat gambaran yang lebih luas tentang Allah. Kita mencukupkan diri kita dengan pandangan Allah yang logis menurut pikiran kita dan tanpa kita sadari kita menolak tawaran Allah agar kita lebih dapat mengenal DiriNya yang sesungguhnya.
3.1.1   Hakekat Trinitas
3.1.1.1  Arti Trinitas
Kata Trinitas berasal dari bahasa Latin yang berarti nomor tiga, tiga serangkai atau tritunggal. Kata benda abstrak ini terbentuk dari kata sifat trinus yang berarti tiga kali lipat). Tertulianus, seorang teolog Latin yang menulis pada awal abad ketiga, yang dianggap menggunakan kata-kata "Trinitas, "persona" dan "substansi" menjelaskan bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah "satu dalam esensi - bukan satu dalam Persona".
Tritunggal atau Trinitas adalah doktrin Iman Kristiani yang mengakui Satu Allah Yang Esa, namun hadir dalam Tiga Pribadi: Allah Bapa dan Putra dan Roh Kudus, di mana ketiganya adalah sama esensinya, sama kedudukannnya, sama kuasanya, dan sama kemuliaannya. Istilah Tritunggal mengandung arti tiga Pribadi dalam satu kesatuan esensi Allah. Istilah "pribadi" dalam bahasa Yunani adalah hupostasis, diterjemahkan ke Latin sebagai persona (Inggris: Person). Sejak awal abad ketiga doktrin Tritunggal telah dinyatakan sebagai "Satu keberadaan Allah di dalam tiga Pribadi dan satu substansi Bapa, Anak, dan Roh Kudus”.
3.1.1.2  Perkembangan Teologi Trinitas
A.    Usaha-Usaha Awal
Dalam Kitab Suci, kita menemukan suatu ajaran tentang Trinitas, tetapi kita dapat menemukan pernyataan-pernyataan yang menghasilkan ajaran tentang Trinitas itu. Misalnya di dalam 2 Kor 13 : 13 : “ Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian”,  atau Mat 28 : 19 : “ Pergilah, jadikanlah semua bangsa muri-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus”.
Rumusan di atas digunakan juga oleh bapa-bapa apostolic sesudah zaman Perjanjian Baru. Dan sejak abad ke-2 muncul usaha-usaha untuk mendalami dan memikirkan hubungan dari Putra dan Roh dengan Allah yang esa. Usaha-usaha awal ini diwarnai oleh subordinatianisme yang mengajarkan bahwa Putra dan Roh bergantung dari Bapa. Putra melaksanakan tugas perutusan yang diberikan oleh Bapa dan Roh menyelesaikan tugas Yesus Kristus itu. Dasar dari subordinatianisme adalah Yoh 14 : 28 : “ Bapa lebih besar daripada Aku”.
B.     Aliran Monarkhianisme
Ada satu kelompok atau aliran dalam kekristenan awal yang sangat prihatin. Mereka berusaha mencari jalan bagaimana hubungan Yesus dengan Allah bisa dipikirkan tanpa membahayakan ke-esa-an absolute Allah. Aliran ini disebut monarkhianisme. Aliran ini dibagi atas dua kelompok, yaitu monarkhianisme dinamis dan monarkhianisme modalis.
Menurut monarkhianisme dinamis, Yesus dari Nazaret merupakan manusia biasa, tetapi Allah melengkapinya dengan suatu kekuatan istimewa. Pelengkapan itu terjadi pada pembaptisan Yesus di sungai Yordan atau ketika Yesus ditinggikan Allah dalam pembangkitan. Dan aliran yang mengajar bahwa pada peninggian itu Yesus diangkat sebagai Putera Allah tetapi tidak sungguh menjadi Allah disebut Adoptianisme. Pendukung terkenal dari aliran monarkhianisme dinamis itu adalah Paulus dari Samosata yang mengajarkan bahwa Logos, sabda ilahi, merupakan suatu sifat atau kekuatan pada diri Allah. Kekuatan itu (logos) disamakannya dengan Kebijaksanaan (Sophia) Allah dan dengan roh (pneuma) ilahi. Kekuatan ilahi ini melengkapi manusia Yesus. Ajaran ini kemudian ditolak oleh sebuah Sinode di Antiokhia pada tahun 269.
Sedangkan monarkhianisme modalis [9] berpendapat bahwa Yesus adalah suatu cara di mana Allah menyatakan diri. Aliran ini juga yakin bahwa Yesus sungguh-sungguh Allah, karena hanya sebagai Allah, Ia bisa menyelamatkan dunia. Menurut aliran ini, Bapa, Putra dan Roh Kudus hanya merupakan nama atau cara penampakan (prosopa atau topeng) yang berbeda dari Allah yang sama. Dengan memberi hukum pada Perjanjian Lama, Allah itu tampak sebagai Bapa. Dengan menyelamatkan kita dalam inkarnasi sampai pengangkatan ke surga, Allah yang sama tampak sebagai Putra dan dalam menguduskan jiwa-jiwa, Ia tampak sebagai Roh Kudus. Maka, apa yang kita sebut Bapa, Putra dan Roh Kudus merupakan semacam topeng yang pada kesempatan tertentu digunakan Allah untuk menyatakan diri kepada manusia. Tetapi, tiga nama itu tidak menyangkut Allah dalam diri-Nya sendiri, dan tidak berada serentak dalam diri Allah. Mulai dengan saat inkarnasi, Allah tidak lagi Bapa, dan setelah pengangkatan ke surga, Ia tidak lagi Putra. Ketiga nama yang tampak kepada kita itu bukan merupakan kenyataan dalam diri Allah sendiri. Allah tidak memperkenalkan diri seperti adanya, tetapi menyembunyikan diri di belakang macam-macam topeng. Oleh sebab itu, penjelasan ini ditolak oleh Gereka karena tidak sesuai dengan iman Kristen. Orang Kristen yakin dalam iman, Allah benar memperkenalkan diri dalam wahyu seturut kenyataan-Nya.
C.    Aliran Subordinatianisme/Arianisme
Subordinatianisme disistematisir oleh Arius, seorang uskup di Alexandira. Karena itu, aliran ini disebut juga Arianisme. Arius sangat dipengaruhi oleh Platonisme yang menganggap Allah yang esa dan tertinggi itu tinggal jauh di dalam transendensi yang tak terhampiri dan Ia tidak bisa berkontak dengan dunia. Bagi Arius, Logos/ Putra tidak mungkin Allah benar dari Allah benar. Karena, andaikata Logos itu Allah benar, maka Ia tidak bisa menjadi manusia.
Arius mengajarkan bahwa pada satu pihak, Logos, Sabda Ilahi itu, selalu berada pada Allah. Ia merupakan suatu sifat Allah. Pada pihak lain, Logos tidak abadi seperti Allah Bapa, sebab sebelum adanya waktu, Ia memperoleh eksistensi-Nya langsung dari Allah, tetapi bukan dari substansi Allah, melainkan dari ketidakadaan. Oleh karena itu, Ia merupakan ciptaan pertama dan  paling utama, sebab Ia memperoleh eksistensi langsung dari Allah, sedangkan ciptaan lain diciptakan oleh Allah dengan perantaraan Logos itu. Namun demikian, Logos itu tetap ciptaan, sebab ada suatu waktu ketika ia belum ada. Sehingga menurut Arius, Yesus itu tanpa jiwa manusiawi. Jiwanya langsung digantikan oleh Logos itu. Selama hidupnya, Yesus semakin menyempurnakan diri, sehingga pada akhirnya Ia patut dinamai Allah. Arianisme berkeyakinan bahwa Allah itu Maha Esa tanpa oknum (unitari faith) dan bahwa Yesus Kristus itu adalah manusia biasa tetapi menjabat sebagai Rasul Allah.
D.    Tanggapan terhadap Monarkhianisme
Dua teolog dari bagian Barat Kekaiseran Romawi menjadi penting, terutama dalam tanggapan Gereja terhadap monarkhianisme, yakni Tertullianus dan Novatianus.
Dalam sebuah tulisan melawan Praxeas, seorang pengikut Monarkhianisme, Tertullianus memasukkan beberapa gagasan filosofis ke dalam ajaran Trinitas yang kemudian menjadi sangat penting. Untuk hakikat Allah, ia memakai kata substantia. Ia mengatakan bahwa hanya bisa ada satu substansi rohani Allah. Substansi ilahi yang esa ini menampakkan diri atas tiga “cara berada” dalam sejarah keselamatan. Namun, ajaran Tertullianus ini bukan modalisme, karena menurut Tertullianus, penampakan tigaganda itu mempunyai arti juga bagi Allah dalam diri-Nya sendiri. Mereka bertiga yang tampak dalam Wahyu Kitab Suci dinamakannya personae (pribadi). Tetapi mereka tidak sederajat. Pribadi Bapa bisa dipikirkan tanpa hubungan dengan ciptaan dan umat manusia. Sedangkan Putra dan Roh berasal dari Bapa sebagai tenaga dan status (bentuk) dari substansi yang esa itu, agar melalui tangga/ status itu, Allah bisa berhubungan dengan dunia. Rumusan yang dibentuk Tertullianus adalah TRES PERSONAE UNIUS DIVINITATIS (tiga pribadi dari satu keallahan.
Sedangkan Novatianus tidak bertolak dari kerohanian Allah, tetapi sama seperti filsafat Yunani, ia bertolak dari sifat Allah yang sederhana (tidak tersusun dari bagian-bagian) dan transenden. Menurutnya, munculnya Sabda (ia gunakan kata sermo) tidak berhubungan dengan pengutusan ke dunia, tetapi dengan sesuatu yang terjadi di dalam Allah yang esa, sederhana dan tidak berubah. Secara imanen dan abadi, Allah mengucapkan sebuah sabda dan dengan demikian hakikat Allah yang abadi, tak kelihatan dan tanpa awal berelasi dengan Sabda-Nya sendiri, di dalam-Nya, hakikat itu mengungkapkan diri. Dengan demikian, Novatianus menentukan perbedaan-perbedaan intra-ilahi. Perbedaan intra-ilahi itu sebagai berikut : Bapa tidak dilahirkan dan inilah ciri-Nya yang khas. Putra atau Sabda itu dilahirkan. Tetapi, dengan demikian, tidak terjadi perbedaan di dalam hakikat ilahi yang esa : substansi Allah yang esa dan tak terbagi “dimiliki” bersama-sama oleh keduanya.
E.     Perkembangan Ajaran Trinitas yang Resmi Gerejani  Hingga Konsili Konstantinopel
Konstantinus Agung adalah kaiser imperium Roma yang pertama-tama memeluk agama Kristen. Pada tahun 325 M, atas anjurannya maka dilangsungkannya Sidang Gereja sedunia yang pertama-tama yakni di Nicea yang kemudian dikenal dengan sebutan Konsili Nicea.
Konsili ini diadakan untuk menyelesaikan perbedaan pokok keyakinan di dalam agama Kristen yakni antara aliran Arianisme dan aliran Athanasianisme. Arianisme berkeyakinan bahwa Allah itu Maha Esa tanpa oknum (unitari faith) dan bahwa Yesus Kristus itu adalah manusia biasa tetapi menjabat sebagai Rasul Allah. Sedangkan Athanasianisme berkeyakinan bahwa Allah itu Maha Esa tetapi terdiri dari tiga oknum (trinity faith) dan Yesus Kristus adalah Anak Allah yang menjelma di bumi.
Konsili Nicea memutuskan trinity faith sebagai keyakinan resmi dalam agama Kristen dan Arianisme dinyatakan sebagai ajarah bida’ah (Heresy). Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Kaisar Konstantinus Agung sendiri berbalik menganut unitary faith itu dan mengumumkannya sebagai keyakinan resmi dalam agama Kristen. Hal ini berkelanjutan sampai pada masa pemerintahan Kaisar Theodosius (379-395 M) yang berbalik mengumumkan trinity faith sebagai keyakinan resmi dalam agama Kristen.
Mayoritas konsili itu menerima sebuah pengakuan iman (syahadat) dari Siria/ Palestina yang bagian kristologisnya diperluas dengan rumusan yang jelas menolak ajaran Arius. Bagian itu diterima oleh hampir semua Gereja dan berlaku sampai sekarang. Rumusan itu adalah :
“ … Putra Allah yang tunggal, Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad. Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, Ia dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa”.

Keputusan penting lainnya dari Konsili Nicea adalah menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Yunani di Athena dan Antiokia serta Roma dan melarang diadakannya pelajaran logika. Sejak ini berhentilah perkembangan alam pikiran di Barat dan masa ini kemudian disebut sebagai “Zaman Gelap” (Dark Ages).
Setelah Konsili, Arianisme juga terpecah menjadi beberapa aliran. Yang satu mengajarkan bahwa Putra tidak mirip (anhomoios) dengan Bapa. Yang lain tidak mau berspekulasi dan mengatakan bahwa Putra itu mirip (homoios) dengan Bapa “menurut Kitab Suci” dan aliran ketiga yang disebut semi arianisme menolak pendapat Arius bahwa Putra diciptakan dari ketiadaan pada saat tertentu, tetapi di pihak lain aliran ini menolak homo- ousios (sehakikat) yang tegas dari Konsili Nicea. Aliran ini mengajarkan bahwa Putera dalam segala hal mirip dengan Bapa (homoi- ousios). Dan Kaiser mendukung pendapat yang terakhir ini.
Dalam membela ajaran Nicea, Athanasius amat berperanan. Ia menekankan kesamaan hakikat antara Bapa dan Putra. Homo-ousios dari Konsili Nicea menjadi pusat ajarannya. Tetapi, ia tidak bisa menjelaskan perbedaan antara Bapa dan Putra. Karena ia berbahasa Yunani, maka ia tidak menggunakan kata “persona” seperti Tertullianus, atau kata “prosopon”, karena modalisme telah menggunakan kata itu secara salah. Ia menggunakan kata ousia dan hupostasis yang keduanya diberi arti sama, yakni hakikat.
Selannjutnya, ketiga pujangga dari Kappadokia, yaitu Basillius Agung, Gregorius dari Nyssa dan Gregorius dari Nazianz bisa menyelesaikan persoalan mengenai perbedaan itu. Menurut mereka, hakikat ilahi yang tak terbatas, secara absolut tidak dapat dipahami. Tetapi, hakikat yang esa itu mengembangkan diri ke dalam ketigaan : Bapa, Putra dan Roh. Dan hakikat yang ada dalam ketigaan itu dapat dipahami. Ketiganya memiliki sifat-sifat hupostasis, yaitu sifat-sifat khas, sifat yang tidak dapat diberikan satu kepada yang lain. Hupostasis atau ciri khas Bapa ialah bahwa Ia tidak dilahirkan, sebab Ia adalah sumber tanpa sumber, Ia sumber terakhir. Hupostasis Putra ialah bahwa Ia dilahirkan. Dan Hupostasis Roh adalah bahwa Ia dihembuskan. Dalam hakikat, ketiga-tiganya adalah satu, satu dalam hakikat tak terbatas Bapa, dariNya Putra dan Roh berasal tanpa meninggalkannya.
Para pujangga Kappadokia mempunyai minat khusus untuk menjelaskan posisi Roh Kudus, karena pada pertengahan abad ke-4, muncul suatu ajaran yang sejajar dengan Arianisme yang mengatakan bahwa Roh Kudus merupakan ciptaan, semacam wujud pengantara antara Allah dan ciptaan, sehingga jelaslah Roh itu lebih rendah dari Allah yang Esa. Aliran ini disebut PNEUMATOMAKHOI (penentang Roh Kudus). Melawan pendapat ini, para pujangga Kappadokia menerapkan “homo-ousios” dari Syahadat Nicea, yaitu adanya kesejajaran antara Putra dan Roh, sebab kedua-Nya berasal dari Bapa. Roh berasal dari Bapa melalui Putra.
Pada tahun 381, Kaiser Theodosius menyelenggarakan satu konsili, yaitu Konsili Konstantinopel untuk membicarakan lebih lanjut tentang Trinitas. Hasilnya adalah lahirlah syahadat Konsili Konstantinopel yang kemudian diterima oleh Konsili Khalcedon (451). Syhadat itu berbicara tentang Roh Kudus sekian, sehingga jelas Ia dianggap Allah juga. Rumusannya :
 “Aku percaya akan Roh Kudus, Tuhan dan Pemberi Hidup, Ia berasal dari Bapa. Bersama Bapa dan Putra Ia disembah dan dimuliakan. Ia bersabda dengan perantaraan para nabi”.

3.1.2   Arti Substansi, Hakekat dan Pribadi
Kata Substansi sering diterjemahkan sebagai hakekat/kodrat dari diri kita, yakni manusia. Kodrat sebagai manusia ini adalah sama untuk semua orang. Tetapi jika kita menyebut pribadi, maka kita tidak dapat menyamakan orang yang satu dengan yang lain, karena setiap pribadi itu adalah unik. Dalam bahasa sehari-hari, pribadi kita masing-masing diwakili oleh kata aku (atau ‘I’ dalam bahasa Inggris), di mana aku yang satu berbeda dengan aku yang lain. Sedangkan, substansi/ hakekat kita diwakili dengan kata manusia (atau ‘human’).
Analogi yang paling mirip (walaupun tentu tak sepenuhnya menjelaskan misteri Allah ini) adalah kesatuan antara jiwa dan tubuh dalam diri kita. Tanpa jiwa, kita bukan manusia, tanpa tubuh, kita juga bukan manusia. Kesatuan antara jiwa dan tubuh kita membentuk hakekat kita sebagai manusia, dan dengan sifat-sifat tertentu membentuk kita sebagai pribadi.
Dengan prinsip yang sama, maka di dalam Trinitas, substansi/hakekat yang ada adalah satu, yaitu Tuhan, sedangkan di dalam kesatuan tersebut terdapat tiga Pribadi atau ada tiga Aku, yaitu Bapa, Putera dan Roh Kudus. Tiga pribadi manusia tidak dapat menyamai makna Trinitas, karena di dalam tiga orang manusia, terdapat tiga kejadian/instances kodrat manusia, sedangkan di dalam tiga Pribadi ilahi, terdapat hanya satu kodrat Allah, yang identik dengan ketiga Pribadi tersebut.  Dengan demikian, ketiga Pribadi Allah mempunyai kesamaan hakekat Allah yang sempurna, sehingga ketiganya membentuk kesatuan yang sempurna. Yang membedakan Pribadi yang satu dengan yang lainnya hanyalah terletak dalam hal hubungan timbal balik antara ketiganya.
3.1.3   Dasar Kitab Suci dan Pengajaran Gereja tentang Trinitas
3.1.3.1  Dasar Kitab Suci
Kitab Suci tidak secara eksplisit menyebut istilah Trinitas atau Allah Tritunggal Mahakudus. Hal ini tidak berarti bahwa ajaran tentang Trinitas tidak memiliki dasar biblis, tetapi justru dogma ini berpijak pada Kitab Suci itu sendiri. Karena itu, terdapat beberapa dasar Alkitabiah yang berbicara tentang Allah Tritunggal Mahakudus, yakni :
·                Pada saat penciptaan, dalam Kitab Kejadian Allah berkata: "Marilah Kita ...", kata Kita merupakan subjek jamak.
·                Saat Yesus dibaptis di sungai Yordan, Ia menunjukkan kepribadian-Nya pada saat yang sama dan bermunculan bersama-sama dengan Roh Kudus (dalam manifestasi burung merpati) turun ke atas Anak, dan Bapa berfirman dengan lantang penuh kasih.
·                Saat penciptaan, di mana Bapa mencipta, Anak berfirman, dan Roh Kudus yang memulihkan (melayang-layang) sempurna.
·                Saat Pencurahan Pentakosta, di mana Bapa mengutus, Anak yang memberikan Roh Kudus, dan Roh Kudus tercurah pada murid-murid Yesus yang ada di atas loteng.
·                Saat Yesus berada di atas gunung, setelah Ia meneladani manusia dengan berdoa, Ia menunjukkan kemuliaan-Nya dan menampakkan kepribadian-Nya dengan wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang, kemudian Roh Kudus turun, dan awan yang terang menaungi 3 orang murid Yesus. Bapa dari dalam awan itu memperdengarkan suara-Nya dan berkata: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia."
Yesus menunjukkan persatuan yang tak terpisahkan dengan Allah Bapa, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30); “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa…” (Yoh 14:9). Di dalam doa-Nya yang terakhir untuk murid-murid-Nya sebelum sengsara-Nya, Dia berdoa kepada Bapa, agar semua murid-Nya menjadi satu, sama seperti Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa (lih. Yoh 17: 21). Dengan demikian, Yesus menyatakan Diri-Nya sama dengan Allah: Ia adalah Allah. Hal ini mengingatkan kita akan pernyataan Allah Bapa sendiri, tentang ke-Allahan Yesus, sebab Allah Bapa menyebut Yesus sebagai Anak-Nya yang terkasih, yaitu pada waktu pembaptisan Yesus (lih. Luk 3: 22) dan pada waktu Yesus dimuliakan di atas gunung Tabor (lih. Mat 17:5).
Yesus juga menyatakan keberadaan Diri-Nya yang telah ada bersama-sama dengan Allah Bapa sebelum penciptaan dunia (lih. Yoh 17:5). Kristus adalah sang Sabda/ Firman, yang ada bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah, dan oleh-Nya segala sesuatu dijadikan (Yoh 1:1-3). Tidak mungkin Yesus menjadikan segala sesuatu, jika Ia bukan Allah sendiri.
Selain menyatakan kesatuan-Nya dengan Allah Bapa, Yesus juga menyatakan kesatuan-Nya dengan Roh Kudus, yaitu Roh yang dijanjikan-Nya kepada para murid-Nya dan disebutNya sebagai Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa (lih. Yoh 15:26). Roh ini juga adalah Roh Yesus sendiri, sebab Ia adalah Kebenaran (lih. Yoh 14:6). Kesatuan ini ditegaskan kembali oleh Yesus dalam pesan terakhir-Nya sebelum naik ke surga, “…Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus…” (Mat 28:18-20).
Selanjutnya, kita melihat pengajaran dari para Rasul yang menyatakan kembali pengajaran Yesus ini. Contohnya, Rasul Yohanes yang mengajarkan bahwa Bapa, Firman (yang adalah Yesus Kristus), dan Roh Kudus adalah satu (lih 1 Yoh 5:7); demikian juga pengajaran Petrus (lih. 1 Pet:1-2; 2 Pet 1:2); dan Paulus (lih.  1Kor 1:2-10; 1Kor 8:6; Ef 1:3-14).
3.1.3.2  Dasar dari Pengajaran Bapa Gereja
Para Rasul mengajarkan apa yang mereka terima dari Yesus, bahwa Ia adalah Sang Putera Allah, yang hidup dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Allah Roh Kudus. Iman akan Allah Trinitas ini sangat nyata pada Tradisi umat Kristen pada abad-abad awal. Selain itu, para Bapa Gereja memberikan ajarannya tentang Trinitas.
1.        St. Paus Clement dari Roma (menjadi Paus tahun 88-99) mengajarkan:
“Bukankah kita mempunyai satu Tuhan, dan satu Kristus, dan satu Roh Kudus yang melimpahkan rahmat-Nya kepada kita?;
2.        St. Ignatius dari Antiokhia (50-117) membandingkan jemaat dengan batu yang disusun untuk membangun bait Allah Bapa yang diangkat ke atas oleh ‘katrol’ Yesus Kristus yaitu Salib-Nya dan oleh ‘tali’ Roh Kudus;
3.        St. Polycarpus (69-155), dalam doanya sebelum ia dibunuh sebagai martir menegaskan: “Aku memuji Engkau (Allah Bapa), aku memuliakan Engkau, melalui Imam Agung yang ilahi dan surgawi, Yesus Kristus, Putera-Mu yang terkasih, melalui Dia dan bersama Dia, dan Roh Kudus, kemuliaan bagi-Mu sekarang dan sepanjang segala abad. Amin”;
4.        St. Irenaeus (115-202) mengajarkan : “Sebab bersama Dia (Allah Bapa) selalu hadir Sabda dan kebijaksanaan-Nya, yaitu Putera-Nya dan Roh Kudus-Nya, yang dengan-Nya dan di dalam-Nya, Ia menciptakan segala sesuatu, yang kepadaNya Ia bersabda, “Marilah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran Kita”;
5.        St. Clement dari Alexandria [150-215 AD] mengajarkan: “Sang Sabda, Kristus, adalah penyebab, dari asal mula kita, karena Ia ada di dalam Allah dan penyebab dari kesejahteraan kita. Dan sekarang, Sang Sabda yang sama ini telah menjelma menjadi manusia. Ia sendiri adalah Tuhan dan manusia, dan sumber dari semua yang baik yang ada pada kita”.
6.        St. Hippolytus [170-236 AD] mengajarkan: “Hanya Sabda Allah yang adalah dari diri-Nya sendiri dan karena itu adalah juga Allah, menjadi substansi Allah, sebab Kristus adalah Allah di atas segala sesuatu yang telah merencanakan penebusan dosa dari umat manusia”;
7.        St. Athanasius (296-373) menegaskan: “Sebab Putera ada di dalam Bapa dan Bapa ada di dalam Putera. Mereka itu satu, bukan seperti sesuatu yang dibagi menjadi dua bagian namun dianggap tetap satu, atau seperti satu kesatuan dengan dua nama yang berbeda. Mereka adalah dua, dalam arti Bapa adalah Bapa dan bukan Putera, demikian halnya dengan Putera. Tetapi kodrat/ hakekat mereka adalah satu, sebab anak selalu mempunyai hakekat yang sama dengan bapanya, dan apa yang menjadi milik BapaNya adalah milik Anak-Nya”;
8.        St. Agustinus (354-430) mengajarkan: “Allah Bapa dan Putera dan Roh Kudus adalah kesatuan ilahi yang erat, yang adalah satu dan sama esensinya, di dalam kesamaan yang tidak dapat diceraikan, sehingga mereka bukan tiga Tuhan, melainkan satu Tuhan. Meskipun Allah Bapa telah melahirkan (has begotten) Putera, dan Putera lahir dari Allah Bapa, namun Ia yang adalah Putera bukanlah Bapa, dan Roh Kudus bukanlah Bapa ataupun Putera, namun Roh Bapa dan Roh Putera; dan Ia sama (co-equal) dengan Bapa dan Putera, membentuk kesatuan Tritunggal”. Selain itu, untuk menjelaskan konsep Trinitas, Agustinus membuat contoh beberapa trilogy, yaitu :
a)             seorang pribadi yang mengasihi, pribadi yang dikasihi dan kasih itu sendiri;
b)             trilogi pikiran manusia, yang terdiri dari pikiran (mind), pengetahuan (knowledge) dan kasih (love) yang olehnya pikiran dapat mengasihi dirinya;
c)             ingatan (memory), pengertian (understanding) dan keinginan (will).
3.1.3.3  Dasar Pengajaran Gereja/ Dogma tentang Trinitas
Syahadat Aku Percaya menyatakan bahwa rahasia sentral iman Kristiani adalah Misteri Allah Tritunggal. Maka, Trinitas adalah dasar iman Kristen yang utama yang disingkapkan dalam diri Yesus. Seperti kita ketahui di atas, iman kepada Allah Tritunggal telah ada sejak zaman Gereja abad awal, karena didasari oleh perkataan Yesus sendiri yang disampaikan kembali oleh para murid-Nya. Jadi, tidak benar jika doktrin ini baru ditemukan dan ditetapkan pada Konsili Konstantinopel I pada tahun 359. Konsili Konstantinopel I mencantumkan pengajaran tentang Allah Tritunggal secara tertulis sebagai kelanjutan dari Konsili Nicea (325), dan untuk menentang heresies (ajaran sesat) yang berkembang pada abad ke-3 dan ke-4, seperti Arianisme yang menentang kesetaraan Yesus dengan Allah Bapa dan Sabellianisme (oleh Sabellius 215) yang membagi Allah dalam tiga modus, sehingga seolah ada tiga Pribadi yang terpisah.
Dari sejarah Gereja kita melihat bahwa konsili-konsili diadakan untuk menegaskan kembali ajaran Gereja yang sudah berakar sebelumnya dan menjaganya terhadap serangan ajaran-ajaran sesat/ menyimpang. Jadi, yang ditetapkan dalam konsili merupakan peneguhan ataupun penjabaran ajaran yang sudah ada, dan bukannya menciptakan ajaran baru. Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan semakin menyadari bahwa Tuhan Yesus sendiri menjaga Gereja-Nya, sebab setiap kali Gereja ‘diserang’ oleh ajaran yang sesat, Allah mengangkat Santo/Santa yang dipakai-Nya untuk meneguhkan ajaran yang benar dan Yesus memberkati para penerus rasul dalam konsili-konsili untuk menegaskan kembali kesetiaan ajaran Gereja terhadap pengajaran Yesus kepada para Rasul. Karena itu, Gereja memberikan ajaran-ajarannya (Dogma) tentang Trinitas, yakni :
1.        Tritunggal adalah Allah yang satu.[Pribadi ini tidak membagi-bagi ke-Allahan seolah masing-masing menjadi sepertiga, namun mereka adalah ‘sepenuhnya dan seluruhnya’. Bapa adalah yang sama seperti Putera, Putera yang sama seperti Bapa; dan Bapa dan Putera adalah yang sama seperti Roh Kudus, yaitu satu Allah dengan kodrat yang sama. Karena kesatuan ini, maka Bapa seluruhnya ada di dalam Putera, seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Putera seluruhnya ada di dalam Bapa, dan seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Roh Kudus ada seluruhnya di dalam Bapa, dan seluruhnya di dalam Putera;
2.        Ketiga Pribadi ini berbeda secara real satu sama lain, yaitu di dalam hal hubungan asalnya, yaitu Allah Bapa yang ‘melahirkan’, Allah Putera yang dilahirkan, Roh Kudus yang dihembuskan;
3.        Ketiga Pribadi ini berhubungan satu dengan yang lainnya. Perbedaan dalam hal asal tersebut tidak membagi kesatuan ilahi, namun malah menunjukkan hubungan timbal balik antar Pribadi Allah tersebut. Bapa dihubungkan dengan Putera, Putera dengan Bapa, dan Roh Kudus dihubungkan dengan keduanya. Hakekat mereka adalah satu, yaitu Allah.
3.1.4   Trinitas adalah Suatu Misteri
Trinitas hanya dapat dipahami dalam kacamata iman, karena ini adalah suatu misteri, meskipun ada banyak hal juga yang dapat kita ketahui dalam misteri tersebut. Manusia dengan pemikiran sendiri memang tidak akan dapat mencapai pemahaman sempurna tentang misteri Trinitas, walaupun misteri itu sudah diwahyukan Allah kepada manusia. Namun demikian, kita dapat mulai memahaminya dengan mempelajari dan merenungkan Sabda Allah dalam Kitab Suci, pengajaran para Bapa Gereja dan Tradisi Suci yang ditetapkan oleh Magisterium (seperti hasil Konsili), juga dengan bantuan filosofi dan analogi seperti diuraikan di atas. Selanjutnya, pemahaman kita akan kehidupan Trinitas akan bertambah jika kita mengambil bagian di dalam kasih Trinitas itu, seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.
Di sinilah pentingnya peran Sakramen dan doa. Sakramen Pembaptisan merupakan rahmat awal, ‘gerbang’ yang memungkinkan kita mengambil bagian dalam kehidupan ilahi. Sakramen Ekaristi mengambil peranan utama, karena di dalamnya kita menyambut Kristus sendiri, dan dengan demikian kita mengambil bagian di dalam kehidupan Allah Tritunggal melalui Yesus. Di sinilah juga pentingnya peran penghayatan akan Sakramen Perkawinan, sebab di dalam Perkawinan, kita melihat bagaimana hubungan kasih antara suami dan istri yang direncanakan oleh Allah untuk menjadi gambaran akan kasih Allah Tritunggal. Demikian pula, kasih Allah Tritunggal pula yang mengilhami Sakramen Tahbisan Suci, karena melalui Tahbisan Suci, para imam dipanggil untuk meniru teladan hidup Yesus, terutama dalam hal mengasihi, yaitu dengan memberikan diri kepada Allah dan sesama secara total. Memang, pada dasarnya sakramen-sakramen adalah ‘sarana’ yang diberikan oleh Allah kepada kita, agar kita dapat mengambil bagian di dalam kehidupan ilahi-Nya.
3.2         Spiritualitas Kristiani adalah Spiritualitas yang Otentik
Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa spiritualitas yang dinyatakan oleh Kristus adalah spiritualitas yang otentik, meskipun Gereja Katolik tidak menolak apa yang benar dan kudus yang dinyatakan oleh agama-agama lain. Dikatakan otentik karena spiritualitas ini berasal dari Tuhan sendiri, yang kini berada di dalam Gereja Katolik yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan para uskup pembantunya, meskipun ada banyak unsur pengudusan dan kebenaran ditemukan di luar struktur Gereja Katolik. Berakar dari Firman Tuhan dan ajaran Gereja inilah, kita mengetahui bahwa panggilan hidup kita sebagai manusia adalah agar kita hidup kudus dan mengasihi, karena Allah itu Kudus dan Kasih (Im 19:2, 1Yoh 4:16). Di sini kekudusan berkaitan erat dengan memegang dan melakukan perintah Tuhan, yang adalah perintah untuk mengasihi Tuhan dan sesama (Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31). Hanya dengan cara ini, maka kita dapat bertumbuh untuk menjadi ‘serupa’ dengan Allah, dan dikuduskan oleh Allah. Panggilan hidup kudus adalah panggilan bagi semua orang Kristiani, bahkan panggilan untuk semua orang, karena kita semua diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama. Jadi, kekudusan bukan monopoli kelompok para pastor, suster dan religius lainnya tetapi harus menjadi tujuan bagi kita semua.
Konsili Vatikan II menyerukan panggilan untuk hidup kudus kepada semua orang. Siapapun kita, dalam kondisi yang berbeda satu dengan lainnya, dipanggil Tuhan untuk menjadi kudus, sebab Allah sendiri adalah Kudus. Jadi, panggilan ini berasal dari Allah yang satu, dan berlaku untuk semua orang, karena Allah menciptakan semua orang di dalam kesatuan, dan menginginkan kesatuan itu kembali di dalam diriNya, yang berlandaskan kasih. Maka, nyatalah bahwa Spiritualitas Katolik mengarah kepada kekudusan dan kasih di dalam kesatuan yang universal, yaitu yang merangkul semua orang kepada persatuan di dalam Tuhan. Persatuan ini adalah kesempurnaan dari hidup Kristiani, yang dihasilkan dari penerapan pengajaran Tuhan di dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, spiritualitas yang otentik haruslah diikuti oleh penerapan di dalam perbuatan, sebab jika tidak, spiritualitas menjadi hanya sebatas teori.
3.3         Ekaristi adalah Sumber dan Puncak Spiritualitas Kristiani
3.3.1   Pengertian Liturgi Ekaristi
Istilah Ekaristi berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang berarti puji syukur. Kata eucharistia merupakan terjemahan Yunani untuk bahasa Yahudi birkat yang dalam perjamuan Yahudi merupakan doa puji syukur sekaligus permohonan atas karya penyelamatan Allah. Istilah perayaan ekaristi merupakan istilah yang sangat bagus untuk digunakan. Istilah ini mau menekankan makna ekaristi sebagai puji syukur atas karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus. Istilah ini lebih menekankan segi isi dari apa yang dirayakan.
Sedangkan istilah misa digunakan untuk menunjuk seluruh perayaan ekaristi dengan mau menekankan aspek perutusan untuk melayani Tuhan dan sesama serta mewartakan kabar baik kepada segala bangsa. Maka, istilah misa menghubungkan dengan erat antara perayaan atau pengungkapan iman dengan perwujudan iman dalam hidup sehari-hari.
Konsili Vatikan II melahirkan dokumen penting yang berbicara tentang Ekaristi, yaitu Konstitusi SACROSANCTUM CONCILLIUM. Konstitusi ini memberikan rumusan yang sangat dogmatis tentang ekaristis, yaitu :
“ dalam perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan kurban ekaristi tubuh dan darahNya, untuk melangsungkan kurban salib selama peredaran abad sampai Ia datang kembali. Dengan demikian, Ia mempercayakan kepada Gereja, mempelaiNya yang tercinta pengenangan akan wafat dan kebangkitanNya; sakramen kasih saying, tanda kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah, di mana Kristus disantap, jiwa dipenuhi rahmat, dan diberikan jaminan kemuliaan kelak (SC 47)”.
Bertolak dari rumusan yang bersifat dogmatis itu, maka Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi “Sacrosanctum Concillium” menjelaskan beberapa pokok penting tentang Ekaristi, yaitu :
1)        Pengenangan. Ekaristi adalah kenangan akan Paskah Kristus. Dalam “Doa Syukur Agung”, sesudah kata-kata penetapan, ditemukan sebuah doa yang dinamakan ANAMNESE atau pengenangan. Anamnese tidak hanya berarti mengenangkan kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, tetapi juga berarti mewartakan karya-karya agung yang telah dilakukan Allah untuk manusia (bdk. Kel 13: 3).
2)        Kurban. Lumen Gentium 28 menyatakan bahwa para imam, dalam ekaristi atau Synaxis (pertemuan), memaklumkan misteri Kristus, mempersatukan doa kaum beriman, dan dalam kurban misa dihadirkan serta diterapkan satu-satunya kurban Perjanjian Baru, yakni kurban Kristus yang mempersembahkan diri satu kali sebagai kurban tak bernoda kepada Bapa. Ekaristi adalah ucapan syukur atau kurban pujian, karena dengan merayakan ekaristi Gereja memuliakan Allah atas nama seluruh ciptaan.
3)        Kehadiran Kristus. Kristus hadir dalam kurban misa, baik dalam pribadi pelayan, maupun terutama dalam rupa ekaristi. Ekaristi berarti Kristus bersatu dengan GerejaNya. Ekaristi juga berarti Kristus yang hadir dalam umatNya yang berdoa. Seorang imam berbicara dan bertindak atas nama dan dalam pribadi Kristus demi kepentingan umat. Selain itu, Kristus juga hadir dalam Sabda Kitab Suci, sebab Kitab Suci adalah Sabda Tuhan.
4)        Tanda Kesatuan (aspek eklesial). Ekaristi membangun gereja. Siapa yang menerima ekaristi akan disatukan lebih erat dengan Kristus. Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman lainnya menjadi satu tubuh, yaitu Gereja. Dalam Ekaristi, Gereja lahir, hidup dan menampakkan dirinya atas cara yang paling konkret. Ekaristi merangkum aspek yang tidak kelihatan (misteri), maupun aspek kelihatan dari identitas Gereja itu sendiri.
5)        Sakramen. Ekaristi adalah sakramen keselamatan, karena ekaristi memberikan inspirasi kepada kehidupan umat beriman.
6)        Jaminan Kemuliaan yang akan datang. Ekaristi adalah jaminan yang paling aman dan tanda yang paling jelas bahwa harapan besar akan  surga baru dan dunia baru, di mana terdapat keadilan, akan terpenuhi.
Perayaan Ekaristi memiliki banyak nama. Penamaan yang bervariasi itu sesungguhnya mau menekankan aspek-aspek tertentu dan menunjukkan kekayaan sakramen ekaristi itu sendiri. Nama- nama sakramen ekaristi itu, adalah :
1)        Ekaristi disebut Gratiarum Actio. Ekaristi adalah ucapan terima kasih kepada Allah.
2)        Ekaristi disebut “Coena Dominica” (bdk. 1 Kor 11: 20). Ekaristi adalah perjamuan Tuhan
3)        Ekaristi disebut “Fractio Panis”. Ekaristi adalah pemecahan roti, karena ritus yang khas pada perjamuan Yahudi ini digunakan juga oleh Yesus pada waktu perjamuan terakhir.
4)        Ekaristi disebut “Sacra Synaxis”. Ekaristi berarti perhimpunan ekaristi, karena ekaristi dirayakan dalam perhimpunan umat beriman (congregation fidelium), di mana Gereja dinyatakan secara kelihatan.
5)        Ekaristi disebut “memoriale atau anamnesis”. Ekaristi adalah kenangan, karena perjamuan itu dibuat sebagai kenangan akan kesengsaraan dan kebangkitan Tuhan.
6)        Ekaristi disebut “ Sacrificium Eucharisticum” atau “Sacrificium Missae”. Ekaristi adalah kurban kudus, karena ia menghadirkan kurban tunggal Kristus. Ekaristi juga mencakup penyerahan diri Gereja.
7)        Ekaristi disebut juga Liturgi Kudus dan Ilahi, karena seluruh liturgy Gereja berpusat dalam perayaan sakramen ini dan paling jelas terungkap di dalamnya.
8)        Ekaristi disebut juga “Communio”, karena di dalam sakramen ini umat menyatukan diri dengan Kristus, mengambil bagian dalam tubuh dan darahNya.
9)        Ekaristi disebut juga Misa Kudus, karena liturgy berakhir dengan pengutusan umat beriman (missio), supaya mereka melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan sehari-hari.
3.3.2   Makna Liturgi Ekaristi
Di dalam kurban Ekaristi, para anggota Gereja menyatukan diri mereka dengan Kristus, Sang Kepala, untuk mempersembahkan pujian dan syukur kepada Allah Bapa. Di sini Kristus menjadi sekaligus Imam dan Kurban. Kata “Ekaristi” sendiri berarti ucapan terima kasih kepada Allah’, dan sesungguhnya adalah doa Yesus Kristus kepada Allah Bapa. Keikutsertaan kita dalam doa Yesus yang disampaikan kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus adalah liturgi, sehingga liturgi adalah suatu tindakan Yesus sebagai Kepala dan Gereja sebagai TubuhNya. Yesus yang sungguh hadir di dalam liturgi Ekaristi, mengubah roti dan anggur oleh kuasa Roh Kudus menjadi Tubuh dan DarahNya, melalui perkataan-Nya yang diucapkan oleh imam, “Inilah TubuhKu, yang diberikan bagi-Mu dan Inilah DarahKu yang ditumpahkan bagimu (Mat 26:26-28; Mark 14:22-24; Lk 22:19-20).
Dengan mengambil bagian di dalam doa ini, kita menaikkan pikiran dan hati kepada Tuhan, dan di dalam iman, kita menerima rahmat yang tak terhingga, yaitu Kristus sendiri di dalam rupa hosti kudus, yang menguduskan kita. Dengan demikian kita mengalami kepenuhan doa sebagai karunia Tuhan. Kita memberi kemuliaan kepada Tuhan, tidak hanya dengan menerima karunia itu, tetapi juga dengan memberikan diri kita kepada Tuhan, dalam arti kita ‘berdoa di dalam Roh’ (Ef 6:18) untuk menghidupkan di dalam batin kita kasih Bapa yang dinyatakan dalam Kristus untuk mendatangkan keselamatan bagi kita. Dengan Allah sendiri yang hidup di dalam kita, maka kita menjadi sungguh-sungguh ‘hidup’. Inilah yang disebut kemuliaan Tuhan.
Di dalam Ekaristi, kita menjadikan Karya Keselamatan Allah sebagai bagian dari diri kita sendiri, karena kita mempersatukan diri dan dipersatukan dengan Kristus yang menjadi Kurban satu-satunya yang dipersembahkan kepada Allah, yaitu Kurban yang menyelamatkan umat manusia. Dengan demikian, liturgi Ekaristi menjadi sumber doa dan tujuan doa kita. Karena itu, Ekaristi dikatakan sebagai puncak kehidupan Gereja, kesempurnaan kehidupan rohani dan arah tujuan dari segala sakramen Gereja.
Ekaristi adalah sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani, sebab Ekaristi memiliki beberapa makna, yaitu :
1.        Mempersatukan kita dengan Kristus terutama dalam penderitaan kita;
2.        Ekaristi adalah contoh kerendahan hati Kristus;
3.        Ekaristi membawa kita pada pertobatan terus-menerus;
4.        Ekaristi adalah sakramen kasih yang mempersatukan;
5.        Ekaristi membawa perubahan
Sungguh luas dan dalamlah makna Ekaristi dalam kehidupan rohani kita. Namun, buah dari penerimaan Ekaristi ini tergantung dari sikap kita. Semakin murni hati kita, semakin berlimpahlah rahmat yang kita terima. Kita harus menerima Ekaristi di dalam keadaan berdamai dengan Allah (tidak sedang dalam dosa berat) dan di dalam iman. Di dalam liturgi Ekaristi, pikiran kita harus bersatu dengan perkataan doa kita, dan kita harus bekerja sama dengan rahmat itu. Jika tidak, kita menerimanya dengan sia-sia (lih. 2 Kor 6:1).
Kita harus memiliki pikiran dan hati seperti Bunda Maria yang mengambil bagian secara penuh di dalam Misteri Paska Kristus, dengan jawaban ‘ya’ yang total kepada Tuhan. Ia mempersembahkan dirinya seutuhnya kepada Allah sambil menanggung penderitaan sebagai ibu, yang mencapai puncaknya pada saat ia melihat kesengsaraan dan kematian Anaknya di hadapan matanya sendiri atas tuduhan dosa yang tidak pernah diperbuat oleh-Nya. Oleh karena itu, Bunda Maria menjadi teladan dalam hal iman, kasih dan persatuan yang sempurna dengan Kristus. Dengan menyerahkan segala kehendak bebasnya kepada Allah, Bunda Maria memberikan contoh kepada kita untuk bekerjasama dengan Allah.
Ekaristi adalah “sakramen kasih, tanda kesatuan, dan ikatan kasih”, sebuah Perjamuan Paska di mana Kristus dikurbankan untuk mengisi kita dengan rahmat yang menghantar kita kepada kehidupan kekal. Sebagai sakramen kasih, Ekaristi menjadi sumber kekuatan bagi kita untuk mencapai kesempurnaan kasih, yaitu kekudusan. Sebagai tanda kesatuan, Ekaristi menandai persatuan antara Tuhan dengan semua orang beriman (Gereja), dan melalui Gereja, dengan seluruh dunia. Sebagai ikatan kasih, Ekaristi mengarah pada persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Sebagai Perjamuan Paska, Ekaristi menggambarkan tujuan akhir kita di surga. Sungguh, Ekaristi menjadi ‘Surga di Dunia’. Oleh karena itu, Ekaristi menjadi sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani.
















BAB IV
PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KRISTIANI
DI ERA POSTMODERN

4.1         Spiritualitas dan Masyarakat Modern
Dewasa ini, kehidupan manusia di era modern sarat dengan gejolak yang pada akhirnya memunculkan  pertanyaan mengapa seseorang bisa beragama dan taat pada peraturan agamanya, sementara pada saat yang bersamaan yang bersangkutan tidak memiliki kepedulian terhadap sesama manusia. Mengapa sebuah keberagamaan bisa hanya berorientasi pada kesalehan individual dan tidak disertai dengan kesalehan sosial. Alih-alih membawa kemaslahatan bagi masyarakat banyak, justru tindakan orang-orang yang mengaku beragama tersebut menimbulkan kerugian sosial, konflik sosial, dan bahkan luka dan trauma sosial yang mengangga lebar.
Di sinilah letak kegagalan spiritualitas yang dirasuki cara pandang dunia modern yang berorientasi pada individualisme. Bisa dikatakan semua pemikir modernitas menekankan individualisme sebagai pusatnya. Secara filosofis, individualisme memiliki arti sebagai suatu penolakan bahwa diri pribadi manusia secara internal berhubungan dengan hal-hal lain, bahwa setiap individu manusia sangat ditentukan oleh hubungannya dengan orang lain, dengan lembaga, dengan alam, dengan masa lalunya, atau mungkin dengan suatu Pencipta Ilahi. Descartes mengungkapkan individualisme ini dengan jelas sekali dalam definisinya tentang substansi di mana jiwa manusia menjadi contohnya yang paling utama yang untuk menjadi dirinya tidak memerlukan apa pun selain dirinya sendiri.
Mengapa pemahaman individualistik tentang pribadi manusia diterima orang dalam modernitas awal? Beberapa pemikir melihatnya sebagai hasil akhir kombinasi antara kecenderungan manusia untuk memahami diri sendiri melalui analogi dengan suatu realitas ilahi, dan pengertian tentang keilahian sebagai suatu makhluk yang sepenuhnya independen dan kebal terhadap penderitaan. Para pemikir lain menganggap perkembangan individualisme sebagai akibat pengaruh Kekristenan yang berlangsung selama berabad-abad, di mana pada periode tersebut gagasan klasik tentang Tuhan yang sepenuhnya independen secara partikular tidak dimasukkan.
Apapun penjelasannya, modernitas menyangkut pergeseran dari pemahaman diri komunal ke pemahaman diri individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat atau komunitas sebagai yang utama, dengan “individu” sebagai produknya, tetapi menganggap masyarakat hanya sebagai kumpulan individu-individu bebas yang secara sukarela bergabung demi tujuan-tujuan tertentu. Penekanannya, sekaligus juga cita-citanya, adalah kebebasan dasariah seseorang terhadap yang lain.
Dari sudut pandang sosiologis, individualisme terutama berarti penghancuran komunitas dan institusi organik yang kecil dan intim dalam satu proses sentralisasi. Pergerakan ini merupakan transisi dari komunitas (Gemeinschaft) ke masyarakat agregatif (Gesselschaft). Pergerakan ini juga disebut sebagai transisi dari masyarakat yang berdasar pada adat istiadat kepada masyarakat yang didasarkan pada kontrak; atau dari masyarakat yang didasarkan tradisi ke masyarakat yang didasarkan pada perhitungan rasional. Intinya adalah bahwa sebagian besar struktur yang di dalamnya manusia telah memiliki hubungan intim, face to face, dan yang telah menjawab sebagian besar masalah manusia, kini dihancurkan atau dilemahkan, sehingga hubungan-hubungan sosial antar individu menjadi semakin terbatas pada kelompok-kelompok impersonal yang besar, seperti pabrik besar, ekonomi besar, kota besar, negara besar, bahkan Gereja besar atau mega church yang sebenarnya hanya melibatkan sekelumit kecil dari kehidupan seseorang saja. Jadi, modernitas pada akhirnya hanya menghasilkan dikotomisasi baru kehidupan sosial, yaitu antara struktur-struktur besar dan kehidupan pribadi. Peter Berger mengungkapkan efek transisi dari komunitas ke masyarakat impersonal terhadap spiritualitas modern, sebagai berikut :[10]
“Komunitas bersifat nyata dan merangkul tiap orang; entah baik ataupun buruk. Oleh sebab itu, individu jarang, meskipun pernah terjadi, hanya mengandalkan dirinya sendiri. Sebaliknya, modernitas dicirikan oleh ketiadaan tempat berteduh. Kekuatan modernisasi turun seperti palu baja raksasa yang menghantam semua lembaga komunal yang lama seperti, klan, desa, suku, dan wilayah. Tidak mengherankan jika transformasi ini menghasilkan kekecewaan yang mendalam.”

Jika dikaitkan dengan dimensi ekonomi, individualisme dianggap sebagai suatu landasan yang bisa diterima. Diizinkannya kepentingan diri untuk bergerak leluasa dalam pasar tanpa kendali moralitas, pada mulanya diberi pembenaran secara moral bahwa sistem ekonomi yang didasarkan pada kepentingan individu pada umumnya akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan sistem yang didasarkan pada perilaku moral individu. Dan bahkan kemudian dalam tahap modernitas selanjutnya, kepentingan diri sebagai suatu prinsip berjalannya kehidupan, semakin diperluas ke pelbagai dimensi kehidupan, sehingga tidak mengherankan jika para penganut demokrasi kapitalistis seperti Daniel Bell pun mengkuatirkan jika spiritualitas modern tidak hanya berpotensi menghancurkan individu, tetapi juga menghancurkan masyarakat modern itu pula.[11] 
Kekhawatiran Bell dalam hal ini bukan tanpa alasan. Modernisme dalam kaitannya dengan materialisme, menyebabkan semangat ekonomisme begitu kental merasuki masyarakat modern. Hubungan antara manusia dan benda, yaitu kebutuhan material, adalah yang primer; sedangkan hubungan antarmanusia, yaitu masyarakat, adalah yang sekunder. Ini berarti bahwa masyarakat modern berada di bawah ekonomi, bukan sebaliknya. Jadi, mereka hanya berpusat pada perolehan, kekayaan, kemakmuran material dan mengganggap itu semua sebagai inti kehidupan sosial.
Akibat lain dari anggapan bahwa hubungan antarmanusia merupakan hal sekunder dan kekayaan dianggap sebagai inti kehidupan sosial, masyarakat pun diklasifikasikan dalam pelbagai kelas-kelas sosial yang ditentukan melalui ukuran pendapatan per kapita. Orang kaya boleh menjadi pengambil keputusan dalam komunitas, sedangkan orang miskin dilarang berbicara, bahkan dilarang sakit. Orang kaya pasti dianggap sosok kunci yang berpengaruh yang jika tidak diberikan posisi kepemimpinan, dikhawatirkan akan terbang ke komunitas lain, sedangkan orang miskin jika perlu disingkirkan saja karena bukan merupakan sebuah aset, melainkan beban atau liability. Modernitas menyebabkan manusia yang berada pada kasta tertinggi memandang manusia yang berada dalam kasta lebih rendah sebagai resources yang dapat dipakai untuk kepentingannya, dan bukannya untuk dipedulikan.
4.2         Spiritualitas dan Masyarakat Postmodern
Dengan ditempatkannya individualisme sebagai pusat dalam spiritualitas dan masyarakat modern, tentu saja tidak ada aspek spiritualitas postmodern yang lebih diunggulkan, selain realitas hubungan-hubungan internal. Bertolakbelakang dengan pandangan modern yang beranggapan bahwa hubungan dengan orang lain dan dengan benda-benda lain dianggap bersifat eksternal, kebetulan, dan turunan, maka para pemikir postmodern menggambarkan hubungan-hubungan ini sebagai yang bersifat internal, esensial, dan konstitutif. Seorang individu tidaklah pertama-tama muncul sebagai suatu wujud yang sudah penuh dan baru kemudian dengan kualitas-kualitas yang dimilikinya berinteraksi secara superfisial dengan makhluk-makhluk lain yang tidak mempengaruhi esensinya. Justru sebaliknya, hubungan seseorang dengan tubuhnya, lingkungan alamnya yang lebih besar, keluarganya, dan kulturnya membentuk atau bersifat konstitutif terhadap identitas individu itu.[12]
Aspek lain spiritualitas postmodern adalah organisisme, yang secara serentak mentransendensikan dualisme dan materialisme modern. Tidak seperti kaum modern yang dualistik, kaum postmodern tidak merasa seperti makhluk asing yang hidup dalam alam yang jahat dan tidak peduli, melainkan merasa “betah” hidup di dunia dan memiliki rasa persaudaraan dengan spesies-spesies lain yang dipandang memiliki pengalaman, nilai, dan tujuan mereka sendiri. Dengan rasa “betah” dan persaudaraan ini, keinginan kaum modern untuk menguasai dan memiliki digantikan dengan spiritualitas postmodern yang menikmati kegembiraan dalam kebersamaan dan keinginan untuk membiarkan yang lain sebagaimana adanya.
Pemahaman postmodern akan rasa ke-satu-an dengan alam ini sangat berbeda dengan pemahaman modernitas materialistis, yang di dalamnya kesatuan itu sama dengan reduksionisme yang deterministik dan relativistik. Spiritualitas postmodern mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi kebaikan atau kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai tingkat pengalaman nilai yang berbeda-beda dan penolakan bahwa manusia itu adalah tuan segala ciptaan yang bisa memanfaatkan semua makhluk lainnya, tidak berarti bahwa manusia tidak bernilai secara intrinsik daripada seekor ngengat. Oleh sebab itu, pandangan postmodern menyarankan suatu spiritualitas yang di dalamnya terdapat perhatian pada ekologi digabungkan dengan perhatian khusus pada kesejahteraan manusia.
Aspek lain yang penting dalam spiritualitas postmodern adalah bahwa spiritualitas postmodern memiliki hubungan yang baru dengan waktu, yaitu dengan masa lalu dan masa depan. Pemikir postmodern meyakini pengalaman masa lalu dalam arti tertentu dan hingga batas tertentu, pengalaman masa kini merangkum seluruh masa lalu. Sesungguhnya setiap individu adalah penyingkapan masa lalu dan reaksi masa kininya terhadap masa lalu itu. Dengan kata lain, seseorang itu mengejawantahkan banyak kebiasaan yang sudah berlangsung sekian lama.

Dan selain menghargai masa lalu, spritualitas postmodern juga memiliki landasan untuk memperhatikan masa depan. Karena masa depan tidak dipikirkan sebagai yang berhubungan secara internal dengan masa kini, maka self-interest rasional seorang individu dianggap tidak menjangkau keluar masa hidupnya. Pemikiran postmodern sepakat masa depan tidak memiliki hubungan internal dengan masa kini, berbeda dengan kaitan antara masa kini dan masa lalu. Akan tetapi sudah terangkum di masa kini bahwa masa depan itu akan ada, dan masa depan itu tumbuh dari masa kini dengan menyertakan kontribusi-kontribusinya. Pemikir postmodern juga menyatakan bahwa manusia secara internal terbentuk oleh manusia dengan keilahian.
Penekanan pada hubungan internal mengakibatkan spiritualitas postmodern berusaha mengatasi individualisme sosial. Pola masyarakat postmodern bersifat komunal atau komunitarian, yakni menekankan bahwa kebijakan sosial harus diarahkan kepada pelestarian dan penciptaan kembali pelbagai bentuk komunitas lokal. Komunitas-komunitas lokal tersebut dapat berupa suatu masyarakat maupun antarmasyarakat, yang digerakkan oleh agama sebagai sumber potensialnya. Secara khas kaum postmodern menerima suatu masyarakat agama yang pluralistis, dan berharap bahwa pelbagai agama tradisional akan mengakui kesamaan masing-masing dan juga saling mentransformasikan diri dengan menyesuaikan nilai-nilai dan kebenaran dari partikularitas masing-masing. Masyarakat postmodern juga merupakan tatanan masyarakat di mana era materialistis ditolak.
4.3         Kesalehan Sosial sebagai Jati Diri Spiritualitas Kristiani di Era Postmodern
Pada masa kini, tradisi kesalehan sosial dapat dilakukan dalam wadah komunitas yang bernama Gereja. Sebagai model dari umat pilihan dan representasi Kerajaan Allah di bumi ini, Gereja harus menyadari bahwa mereka adalah umat yang kudus, yang dipanggil dari dunia untuk menjadi milik Allah. Tetapi di lain pihak, Gereja juga adalah suatu umat yang duniawi, dalam arti bahwa mereka adalah orang-orang yang diutus kembali ke dalam dunia untuk bersaksi dan melayani atau untuk menunjukkan sebuah kesalehan sosial di tengah masyarakat.
Jati diri ganda ini harus dilakukan secara seimbang pada saat yang bersamaan. Namun sayangnya, Gereja justru seringkali terlalu menitikberatkan pada satu jati diri saja. Kadang-kadang akibat keinginan yang menggebu-gebu untuk hidup kudus, Gereja memisahkan diri dari dunia ini, sehingga Gereja menjadi kolot dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Dan sebaliknya, kadang-kadang Gereja pun terlalu menonjolkan keduniawiannya, akibatnya Gereja secara keliru menyesuaikan diri kepada tolak ukur dan nilai-nilai yang dianut dunia, dan pada akhirnya Gereja pun tercemar dengan zat polutan duniawi. Yesus mengajarkan bahwa Gereja adalah garam dan terang dunia (Mat 5:13-16). Agar garam dan terang dapat berfungsi dengan baik, maka garam itu harus meresap dalam daging dan terang itu harus bersinar menerangi kegelapan. Artinya, kesalehan individu itu harus dipertontonkan di tengah masyarakat, sehingga masyarakat pun dapat merasakan asinnya garam, dan melihat terang yang bersinar. Sama seperti itulah Gereja dan orang Kristiani mempraktekkan kesalehannya di tengah era postmodern ini.
Semua bentuk kesalehan sosial dalam komunitas Gereja lokal sejatinya harus diilhami oleh kasih sayang terhadap sesama manusia. Rasa kasih sayang terhadap sesama ini tentu saja sangat tergantung dari penilaian seseorang terhadap manusia. Semakin seseorang menganggap tinggi nilai manusia, maka semakin besar minat orang tersebut untuk melayani kepentingannya.           
Oleh karena itu, kesalehan sosial dalam spiritualitas Kristiani postmodern adalah kesalehan yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme, yaitu mazhab filsafat agama yang menempatkan manusia sebagai subyek sentral dalam jagad raya, tetapi inheren dalam kemanusiaannya tumbuh kesadaran spiritual yang senantiasa berorientasi pada Tuhan. Kesalehan sosial ini akan memiliki ciri khas yang menekankan dan menghargai persamaan nilai-nilai luhur pada setiap agama. Kesalehan sosial ini pun memiliki kepedulian pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan, dengan mengandalkan pada kekuatan ilmu pengetahuan empiris dan kesadaran spiritualitas yang bersifat mistis.
Bagaimana wujud kesalehan sosial yang konkrett dan Kristiani sesuai dengan konteks berbangsa dan bernegara saat ini? Wujud umumnya adalah pemaksimalan peran pelayanan diakonia yang sudah ada. Peran pelayanan diakonia ini bisa disempitkan lagi dalam bentuk derma yang dilakukan satu jemaat yang berkecukupan kepada anggota jemaat yang hidup di bawah garis kesejahteraan. Selain lewat pelayanan diakonia yang ada dalam Gereja lokal, orang-orang Kristiani pun dapat menyalurkan dermanya melalui pelbagai lembaga Kristen non-profit yang bergerak dalam pengembangan masyarakat, seperti Compassion International, World Vision Indonesia, ataupun pelbagai lembaga pelayanan lainnya yang memiliki orientasi pelayanan sosial dan memiliki program nyata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.
Wujud kedua adalah memberdayakan ekonomi rakyat miskin. Gereja melalui pelayanan diakonia yang ada dalam Gereja, bisa menyediakan Kredit Usaha Kecil tanpa agunan dan tanpa bunga. Jemaat prasejahtera yang menerima kucuran pinjaman ini tentu bukanlah sembarang jemaat. Mereka yang berhak menerima manfaat pinjaman ini tentu adalah jemaat yang telah memiliki komitmen dalam berjemaat, memiliki integritas, dan mempunyai keinginan yang kuat untuk bebas dari belenggu kemiskinan. Tentu kemudian, sebelum dan sesudah mendapat pinjaman tersebut, jemaat yang berpotensi mendapatkan pinjaman harus mendapat pelatihan mengenai bisnis kecil. Selama proses usaha ini berjalan, maka Gereja harus menyediakan bimbingan usaha yang terkait dengan pengembangan usaha. Bimbingan ini dapat dilakukan oleh anggota jemaat lain yang sudah memiliki pengalaman dan kapabilitas dalam berbisnis.
Wujud ketiga adalah penyediaan kesempatan untuk mendapat pendidikan bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera. Kesempatan pendidikan yang dapat diberikan minimal Sekolah Menengah Umum dengan skill keterampilan yang dapat diserap pasar. UUD 1945 menjamin setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali mendapatkan pendidikan. Namun, pada prakteknya anak-anak miskin mendapatkan kesempatan yang sangat minim terhadap akses pendidikan. Akibatnya, generasi muda bangsa ini kembali berputar-putar dalam lumpur hidup kemiskinan. Ironisnya lagi, sekolah-sekolah Kristiani yang pada awalnya dibangun sebagai upaya misi, justru merupakan sekolah-sekolah termahal di negeri ini.











BAB V
NILAI-NILAI SPIRITUALITAS KRISTIANI

Spiritualitas Kristiani mesti nampak dalam kehidupan konkret. Perwujudannya nampak dalam sikap-sikap hidup Kristiani. Cinta sesama sejati harus mencakup sikap menghormati nilai-nilai yang bersifat spiritual dan ideal. Cinta sesama akan mendukung nilai-nilai tersebut dan memelihara, mempertahankan serta menumbuhkembangkannya. Di samping harta kehidupan jasmani, yang termasuk  nilai-nilai spiritual dan ideal adalah kehormatan dan kejujuran.
Kehormatan adalah nilai penting untuk eksistensi manusia di dunia. Kehormatan memberikan kepada seseorang tempat yang pantas dalam penilaian manusia selaras dengan nilai sejatinya dan perannya dalam masyarakat. Kebenaran memungkinkan manusia hidup dan bertindak dalam keselarasan dengan kenyataan. Kejujuran adalah kebaikan yang mengindahkan kebenaran dalam setiap bentuknya dan memeliharanya dalam pergaulan dengan sesama. Nilai yang bertalian erat dengan kedua nilai tersebut adalah kesetiaan, yang membuat seorang manusia berpegang teguh secara jujur kepada keyakinan, kata-kata dan janjinya. [13]
5.1         Kehormatan
5.1.1   Hakekat dan Pendasaran Kehormatan
Nilai kehormatan terletak dalam pengakuan akan martabat pribadi, bukan saja dengan persetujuan batin, melainkan juga melalui sikap dan tingkah laku. Dalam arti yang lebih luas, kehormatan adalah penghargaan seseorang terhadap diri sendiri, hal yang membuatnya setia terhadap diri, dan itu berarti setia pada keyakinannya, kata-katanya dan diri yang lebih baik. Inilah yang dimaksudkan bila seseorang disebut sebagai pribadi yang patut dihormati. Bentuk paling mulia dari kehormatan adalah kehormatan moral. Kehormatan diberikan untuk pribadi yang secara moral tak tercela dan menghormati nilai-nilai moral.
Dasar kehormatan adalah kesempurnaan, kebaikan dan kesucian seorang pribadi. Penghormatan tertinggi di kalangan ciptaan material diberikan kepada manusia karena dia merupakan gambaran Allah. Semakin citra Allah terwujud dalam satu pribadi dan semakin pribadi itu merupakan anak Allah, maka semakin tinggi pula penghormatan yang harus diberikan kepadanya. Kepasrahan dan sembah bakti tulus seorang manusia kepada Allah layak mendapat penghormatan lebih besar daripada kualitas kodrati keindahan, inteligensi, daya jasmani atau kekayaan material.
Penghormatan adalah harta sosial yang penting. Suatu masyarakat yang tidak saling menghormati akan kehilangan ikatan sosial dan tidak mampu menuntut yang terbaik dari anggotanya. Setiap pribadi membutuhkan penghormatan agar dapat mengabdi pada masyarakat dan menghasilkan buah melalui karyanya di tengah masyarakat. Kehormatan juga memiliki peran penting secara pedagogis. Pengakuan dan penghargaan atas jasa yang telah dihasilkan seseorang merupakan suatu dukungan moral yang maha penting.
5.1.2   Kewajiban Utama Menyangkut Kehormatan
5.1.2.1  Mengindahkan Kehormatan Diri Sendiri
Nama baik adalah harta paling tinggi di antara harta fana. Setiap orang harus berusaha untuk memelihara nama baiknya. Sebab pujian manusia tidak dapat diusahakan demi diri sendiri. Apabila seseorang melakukan perbuatan baik hanya demi mendapat kehormatan lahiriah sementara ia tidak memiliki cinta yang tulus terhadap Allah dan sesama, maka tidak ada kebajikan di dalam sikapnya.
Kepedulian penuh tanggung jawab terhadap kehormatan diri sendiri dibenarkan dan kerapkali bahkan merupakan kewajiban. Sikap tersebut merupakan bagian yang sah dari cinta diri yang sehat. Kewajiban untuk memelihara kehormatan tidak berarti keharusan untuk mempertahankannya secara picik. Gangguan kecil yang tidak terlalu merusakkan kehormatan sebaiknya diabaikan saja. Namun, satu pribadi mempunyai hak dan kerapkali kewajiban untuk membela diri terhadap serangan tidak adil yang sangat merusakkan kehormatannya. Sebaliknya, dalam rangka mempertahankan kehormatannya, seseorang tidak boleh melampaui batas-batas pertahanan diri yang wajar dan benar dan harus membatasi dirinya pada apa yang perlu dan sepadan untuk menghadapi fitnah.
Makna sejati dari kehormatan seharusnya menghindarkan seseorang dari bualan mencari pengakuan akan kebajikan yang dalam  kenyataan tidak pernah dimilikinya atau bukan merupakan prestasinya. Kehormatan yang tidak layak diperoleh harus menjadi alasan untuk merasa malu dan bukannya malah bergembira. Mencari kehormatan secara berlebihan adalah dosa akibat ambisi yang kacau. Mencari kehormatan diri dengan melanggar penghormatan terhadap Tuhan, hak orang lain dan kepentinganumum merupakan dosa berat.
5.1.2.2  Penghormatan terhadap Sesama
Keadilan menuntut bahwa kita harus memperhatikan k ehormatan orang lain yang berhak menerima kehormatan itu. Seseorang yang berhati mulia sangat royal dalam memberikan pujian. Ia tidak menanti hingga dihormati, tetapi selalu enteng dan berbesar hati memberikan penghormatan kepada orang lain.
Penghormatan terhadap orang lain dapat diungkapkan dalam berbagai cara, seperti bersikap sopan santun, memberikan pujian dan pengakuan, memberikan kesaksian yang baik tentang orang lain, dan sebagainya. Tidak seorang pun dilecehkan karena cacat atau karena kemiskinannya. Yang buta dan lumpuh layak mendapat penghormatan sebagaimana mereka yang sehat dan kuat. Kaum miskin sebagaimana juga orang kaya, sejauh mereka menjalani hidup yang jujur layak mendapat penghormatan.
5.1.2.3  Pelayanan dan Kewajiban untuk Mengoreksi
Kekurangan dan kelemahan adalah faktor-faktor yang merugikan kehormatan secara pribadi, dan sekaligus mendatangkan kerugian bagi orang lain. Membantu sesama untuk menyadari dan mengoreksinya sungguh-sungguh merupakan karya cinta kasih. Koreksi penuh persaudaraan merupakan karya istimewa dari cinta kasih kepada sesama. Koreksi persaudaraan adalah petunjuk seseorang tentang kesalahan yang dilakukan sesama untuk menjauhkan dia dari kesalahan. Koreksi seperti ini bersifat privat dan bukan pengadilan.
Dasar terdalam kewajiban untuk memberikan peringatan individual sebagaimana juga kritik sosial adalah kewajiban untuk mengelakkan kejahatan dari sesama dan persekutuan, dan memampukannya untuk mengejar panggilan mereka dan meningkatkan kemuliaan Allah. Suatu peringatan acapkali dituntut oleh hak dan kewajiban untuk mempertahankan orang lain atau diri.
Setiap orang juga memiliki kewajiban untuk menerima teguran dan berusaha memperbaiki kekurangan dan kekeliruan. Orang-orang yang menolak teguran, yang memberikan reaksi yang sangat sensitif serta membalas dendam akan ditinggalkan, dan apabila kekeliruannya berkaitan dengan masalah yang sangat serius, maka akhirnya akan digunakan metode yanglebih keras dalam menghadapinya.

Obyek teguran persaudaraan adalah kesalahan sesama yang membawa kerugian untuk diri sendiri dan orang lain, terutama apabila kesalahan itu berkaitan dengan kejahatan yang lebih besar. Obyek kritik sosial adalah situasi dalam kelompok sosial, seperti kegagalan dalam memenuhi tugas bagi masyarakat, diskriminasi terhadap kaum minoritas, sikap memihak pada kaum berada dan tindakan melecehkan hak-hak asasi.
Teguran harus mungkin terwujud tanpa pengorbanan yang luar biasa. Tindakan memberikan peringatan atau teguran selalu membutuhkan upaya dan keberanian, dan karena itu merupakan bagian dari kewajiban. Hal ini berlandas pada kenyataan bahwa teguran terhadap orang lain acapkali mengandung resiko penolakan atau reaksi tidak sopan dari pihaknya, bahkan kalau teguran itu diberikan dengan cara yang benar. Teguran penuh persaudaraan harus dimotivasi oleh kepedulian yang tulus akan kepentingan sesama, dan bukan karena kejengkelan pribadi, karena marah atau balas dendam, karena kritik-kritik yang berasal dari alasan seperti itu tidak konstruktif.
5.1.3   Pelanggaran terhadap Kehormatan Sesama
Seorang pribadi dapat bersalah dalam bidang kehormatan dengan berpikir jahat tentang sesama. Pikiran benci adalah dosa yang kerap terjadi, tetapi agak diabaikan. Terutama prasangka yang gegabah melanggar kehormatan sesama.
Penghormatan terhadap sesama wajib diberikan jika ia layak memperolehnya dan tidak bersalah melakukan pelanggaran. Jika penghargaan seperti itu tidak diberikan, sekalipun hanya di dalam pikiran, maka hal itu merupakan suatu ketidakadilan.
5.1.3.1  Mencaci-maki dan Memfitnah serta Pencemaran Nama Baik
Cara-cara yang merugikan kehormatan, khususnya adalah mencaci-maki atau memfitnah, atau mencemarkan nama baik orang lain. Fitnah berarti menceritakan kekurangan yang tidak benar dengan kesadaran sepenuhnya bahwa hal itu salah. Salah satu bentuk fitnah adalah campuran dari kebenaran dan kesalahan. Pencemaran nama baik adalah perusakan secara tidak adil nama baik seseorang dengan mengumumkan kesalahan yang memang benar dilakukan, namun pada waktu sebelumnya menjadi sesuatu yang rahasia. Penghinaan dapat dilakukan dengan cara lain selain ungkapan kata-kata.
Lidah jahat merupakan yang hal yang memuakkan. Lidah jahat dan pemfitnah dikutuk karena merusakkan kedamaian banyak orang. Makian dan umpatan merupakan suatu bentuk perampokan terhadap hak orang lain. Perampokan itu merupakan dosa ketidakadilan. Fitnah merupakan dosa terhadap keadilan dan kebenaran, karena fitnah itu mengenakan kesalahan kepada sesama yang sebenarnya tidak dilakukannya. Karena itu, hak atas nama baik yang berlandas pada kebenaran adalah hak mutlak dan umum. Kebenaran dan keadilan menuntut bahwa seorang pribadi yang dalam kenyataannya sebagai seorang yang baik tidak boleh dipojokkan sebagai pribadi yang buruk. Pencemaran nama baik merupakan ketidakadilan apabila kesalahan yang digugat hanya merupakan kekecualian dan kelemahan yang sesekali terjadi. Pencemaran nama baik umumnya ditandai oleh sikap melebih-lebihkan persoalan. Akibat negatif yang sering muncul pada korban pencemaran nama baik adalah kenyataan bahwa semangat mereka dalam perjuangan moral menurun atau bahkan berhenti sama sekali, karena apa pun perjuangannya tetap saja posisi moralnya dalam pendapat umum sudah jatuh.
Pencemaran nama baik adalah dosa yang lebih berat dari pencurian, karena nama baik lebih tinggi dari kekayaan. Bobot keseriusannya tergantung dari kerugian yang bakal timbul untuk kehormatan seorang pribadi, penderitaan yang bakal ditanggungnya, kerugian untuk pekerjaannya, dan mungkin juga kerugian material (misalnya hilangnya lapangan kerja). Karena itu, meskipun seseorang itu kehilangan nama baik dalam satu hal, namun ia tetap dapat memiliki hak untuk dihargai dalam hal lain.
5.1.3.2  Pemulihan Nama Baik
Pemulihan dari kerugian yang ditimbulkan secara tidak adil merupakan kewajiban keadilan dan cinta. Hal ini berlaku untuk semua orang yang telah melanggar kehormatan sesama. Mereka mesti berusaha sejauh kemampuan untuk mengganti kerugian yang telah ditimpakan pada nama baik pribadi korban, dan semua kerugian material yang timbul darinya.
Pemulihan dari makian dan umpatan mesti dibuat secara publik atau privat, tergantung dari kenyataan entah makian itu bersifat  publik atau privat. Pemulihan itu dapat dilakukan oleh pelaku sendiri atau melalui pribadi perantara. Permintaan maaf dapat dikirim secara tertulis apabila pihak yang bersalah tidak dapat tampil di depan korban. Pemulihan harus terjadi dengan cara yang mengungkapkan secara jelas penyesalan dan penghormatan terhadap pribadi yang dilukai.
Pemulihan dalam kasus pemfitnahan menuntut bahwa tuduhan yang salah harus ditarik kembali secara jelas. Kesaksian palsu di depan pengadilan harus ditarik kembali, kalau kerugian tidak dapat diatasi dengan cara lain. Pencemar nama baik tidak bisa menarik kembali tuduhannya karena ia benar.

5.2         Kejujuran (Cinta akan Kebenaran)
Sebuah pernyataan atau pemikiran disebut sebagai yang benar apabila pernyataan tersebut selaras dengan kenyataan atau keyakinan batin dan pengetahuan seorang pribadi.
Secara etimologis, kata bahasa Ibrani untuk kebenaran atau emeth. Akar kata emeth adalah aman yang berarti dapat dipercayai, diandalkan, teguh. Maka, kata emeth dekat dengan konsep kesetiaan. Apabila emeth digunakan untuk Allah, maka hal itu berarti bahwa Allah setia dan dapat dipercayai. Apabila kita berbicara tentang kebenaran manusia, maka itu berarti kesetiaan manusia terhadap Allah. Selain itu, emeth juga mengungkapkan hubungan kesetiaan antara manusia.
5.2.1   Kebajikan Cinta Kebenaran dan Kewajibannya
Cinta kebenaran adalah keterarahan budi dalam mengakui kebenaran sebagai sebuah nilai yang senantiasa menjadi titik pusat perhatian. Bersikap benar adalah sikap utama yang membuat manusia untuk :
1.      sedapat mungkin terbuka kepada kebenaran
2.      mutlak bertindak selaras dengan kebenaran dalam perilakunya
3.      dan kesediaan untuk mensharingkan kebenaran kepada yang lain.

Bersikap benar pada hakikatnya adalah reseptivitas (tunduk pada keberadaan, kesediaan untuk menerima realitas). Kebenaran tidak dihasilkan oleh manusia, tetapi manusia harus dibentuk oleh kebenaran dan membiarkan dirinya dikuasai oleh kebenaran. Cinta kebenaran pada hakikatnya berarti bahwa orang dikuasai oleh sumber kebenaran dan keberadaan, yakni Allah yang merupakan kebenaran itu sendiri dalam artinya yang paling dalam.
Tuntutan bersikap benar berlandas pada kenyataan bahwa tanpa kebenaran tidak mungkin terwujud perkembangan wajar pribadi manusia, kehidupan sosial dan agama. Pengetahuan dan pengakuan atas realitas merupakan landasan mutlak bagi tindakan tepat guna dan berdaya guna.
5.2.1.1  Bersikap Benar di Dalam Pikiran
Untuk mencapai sikap mencintai kebenaran, manusia pertama-tama harus benar di dalam pikirannya. Ia harus menerima kebenaran yang terbuka baginya dengan berbagai cara, dan harus mencarinya dengan sepenuh hati. Kewajiban mencari kebenaran pertama-tama menyangkut keberadaan manusia sendiri, menyangkut tugas yang diberikan kepadanya di dalam dunia ini, dan dasar keberadaannya yakni Allah yang memberikan makna tertinggi pada kehidupannya.
Kewajiban mencari dan menerima kebenaran merupakan kewajiban utama. Tuntutan mendasar dari hal bersikap benar adalah kebenaran untuk menghadapi kebenaran dalam keberadaan kita sendiri. Hal ini menuntut keberanian untuk menerima diri dan secara jujur mengakui batas-batasnya. Inilah yang disebut sebagai ketulusan, di mana ketulusan batin mengandaikan penyangkalan diri yang penuh kerendahan hati dan bebas dari sikap angkuh. Etika kejujuran atau bersikap benar harus juga mengindahkan hukum-hukum tatanan obyektif dan kenyataan dunia.
5.2.1.2  Berlaku Benar dalam Tindakan
Tindakan seseorang haruslah jujur. Tindakannya harus selaras dengan prinsip-prinsip yang dimiliki pribadi itu dan yang dianutnya. Berlaku benar dalam perbuatan berarti bahwa seseorang bertindak selaras dengan pikiran dan kata-katanya. Karena itu, setiap perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran yang dikenal dan keyakinan iman adalah tidak jujur. Misalnya kemunafikan yang bertentangan dengan kebenaran, karena sikap laku luar orang munafik memperlihatkan perbuatan baik, sementara motivasi sesungguhnya bersifat lain.
Bertindak benar menuntut bahwa seseorang menghadapi situasi tak menyenangkan dan tidak lari dari dirinya. Kejujuran menuntut dari seseorang agar terbuka terhadap kritik orang lain tanpa rasa antipati dan keinginan balas dendam. Manusia tulus dan jujur menerima dengan serius pendapat orang lain, dan bersedia mengakui kekeliruan dan kesalahannya.
5.2.1.3  Kejujuran dalam Perkataan
Kata-kata lisan dalam cara tertentu harus merupakan ungkapan kata-kata dan pengetahuan batin. Kejujuran dalam kata-kata menuntut apa yang diungkapkan dalam perkataan harus selaras dan serasi dengan pemikiran dan pengetahuan dalam hati seseorang.
Kejujuran dalam kata-kata adalah tuntutan keadilan, sikap hormat dan cinta kasih. Sementara lawannya adalah dusta, tidak saja menyembunyikan kebenaran bagi orang lain, tetapi membuat orang itu percaya pada apa yang tidak benar, membuatnya terjebak di dalam kesalahan. Ia menerima fakta-fakta dan mengandalkannya sebagai yang pasti yang sebenarnya dalam kenyataan tidak ada. Setiap dusta memperlakukan orang lain seolah-olah tidak layak atau tidak berhak untuk menerima kebenaran. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap martabat orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai dan hak yang sama.
Kejujuran tidak saja bertentangan dengan dusta yang gamblang, tetapi juga dengan kemunafikan, sanjungan yang menjilat dan pujian berlebihan. Sanjungan yang menjilat merupakan pelanggaran berat apabila menjadi jaran ke arah kejahatan. Apabila tujuannya hanya untuk menyenangkan orang lain atau  mencapai keuntungan yang halal, maka pelanggaran itu kurang berat walaupun tetap bersifat tidak benar.
5.2.2   Dusta dan Sikap Menyembunyikan Kebenaran yang Diizinkan
Dusta adalah pernyataan yang bertentangan dengan keyakinan batin dan pengetahuan seseorang. Atau dusta merupakan pembicaraan yang bertentangan dengan apa yang dipikirkan (locutio contra mentem). Dusta (mendacium) juga didefinisikan sebagai pembicaraan yang tidak benar yang melanggar hak lawan bicara atas kebenaran. Maka, pembicaraan tidak benar yang tidak melanggar hak atas kebenaran bukanlah dusta. Pembicaraan itu disebut salah (falsiloquium), dan tidak dilihat sebagai pelanggaran terhadap kebenaran. [14] 
Orang kafir di zaman kuno tidak mengenal kewajiban menyangkut kebenaran mutlak. Dusta diperbolehkan dan kadang-kadang bahkan dituntut demi  kebaikan yang lebih tinggi. Aristoteles  [15] kerapkali disebut sebagai kekecualiaan. Ia memuji orang yang perkataannya benar apabila tidak menarik keuntungan dari kata-katanya. Namun, para penafsir tidak sependapat, apakah dengan itu ia mau secara mutlak menutup kemungkinan terhadap setiap penipuan atau dusta, meskipun misalnya kepentingan-kepentingan negara dipertaruhkan. Cicero secara agak umum menolak dusta. Ia mengecam dusta secara keras, baik dalam urusan privat maupun dalam urusan publik.
Pengaruh yang menentukan atas ajaran tentang dusta berasal dari Agustinus. Ia mendefinisikan dusta sebagai pernyataan palsu dengan tujuan untuk menipu, dan melihatnya sebagai buruk. Dusta dalam situasi apa pun dilarang. Pemikirannya ini didukung oleh Thomas Aquinas. Ia melihat dusta sebagai hal yang bertentangan dengan kodrat, dan karena itu di dalam dirinya buruk.
5.3         Kaum Awam dan Spiritualitas Kristiani
5.3.1   Kaum Awam
Secara umum dapat dikatakan bahwa definisi awam dipakai untuk menyebutkan orang beriman pada umumnya. Pada intinya, sebutan kaum beriman Kristen bagi semua warga umat Allah yang mempunyai landasan bersama yang sama dalam pembaptisan. Dan dari konsili Vatikan II (LG 31) dapat dilihat bahwa ciri keduniaan merupakan kekhususan kaum awam.
5.3.1.1  Pengertian Kaum Awam
A.      Secara Etimologis
Kata Yunani untuk orang awam adalah laikos, dalam bentuk Latinnya Laicus yang berarti orang. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kata itu sering dikenal dengan sebutan laos yang sering dipertentangkan dengan ta Eqnh dan berarti umat Allah yang membedakannya dari bangsa-bangsa (kafir). Mula-mulanya kata itu berarti menjadi bagian dari “laos”, yakni umat pilihan Allah, dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam terang ini, semua anggota Gereja adalah umat pilihan Allah dan hanya atas dasar ini mereka bisa mendapatkan kedudukan-kedudukan lain, yakni kedudukan-kedudukan lebih spesifik.[16]
B.       Secara Teologis
Awam adalah mereka yang karena melalui pembaptisan menjadi anggota-anggota tubuh Kristus, dibentuk menjadi umat Allah dan karena itu, dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas imam, kenabian, dan rajawi Kristus. Sesuai dengan kedudukan masing-masing, dipanggil untuk menjalankan perutusan yang dipercayakan Allah kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia.[17]
C.      Secara Tipologis
Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Dalam arti ini, kata itu meliputi biarawan yang tidak ditahbiskan. Maka arti kaum awam tidak lain adalah seluruh umat Allah yang menerima bagian sama dalam kerajaan Allah, dan tidak membedakan apakah ia menjabat sesuatu (pendeta atau penginjil) atau jemaat biasa, semua yang “terpanggil” adalah umat Allah.[18]
5.3.1.2  Identitas Kaum Awam
Identitas kaum awam harus dilihat dalam konteks identitas Gereja sendiri. Dengan istilah “awam” dimaksudkan semua orang beriman Kristen yang tidak termasuk golongan tahbisan suci dan status kebiaraan yang diakui di dalam Gereja. Mereka adalah orang-orang yang dengan pembaptisan menjadi anggota-anggota tubuh Kristus dan dijadikan umat Allah dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Karena itu, sesuai dengan peranan mereka dalam menjalankan perutusan seluruh umat Kristen dalam Gereja dan dunia.[19] Bagi kaum awam ciri keduniaan adalah khas dan khusus. Tanggung jawab kaum awamlah mencari kerajaan Allah dengan mengurus hal-ikhwal keduniaan dan mengaturnya menurut kehendak Allah.
5.3.1.3  Kerasulan Awam
Kerasulan merupakan partisipasi dalam perutusan Gereja. Kerasulan merupakan salah satu bentuk konkrit dari panggilan utama setiap orang Kristen, yakni hidup merasul untuk mengembangkan dan melestarikan warta tentang Kristus. Kerasulan terdiri atas tiga, yakni; kerasulan umum, kerasulan awam dan kerasulan hierarki.[20]
Pertama, kerasulan umum. Panggilan hidup semua orang beriman baik imam maupun awam untuk hidup merasul. Orang-orang beriman Kristiani adalah mereka yang dengan permandian menjadi anggota tubuh Kristus, dijadikan umat Allah dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Kristus, sebagai imam, nabi dan raja.
Kedua, kerasulan awam. Mengambil bagian dalam misi keselamatan Gereja dan semua ditugaskan oleh Tuhan bagi kerasulan itu dengan pendasaran pada sakramen permandian dan penguatan. Kaum awam dipanggil dan diutus untuk menghadirkan serta mengaktifkan Gereja di tempat-tempat dalam situasi dimana Gereja tidak dapat menjadi garam dunia. Dengan demikian, kerasulan awam berarti partisipasi dalam misi keselamatan Gereja dengan dasarnya adalah sakramen permandian dan penguatan serta berarti menghadirkan dan mengaktifkan Gereja khususnya, dimana melalui mereka Gereja dapat hadir.
Ketiga, kerasulan hierarki. Kerasulan hierarki adalah kerasulan yang membutuhkan mandat. Tugas kerasulan ini, diberikan kepada hierarki sebagai jabatan atau suatu tugas resmi yang dijalankan sebagai pejabat resmi Gereja. Menurut pendasaran lebih lanjut yang bukan hanya berdasarkan pada sakramen permandian dan penguatan melainkan juga berdasarkan imamat khusus, yakni dalam sakramen tahbisan.
Keempat, kerasulan religius. Tolak ukur hidup religius ialah mengikuti Kristus menurut Injil. Maka semua tarekat hendaknya memandang itu sebagai pedoman tertinggi. Tujuan utama hidup religius pertama-tama yakni agar para anggotanya mengikuti Kristus dan dipersatukan dengan Allah melalui pengikraran nasehat-nasehat Injil. Kekhasan hidup religius yaitu dengan corak hidup mereka yang ditandai dengan keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan menurut teladan Kristus Tuhan sendiri.
5.3.2   Kaum Awam dan Spiritualitas Kristiani
5.3.2.1  Spiritualitas Kristiani Kaum Awam : Menghayati dan Melaksanakan Tiga Tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja
Kaum awam adalah bagian integral dari kehidupan menggereja. Oleh karena itu, peran dan partisipasinya sangat dibutuhkan demi membangun Kerajaan Allah di dunia. Kehadiran awam dalam Gereja dapat membantu kaum klerus dalam menjalankan aktivitasnya. Awam dengan kemampuannya masing-masing mengemban tugas yang telah diberikan oleh Kristus sendiri kepadanya.
Peran dan partisipasi kaum awam ini dalam Gereja dilihat dari dua dimensi, yaitu melibatkan diri dalam kehidupan menggereja dengan mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan raja serta menjalankan kerasulan. Kedua dimensi inilah yang akan dibahas dalam bab ke-empat ini.
Kaum awam dituntut untuk mewujudkan spiritualitas Kristiani dalam kehidupan konkret. Perwujudannya nampak dalam tugas kaum awam. Tugas-tugas kaum awam didasarkan pada tritugas Kristus, yakni sebagai imam, nabi dan raja.
Partisipasi awam dalam tugas Kristus sebagai imam terutama dikaitkan dengan pengudusan yang dijalankan dalam perayaan liturgi. Kaum awam dalam kehidupannya di tengah dunia harus memampukan diri untuk hidup suci, artinya kaum awam harus mengikuti ajaran dari Kristus sendiri dan menjauhkan segala larangan-Nya. Keterlibatan kaum awam dalam tugas imamat Kristus dihayati dan diamalkanya dalam kehidupannya di tengah dunia bersama anggota umat Allah yang lain.
Tugas kenabian yang dijalankan kaum awam sangat erat hubungannya dengan usaha untuk memberikan kesaksian iman, baik melalui pengalaman maupun lewat pengahayatan imannya. Keterlibatan kaum awam dalam tugas kenabian Kristus nyata dalam pewartaan kabar gembira Kristus dan ungkapan iman sebagai jawaban. Mewartakan adalah tugas merasul dan dalam hal ini, kaum awam sebagai rasul juga diwajibkan untuk mewartakan Kristus. Tugas kaum awam adalah mengajar, meneguhkan dan memperkaya iman umat beriman lewat kegiatan katekese, shering pengalaman iman, ret-ret, sehingga umat beriman semakin bersatu dengan Kristus sumber iman satu-satunya, selain itu lewat kesaksian hidup. Umat beriman khususnya kaum awam dipanggil untuk menjadi saksi iman dalam segala situasi demi Kristus yang diimaninya. Kekatolikan akan lebih berarti jika umat beriman berani bersaksi dengan hidup yang baik sesuai dengan kebenaran iman.
Sedangkan keterlibatan kaum awam dalam tugas rajawi Kristus nampak dalam pelayanan kasih kepada sesama terutama kepada sesama yang miskin dan menderita. Sebagai umat beriman, kaum awam wajib bertanggung jawab atas kehidupan yang layak bagi anggota umat Allah dalam segala bidang kehidupan. Kaum awam harus menghormati harkat dan martabat orang lain dalam setiap situasinya, memiliki rasa persaudaraan, semangat sosial, progresif dalam pelbagai nilai, memiliki sikap kreatif dan senantiasa sukarela dalam aktivitas karitatif.
Pelayanan adalah suatu tugas krusial dan suatu tanggung jawab bagi terwujudnya misi keselamatan yang diemban Gereja demi pembangunan komunitas Gereja itu sendiri. Upaya mewujudkan misi yang demikian, menuntut partisipasi semua orang baik yang menerima tahbisan suci, maupun kaum awam. Tugas, hak, dan peranan kaum awam Kristiani ini datang dari status yang mereka terima berdasarkan sakramen baptis dan panggilan khusus mereka. Semua pelayanan adalah pelayanan gerejawi, yakni pelayanan dari umat dan untuk umat, baik pelayanan imam maupun pelayanan awam agar seluruh umat dapat menyerahkan diri secara total kepada Allah. Pelaku utama dalam pelayanan itu adalah umat Allah, yang diperoleh dari sakramen baptis dan ekaristi. Oleh karena itu, pelayanan awam bukanlah suatu bantuan kepada pelayanan hierarki. Sebaliknya, pelayanan hierarki merupakan bantuan agar awam dapat menjalankan pelayanan, saling melayani agar seluruh umat Allah menyerahkan diri kepada Allah untuk membangun Kerajaan Allah di tengah dunia.


5.3.2.2  Spiritualtias Kristiani Kaum Awam : Melaksanakan Kerasulan di Bidang Koinonia, Diakonia, Liturgya, Kerygma dan Martyria
Kerasulan awam adalah peran serta dalam perutusan penyelamatan Gereja. Untuk kerasulan ini, semua orang ditugaskan Tuhan sendiri lewat permandian dan penguatan. Dengan sakramen babtis dan sakramen penguatan yang diterima, semua anggota Gereja ditugaskan oleh Tuhan untuk merasul. Dengan sakramen-sakramen, terutama ekaristi suci, diberikan dan dipelihara cinta kasih terhadap Allah dan manusia yang menjiwai seluruh kerasulan. Kaum awam dipanggil untuk menghadirkan dan mengaktifkan Gereja dimana-mana, tempat Gereja tidak dapat menggarami dunia.[21]
Kaum awam dituntut untuk setia terhadap identitas mereka yang khas di dalam Gereja. Identitas kaum awam terletak dalam konteks identitas panggilan dan perutusan dari Gereja itu sendiri. Kaum awam harus berada dalam Kristus dan dari Kristus, menjadi Gereja di dalam dunia dan berada di dunia tanpa menjadi milik dunia. Inilah kerasulan yang dituntut dari kaum awam. Dan pada umumnya terdapat beberapa karya kerasulan yang dapat dilaksanakan oleh kaum awam, yakni kerasulan di bidang koinonia, diakonia, liturgy, kerygma dan martyria. [22]
Koinonia adalah hidup komunitas, persaudaraan, kesatuan, keutuhan, sebagai umat Allah yang sejati dan sejiwa. Koinonia memiliki banyak tuntutan, namun sulit diwujudkan secara sempurna tetapi tetap menjadi tugas yang harus dilaksanakan oleh semua orang beriman. Adapun tantangan yang menghalangi terwujudnya koinonia, antara lain; minat, kesukuan, perbedaan status sosial, asal-usul dan sikap acuh tak acuh. Tantangan ini perlu dicegah dan diperangi agar tidak terjadi perpecahan dan permusuhan di antara umat beriman.
Diakonia adalah pelayanan kasih kepada sesama dalam wujud konkret. Pelayanan kasih kepada sesama tanpa menuntut imbalan atau balasan merupakan suatu bentuk pelayanan yang harus dijalankan oleh kaum awam. Pelayanan yang benar-benar datang dari hati yang tulus tanpa paksaan dari orang lain. Dalam kehidupannya di tengah dunia, kaum awam harus selalu hidup dalam kasih persaudaraan, saling membagi kepada sesama yang lemah dan menderita. Setiap umat beriman wajib mengambil bagian dalam seluruh perutusan Kristus. Inilah Gereja pelayan. Pelayanan ini bertujuan agar seluruh umat beriman dapat menyerahkan diri secara total kepada Allah.
Liturgya merupakan wujud persatuan dengan Allah dan persaudaraan iman. Dalam liturgi, khususnya dalam perayaan ekaristi kita bersatu dengan Kristus sumber hidup kita. Sebagai anggota umat Allah, kaum awam hendaknya benar-benar menghayati perayaan liturgi dan mengambil bagian secara aktif dalam perayaan tersebut, dengan sikap tubuh yang penuh hormat kepada Allah. Karena perayaan ini merupakan puncak kehidupan Kristiani.
Kerygma adalah pewartaan kabar gembira Kristus dan ungkapan iman sebagai jawaban. Kaum awam dipanggil dan diutus untuk mewartakan Kristus di tengah dunia, mewartakan Injil Kristus kepada orang-orang yang belum beriman dan menghantar mereka kepada iman akan Kristus.
Martirya dimengerti sebagai kesaksian yang jelas dan setia kepada Kristus juga jika kesaksian itu menuntut pengorbanan dengan kematian. Kaum awam dipanggil dan diutus untuk menjadi saksi Kristus dan dituntut sebuah pengorbanan demi Kristus yang diimaninya. Umat beriman khususnya kaum awam dipanggil untuk menjadi saksi iman dalam segala situasi demi Kristus yang diimaninya. Kekatolikan akan lebih berarti jika umat beriman berani bersaksi dengan hidup yang baik sesuai dengan kebenaran iman.












BAB VI

PENUTUP


Kecerdasan spiritualitas tidak pernah terlepas dari relasi seseorang dengan Allah. Apabila ia menghendaki hidupnya diperkenan oleh Allah, maka tolok ukur Allah harus menjadi acuan di dalam hidupnya. Kitab Suci memang sudah menyatakan bahwa manusia harus bertumbuh dalam segala hal ke arah Kristus (Ef. 4:15), sehingga ia dapat mempersembahkan suatu kehidupan yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi sejak awalnya memang tidak pernah boleh terpisah dari kecerdasan spiritual. Spiritual yang sejati akan menghasilkan manusia yang tahu bagaimana menggunakan akal dan emosinya di dunia ini sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuhan Yesus digambarkan memiliki pertumbuhan yang semestinya selama Ia berada di dunia: "Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pads-Nya. Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Luk. 2:40, 52)”.
Tujuan akhir Spiritualitas Kristiani adalah kemuliaan Tuhan, yang diwujudkan oleh kasih kepada Tuhan dan sesama. Untuk mencapai hal ini, bukan kesuksesan yang menjadi tolok ukurnya melainkan kesetiaan untuk bergantung pada Kristus, sebab tanpa Dia kita tidak bisa berbuah (bdk. Yoh 15:15). Bentuk wujud kesatuan dengan Kristus yang paling nyata di dunia ini adalah melalui Ekaristi kudus, di mana kita menyambut Tubuh dan Darah, Jiwa dan ke-Ilahian Kristus, sehingga olehNya kita dipersatukan dengan Allah Tritunggal. Oleh karena itu, Spiritulitas Katolik selalu berpusat dan bersumber pada Ekaristi, yang adalah Allah sendiri, karena kekudusan adalah karunia yang diberikan oleh Tuhan. Melalui Ekaristi, kita tinggal di dalam Kristus dan dimampukan untuk mengikuti teladan-Nya, sehingga dapat berjalan menuju kekudusan, yaitu persekutuan dengan Allah, yang menjadi sumber kebahagiaan kita. Di sinilah kebahagiaan kita sebagai manusia menjadi juga kemuliaan bagi Allah, karena Allah menciptakan kita agar kita berbahagia bersama-Nya.




DAFTAR PUSTAKA

Bagus Kusumawanta, D. Gusti. “Gereja dan Politik”. http://www.Mirifica.net uploadan/banner/kombig.jpg. Diakses 13 Oktober 2010
Comte Sponville, Andre. Spiritualitas tanpa Tuhan. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2007
Heinz Peschke, Karl. Etika Kristiani Jilid III, Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi. Maumere: Penerbit Ledalero, 2003
IQ, EQ & SQ ... [www.leader-values.com/guest/cairnes%205.htm] 2
Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1996
Konstitusi Lumen Gentium, Artikel 31
Konstitusi Lumen Gentium, Artikel 33
Magnis Suseno, Franz. Beriman dalam Masyarakat. Yogyakarta: Kanisius, 1993
Meo, Ansel & Beo, Kons. Memahami Awam dan Kerasulannya. Ende: Nusa Indah, 2002
Moyes, Gordon.  [www.wesleymission.org.au/ministry/tra/2001/010715.html 3
Ray Griffin, David. Visi-Visi Post-Modern: Spiritualitas dan Masyarakat. Yogyakarta: Kanisius, 2005
Schippers, K. “Spiritualitas dan Pembangunan Jemaat”, dalam Seri Pastoral 367 Nomor 12. Yogyakarta, 2004
Taringan, Yakobus. Kesepakatan Bersama Pertemuan Nasional IV Kerasulan Awam. Jakarta: Gramedia, 1997
Tim KKI. SOMA: Materi Pembinaan Animator-Animatris Misioner. Jakarta: KKI, 2007
Zohar, Danah & Marshall, Ian. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan, 2002







































[1]  Danah Zohar & Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Bandung: Mizan, 2002, pp. 3-4
[2]    IQ, EQ & SQ ... [www.leader-values.com/guest/cairnes%205.htm] 2
[3]   Gordon Moyes, [www.wesleymission.org.au/ministry/tra/2001/010715.html 3
[4] Tim KKI, SOMA : Materi Pembinaan Animator-Animatris Misioner, Jakarta : KKI, 2007, p. 94
[5] Franz Magnis Suseno, Beriman dalam Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius, 1993, p. 114
[6] K. Schippers, ”Spiritualitas dan Pembangunan Jemaat”, dalam Seri Pastoral 367 No. 12, Yogyakarta, 2004, p. 8
[7] Ibid., p. 9
[8] Franz Magnis Suseno, Op. Cit., p. 114
[9] Kata Modalis berasal dari kata bahasa Latin modus yang berarti cara.
[10] David Ray Griffin, Visi-Visi Postmodern: Spiritualitas dan Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius, 2005, p. 25
[11] Andre Comte Sponville, Spiritualitas tanpa Tuhan, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2007, p. 10
[12] David Ray Griffin, Op. Cit., p. 32
[13] Karl Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III, Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere:Penerbit Ledalero, 2003, p. 172
[14]  Ibid., p. 200
[15]  Aristoteles lahir pada tahun 384 sM di Stageira yang berada di wilayah Macedonia yang terletak di sebelah utara Yunani. Ia berasal dari keluarga golongan menengah. Ia belajar di Akademika Plato, di mana ia mempelajari matematika, politik, etika, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Aristoteles adalah murid Plato, namun pemikirannya sering kali bertentangan dengan pemikiran Plato. Plato adalah filsuf idealis (yang lebih mementingkan ilmu pasti), sedangkan Aristoteles adalah filsuf realis yang memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan alam dengan menyelidiki dan mengumpulkan data-data konkret.
[16]  D. Gusti Bagus Kusumawanta, “Gereja dan Politik”, http://www.Mirifica.net/ uploadan/ banner/ kombig.jpg. diakses 13 Oktober 2010
[17]  Bdk. Konstitusi Lumen Gentium, Artikel 31
[18]  Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta : Kanisius, 1996, p. 337
[19]  Ansel Meo dan Kons Beo, Memahami Awam dan Kerasulannya, Ende: Nusa Indah, 2002, p. 41
[20]  Yakobus Taringan, Kesepakatan Bersama Pertemuan Nasional IV Kerasulan Awam, Jakarta: Gramedia, 1997, p.24
[21] Bdk. Konstitusi Lumen Gentium, Artikel 33
[22] Frans Magnis Suseno, Op. Cit.,  pp. 154-159